Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian asbabun nuzul?
2. Bagaimana Sejarah Perkembangan Ilmu asbabun Nuzul?
3. Bagaimana fungsi Asbabun Nuzul dalam memahami Al-Qur’an?
4. Macam-macam Asbabun Nuzul Al-Qur’an?
5. Aneka Riwayat Sebab Turunya Ayat Al-Qur’an?
6. Pandangan Ulama’ Tentang Asbabun Nuzul Al-Qur’an?
PEMBAHASAN
Asbabun Nuzul merupakan bentuk Idhafah dari kata “asbab” dan “nuzul”.
Secara etimologi Asbabun Nuzul adalah Sebab-sebab yang melatar
belakangi terjadinya sesuatu. Meskipun segala fenomena yang melatar belakangi
terjadinya sesuatu bisa disebut Asbabun Nuzul, namaun dalam pemakaiannya,
ungkapan Asbabun Nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab
yang melatar belakangi turunya al-qur’an, seperti halnya asbab al-wurud yang
secara khusus digunakan bagi sebab-sebab terjadinya hadist.[1]
Sedangkan secara terminology atau istilah Asbabun Nuzul dapat diartikan
sebagai sebab-sebab yang mengiringi diturunkannya ayat-ayat Al-Quran kepada
Nabi Muhammad SAW karena ada suatu peristiwa yang membutuhkan penjelasan
atau pertanyaan yang membutuhkan jawaban.[2]
Banyak pengertian terminologi yang dirumuskan oleh para ulama’,
diantaranya :
1. Menurut Az-Zarqani :
“Asbabun Nuzul adalah khusus atau sesuatu yang terjadi serta ada hubunganya
dengan turunya ayat Al-Qur’an sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu
terjadi.”
2. Ash-Shabuni :
Asbabun Nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunya satu
atau beberapa ayat mulia yang diajukan kepada nabi atau kejadian yang berkaitan
dengan urusan agama.[3]
3. Shubhi Shalih :
ض ِمنَةً لَهُ اَ او ُم ِج ايبَةً َع انهُ أ َ او ُم ِب اينَةً ِل ِحك َِم ِه زَ َمنَ ُو ُك او ِع ِه
َ َ ماَنُ ِزلَ ِةاألَيَةُ ا َ ِو ااْلَياَتُ ِب َسبَ ِب ِه ُمت
Artinya:
“Asbabun Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa
ayat. Al-qur’an (ayat-ayat)terkadang menyiratkan peristiwa itu, sebagai respons
atasnya. Atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum disaat peristiwa itu
terjadi.”
4. Mana’ al-Qhathan:
ُ آن بِشَأانِ ِه َو اقتَ ُوقُ او ِع ِه كَحا َ ِدثَ ٍة ا َ او
.س َؤا ٍل ٌ ماَنُ ِز َل قُ ار
Artinya:
“Asbabun Nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunya Al-
Qur’an berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu
kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi.”
