Você está na página 1de 13

KINERJA KEBIJAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK DI JAWA TIMUR

Indikator Kinerja Utama

Di Jawa Timur, efektifitas kebijakan pembangunan kesehatan sampai Tahun


2016, secara makro telah ditunjukkan dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
sebesar 69,751. Selama tiga tahun terakhir, Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
selalu mengalami peningkatan. Kondisi itu ditunjukkan oleh angka IPM pada tahun
2014 sebesar 68,14, kemudian meningkat menjadi 68,95 pada tahun 2015.

Saat ini persentase Jumlah Penduduk Miskin di Jawa Timur berdasarkan data
BPS per September 2016 adalah sebesar 11,85 %, masih berada di atas nasional,
persentase penduduk miskin terus menurun walaupun kecil, hal tersebut sulit dihindari
pada saat persentase penduduk miskin mulai mendekati angka 10%, karena
berhadapan dengan hardcore poverty, atau ada pula yang menyebutnya, ultra-poor,
atau extreme poor, yakni kelompok paling miskin di antara orang miskin (The poorest
of the poor), paling tidak berdaya, dan sulit dijangkau, kebijakan - kebijakan yang
kurang berpihak kepada masyarakat miskin, akan dapat semakin berdampak antara
lain kenaikan harga bahan bakar minyak, yang dapat memicu inflasi yang cukup tinggi,
akan berpengaruh terhadap daya beli masyarakat.

Angka Kematian Ibu (AKI) pada Tahun 2015 adalah sebesar 89,60 per 10.000
kelahiran hidup dan pada tahun 2016 mengalami peningkatan menjadi sebesar 91.
Sebagaimana dilaporkan oleh Dinkes Jawa Timur, faktor penyebab terbesar kematian
ibu hamil saat melahirkan diantaranya karena pendarahan. Untuk menekan angka
kematian ibu hamil saat melahirkan tersebut, berbagai upaya terus dilakukan

1
LKPJ Gubernur Jawa Timur Tahun 2016
diantaranya pendampingan dan sosialisasi kepada ibu hamil serta kader kesehatan,
agar ibu hamil mengkonsumsi makanan bergizi, memperbanyak pelatihan, gerakan
senam ibu hamil, dan mengintensifkan koordinasi dengan bidan dan memanfaatkan
sarana kesehatan yang terdekat. Angka Kematian Bayi (AKB) pada Tahun 2015
adalah sebesar 24 per 1000 kelahiran hidup dan pada tahun 2016 sebesar 23,6 per
1000 kelahiran hidup, mengalami penurunan.

Stunting dan Kurang Gizi

Provinsi Jawa Timur merupakan salah daerah dengan angka stunting di atas
rata-rata nasional. Persentase Balita Stunting di Jawa Timur pada tahun 2016 sebesar
26,10%, mengalami penurunan dibanding Tahun 2015 yang sebesar 27,1%
Penurunan angka stunting demikian bisa dikaitkan dengan kinerja Pemerintah
Provinsi Jawa Timur dalam upaya mengurangi prosentase balita kekurangan gizi.
Persentase Balita Gizi Buruk pada Tahun 2015 adalah sebesar 1,8% dan pada tahun
2016 sebesar 0,8 mengalami penurunan. Penurunan demikian, sebagaimana
diungkapkan Dinas Kesehatan Jawa Timur (dalam LKPJ Gubernur Jawa Timur 2016)
dicapai dengan strategi yang dilakukan dalam menangani masalah gizi terutama
dengan perbaikan gizi masyarakat, terutama pada ibu pra-hamil, ibu hamil, dan anak
melalui peningkatkan ketersediaan dan jangkauan pelayanan kesehatan
berkelanjutan difokuskan pada intervensi gizi efektif pada ibu pra-hamil, ibu hamil,
bayi, dan anak baduta.

