Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
MODUL 3
‘SISTEM DISPERSI : EMULSIFIKASI”
Dosen : Adeltrudis Adelsa, S. Farm., Apt. M. Farm. Klin
Oleh Kelompok 4A
Anggota Kelompok:
Monica AndikaPutri (155070501111031)
Yuniati Elisabeth (155070501111035)
Iswa Rossariza (155070501111039)
Ni Putu Ayu Meldayani (155070507111005)
Jovana Avioleza (155070501111037)
Doya Fitri Anggraini (155070507111007)
Dian Nugra N F (155070507111001)
Dariin Herryanti S (155070507111003)
Dewi Mutiah (155070501111033)
3.
4.
KETERANGAN:
1. Stirrer + water
bathmerk IKA
2. Timbangan analitik
3. Termometer
4. Slide glass + cover glass
5. Pipet tetes
6. Mikroskop Cahaya
7. Gelas Ukur 100 ml
merk IWAKI
8. Beaker Glass Pyrex
5.
6.
7.
8.
b. Bahan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
KETERANGAN:
1. Methylene blue
2. Tween 80
3. Paraffin cair
4. Span 80
5. Sudan III
6. Aquadest
IV. Prosedur Percobaan
Diambil Diambil
Fase minyak dituang perlahan dalam fase cair pada suhu 70°C
Diaduk dengan stirrer dengan kecepatan 500 rpm selama 10 menit
Didinginkan hingga suhu kamar
Emulsi
Diambil sedikit
Dilakukan uji tipe emulsi dengan metode pewarnaan
Dimasukkan sisanya dalam gelas ukur 100 ml
Diamati dan dicatat kestabilan selama 3 hari berturut-turut
Hasil
V. Perhitungan Khusus
Formula A
𝑅𝐻𝐿𝐵−𝐻𝐿𝐵 𝑟𝑒𝑛𝑑𝑎ℎ
A1 = % tween = 𝐻𝐿𝐵 𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖−𝐻𝐿𝐵 𝑟𝑒𝑛𝑑𝑎ℎ
4,5−4,3
% tween = 15−4,3
= 0,018
Tween 80 = 0,018 x 5 g = 0,093 g
Span 80 = 4,907 g
4,7−4,3
A2 = % tween = 15−4,3
% tween = 0,037 g
Tween 80 = 0,037 x 5 g = 0,185 g
Span 80 = 4,815 g
5,4−4,3
A3= % tween = 15−4,3
% tween = 0,103
Tween 80 = 0,103 x 5 g = 0, 514 g
Span 80 = 4,486 g
9−4,3
A4 = % tween = 15−4,3
% tween = 0,43
Tween 80 = 0,43 x 5 g = 2,196 g
Span 80 = 2,85 g
10,5−4,3
A5 = % tween = 15−4,3
% tween = 0,579
Tween 80 = 0,579 x 5 g = 2,895 g
Span 80 = 4,3 g
12−4,3
A6 = % tween = 15−4,3
% tween = 0,719
Tween 80 = 0,719 x 5 g = 3,595 g
Span 80 = 1,405 g
Formula B
5−4,3
B1 = % tween = 15−4,3
% tween = 0,065
Tween 80 = 0,065 x 5 g = 0,325 g
Span 80 = 4,675 g
5,8−4,3
B2 = % tween = 15−4,3
% tween = 0,140
Tween 80 = 0,140 x 5 g = 0,7 g
Span 80 = 4,3 g
6,8−4,3
B3 = % tween = 15−4,3
% tween = 0,233
Tween 80 = 0,233 x 5 g = 1,162 g
Span 80 = 3,832 g
8,2−4,3
B4 = % tween = 15−4,3
% tween = 0,364
Tween 80 = 0,364 x 5 g= 1,821 g
Span 80 = 3,178 g
9,2−4,3
B5 = % tween = 15−4,3
% tween = 0,457
Tween 80 = 0,457 x 5 g = 2,789 g
Span 80 = 2,711 g
10,2−4,3
B6 = % tween = 15−4,3
% tween = 0,55 g
Tween 80 = 0,55 x 5 g = 2,757 g
Span 80 = 2,243 g
Formula A
30
Parafin cair = 100 𝑥 100 = 30 𝑔
5
Span dan tween = 100 𝑥 100 = 5 𝑔
Formula B
30
VCO = 100 𝑥 100 = 30 𝑔
5
Span dan tween = 100 𝑥 100 = 5 𝑔
10,5
Selasa,06-12-16 A3 95 ml Yang didapatkan
o/w
Seharusnya w/o
Terjadi inversi
5,4
Selasa,06-12-16 A5 93 ml Tidak terjadi
pemisahan
Yang didapatkan
o/w
Seharusnya o/w
Tidak inversi
4,5
Rabu,07-12-16 A1 92 ml Tidak terjadi
pemisahan
Yang didapatkan
w/o
Seharusnya w/o
Tidak inversi
VII. Pembahasan
Pada praktikum farmasi fisik mengenai sistem dispersi: emulsifikasi ini
emulgator yang digunakan adalah emulgator campuran, yaitu campuran span 80
dan tween 80 yang diukur masing-masing massanya sesuai kebutuhan dari
masing-masing formula. Span 80 kemudian dicampurkan dengan fase minyak,
sementara tween 80 dicampurkan dengan fase air dari emulsi. Pada praktikum kali
ini dibuat 3 formula, yaitu formula A1, formula A3 dan formula A5. Fase minyak
yang digunakan pada formula A adalah parafin cair dan fase air yang digunakan
adalah aquadest. Nilai HLB campuran dari formula A1, formula A3, dan formula
A5 berturut-turut, yaitu: 5,0; 6,8; dan 9,2 yang menunjukkan bahwa jenis emulsi
yang dibuat adalah emulsi w/o untuk A1 dan A3 serta o/w untuk A5. Dari nilai
HLB campuran tersebut kemudian dihitung jumlah emulgator yang dibutuhkan.