5. Al-Wakidy
Asbabun Nuzul adalah peristiwa sebelum turunya ayat, walaupun “sebelumnya”
itu masanya jauh, seperti adanya peristiwa gajah dengan surat Al-Fiil.[4]
Imam Ibnu Jarir At-Thabari telah mengetengahkan sebuah hadits melalui Ad-
Dahak dan dari Ibnu Abbas RA. Ibnu Abbas RA. Telah menceritakan, bahwa
sesungguhnya penduduk mekah, antara lain Al-Walid Ibnu Mughira dan Syaibah
Ibnu Rabi’ah mengimbau kepada Nabi SAW. Agar mencabut kembali perkataan-
perkataan (seruan dakwahnya). Untuk itu, mereka bersedia memberikan imbalan
kepadanya yaitu memberikan setengah dari harta mereka. Dan orang-orang
munafik dan yahudi di Madinah menakut-nakutinya supaya menghentikan seruan
itu. Apabila tidak, maka mereka akan membunuhnya, kemudian turunlah ayat-
ayat ini. (buku terjemah tafsir al-maraghi, Ahmad Musthafa Al-Maraghi)
َّ الرحْ ٰ َم ِن
ّٰللاِ ِبس ِْم َّ الر ِح ِيم َّ
ُ﴿ ْٱل ٰ َك ِف ُرونَ ٰ ٰٓيَأَيُّ َها ق ْل١﴾ َل
ٰٓ َ ُ ﴿ ت َ ْعبُدُونَ َما أَ ْعبُد٢﴾ َل
ٰٓ َ ﴿ أَ ْعبُد ُ َما ٰٓ ٰ َعبِدُونَ أَنت ُ ْم َو٣﴾ َل ٰٓ َ ﴿ َعبَدتُّ ْم َّما َعابِد أَنَا َو٤﴾ َل ٰٓ َ َو
﴿ أ َ ْعبُد ُ َما ٰٓ ٰ َع ِبدُونَ أَنت ُ ْم٥﴾ ى دِينُ ُك ْم لَ ُك ْمَ ِين َو ِل
ِ د
"Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu
sembah. dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. dan aku tidak
pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,5. dan kamu tidak pernah
(pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.6. untukmu agamamu, dan
untukkulah, agamaku.”(al-Kaafiruun: 1-6)
Diriwayatkan oleh ath-Thabarani dan Ibnu Abi Hatim, yang bersumber dari Ibnu
‘Abbas bahwa kaum Quraisy berusaha mempengaruhi Nabi Muhammad saw
dengan menawarkan harta kekayaan agar beliau menjadi orang yang paling kaya
di kota Mekah.
Mereka juga menawarkan kepada beliau untuk menikahi wanita mana saja yang
beliau kehendaki. Upaya tersebut mereka sampaikan kepda beliau seraya berkata:
“INilah yang kami sediakan bagimu hai Muhammad, dengan syarat engkau
jangan memaki-maki tuhan-tuhan kami dan menjelek-jelekkannya, atau
sembahlah tuhan-tuhan kami selama setahun.” Nabi Muhammad saw menjawab:
“Aku akan menunggu wahyu dari Rabb-ku.” Surat ini turun berkenaan dengan
peristiwa itu sebagai perintah untuk menolak tawaran kaum kafir itu.
Dan turun pula surat az-Zummar ayat 64 64. Katakanlah: “Maka Apakah kamu
menyuruh aku menyembah selain Allah, Hai orang-orang yang tidak
berpengetahuan?” sebagai perintah untuk menolak ajakan orang-orang bodoh
yang menyembah berhala.
Diriwayatkan oleh al-Bazzar dll, dengan sanad yang sahih, yang bersumber dari
Ibnu ‘Abbas bahwa ketika Ka’b bin al-Asyraf (tokoh yahudi) datang ke Mekah,
kaum Quraisy berkata kepadanya; “Tuan adalah pemimpin orang Madinah.
Bagaimana pendapat tuan tentang si pura-pura sabar yang diasingkan oleh
kaumnya, yang menganggap dirinya lebih mulia dari kami, padahal kami adalah
penyambut orang-orang yang melaksanakan haji, pemberi minumnya, serta
penjaga Ka’bah ?” Ka’b berkata: “Kalian lebih mulia daripada dia.” Maka
turunlah ayat ini (al-Kautsar ayat 3) yang membantah ucapan mereka.
Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah di dalam KItab al-Mushannaf dari Ibnul
Mundzir, yang bersumber dari ‘Ikrimah bahwa ketika Nabi Muhammad saw
diberi wahyu, kaum Quraisy berkata: “Terputuslah hubungan Muhammad dengan
kita.” Maka turunlah ayat ini (al-Kautsar ayat 3) sebagai bantahan terhadap
ucapan mereka.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari as-suddi. Juga
diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam Kitab ad-dalaa-il, yang bersumber dari
Muhammad bin ‘Ali, dan disebutkan bahwa yang meninggal itu ialah Qasim.
Bahwa kaum Quraisy menganggap kematian anak laki-laki itu berarti putus
keturunan. Ketika putra Rasulullah saw meninggal, al-‘Ashi bin Wa-il
mengatakan bahwa keturunan Muhammad saw telah terputus. Maka surat al-
Kautsar ayat 3 ini turun sebagai bantahan terhadap ucapan mereka.
