Você está na página 1de 2

Artikel Populer

Hanya Ada Tiga “Bung” di Republik Ini?

Debat Cawapres 2014 yang berlangsung semalam (29 Juni 2014, pukul 20:00 WIB)
menarik untuk diikuti, dan bagi saya itu pertama-tama bukan karena isi materi yang mereka
sampaikan. Saya juga tidak akan berkomentar mengenai gaya dan strategi komunikasi yang
sudah banyak dikomentari “para ahli”, baik ahli benaran maupun ahli dadakan yang
dinobatkan televisi. Salah satu pemandangan yang menarik semalam adalah teriakan heboh
para pendukung Hatta Radjasa. Mereka meneriakkan “Hidup Bung Hatta” dan dengan begitu
mereka mengidentifikasi Hatta Radjasa dengan Wakil Presiden RI Pertama dan Bapak
Proklamator kita, Mohammad Hatta.
Reaksi Terhadap Julukan “Bung”
Sontak saja, teriakan itu menimbulkan reaksi keras dari para nitizens. Sebagaimana
kita baca dari salah satu media online, para nitizens tidak setuju kalau Hatta Radjasa dijuluki
Bung Hatta. Ada nitizen yang berkicau di Twitter, katanya, “Hanya ada satu Bung Hatta.
Orang paling sederhana dan jujur yang dimiliki Indonesia. Sang proklamator.” (Cuitan
pemilik akun @uttha). Ada juga yang berkata, “kok saya kesel ya Bapak @hattarajasa
dipanggil dengan ‘Bung Hatta’, perasaan beliau gak ada apa-apa nya dibandingin dengan
Bung Hatta yang asli,” cuit @Oraririkho. “But Hatta Radjasa is not that awesome to be called
Bung Hatta,” tulis pemilik akun @ibethps. Sementara itu, ada yang lain mengatakan, “Aduh
tolong jangan samakan Hatta Rajasa dengan Bung Hatta karena anak Bung Hatta ga pernah
nabrak orang sampe mati terus dibiarin gitu aja,” @ReynaldoGultom. “Terserah mau nyoblos
siapa nanti, tapi Hatta Rajasa ga pantes disamain sama Mohammad Hatta dengan sapaan
‘Bung Hatta’,” (Ciutan pemilik akun @Rockintan). (Mengenai hal ini, baca
http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/06/29/269589020/Netizen-Kritik-Teriakkan-Bung-
Hatta-di-Debat).
Menariknya, putri Bung Hatta sendiri, yakni Ibu Halidah Hatta pun ikut berkomentar.
Di dinding Facebooknya, Halida Hatta menulis, “Ahahaha… kok Pak Hatta Rajasa di-yel-yel
‘Bung Hatta… Bung Hatta…’? Kasihan bangsa ini enggak punya perspektif sejarah. Hatta
Rajasa adalah anak sejarah masa kini dong… harusnya Abang Hatta atau Pak Hatta Rajasa
sekalian….” (baca
http://nasional.kompas.com/read/2014/06/29/2258117/Halida.Hatta.Kritik.Yel-
yel.Bung.Hatta.untuk.Hatta.Rajasa).
Dan menanggapi reaksi rekan-rekannya yang mendorong Ibu Halida Hatta memprotes
penjulukkan Bung Hatta kepada Hatta Rajasa, Halida Hatta lanjut menulis, “Kalau bangsa ini
menghargai setiap penggal sejarah kebangsaannya sendiri, seharusnya tidak harus ada
copyright, tetapi sudah harus tahu nuansa-nuansa sejarahnya sesuai zamannya.”
Pertanyaannya, apakah memang istilah “Bung” hanya bisa digunakan untuk menyebut “Bung
Karno”, “Bung Hatta” dan “Bung Sjahrir”? Apakah itu hak eksklusif mereka? Apakah kita
yang hidup jauh dari masa pergerakan kemerdekaan tidak bisa menyebut diri kita atau
menjuluki seseorang sebagai “Bung”?
Menafsir Sejarah
Mengikuti jalan pikiran Bu Halida Hatta, seharusnya tidak ada copy paste penggunaan
istilah “Bung” jika kita mau menghargai setiap penggal sejarah. Bagi Halida, setiap penggal
sejarah di Republik ini memiliki makna dan nuansa atau konteks historis yang berbeda sesuai
zamannya, sehingga tidak bisa diduplikasi atau dipinjamgunakan untuk menyebut orang atau
tokoh lain. Dan jalan pikiran semacam ini memang sama seperti yang disampaikan para
nitizen di atas. Singkatnya, kedua tokoh ini berbeda, konteks historisnya berbeda, sumbangan
atau kiprah mereka pun berbeda sehingga sulit disamakan begitu saja.
Konon kata “bung” berasal dari kata Bahasa Bengkulu yang artinya “Kakak”, dan itu mirip
dengan orang Betawi memanggil seseorang tokoh, yang dituakan atau pemimpin dengan
