Você está na página 1de 9

ADAPTASI EKOLOGI SOSIAL-BLIDAYA "ORANG BUKIT"

DALAM PENDEKATAN SISTEM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN YANG


BERKELANJUTAN

Paper Akhir Mata Kuliah Ekologi Manusia (SPD-523)


Oleh: Apriansyah
MRP: 97100/SPD

Dosen:
Ir. Soeryo Adiwibowo, MS
Ir. Said Rush, MA
Ir. Bambang S. Utottvo, MDS

PROGRAM STUDI SOSIOLOG1 PEDESAAN PROGRAM


PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 1997
ADAPTASI EKOLOGI SOSIAL-BUDAYA "ORANG BUKIT”
DALAM PENDEKATAN SISTEM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN YANG
BERKELANJUTAN
Oleh: Apriansyah
NRP: 97100/SPD

Pendahuluan
Manusia sebagai bagian dari 'biosfer' (yaitu seluruh kompleks dari ekosistem)
memilikipersamaan dan perbedaan dengan makhluk hidup lainnya, baik secara
genetis maupun perilaku1) sehingga dengan sifat-sifat ltu manusia menjadi makhluk
yang unik. Keunikan manusia yang nampak ialah ia mampu menciptakan
kebudayaan2), mampu berkomunikasi, dan mampu dalam hal individual learning dan
cultural learning secara bersamaan (Utomo, 1997); Dengan kebudayaannya manusia
dapat bennterkasi dengan manusia lainnya dan alam, dan dengan
kemampuanberkomunikasi manusia mampu bennteraksi dengan manusia lainnya.
Menurut Steward (1955, dalam Rappaport, 1971, dalam Adiwibowo, 1983)
"manusia memasuki suatu sistem ekologi tertentu tidaklah semata-mata hanya
sebagai suatu organisme yang mempunyai hubungan fisik dengan organisme yang
lain, tetapi ia juga membawa kebudayaan, suatu faktor yang mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh seluruh total jaringan kehidupan".

Ketika manusia berinterkasi dengan alam timbul lah keunikan lainnya, dimana
manusia pada satu sisi bisa mengeksploitasi alam dan bisa merusaknya dan pada sisi
lain ia bisa memeliharanya.
Fungsi utama kebudayaan itu bagi manusia menurut Soerjani & Bahrin
Samad (1983) adalah dalam proses adaptasi dengan lingkungannya. Adaptasi adalah
proses untuk memenuhi beberapa syarat dasar tertentu untuk dapat melangsungkan
kehidupannya dalam lingkungan tempatnya hidup. Menurut Otto Soemarwoto
(1994) makhluk hidup dalam batas tertentu mempunyai kelenturan. Kelenturan ini
memungkinkan makhluk hidup itu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Penyesuaian din itu secara umum disebut adaptasi, Kemampuan adaptasi
mempunyai nilai untuk kelangsungan hidup.
Ada tiga syarat dasar yang ditawarkan oleh Soerjani & Bahrin Samad (1983) yang
harus dipenuhi manusia untuk dapat tetap melangsungkan kehidupannya, yaitu:
1) Syarat-syarat dasar alamiah-biologi (manusia hams makan, minum,
menjaga kestabilan temperatur tubuhnya dan sebagainya),
2) Syarat-syarat kejiwaan (manusia memburuhkan perasaan tenang yang jauh
dari perasaan takut,keterkucilan, gelisah, dan berbagai masalah kejiwaan
lainnya),
3) syarat-syarat dasar sosial (mernbutuhkan berhubungan dengan orang lam
untuk dapat melangsungkan keturunan, untuk tidak merasa terkucil, untuk
dapat balajar kebudayaannya, untuk mempertahankan diri dari serangan
musuh, dan sebagainya).