Pola Hidup Bersih dan Sehat


Menurut laporan Dinkes Jawa Timur (2017), selain strategi penanganan
kekarangan gizi, Pemerintah Provinsi Jawa Timur juga melakukan peningkatan
perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Upaya dilakukan melalui peningkatan
pemberdayaan masyarakat dan peran pimpinan formal serta non formal, terutama
dalam peribahan perilaku atau budaya konsumsi pangan yang difokuskan pada
penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal, perilaku hidup
bersih dan sehat, serta merevitalisasi posyandu. Persentase akses air minum
berkualitas pada Tahun 2015 adalah sebesar 82,32% dan pada tahun 2016
mengalami peningkatan menjadi sebesar 83,87%. Peningkatan ini menurut Laporan
Dinas Kesehatan Tahun 2017, disebabkan karena kerjasama yang terpadu dari lintas
program, lintas sektor dan stakeholder kesehatan dalam menanamkan kesadaran
kepada masyarakat agar mengkonsumsi air minum berkualitas, karena air juga
merupakan komponen lingkungan yang berpotensi besar menjadi penyebab berbagai
jenis penyakit. Persentase akses sanitasi dasar (jamban sehat) pada Tahun 2015
adalah sebesar 78,01 dan pada tahun 2016 mengalami peningkatan menjadi sebesar
83,08%.

Problematika Implementasi Kebijakan

Manajemen Pelayanan Kesehatan

Bila disintesakan, permasalahan layanan Kesehatan Ibu dan Anak, terpolarisasi


dalam dua dimensi besar persoalan di dua daerah program, sebagai berikut;

1. Lemahnya akselerasi pengembangan akses dan mutu layanan kesehatan


ibu dan anak karena terkendala pada komitmen alokasi anggaran
pemerintah daerah, terutama di tingkat APBD Kab/kota di Jawa Timur.
Sampai Tahun 2017, program khusus KIA hanya menjadi salah satu dari
sekian kegiatan di Program Upaya Kesehatan yang dilaksanakan
Puskesmas. Itupun seringkali masuk sebagai anggaran biaya operasional
Puskesmas yang tidak lebih dari 2% anggaran Dinas Kesehatan.
2. Meski di Jawa Timur maupun sejumlah Kabupaten/Kota telah ditetapkan
Peraturan Daerah tentang Sistem Pelayanan Kesehatan, maupun terkait
Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir (KIBBLA) namun pada implementasinya,
Perda ini belum mampu mendorong adanya progresifitas maupun inovasi
kebijakan pelayanan KIA. Meski dipandang progresif dalam regulasi daerah
namun pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Timur tidak didapatkan satupun
inovasi program pemerintah daerah yang berkenaan dengan isu kebijakan
KIA, khususnya berkenaan dengan pelayanan di tingkat Puskesmas
maupun kegiatan Posyandu.
3. Kegiatan intervensi dalam program KIA cenderung medical bias, misalnya
dengan pemberian tablet penambah darah atau PMT melalui puskesmas
dan Posyandu. Sayangnya kegiatan tersebut tanpa disertai upaya
membangun daya dukung sosial dan ekonomi secara komprehensif dan
bersinergi, antara pemerintah, masyarakat dan lingkungan keluarga.
4. Meski telah ada Puskesmas di setiap kecamatan, namun manajemen
pelayanan kesehatan di Puskesmas masih belum ada yang menerapkan
pengelolaan keuangan berbasis kinerja, maupun standar pelayanan
berbasis prakarsa masyarakat. Setidaknya di dalam LKPJ Gubernur Jawa
Timur 2014, dari 960 Puskesmas yang tersebar di 664 kecamatan, belum
ada satupun yang menerapkan sistem keuangan di Puskesmas berdasarkan
kapitasi berbasis kinerja, maupun standar pelayanan minimal berdasarkan
Citizens Charter atau kontrak pelayanan.