Setelah dilakukan penimbangan didapatkan hasil penimbangan yaitu: untuk
formula A1 (span80 = 4, 907 gram; tween80= 0, 095 gram), formula A3 (span80
= 4, 486 gram; tween80= 0, 514 gram), formula A5 (span80 = 2, 103 gram;
tween80= 2, 897 gram).
Pembuatan fase air emulsi (campuran tween80 dan aquadest) maupun fase
minyak emulsi (campuran span80 dan parafin cair) dilakukan pemanasan hingga
suhu 70ºC, kemudian dituang fase minyak ke dalam fase air secara perlahan, hal
ini dilakukan karena jenis emulsi yang dibuat adalah emulsi o/wuntuk A5, maka
fase minyak yang dituang ke dalam fase air, begitu pula sebaliknyauntuk yang
w/o. Kemudian diaduk dengan alat stirrer pada kecepatan ±500 rpm selama 10
menit. Emulsi yang terbentuk kemudian didinginkan pada suhu kamar dan
kemudian diuji pewarmaan dengan reagen Sudan III dan Metilen Biru. Terlihat
dibawah mikroskop bahwa fase air menyerap reagen metilen biru sehingga
bewarna biru, sedangkan fase minyak menyerap reagen sudan III sehingga
bewarna kecoklatan dan berbentuk seperti bulatan-bulatan kecil. Emulsi dari
masing-masing formula kemudian dituang ke dalam gelas ukur 100 ml yang
bagian atasnya ditutup dengan aluminium foil dan diamati kestabilannya selama 3
hari.
Setelah melakukan praktikum emulsifikasi ini didapatkan hasil dari 3
formula yang digunakan. Yaitu fourmulasi A1, A3 dan A5. Perbedaan formulasi
ini ditujukan untuk mengetahui komposisi mana yang paling baik dalam menjaga
kestabilitasannya. Berdasarkan praktikum ini, bahan paraffin dipukul rata
sebanyak 30 gram, yang berbeda adalah komposisi tween 80 dan span 80. Pada
formulasi A1 jumlah tween 80 dan span 80 berjumlah 0,093 gram dan 4,09 gram,
untuk fromulasi A3 berturut-turut jumlah tewwn 80 dan span 80 sebanyak 0,514
gram dan 4, 486 gram, dan untuk formulasi A5 julah tween 80 dan span 80 adalh
2,895 gram dan 4,3 gram. Formula a1 dan a3 diharapkan dapat menjadi emulsi
tipe w/o atau water in oil, yang berarti fase dalamnya berupa air, dan pada
formulasi a5 diharapkan menjadi tipe emulsi o/w atau oil sebagai fase dalamnya,
dan air fase luarnya.
Pada hari pertama pengamatan, formula A1 yang bervolume total emulasi
92 ml, diuji tipe emulsinya dengan metode pengenceran yaitu dengan
mereaksikannya dengan parafin dan air dan ternyata, emulasi A1 larut dalam
parafin dan tidak larut dalam air, hal ini menandakan bahwa emulsifikasi berhasil
karena hasil pengenceran menunjukkan tipe emulsi sesuai dengan yang
diharapkan yaitu tipe w/o, lalu berlum tejadi pemisahan dan memiliki viskositas
paling kental dibandingkan dengan dua formula lainnya. kemudian pada formula
A3 yang bertotal emulsi 96 ml juga diuji tipe emulsinya dengan metode
pengenceran dan mereaksikan dengan parafin dan air, namun emulsi yang
harusnya bertipe w/o malah larut dalam air dan menggumpal dengan paraffin, hal
ini menunjukkan terjadinya inversi pada emulsi formula A3. Dan pada formula
A5 dengan volume total 98 ml dilakukan uji tipe emulsi seperti yang telah
dilakukan pada dua formula sebelumnya dan hasil yang didapat, A5 larut dalam
air dan tidak larut dalam parafin, hal ini sesuai dengan tipe emulsi yang
diharapkan bersifat o/w.