Manusia dengan kebudayaannya melihat lingkungan alam dan fisik dengan


menggunakan kaca mata kebudayaannya, sehmgga mereka yang mempunyai
kebudayaan yang berbeda melihat, menginterpretasi, dan merasakan lingkungan
alam dan fisik tersebut secara berbeda-beda. Penduduk Riau di hulu Sungai Rokan
(Kompas, tanggal 31 Januari 1980) misalnya, melihat hutan sebagai hutan biasa
dan hutan rimba belantara, tetapi bagi pengusaha HPH, hutan rimba belantara adalah
sumber rezeki yang berlimpah-limpah besarnya dan patut dibabat untuk diambil
kayu-kayunya. Hal ini selaras dengan pemikiran Adiwibowo (1983), yang mana
"suatu sistem sosial yang memiliki nilai-nilai dan norma yang mampu mengatur
anggotanya berperilaku selaras dengan lingkung-annya akan menampilkan suatu
totalitas kehidupan sosial dan ekologis yangkhas".
Kekhasan tersebut dijelaskan lebih lanjut oleh Adiwibowo (1983) karena bila
dua sistem sosial yang memiliki tata mlai berbeda, walau kondisi ekologisnya satu
sama lain relatif sama, bila diperbandmgkan keduanya akan menampilkan totalitas
kehidupan yang relatif berbeda. Hal yang sama dapat terjadi pula bila kedua sistem
memiliki kondisi ekologis yang berbeda, walaupun nilei dan norma yang dianutnya
satu sama lam relatif sama.
Mengapa dalam perilaku pembangunan kita selama ini yang cenderung
eksploitatif memmbulkan perbedaan dengan perilaku beberapa masyarakat yang 'arif
terhadap lingkungan ekologisnya? Padahal kita ini berada dalam kondisi ekologis
yang relatif sama. Hal ini menurut men-jadi semakin menarik untuk dikaji manakala
ditmjau daya adaptasi manusia terhadap lingkungan di sekitarnya (Adiwibowo,
1983), termasuk dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan.. Deskripsi
Singkat Tentang "Orang Bukit''
"Orang Bukit " sebutan yang sering dipergunakan kalang ilmuwan dan
masyarakat di luar komuniti mereka, sebutan yang diberikan kepada masyarakat
terasing yang hidup di pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan (Radam, 1987),
walaupun mereka sendiri tidak mau disebut sebagai Orang Bukit, tetapi mereka
mengidentikkan din mereka dengan sebutan "Orang Gunung" saja.
Dari banyaknya "Orang Bukit" yang berdiam di pegunungan Meratus yang
membujur dan Utara sampai Selatan Propinsi Kalimantan Selatan dalam tulisan ini
ditampilkan salah satunya, yaitu "bubuhan Muara Hungi di Kecamatan Batang Alai
Selatan Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Buhuhan lainnya yaitu Bubuhan Loksado
(tinggal di Kecamatan Loksado Kabupaten Hulu Sungai Selatan), Bubuhan yang
tinggal di Kabupaten Tapin, Tabalong dan Kabupaten Hulu Sungai Utara. "Orang
Bukit" di Kalimantan Selatan walaupun sama-sama penganut kepercayaan
Kaharingan seperti suku Dayak di propinsi di Kalimantan lainnya (seperti di
Kalimantan Tengah, Timur dan Barat), "Orang Bukit" ini tidak mau disebut sebagai
Orang Dayak. Ternyata, memang dari segi religi ada perbedaan spesifik dengan religi
Kaharingan orang Dayak. Religi Kaharingan "Orang Bukit" memiliki simbolitas atau
nama-nama roh-roh (ilah-ilah) leluhur yang berbeda dengan roh-roh orang Dayak
Kaharingan. Menurut Radam (1987) komuniti "Orang Bukit" meyakini adanya 3
kelompok roh yang memelihara kawasan pemukiman dan sekitarnya, yaitu roh Sia-
sia Banua, roh Bubuhan Aing dan roh Kariau. Yang mana, nama-nama roh-roh yang
dipercayai oleh Orang Bukit selam berlandaskan tentorial, misalnya Aing Bantai (roh
angm yang berasal dan daerah Bantai), Aing Sumbai (roh angm yang berasal dari
daerah Sumbai), Sia-sia Banua Pambakulan (roh yang berasal dan daerah
Pambakulan), Kariau Labuhan, Kariau Mantuil, bahkan roh-roh dengan nama daerah
di luar Kalimantan Selatan pun ditemui, seperti Aing Jawa, Ang Lampung, dan
sebagainya. Di samping itu, roh-roh yang dipercayai mereka juga sudah terpengaruh
