Você está na página 1de 24

Asbabun nuzul

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Al-Qur’an merupakan pedoman hidup bagi seluruh umat manusia yang
diwahyukan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW.
Pengembagan studi keislaman yang berkaitan dengan al-Qur’an dapat ditempuh di
antaranya dengan pendekatan sosio-historis. Aplikasi pendekatan tersebut
memungkinkan penemuan nilai-nilai dan makna substansial dalam al-Qur’an.
Ayat-ayat al-Qur’an dapat dikategorikan menjadi dua kelompok menurut sebab
turunnya ayat. Pertama, ayat yang turun dengan adanya sebab; kedua, ayat yang
turun tanpa sebab atau peristiwa yang melatarbelakanginya, seperti ayat-ayat yang
menceritakan umat terdahulu, berita-berita alam ghaib, gambaran alam barzakh,
persaksian alam kebagkitan, keadaan hari kiamat dan sebagainya
Pada masa Rasulullah, banyak peristiwa terjadi yang belum diketahui
hukumnya me nurut islam. Beberapa sahabat juga sering bertanya kepada
Rasulullah tentang sesuatu yang belum mereka pahami. Kemudian mereka
bertanya kepada Rasulullah untuk mengetahui hukum Islam mengenai hal itu .
Maka al-Qur’an turun untuk menjelaskan atau menunjukkan hukum atas peristiwa
atau pertanyaan yang muncul tersebut. Jawaban dari al-Qur’an merupakan
pedoman hidup bagi umat manusia. Itulah yang kemudian disebut dengan
Asbabun Nuzul, yaitu sebab-sebab turunya ayat-ayat al-Qur’an. Untuk lebih
mengetahui atau memahami maksud al-Qur’an secara utuh maka lebih utama jika
mengetahui tentang Asbabun Nuzul. Pengenmbangan studi keislaaman yang
berkaitan dengan al-Qur’an dapat ditempuh diantaranya dengan pendekatan
Sosio-historis.
Pendekatan ini memungkinkan penemuan nilai-nilai dan makna substansial
dalam al-Qur’an yang terangkum dalam Asbabun Nuzul, yakni sesuatu yang
disebabkan olehnya diturunkan suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung
peristiwa, atau menerangkan hukumnya pada saat terjadinya peristiwa itu. Karena
kita bisa salah menangkap pesan-pesan Al-Qur’an secara utuh, jika hanya
memahami dari bahasanya saja secara tekstual tanpa memahami konteks Sosio-
historisnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian asbabun nuzul?
2. Bagaimana Sejarah Perkembangan Ilmu asbabun Nuzul?
3. Bagaimana fungsi Asbabun Nuzul dalam memahami Al-Qur’an?
4. Macam-macam Asbabun Nuzul Al-Qur’an?
5. Aneka Riwayat Sebab Turunya Ayat Al-Qur’an?
6. Pandangan Ulama’ Tentang Asbabun Nuzul Al-Qur’an?
PEMBAHASAN

A. Pengertian Asbabun Nuzul

Asbabun Nuzul merupakan bentuk Idhafah dari kata “asbab” dan “nuzul”.
Secara etimologi Asbabun Nuzul adalah Sebab-sebab yang melatar
belakangi terjadinya sesuatu. Meskipun segala fenomena yang melatar belakangi
terjadinya sesuatu bisa disebut Asbabun Nuzul, namaun dalam pemakaiannya,
ungkapan Asbabun Nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab
yang melatar belakangi turunya al-qur’an, seperti halnya asbab al-wurud yang
secara khusus digunakan bagi sebab-sebab terjadinya hadist.[1]
Sedangkan secara terminology atau istilah Asbabun Nuzul dapat diartikan
sebagai sebab-sebab yang mengiringi diturunkannya ayat-ayat Al-Quran kepada
Nabi Muhammad SAW karena ada suatu peristiwa yang membutuhkan penjelasan
atau pertanyaan yang membutuhkan jawaban.[2]
Banyak pengertian terminologi yang dirumuskan oleh para ulama’,
diantaranya :
1. Menurut Az-Zarqani :
“Asbabun Nuzul adalah khusus atau sesuatu yang terjadi serta ada hubunganya
dengan turunya ayat Al-Qur’an sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu
terjadi.”
2. Ash-Shabuni :
Asbabun Nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunya satu
atau beberapa ayat mulia yang diajukan kepada nabi atau kejadian yang berkaitan
dengan urusan agama.[3]
3. Shubhi Shalih :
‫ض ِمنَةً لَهُ اَ او ُم ِج ايبَةً َع انهُ أ َ او ُم ِب اينَةً ِل ِحك َِم ِه زَ َمنَ ُو ُك او ِع ِه‬
َ َ ‫ماَنُ ِزلَ ِةاألَيَةُ ا َ ِو ااْلَياَتُ ِب َسبَ ِب ِه ُمت‬
Artinya:
“Asbabun Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa
ayat. Al-qur’an (ayat-ayat)terkadang menyiratkan peristiwa itu, sebagai respons
atasnya. Atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum disaat peristiwa itu
terjadi.”
4. Mana’ al-Qhathan:
ُ ‫آن بِشَأانِ ِه َو اقتَ ُوقُ او ِع ِه كَحا َ ِدثَ ٍة ا َ او‬
.‫س َؤا ٍل‬ ٌ ‫ماَنُ ِز َل قُ ار‬

