Você está na página 1de 28

Upah Layak Nasional

Hak Kaum Buruh Yang telah Lama dirampas


Tentang Neoliberalisme:

Bicara tentang neoliberalisme dikalangan serikat buruh bukanlah hal yang


baru dan asing, istilah neoliberalisme sudah lama kita dengar dan kita
diskusikan, tapi satu hal yang harus kita selalu ingat adlah bahwa
neoliberalisme tersebut bukanlah sebuah product yang benar-benar baru,
tetapi dia adalah sebuah proses revisi terhadap sistem ekonomi sebelumnya
tanpa menghilangkan kerja dasar dari sistem ekonomi sebelumnya yaitu
sistem ekonomi liberal, bahkan sistem ekonomi keynesian. Sistem ekonomi
liberal nya adam smith, lalu sistem “penyelamat kapitalisme awal” keynesian
serta yang teranyar yaitu sistem ekonomi neoliberal adalah sama-sama
sebuah sistem yang menempatkan sistem produksi yang menempatkan
adanya kaum yang mempunyai modal dan kaum yang hanya bekerja
didalam proses produksi.

Sistem ekonomi neoliberalisme mulai berkembang sejak tahun 1970an


merupakan sebuah koreksi terhadap sistem keynesian yang telah berlaku
sejak 1930an, system keynesian dikritik oleh kaum penganut neoliberal
karena terlalu banyaknya campur tangan negara dalam proses pasar yang
mengakibatkan pasar terdistorsi yang artinya adanya pihak ketiga yang
mencampuri proses transaksi, kebebsan individu adalh hal yang paling
utama. Sistem ini disebut Neo-liberal karena menginginkan suatu sistem
ekonomi yang sama dengan kapitalisme abad-19, di mana kebebasan
individu berjalan sepenuhnya dan campur tangan sesedikit mungkin dari
pemerintah dalam kehidupan ekonomi. Yang menjadi penentu utama dalam
kehidupan ekonomi adalah mekanisme pasar, bukan pemerintah.
Mekanisme pasar akan diatur berdasarkan pandangan individu, serta
pengetahuan para individu akan dapat memecahkan segala persoalan yang
timbul dalam persoalan ekonomi, sehingga mekanisme pasar dapat menjadi
alat juga untuk memecahkan masalah sosial.bagi kaum neoliberalis,
pengetahuan para individu untuk memecahkan persoalan masyarakat tidak

1
perlu disalurkan melalui lembaga-lembaga kemasyarakatan, yang sekali lagi
berarti segala sesuatunya tergantung pada individu bukan pada organisasi,
yang berarti juga paham neoliberal ini tidak percaya organisasi sebagai alat
pemecahan persoalan individu.

Proses mendunianya paham ini dimulai dengan cepat setelah pada tahun
80an dua pemimpin negara maju menjadi pengikut paham ini yaitu Margaret
Thatcher di Inggris dengan Thatcherism dan Ronald Reagan di Amerika
serikat dengan Reaganomicsnya. Lewat tangan kedua presiden inilah
kebebasan individu dan kompetisi yang bebas diimplementasikan dan
disebarluaskan dalam sebuah sistem ekonomi. Persoalan kemiskinan
individu tidak lagi menjadi persoalan bagi negara karena hal tersebut
menjadi sebuah yang lumrah dalam sebuah kompetisi yaitu pasti ada yang
tidak mampu bertarung dalam kompetisi tersebut dan yang tidak mampu itu
lah yang menjadi miskin. Implementasi awal neoliberalisme dalam sistem
ekonomi membuahkan hasil meningkatnyanya angka kemiskinan baik di
Inggris maupun Amerika tapi sistem ini mampu meningkatkan pendapatan
yang sangat signifikan bagi para pemegang modal, misalnya di Amerika
selama dekade 1980an, 10% teratas meningkat pendapatannya 16%; 5%
teratas meningkat pendapatannya 23%; dan 1% teratas meningkat
pendapatannya sebesar 50%. Hal ini berkebalikan dengan 80% terbawah
yang kehilangan pendapatan; terutama 10% terbawah kehilangan
pendapatan15%.

Yang menjadi prinsip untuk mewujudkan sistem ekonomi neoliberal ini, yaitu
mengoreksi sistem ekonomi sebelumnya adalah:
1. Aturan Pasar.
Menghapus segala peraturan pemerintah yang membatasi perusahaan-
perusahaan dalam berinvestasi maupun berusaha. Dan juga adanya
keterbukaan sebesar-besarnya atas perdagangan internasional dan
investasi. Tidak ada lagi kontrol harga, sepenuhnya kebebasan total dari
gerak modal, barang, jasa dan konsumen.
2. Memotong pengeluaran negara pada sektor yang tidak
produktif/pelayanan sosial
Anggaran pada sektor pelayanan sosial dianggap dapat mengakibatkan
pasar terdistorsi sehingga memang harus dikurangi atau bahkan
dihilangkan, seperti subsidi untuk BBM, pendidikan, kesehatan anggaran
untuk pengangguran dll.
3. Deregulasi.

2
Mengurangi atau bahkan menghilangkan paraturan-peraturan dari
pemerintah yang bisa memberatkan pengusaha, liberalisasi seluruh
kegiatan ekonomi termasuk penghapusan segala jenis proteksi;

4. Privatisasi
Menjual BUMN-BUMN di bidang barang dan jasa kepada investor swasta.
Termasuk bank-bank, industri strategis, jalan raya, jalan tol, listrik, sekolah,
rumah sakit, bahkan juga air minum. Alasan privatisasi ini adalah agar
menghindarkan distorsi pasar oleh BUMN-BUMN tersebut, dan BUMN
dianggap bisa menghalangi perkembangan modal privat.

Peran terpenting dalam mengglobalkan sistem neoliberal ini adalah melalui


lembaga IMF, Bank Dunia dan WTO, serta pintu masuk kenegara-negara
tersebut khususnya kenegara dunia ketiga adalah melalui jebakan utang,
yaitu utang yang diberikan secara terus menerus tanpa ada pengawasan
yang ketat terhadap penggunaan dana utang tersebut yang mengakibatkan
pemerintahan nnasional negara dunia tersbut menjadi kecanduan dan
akhirnya tidak berdaya lagi menolak perubahan sistem ekonomi nasionalnya
denga mekanisme SAP (structural Adjustment Program). Dengan SAP inilah
pemilik modal besar di Internsaional mampu merubah sistem ekonomi yang
sudah ada menjadi sistem ekonomi yang sesuai dengan keinginan mereka
dalam mengembangakan investasi dan keuntungan. SAP ini dilakukan
melalui langkah: (a) pembukaan keran impor sebebas-bebasnya dan adanya
aliran uang yang bebas; (b) Devaluasi; (c) Kebijakan moneter dan fiskal
dalam bentuk: pembatasan kredit, peningkatan suku bunga kredit,
penghapusan subsidi, peningkatan pajak, kenaikan harga kebutuhan publik.

Dengan kekayaan alam Indonesia yang sangat banyak dan ditambah lagi
dengan jumlah penduduknya yang cukup besar maka Indonesia adalah
negara yang memang menjadi incaran dari para kaum modal. Penggulingan
Soekarno dan naiknya soeharto adalah bagian penting dari proses
penguasaan Indonesia oleh kaum modal, karena penggulingan soekarno
juga berarti menyingkirkan seting orang dan organisasi yang menolak sistem
ekonomi yang memberikan kesempatan kaum modal untuk mengekspoitasi
alam dan manusia sebebas-bebasnya.

3
Krisis ekonomi di asean umunya dan Indonesia khusunya pada tahun 1997
adalah anugerah pada kaum modal internasional karena membuka
kesempatan seluas-luasnya pada IMF dan bank dunia untuk menata
ekonomi di asean dan Indonesia kedalam tata ekonomi dengan sistem
neoliberal melalui program SAP seperti yang mereka lakukan di amerika latin
pada era-80an. Dengan ditanda-tanganinya LOI oleh soeharto dengan
presiden bank dunia maka mulai babak baru penguasaan ekonomi Indonesia
sepennuh-penuhnya oleh kaum modal Internasional, dan hal itu dapat kita
lihat dan rasakan hingga hari ini.

Praktek Neoliberalisme diperburuhan


Neoliberalisme yang sesungguhnya adalah kebutuhan/kepentingan dari
kaum modal besar di internasional untuk dapat mengembangkan modal nya
keseluruhan belahan dunia tanpa harus mengalami hambatan birokrasi
pemerintahan nasional yang ada, yang artinya adalah bahwa kaum modal
lah yang memerlukan lahan untuk menginvestasikan uangnya yang telah
menumpuk, karena bila dana tersebut tidak segera menemukan lahan untuk
diinvestasikan maka uang tersbut akan mengancam kepentingan dan
kesejahteraan pemilik uang tersebut. Tetapi dalam prakteknya ternyata para
pemerintahan nasional khususnya pada dunia ketiga yang merengek-rengek
agar modal mau masuk kenegaranya, dan bersedia melakukan segala syarat
yang diberikan oleh kaum modal asalkan modal mau masuk kenegaranya.