oleh ajaran Islam, yang mereka percayai identik dengan nama Nabi-nabi, seperti: roh
Ibrahim, roh Nuh, Roh Muhammad, roh Aier/roh air (Nabi Khaidir) dan sebagainya.
Sedangkan Orang Dayak kepercayaannya masih Animisme dan Dinamisme murni.
Perbedaan dari segi bahasa, Orang Bukit tidak bisa berbahasa Dayak, tetapi mereka
hanya bisa berbahasa Banjar Hulu (tempol dulu), bahasa merupakan salah satu
elemen dan 7 elemen kebudayaan (Seven Culture Universal) dari M.T. Herizkocfit
&Kluckhohn yang membedakan antara satu komuniti dengan komuniti lainnya
Studi "Orang Bukit" dalam Pendekatan Ekologi Manusia
"Orang Bukit" (bubuhan Muara Hungi) berdiam pada kondisi topografis yang
berbukit dengan tingkat keminngan antara 2% sampai dengan 45%. Dengan tidak
adanya mfrastruktur jalan yang memadai sebagai sarana akses ke pusat-pusat
kegiatan ekonomi sosial, maka untuk mencapai pusat desa Muara Hungi jalan yang
bisa dilewati sepeda motor (ojek) hanya sampai di Desa Pambakulan selebihnya
dengan jalan kaki dengan menempuh jalan setapak sejauh lebih kurang 8km, juga
harus menyeberangi sungai Batang Alai selebar 65 meter dan beberapa sungai kecil
('pancur') sehingga memeriukan waktu sekitar 2 jam untuk penduduk asli dan bagi
pendatang sekitar 3 jam perjalanan kaki. Keadaan kondisi tersebut menyebabkan
desa tersebut "terasing " dari dunia luar.
Keterasingan tersebut, disebabkan oleh kondisi geografis alam yang
menciptakan mereka tensolasi, artinya disini dengan istilah aliran deterministik
lingkungan alam lah yang membuat mereka terisolasi. Kemudian, apakah alam yang
membentuk kebudayaan mereka? Menurut pendekatan deterministik yang dipelopon
oleh para ahh geografi seperti Ellen C. Semple (1911), Robert S. Piatt (1948) dan
Harold & Margaret Sprout (1965), terjadmya kebudayaan karena dicetak oleh
alam. Pendekatan yang dipengaruhi oleh lahimya aliran Darwinisme dan
pendekatan Newton tentang deduksi dan konsepsi hubungan sebab akibat (lihat
juga dalam Adiwibowo,1983), dimana pendekatan ini melihat faktor-faktor yang
mendukung terbentuknya kebudayaan, yaitu faktor-faktor fisik alam (phsycal
environment) seperti topogrqfi, lokasi geografi, iklim, dan sumber daya alam.
Mungkin pendekatan ini benar, seperti yang diungkapkan oleh "Orang Bukit" sendin,
dimana menurut legenda mereka, terbentuknya mereka ("Orang Bukit") yang tmggal
dipegunungan Meratus tidak lepas dari prosesi mistis yang bersentuhan dengan alam
".Menurut Radani (1987), asal-usul penyebaran kelompok masyarakat Bubuhan
Muara Hungi tidak bisa dilepaskan dari sejarah "Orang Bukit". Kelompok-kelompok
ltu pada awalnya terbentuk karena latar belakang ekonomi, yakni kebutuhan
memiliki ladang untuk "bahuma" (bertani sawah atau ladang) dan "bakabun"
(berkebun). Dilihat dari tinjauan historis, diasumsikan "Orang Bukit" pada dasamya
adalah mereka yang berada di dataran rendah sebelum berdirinya kerajaan Banjar
yang beragama Islam (sebelum tahun 1500-an), dimana agama sebelumnya masih
dalam bentuk kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Akibat berbagai peperangan
Banjar menjelang terbentuknya kerajaan Banjar yang didukung oleh Demak, mereka
mi terdesak ke daerah pegunungan. Pola menaiknya penduduk dan dataran rendah ke
dataran tmggi dijelaskan oleh I. Made Sandy dalam buku "Penggunaan Tanah di
Indo-nesia /PIT" (1977) yang disampaikan oleh Sajogyo (dalam Bahan Bacaan
Praktikum P. Ilmu Kependudukan, Lab. Sosiologi, Antropologi dan
Kependudukan, Fak Pertanian EPB, 1996), yaitu penduduk bergerak dan daerah
pantai kemudian ke dataran yang lebih tinggi lagi dalam bercocok tanam.
Mana yang benar dan kejadian di atas ?, tentu, ini juga salah satu yarig menjadikan
pen-dekatan deterministik banyak dikritik, khususnya oleh kalangan antropolog yang