Artinya:
“Asbabun Nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunya Al-
Qur’an berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu
kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi.”
5. Al-Wakidy
Asbabun Nuzul adalah peristiwa sebelum turunya ayat, walaupun “sebelumnya”
itu masanya jauh, seperti adanya peristiwa gajah dengan surat Al-Fiil.[4]

Bentuk-bentuk peristiwa yang melatar belakangi turunnya Al-qur’an itu


sangat beragam, di antaranya berupa:konflik sosial seperti ketegangan yang terjadi
amtara suku Aus dan suku Khazraj; kesalahan besar, seperti kasus salah seorang
sahabat yang mengimami sholat dalam keadaan mabuk: dan pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang sahabat kepada Nabi, baik berkaitan
dengan sesuatu yang telah lewat, sedang, atau yang akan terjadi.
Persoalan apakah seluruh ayat Al-Qur’an memiliki Asbabun Nuzul atau
tidak, ternyata telah menjadi bahan kontroversi diantara para uulama’. Sebagian
ulama’ berpendapat bahwa tidak semua ayat Al-Qur’an memiliki Asbabun Nuzul.
Sehingga, diturunkan tanpa ada yang melatar belakanginya (Ibtida’), dan adapula
ayat Al-Qur’an itu diturunkan dengan dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa (ghair
ibtida’).
Pendapat tersebut hampir merupakan konsensus para ulama. Akan tetapi,
ada yang menguatkan bahwa kesejarahan Arabia pra-Qur’an pada masa turunnya
Al-Qur’an merupakan latar belakang makro Al-Qur’an; sementara riwayat-
riwayat Asbabun Nuzul merupakan latar belakang mikronya. Pendapat ini berarti
menganggap bahwa semua ayat Al-Qur’an memiliki sebab-sebab yang
melatarbelakanginya.

B. Sejarah Perkembangan Ilmu Asbabun Nuzul


Sejak zaman sahabat pengetahuan tentang Asbabun Nuzul dipandang sangat
penting untuk bisa memahami penafsiran Al-Qur’an yang benar. Karena itu
mereka berusaha untuk mempelajari ilmu ini. Mereka bertanya kepada Nabi SAW
tentang sebab-sebab turunya ayat atau kepada sahabat lain yang menjadi saksi
sejarah turunnya ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan demikian pula para tabi’in yang
datang kemudian, ketika mereka harus menafsirkan ayat-ayat hukum, mereka
memerlukan pengetahuan Asbabun Nuzul agar tidak salah dalam mengambil
kesimpulan.[5]
Dalam perkembangannya ilmu asbabun nuzul menjadi sangat urgen. Hal ini
tak lepas dari jerih payah perjuangan para ulama’ yang mengkhususkan diri dalam
upaya membahas segala ruang lingkup sebab nuzulnya Al-Qur’an. Diantaranya
yang terkenal yaitu Ali bin Madini, Al-wahidy dengan kitabnya Asbabun Nuzul,
Al-Ja’bary yang meringkas kitab Al wahidi, Syaikhul Islam Ibn Hajar yang
mengarang sebuah kitab mengenai asbabun nuzul. Dan As-Suyuthi mengarang
kitab Lubabun Nuqul fi Asbab An-Nuzul, sebuah kitab yang sangat memadai dan
jelas serta belum ada yang mengarang.[6]