Tabel 1
Target dan Realisasi Kinerja Program Usaha Kesehatan Masyarakat
(UKM)2

INDIKATOR KINERJA 2013 2014


TARGET REALISASI TARGET REALISASI
Persentase Puskesmas 20% 0% >20% 40%
Kab/Kota menerapkan sistem
keuangan di Puskesmas
berdasarkan kapitasi berbasis
kinerja
Persentase Kab/Kota 30% 0% >30% 0%
menerapkan standar pelayanan
minimal berdasarkan Citizens
Charter atau kontrak pelayanan

Sebagaimana pada Tabel 1 yang dikutip dari LKPJ Gubernur Jatim 2014,
terutama di bagian pelaksanaan urusan kesehatan di Dinas Kesehatan Jatim,
kiranya masih pada kisaran 40% puskesmas yang telah menerapkan anggaran
kapitasi berbasis kinerja. Lebih memprihatinkan lagi, tidak ada satupun atau 0%

2
Dikutip dari LKPJ Gubernur Jawa Timur Tahun 2014 di bagian pelaksanaan urusan Kesehatan.
Puskesmas di kab/kota di Jawa Timur yang telah menerapkan kontrak layanan
(citizen Charter), sangat mempengaruhi kualitas pelayanan di Puskesmas.

5. Sebagai Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), maka tanpa suatu


upaya sistematis untuk meningkatkan akuntabilitas sosial Puskesmas, maka
pendelegasian atau pemberian kewenangan yang lebih luas, disertai
pendanaan yang cukup dari Pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah/Dinas Kesehatan/Puskesmas maka penyelewengan kewenangan sulit
dihindarkan.
6. Keterlibatan masyarakat dalam akuntabilitas sosial pelayanan kesehatan,
khususnya di tingkat Puskesmas sangat diperlukan dan signifikan. Karena inti
dari instrumen pencapaian akuntabilitas pelayanan kesehatan tentu dari
adanya partisipasi masyarakat,.

Problematika Sumberdaya Anggaran

Sampai Tahun 2017, di Pemerintah Provinsi Jawa Timur setidaknya


melaksanakan urusan kesehatan melalui 371 RSUD, 960 Puskesmas, dan 46.598
Posyandu yang tersebar di 38 Kabupaten/Kota (BPS 2017). Di satu, Puskesmas
telah menjadi sarana kesehatan yang memudahkan masyarakat, khususnya kalangan
miskin dalam memperoleh layanan kesehatan. Di sisi lain, peningkatan kualitas
pelayanan kesehatan, khususnya dengan adanya fasilitas Jaminan Kesehatan
Nasional. Sebagaimana Pansus DPRD Jawa Timur atas LKPJ Gubernur Jawa Timur
2016 merekomendasikan;

a). Meningkatkan peran Dinas Kesehatan Provinsi untuk menjadi mediator


peningkatan kerjasama antara BPJS Kesehatan dengan Faskes,
khususnya RSUD dan Puskesmas di Jawa Timur, dalam skema Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN), dalam melayani kelompok miskin penerima
bantuan iuran (PBI).

b). Meningkatkan kontrol publik terhadap cakupan dan kualitas pelayananan


kesehatan yang diselenggaran Rumah Sakit Umum Daerah dan
Puskesmas mitra BPJS Kesehatan, khususnya meningkatkan kapasitas
publik agar memahami beragam jenis dan cakupan layanan JKN, sistem
rujukan, hingga ketentuan kegawatdaruratan.

