Você está na página 1de 18

KEADAAN INDONESIA PADA

MASA REFORMASI

Nama anggota kelompok :


A.Kayla Alika Nayasmara Punagi
Andira Marsha Fadillah
Aryanti Agustin Sardi
Ayu Lestari Syamsur
Gaitsha Zahira Chaerunnisa Laoris
Indah Dwi Anugrah
Kayza Aaliyah Salizha Saleh
Lidya Venesia Rumbu
Modena Azalia
Maharani Abtar
Salsabila Dwi Resky Alamanda
A.Keadaan Politik Indonesia Pada Masa Reformasi
1. Masa Pemerintahan B.J. Habibie
Presiden ketiga Republik Indonesia hanya menjabat selama 1 tahun 5 bulan.
Meskipun sebentar, kepemimpinan Pak Habibie berhasil menyelamatkan
krisis moneter yang terjadi pada masa orde baru. Dan pemerintahannya
membentuk kabinet reformasi pembangunan. Kemudian menelurkan
beberapa kebijakan di bidang politik .
Berikut inilah upaya-upaya bidang politik yang dilakukan oleh pemerintahan
Habibie:

 Mengganti 5 paket undang-undang dan 3 di antaranya diubah agar


lebih demokratis
 Kebebasan rakyat dalam menyalurkan aspirasi
 Melakukan pencabutan terhadap pembredelan pers
 Jejak pendapat wilayah Timor-timur
 Memberikan abolisi (Hak kepala Negara untuk menghapuskan hak
tuntutan pidana) kepada 18 tahanan dan narapidana politik (orang-
orang yang pernah mengkritik presiden).
 Pengurangan jumlah anggota ABRI di MPR, dari 75 orang menjadi 38
orang.
 Polri memisahkan diri dari ABRI menjadi Kepolisian RI. Istilah ABRI
berubah menjadi TNI.

2. Masa Pemerintahan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Gus Dur menjabat mulai dari tahun 1999 sampai 2001. Terpilihnya Gus Dur
sebagai presiden tidak terlepas dari peran MPR yang pada saat itu menolak
laporan pertanggungjawaban Presiden Habibie. Akhirnya, Gus Dur
terpilih jadi presiden melalui dukungan partai-partai islam yang menjadi poros
tengah. Sedangkan wakilnya, dimenangkan oleh Megawati Soekarnoputri
yang berhasil mengalahkan Hamzah Haz. Kemudian dilantik pada 21 Oktober
1999.
Setelah menjabat, pemerintahan Presiden Gus Dur mengelurkan beberapa
kebijakan politik, beberapa di antarnya adalah:

 Departemen Penerangan dibubarkan, dianggap mengganggu


kebebasan pers.
 Departemen Sosial dibubarkan, dianggap sebagai sarang korupsi.
 Menyetujui penggantian nama Irian Jaya menjadi Papua pada akhir
Desember 1999.
 Masyarakat etnis Tionghoa diperbolehkan untuk beribadah dan
merayakan tahun baru imlek.
 Diumumkannya nama-nama menteri Kabinet Persatuan Nasional yang
terlibat KKN.
 Pencabutan peraturan mengenai larangan terhadap PKI dan
penyebaran Marxisme dan Leninisme.
 Membekukan MPR dan DPR.

B.Keadaan Ekonomi Indonesia Pada Masa Reformasi

BJ Habibie (1998-1999)

PEMERINTAHAN Presiden Baharuddin Jusuf Habibie dikenal sebagai rezim

transisi. Salah satu tantangan sekaligus capaiannya adalah pemulihan kondisi

ekonomi, dari posisi pertumbuhan minus 13,13 persen pada 1998 menjadi

0,79 persen pada 1999.

Habibie menerbitkan berbagai kebijakan keuangan dan moneter dan

membawa perekonomian Indonesia ke masa kebangkitan. Kurs rupiah juga

menguat dari sebelumnya Rp 16.650 per dollar AS pada Juni 1998 menjadi

Rp 7.000 per dollar AS pada November 1998.

Pada masa Habibie, Bank Indonesia mendapat status independen dan keluar

dari jajaran eksekutif.


Abdurrahman Wahid (1999-2001)

ABDURRAHMAN Wahid alias Gus Dur meneruskan perjuangan Habibie

mendongkrak pertumbuhan ekonomi pasca krisis 1998. Secara perlahan,

ekonomi Indonesia tumbuh 4,92 persen pada 2000.

Gus Dur menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah.