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi yang bersumber dari Mujahid bahwa ayat 3 ini
turun berkenaan dengan al-‘Ashi bin Wa-il yang berkata, “Aku membenci
Muhammad.” Maka ayat ini turun sebagai penegasan bahwa orang yang
membenci Rasulullah akan terputus segala kebaikannya.
Diriwayatkan oleh Aththabarani dengan sanad yang dhaif, yang bersumber dari
Ayyub bahwa ketika Ibrahim, putra Rasulullah saw wafat, orang-orang musyrik
berkata satu sama lain: “Orang murtad itu (Muhammad) telah terputus
keturunannya tadi malam.” Allah menurunkan surat al-Kautsar ayat 1-3 ini yang
membantah ucapan mereka.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Sa’id bin Jubair bahwa ayat ini
(ayat 2) turun pada peristiwa Hudaibiyah, ketika Jibril datang kepada rasulullah
memerintahkan kurban dan shalat. Rasulullah segera berdiri seraya
menyampaikan khotbah Idul Fitri-mungkin juga khotbah idul Adha (rawi ragu,
apakah peristiwa di dalam hadits itu terjadi pada bulan Ramadhan atau pada bulan
Zulkaidah) kemudian sholat dua rakaat. Sesudah itu beliau menuju ke tempat
kurban, lalu memotong hewan kurban.
Menurut as-Suyuthi, riwayat ini sangat gharib. Matan hadits ini meragukan,
karena menyebutkan sholat id didahului khotbah.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Syamr bin ‘Athiyyah bahwa
‘Uqbah bin Abi Mu’aith berkata: “Tidak ada seorang pun anak laki-laki Nabi
Muhammad saw yang hidup hingga keturunannya terputus.” Ayat ke 3 ini turun
sebagai bantahan terhadap ucapan itu.
Diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir yang bersumber dari Ibnu Juraij bahwa ketika
Ibrahim putra Rasulullah saw wafat, kaum Quraisy berkata, “Serkarang
Muhammad menjadi abtar (terputus keturunannya).” Hal ini menyebabkan Nabi
Muhammad saw bersedih hati. Maka turunlah ayat ini (al-Kautsar 1-3) sebagai
penghibur baginya. [Sumber: asbabunnuzul, KHQ.Shaleh dkk]
Adapun sebab turunnya ayat ini terdapat dalam riwayat yang di kemukakan
bahwa ada orang yang di perselisihkan, apakah Abu Sufyan atau Abu jahal, Al-
ash Ibn Walid atau selain dari mereka. Konon setiap minggu mereka
menyembelih unta. Suatu ketika, seorang anak yatim datang meminta sedikit
daging yang telah disembelih itu. Namun, ia tidak memberinya bahkan
menghardik dan mengusir anak yatim tersebut. Maka turunlah ayat pertama
sampai ketiga dari surat Al-Ma’un.
Sedang menurut sebuah riwayat yang dituturkan dari sahabat Ibnu Abbas ra yang
melatari turunnya wahyu Allah Al Quran surat Al-Maun ayat keempat sampai
terakhir ini adalah sebagai berikut.
Bahwa pada zaman Rasullah dulu ada sekelompok kaum munafik yang rajin
ibadah, dalam hal ini mengerjakan sholat. Namun patut disayangkan bahwa setiap
mereka sholat itu tidak diniatkan karena Allah, melainkan karena ingin dilihat
oleh orang lain. Ketika ada orang yang melihat mereka sholat maka mereka akan
sholat dengan khusyuknya tetapi jika tidak ada orang yang melihatnya maka
mereka sholat dengan seenaknya bahkan mereka tidak mengerjakannya.
Apa yang dikerjakan selalu ingin mendapatkan pujian dari orang lain atau dengan
kata lain disebut riya. Selain itu kaum munafik ini enggan untuk memberikan
barang-barang berguna yang dimikinya kepada orang yang membutuhkannya
dengan kata lain kaum munafik ini enggan untuk megeluarkan zakat. Allah tidak
menyukai kaum seperti ini. Oleh karena itu, Allah menurunkan wahyu-Nya
kepada Nabi Muhammad saw dengan perantara malaikat Jibril, sebagai ancaman
kepada kaum munafik tersebut dan menggolongkan mereka kedalam orang-orang
yang mendustakan agama Allah.
