Você está na página 1de 21

Responsi

Exanthematous Drug Eruption

Disusun oleh :
Dzulfiar Nasir Umam
G99142079

Pembimbing :

Arie Kusumawardhani, dr., Sp.KK.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2016
STATUS RESPONSI
ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

Pembimbing : Arie Kusumawardhani, dr., Sp.KK.


Nama Mahasiswa : Dzulfiar Nasir Umam
NIM : G99142079

STATUS PENDERITA

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. S
Usia : 55 tahun
Alamat : Widodaran, Ngawi, Jawa Timur
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Status : Menikah
Nomor RM : 01330933
Tanggal Masuk RS : 30 Maret 2016
Tanggal Pemeriksaan : 30 Maret 2016

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama :
Muncul bintik-bintik merah di seluruh tubuh sejak 10 hari yang lalu.

B. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien merupakan konsulan dari bagian Penyakit Dalam. Pasien
datang dengan keluhan muncul bintik-bintik merah pada bagian dada,
perut, punggung, kedua tangan, dan kedua kaki sejak 10 hari sebelum
masuk rumah sakit (SMRS). Keluhan bintik-bintik merah awalnya
dirasakan tidak sebanyak sekarang, namun dengan lokasi yang terkena
pada tubuh sama dengan sekarang. Keluhan disertai dengan rasa gatal,

2
terasa panas, dan demam. Pasien sudah merasa demam sejak satu hari
sebelum keluhan muncul. Pasien belum pernah memeriksakan keluhan ini
ke dokter atau layanan kesehatan.
Delapan hari SMRS pasien mengeluhkan bibir yang terasa kering,
pecah-pecah dan nyeri. Pasien tidak mengeluhkan adanya kelainan
penglihatan ataupun gatal-gatal pada mata. Pasien juga tidak mengeluhkan
adanya rasa nyeri saat buang air kecil.
Pasien mempunyai riwayat penyakit gagal ginjal sejak kurang lebih
2 bulan yang lalu dan rutin kontrol ke dokter penyakit dalam di Rumah
Sakit Dr. Moewardi. Pasien rutin melakukan hemodialisa seminggu satu
kali sejak 2 bulan yang lalu dan mengonsumsi obat-obatan dari spesialis
penyakit dalam berupa amlodipin, N-acetil sistein, asam folat, dan kalsium
karbonat. Pasien mengatakan hanya meminum obat-obatan yang diberikan
oleh dokter secara rutin.

C. Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat asma dan bersin-bersin di pagi hari : disangkal
Riwayat hipertensi : (+) sekitar 6 bulan yang lalu. Pasien hanya
meminum obat ketika ada keluhan
Riwayat diabetes : disangkal

D. Riwayat Keluarga :
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes : disangkal

3
E. Riwayat Kebiasaan
Pasien selama 2 bulan ini rutin mengonsumsi amlodipin, N-acetil
sistein, asam folat, dan kalsium karbonat dari dokter penyakit dalam.
Pasien juga rutin melakukan hemodialisis di RSUD Dr. Moewardi. Pasien
jarang meminum jamu dan tidak pernah meminum-minuman beralkohol.
Pasien juga tidak mengonsumsi obat-obatan yang dibeli sendiri di apotek
maupun warung.

F. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien adalah seorang ibu rumah tangga yang tinggal bersama suami
dan 3 orang anak. Pasien berobat dengan menggunakan fasilitas BPJS.

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Generalis
1. Keadaan umum : tampak sakit sedang, compos mentis E4V5M6,
gizi kesan cukup
Vital Sign : Tekanan darah : 140/80 mmHg
Laju nafas : 20 kali /menit
Nadi : 84 kali /menit
Suhu : 37,6 ᵒC
2. Kepala : dalam batas normal
3. Mata : dalam batas normal
4. Hidung : dalam batas normal
5. Mulut : lihat status dermatologis
6. Leher : dalam batas normal
7. Punggung : lihat status dermatologis
8. Dada : lihat status dermatologis
9. Abdomen : dalam batas normal
10. Genitalia : lihat status dermatologis
11. Ekstremitas atas : lihat status dermatologis
12. Ekstremitas bawah : lihat status dermatologis

4
B. Status Dermatologis
Regio Oris : tampak erosi dengan krusta kehitaman (Gambar 1a).
Regio truncus anterior : patch eritema dan terdapat target like lesion,
multiple diskret (Gambar 1b).