C. Fungsi Ilmu Asbabun Nuzul Dalam Memahami Al-Qur’an


Pentingnya mempelajari dan mengetahui Asbabun Nuzul adalah untuk
memahami ayat Al-Qur’an, baik dalam mengistimbath hukum atau dalam
beristidlal, atau sekedar memahami maksud ayat. Tidak mungkin memahami
kandungan makna suatu ayat tanpa mengetahui sebab turunnya ayat tersebut.[7]
Al Wahidi menjelaskan: “tidaklah mungkin mengetahui tafsir ayat tanpa
mengetahui dan penjelasan sebab turunnya.” Ibn Daqiqil ‘Id berpendapat,
“Keternagan sebab nuzul adalah cara yang kuat (tepat) untuk mengetahui makna
Al-Qur’an. Ibn Taimiyah mengatakan: “Mengetahui sebab nuzul akan membantu
dalam memahami ayat, karena mengetahui sebab menimbulkan pengetahuan
mengenai musabab (akibat).”
Contohnya dalam QS. Al-Baqoroh ayat 158 yang artinya “Sesungguhnya
Safa dan Marwa adalah sebagian dari syi’ar Allah. Maka barang siapa
beribadah haji ke Baitullah atau berumrah,maka tidak ada dosa baginya untuk
mengerjakan sa’i di antara keduanya. Dan barang siapa mengerjakan suatu
kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri
kebaikan dan Maha Mengetahui.”
Lafal ayat ini secara tekstual tidak menunjukkan bahwa sa’i itu wajib, sebab
ketiadaan dosa untuk mengerjakannya itu menunjukkan “kebolehan” dan
bukannya “kewajiban.” Sebagian ulama’ juga berpendapat demikian, karena
berpegang pada arti tekstual ayat itu.[8]
Dalam uraian yang lebih rinci Az-Zarqani mengemukakan urgensi sebab An-
Nuzul dalam memahami Al-qur’an sebagai berikut :
1. Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam
menangkap pesan ayat-ayat Al-Qur’an.
2. Mengatasi keraguan ayat yang diduga memiliki keraguan umum.
3. Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an.
4. Mengidentifikasi pelaku yang menyebabkan ayat Al-Qur’an turun.
5. Memudahkan untuk menghafal dan memahami ayat, serta untuk
memantapkan wahyu ke dalam hati orang yang mendengarnya.
6. Penegasan bahwa Al-Qur’an benar-benar dari Allah SWT, bukan buatan
manusia.
7. Penegasan bahwa Allah benar-benar memberi pengertian penuh pada
Rasulullah dalam menjalankan misi risalahnya.
8. Mengetahui makna serta rahasia-rahasia yang terkandung dalam Al-
Qur’an.
9. Seseorang dapat menentukan apakah ayat mengandung pesan khusus atau
umum dan dalam keadaan bagaimana ayat aitu harus diterapkan.
10. Mengetahui secara jelas hikmah disyariatkannya suatu hukum.

D. Macam- Macam Asbabun Nuzul

1. Banyaknya nuzul dengan satu sebab


Terkadang banyak ayat turun, sedangkan sebabnya hanya satu. Dalam hal
ini tidak ada permasalahan yang cukup penting, karena itu banyak ayat yang turun
didalam berbagai surat berkenaan dengan satu peristiwa. Contohnya ialah apa
yang di riwayatkan oleh Said bin Mansur, ‘Abdurrazaq, Tirmidzi, Ibn jarir, Ibnul
Munzir, Ibn Abi Hatim, tabrani, dan Hakim yang mengatakan shahih, dari Ummu
salamah, ia berkata : “Rasullullah, aku tidak mendengar Allah menyebutkan kaum
perempuan sedikitpun mengenai hijrah. Maka Allah menurunkan : maka tuhan
mereka memperkenankan permohonanya (dengan firman) : “sesungguhny aku
tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-
laki ataupun perempuan : (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian
yang lain...(Ali ‘Imran [3]:195).
Diriwayatkan pula oleh Ahmad, Nasa’i, Ibn Jarir, Ibnul Munzir, Tabarani,
dan Ibn Mardawih dari Ummu Salamah yang mengatakan ; “Aku telah bertanya :
Rasulullah, mengapa kami tidak disebutkan dalam al-qur’an seperti kaum laki-laki
? maka suatu harti aku dikejutkan oleh suara Rasulullah diatasa mimbar. Ia
membacakan : Sesungguhnya laki-laki dan perempuan Muslim.. sampai akhir ayat
35 Surat al-Ahzab [33].”
Diriwayatkan pula oleh Hakim dari Ummu Salamah yang mengatakan :
“kaum laki-laki berperang sedang kaum perempuan tidak. Disamping itu kami
hhanya memperoleh warisan setengah bagian? Maka Allah menurunkan ayat :
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan terhadap apa yang
dikaruniakan sebagian dari kamu lebih banyak dari sebagian yang usahakan, dan
bagi para wanitapun ada bagian dari apa yang mereka usahan pula.. (an-Nisa’
[4]:32) dan ayat : sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim..” ketiga
ayat tersebut turun ketika satu sebab.