Asbabun Nuzul merupakan bentuk Idhafah dari kata “asbab” dan “nuzul”.
Secara etimologi Asbabun Nuzul adalah Sebab-sebab yang melatar belakangi
terjadinya sesuatu. Sedangkan sescara terminology atau istilah Asbabun Nuzul
dapat diartikan sebagai sebab-sebab yang mengiringi diturunkannya ayat-ayat al-
Quran kepada Nabi Muhammad SAW karena ada suatu peristiwa yang
membutuhkan penjelasan atau pertanyaan yang membutuhkan jawaban.
Sejak zaman sahabat pengetahuan tentang Asbabun Nuzul dipandang sangat
penting untuk bisa memahami penafsiran Al-Qur’an yang benar. Karena itu
mereka berusaha untuk mempelajari ilmu ini. Mereka bertanya kepada Nabi SAW
tentang sebab-sebab turunya ayat atau kepada sahabat lain yang menjadi saksi
sejarah turunnya ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan demikian pula para tabi’in yang
datang kemudian, ketika mereka harus menafsirkan ayat-ayat hukum, mereka
memerlukan pengetahuan Asbabun Nuzul agar tidak salah dalam mengambil
kesimpulan.
Asbabun Nuzul ada bermacaam-macam, diantarannya :
1. Banyaknya nuzul dengan satu sebab.
2. Penuruna ayat lebih dahulu daripada sebab.
3. Beberapa ayat turun mengenai satu orang.
Hadis atau sunnah merupakan salah satu sumber ajaran islam yang
menduduki posisi sangat signifikan, baik secara struktural maupun fungsional.
Secara struktural menduduki posisi kedua setelah al-Qur’an, namun jika dilihat
secara fungsional, ia merupakan bayan (eksplanasi) terhadap ayat-ayat al-Qur’an
yang bersifat ‘am (umum), mujmal (global) atau mutlaq. Secara tersirat, al-
Qur’an-pun mendukung ide tersebut, antara lain firman Allah SWT:
َاس َمانُ ِز َل ِإلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّ ُه ْم يَتَفَ َّك ُر ْون ِ ََوأ َ ْنزَ ْلنَا ِإلَيْك
ِ َّالذ ْك َر ِلت ُ َب ِينَ ِللن
“Dan kami turnkan al-Qur’an kepadamu (Muhammad) agar kamu menjelaskan
kapada umat manusia apa yang telah diturunkan untuk mereka, dan supaya
mereka memikirkan.”. (QS. An-Nahl 44)
Oleh karena itu tidaklah terlalu berlebihan jika kemudian Imam al-Auza’i
pernah berkesimpulan bahwa al-Qur’an sesungguhnya lebih membutuhkan
kepada al-Hadis daripada sebaliknya. Sebab secara tafshili (rinci) al-Qur’an masih
perlu dijelaskan dengan Hadis.
Ketika kita mencoba memahami suatu Hadis, tidak cukup hanya melihat
teks Hadisnya saja, khususnya ketika Hadis itu mempunyai asbabul wurud,
melainkan kita harus melihat konteksnya. Dengan lain ungkapan, ketika kita ingin
menggali pesan moral dari suatu Hadis, perlu memperhatikan konteks
historitasnya, kepada siapa Hadis itu disampaikan Nabi, dalam kondisi sosio-
kultural yang bagaimana Nabi waktu itu menyampaikannya. Tanpa
memperhatikan konteks historisitasnya (baca: asbabul wurud) seseorang akan
mengalami kesulitan dalam menangkap dan memahami makna suatu Hadis,
bahkan ia dapat terperosok ke dalam pemahaman yang keliru. Itulah mengapa
asbabul wurud menjadi sangat penting dalam diskursus ilmu Hadis, seperti
pentingnya asbabun nuzul dalam kajian tafsir al-Qur’an.
Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa tidak semua Hadis mempunyai
asbabul wurud. Sebagian Hadis mempunyai asbabul wurud khusus, tegas dan
jelas, namun sebagian yang lain tidak. Untuk katagori pertama, mengetahui
asbabul wurud mutlak diperlukan, agar terhindar dari kesalahpahaman
(misunderstanding) dalam menangkap maksud suatu Hadis. Sedangkan untuk
Hadis-Hadis yang tidak mempunyai asbabul wurud khusus, sebagai alternatifnya,
kita dapat menggunakan pendekatan historis, sosiologis, antropologis atau bahkan
pendekatan psikologis sebagai pisau analisis dalam memahami Hadis. Hal ini
didasarkan pada suatu asumsi bahwa Nabi SAW tidak mungkin berbicara dalam
kondisi yang vakum historis dan hampa kultural.
Dan ada juga yang mendifinisikan dengan : suatu jalan menuju terbentuknya suatu
hukum tanpa ada pengaruh apapun dalam hukum itu
Sedangkan kata Wurud bisa berarti sampai, muncul, dan mengalir seperti :
Dengan demikian, secara sederhana asbabul wurud dapat diartikan sebagai sebab-
sebab datangnya sesuatu. Karena istilah tersebut biasa dipakai dalam diskursus
ilmu hadis, maka asbabul wurud maka asbabul wurud dapat diartikan sebagai
sebab-sebab atau latar belakang ( background ) munculnya suatu hadis.
أنه ما يكون طريقا لتحديد المراد من الحديث من عموم أو حصوص أو إطلق أوتقييد أونسخ
أونحو ذالك.
Sesuatu yang menjadi thoriq (metode) untuk menentukan suatu Hadis yang
bersifat umum, atau khusus, mutlak atau muqayyad, dan untuk menentukan ada
tidaknya naskh (pembatalan) dalam suatu Hadis.
Jika dilihat secara kritis, sebenarnya difinisi yang dikemukakan As-Suyuthi lebih
mengacu kepada fungsi asbabu wurud al-Hadis, yakni untuk menentukan takhsis
(pengkususan) dari yang ‘am (umum), membatasi yang mutlak, serta untuk
menentukan ada tidaknya naskh mansukh dalam Hadis dan lain sebagainya.
علم يعرف به السبب الذي ورد ألجله الحديث والزمان الذي جاء به
Sementara itu, ada pula ulama’ yang memberikan definisi asbabul wurud, agak
mirip dengan pengertian asbabun-nusul, yaitu :
Dari ketiga definisi tersebut di atas dapat ditarik benang merah bahwa asbabul
wurud adalah konteks historisitas, baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan
atau lainnya yang terjadi pada saat Hadis itu disampaikan oleh Nabi SAW. Ia
dapat berfungsi sebagai pisau analisis untuk menentukan apakah Hadis itu bersifat
umum atau khusus, mutlaq atau muqayyad, naskh atau mansukh dan lain
sebagainya.
Menurut imam as-Suyuthi asbabul wurud itu dapat dikatagorikan menjadi tiga
macam, yaitu: 1) sebab yang berupa ayat al-Qur’an, 2) sebab yang berupa Hadis
itu sendiri 3) sebab yang berupa sesuatu yang berkaitan dengan para pendengar
dikalangan sahabat.
Berikut ini akan dijelaskan satu-persatu mengenai ketiga macam tersebut, yaitu:
1. Sebab yang berupa ayat al-Qur’an. Artinya di sini ayat al-Qur’an itu
menjadi penyebab Nabi SAW. Mengeluarkan sabdanya. Contohnya antara
lain firman Allah Swt. Yang berbunyi :
الذين أمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك لهم األمن وهم مهتدون
“orang-orang yang beriman, dan mereka tidak mencampur adukkan iman mereka
dengan kedzaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan
mereka itu orang-orang yang mendapatkan petunjuk” (Q.S. Al-An’am: 82)
1. Sebab yang berupa Hadis. Artinya pada waktu itu terdapat suatu Hadis,
namun sebagian sahabat merasa kesulitan memahaminya, maka kemudian
muncul Hadis lain yang memberikan penjelasan terhadap Hadis tersebut.