Dengan alasan semakin meningkatnya persaingan modal maka para pemilik


modal mensyaratkan agar negara dunia ketiga bersedia menjalankan sistem
perburuhan yang fleksibel (Labour market flexibility) sebagaian bagian dari
fleksibilitas produksi, selain persoalan tersebut maka yang menjadi syarat
mutlaknya adalah diberikannya intensif pajak/pengurangan pajak dan
pembebasan berinvestasi dimanapun dan pembebasan pasar hasil produksi
yaitu dengan cara pengurangan pajak barang import.
Dalam hal pelaksanaan pasar kerja yang fleksible tersebut maka modal
mempunyai keleluasaan dalam berinvestasi dan punya fleksibilitas dalam
berproduksinya. Fleksibilitas dalam berproduksi dimaknain dengan
diperbolehkannya outsourching pekerjaan maupun tenaga kerja serta
meminimalkan jumlah pekerja tetap didalam perusahaaanya, karena pekerja
tetap menimbulkan akibat meningkatnya kewajiban perusahaan dalam
hubungan industrial dengan buruh yaitu adanya kewajiban membayarkan

4
biaya pesangon bila mem-PHK buruh, biaya pensiun, bonus dll. Tetapi
biaya-biaya tersebut dapat dipangkas habis bila hubungan industrialnya
adalah berdasarkan sistem kerja kontrak ataupun sistem kerja outsourching.
Dengan sistem outsourching maupun sistem kerja kontrak maka pemodal
dapat terhindar dari pekerja yang kritis, karena bila ada pekerja yang mulai
kritis terhadap sistem kerja yang ada maka pengusaha dapat dengan
gampang meminta mereka digantikan oleh orang lain bila menggunakan
sistem kerja outsourching tenaga kerja (lewat jasa tenaga kerja) atau tidak
memperpanjang kontrak bagi buruh kritis yang dikontrak. Lewat fleksibilitas
tenaga kerja ini juga pengusaha mampu mengatasi serikat buruh -yang
selama ini menjadi penghalang bagi mereka dalam mengeruk keuntungan
sebesar-besarnya. Serikat buruh menjadi mandul atau terancam bubar
akibat anggotanya tidak lagi ada yang menjadi pekerja tetap diperusahaan
tersebut, tidak adanya serikat buruh dipabrik adalah surga bagi pengusaha.
Penyingkiran serikat buruh ini merupapakan implementasi dari paham
individu dari sistem neoliberalisme ini. Buruh akan berhadapan secara
individu dengan perusahaan tanpa ada lagi campur tangan negara dan
serikat buruhnya.

Fleksibilitas tenaga kerja ini juga mengakibatkan semakin tajamnya


persaingan antar buruh dalam mencari kesempatan bekerja diperusahaan
hal ini mengakibatkan semakin kuatnya posisi pengusaha untuk membayar
upah murah bagi buruh yang akan bekerja. Hancur nya ekonomi desa saat
ini yang mengakibatkan besarnya angka migrasi pemuda desa kekota, hal
ini membuat para pencari kerja (baik baru tamat smu/kuliah maupun buruh
yang sebelumnya pernah bekerja) sering sekali tidak punya pilihan lain lagi
dikota untuk menerima upah yang murah asalkan diterima bekerja. Sistem
perburuhan dibawah neoliberalisme mensyaratkan negara harus terus
mempertahankan adanya angka pengangguran yang besar agar posisi
tawar buruh dan pencari kerja menjadi lemah bila berhadapan dengan
pengusaha.

Kesewenang-wenangan pengusaha dalam menentukan upah selama ini


masih sedikit terbatasi dengan masih ada nya kebijakan UMR hingga
UMP/UMK/UMSP yang artinya adalah masih adanya campur tangan
pemerintah dalam pasar tenaga kerja, dan tahapan lanjutan dari fleksibiltas
tenaga kerja kaum neoliberal ini adalah memerintahkan negara untuk
menghentikan sistem penentuan upah melalui mekanisme
UMP/UMK/UMSP menjadi penentuan nilai upah ada ditingkat pabrik yaitu

5
antara buruh dan pengusaha. Bila buruh yang bekerja tidak akan bisa
menjadi sejahtera lalu apagunanya invesatasi tersebut masuk?

Tentang Pemerintahan Nasional:


Seperti telah disebutkan diatas maka sejak naiknya pemerintahan orde baru
dibawah pimpinan jenderal soeharto, Indonesia telah masuk dalam
cengkeraman kerakusan kaum modal. Semua pemerintahan yang berkuasa
dari masa Soeharto hingga masa SBY-JK adalah pemerintahan nasional
yang menjadi agen kepentingan kaum modal. Situasi politik pasca reformasi
mei 1998 boleh jadi sangat hiruk pikuk dengan pertarungan politik,
pemerintahan telah berganti-ganti sebanyak 4 kali, tetapi hiruk-pikuk politik
tersebut tidaklah berarti menganggu kepentingan kaum modal di Indonesia,
yang artinya adalah bahwa para elite tersebut bertarung tetapi mereka
semuanya tunduk kepada tuan yang sama yaitu para pemilik modal.

Dibawah pimpinan elit yang berkuasa selama ini Indonesia berjalan dengan
pasti menuju jurang neoliberalisme. Semua agenda kaum modal
diimplementasikan dengan cukup baik dan sigap oleh pemerintahan selama
ini, termasuk juga kebijakan yang di negara aslanya sendiripun hal tersebut
masih enggan dilaksanakan oleh mereka (liberalisasi pertanian). Agenda-
Agenda Neoliberal seperti:
- Privatisasi BUMN telah dilakukan dan mayoritas BUMN yang
sebenarnya secara ekonomi sangat menguntungakan (misalnya
indosat) telah dikuasai oleh modal asing,
- Pencabutan Subsidi secara pasti dilakukan oleh seluruh pemerintahan
yang berkuasa pasca reformasi, dan akibatnya adalah melonjaknya
angka kemiskinan di Indonesia. Program-program lipstik yang dibuat
untuk mengantisipasi dampak pencabutan subsidi tersebut terbukti
GAGAL mengatasi dampaknya.
- Liberalisasi pasar dilakukan dengan bangga oleh pemerintahan yang
ada, kesulitan petani dalam berproduksi dan memasarkan hasil
pertaniannya tidak pernah menjadi perhatian, impor beras menjadi
kebijakan membanggakan mereka. Lemahnya infrastrutur industri tekstil
Indonesia juga tidak menjadi perhatian pemerintah dalam membuka
Indonesia menjadi pasar tekstil. Dll
- Penguasaan sumber daya alam Indonesia oleh asing, pemerintahan
nasional tidak punya kemauan untuk mengambil keuntungan yang lebih

6
besar dari hasil tambang yang Indonesia miliki, pemerintahan kita lebih
konsen untuk membuat investor tersebut nyaman mengeruk hasil bumi
Indonesia tanpa ada manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
Saat ini hampir tiap bulan pasti ada pembukaan tambang batu-bara baru
untuk wilayah kalimantan dan semuanya itu untuk kesejahteraan kaum
modal semata, dan rente bagi penguasa yang ada.
- Utang luar negeri yang telah menjadi alat untuk melemahkan, ternyata
tidak berani dikemplang oleh pemerintahan selama ini, bahkan untuk
meminta pengurangan utang pun mereka tidak berani, akhirnya dana
rakyatlah yang dikuras untuk membayar utang tersebut, rencana
penghapusan utang luar negeri bukan berarti pemerinthan SBY-JK dan
mungkin pemerintahan yang akan datang akan berhenti berutang,
karena bisikan kaum ekonom neoliberal akan selalu merayu untuk
Indonesia selalu hidaup dalam jeratan utang.
- Regulasi investasi, yaitu membuat peraturan yang membuat investor
nyaman berinvestasi seperti intensif pajak, membangun iklim investasi
yang kondusif yang berarti keamanan yang terjamin, serikat buruh yang
“ramah” serta sistem tenaga kerja yang fleksibel.

Dari hal-hal tersebut tidak ada bukti lain yang membuat kita ragu bahwa
pemerintahan yang telah berkuasa selama ini adalah pemerintahan yang
semata-mata tunduk pada kepentingan kaum modal serta menjalan
agenda neoliberal di Indonesia.