Gambar 1. (a) Regio oris, (b) Regio truncus anterior

5
Regio truncus posterior : patch eritema dan terdapat target like lesion,
multiple diskret (Gambar 2a).
Regio ekstremitas superior : patch eritema dan terdapat target like lesion,
multiple diskret (Gambar 2b).

Gambar 2. (a) Regio truncus posterior, (b) Regio ekstremitas superior

Regio ekstremitas inferior : patch eritema dan terdapat target like lesion,
multiple diskret (Gambar 2d).

Gambar 3. Regio ekstremitas infeior

6
IV. DIAGNOSIS BANDING
A. Drug eruption tipe makulopapuler
B. Eritema multiforme
C. Steven Johnson Syndrome

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan lab darah
Hemoglobin : 7,2 g/dl
Hematokrit : 22 %
Leukosit : 29,8 ribu/ul
Trombosit : 181 ribu/ul
Eritrosit : 2,59 juta/ul
Hitung jenis Leukosit
Eosinofil : 1,10 %
Basofil : 0,10 %
Netrofil : 92,70 %
Limfosit : 2,80 %
Monosit : 3,30 %
Ureum : 116 mg/dl
Kreatinin : 17,7 mg/dl
Elektrolit
Natrium darah : 119 mmol/L
Kalium darah : 6,1 mmol/L
Chlorida darah : 97 mmol/L
B. Patch test tidak dilakukan

VI. DIAGNOSIS KERJA


Drug eruption tipe makulopapuler

7
VII. Plan Terapi
1. Methylprednisolon 32 mg/24 jam dengan pemberian 16 mg pada pukul
08:00 dan 16 mg pada pukul 16.00.
2. Ranitidin tab 150 mg/ 12 jam
3. Cetirizin tab 10 mg/ 24 jam
4. Paracetamol tab 500mg/ 8 jam jika demam
5. Topikal : dexocort 15 g + urea 15 g dioles seluruh tubuh 2 kali sehari
6. Kompres NaCl 0,9 % 2 x 5 menit dilanjutkan dengan pemberian kenalog
2 kali/ hari pada regio oris
7. Konsul bagian Penyakit Dalam

VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad sanam : bonam
Ad fungsionam : bonam
Ad kosmetikam : bonam

8
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Maculopapular drug eruption (sering disebut juga dengan erupsi obat
eksantematosa atau morbiliformis) merupakan jenis erupsi obat yang paling
sering ditemukan. Erupsi makulopapular ditemukan sekitar 95 % dari seluruh
jenis reaksi obat pada kulit. Erupsi biasanya dimulai dari trunkus dan menyebar
ke perifer secara simetris 1,2,3.
Erupsi makulopapular dapat diinduksi oleh hampir semua obat.
Seringkali terdapat erupsi generalisata dan simetris terdiri atas eritema dengan
gejala pruritus. Kadang-kadang ada demam, malaise, dan nyeri sendi. Erupsi
biasanya terjadi dalam waktu 1 minggu inisiasi terapi dan mungkin muncul 1
atau 2 hari setelah terapi obat dihentikan Manifestasi yang timbul pada kulit
dapat disertai ataupun tidak dengan keterlibatan mukosa. Penyakit ini ditandai
dengan erupsi kulit yang menyerupai campak seperti eksantem virus 1,3.

B. Epidemiologi
Erupsi makulopapular merupakan erupsi obat dengan persentase
kejadian tertinggi, terhitung sekitar 95 % dari semua kasus erupsi obat. Ruam
biasanya timbul 7-14 hari setelah paparan awal dari obat pencetus. Biasanya
kelompok umur yang paling sering terkena adalah usia tua 1,4.
Pada sebuah penelitian di Perancis, dari 2067 pasien berusia 20 - 67 tahun
yang datang ke pusat kesehatan untuk pemeriksaan kesehatan dilaporkan
bahwa 14,7% memiliki riwayat efek samping sistemik terhadap satu atau lebih
obat. Penelitian di Swiss dari 5568 pasien rawat inap, 17% diantaranya
mendapatkan efek samping obat. Reaksi obat yang fatal terjadi pada 0,1%
pasien medik dan 0,01% pasien bedah. Obat yang tersering adalah antibiotik
dan obat anti inflamasi non steroid1,4.