Contoh adalah Hadis yang berbunyi:
إن هلل تعالى ملئكة في األرض ينطق على ألسنة بني أدم بما في المرء من خير أو شر
“sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi, yang dapat berbicara
melalui mulut manusia mengenai kebaikan dan keburukan seseorang.” (HR.
Hakim)
Sebagai contoh adalah persoalan yang berkaitan dengan sahabat Syuraid Bin
Suwaid ats-Tsaqafi. Pada waktu Fath makkah (pembukaan kota makkah) beliau
pernah datang kepada nabi SAW seraya berkata: “Saya Bernazar Akan Shalat
Dibaitul Maqdis”. Mendengar pernyataan sahabat tersebut, lalu Nabi berssabda:
“Shalat Di Sini, yakni masjidil haram itu lebih utama”. Nabi SAW lalu bersabda:
“Demi Dzat yang Jiwaku Berada dalam kekuasaan-Nya, seandainya kamu shalat
disini (Masjid Al-Haram Makkah), maka sudah mencukupi bagimu untuk
memnuhi nazarmu”. Kemudian Nabi SAW, bersabda lagi: “Shalat Dimasjid Ini,
Yaitu Masjid Al-Haram Itu Lebih Lebih Utama Dari Pada 100 000 Kali Shalat Di
Selain Masjid Al-Haram”. (H.R. Abdurrazzaq Dalam Kitab Al-Mushannafnya).[9]
1. tentang Syafa’at
ت من عند ربي ف َخي ََّرني ِ بيْنَ أن يُد ِْخ َل نصف أمتي الجنة و بين الشفاعة
ٍ )أتاني أ
Artinya: telah datang kepadaku Malaikat dari Tuhanku azza wazalla yang
menyuruh aku memilih diantara separuh umatku masuk surga atau syafa’at.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Musa Al-‘As’ari menurut penilaian Al-
Haitsami, orang orang yang meriwayatkan hadits ini adalah tsiqat (dapat
dipercaya)
Sababul wurud
Dijelaskan dalam musnad imam ahmad bersumber dari abu Musa Al-‘As’ari :
kami telah bertempur melawan musuh bersama Nabi SAW kemudian kami
bersama beliau turun untuk istirahat. Pada suatu malam aku terbangun, namun
beliau tidak ada . aku mencari tetapi yang muncul adalah seorang sahabat yang
juga mencari beliau . untunglah tiba-tiba Nabi datang menuju kami seraya
bersabda; Engkau berada di daerah perang, maka jika engkau akan pergi karena
karena suatu keperluan, katakanlah kepada yang lainnya sehingga ia
menemanimu. Kemudian Rasulullah bercerita : aku telah mendengar suara seperti
gemuruhnya suara lebah dan datanglah seorang malaikat yang menyuruh aku dst.
Keterangan
Yang datang kepada nabi adalah malaikat pembawa kabar gembira yang
menerangkan bahwa nabi boleh memilih diantara dua yang beliau sukai yakni
separuh umatnya masuk surga atau hak syafaat. Beliau memilih syafaat sehingga
seluruh umat beliau akan masuk surga asalkan tidak berbuat syirik.
2. Tentang Konsentrasi
Artinya jika engkau menulis letakkan penamu diatas kupinglu sebab dengan
demikian engkau lebih ingat.