Dalam proses masuknya Indonesia kedalam sistem ekonomi global


neoliberalisme maka menjadi persoalan yang sangat serius adalah industri
yang hadir diIndonesia adalah industri yang sangat tergantung kepada
industri negara maju, industri Indonesia hanya bagian kecil dari peta industri
negara maju tersebut. Industri Indonesia tidak pernah dibangun berdasarkan
kepentingan dalam negeri Indonesia tetapi semata-mata hanya melayani
kepentingan industri negara maju, kita sudah menjadi sangat bangga bila
industri yang hadir adalah berorientasi eksport padahal industri yang
semacam itu adalah sangat rapuh, bisa kita lihat bagaimana industri
TPT(Tekstil dan produk tekstil) yang menjadi kebanggaan Indonesia pada
era 80-an karena berhasil menyerap tenaga kerja yang sangat besar dan
menghasilkan devisa bagi negara dari hasil eksportnya ternyata sangat
gampang terpukul hanya dengan perubahan kebijakan perdagangan bebas,

7
saat ini TPT kita tidak mampu bersaing dalam eksport kenagara-negara maju
bahkan didalam negeripun tidak mampu bersaing harga dan mutu dengan
hasil TPT dari china, hal ini terjadi akibat industri TPT yang dibangun adalah
industri dengan teknologi yang terbelakang dan bahan bakunya sangat
tergantung dari bahan baku import. Dari contoh kasus TPT tersebut dapat
kita lihat bahwa Indonesia tidak memiliki industri nasional yang kuat dan
maju, industri yang ada masih semata-mata bagian dari skenario modal
dunia pertama, bukan industri yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan
perkembangan nasional Indonesia.

Pandangan ABM:
Benarkah upah buruh yang tinggi akan menyebabkan investasi tidak
masuk ke Indonesia? Jelas, sekali lagi ini adalah propaganda “tukang obat”
yang berusaha membohongi kita. Berikut bukti yang menunjukkan bahwa
propaganda ini adalah bohong semata:
 Laporan lembaga PBB, UNCTAD tahun 1997 menyebutkan bahwa
kemunculan perdagangan investasi spekulatif telah melemahkan
komitmen investasi jangka panjang pada sektor-sektor produktif
(investasi sektor riil). Tahun 2003 saja, uang yang ditanamkan pada
investasi spekulatif ini dalam SEHARI saja mencapai 1,2 triltun dolar AS.
Bandingkan misalnya dengan jumlah investasi yang ditanamkan pada
sektor riil (produktif) di seluruh dunia yang pada tahun 2003 tidak
mencapai 1 triltyun dolar AS dalam SETAHUN. Inilah kemudian sering
juga disebut ekonomi kapitalisme neoliberal sering disebut ekonomi judi.
Jadi investasi tidak masuk disebabkan karena para investor lebih
tertarik “berjudi” dalam perdagangan spekulatif dalam bentuk
perdagangan saham dan mata uang dibandingkan menanamkan
modalnya bagi investasi riil seperti permbangunan suatu industri,
bagun pabrik atau investasi riil lainya. Jadi pemerintahan Indonesia
selama ini hanya memfasilitasi rik spekulan/penjudi.
 Keengganan penguasa modal di dunia pertama untuk
mengglobalkan investasinya. Hingga saat ini investasi masihlah
berpusat di negara-negara dunia pertama. Laporan lembaga PBB,
UNCTAD, World Investment Report 2003, menunjukkan bahwa lebih
71% investasi berada di negara-negara maju, 91% modal yang berasal

8
dari negeri-negeri maju ditanamkan diantara sesama negeri-negeri
maju. Artinya hanya kurang dari 9% modal dari negeri-negeri maju yang
bergerak ke negara-negara diluar mereka.
 Upah buruh Indonesia tergolong rendah dan tidak ada
korelasi/hubungan nyata antara upah rendah dengan masuknya
investasi ke suatu negara. Hongkong dan Brunei yang menduduki
peringkat 10 besar dalam urutan negara tujuan investasi dunia, justru
upah buruhnya tergolong tinggi. Sementara upah buruh Indonesia
masihlah tergolong rendah tetapi investasi tetaplah tidak masuk.
Menurut Heri Rumwatin, Ketua Apindo Kabupaten Tangerang, dalam
salah satu wawancara di bulan Agustus 2005, mengakui bahwa upah
buruh masihlah rendah hanya 6-7% dari biaya produksi, justru yang
memeberatkan dunia usia adalah “biaya-biaya siluman” yang jumlahnya
mencapai 10% dari biaya produksi. Perusahaan Sony yang
memindahkan produksinya dari Indonesia ke Vietnam, juga menyatakan
bahwa kepindahannya bukan disebabkan upah buruh melainkan karena
biaya ekonomi yang tinggi diluar upah buruh (dikutip dari pernyataan
ekonom UGM, Prof. Dr. Mas’ud Machfoedz dalam satu diskusi di Medan,
5 September 2006). Komponen Upah buruh Indonesia hanya 6-7% dari
biaya produksi sedangkan bila kita bandingkan kenegara yang saat ini
dsebutkan sebagai “saingan’ indonesia dalam menggaet investor yaitu
malaysia(17%), china(30%) dan vietnam(20%) maka cukup jelas bagi
kita bahwa larinya dan tidak masuknya investasi keIndonesia bukan
karena kita kaum buruh, tetapi karena kegagalan dari pemerintah.
 Upah buruh Indonesia bukanlah persoalan utama yang dikeluhkan
oleh pengusaha/investor. Persoalan yang paling dikeluhkan terutama
pada adanya biaya: ketidakstabilan makro ekonomi; ketidakpastian
kebijakan; korupsi pemerintah lokal dan pusat; pajak; biaya tinggi; tidak
adanya kepastian hukum.
Dengan kondisi yang murah hingga saat ini dan fakta bahwa tidak ada
hubungan antara tidak masuknya investasi dengan tingkat upah maka
menjadi keputusan kita saat ini untuk memperjuangkan UPAH YANG
LAYAK yaitu upah yang menjadikan kita kaum buruh sebagai manusia yang
sesungguhnya bukan skedar sebagi alat kerja/mesin bagi pengusaha.
Penentuan upah selama ini dicoba secara sistematis untuk dapat memecah-
belah kaum buruh, mulai membeda-bedakan buruh kerah putih dengan

9
buruh kerah biru, penentuan upah pada tingakat propinsi dan kota serta
pembedaan upah berdasarkan sektor kerjanya. Usaha tersebut selama ini
hampir saja membuat perjuangan kita kaum buruh terjebak pada permainan
yang diinginkan oleh kaum modal dan antek mereka dipemerintahan.
Dengan membiarkan penentuan upah pada tingkat kota/kabupaten dan
propinsi sebenarnya kita membiarkan pemerintahan nasional lepas tangan
dari tugas pokoknya dalam perlindungan rakyatnya. Kita kaum buruh dipaksa
terpecah perjuangan nya semata-mata memperjuangkan upah
dikota/kabupaten kita saja, seakan-akan persoalan upah murah
dikota/kabupaten lain bukanlah menjadi persoalan bagi kita. Sejarah telah
mengajarkan kita termasuk sejarah perjuangan kita dalam menolak revisi UU
13/2003 kemaren bahwa hanya persatuan kaum buruh secara nasional lah
kita mampu mempertahankan hak kita dan menuntuk hak lainnya.
Penentuan upah berdasarkan sektor/UMSP jelas-jelas adalah usaha nyata
untuk mengkotak-kotakkan kaum buruh kedalam sektornya, bahwa kita
sadar betul bahwa persoalan kebutuhan hidup kaum buruh semuanya adalah
sama tidak terbeda-bedakan semata-mata hanya karena perbedaan sektor
kerja nya. Maka untuk mencapai Upah Layak tersebut secara bersama-
sama maka ABM memutuskan untuk menuntut pemerintah dalam penentuan
upah harus dilakukan secara nasional bukan berdasarkan kota/kabupaten
apalagi sektoral. UPAH LAYAK NASIONAL yang menjadi tuntutan
perjuangan kita saat ini.
Melihat hal tersebut maka ABM berkesimpulan bahwa pembangunan industri
dengan mengandalkan dana dari investor asing selama ini bukanlah demi
kepentingan nasional dan rakyat Indonesia tetapi investasi tersebut hanyalah
semata-mata difasilitasi oleh pemerintahan nasional selama ini demi
kepentingan kaum modal internasional dalam mengeruk kekayaan alam
Indonesia serta mendapatkan tenaga kerja Indonesia yang murah. Yang
tersisa dari proses investasi modal selama ini adalah kerusakan alam, buruh
yang tetap miskin karena tereksploitasi oleh kaum modal selama ini, dan
tidak ada kesejahteraan yang didapat. TUNTUTAN UPAH LAYAK
NASIONAL tidak akan diwujudkan oleh pemerintahan yang pengabdiannya
kepada kaum modal internasional.

Selama pemerintahan yang berkuasa adalah pemerintahan yang tunduk


pada modal dan menjadi antek kaum modal dalam mengeruk kekayaan dari
Indonesia maka skenario pembangunan nya tidak akan berubah dari

10
pemerintahan sebelumnya karena skenario pembangunan tersebut sudah
sangat dipercaya sebagai mantera yang jitu untuk mensukseskan
pemerintahannya. Kita seakan-akan dibutakan terhadap alternatif lain yang
mampu kita lakukan untuk menjalankan ekonomi nasional demi
kesejahteraan rakyat Indonesia.