Pemerintah membagi dana secara berimbang antara pusat dan daerah.

Kemudian, pemerintah juga menerapkan pajak dan retribusi daerah. Meski

demikian, ekonomi Indonesia pada 2001 tumbuh melambat menjadi 3,64

persen.

Megawati Soekarnoputri (2001-2004)

Pada masa pemerintahan Megawati, pertumbuhan ekonomi Indonesia secara

bertahap terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2002, pertumbuhan

Indonesia mencapai 4,5 persen dari 3,64 persen pada tahun

sebelumnya.Kemudian, pada 2003, ekonomi tumbuh menjadi 4,78 persen. Di

akhir pemerintahan Megawati pada 2004, ekonomi Indonesia tumbuh 5,03

persen.Tingkat kemiskinan pun terus turun dari 18,4 persen pada 2001, 18,2

persen pada 2002, 17,4 persen pada 2003, dan 16,7 persen pada 2004.

"Saat itu mulai ada tanda perbaikan yang lebih konsisten. Kita tak bisa

lepaskan bahwa proses itu juga dipengaruhi politik. Reformasi politik juga

mereformasi ekonomi kita," kata Lana.

Perbaikan yang dilakukan pemerintah saat itu yakni menjaga sektor

perbankan lebih ketat hingga menerbitkan surat utang atau obligasi secara

langsung.Saat itu, kata Lana, perekonomian Indonesia mulai terarah kembali.

Meski tak ada lagi repelita seperti di era Soeharto, namun ekonomi Indonesia

bisa lebih mandiri dengan tumbuhnya pelaku-pelaku ekonomi.


Soesilo Bambang Yudhoyono (2004-2014)

Meski naik-turun, pertumbuhan ekonomi Indonesia di bawah kepemimpinan

Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) relatif stabil. Pertumbuhan Indonesia

cukup menggembirakan di awal pemerintahannya, yakni 5,69 persen pada

2005.

Pada 2006, pertumbuhan ekonomi Indonesia sedikit melambat jadi 5,5

persen. Di tahun berikutnya, ekonomi Indonesia tumbuh di atas 6 persen,

tepatnya 6,35 persen.

Lalu, pada 2008, pertumbuhan ekonomi masih di atas 6 persen meski turun

tipis ke angka 6,01 persen. Saat itu, impor Indonesia terbilang tinggi. Namun,

angka ekspor juga tinggi sehingga neraca perdagangan lumayan berimbang.

Pada 2009, di akhir periode pertama sekaligus awal periode kedua

kepemimpinan SBY, ekonomi Indonesia tumbuh melambat di angka 4,63

persen.

Pada 2009, di akhir periode pertama sekaligus awal periode kedua

kepemimpinan SBY, ekonomi Indonesia tumbuh melambat di angka 4,63

persen.

Perlambatan tersebut merupakan dampak krisis finansial global yang tak

hanya dirasakan Indonesia tetapi juga ke negara lain. Pada tahun itu, Bank

Sentral Amerika Serikat (The Fed) menaikkan suku bunga yang membuat

harga komoditas global naik.

"Saat Bank Sentral AS menarik dana dari publik, tidak injeksi lagi, harga

komoditas melambat lagi. Kita mulai keteteran," kata Lana. "Ekspor kita

memang tinggi, tapi impornya lebih tinggi," tambah dia.

Meski begitu, Indonesia masih bisa mempertahankan pertumbuhan ekonomi

walaupun melambat. Pada tahun itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia masuk

tiga terbaik di dunia.


Lalu, pada 2010, ekonomi Indonesia kembali tumbuh dengan capaian 6,22

persen. Pemerintah juga mulai merancang rencana percepatan

pembangunan ekonomi Indonesia jangka panjang.

Pada 2011, ekonomi Indonesia tumbuh 6,49 persen, berlanjut dengan

pertumbuhan di atas 6 persen pada 2012 yaitu di level 6,23 persen. Namun,

perlambatan kembali terjadi setelah itu, dengan capaian 5,56 persen pada

2013 dan 5,01 persen pada 2014.

Joko Widodo (2014-Sekarang)

Pada masa pemerintahannya, Joko Widodo atau yang lebih akrab disapa

Jokowi merombak struktur APBN dengan lebih mendorong investasi,

pembangunan infrastruktur, dan melakukan efisiensi agar Indonesia lebih

berdaya saing.

Namun, grafik pertumbuhan ekonomi Indonesia selama empat tahun masa

pemerintahan Jokowi terus berada di bawah pertumbuhan pada era SBY.