9
C. Etiologi
Erupsi makulopapular dapat disebabkan oleh berbagai macam obat-
obatan, termasuk β-laktam ("penisilin"), sulfonamide antimikroba, reverse
transcriptase non-nucleoside inhibitor (misalnya, nevirapin), dan obat anti-
epilepsi3.
Antibiotik, terutama semisintetik penisilin dan trimetoprim-
sulfametoksazol, adalah yang paling sering. Ampisilin dan amoksisilin yang
diberikan pada pasien EBV menyebabkan erupsi makulopapular sebanyak 29-
69% orang dewasa dan 100% pada anak-anak. Trimethoprim-
sulfamethoxazole diberikan kepada pasien AIDS menyebabkan erupsi
makulopapular di sebagian besar pasien (sekitar 40%). Kuinolon tertentu
(gemfloxacin) menyebabkan erupsi makulopapular sebanyak 4% secara
keseluruhan dan 30% di usia muda perempuan5.

D. Patogenesis
Patogenesis belum diketahui secara pasti, tetapi ada dua macam
mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah mekanisme imunologis dan
kedua adalah mekanisme non imunologis. Umumnya erupsi obat timbul karena
reaksi hipersensitivitas berdasarkan mekanisme imunologis. Obat dan
metabolit obat berfungsi sebagai hapten, yang menginduksi antibodi humoral.
Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme non imunologis yang
disebabkan karena toksisitas obat, overdosis, interaksi antara obat dan
perubahan dalam metabolisme3,5,6.
1. Mekanisme imunologis
a. Tipe I (reaksi anafilaksis)
Mekanisme ini paling banyak ditemukan. Yang berperan ialah
IgE yang mempunyai afinitas tinggi terhadap mastosit dan basofil.
Pajanan pertama dari obat tidak menimbulkan reaksi. Tetapi bila
dilakukan pemberian kembali obat yang sama, maka obat tersebut
akan dianggap sebagai antigen yang akan merangsang pelepasan
bermacam-macam mediator seperti histamin, serotonin, bradikinin,

10
dan heparin. Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan
bermacam-macam efek, misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang
paling ditakutkan adalah timbulnya syok6,8,9.
b. Tipe II (reaksi autotoksik)
Adanya ikatan antara IgG dan IgM dengan antigen yang melekat
pada sel. Aktivasi sistem komplemen ini akan memacu sejumlah
reaksi yang berakhir dengan lisis 6,8,9.
c. Tipe III (reaksi kompleks imun)
Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk
kompleks antigen antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap
pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh mengakibatkan reaksi
radang. Aktivasi sistem komplemen merangsang pelepasan berbagai
mediator oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan terjadi kerusakan
jaringan6,8,9.
d. Tipe IV (reaksi alergi seluler tipe lambat)
Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan
adalah antibodi (imunitas humoral), sedangkan pada tipe IV yang
berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai imunitas seluler.
Immunoglobulin tidak terlibat pada reaksi tipe ini. Reaksi ini
melibatkan limfosit T. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan
reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena
baru timbul 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen 6,8,9.

Erupsi makulopapular, eritrodermik, dan fotoalergik merupakan


reaksi tipe IV. Reaksi tipe ini melibatkan limfosit yang spesifik yang juga
terlibat pada purpura, Sindrom Lyell, likenoid, dan erupsi obat yang
menyerupai lupus. Mekanisme tipe IV bersama-sama tipe III terlibat pada
erupsi makulopapular, fixed drug eruption, dan eritema nodusum3,6,8.
Pada kenyataannya, reaksi-reaksi ini tidak selalu berdiri sendiri,
namun dapat bersama-sama. Limfosit T berperan pada inisiasi respons

11
antibodi, dan antibodi bekerja sebagai esensial link pada beberapa reaksi
yang diperantarai sel6,8,9.

Gambar 1. Reaksi hipersensitivitas

2. Mekanisme non imunologis


Reaksi pseudo-alergi menstimulasi reaksi alergi yang bersifat
antibody-dependent. Teori yang ada menyatakan bahwa ada satu atau lebih
mekanisme yang terlibat; pelepasan mediator sel mast dengan cara
langsung, aktivasi langsung dari sistem komplemen, atau pengaruh
langsung pada metabolisme enzim asam arakidonat4.
Efek kedua diakibatkan proses farmakologis obat terhadap tubuh
yang dapat menimbulkan gangguan seperti alopesia yang timbul karena
penggunaan kemoterapi anti kanker. Penggunaan obat-obatan tertentu
secara progresif ditimbun di bawah kulit, dalam jangka waktu yang lama
akan mengakibatkan gangguan lain seperti hiperpigmentasi generalisata
difus7,10.