Ketergantungan kepada investor asing dapat diibaratkan seperti


ketergantungan kepada narkoba, kenikmatan sesaat yang didapatkan tidak
sepadan dengan konsekuensi yang kita dapatkan berikutnya. Pengurangan
angka pengguran saat investasi masuk sebenarnya dengan kondisi saat ini
tidak akan membuat situasi secara nasional maupun bagi kaum buruh
menjadi lebih baik karena kesejahteraan yang menjadi impian setiap orang
yang bekerja tidak akan didapatkan dalam proses bekerja seperti saat ini.

Lalu kalau tidak dengan cara mendatangkan investor apakah kita sanggup
menjalankan pembangunan? Pertanyaan seperti ini telah kita jawab dengan
tegas dalam konfrensi ABM tanggal 24-27 Juli 2006 di TMII jakarta, KITA
MAMPU! Kita telah merumuskan dalam platform perjuangan ABM kedepan
yaitu:
 Penghapusan hutang Luar Negeri
 Nasionalisasi terhadap sumber daya alam (Pertambangan, air,listrik,
telekomunikasi) dan aset-aset vital lainnya
 Membangun industri nasional yang kuat
 Pemberantasan korupsi.

Dengan keempat platform tersebut dan ditambahkan dengan proteksi


terhadap pasar dalam negeri agar industri nasional yang sedang kita bangun
tidak dihancurkan kembali oleh kerakusan kaum modal, serta industri
nasional yang kuat dan maju tersebut harus berorientasi pada pasar dalam
negeri. Program kerakyatan ini semata-mata hanya akan dilaksanakan oleh
sebuah pemerintahan yang pro rakyat dan berani melawan kaum modal
internasional.

11
Sikap ABM: Tentang Upah Layak Nasional

Perjuangan untuk mendapatkan upah yang layak telah menjadi perjuangan


kelas buruh sejak para kelas pekerja pertama kali muncul di atas muka bumi.
Kurang lebih 8000 tahun lalu, para pekerja yang menggarap pembangunan
piramida-piramida di Mesir telah mengadakan pemogokan untuk menuntut
jatah makan yang lebih layak. Mereka memang bukan kelas buruh industrial
seperti yang kita temui di jaman ini. Pada masa-masa tanam, mereka bekerja
sebagai petani. Namun, di masa paceklik atau di masa antar-waktu tanam,
mereka dipekerjakan oleh Kerajaan Mesir untuk membangun berbagai
monumen, antara lain piramida dan makam para raja. Namun, di saat
bekerja sebagai buruh pembangun monumen, mereka menerima upah
layaknya sistem kerja buruh modern.

Sedemikian panjangnya sejarah perjuangan mendapatkan upah layak, kita


jadi seringkali menganggap bahwa perjuangan ini adalah perjuangan yang
memang semestinya dilakukan di bawah sistem masyarakat yang tidak
berpihak pada rakyat pekerja. Tapi, apa sebenarnya “upah” itu? Mengapa
para pemberi kerja memberi upah pada para pekerja? Seberapa besar
semestinya upah sehingga dapat dianggap layak?
Mitos tentang Upah

Mitos 1: Upah adalah Harga Keringat Buruh


Pengertian yang banyak diterima umum mengenai upah adalah bahwa
“upah” merupakan imbalan dari kerja yang diberikan buruh pada pengusaha.
Dengan kata lain, pengusaha “membeli” kerja buruh. Namun argumen yang
masuk akal ini dan bersahaja ini sesungguhnya mengandung banyak
kesalahan dan akibat-akibat yang merugikan kelas pekerja.

Mari kita lihat dulu kesalahan-kesalahan mendasar dalam argumen ini.


Pertama, kerja bukanlah komoditi (barang dagangan) seperti yang biasa kita
kenal. Baiklah bila kita menganggap bahwa kita “menjual” kerja kita. Namun,
demikian kerja itu kita berikan pada pengusaha di tengah jam-jam panjang
proses produksi yang melelahkan, kerja itu diserap dan diubah oleh proses
produksi itu menjadi sebuah tambahan nilai pada produk yang dihasilkan.

12
Dengan begitu, kita menjual sesuatu yang memberi tambahan kekayaan
pada majikan kita. Jika benar pengusaha membeli “kerja” kita, tentunya ia
akan membayar sebesar nilai yang kita hasilkan dalam proses produksi. Jika
kita mau ambil kesejajaran dengan agak menyederhanakan persoalan, kita
bisa membandingkan proses pembentukan harga ini dengan harga benda-
benda aji yang konon dapat memberi kekayaan pada pemiliknya. Sebuah
keris yang disebut bertuah dapat dihargai jutaan, bahkan puluhan dan
ratusan juta rupiah. Itu karena si pembeli berkeyakinan bahwa besi aji itu
dapat memberinya kekayaan. Namun, buruh (yang sudah pasti akan
memberi kekayaan pada pengusaha) tidaklah dibayar puluhan juta rupiah –
melainkan pada tingkat upah minimum. Kesimpulannya, sama sekali tidak
benar bahwa pengusaha membeli “kerja” buruhnya. Kita akan kembali pada
tema ini di belakang.

Mitos 2: Upah sesuai Ketrampilan


Sekalian bicara tentang Upah Minimum. Inilah faktor kesalahan kedua dari
argumen yang biasa kita pahami tentang upah. Jika benar pengusaha
membeli “kerja” kita, maka ia akan memberi upah sesuai dengan ketrampilan
yang kita miliki. Tapi, bukan itu yang kita temui dalam praktek.
Kenyataannya, pengusaha selalu berusaha menghitung upah buruh
berdasarkan kebutuhan hidup-nya. Mau itu disebut Kebutuhan Fisik
Minimum, Kebutuhan Hidup Minimum, atau Kebutuhan Hidup Layak – tetap
kebutuhan yang menjadi dasar perhitungan, bukan keterampilan. Di
samping itu, tingkat kebutuhan yang diakui oleh pengusaha, telah terbukti,
tergantung pada negosiasi antara kepentingan buruh dengan kepentingan
pengusaha. Jika kita bicara tentang negosiasi atau perundingan, kita bicara
tentang perimbangan kekuatan antar pihak-pihak yang berunding. Kita juga
sudah lihat bagaimana perjuangan untuk upah biasa melibatkan
demonstrasi dan mogok kerja yang ditujukan untuk menekan lembaga-
lembaga publik (negara) yang berwenang menetapkan upah. Dengan
demikian, bukan nilai “kerja” yang menjadi landasan bagi penentuan upah,
melainkan tingkat kebutuhan buruh, yang pengakuannya ditentukan lebih
lanjut oleh tekanan dan perjuangan politik.

Mitos 3: Upah harus disesuaikan dengan Hukum Pasar


Adanya negosiasi upah dan diakuinya anggapan umum bahwa kerja adalah
sebuah “komoditi” menimbulkan kesalahan yang ketiga, yakni anggapan
bahwa dalam penentuan nilai kerja (=upah) berlaku hukum pasar, yakni

13
permintaan dan penawaran. Padahal, dalam pengalaman praktek sehari-
hari serikat buruh, bukan hukum pasar ini yang berlaku dalam perundingan.
Melainkan di mana serikat buruhnya kuat, upah dan jaminan sosial lainnya
pasti diberikan secara penuh – tidak jarang bahkan masih dilebihkan.
Namun, di mana serikat lemah, hampir bisa dipastikan bahwa kesejahteraan
juga tidak terjamin. Selain dari persoalan kekuatan serikat, yang artinya
seberapa kuat posisi tawar buruh, upah yang tinggi biasanya ditemui di
perusahaan-perusahaan besar yang menghasilkan keuntungan luar biasa
besar. Pada kasus seperti ini, pengusaha membagi sedikit keuntungan yang
diperolehnya pada buruh. Dengan kata lain, tinggi-rendahnya upah tidak
tergantung pada pasokan dan permintaan ketenagakerjaan, melainkan pada
seberapa mampu buruh menekan pengusaha agar membagi keuntungan
mereka pada buruh.

Keuntungan bagi Pengusaha


Dengan argumen palsu itu, pengusaha dapat menerapkan berbagai sistem
yang menguntungkan mereka. Yang pertama berkaitan dengan masalah
“produktivitas”. Dengan alasan bahwa mereka sedang “membeli kerja”,
pengusaha berusaha menekan buruh agar berproduktivitas setinggi
mungkin. Entah dengan tekanan dan ancaman, atau dengan pemberian
insentif, pengusaha berusaha memeras keuntungan semakin banyak dari
keringat buruhnya. Padahal, kita sudah lihat bahwa mereka hanya memberi
upah sebatas “kebutuhan hidup”. Sekalipun ada insentif, jumlahnya pastilah
sangat jauh di bawah nilai tambah yang kita berikan pada pengusaha lewat
kerja kita. Di samping itu, dengan bekerja melebihi batas kemampuan fisik
dan mentalnya, seorang buruh justru memperpendek usia produktivitasnya
sendiri. Kelelahan memicu penyakit dan penuaan dini. Selain daripada itu,
semakin panjangnya waktu yang dihabiskan di tempat kerja (misalnya
karena lembur), akan membuat keluarga tidak terurus – satu sumber stress
dan tekanan lain bagi kesejahteraan buruh.