Pada 2015, perekonomian Indonesia kembali terlihat rapuh. Rupiah terus

menerus melemah terhadap dollar AS. Saat itu, ekonomi Indonesia tumbuh

4,88 persen.

"Defisit semakin melebar karena impor kita cenderung naik atau ekspor kita

yang cenderung turun," kata Lana.

Di era Jokowi kata Lana, arah perekonomian Indonesia tak terlihat jelas.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) seolah hanya

sebagai dokumen tanpa pengawasan dalam implementasinya.

Dalam kondisi itu, tak diketahui sejauh mana RPJMN terealisasi. Ini tidak

seperti repelita yang lebih fokus dan pengawasannya dilakukan dengan baik

sehingga bisa dijaga.

Pada 2016, ekonomi Indonesia mulai terdongkrak tumbuh 5,03 persen.

Dilanjutkan dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2017 sebesar 5,17.


Berdasarkan asumsi makro dalam APBN 2018, pemerintah memprediksi

pertumbuhan ekonomis 2018 secara keseluruhan mencapai 5,4 persen.

Namun, pertumbuhan ekonomi di kuartal I-2018 ternyata tak cukup

menggembirakan, hanya 5,06 persen.

Sementara pada kuartal II-2018, ekonomi tumbuh 5,27 persen dibandingkan

periode yang sama tahun lalu. Hanya ada sedikit perbaikan dibandingkan

kuartal sebelumnya.

Pada Senin (5/11/2018), BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi

Indonesia pada kuartal III-2018 sebesar 5,17 persen, malah melambat lagi

dibandingkan kuartal sebelumnya.

Untuk kuartal IV-2018, pertumbuhan ekonomi diprediksi meleset dari asumsi

APBN. Bank Indonesia, misalnya, memprediksi pertumbuhan Indonesia

secara keseluruhan pada 2018 akan berada di batas bawah 5 persen.

C.Perkembangan Pendidikan Indonesia Pada Masa Reformasi


A. Proses Pendidikan

Reformasi pendidikan merupakan hukum alam yang akan mencari


jejaknya sendiri, khususnya memasuki masa milenium ketiga yang
mengglobal dan sangat ketat dengan persaingan. Agar kita tidak mengalami
keterkejutan budaya dan merasa asing dengan dunia kita sendiri, refleksi
pendidikan ini setidaknya merupakan sebuah potret diri agar dikemudian hari
kita tidak lupa dengan wajah diri kita sendiri (Suyanto & Hisyam, 2000: 2).
Perubahan yang sangat menonjol pada era reformasi adalah
dilaksanakannya otonomi daerah sebagai implementasi dari UU No. 22/1999
tentang pemerintahan daerah. Lebih lanjut, tantangan yang berkaitan dengan
regulasi adalah kondisi UU No. 2/1989 tentang sistem pendidikan nasional
(UU SPN) yang menganut manajemen pendidikan sentralistis/k dan masih
lebih menitikberatkan penyelenggaraan pendidikan pada pemerintah, yang
tidak lagi sesuai dengan prinsip otonomi daerah.
Dari segi kualifikasi tenaga guru di Indonesia masih jauh dari harapan.
Hal ini ditunjukkan oleh statistik sebagai berikut: dari jumlah guru SD
sebanyak 1.141.161 orang, 53% diantaranya berkualifikasi D-II atau
statusnya lebih rendah. Dari jumlah guru SLTP sebanyak 441.174 orang, 36%
berkualifikasi D-II atau lebih rendah, 24,9% berijasah D-III kemudian dari
346.783 orang guru sekolah menengah, sebanyak 32% masih berkualifikasi
D-III atau lebih rendah statusnya. Sementara itu pengangkatan tenaga
pendidik yang baru setiap tahun hanya dipenuhi 25% dari usulan kebutuhan
akan tenaga pendidik (Soearni, 2003: 396 – 397).
Implikasi dari situasi bangsa Indonesia seperti itu adalah dalam waktu
kurang dari satu dasawarsa ini sering terjadi pergantian kabinet sesuai
dengan presiden yang berkuasa. Hal ini tentu saja membawa dampak secara
tidak langsung terhadap sistem pendidikan di Indonesia. Pergantian kabinet,
termasuk menteri pendidikan nasional dapat berdampak seringnya terjadi
pergantian kurikulum pendidikan yang diterapkan di seluruh Indonesia.

