Você está na página 1de 2

Memperkuat Karakter Toleransi Dalam Implementasi Kurikulum 2013

Oleh;
Madekur, SPd
Guru SMPN 1 Ngimbang, Lamongan

Meski memperihatinkan, namun lembar pembuka kalender 2016 ini telah ternoda oleh
perilaku terorisme di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta. Terorisme ini paling tidak menjadi
penanda betapa masih cukup berpotensi karakter perusak toleransi, kerukunan dan kedamaian
bangsa ini. Mengapa begitu mudahnya segelintir anak negeri ini merusak fasilitas umum,
meletuskan senjata ke kerumunan warga, dan akhirnya melukai dan mengorbankan nyawa
sesamanya? Apakah dengan mengatasnamakan kebenaran ideologi beragama mereka layak
melakukan itu semua? Dalam kondisi ini, kiranya pekerjaan besar dunia pendidikan (baca;
sekolah) kita adalah meneguhkan keluhuran humanisme, dan tentu menggelorakan
nasionalisme dalam diri peserta didik.
Kurikulum 2013 (K13) yang telah secara resmi diberlakukan diharapkan mampu
mengantarkan peserta didik untuk tidak hanya cerdas secara pengatahuan (kognitif),
melainkan juga mempunyai karakter toleran, rukun, dan cinta damai (Sholahuddin, 2013).
Hemat penulis, momentum aksi terorisme di medio Januari 2016 kemarin harus sekali lagi
menjadi pengingat kita, bahwa kita harus secara serius menekankan pendidikan karakter
dalam implementasi K13. Karakter yang mengedepankan toleransi atas aneka perbedaan
keyakinan. Karakter yang mampu menghayati indahnya kebersamaan, kerukunan dan
kebangsaan dalam lingkungan kebhinekaan.
Praksis dari konsep di atas tentu pertama mutlak memerlukan sosok pendidik (guru)
yang memiliki keteladanan. Sikap guru yang mampu menghadirkan inspirasi bagi peserta
didik akan nilai-nilai, baik beragama yang menyejukkan maupun berbangsa yang
mempersatukan. Guru tidak bisa lagi sekedar bersembunyi di balik status kelompok
terpelajar, dia harus hadir di tengah peserta didik dan masyarakatnya dengan spirit dan aksi
nyata pembawa pesan pemberdayaan dan perdamaian.
Menghadapi maraknya aksi kekerasan utamanya di ranah publik, khususnya
terorisme, guru dituntut mampu menghadirkan interaksi pembelajaran yang menyuburkan
kesetiakawanan sosial. Di kelas dan di sekolah, kemampuan guru diuji apakah mampu
menyelesaikan setiap permasalahan belajar pembelajaran secara dialogis. Tentu tidak hanya
guru, tidak terkecuali tokoh-tokoh masyarakat yang tergabung dalam komite sekolah,
hendaknya tergerak untuk ambil bagian dalam mengusung pendidikan karakter ini.
Dalam interaksi guru – peserta didik di kelas, sebagai pelaksana K13, guru
hendaklah memahami bagaimana sejumlah kompetensi inti dalam K13 menjadi fondasi
karakter beragama yang damai dan rahmatan lil alamien. Kompetensi Inti (KI) 1 yang
memuat hubungan manusia dan Tuhannya (hablun minallah), hendaknya berbareng dengan
apresiasi pendidik pada KI 2, hubungan manusia dengan manusia yang lain (hablun
minannas). Di sini, guru harus menjadi simbol dan penganjur terdepan perilaku beragama
yang damai, beragama yang santun, dan beragama yang menjunjung tinggi cita-cita
kemanusiaan. Pemahaman beragama yang benar, tidak akan mengarahkan diri kita pada sikap
memaksa apalagi aksi kekerasan terorisme. Intoleransi terhadap perbedaan keyakinan hanya
akan menurunkan wibawa keyakinan itu sendiri, sekaligus kontrak produktif terhadap
pencapaian tujuan berkeyakinan (beragama) itu sendiri.
Kompetensi spriritual dan sosial dalam K13 harus dijalankan secara seimbang.
Kecenderungan arah pendidikan yang parsial antara karakter spiritual dengan karakter sosial
hanya akan membawa peserta didik menjadi pribadi yang tidak kompeten. Seringkali, produk
dari pendidikan demikian adalah capaian penguasaan pengetahuan agama, tidak berbanding
lurus dengan kecakapan interaksi sosial peserta didik. Hasil akhir dari ketidakseimbangan
pola pendidikan demikian, melahirkan kelompok-kelompok pribadi yang mudah
menyalahkan pihak lain. Pribadi yang selalu mengklaim bahwa dirinya yang paling benar,
dan akhirnya mewujudkan ketidakpuasan dan perlawanan terhadap harmoni lingkungannya.
K13 sangat menekankan keseimbangan ketercapaian kompetensi spritual dan sosial
dalam diri peserta didik. K13 dalam pandangan penulis berupaya membingkai perkembangan
peserta didik dengan pemahaman yang benar tentang bagaimana dunia ini bekerja,
mempelajari ”aturan main” segala ragam aspek yang ada di dunia ini. Konteks di Indonesia,
bahwa guru dan peserta didik hidup dan berinteraksi dengan menjunjung tinggi nilai
Ketuhanan, hidup dalam lingkungan bahasa, suku, dan latar belakang sosial yang beraneka
ragam. Namun kesemuanya diikat dengan komitmen hidup rukun, bersatu mencapai cita-cita
luhur Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pekerjaan rumah terbesar dari praktisi pendidikan dan guru sebagai implementator
K13 adalah mewujudkan kurikulum berbasis karakter. Pendidikan karakter dalam K13
berangkat dari pandangan bahwa karakter dapat dipengaruhi oleh pendidikan, maka
pendidikan karakter dimunculkan untuk mencetak karakter manusia yang sesuai dengan
keinginan dan cita-cita negara dan agama. Selain untuk terus membangun kultur kebangsaan
di Indonesia, garis kebijakan K13 menterjemahkan dengan cukup komprehensif tujuan
pendidikan nasional yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Akhirnya, bisa ditandaskan di sini, bahwa ada harapan besar untuk semakin
mengeliminasi aksi terorisme dan mengembangkan nasionalisme melalui implementasi K13.
Dengan mengedepankan pendidikan karakter, maka keberhasilan pencapaian Kompetensi Inti
dalam K13, oleh guru hendaknya diukur dari; Karakter religius, bagaimana sikap perilaku
peserta didik yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap
pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Karakter
toleran, diukur dengan bagaimana sikap dan tindakan peserta didik menghargai perbedaan
agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dengan dirinya.
Karakter demokratis, bagaimana cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak
dan kewajiban dirinya dan orang lain. Karakter kebangsaan, bagaimana peserta didik berfikir,
bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan Negara di atas
kepentingan kelompoknya.
Paling tidak, empat dari sepuluh nilai karakter dalam Disain Induk Pendidikan
Karakter yang dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan Nasional di atas bisa menjadi modal
dasar membentengi generasi muda dari virus terorisme dan radikalisme. Melalui guru sebagai
sentra gerakan pendidikan karakter, kita berharap semakin terkikis pola-pola tindak kejahatan
terorisme yang merusak nilai kebangsaan dan kemanusiaan.

Você também pode gostar