Untuk memberi kesan bahwa pengusaha sungguh-sungguh membeli


keterampilan, kini diterapkan komponen upah tambahan berdasarkan
sektor. Sektor-sektor yang dianggap membutuhkan ketrampilan tinggi akan
mendapatkan upah minimum sektoral yang lebih tinggi dari sektor-sektor
industri berteknologi rendah. Peraturan ini tengah diterapkan, misalnya saja,
pada sektor otomotif. Namun, ukurannya kemudian menjadi rancu karena
penentuan sektoral itu ditentukan oleh seberapa tinggi teknologi yang
diterapkan oleh industri – bukan oleh seberapa terampil buruhnya. Satu

14
pertanyaan sederhana: apakah seorang buruh bangunan yang
menggunakan peralatan sekedarnya memang kurang terampil dibandingkan
seorang operator robot pembuat mobil? Seorang buruh bangunan harus
mengerahkan segenap ketrampilannya untuk membuat bangunannya kokoh
dan dapat bertahan lama, sementara seorang operator robot cukup
menekan beberapa tombol untuk menggerakkan robotnya. Siapapun yang
pernah mencoba memasang sendiri ubin keramik (tanpa memanggil tukang)
pasti tahu betapa sulitnya pekerjaan itu, dan betapa pekerjaan yang
kelihataannya sederhana itu ternyata membutuhkan ketrampilan yang amat
tinggi. Terlebih jika tidak memiliki peralatan yang memadai. Semakin tinggi
teknologi, justru tingkat ketrampilan yang dibutuhkan untuk
mengoperasikannya semakin rendah.

Dan melalui anggapan bahwa dalam penentuan upah berlaku hukum pasar,
kelas pengusaha kemudian melancarkan tuduhan bahwa serikat buruh
merupakan sebuah kekuatan yang “mendistorsi pasar” – dengan kata lain,
serikat buruh adalah sebuah kekuatan monopoli, yang harus dihapuskan,
sehingga sistem persaingan pasar dapat berjalan dengan lancar. Kenyataan
yang kita temui, setelah serikat dibubarkan (biasanya pasca relokasi atau
PHK massal), pengusaha melakukan tawar-menawar dengan intimidasi:
“kalau kamu tidak mau menerima tingkat upah yang kami tawarkan, masih
banyak orang lain yang kini menganggur ingin juga bekerja di sini.” Dengan
kata lain, “hukum pasar” pada prakteknya adalah alat intimidasi agar buruh
mau menerima tingkat upah yang murah. Hukum Pasar bukanlah sebuah
hukum alam, atau hukum yang berlaku secara objektif, melainkan sebuah
akal-akalan karangan pengusaha agar dapat menekan tingkat upah buruh.
Hakikat Upah

Sistem Produksi Kapitalis


Kalau bukan seperti yang dipahami selama ini, apa sesungguhnya hakikat
upah? Untuk memahami bagaimana upah terbentuk, kita harus lebih dahulu
memahami sistem produksi kapitalis.

Seluruh proses sistem produksi kapitalis selalu dimulai dengan penyediaan


modal. Modal ini, pada jaman ini, selalu berupa uang. Uang ini kemudian
dibelanjakan barang-barang modal: alat kerja, permesinan, bangunan
pabrik, bahan baku, dll. Sekalipun barang-barang modal ini telah terkumpul,
si pemodal masih tetap kekurangan satu unsur yang terpenting: buruh yang

15
akan mengerjakan proses produksi ini. Pada usaha skala mikro (kecil sekali,
misalnya pedagang gorengan atau tukang baso) si pemodal sekaligus
merangkap sebagai buruh karena ia masih sanggup mengerjakan semua
pekerjaan sendiri. Namun, dalam skala yang lebih besar (misalnya warung
tenda atau warteg) sudah tidak ada lagi pekerjaan yang sanggup
diselesaikan sendiri semuanya. Mulai dari skala kecil sampai skala lintas-
negara (trans-nasional) pengusaha sudah harus menyertakan buruh. Dan
dalam tiap usaha yang menyertakan buruh, kita menemui usaha untuk
menekan upah buruh. Pengusaha kecil, misalnya, menggunakan tenaga
keluarganya sendiri sebagai buruh supaya tidak usah memberikan bayaran.
Seringkali anggota keluarganya dianggap “menumpang makan” padanya
sehingga ia tidak merasa perlu mengeluarkan upah secara khusus.

Konsep “menumpang makan” inilah yang sesungguhnya merupakan dasar


konsep upah. Di masa lalu, ketika kapitalisme masih dalam masa kanak-
kanaknya, sistem produksi besar belumlah menjadi norma. Produksi modern
pertama dilangsungkan dalam bentuk gilda, atau padepokan. Seorang
tukang atau empu yang dianggap ahli akan mengangkat beberapa murid
atau cantrik. Cantrik-cantrik ini akan bekerja di bengkel sang empu,
mengerjakan tugas-tugas sang empu, tanpa dibayar sepeser pun selain
diberi makan-minum secukupnya. Mereka mengerjakan ini dengan sukarela
dengan harapan mendapatkan kucuran ilmu sang empu. Pada gilirannya,
jika mereka telah lulus, mereka akan membukan bengkel mereka sendiri.

Karena sistem produksi kapitalis modern berkembang dari sistem gilda ini,
banyak fitur dari sistem ini yang diadopsi oleh kapitalisme. Kebetulan, sistem
pengupahan dalam gilda, yang hanya sekedar untuk makan-minum (baca:
bertahan hidup) cocok dengan hukum dasar kapitalisme yakni pertukaran
dengan sistem pasar. Kerja manusia kemudian dianggap sebagai sebuah
komoditi yang diperjualbelikan di pasar tenaga kerja.

Dua segi dari Kerja dan “Nilai-lebih”


Namun demikian, kerja manusia mengandung dua aspek yang sebenarnya
tidak terpisahkan: (1) kemampuan manusia menghadirkan kerja itu, dan (2)
kerja riil yang dilakukannya atas material produksi tertentu. Sederhananya,
kedua aspek itu adalah (1) kesehatan fisik dan mental si buruh agar dapat
hadir di pabrik; dan (2) hasil produksinya. Dari kedua aspek kerja manusia
ini, ternyata pengusaha hanya membayar untuk aspek pertama,
kemampuan manusia untuk menghadirkan kerja. Pengusaha tidaklah

16
membayar seorang buruh untuk kerja yang dilakukannya di pabrik,
melainkan untuk menjaganya agar tetap dapat hadir di pabrik. Karena
seorang buruh akan terus hadir selama ia sehat, maka ia akan diupah sesuai
jumlah biaya yang dibutuhkannya agar tetap sehat. Itulah mengapa
pengusaha hanya mau mengupah berdasarkan kebutuhan.

Kadang kala, misalnya di pabrik-pabrik mapan yang skala produksi dan


modalnya cukup besar, prestasi kerja juga dibayar – contohnya dalam
bentuk insentif atau remunerasi atau skala prestasi.

Di titik inilah kapitalisme menghadirkan ketidakadilan di atas muka bumi,


sebab pertambahan nilai yang dihasilkan seorang buruh dalam proses
produksi biasanya berjumlah jauh lebih besar daripada total biaya yang
dibutuhkan untuk menghadirkan dirinya ke pabrik. Mari kita coba perjelas
dengan contoh. Misalnya saja, seorang buruh ditarget mengerjakan 30 piece
celana dalam sehari. Jika satu piece celana dijual seharga Rp 50 ribu,
sedangkan harga bahannya dan biaya-biaya lain sekitar Rp 30 ribu per
piece, maka buruh tersebut akan memberi Rp 20 ribu per piece per hari pada
pemilik pabrik, totalnya Rp 600 ribu per hari. Sementara ia hanya diupah
sekitar Rp 27 ribu per hari (UMP DKI Jakarta). Jadi, setelah selesai
mengerjakan piece yang kedua, sesungguhnya si buruh sudah impas.
Bahkan ia sudah memberi pada pemilik pabrik keuntungan yang lebih besar
daripada yang upah yang dibayar pengusaha itu untuk menghadirkan dirinya
ke pabrik. Dengan contoh di atas, seorang buruh memberi uang pada
pengusaha sebesar Rp 573 ribu per harinya. Tapi, sekalipun setelah
mengerjakan piece kedua ia sudah impas, ia tidak diperbolehkan berhenti
bekerja, karena ia sudah dibayar untuk hadir delapan jam sehari. Maka,
pengusaha akan terus mengeruk keuntungan dari selisih antara biaya yang
dikeluarkannya sebagai upah, dan nilai yang dihasilkan buruh melalui kerja.
Kalaupun pengusaha memberi “insentif”, jumlahnya jauh lebih kecil daripada
total nilai yang dihasilkan si buruh. Kalau mengambil contoh di atas,
seandainya pengusaha memberi insentif 10 persen saja dari total
keuntungan yang diserahkan buruh, maka tiap buruh akan mendapat insentif
sebesar Rp 57 ribu sehari. Mana ada kejadian seperti ini kita temui sehari-
hari?