B. Periodesasi Pemerintahan

Pada era pemerintahan Habibie masih menggunakan kurikulum 1994


yang disempurnakan sampai pada masa pemerintahan Gus Dur. Pada masa
pemerintahan Megawati terjadi beberapa perubahan tatanan di bidang
pendidikan, antara lain :
a. Dirubahnya kurikulum 1994 menjadi kurikulum 2000 dan akhirnya
disempurnakan menjadi kurikulum 2002 (KBK). KBK atau Kurikulum Berbasis
Kompetensi merupakan kurikulum yang pada dasarnya berorientasi pada
pengembangan tiga aspek utama, antara lain aspek afektif (sikap), kognitif
(pengetahuan) dan psikomotorik (ketrampilan).
b. Pada tanggal 8 juli 2003 disahkannya Undang – undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang memberikan dasar hukum
untuk membangun pendidikan nasional dengan menerapkan prinsip
demokrasi, desentralisasi, otonomi, keadilan dan menjunjung Hak Asasi
Manusia.
Menurut Lembaran Negara Nomor 4301 Pendidikan dalam UU
Republik Indonesia No. 20/2003, pembaharuan sistem pendidikan nasional
dilakukan untuk memperbaharui visi, misi dan strategi pembangunan
pendidikan nasional. Visi dari pendidikan nasional adalah terwujudnya sistem
pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk
memberdayakan semua warga Negara Indonesia berkembang menjadi
manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan
zaman yang selalu berubah. Adapun misi dari pendidikan nasional adalah
sebagai berikut :
a. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperleh
pendidikan dan bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia.
b. Membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara
utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan
masyarakat belajar.
c. Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk
mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral.
d. Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan
sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, ketrampilan, pengalaman,
sikap dan nilai berdasarkan standar nasional dan global.
e. Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Kemudian setelah Megawati turun dari jabatannya dan digantikan oleh
Susilo Bambang Yudhoyono, UU No. 20/2003 masih tetap berlaku, namun
pada masa SBY juga ditetapkan UU RI No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen.
Penetapan Undang – undang tersebut disusul dengan pergantian kurikulum
KBK menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum ini
berasaskan pada PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. KTSP merupakan kurikum operasional yang disusun dan
dilaksanakan oleh masing – masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari
tujuan pendidikan, tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum
tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan serta silabus (BSNP, 2006: 2).
KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip sebagai berikut :
a. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan kepentingan pesrta
didik serta lingkungan.
b. Beragam dan terpadu.
c. Tanggapan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
d. Relevan dengan kebutuhan kehidupan.
e. Menyeluruh dan berkesinambungan.
f. Belajar sepanjang hayat.
g. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah

Tujuan pendidikan KTSP :

a. Untuk pendidikan dasar, diantaranya meletakkan dasar kecerdasan,


pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta ketrampilan untuk hidup
mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
b. Untuk pendidikan menengah, meningkatkan kecerdasan, pengetahuan,
kepribadian, akhlak mulia serta ketrampilan untuk hidup mandiri dan
mengikuti pendidikan lebih lanjut.
c. Untuk pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta ketrampilan untuk hidup
mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.

D.Keadaan Sosial Budaya Pada Masa Reformasi

Perkembangan sosial budaya pada masa reformasi sangat bisa dikatakan


sebagai perkembangan terburuk karena pada masa reformasi,banyak dari
rakyat Indonesia maupun bangsa pendatang yang bersikap etnosentrisme
atau bersikap bahwa sukunya sendiri yang paling hebat sehingga terjadi
banyak peristiwa buruk seperti pengusiran massal oleh rakyat Indonesia
terhadap minoritas pendatang etnis Cina karena karena beranggapan bahwa
seharusnya yang mengendalikan perekonomian Indonesia dipegang oleh
bangsa sendiri.Selain itu perkembangan sosial budaya sempat menjadi topik
utama karena adanya hari memperingati meninggalnya 4 mahasiswa Trisakti
yang ikut berdemo saat Reformasi 1998 menyebabkan para mahasiswa dari
berbagai kalangan Indonesia merasa kecewa terhadap pemerintah Indonesia
dan harus mempertanggungjawabkan nasib rakyatnya.