mereka wujudkan dalam bentuk pendekatan posibilisme lingkungan,
Pendekatan posibilisme lingkungan yang dikembangkan oleh Kroeber (1939),
Arnold Toynbee (1947), Harold & Margeret Sprout (1965) dan Morris Treilich
(1967) pada dasarnya faktor lingkungan bukan determinan faktor, tetapi faktor
lingkungan hanya sebagai "penapis" (screen) atau "penyaring"terbentuknya unsur
budaya tertentu (cultural traits) ; sehingga apa yang dikatakan oleh antropolog
Daryll Forde (1934 dalam Rambo, 1981) : "between the physical environment and
human activity there is always a middle term, a collection of specific objectives and
values, a body of knowledge and belief: in other words, a cultural pattern ". Menurut
Rambo (1981) pendekatan mi sebagai studi interkasi manusia dengan
lingkungannya, meliputi: studi struktur internal, berfungsinya budaya, dan sistem
sosial. Dan pendekatan ini lebih terpengaruh oleh historis diffusionis dan Emile
Durkheim. Pendekatan posibilisme lingkungan hanya berarti untuk melihat
perbandingan terbentuknya kebudayaan "Orang Bukit" yang ada perbedaan pada sisi
tertentu dengan kebudayaan "Orang Dayak" dan perbedaan terbentuknya budaya
"Orang Bukit" dengan "Orang Banjar", bahkan untuk melihat perbandingan "penlaku
pembangunan kita" sekarang dengan penlaku budaya-ekologis "Orang Bukit".
Pendekatan posibilisme lingkungan kemudian direvisi oleh Julian H. Steward
(1968) , sebagai pendekatan baru yaitu pendekatan "ekologi budaya" (Cultural
Ecology). Pendekatan ini juga dikembangkan oleh Clifford Geerzts (1963) dan
Marvin Harris (1966). Menurut Adiwibowo (1983), Steward ingin memperjelas
hubungan timbal bahk yang terjadi.antara kebudayaan dan lingkungan (seperti dalam
pendekatan posibilisme lingkungan) melalui penelaahan dari sudut adaptasi.
Steward memandang dinamika organisasi sosial budaya sebagai produk dari proses
adaptasi manusia dengan lingkungannya.
Julian Steward {dalam Keesing, 1992) mendalilkan bahwa ada bagian inti
dari sistem sosial-budaya (cultural core) yang khususnya tanggap terhadap adaptasi
ekologis, pembagian kerja, ukuran dan stabilitas dari kelompok-kelompok lokal dan
penyebarannya dalam suatu wilayah, dan ketentuan-ketentuan pemukiman. Berbagai
penyesuaian terhadap tekanan ekologis secara langsung mempengaruhi unsur-unsur
inti dan struktur sosial ini, jadi iklim yang bermusim, tersedianya air, atau kesuburan
tanah akan menentukan berapa banyak orang dapat tinggal di suatu pemukiman,
berapa lama mereka bisa menetap, bagaimana penyebaran mereka, dan bagaimana
penduduk mengatur upaya produktif mereka. Pengaruh pada struktur sosial ini
kemudian hercabang-cabang melalui suatu budaya agar perkembangan perubahan
dalam berbagai bidang hanya secara sekunder dikaitkan dengan ekologi dalam
gagasan kosmologi, pola suksesi politik, seni dan sebagainya,
Elemen-elemen inti sistem sosial-budaya (cultural core) dan pendekatan
ekologi budaya, meliputi: populasi dan pola pemukiman, teknologi yang
dipergunakan, dan kelembagaan/social institution (baca: organisasi ekonomi);
sedangkan yang bukan elemen-elemen inti sistem sosial-budaya (non-core
elements of culture) meliputi: religi, bahasa, seni dan nilai-nilai. Menurut
pendekatan ini "cultural core" terbentuk dan pengaruh ekologi (ecological
influences) yang ada di lingkungan alam (natural environmental), sedangkan "non-
core elements of culture" terbentuk dari difusi sifat-sifat pembawaan (trait diffusion
from other societies) yang ada di lingkungan sosial (social milieu). Baik "cultural
core" dan "non-core elements of culture" akan mempengaruhi ter-bentuknya sistem
sosial politik (social-political system) suatu masyarakat (Rambo,1981:figure 3).
Penjelasan Rambo terhadap konsepsi Steward tentang ekologi budaya dipertegas