Kita lihat bahwa buruh memberi pengusaha barang senilai Rp 600 ribu per
hari lewat kerjanya. Sementara buruh hanya dapat membeli barang senilai
Rp 27 ribu per hari setelah diupah. Ada selisih sebesar Rp 573 ribu. Selisih

17
inilah yang disebut “nilai lebih” atau surplus value. Dari sinilah datangnya
profit – dan konsentrasi kekayaan di tangan segelintir pengusaha.

Maka, sistem kerja upahan adalah satu tiang pokok ketidakadilan dalam
sistem kapitalis. Berapapun besar upah yang kita terima, tetap saja tidak ada
apa-apanya dibandingkan besarnya nilai-lebih yang kita serahkan pada
pengusaha dalam produksi. Buruh hanya dibayar cukup untuk dia hidup,
tetap datang ke pabrik esok hari, dan tetap produktif.
Perjuangan Untuk Upah

Apakah Pengusaha berniat baik ketika menaikkan upah?


Sejalan dengan perkembangan proses produksinya, pengusaha menyadari
bahwa jika buruh hanya diupah cukup untuk sekedar makan-minum, barang-
barang produksi kapitalis tidak akan dapat diserap pasar. Ini karena dalam
masyarakat industrial, mayoritas anggota masyarakat adalah buruh. Dengan
demikian, buruh adalah juga konsumen yang diandalkan kapitalis untuk
membeli produknya. Melalui iklan dan promosi, pengusaha membuat buruh
“membutuhkan” produk tertentu. Contohnya: kalau dulu buruh tidak butuh
deodoran, sekarang itu sudah jadi kebutuhan primer buruh. Pengusaha
pada dasarnya hanya mau mengupah sebesar “biaya produksi” untuk
menghasilkan kemampuan buruh bekerja – dengan kata lain: biaya
kebutuhan hidupnya. Namun, agar buruh mampu menjadi konsumen bagi
produk yang dihasilkan pengusaha, komponen yang harus diperhatikan
untuk menghitung upahnya pun semakin bertambah.

Kebutuhan objektif kapitalisme untuk membuat buruh menjadi konsumen,


dan perjuangan naluriah buruh untuk lepas dari kesengsaraan dan
kemiskinan, telah membuka ruang bagi perjuangan upah. Pengusaha dan
buruh bertarung untuk menentukan apa saja komponen atau item yang
termasuk dalam “kebutuhan hidup” buruh. Buruh tentu saja ingin agar semua
kebutuhan hidupnya terpenuhi, sementara pengusaha ingin tetap
mempertahankan tingkat upah serendah mungkin.

Kesimpulannya, pengusaha hanya menaikkan upah supaya buruh bisa


semakin konsumtif. Kenaikan itupun tergantung kekuatan buruh untuk
memaksa pengusaha mengakui bahwa kebutuhan hidup buruh telah
bertambah.

18
Hakikat Perjuangan untuk Upah
Dengan demikian, jika kita perhatikan hakikatnya, perjuangan untuk
peningkatan upah bukanlah perjuangan sejati untuk menghapuskan
ketidakadilan dalam sistem kapitalis. Perjuangan itu adalah untuk merebut
kembali sebagian dari kekayaan yang telah diperas dan dihisap kapitalis dari
kerja buruh. Sekalipun perjuangan peningkatan upah dilakukan secara
radikal, perjuangan itu tetaplah berwatak reformis–karena hanya
meringankan kesengsaraan, bukan menghapuskan ketidakadilan.

Perjuangan peningkatan upah hanya akan bermakna jika dilancarkan


dengan kesadaran bahwa peningkatan kesejahteraan yang didapatkan
melalui peningkatan upah akan dipergunakan untuk meningkatkan
kemampuan politik dan organisasional kelas pekerja – dalam rangka
melancarkan perjuangan sejati untuk melepaskan umat manusia dari
penghisapan dan ketidakadilan kapitalisme. Upah yang meningkat haruslah
dimanfaatkan untuk membuat buruh aktif membiayai pendidikan dan
pengolahan ketrampilan kelas pekerja secara umum, termasuk penguatan
serikat-serikat.

Namun demikian, perjuangan untuk mendapatkan upah yang lebih layak


seyogyanya terus dilancarkan oleh organisasi-organisasi kelas pekerja.
Perjuangan ini adalah perjuangan yang paling alamiah dan naluriah bagi
kelas pekerja – dan tentu akan meningkatkan popularitas organisasi kelas
pekerja dihadapan massanya sendiri. Kepopuleran organisasi ini, pada
gilirannya, akan mempermudah upaya menyadarkan massa kelas pekerja
tentang makna sejati perjuangan peningkatan upah.

Perjuangan untuk upah ini juga penting karena pengusaha akan terus-
menerus berupaya untuk menekan tingkat upah buruh. Penekanan ini
penting karena jika buruh upahnya layak, ia akan memiliki uang dan
kesempatan cukup untuk belajar. Kalau buruh pandai, ia akan kritis. Dan
hampir tidak ada pengusaha yang senang buruhnya kritis.

Taktik Pengusaha dan Cara Melawannya


Dan pengusaha punya 1001 cara untuk menekan upah buruh agar tetap
murah. Dalam sejarah perkembangan kapitalisme, sedikitnya ada empat
cara yang telah ditempuh pengusaha:

19
1. Dengan membedakan antara buruh “kerah putih” dan
“kerah biru”: Pengusaha mengangkat status beberapa
orang buruh dan melibatkannya dalam manajemen.
Dengan demikian, buruh yang diangkat statusnya tadi
akan bekerja sebagai kaki-tangan pengusaha dan ikut
menindas rekan-rekannya sesama buruh.
2. Dengan pembagian kerja berdasarkan
geografis/wilayah: Istilah yang kini populer adalah
“relokasi pabrik”. Gejala ini baru kita rasakan di Indonesia,
tapi sesungguhnya hal ini telah lama dilakukan pengusaha
di Eropa dan Amerika – yakni ketika mereka memindahkan
pabrik ke negara-negara berkembang di Asia dan Afrika.
Dengan memindah pabrik, atau dengan mengancam akan
memindah pabrik, pengusaha akan terjamin mendapat
upah murah. Buruh yang takut di-PHK akan lebih mudah
ditekan untuk menerima tingkat upah yang rendah.
3. Dengan pembagian kerja berdasarkan sektor: Cara ini
mirip dengan cara pertama, yang pada hakikatnya adalah
memecah-belah solidaritas antar buruh. Jika buruh dari
berbagai sektor mengadakan perjuangan bersama, besar
kemungkinan tuntutan mereka diterima. Namun, jika
masing-masing sektor sudah berjuang sendiri, pengusaha
bisa memilih sektor mana yang akan mereka anak-
emaskan – sambil meningkatkan tekanan pada sektor
lainnya.
4. Dengan menerapkan “kuota produksi”: Sesuai sistem
ini, buruh dipaksa untuk memenuhi satu jumlah produksi
tertentu. Kata pengusaha, jika mereka bisa melebihi kuota,
akan ada bonus yang lumayan. Demi bonus itu, buruh rela
lembur dan bekerja melebih kemampuan fisiknya. Padahal
kuota itu sendiri sudah sangat tinggi, dan seringkali buruh
sebenarnya tidak mampu memenuhinya. Karena bekerja
memforsir diri, tingkat kesehatan buruh menjadi buruk.
Sehingga, seharusnya pengusaha menambah upah untuk
menjaga buruhnya tetap sehat. Namun, pengusaha tidak
mau tahu. Dan, seringkali, dengan alasan tidak memenuhi
kuota, upah buruhnya malah dipotong. Di samping itu, tiap

20
buruh dipaksa untuk menjadi individualistis. Buruh jadi
melihat peningkatan upah sebagai hasil upaya
perorangan, mereka tidak peduli juga melihat rekannya
gagal mendapatkan peningkatan upah. Bahkan, seringkali
antar buruh terjadi persaingan untuk memenuhi kuota. Ini
merupakan pemecah-belah yang ampuh terhadap
solidaritas buruh.

Kalau melihat sekilas, benang merah dari taktik pengusaha


adalah memecah-belah persatuan dan solidaritas antar buruh.
Caranya yang bisa bermacam-macam. Jika persatuan buruh
sudah pecah, bukan cuma upah yang akan makin rendah tapi
juga kondisi kerja, jaminan keamanan kerja, dll. Karena itu,
perjuangan untuk upah pada hakikatnya adalah perjuangan
untuk menempa kembali rantai solidaritas yang menyatukan
kaum buruh.
Upah dan Negara

Negara biasanya didirikan dengan tujuan menyejahterakan rakyat.