E.Keadaan Pertahanan dan Keamanan Pada Masa Reformasi


Di bidang pertahanan keamanan, berbagai undang-undang lama dinyatakan
tidak berlaku dan diganti dengan undang-undang baru. Saat ini sekurang-
kurangnya berlaku tiga undang-undang yang sangat penting dalam
pengaturan bidang pertahanan keamanan, yakni UU No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara, UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan
Negara, dan UU No, 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Sebagai instrumen pengatur bidang pertahanan keamanan, ke tiga undang-
undang tadi semestinya mengatur pula penanganan keamanan negara dalam
menghadapi ancaman bersenjata yang aktor-aktornya dilakukan oleh warga
negara Indonesia sendiri, atau yang lazim disebut sebagai ancaman dari
dalam negeri. Upaya mewujudkan keamanan negara untuk menghadapi
ancaman tersebut dalam tulisan ini disebut Keamanan Dalam Negeri
(Kamdagri). Dalam ruang lingkup itulah tulisan ini disusun sebagai
sumbangan pemikiran dalam rangka evaluasi sepuluh tahun reformasi TNI.

Ancaman Bersenjata dari Dalam Negeri


Keamanan negara adalah terjaga dan terlindunginya kedaulatan negara,
keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan
bangsa Indonesia. Dalam konteks ini yang dimaksud adalah keamanan atas
suatu entitas sistem yang di dalamnya sekurang-kurangnya terdapat sistem
pemerintahan, sistem teritorial, dan sistem warga negara. Berdasarkan UU
No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, upaya menjaga dan
melindungi keamanan negara disebut dengan istilah pertahanan negara.
Lengkapnya, UU No. 3 Tahun 2002 pasal 4 menyatakan : Pertahanan negara
bertujuan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap
bangsa dari segala bentuk ancaman.

Dengan kata lain, upaya pertahanan negara diperlukan agar Negara


Kesatuan Republik Indonesia terjaga dan terlindungi dari ancaman
terhadapnya, baik yang berasal dari luar negeri maupun dari dalam negeri.
Yang dimaksud ancaman dari dalam negeri tentu tidak berarti ancaman yang
sepenuhnya berasal, atau dilakukan oleh kekuatan-kekuatan dari dalam
negeri saja, karena secara empirik dapat dibuktikan bahwa pemberontakan-
pemberontakan bersenjata biasanya mendapat dukungan dari kekuatan di
luar negeri. Dukungan yang diberikan dapat berupa dukungan politik,
dukungan dana, bahkan dukungan persenjataan. Kekuatan luar negeri juga
tidak selalu berarti menunjuk kepada negara tertentu. Kekuatan tersebut
dapat saja merupakan lembaga-lembaga yang tidak merepresentasikan
pemerintah negara tertentu di mana lembaga tersebut berada. Sejarah telah
membuktikan hal itu. Seperti misalnya, pemberontakan PRRI di Sumatera
Barat pada akhir tahun 1950-an, pemberontak G-30-S/PKI pada tahun 1965,
dan pemberontakan Gerakan Separatis Aceh yang menyebut dirinya Gerakan
Aceh Merdeka. Ancaman-ancaman tersebut dikatakan berasal dari dalam
negeri, karena aktor-aktor utamanya adalah warga Indonesia sendiri, sedang
para pendukung dari luar negeri hampir-hampir tidak pernah menyatakan
dukungannya secara terang-terangan.