2. Penuruna ayat lebih dahulu daripada sebab


Az-Zarkasyi dalam membahas fi ulumil qur’an karya Manna’ Khalil Al
Qattan mengemukakan satu macam pembahasan yang berhubungan dengan sebab
nuzul yang dinamakan “penurunan ayat lebih dahulu daripada hukum
(maksud)nya.” Contoh yang diberikan dalam hal ini tidaklah menunjukkan bahwa
ayat itu turun mengenai hukum tertentu, kemudian pengalamanya datang
sesudahnya. Tetapi hal tersebut menunjukan bahwa ayat itu diturunkan dengan
lafadz mujmal (global), yang mengandung arti lebih dari satu, kemudian
penafsiranya dihubungkan dengan salah satu arti-arti tersebut, sehingga ayat tadi
mengacu pada hukum yang datang kemudian. Misalnya firman Allah :
Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman)
[87]:14). Ayat tertsebutdijadikan dalil untuk zakat fitrah. Diriwayatkan oleh
baihaqi dengan disanadkan kepada Ibn Umar, bahwa ayat itu turun berkenaan
dengan zakat Ramadhon ( Zakat Fitrah), kemudian dengan isnad yang marfu’
Baihaqi meriwayatkan pula keterangan yang sama. Sebagian dari mereka barkata :
aku tidak mengerti maksud pentakwilan yang seperti ini, sebab surah itu Makki,
sedang di Makkah belum ada Idul fitri dan zakat.”[9]
Didalam ayat tersebut, Bagawi menjawab bahwa nuzul itu boleh saja
mendahului hukumnya, seperti firman Allah : aku benar-benar bersumpah dengan
kota ini, dan kaum (Muhammad) bertempat di kota ini (al-Balad [90]:1-2). Surah
ini Makki, dan bertempatnya di Makkah, sehingga Rasulullah berkata : “Aku
mnenempati pada siang hari).”

3. Beberapa ayat turun mengenai satu orang


Terkadang seorang sahabat mengalami peristiwa lebih datri satu kali, dan
al-qur’an pun turun mengenai setiap peristiwanya. Karena itu, banyak ayat yang
turun mengenai setiap peristiwanya. Karena itu, banyak ayat yang turun mengenai
nya sesuai dengan banyaknya peristiwa yang terjadi. Misalnya apa yang
diriwayatkan oleh Bukhari tentang berbakti kepada kedua orang tua. Dari sa’d bin
Abi Waqqas yang mengatakan : “ada empat ayat al-qur’an turun berkenaan
denganku. Pertama, ketika ibuku bersumpah bahwa ia tidak akan makan dan
minum sebelum aku mwninggalkan Muhammad, lalu Allah menurunkan : dan
jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang
tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamumengikutio keduanya
dan pergauilah keduanya didunia dengan baik (luqman[31]:15).
Kedua ketika aku mengambil sebilah pedang dan mengaguminya, maka aku
berkata kepada Rasulullah : “Rasulullah, berikanlah kepadaku pedang ini”. Maka
turunlah : mereka bertanya kepadamu tenytang pembagiuan harta rampasan
perang (al-anfal [8]:1).
Ketiga, ketika aku sedang sakit Rasulullah datang mengunjungilku
kemudian aku bertanya kepadanya : “Rasulullah, aku ingin membagikan hartaku,
bolehkah aku mewasiatkan separuhnya?” rasulullah diam. maka wasiat dengan
sepertiga harta itu dibolehkan.
Keempat, ketika aku sedang minum minuman keras (khamr) bersama kaum
Ansor, seorang dari mereka memukul hidungku dengan tulang rahang unta. Lalu
aku datang kepada Rasulullah , maka Allah ‘Azza Wajalla menurunkan larangan
minumkhamr.” [5].