Pada Tahun 2017, Dinas Kesehatan Jawa Timur mengalokasikan Rp 123


Miliar untuk pelaksanaan 13 programnya. Besaran anggaran belanja publik Dinas
Kesehatan Jawa Timur ini termasuk di antara anggaran urusan pemerintahan di
bidangan kesehatan Pemprov. Jawa Timur yang mencapai 13% dari total belanja
daerah. Dari total anggaran program, sebesar Rp, 1.500.000.000 untuk anggaran
Program Perbaikan Gizi. Masayarakat. Melalui program ini, pada Tahun 2017 Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Timur telah melaksanakan serangkaian kegiatan
sebagaimana tergambar dalam Tabel .... berikut;

Tabel:

Program Perbaikan Gizi Mayarakat

Dinas Kesehatan Prov, Jawa Timur Tahun 2017

Program Perbaikan Gizi Masyarakat 1.500.000.000


Penanggulangan Kurang Energi Protein (KEP), Anemia Gizi Besi, Gangguan Akibat 900.000.000,00
Kurang Yodium (GAKY), Kurang Vitamin A dan Kekurangan Zat Gizi Mikro lainnya

Pemberdayaan masyarakat Untuk pencapaian keluarga sadar gizi 400.000.000,00


Penyelidikan surveillans untuk kewaspadaan pangan dan gizi 200.000.000,00

Sebagaimana di dalam APBD Jawa Timur 2017, terungkap bahwa


meskipun anggaran kesehatan telah lebih dari 10% belanja daerah, namun penetapan
besaran anggaran, jenis program dan jenis kegiatan masih memperlukan
pengembangan lebih lanjut. Paling tidak, Pemeerintah Provinsi Jawa Timur belum
sepenuhnya mampu bekerjasama dengan pemerintah Kabupaten menghadapi
sejumlah persoalan pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak, terutama dalam situasi “Tiga
terlambat”:

1. Petugas medis terlambat mengambil keputusan dalam melakukan


intervensi atau kegiatan pelayanan kesehatan ibu dan anak.
Misalnya, akibat sistem informasi kesehatan yang belum dijalankan,
maka tenaga kesehatan di tingkat puskesmas maupun Kader
Posyandu tidak mampu melakukan deteksi dini dan segera
melakukan tindakan ketika mendapatkan informasi terkait bumil
resiko tinggi.
2. Kedua, ibu/anak terlambat memperoleh pelayanan kesehatan
karena terbatasnya infrastruktur transportasi (terutama di pedesaan)
dari dan menuju fasilitas kesehatan Puskesmas/RS.
3. Keterlambatan perujukan akibat lemahnya koordinasi dan
perbedaan pemahaman petugas antar tingkatan layanan fasilitas
kesehatan dalam menafsirkan peraturan maupun prosedur
perujukan.

KINERJA KEBIJAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK DI KAB. JEMBER

Prioritas pertama dalam arah kebijakan Belanja Daerah Kabupaten Jember


adalah untuk memenuhi kebutuhan pelayanan dasar masyarakat, khususnya bidang
pendidikan dan kesehatan, dalam wujud fasilitasi belanja penanganan kemiskinan
dan pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan serta layanan sosial dasar lainnya
(RPJMD Jember 2016-2021).
Seperti terungkap dari Tabel ... di bawah ini, arah Kebijakan di Misi ke-3
pembangunan daerah Jember, yaitu “Mewujudkan Pemenuhan Kebutuhan Dasar
Masyarakat. Di dalamnya, kebijakan diarahkan salah satunya untuk upaya
optimalisasi pelayanan kesehatan reproduksi dan pelayanan keluarga berencana,
serta peningkatan gizi masyarakat menjadi arah agenda utama. Kombinasi arah
kebijakan belanja daerah dan kebijakan pembangunan daerah demikian, diharapkan
berujung pada pencapaian indikator penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka
Kematian Bayi (AKB) di Kabupaten Jember.

Tabel
Arah Kebijakan RPJMD Kabupaten Jember 2016-2021
ARAH KEBIJAKAN AGENDA
1. Meningkatkan kuantitas dan kualitas
SDM di bidang kesehatan;
Pembangunan Kesehatan 2. Optimalisasi kuantitas dan kualitas
diarahkan pada sarana serta prasarana kesehatan
terwujudnya peningkatan derajat secara merata;
kesehatan masyarakat dengan 3. Optimalisasi pelayanan kesehatan
menjamin pemenuhan hak masyarakat dan pemerataan jangkauan
masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan;
layanan kesehatan yang cepat, 4. Mewujudkan derajat kesehatan
murah dan berkualitas. masyarakat yang optimal dan merata;
5. Peningkatan promosi kesehatan;
6. Peningkatan kesadaran kesehatan
lingkungan dan keluarga;
7. Optimalisasi pelayanan kesehatan
reproduksi dan pelayanan keluarga
berencana; dan
8. Peningkatan gizi masyarakat.