Ancaman dari dalam negeri merupakan masalah keamanan yang banyak


dihadapi oleh negara-negara berkembang. Sejarah Indonesia juga mencatat
bahwa operasi-operasi militer yang dilakukan oleh TNI sebagian terbesar
adalah operasi-operasi militer untuk mengatasi ancaman dari dalam negeri.
Operasi militer yang dilakukan oleh TNI menghadapi kekuatan militer negara
lain baru dua kali dilaksanakan, yaitu ketika peristiwa Agresi Militer Belanda I
pada tanggal 21 Juli 1947 dan peristiwa Agresi Militer Belanda II pada tanggal
19 Desember 1948. Bahwa ancaman dari dalam negeri dihadapi oleh banyak
negara berkembang tentu dapat dipahami, karena sebagai negara yang
sedang berkembang, belum sepenuhnya mampu menciptakan kesejahteraan,
pemerataan pendapatan, pelayanan publik, keadilan dan lain-lain,
sebagaimana diharapkan oleh seluruh rakyatnya. Oleh sebab itu, di negara
yang sedang berkembang sering muncul rasa tidak puas dari berbagai
kelompok masyarakatnya. Rasa ketidak-puasan tersebut merupakan kondisi
yang sangat mudah tereskalasi menjadi pembangkangan terhadap tatanan
yang telah ada, terlebih lagi bila ada yang memprovokasi dengan berbagai
latar belakangnya, mungkin berlatar belakang ideologi, politik, ekonomi,
maupun sosial budaya. Wujud pembangkangan yang terburuk adalah
pemberontakan bersenjata yang dapat berupa pemisahan diri (separatis),
penggantian ideologi negara, atau penggantian pemerintah secara tidak sah.
Bagi Indonesia, analisa terhadap kemungkinan munculnya ancaman dari
dalam negeri kiranya harus mendapat perhatian yang lebih seksama. Bukan
hanya karena alasan sejarah semata, tetapi juga karena kondisi serta ciri
geografis dan demografis Indonesia. Kondisinya jelas sebagai negara yang
sedang berkembang, geografinya merupakan wilayah negara yang berbentuk
kepulauan, dan demografinya bercirikan heterogenitas baik suku, budaya,
agama dan lain-lain, kesemuanya itu adalah faktor-faktor yang berpotensi
dapat memunculkan ancaman dari dalam negeri, terlebih lagi dengan
letaknya di posisi silang dan sumber kekayaan alam yang banyak terkandung
di dalamnya. Dapat dipastikan banyak negara lain, terutama negara maju,
yang berkepentingan terhadap Indonesia. Dalam istilah taktik militer, posisi
Indonesia adalah berada atau sudah "menduduki" medan kritik, persoalannya
tinggal apakah juga sudah atau mampu "menguasai". Bila Indonesia
menguasai medan kritik ini, dapat dipastikan akan banyak negara lain yang
kepentingan nasionalnya tergantung kepada Indonesia, dan ketergantungan
itu tentu tidak dikehendaki, terlebih lagi oleh negara-negara maju. Itulah
barangkali salah satu alasan mengapa selalu ada dukungan dari luar negeri
kepada berbagai pemberontakan yang pernah terjadi di Indonesia.

Mengalir dari uraian singkat tadi, maka bagi Indonesia, kemungkinan


munculnya ancaman bersenjata dari dalam negeri harus senantiasa
diperhitungkan dalam rangka menjaga kedaulatan negara, keutuhan wilayah,
dan keselamatan bangsa. Kamdagri harus menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari upaya pertahanan sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 3
Tahun 2002.

Keamanan Dalam Negeri


Di masa lalu, sebelum reformasi, Operasi Keamanan Dalam Negeri
(Opskamdagri) dipahami sebagai salah satu bentuk pola operasi militer,
yakni, pola operasi militer untuk menghadapi ancaman bersenjata dari dalam
negeri. Hal itu didasarkan pada pengertian bahwa ancaman yang dihadapi
adalah ancaman terhadap Keamanan Negara, yakni kedaulatan dan
keutuhan wilayah. Namun setelah reformasi, digunakan istilah Keamanan
Dalam Negeri yang tidak diartikan sebagai Keamanan Negara, tetapi sebagai
Keamanan Publik. Sebagai akibatnya maka penggunaan istilah Opskamdagri
sebagai operasi militer menjadi tidak tepat, karena Keamanan Publik adalah
fungsi kepolisian. Sebagaimana UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara, pasal 1 huruf 6, menyatakan bahwa : Keamanan dalam negeri
adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya keamanan dan
ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, serta terselenggaranya
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dengan
belum dirumuskannya kembali Opskamdagri dalam pengertian militer, maka
penanganan Keamanan Dalam Negeri sering dipahami secara berbeda-
beda.