oleh Adiwibowo (1983), bahwa inti budaya yang dmiaksudkan oleh Steward (1968)
dapat merupakan pranata sosial, budaya atau ekonomi. Inti kebudayaan ini tumbuh
berkat adanya teknologi eksploitasi sumberdaya dan orgamsasi-organisasi sosial
yang bergerak di bidang pengelolaan sumberdaya.
Kalau kita analisis kehidupan ekologis "Orang Bukit" dengan pisau analisis
Steward, maka inti kebudayaan "Orang Bukit" yang adaptif terhadap lingkungan,
yaitu: (i) sistem berladang (teknologi berladang), (ii) sistem kekerabatan, (iii) sistem
perumahan, (iv) sistem kepemimpinan & kehidupan politik, dan (v) lembaga
ekonomi.
Sistem berladang (teknologi berladang) komuniti "Orang Bukit", yaitu: (i) diawali
dengan membuka ladang (dengan tahapan, pencarian ladang, menebas, proses
pembakaran) pembakaran dalam membuka ladang dilakukan dengan sekitar bulan ke
4 (bulan tradisional) atau bulan Oktober, (ii) menugal (menanam padi) dan
memelihara padi. Kegiatan menugal dilaksanakan pada bulan ke 5 atau Nopember,
disamping ltu setelah menugal dilanjutkan dengan penanaman pohon pisang
disekehling ladang yang berfungsi juga sebagai pembatas ladang. Dan kegiatan
memelihara padi dinamakan "masa menunggu" sampai padi tumbuh sekitar 30-50
cm dilaksanakan bulan ke 6 – 7 atau Desember sampai Januari dan dalam bulan bulan
ini pula dilakukan penanaman bibit pohon karet disela – sela dengan jarak sekitar 3
meter (bila ladang sudah dipergunakan 2-3 kali panen) Ini sebagai bentuk mekanisme
sistem ladang pindah-putar (shifting cultivation) yang dilaksanakan oleh komuniti "Orang
Bukit" yang "anf terhadap lmgkungan. Masa menunggu tersebut berlanjut sampai bulan ke
9 atau Maret, sebagai masa menunggu panen. (iii) Masa panen. Panen baru dilaksanakan
pada bulan ke 10 dan 11 (April dan Mei). (iv) Aruh, yaitu upacara pasca panen sebagai wujud
rasa syukur dan terima kasih kepada Ilah-ilah yang telah memben keberkahan panen.
Menurut Rambo (1981) konsep ekologi budaya relevan dengan penelitian Marvin
Harris, dimana pendekatan ini dimasukkan kedalam studi Marvin Harris sebagai "techno-
environmental determinism" (determinisme tekno-lingkungan) , dimana teknologi diartikan
sebagai adaptasi terhadap lingkungan yaitu gerak dari evolusi budaya. Harris memberikan
pengertian terhadap budaya adalah sebagai determinasi dari hubungan antara teknologi dan
lingkungan. Dengan melihat pe-mahaman tersebut, maka teknologi berladang "Orang Bukif
merupakan mamfestasi adaptasi budaya dengan lingkungannya.
Sistem kekerabatan "Orang Bukit" dengan ikatan gans keturunan secara gemologis
dan pola "bubuhan" secara territorial. Dengan sistem kekerabatan yang tinggi
mempersatukan "Orang Bukit" dalam proses sosialnya dalam bentuk proses assosiatif.
Walaupun mereka melakukan mobilitas horisontal (chain migration) — meminjam istilah
Steward —akibat lingkungan alam menyediakan sumber yang terbatas (pada kasus ini yang
utama adalah memerlukan 'ladang baru' ) dan meng-hmdan kelebihan populasi, tetapi tidak
mengikis kekentalan kekerabatan mereka. "Orang Bukit" juga membatasi daerah tempat
kegiatannya/daerah pengembaraannya (home range) dan dipertahankannya sebagai
'temtory'. Pola mi mirip apa yang dilakukan oleh kelompok keluarga vertebrata dan
mvertebrata tinggi, seperti golongan arthopoda yang mempunyai pola reproduksi yang ruwet
antara lam dengan membuat sarang, bertelur dan memelihara anak. Steward (dalam Odum,
1996) mencontohkan emigrasi dan migrasi "burung hantu gudang" di Amerika Selatan
bagian Utara, bersamaan dengan proses ltu terjadi pertukaran 'gene' antar populasi, yang
mana pada komuniti "Orang Bukit" terjadi "perkawinan" antar bubuhan. Dengan kata lain,
teritorialitas cenderung mengatur populasi agar selalu berada di bawah tingkat kejenuhan.

Você também pode gostar