Gambaran Arah Kebijakan Anggaran Kesehatan Kabupaten Jember 2017

Sebagaimana pada Tabel di bawah, alokasi anggaran Dinas Kesehatan


Kabupaten Jember relatif besar. Pada APBD 2017, anggaran Dinkes mencapai
Rp. 592 Miliar atau 14% dari total APBD Kabupaten Jember 2017. Belanja Dinas
Kesehatan tersebut terbagi dalam dua jenis belanja , yaitu Belanja Tidak Langsung
(Belanja Gaji dan Tunjangan Pegawai) sebesar Rp. 106 Miliar atau 18% dan
Belanja Langsung (program/kegiatan) sebesar Rp. 486 Miliar atau 82%.

Tabel

Belanja Dinas Kesehatan Jember 2017

URAIAN 2017 %

Belanja Daerah 4.187.962.514.392,00

Belanja Dinas Kesehatan 592.580.677.943 14%


Belanja Tidak Langsung 106.416.231.573 18%

Belanja Langsung 486.164.446.370 82%


.

Sementara dari sisi belanja program, terdapat paling tidak tiga program yang
mendapatkan prioritas anggaran terbesar. Alokasi anggaran belanja terbesar
diperuntukan untuk program upaya kesehatan masyarakat yang mencapai Rp. 255
Miliar atau 52% dari total anggaran Dinas Kesehatan. Alokasi anggaran besar juga
pada program pengadaan, peningkatan sarana dan prasarana rumah sakit/rumah
sakit jiwa/rumah sakit paruh-paruh/rumah sakit mata. Pada program infrastruktur ini,
Dinas Kesehatan menganggarkan lebih dari Rp. 58 Miliar atau 11%. Anggaran cukup
besar juga pada program pelayanan kesehatan penduduk miskin, dimana
dianggarkan sebesar Rp. 31 Miliar atau 6% dari total anggaran Dinkes 2017. Pada
tabel di bawah juga terungkap bahwa untuk khusus program KIA, Dinas Kesehatan
belum memprioritaskan anggaran secara signifikan, dimana hanya Rp. 2 Miliar atau
0,4% dari anggaran Dinkes selama 2017.

Tabel
ANGGARAN DINAS KESEHATAN
APBD 2017 Kabupaten Jember

NO PROGRAM DINAS KESEHATAN JEMBER APBD 2017 %


1 PELAYANAN ADMINISTRASI PERKANTORAN 12.974.069.825,00 2,7%
2 PENINGKATAN SARANA DAN PRASARANA APARATUR 8.670.286.797,00 1,8%
3 PENINGKATAN DISIPLIN APARATUR 140.000.000,00 0,0%
4 PENINGKATAN KAPASITAS SUMBER DAYA APARATUR 1.819.592.101,00 0,4%
PROGRAM PENINGKATAN KUANTITAS DAN KUALITAS
6 PELAYANAN PUBLIK 3.002.850.000,00 0,6%
PROGRAM PENINGKATAN KAPASITAS KINERJA LEMBAGA DAN
7 APARATUR NEGARA 92.770.000,00 0,0%
8 OBAT DAN PERBEKALAN KESEHATAN 12.352.008.000,00 2,5%
9 UPAYA KESEHATAN MASYARAKAT 255.335.567.255,00 52,5%
10 PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN 142.906.000,00 0,0%
11 PROMOSI KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 13.947.420.800,00 2,9%
12 PERBAIKAN GIZI MASYARAKAT 744.500.000,00 0,2%
13 PENGEMBANGAN LINGKUNGAN SEHAT 957.624.000,00 0,2%
14 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR 4.561.314.300,00 0,9%
PENGADAAN, PENINGKATAN DAN PERBAIKAN SARANA DAN
PRASARANA PUSKESMAS/PUSKESMAS PEMBANTU DAN
15 JARINGANNYA 31.869.319.578,00 6,6%
16 PELAYANAN KESEHATAN PENDUDUK MISKIN 31.000.000.000,00 6,4%
17 PENINGKATAN PELAYANAN KESEHATAN ANAK BALITA 0,0%
18 PENINGKATAN PELAYANAN KESEHATAN LANSIA 0,0%