Perbedaan pemahaman tentang Kamdagri semakin mencuat ketika oleh


sementara pihak Pertahanan diartikan hanya sebagai upaya menghadapi
ancaman dari luar negeri (militer negara lain), sedangkan Keamanan adalah
upaya menghadapi ancaman yang berasal dari dalam negeri. Karena militer
(baca: TNI) adalah alat pertahanan, maka tugas TNI adalah menghadapi
ancaman bersenjata dari luar negeri saja, sedangkan ancaman yang berasal
dari dalam negeri adalah tugas Polisi. Pemisahan secara "hitam-putih"
semacam itu jelas sangat menyederhanakan permasalahan, sehingga sering
menimbulkan persoalan dalam pelaksanaannya di lapangan. Pemahaman
bahwa tugas TNI hanya menghadapi ancaman dari luar negeri, tampaknya
adalah pemahaman yang diadopsi demikian saja dari faham yang dianut oleh
negara-negara maju. Bahwa negara maju menganut faham tersebut kiranya
bisa dimengerti, karena negara maju tidak pernah, atau kecil
kemungkinannya, menghadapi ancaman bersenjata dari dalam negeri
terhadap Keamanan Negara-nya. Sejauh ini, pengertian bahwa tugas TNI
tidak hanya menghadapi ancaman militer/bersenjata dari luar negeri
tampaknya masih belum dapat diterima oleh banyak pihak. Padahal, UU No.
34 Tahun 2004 tentang TNI Pasal 6 secara eksplisit menyatakan bahwa
fungsi TNI sebagai Penangkal dan Penindak adalah untuk menghadapi
ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri.
Adanya pemisahan secara "hitam-putih" tersebut berawal terutama sejak
pemisahan Polri dari struktur organisasi ABRI berdasarkan Ketetapan MPR
No.VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR No.VII/MPR/2000. Tap MPR
No.VI/MPR/2000 Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan: Tentara Nasional Indonesia
adalah alat negara yang berperan dalam pertahanan negara. Sedangkan
Ayat (2) : Kepolisian Negara RI adalah alat negara yang berperan dalam
bidang keamanan negara. Dari ke dua ayat tersebut tentu dapat diartikan
bahwa fungsi pertahanan dan fungsi keamanan adalah dua hal yang terpisah.
Namun keterpisahan itu tidak jelas, karena tidak ada penjelasan tentang apa
yang dimaksud "pertahanan" dan apa yang dimaksud "keamanan". Sedikit
penjelasan ada pada Ketetapan MPR No.VII/MPR/2000 pasal 2 Ayat (2) dan
Pasal 6 Ayat (1). Tap MPR No.VII/MPR/2000 Pasal 2 Ayat (2) menyatakan
bahwa : Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan negara bertugas
pokok menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari
ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Sedangkan
Tap MPR No.VII/MPR/2000 pasal 6 Ayat (1) : Kepolisian Negara RI
merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman dan
pelayanan masyarakat. Pasal-pasal tersebut juga masih sulit dipahami,
misalnya dalam menghadapi pemberontakan sebagaimana telah
dikemukakan di depan. Gerakan separatis bersenjata jelas mengancam
kedaulatan negara, dan mereka sudah pasti juga melanggar hukum. Dalam
hal demikian, maka menjadi tidak jelas apakah penangannya merupakan
fungsi pertahanan ataukah fungsi keamanan. Pemisahan antara pertahanan
dengan keamanan semakin sulit dihindari ketika telah dilakukan amandemen
terhadap UUD 1945. Pasal 30 UUD 1945 yang semula berjudul "Pertahanan
Negara" setelah amandemen menjadi berjudul "Pertahanan dan Keamanan
Negara". Penggunaan kosakata "dan" dalam judul "Pertahanan dan
Keamanan Negara" semakin menegaskan bahwa pengertian Pertahanan
adalah terpisah dari pengertian Keamanan. Bila yang dimaksud adalah
Keamanan dalam pengertian Keamanan Publik tentu dengan mudah dapat
dipahami. Namun bila Keamanan yang dimaksud termasuk Keamanan
Negara (kedaulatan negara dan keutuhan wilayah), pemisahannya tentu akan
menimbulkan persoalan.
Persoalan di atas menunjukkan masih adanya permasalahan pertahanan
keamanan, khususnya Keamanan Dalam Negeri, yang masih perlu ditata
kembali agar tidak menimbulkan persoalan dalam penanganannya di
lapangan. Masih sangat terbuka kemungkinan untuk melakukan hal itu,
namun untuk menghadapi ancaman terhadap kedaulatan negara dan
keutuhan wilayah tentu tidak harus menunggu selesainya perbaikan-
perbaikan tersebut. Dalam kaitan itu, berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang ada, TNI tetap dapat diperankan secara optimal untuk
menjaga dan menegakkan keamanan negara dalam tugas Kamdagri.