Setidaknya itulah yang biasa disebutkan dalam pembukaan UUD satu
negara – contohnya saja Pembukaan UUD 1945. Namun, pada
kenyataannya, Negara (dalam hal ini pemerintah) Indonesia lebih banyak
berpihak pada pengusaha daripada kepada buruh. Sejak Pemerintahan
Orde Baru berdiri, buruh telah dianggap dan diperlakukan sebagai sapi
perah bagi kepentingan segelintir pengusaha. Di masa Orde Baru kita ingat
bahwa “upah murah” dijadikan primadona untuk menarik pengusaha asing.
Masih di masa Orde Baru, buruh kita dikirim ke luar negeri, dijadikan TKI,
yang nasibnya terlunta-lunta di negeri orang. Saat ini, kita mendengar slogan
“ramah investasi” yang ternyata artinya adalah menerapkan sistem kontrak
dan outsourcing. Ujung-ujungnya adalah membebaskan pengusaha dari
keharusan membayar upah sesuai ketentuan perundang-undangan.

Pemerintah Indonesia, pada saat ini, juga menerapkan satu taktik untuk
memecah-belah persatuan buruh, yakni dengan menerapkan Otonomi
Daerah. Melalui otonomi, tiap penguasa daerah merasa berhak menetapkan
tingkat upah bagi daerahnya sendiri. Dan, celakanya, masing-masing
penguasa daerah seperti berlomba-lomba menekan tingkat upah ini agar
“meningkatkan daya saing” daerahnya dalam menarik minat modal asing.

21
Karena itu, bukan hanya pengusaha saja yang harus didesak untuk
meningkatkan upah. Tapi, kaum pengusaha seringkali berlindung di balik
ketiak pemerintah agar memperoleh kesempatan menekan tingkat upah
serendah mungkin. Oleh karena itu, tekanan terhadap pemerintah juga harus
dilakukan dengan keras – setidaknya agar pemerintah tidak memihak
pengusaha.

Dan, menimbang bahwa taktik pemerintah Indonesia ternyata sejalan


dengan taktik pengusaha, yakni memecah-belah persatuan buruh, maka
perjuangan untuk upah haruslah dilancarkan di tingkat di mana persatuan
buruh dipaksa/ditempa paling keras. Dengan ringkas, perjuangan untuk upah
haruslah merupakan sebuah perjuangan nasional.

Perjuangan di tingkat daerah, untuk memperoleh Upah Propinsi atau Upah


Kota/Kabupaten, tentu saja harus dilakukan. Tapi, jika kebijakan Otonomi
Daerah dan Keramahan Investasi tidak dicabut, perjuangan ini akan
mengalami begitu banyak hambatan dan kekalahan. Dan pencabutan
Otonomi Daerah plus Keramahan Investasi hanya dapat dilakukan di tingkat
nasional. Inilah alasan-alasan mendasar lainnya mengapa perjuangan upah
harus dilakukan secara nasional.
Menghitung Upah yang Layak

Jika kita menerima bahwa perjuangan upah merupakan perjuangan yang


berada dalam kerangka kapitalisme, maka dasar penetapan upah tetaplah
proses jual-beli antara buruh dan pengusaha. Dengan demikian, tingkatan
upah haruslah sesuai dengan biaya yang diperlukan untuk menghadirkan
kemampuan kerja seorang buruh yang sehat secara fisik dan mental di pabrik.

Kebutuhan Fisik, dapat dijabarkan sebagai kebutuhan untuk menjaga


kesehatan ragawi buruh, agar ia dapat bekerja dengan segenap tenaga dan
sanggup berkonsentrasi penuh selama bekerja. Dengan demikian,
komponen pokok dari Kebutuhan Fisik adalah kecukupan gizi, baik untuk
tubuh maupun otak. Tapi, untuk dapat menghadirkan seorang yang sehat ke
dalam proses kerja, dibutuhkan pula biaya untuk menciptakan kesempatan
beristirahat dan memulihkan (restorasi) tenaga yang telah dihabiskan dalam
proses produksi. Komponen biaya tempat tinggal (termasuk listrik dan air)
dan rekreasi masuk dalam kategori ini. Di samping itu, seorang buruh harus

22
juga menjaga kesehatan fisik dan lingkungannya – antara lain dengan
mandi, berpakaian yang layak dan sehat, dan berolahraga. Komponen pokok
terakhir adalah biaya yang dibutuhkan untuk menghadirkan buruh tersebut
secara fisik di pabrik – dengan kata lain, biaya transportasi.

Kebutuhan Mental, mencakup persoalan bagaimana buruh tersebut menjaga


martabat dirinya di tengah pergaulan sosial. Oleh karena itu, kebutuhan
berhias diri dan keterlibatan dalam aktivitas sosial di tengah lingkungan
tempat tinggal harus pula ditanggung oleh pengusaha yang membeli tenaga
buruh tersebut. Seorang buruh juga harus terus meng-upgrade dirinya,
meningkatkan pengetahuannya agar tidak menjadi bahan olok-olok sosial
semacam gaptek atau gagap teknologi. Ia harus banyak membaca dan
mendengar/menonton berita, ia juga harus mendapatkan buku-buku yang
dapat menuntunnya lebih memahami dunia. Selain itu, seorang buruh,
sebagai manusia, juga memiliki kebutuhan komunikasi. Maka, biaya
komunikasi jarak jauh juga harus masuk dalam komponen upah.

Kebutuhan lain yang mencakup sekaligus Kebutuhan Fisik dan Mental


adalah Kebutuhan Berkeluarga. Tiap orang butuh untuk mendapatkan
pasangan hidup, dan meneruskan keturunannya. Kebutuhan ini seringkali
bersesuaian dengan tuntutan sosial dan spiritual yang diberlakukan
masyarakat. Oleh karena itu, perhitungan atas upah tidak boleh berdasarkan
kebutuhan orang lajang semata, melainkan harus memperhitungkan
kebutuhan untuk berkeluarga. Dengan kata lain, seorang buruh harus
dianggap berkeluarga dan memiliki anak ketika menentukan upahnya.

Komponen-komponen ini telah menjadi kebutuhan hidup yang penting


secara sosial bagi buruh Indonesia pada saat sekarang. Oleh karena itulah,
perjuangan upah pada saat ini berarti pula perjuangan untuk membuat
pengusaha dan pemerintah mengakui bahwa inilah yang dibutuhkan buruh
dalam kehidupannya.
Kesimpulan tentang Upah

Menimbang berbagai faktor di atas, maka sudah sepantasnya program yang


diperjuangkan Aliansi Buruh Menggugat adalah Upah Layak Nasional.

Dengan mengusung Upah Layak Nasional, kita dapat sekaligus memenuhi


unsur-unsur pembangunan solidaritas, tekanan pada pemerintah dan

23
pengusaha secara nasional, dan menunjukkan bahwa gerakan buruh
merupakan gerakan yang rasional dan bukan semata-mata mendasarkan
diri pada emosi dan kemaruk ingin upah yang tinggi. Kita tunjukkan bahwa
yang kita tuntut adalah memang apa yang layak kita dapatkan di bawah
sistem penindasan kapitalis.

Perjuangan ini tidak akan menghapuskan kapitalisme. Tapi kita akan


memaksa kapitalis untuk memberikan apa yang sepenuhnya menjadi hak
kita sesuai definisi mereka sendiri tentang upah.

Aliansi Buruh Menggugat dapat menggairahkan partisipasi anggotanya untuk


ikut dalam proses menetapkan apa yang layak bagi diri mereka sendiri – dan
ini berarti upaya untuk mencerdaskan kehidupan buruh. Kampanye Upah
Layak Nasional adalah sumbangsih yang sangat besar dari gerakan buruh
terhadap kemajuan peradaban di negara Indonesia.

ABM: Yang Harus Kita Lakukan

Meletakan Perjuangan Menuntut Standarisasi Upah Layak Nasional


dalam kerangka Melawan Sistem Neoliberalisme
Seperti yang pernah di diskusikan dan di simpulkan dalam Konferensi
Nasional Aliansi Buruh Menggugat yang lalu, bahwa problem pokok (
mendasar ) dari segala problem kemisikinan dan kesejahteraan kaum buruh
dan rakyat miskin Indonesia adalah system neoliberalisme ( penjajahan
bentuk baru ) yang di jalankan oleh pemerintahan SBY – KALLA, DPR/MPR,
Partai Politik pemenang pemilu, Elit – Elit Politik serta didukung oleh
Intelektual pro neolib yang bertebaran di kampus – kampus dan Lembaga –
Lembaga Intelektual lainnya.