Sababul wurudnya adalah kata anas, muawiyah salah satu seorang penulis wahyu
jika ia lengah atau lupa mencatat wahyu yang diterimanya dari nabi ia meletakkan
penanya kedalam mulutnya. Maka bersabdalah rasulullah: jika engkau menulis,
letakkan penamu di telingamu
Keterangan
Diriwayatkan oleh Thahawi dalam al-atsar dari buraidah r.a dan dari sa’id
berbunyi: arabny (aku larang kamu menziarahi kubur maka sekarang ziarahilah
karena sesunggunya dalam menziarahi kubur itu terdapat pelajaran
Sababul wurud
Kata Burairah: kami bersaama rosul dalam suatu perjalanan. Kami singgah,
sedangkan jumlah kami semuanya hampir 1.000 orang. Beliau mengerjakan shalat
dua rakaat bersama kami. Kemudian beliau menghadapkan mukanya kepada
kami. Air maya beliau mengalir membasahi pipi. Umar pun berdiri dan bersedia
menggantikannya (segala apayang dihadapi nabi dengan dirinya. Umar bertanya:
apa yang engkau rasakan wahai rasul: beliau menerangkan : sesungguhnya ku
mohon izin kepada allah untuk mendo’akan keampunan kepada ibuku (istighfar) ,
tetapi Tuhan tidak mengizinkanku. Maka mengalirlah air mataku sebagai tanda
kasih sayang kepadanya (yang melepaskannya) dari api neraka. Sesungguhnya
aku pernah melarang kamu….dst.[7]
D. Urgensi Asbabul Wurud dan Cara Mengetahuinya
Adapun urgensi asbabul wurud menurut imam as-Suyuthi antara lain untuk:
Sebagai ilustrasi, akan diberikan beberapa contoh mengenai fungsi asbabul wurud
hadis, yaitu untuk menentukan adanya takhsish terhadap suatu hadis yang ‘am,
misalnya hadis yang berbunyi:
“shalat orang yang sambil duduk pahalanya separoh dari orang yang sholat
sambil berdiri.” (H.R. Ahmad)
Pengertian “shalat” dalam hadis tersebut masih bersifat umum. Artinya dapat
berarti shalat fardhu dan sunnat. Jika ditelusuri melalui asbabul wurudnya, maka
akan dapat dipahami bahwa yang dimaksud “shalat” dalam hadis itu adalah shalat
sunnat, bukan shalat fardhu. Inilah yang dimaksud dengan takhshish, yaitu
menentukan kekhususan suatu hadis yang bersifat umum, dengan memperhatikan
konteks asbabul wurud.
Asbabul wurud hadis tersebut adalah bahwa ketika itu dimadinah dan
penduduknya sedang terjangkit suatu wabah penyakit. Maka kebanyakan para
sahabat lalu melakukan shalat sunnah sambil duduk. Pada waktu itu, nabi
kebetulan datang dan tahu bahwa mereka suka melakukan shalat sunnat tersebut
sambil duduk. Maka nabi kemudian bersabda :” shalat orang yang sambil duduk
pahalanya separuh dari orang yang shalat dengan berdiri”. Mendengar pernyataan
nabi tersebut, akhirnya para sahabat yang tidak sakit memilih shalat sunnat sambil
berdiri.
Dari penjelasan asbabul wurud tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan “shalat” dalam hadis itu adalah shalat sunnat. Pengertiannya
adalah bahwa bagi orang yang sesungguhnya mampu melakukan shalat sunnah
sambil duduk, maka ia akan mendapat pahala separoh dari orang shalat sunnat
dengan beridiri.
من سن سنة حسنة عمل بها بعده كان له أجره مثل أجورهم من غير أن ينقص من أجورهم
شيئا و من سن سنة سيئة فعمل بها من بعده كان عليه وزره ومثل أوزارهم من غير أن
ينقص من أوزارهم شيئا
“barang siapa melakukan suatu sunnah hasanah (tradisi atau perilaku yang
baik), lalu sunnah itu diamalkan orang-orang sesudahnya, maka ia akan
mendapatkan pahalanya seperti pahala yang mereka lakukan, tanpa mengurangi
pahala mereka sedikitpun. Demikian pula sebaliknya, barang siapayang
melakukan suatu sunnah sayyi’ah (tradisi atau perilaku yang buruk) lalu diikuti
orang-orang sesudahnya, maka ia akan ikut mendapatkan dosa mereka, tanpa
mengurangi sedikitpun dari dosa yang mereka peroleh.” (H.R. Muslim)
Kata “sunnah” masih bersifat mutlak, artinya belum dijelaskan oleh pengertian
tertentu. Ia dapat berarti sunnah hasanah (perilaku yang baik) dan sunnah sayyi’ah
(perilaku yang jelek). Sunnah merupakankata yang mutlaq baik yang mempunyai
dasar pijakan agama atau tidak.