STANDARISASI PELAYANAN KESEHATAN


20 992.813.000,00 0,2%

PEMBINAAN LINGKUNGAN SOSIAL


21 16.149.085.463,00 3,3%
22 PENINGKATAN KESELAMATAN IBU MELAHIRKAN DAN ANAK 2.120.406.500,00 0,4%
PENGADAAN, PENINGKATAN SARANA DAN PRASARANA RUMAH
SAKIT/RUMAH SAKIT JIWA/RUMAH SAKIT PARUH-
23 PARUH/RUMAH SAKIT MATA 56.810.326.928,00 11,7%
24 JAMPERSAL 5.934.572.000,00 1,2%
25 BANTUAN OPERASIONAL KESEHATAN (BOK) 25.032.646.000,00 5,1%
PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT TIDAK
26 MENULAR 1.228.367.823,00 0,3%
27 AKSELERASI PENCAPAIAN UHC 286.000.000,00 0,1%

Selain itu, kebijakan penganggaran di Dinkes Jember memperlihatkan bahwa


sejumlah program dengan anggaran terbesar seperti program upaya kesehatan
masyarakat, program sarana prasaran PUSKESMAS dan Rumah Sakit, maupun
program BOK bersumber dari tranfer anggaran pemerintah pusat. Hal ini juga
memperlihatkan bahwa pendanaan pelayanan kesehatan masyarakat oleh
pemerintah Jember masih sangat menggantungkan dari pemerintah pusat, baik
melalui JKN maupun DAK Kesehatan.

Konfigurasi distribusi program/anggaran begitu besar pada aktifitas pelayanan


kuratif kesehatan di Kabupaten Jember, setidaknya nampak bahwa di Tahun 2017.
Sebagaimana pada Grafik ... di bawah ini, pemanfaatan anggaran masih terbesar
dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan kuratif. Sekitar 63% anggaran Dinkes
Jember yang disalurkan melalui 50 Puskesmas dipergunakan untuk skema
pelayanan kuratif. Seperti diantaranya untuk program upaya kesehatan
masyarakat (52,5%), pengadaan obat dan perbekalan kesehatan (2,5%), dan
pelayanan kesehatan penduduk miskin (6,4%).

Hasil penelusuran anggaran Dinkes juga menemukan bahwa hanya 14% dari
anggaran program berada dalam kategori preventif. Program yang dipandang
cukup strategis untuk promosi dan pemberdayaan masyarakat tersebut tersebar
terutama pada Program Promosi Kesehatan Dan Pemberdayaan Masyarakat
(2,9%), Bantuan operasional kesehatan atau BOK (5,1%), perbaikan gizi
masyarakat (0,2%), pembinaan lingkungan sehat (0,2%) dan pembinaan
lingkungan sosial (3,3%). Tentunya, untuk konfigurasi dana Peningkatan
anggaran untuk memperbesar volume program/kegiatan dengan pendekatan
promosi kesehatan masyarakat (preventif) terutama untuk program kesehatan ibu
dan anak, pendidikan masyarakat dan penciptaan lingkungan yang sehat.