E. Manifestasi Klinis
Ruam biasanya timbul 7-14 hari setelah paparan awal dari agen
penyebab, dengan makula eritematous dan papula menyebar secara simetris.
Demam dan pruritus dapat pula muncul. Meskipun mukosa biasanya terhindar,
kemerahan tanpa lepuh (blister) mungkin terjadi pada mukosa5,7,8.

12
Distribusi lesi hampir selalu pada tubuh dan ekstremitas yang bersifat
simetris. Lesi konfluen di daerah intertriginosa, yaitu pada ketiak,
selangkangan, dan daerah di bawah payudara. Telapak tangan dan telapak kaki
dapat terlibat juga. Pada anak-anak, hanya terbatas pada wajah dan ekstremitas.
Area wajah, puting, daerah periareolar, dan bekas luka bedah dapat terhindar
dari lesi ini. Reaksi terhadap ampisilin biasanya muncul pada awalnya di siku,
lutut, dan tubuh, yang kemudian meluas secara simetris ke sebagian besar
tubuh10.
Erupsi makulopapular umumnya dapat sembuh sendiri tanpa gejala sisa
yang serius. Lesi berkurang secara cepat setelah pemberhentian konsumsi obat
yang terlibat dan dapat berlanjut ke dermatitis eksfoliatif generalisata jika
penggunaan obat tidak dihentikan3.
Dalam kasus yang melibatkan obat esensial, dapat dilakukan pengobatan
pada erupsi makulopapular tersebut. Namun, erupsi makulopapular ini dapat
menjadi gejala awal dari reaksi yang lebih serius seperti Steven-Johnson
Syndrome dan sindrom hipersensitivitas obat sehingga monitoring ketat sangat
dianjurkan7.

Gambar 2. Tampak makula dan papula yang ukurannya bervariasi dan


bergabung membentuk plak.

13
F. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Dasar penegakan diagnosis pada pasien ini adalah dengan melakukan
anamnesis yang teliti mengenai obat-obatan yang dipakai, kelainan kulit yang
timbul akut atau dapat juga beberapa hari sesudah masuknya obat, rasa gatal
yang dapat pula disertai demam yang biasanya subfebris3,7.
Selain anamnesis yang teliti, diagnosis juga ditegakkan berdasarkan
kelainan kulit yang ditemukan. Bentuk kelainan dapat bermacam macam.
Alergi terhadap satu macam obat dapat memberi gambaran klinis yang
beraneka ragam. Sebaliknya, gambaran klinis yang sama dapat disebabkan oleh
alergi berbagai macam obat3,7.
Penegakan diagnosis harus dimulai dari pendeskripsian yang akurat dari
jenis lesi dan distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya.
Data mengenai semua jenis obat yang pernah dimakan pasien, dosisnya, data
kronologis mengenai cara pemberian obat serta jangka waktu antara pemakaian
obat dengan onset timbulnya erupsi harus ikut dikumpulkan. Tetapi ada
kalanya hal ini sulit untuk dievaluasi, terutama pada penderita yang
mengkonsumsi obat yang mempunyai waktu paruh yang lama atau mengalami
erupsi reaksi obat yang bersifat persisten3,7.

G. Pemeriksaan Penunjang
Biopsi kulit harus dipertimbangkan untuk semua pasien yang berpotensi
reaksi parah, biopsi dapat memperjelas jenis reaksi kulit dan mekanisme
(misalnya, dengan menunjukkan kompleks imun, vaskulitis leukositoklastik,
atau eosinofilia). Namun, sering kurang membantu untuk menentukan reaksi
kulit yang terinduksi obat maupun untuk mengidentifikasi agen penyebab 3,7.
Beberapa penyelidikan invitro dapat membantu untuk mengkonfirmasi
penyebab dalam kasus-kasus individu, tetapi sensitivitas dan spesifisitas tetap
tidak jelas. Pemeriksaan meliputi toksisitas limfosit dan transformasi limfosit
assays. Tes uji aktivasi basofil telah dilaporkan berguna untuk mengevaluasi
pasien dengan kemungkinan alergi obat β-laktam antibiotik, NSAID, dan obat

14
relaksan otot . Tes uji penisilin dengan penentu major dan minor berguna untuk
konfirmasi reaksi cepat hipersensitivitas IgE-mediated untuk penisillin. Patch
test telah digunakan pada pasien dengan erupsi makulopapular yang diinduksi
ampisilin. Patch test memiliki sensitivitas yang lebih besar jika dilakukan pada
daerah kulit yang lebih banyak dari sebelumnya3,7.