sebutan “Bang” (bdk Bang Ali, Bang Yos, Bang Fauzi). Kata ini sendiri digunakan semula
digunakan dalam konteks yang lebih sempit, yakni panggilan untuk kakak laki-laki yang
tertua dalam suatu keluarga (http://dauz-dhorny.blogspot.com/2011/06/akronim-kata-
bung.html). Bahkan disebutkan bahwa kata “bung” dalam kultur dan kebudayaan Bengkulu
sebenarnya sudah digunakan sejak sekitar tahun 1850-an, dan panggilan ini masih digunakan
oleh masyarakat Bengkulu sampai sekarang, selain panggilan Donga atau Uda (yang juga
berarti kakak, tetapi bukan untuk kakak laki-laki tertua). Menariknya, kata “Bung” juga
digunakan seorang istri untuk memanggil suaminya, terutama jika keluarga sang istri tidak
memiliki kakak laki-laki dalam keluarganya. Juga menarik untuk melihat bagaimana Ibu
Fatmawati yang masih sangat belia, memanggil Soekarno sebagai “Bung Karno” karena
alasan ini.
Kita juga membaca dari sejarah, bahwa panggilan “bung” ini lenyap selama masa
Orde Baru persis ketika rezim ini mau membersihkan semua sisa-sisa dan pengaruh Orde
Lama yang identik dengan kekuatan Soekarno-Hatta. Sapaan “bung” di zaman Orde Baru
diganti dengan sapaan “Bapak”. Demikianlah, Soeharto tidak dipanggil sebagai “Bung
Harto” tetapi sebagai Bapak Soeharto atau Bapak saja. Pelenyapan penggunaan istilah ini
sebenarnya menunjukkan sebuah pergeseran kultur politik bangsa Indonesia di bawah
cengkeraman kekuasaan Orde Baru, yakni dari egalitarianisme ke patriarkalisme. Di zaman
Orde Baru, istilah “Bapak” merepresentasikan struktur masyarakat yang hierarkis dan
bertingkat, di mana Bapaklah yang memegang kendali atas seluruh urusan rumah tangga
Indonesia.
Dari sinilah kita bisa mengatakan dua hal mengenai penggunaan kata “bung” dewasa
ini. Pertama, kata “bung” tampaknya baik dan positif jika digunakan untuk menyapa atau
memanggil tokoh-tokoh publik tertentu sejauh itu diartikan dalam konteks egalitarisme
politik. Dan semangat semacam ini sangat cocok dengan alam demokrasi, di mana setiap
anggota masyarakat adalah sama di hadapan hukum, harus diperlakukan sama sebagai warga
negara, dan semacamnya. Dalam arti itu, menyebut seseorang dengan sebutan “Bung” hanya
sekadar ekspresi sopan-santun kita memanggil seseorang yang lebih tua. Tetapi panggilan
atau sebutan itu tidak lantas memposisikan dia lebih tinggi dari kita dan memiliki semacam
kekuasaan tertentu atas kita (mungkin juga menarik untuk membacanya dari sudut pandang
kultur Melayu yang egaliter. Bdk misalnya http://csis.or.id/post/ketika-pembangkangan-sipil-
tiba).
Kedua, “bung” dalam maknanya yang egaliter seharusnya juga merepresentasikan
karakter orang yang disebut “bung” itu. Artinya, ketika saya memanggil Hatta Rajasa dengan
sebutan “Bung Hatta”, saya tidak saja memposisikannya sebagai setara denganku, tetapi juga
mengakui bahwa orang yang bernama Hatta Rajasa itu memang karakternya begitu. Bahwa
dia adalah orang yang egaliter, yang dalam setiap sepak terjangnya sebagai tokoh publik,
selalu memosisikan diri sebagai setara dengan warga Indonesia lainnya.
Menurut saya, keberatan sebagian nitizen atau juga rasa kurang sregnya Bu Halida Hatta,
mungkin terletak dalam tafsiran kedua ini. Pertanyaannya, apakah memang “Bung Hatta”
(Rajasa) benar-benar sosok yang egaliter, yang memosisikan diri setara dengan warga
masyarakat lainnya? Jika kita ingat kasus kecelakaan lalulintas menewaskan beberapa orang
dan yang melibatkan putra Hatta Rajasa dan yang sekarang tidak terlalu jelas penyelesaian
hukumnya, saya menjadi ragu, apakah Hatta Rajasa pantas disebut atau disapa “bung” dalam
arti kesetaraan itu. Dalam arti itu, saya mengerti sepenuhnya keberatan sebagian nitizen atau
rasa kurang sregnya Bu Halidah Hatta.

Você também pode gostar