Inversi yang terjadi pada formula A3 dapat dikarenakan pada bahan yang
digunakan dalam keadaan kurang baik, yaitu terdapat gumpalan putih ketika span
80 dan tween 80 disatukan, hal ini menyebabkan ketidak sesuaian tipe dan dapat
mengarahlan pada ketidakstabilan emulsi yang mengarah pada creaming atau
breaking.
Pada hari kedua, emulsi pada formula A1 volume tidak berubah yaitu92
ml dan tidak memisah. Hal tersebut menunjukkan formula A1 merupakan emulsi
yang stabil. Emulsi pada formula A3 terlihat pecah dengan volume terpisah
sebanyak 24 ml. Emulsi pada formula A5 terlihat pecah dengan volume terpisah
sebanyak 1,5 ml.Hal ini menunjukkan bahwa formula A3 dan A5 mengalami
ketidakstabilan emulsi tipe breaking. Dimana emulsi terpisah menjadi 2 bagian.
Pada bagian atas adalah tipe minyak, sedangkan pada bagian bawah adalah tipe
airnya.
Pada hari ketiga, emulsi pada formula A1 volume tidak berubah yaitu 92
ml dan tidak memisah. Hal tersebut menunjukkan formula A1 merupakan emulsi
yang stabil. Emulsi pada formula A3 terlihat pecah dengan volume terpisah
sebanyak 26 ml. Emulsi pada formula A5 terlihat pecah dengan volume terpisah
sebanyak 3,5 ml.Hal ini menunjukkan bahwa formula A3 dan A5 mengalami
ketidakstabilan emulsi tipe breaking. Dimana emulsi terpisah menjadi 2 bagian.
Pada bagian atas adalah tipe minyak, sedangkan pada bagian bawah adalah tipe
airnya.
Berdasarkan hasil praktikum, disimpulkan bahwa emulsi yang paling baik
adalah emulsi dengan menggunakan formula A1, karena tidak menunjukkan tipe
ketidak stabilan emulsi dimana emulsi tidak mengalami pemisahan selama 3 hari
pengamatan.
Kemampuan suatu emulsi untuk mempertahankan distribusi yang teratur
dari fase terdispersi dalam jangka waktu yang lama disebut sebagai kestabilan
suatu emulsi. Penurunan stabilitas karena berat jenis fase terdispersi yang lebih
kecil dari berat jenis fase pendispersi. Adapun faktor yang mempengaruhi
kestabilan antara lain adalah teknik pembuatan, penambahan garam atau elektrolit
lemah dalam konsentrasi besar mempengaruhi kestabilan emulsi, pengocokan
yang keras (apabila emulsi dikocok keras-keras maka partikel-partikel kecil akan
mengadakan kontak menjadi partikel yang lebih besar, sehingga emulsi akan
pecah) dan penyimpanan (Ansel, 1989).
VIII. Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum didapatkan bahwa adanya formula yang
inversi. Pada formula A5 dan A1 stabil karena dalam teori menunjukkan jenis
emulsi untuk A1 o/w dan hasilnya juga o/w, sementara formula A5 dalam teori
w/o dan hasilnya pun juga w/o. sedangkan pada emulsi A3 didaptakan hasil
bahwa emulsi jenis o/w padahal dalam teori seharusnya w/o. hasil ini didapatkan
dari penambahan metilen biru dan sudan III. Ketika penambahan metilen biru
sangat jelas terlihat formula tersebut w/o atau o/w. Metilen biru untuk
menentukan tipe emulsi o/w karena hidrofilnya akan berwarna biru (air yang
berada disekeliling minyak) sedangkan sudan III untuk menentukan tipe emulsi
w/o.
IX. Referensi
Jenkins, G.L.1957).Scoville’s;The Art Of Compounding Ninth Edition. McGraw-
Hill Book Company Inc:New York, Toronto.
Martin A. 1993. FarmasiFisikaEdisi 3. UI Press. Jakarta.
Parrot, L.E.1970. Pharmaceutical technology.Burgess Publishing Company:
Mineneapolis
Rowe, R. C, J. Sheskey, Paul. E Quinn, Marian. 2009. Handbook of
Pharmaceutical Excipients Six The Edition. American: Pharmaceutical
Press and American Pharmacists Association