H. Diagnosis Banding
Yang termasuk dalam erupsi makulopapular adalah measles, sifilis
sekunder, pitiriasis rosea atipikal, eritroderma, dan dermatitis kontak alergi1,8.
1. Measles1
Ruam ini morbiliformis (yang berarti " seperti campak- "), istilah
yang sering digunakan untuk menggambarkan exanthematous akibat
erupsi obat, dan biasanya gatal. Tidak seperti kebanyakan erupsi obat,
ruam terlihat pada campak sering dimulai pada kepala dan leher dan
menyebar dengan cepat. Ini biasanya dimulai beberapa hari setelah
timbulnya demam, batuk, coryza, dan konjungtivitis. Bintik-bintik putih
pada mukosa bukal (bintik Koplik) membantu menegakkan diagnosis.
ruam atipikal atau yang khas dapat terjadi pada orang dewasa yang
divaksinasi sebelumnya, terutama mereka yang divaksin saat dewasa atau
yang tidak lengkap divaksinasi.

Gambar 3. Measles dan bintik komplik

15
2. Sifilis sekunder8
Biasanya sifilis sekunder timbul setelah enam sampai delapan
minggu sejak sifilis primer dan sebanyak sepertiga kasus masih disertai
sifilis primer. Lama sifilis sekunder dapat sampai sembilan bulan. Berbeda
dengan dengan sifilis primer I yang tanpa disertai gejala konstitusi, pada
sifilis sekunder dapat disertai gejala tersebut.
Kelainan kulit dapat menyerupai berbagai penyakit kulit sehingga
disebut the great imitator. Selain memberi kelainan pada kulit, sifilis
sekunder dapat juga memberi kelainan pada mukosa, kelenjar getah
bening, mata, hepar, tulang, dan saraf. Kelainan kulit yang membasah
(eksudatif) pada sifilis sekunder sangat menular, kelainan yang kering
kurang menular.
Gejala yang penting untuk membedakannya dengan berbagai
penyakit kulit yang lain yaitu kelainan kulit pada sifilis sekunder
umumnya tidak gatal sering disertai limfadenitis generalisata. Bentuk lesi
yang dapat berbentuk roseola, roseola ialah eritema makular, berbintik-
bintik atau berbercak-bercak, warnanya merah tembaga, bentuknya bulat
atau lonjong. Lokasinya generalisata dan simetrik, telapak tangan dan kaki
ikut dikenai. Disebut pula eksantema karena timbulnya cepat dan
menyeruluh.

Gambar 4. Sifilis sekunder. Tampak makula eritem, papul, generalisata


dan simetrik.

16
3. Pitriasis rosea atipikal1
Pitiriasis rosea adalah penyakit kulit yang belum diketahui
penyebabnya, dimulai dengan sebuah lesi inisial berbentuk eritema dan
skuama halus. Penderita mengeluh gatal ringan, pitiriasis berarti skuama
halus. Penyakit dimulai dengan skuama pertama (herald patch), umumnya
di badan, soliter, berbentuk oval dan anular, ruam terdiri atas eritema dan
skuama halus di pinggir. Lesi berikutnya timbul 4-10 hari setelah lesi
pertama, memberi gambaran khas sama dengan lesi pertama hanya lebih
kecil, susunannya sejajar dengan costa, hingga menyerupai pohon cemara
terbalik.

Gambar 5. Pitiriasis rosea. Tampak eritema, papul, skuama halus,


solitar, berbentuk oval dan anular.

4. Eritroderma (Paz et al., 2012)


Eritroderma ialah kelainan kulit yang ditandai dengan adanya
eritema universal (90%-100%) biasanya disertai skuama. Pada definisi
tersebut yang mutlak harus ada ialah eritema, sedangkan skuama tidak
selalu terdapat, ,misalnya pada eritroderma karena alergi obat secara
sistemik, gambaran klinisnya eritema universal, awalnya tidak disertai
skuama, baru kemudian pada stadium penyembuhan timbul skuama.

17
Gambar 6. Eritroderma tampak eritema yang biasa disertai skuama pada
stadium penyembuhan.
5. Dermatitis kontak alergi1
Penyebab dermatitis kontak alergi adalah bahan kimia sederhana
dengan berat molekul umumnya rendah (<1000 dalton), dapat menembus
stratum korneum sehingga mencapai sel epidermis di bawahnya (sel
hidup). Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung
pada keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang akut dimulai
dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema,
papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah
menimbulkan erosi dan eksudasi (basah).

Gambar 7. Dermatitis kontak alergi. Tampak makula eritema, edema,


dan infiltrat.