Asbabul wurud dari hadis tersebut adalah ketika itu Nabi SAW sedang bersama-
sama sahabat. Tiba tiba datanglah sekelompok orang yang kelihatan sangat susah
dan kumuh. Ternyata mereka adalah orang-orang miskin. Melihat fenomena itu,
Nabi SAW wajahnya menjadi merah, karena merasa empati, iba dan kasihan.
Beliau lalu memerintahkan kepada sahabat yang bernama bilal agar
mengumandangkan adzan dan iqamah untuk melakukan shalat jama’ah. Setelah
selesai jama’ah shalat, Nabi SAW kenudian berpidato, yang inti pidatonya adalah
menganjurkan agar bertaqwa kepada Allah SWT dan mau menginfaqkan sebagian
hartanya untuk sekelompok orang-orang miskin tersebut.
Mendengar anjuran itu, maka salah seorang dari sahabat Anshar lalu keluar
membawa satu kantong bahan makanan dan diberikan kepada mereka. Ternyata
yang dilakukan oleh Anshar itu kemudian diikuti oleh para sahabat yang lain.
Maka kemudian Nabi bersabda :
Adapun cara mengetahui asbabul wurudnya sebuah hadis adalah dengan melihat
aspek riwayat atau sejarah yang berkaitan dengan peristiwa wurudnya hadis,
sebab-sebab wurudnya hadis, ada yang sudah tercantum pada matan hadis itu
sendiri, ada yang tercantum pada matan hadis lain. Dalam hal tidak tercantum,
maka ditelusuri melalui riwayat atau sejarah atas dasar pemberitaan para sahabat.
Ilmu mengenai asbabul wurud al-hadis ini sebenarnya telah ada sejak zaman
sahabat. Hanya saja ilmu ini belum tersusun secara sistematis dalam suatu bentuk
kitab-kitab. Demikian kesimpulan as-Suyuthi dalam al-Luma’ fi Asbabi wurud al-
hadis. Namun kemudian, seiring dengan perkembangan dunia keilmuan waktu itu,
ilmu asbab al-wurud menjadi berkembang. Para ulama ahli hadis rupa-rupanya
merasakan perlunya disusun suatu kitab secara tersendiri mengenai asbabul
wurud.
Adapun kitab-kitab yang banyak berbicara mengenai asbabul wurud antara lain
adalah:
1. Asbabu wurud al-Hadis karya Abu hafs al-Ukbari (w. 339 H.), namun
sayang kitab tersebut tidak dapat sampai ke tangan kita.
2. Asbabu wurud al-hadis karya Abu Hamid Abdul Jalil Al-Jabari. Kitab
tersebut juga tidak sempat sampai ketangan kita.
3. Asbabu Wurud al-Hadis atau yang disebut juga al-Luma’ fi Asbab
Wurudil hadis, karya Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi. Kitab tersebut
sudah ditahqiq oleh Yahya Ismail Ahmad.
4. Al-Bayan wa at-Ta’rif karya Ibnu Hamzah Al-Husaini ad-Damasyqi
(w.1110 H.)
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
Munawwar, Said Agil Husin dan Abdul Mustaqim, Asbabul wurud Studi kritis
Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001, Cet 1
Soetari, Endang, Ilmu hadits, Bandung: Amal Bakti Press, 1997, Cet ke 2
Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, 2001 Asbabul Wurud study
kritis hadits nabi pendekatan sosio/histories/-kontekstual Yogyakarta PT. Pustaka
Pelajar Hlm.05
Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, 2001 Asbabul Wurud study
kritis hadits nabi pendekatan sosio/histories/-kontekstual Yogyakarta PT. Pustaka
Pelajar. Hlm 6
Munzier Suparta, 2008 Ilmu Hadits Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 38-
.39
Ibid. hlm 09
Endang soetari, Ilmu Hadits, (Bandung: Amal Bakti Press, 1997). Hlm 211