Peran TNI

Di era pasca reformasi, salah satu kendala yang cukup mengemuka dalam
pengerahan kekuatan TNI untuk tugas Kamdagri adalah kendala politis, yaitu
opini bahwa TNI seharusnya hanya untuk menghadapi ancaman militer dari
luar negeri. Menggunakan TNI untuk mengatasi gerakan separatis bersenjata
misalnya, bertentangan dengan prinsip demokrasi. Opini yang dikembangkan
bahwa pemerintah dalam mengatasi sparatis bersenjata seharusnya tidak
mengerahkan TNI, tetapi mengerahkan Polri, karena mereka tahu pasti
bahwa ratio antara jumlah Polri dengan jumlah penduduk Indonesia saat ini
masih jauh dari harapan. Sehingga pemerintah RI tentu akan kesulitan dalam
menyelenggarakan fungsi Keamanan Publik, apabila untuk mengatasi
gerakan separatis bersenjata sepenuhnya hanya dibebankan kepada Polri.
Lebih dari itu, gerakan separatis dan para pendukungnya selalu
mengedepankan bahwa mereka (gerakan separatis bersenjata) adalah juga
warga negara Indonesia, bila pemerintah RI menggunakan kekuatan militer
(TNI) untuk menyerang warga negara sendiri berarti pemerintah RI tidak
demokratis dan melakukan pelanggaran terhadap hak-hak sipil warga
negaranya.

Perlawanan gerakan separatis dengan mengembangkan opini seperti itu akan


memperoleh ruang gerak apabila ketentuan tentang Kamdagri masih kurang
jelas sebagaimana telah dikemukakan di atas. Oleh karenanya perbaikan-
perbaikan peraturan perundang-undangan perlu segera dilakukan agar TNI
dapat dikerahkan secara optimal untuk melaksanakan tugas Kamdagri, di sisi
lain norma-norma demokrasi tentu tidak dapat diabaikan agar pengerahan
TNI juga tetap memiliki legitimasi demokratis. Keputusan politik pemerintah
yang cepat dan tegas, serta Aturan Pelibatan (Rule of Engagement) yang
akurat, adalah kunci-kunci penting untuk memberikan legitimasi demokratis
dalam pengerahan kekuatan TNI.
Penggunaan kekuatan TNI untuk melaksanakan tugas Kamdagri tidak akan
dapat berhasil secara efektif apabila pelibatannya bersifat seperti "pemadam
kebakaran", dalam hal ini TNI hanya diperankan ketika pemberontakan telah
muncul ke permukaan. Agar tugas TNI efektif, TNI harus sudah diperankan
dalam upaya deteksi dini dan cegah dini, untuk itu maka sangat diperlukan
peran intelijen TNI. Resistensi terhadap penggunaan aparat intelijen TNI
mungkin muncul dengan alasan TNI "memata-matai" rakyat Indonesia sendiri,
namun resistensi itu tentu dengan mudah dapat dipatahkan apabila ada
ketegasan bahwa salah satu peran TNI adalah menjaga dan melindungi
Keamanan Dalam Negeri. Bersamaan dengan itu Pembinaan Teritorial
memegang peran yang sangat penting, karenanya metoda dan
operasionalisasinya perlu secara terus menerus dikaji dan harus memiliki
legitimasi demokratis, karena hingga saat ini masih ada resistensi sebagian
kelompok masyarakat terhadap konsep Pembinaan Teritorial. Mereka
menganggap bahwa kegiatan Pembinaan Teritorial masuk ke ranah publik
yang menurut kaidah demokrasi bukan bidang garapan militer, alasan itu
menjadi perdebatan yang berkepanjangan dan menghabiskan energi tanpa
ada solusi. Untuk mengatasinya, seyogianya Pembinaan Teritorial diangkat
menjadi kebijakan politik pemerintah, dengan demikian Pembinaan Teritorial
menjadi keputusan politik pemerintah, bukan keputusan TNI. Adalah
kewajiban pemerintah untuk memperoleh akuntabilitas dan legitimasi
demokratis atas keputusan politik tersebut, sedangkan kewajiban TNI adalah
membuktikan kepada rakyat melalui kenyataan di lapangan bahwa
pelaksanaan Pembinaan Teritorial tidak masuk ke bidang tugas instansi lain,
dan tidak disalahgunakan oleh otoritas politik sebagaimana pernah terjadi di
masa lalu.
turun dari jabatannya pada Mei 1998,
peristiwa ini menandai awal dari sebuah era
baru dalam sejarah Indonesia. Setelah
dikuasai oleh rezim otoriter Orde Baru Suharto
selama lebih dari tiga dekade, Indonesia
memulai fase baru yang dikenal sebagai
Reformasi. Era ini dipandang sebagai awal
periode demokrasi dengan perpolitikan yang
terbuka dan liberal. Dalam era baru ini,
otonomi yang luas kemudian diberikan kepada
daerah dan tidak lagi dikuasai sepenuhnya
oleh Pemerintah Pusat (desentralisasi). Dasar
dari transisi ini dirumuskan dalam UU yang

Você também pode gostar