18
I. Penatalaksanaan
Manajemen utama untuk pasien suspek erupsi obat adalah segera
hentikan pengobatan yang menyebabkan erupsi. Untuk gejala yang timbul
pasien dapat diberi pengobatan sistemik dan topikal (Shear et al., 2008; Riedl
dan Casillas, 2003).
1. Sistemik3,4
a. Kortikosteroid
Prednison (1 tablet = 5 mg). Dosis standar untuk orang dewasa
ialah 3 x 10 mg prednison/hari. Pada eritodermia dosisnya ialah 3 x
10 mg sampai 4 x 10 mg sehari. Dosis predsinon mulai 1-2
mg/kgBB/hari diberikan jika gejala hebat.
b. Antihistamin
Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika
terdapat rasa gatal kecuali pada urtikaria, efeknya kurang kalau
dibandingkan dengan kortikosteroid. Antihistamin sedatif seperti
diphenhydramine dan hydroxyzine. Dosis pemakaian adalah oral 4 x
25-50 mg sehari, i.v. 10-50 mg
2. Topikal10
Kulit kering seperti pada eritema dan urtikaria diberikan bedak,
contohnya: bedak salisilat 2% ditambah obat antipruritus, misalnya mentol
0,5-1% untuk mengurangi rasa gatal. Kalau keadaan basah perlu
digunakan kompres, misalnya kompres larutan salisilat 1%. Pada
eksantema fikstum jika kelainan membasah dapat diberi kompres dan jika
kering dapat diberi krim kortikosteroid, misalnya krim hidrokortison 1 %
atau 2,5 %. Glukokortikoid topikal tidak dapat digunakan pada wajah dan
daerah intertriginosa. Juga dapat mengurangi tanda dan gejala seperti
ruam.

19
J. Pencegahan
Pasien harus menghentikan pemakaian obat spesifik yang menginduksi
reaksi hipersensitivitas. Erupsi obat makulopapular mungkin berulang jika
obatnya diberikan lagi. Untuk itu dokter perlu menasihati pasien agar pasien
mengerti tentang alerginya3.

K. Prognosis
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan membaik bila obat
penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada
beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan berupa sindrom Lyell dan
Steven-Johnson Syndrome, prognosis sangat tergantung pada luas kulit yang
terkena. Prognosis buruk bila kelainan meliputi 50-70 % permukaan kulit7,11.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Stern RS. Exanthematous drug eruption. N Engl J Med. 2012; 366(26): 2492-
501.
2. Lehloenya RJ. Approaching Cutaneous Adverse Drug Reactions. Lesotho
Medical Association Journal2011;9:12-13.
3. Shear Neil H, Knowles Sandra R, Shapiro Lori. Cutaneous Reaction of Drug .
In: Klauss Wolff, et al, editors. Fitzspatrick's Dermatology in General
Medicine. 8thed. USA: McGraw-Hill; 2008.Vol 1 p. 449-457.
4. Riedl M, Cassilas A.M. Adverse Drug Reactions: Types and Treatment
Options. Am Fam Physician 2003;68:1781-90.
5. William James D, Berger Timothy G, Elston Dirk M. Drug Reactions. In:
Hodgson Sue, BowleKaren, editors. Andrew’s Diseases of the skin : Clinical
Dermatology. 11th ed. USA: Elsevier; 2011.
6. Hausmann O, Schnyder B, Pichler WJ. Etiology and pathogenesis of advers
drug reaction. Chem Immunol Allergy. 2012; 97(4): 32-46.
7. Callen JP, Horn TD, Mancini AJ, Salasche SJ, Schaffer JV, Schwarz Thomas,
et al. Drug Reactions. In: J. L. Bolognia, J. L. Jorizzo and R. P. Rapini, editors.
Dermatology. 2nd ed. USA: Mosby Elsevier; 2008.vol 1.
8. Paz M, Costanedo T, Zug KA. Alergic contact dermatitis In: Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, editors. Fitzpatrick’s
dermatology in general medicine. 8th ed. New York: Mc Graw Hill; 2012.
9. Phillips EJ, Mallal SA. P1harmacogenetics of drug hypersensitivity.
Pharmacogenomics, 2010;11:973-87.
10. Hamzah, Mochtar: Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah and Siti Aisah, editors.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009.
11. Yang J, Yang X, Li M. Peripheral blood eosinophil counts predict the prognosis
of drug eruptions. J Invest Allergol Clin Immunol. 2013; 24 (4): 248-55.

21

Você também pode gostar