Kita juga telah menyimpulkan, bahwa untuk melawan system neoliberalisme


( penjajahan bentuk baru ) ini, dibutuhkan satu fokus serangan yang bisa
menghantam jantung dari sistem ini sekaligus sebagai solusi/jalan keluar
dari persoalan krisis yang dialami oleh kaum buruh dan rakyat miskin, yang
kita nyatakan dalam 4 platform perjuangan ABM yaitu : Penghapusan
Hutang, Nasionalisasi Industri Vital, Pembangunan Industri Nasional dan
Pemberantasan Korupsi.1
1
Untuk penjelasannya, bisa di baca ditulisan awal atau dalam materi
konferensi nasional

24
Dengan demikian, dalam momentum perjuangan menuntut pemberlakukan
standarisasi upah layak nasional, maka tugas ABM adalah secara
sistematis, berkelanjutan dan penuh kesabaran menjelaskan kepada kawan-
kawan buruh, soal apa itu neoliberalisme(penjajahan bentuk baru), dan
bagaimana secara programatik bisa di lawan oleh kaum buruh

Memang bukan pekerjaan yang mudah – dan kita juga harus menyampaikan
kepada kaum buruh, bahwa perjuangan ini memang tidak mudah – karena
secara umum kesadaran kita kaum buruh Indonesia masih dalam kesadaran
menuntut upah yang lebih baik, namun belum melihat neoliberalisme (
penjajahan bentuk baru ) sebagai akar persoalannya, yang dalam bentuk
praktis perjuangan kaum buruh sehari – hari ditunjukan dengan perjuangan
sendiri – sendiri, dengan sasaran tuntutan paling sering adalah pemilik
pabrik di tempat kerja masing – masing, jikapun ada gerakan bersama,
itupun dalam momentum – momentum tertentu.

Pengalaman gelombang perlawanan selama masa penolakan revisi UU


13/2003 menunjukan, bahwa kesadaran akan perjuangan untuk melawan
sistem neoliberalisme ( penjajahan bentuk baru ) belumlah menjadi
kesadaran yang kuat, mayoritas kita belum melihat bahwa sistem
kapitalisme- sistem neoliberalisme ( penjajahan bentuk baru ) sebagai akar
persoalan, sehingga begitu momentum revisi UU 13/2003 telah berlalu,
kehendak melawan dan kehendak persatuanpun menurun jauh.

Oleh karena itu, dalam momentum penetapan upah minimum ke depan ada
beberapa target yang menjadi tugas ABM :

1. Mendorong gerakan anti upah murah terjadi di semua kota dan


kawasan industri, dalam bentuk mobilisasi – mobilisasi massa dan
pemogokan – pemogokan untuk mendapatkan kekuatan yang
besar untuk menekan pemerintahan nasional yang antek kaum
neoliberalisme, maka sudah harus mulai di coba sebuah rencana
pemogokan nasional, yang tentu saja bukan hanya melibatkan
unsur – unsur Aliansi Buruh Menggugat, tapi seluruh serikat buruh,
seluruh buruh dan bahkan seluruh keluarga buruh di seluruh
Indonesia dan menarik dukungan dari organisasi–organisasi

25
kerakyatan di luar serikat buruh yang juga sedang berjuangan
melawan neoliberalisme.
2. Kampanye tentang neoliberalisme ( penjajahan bentuk baru )
sebagai akar persoalan kemiskinan kaum buruh dan rakyat miskin
akan semakin meluas denagn alat ukurnya adalah dengan
munculnya tuntutan – tuntutan anti neoliberalisme ( penolakan
pembayaran utang, nasionalisasi industri vital dan pembangunan
indusrti nasional yang mandiri )
3. Dalam hal tuntutan mendesak, yaitu standarisasi upah layak
nasional 2 , maka tugas Aliansi Buruh Menggugat untuk
memperjuangkannya, terutama dikalangan buruh agar bisa di
terima sebagai tuntutan bersama, jika belum bisa maka kita bisa
melakukan kompromi dalam hal besarnya nominal namun dengan
tetap mengkampanyekan apa yang menjadi dasar – dasar
argumentasi kita dan apa yang solusi dari kita ( tentang
neoliberalisme/penjajahan bentuk baru sebagai akar masalah upah
murah dan pemiskinan, serta penolakan pembayaran utang,
nasionalisasi industri vital dan pembangunan industri nasional yang
mandiri sebagai jalan keluar/solusi terhadap pembangunan
nasional yang kerakyatan )
4. Sekalipun belum disepakati dalam konferensi nasional, namun
sudah saatnya wacana pemerintahan alternatif (kekuasan politik
pada kaum buruh dan rakyat miskin 3 ) mulai di diskusikan. Ini
menjadi penting dan mendesak, karena sudah terbukti berkali–kali,
pergantian kekuasaan di Indonesia tidak pernah mengabdi pada
kaum buruh dan rakyat miskin. Sekalipun terjadi pergantian
Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Anggota DPR/MPR, Pergantian
Bupati/walikota namun karena lingkaran kekuasaan hanya itu – itu
saja ( para Pemilik Modal Pro Neolib, Jenderal Pro Neolib, Elit Partai
Pro Neolib, Intelektual Pro Neolib ) maka kaum buruh dan rakyat
miskin selalu menjadi korban dan selalu disingkirkan

2
Untuk komponen dan besarannya bisa dilihat di bagian lain dari tulisan ini
3
Seperti yang diungkapkan oleh Presiden Republik Bolivarian Venezuela,
Hugo Chaves pada tahun 2005 “….bila kita hendak mengentaskan
kemiskinan, kita harus memberikan kekuasaan pada si miskin, pengetahuan,
tanah, kredit, teknologi dan organisasi. Itulah satu – satunya cara mengakhiri
kemiskinan. “

26
5. Secara organisasi, momentum upah ke depan harus digunakan
oleh Aliansi Buruh Menggugat untuk menguatkan konsolidasi
internal dan memperbesar jaringan. Konsolidasi Internal bermakna
pembangunan struktur ABM dari tingkat wilayah sampai tingkatan
pabrik ( sampai saat ini masih banyak serikat – serikat buruh yang
tergabung dalam ABM di satu wilayah, di satu kota, kawasan
industri maupun tinggkat pabrik yang belum menstrukturkan diri
dalam struktur bersaama ABM sehingga mempersulit koordinasi
dalam langgam kerja perjuangan ), disamping segera membangun
pusat – pusat perjuangan ABM ( dalam bentuk sekretariat bersama
) di setiap tingkatan ( Sekber Wilayah, Sekber Kota, Sekber
Kawasan, Sekber Pabrik ) di seluruh Indonesia. Dalam hal
memperluas jaringan, tugas kita adalah berusaha keras mendorong
kawan – kawan buruh yang saat ini masih belum berorganisasi
untuk membentuk organisasi atau bergabung dengan organisasi
buruh yang ada dan konsisten berjuang, dan kita juga harus
mendorong kawan – kawan yang telah berserikat untuk bersatu
dengan serikat–serikat buruh lain termasuk bersatu dengan ABM,
karena momentum perlawanan upah sangat memungkinkan
terjadinya persatuan yang sangat luas.
6. Karena Pemerintah, Pengusaha, Partai–Partai Politik Pro Neolib
(penjajahan bentuk baru) dan Intelektual pendukungnya pasti akan
berusaha menipu kita dengan alasan–alasan yang bisa membuat
kita menjadi lemah, menjadi tidak berani menuntut, menjadi tidak
berani berorganisasi, menjadi diam dan akhirnya kalah, dan itu di
lakukan dengan berbagai cara terutama dengan media – media
yang mereka miliki. Di koran, televisi, radio dan media – media lain,
setiap hari mereka menakut – nakuti kita, melemahkan iman
perjuangan kita, maka tidak ada jalan lain, kita juga harus tiap hari
berbicara kepada buruh – buruh lain, menjelaskan tiap hari kepada
kawan – kawan sekitar kita, dengan media kita sendiri, dengan
koran kita sendiri, dengan “ Suara ABM”. Artinya “ Suara ABM”
harus masuk ke setiap pabrik, harus masuk ke setiap kontrakan
buruh, harus menjadi bahan diskusi di setiap pertemuan –
pertemuan buruh. Setiap anggota ABM harus memikirkan dan
bertanggung jawab dalam penulisan isinya ( karena koran ini milik
kita, maka semua persoalan, pengalaman perjuangan buruh,

27
kemenangan perjuangan dan juga kekalahannya yang tidak pernah
di muat di koran pengusaha harus di masukan ke “ Suara ABM “
agar semua buruh di Indonesia bisa menyuarakan tuntutannya,
mengalang solidaritasnya, membangun kekuatannya ). Selain
semua kawan harus menulis, kawan – kawan juga harus
bertanggung jawab dalam hal mendistribusikan “Suara ABM” agar
semua kawan mendapatkannya, bahkan sekalipun hanya
mendapatkan kopiannya. “Suara ABM “ adalah tangan yang
menyatukan perjuangan buruh di Aceh dengan perjuangan buruh di
Papua, yang menyatukan perjuangan buruh di Nusa Tenggara
dengan perjungan buruh di Jakarta, antara perjuangan buruh di satu
pabrik dengan perjuangan buruh di pabrik lainnya. Apakah ini
berarti “ Suara ABM “ akan di bagikan gratis ? Jelas tidak, karena
ini adalah koran kita, ini adalah corong kita, ini adalah tangan kita,
maka kitalah yang harus membiayainya, kitalah yang harus
mendanai dengan duit dari keringat kita sendiri. Tidak boleh “ Suara
ABM “ tergantung pada donator di luar kita. Dan momentum
perlawanan terhadap upah murah, akan kita jadikan ajang untuk
menyebarluaskan “ Suara ABM “.

28

Você também pode gostar