Grafik #

KOMPOSISI BELANJA PROGRAM DINAS


KESEHATAN KAB. JEMBER 2017

5%
18%

14%

63%

Program Rutin Aparatur Program Kuratif Program Prefentif Program Fisik

ANALISIS DAN REKOMENDASI:


 Alokasi anggaran untuk urusan kesehatan di Kabupaten Jember telah berhasil
memenuhi amanat UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, yaitu di atas 10% dari
total Belanja Daerah Kabupaten Jember 2017. Proporsi Belanja Langsung (BL)
lebih besar dibandingkan Belanja Tidak Langsung (BTL). Secara umum,
kondisi ini bisa memberikan ruang fiskal yang lebih besar bagi daerah untuk
merencanakan program dan kegiatan yang langsung ditujukan kepada
masyarakat. Namun, sejauhmana efektivitas dari program dan kegiatan yang
diselenggarakan masih membutuhkan kajian lebih lanjut.

 Persentase Balita Stunting di Jawa Timur pada tahun 2016 sebesar 26,10%,
mengalami penurunan dibanding Tahun 2015 yang sebesar 27,1%
Penurunan angka stunting demikian bisa dikaitkan dengan kinerja Pemerintah
Provinsi Jawa Timur dalam upaya mengurangi prosentase balita kekurangan
gizi. Persentase Balita Gizi Buruk pada Tahun 2015 adalah sebesar 1,8% dan
pada tahun 2016 sebesar 0,8 mengalami penurunan.

 Secara alokasi, anggaran yang ditujukan khusus untuk penanganangan isu


stunting maupun gizi buruk belum menunjukkan komitmen yang jelas. Paling
tidak hal ini terlihat kecilnya proporsi anggaran untuk program Peningkatan
Keselamatan Ibu Melahirkan dan Anak, maupun program perbaikan gizi masih
sangat kecil sekali di dalam APBD.

 Oleh karena itu, bila melihat pada kondisi capaian program-program terkait KIA
dan khususnya penanggulangan stunting di Kabupaten Jember, ada 5 isu
utama yang dapat dilihat yaitu:

1. Kecilnya alokasi anggaran yang tersedia yang dikhususkan untuk


pencapaian indikator KIA, khususnya penurunan KEK, stunting dan gizi
buruk.
2. Rendahnya efektifitas kegiatan dalam skema promosi KIA yang lebih
mengandalkan kegiatan-kegiatan kuratif daripada promotif kesehatan
masyarakat dan pemberdayaan keluarga sasaran.
3. Lemahnya kapasitas aparatur Dinas Kesehatan, biak dalam kuantitas
maupun kualitas bidan Puskesmas dan kader posyandu dalam
memahami pola permasalahan stunting di tingkat kecamatan maupun
desa.
4. Lambannya intervensi yang diperlukan ibu/anak, baik dalam resiko
reproduksi maupun gizi, akibat tidak adanya koordinasi kerja antar
instansi terkait, meskipun dalam mencapai target kinerja yang sama.
5. Pendanaan kegiatan Posyandu dari APBD melalui Puskesmas masih
sangat terbatas. Anggaran Posyandu dari Pemerintah Desa juga masih
mengandalkan alokasi anggaran operasional PKK. Hal ini
menyebabkan kualitas kegiatan Posyandu belum bisa diharapkan
menjadi aktifitas promotif dan pemberdayaan masyarakat.
 Untuk meningkatkan efektifitas promosi KIA, maka diperlukan peningkatan
kualitas tenaga pelaksana melalui kegiatan yang lebih mensasar pada tenaga
kesehatan yang langsung bersentuhan dengan masyarakat, baik di
Puskesmas maupun Posyandu. Peningkatan kuantitas dan kualitas pelatihan
kader posyandu oleh Puskesmas selain harus secara periodik dilaksanakan
setiap tahun, hendaknya juga dilakukan oleh Puskesmas secara partisipatif
dengan melibatkan kelembagaan sosial yang ada, seperti Pondok Pesantren
dan Ormas.

Você também pode gostar