E. Contoh-Contoh azbabun nuzul


1. Contoh Asbabun nuzul QS. Al-Ahzab Ayat 1-3

‫ّٰللاَ َو ََل ت ُ ِطعِ ْال ٰك ِف ِريْنَ َو ْال ُم ٰن ِف ِقيْنَ ۗ ا َِّن ه‬ ٰۤ


‫ّٰللاَ َكانَ َع ِل ْي ًما َح ِك ْي ًما‬ ‫ق ه‬ ِ َّ ‫ي ات‬
ُّ ِ‫ٰيـاَيُّ َها ال َّنب‬
"Wahai nabi! Bertakwalah kepada Allah dan janganlah engkau menuruti
(keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui, Maha Bijaksana,"

‫ّٰللاَ َكانَ ِب َما تَ ْع َملُ ْونَ َخ ِبي ًْرا‬


‫َّواتَّ ِب ْع َما ي ُْو ٰ ٰٓحى اِ َليْكَ ِم ْن َّر ِبكَ ۗ ا َِّن ه‬
"dan ikutilah apa yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan,"

‫ّٰللاِ ۗ َوك َٰفى ِب ه‬


‫اّٰللِ َو ِكي ًْل‬ ‫َّوت ََو َّك ْل َعلَى ه‬
"dan bertawakallah kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pemelihara."
(QS. Al-Ahzab 33: Ayat 3)

Imam Ibnu Jarir At-Thabari telah mengetengahkan sebuah hadits melalui Ad-
Dahak dan dari Ibnu Abbas RA. Ibnu Abbas RA. Telah menceritakan, bahwa
sesungguhnya penduduk mekah, antara lain Al-Walid Ibnu Mughira dan Syaibah
Ibnu Rabi’ah mengimbau kepada Nabi SAW. Agar mencabut kembali perkataan-
perkataan (seruan dakwahnya). Untuk itu, mereka bersedia memberikan imbalan
kepadanya yaitu memberikan setengah dari harta mereka. Dan orang-orang
munafik dan yahudi di Madinah menakut-nakutinya supaya menghentikan seruan
itu. Apabila tidak, maka mereka akan membunuhnya, kemudian turunlah ayat-
ayat ini. (buku terjemah tafsir al-maraghi, Ahmad Musthafa Al-Maraghi)

2. Asbabun nuzul Al Qur'an Surat al-Kaafiruun

َّ ‫الرحْ ٰ َم ِن‬
‫ّٰللاِ ِبس ِْم‬ َّ ‫الر ِح ِيم‬ َّ
ُ‫﴿ ْٱل ٰ َك ِف ُرونَ ٰ ٰٓيَأَيُّ َها ق ْل‬١﴾ ‫َل‬
ٰٓ َ ُ ‫﴿ ت َ ْعبُدُونَ َما أَ ْعبُد‬٢﴾ ‫َل‬
ٰٓ َ ‫﴿ أَ ْعبُد ُ َما ٰٓ ٰ َعبِدُونَ أَنت ُ ْم َو‬٣﴾ ‫َل‬ ٰٓ َ ‫﴿ َعبَدتُّ ْم َّما َعابِد أَنَا َو‬٤﴾ ‫َل‬ ٰٓ َ ‫َو‬
‫﴿ أ َ ْعبُد ُ َما ٰٓ ٰ َع ِبدُونَ أَنت ُ ْم‬٥﴾ ‫ى دِينُ ُك ْم لَ ُك ْم‬َ ‫ِين َو ِل‬
ِ ‫د‬
"Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu
sembah. dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. dan aku tidak
pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,5. dan kamu tidak pernah
(pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.6. untukmu agamamu, dan
untukkulah, agamaku.”(al-Kaafiruun: 1-6)

Diriwayatkan oleh ath-Thabarani dan Ibnu Abi Hatim, yang bersumber dari Ibnu
‘Abbas bahwa kaum Quraisy berusaha mempengaruhi Nabi Muhammad saw
dengan menawarkan harta kekayaan agar beliau menjadi orang yang paling kaya
di kota Mekah.

Mereka juga menawarkan kepada beliau untuk menikahi wanita mana saja yang
beliau kehendaki. Upaya tersebut mereka sampaikan kepda beliau seraya berkata:
“INilah yang kami sediakan bagimu hai Muhammad, dengan syarat engkau
jangan memaki-maki tuhan-tuhan kami dan menjelek-jelekkannya, atau
sembahlah tuhan-tuhan kami selama setahun.” Nabi Muhammad saw menjawab:
“Aku akan menunggu wahyu dari Rabb-ku.” Surat ini turun berkenaan dengan
peristiwa itu sebagai perintah untuk menolak tawaran kaum kafir itu.

Dan turun pula surat az-Zummar ayat 64 64. Katakanlah: “Maka Apakah kamu
menyuruh aku menyembah selain Allah, Hai orang-orang yang tidak
berpengetahuan?” sebagai perintah untuk menolak ajakan orang-orang bodoh
yang menyembah berhala.

Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq yang bersumber dari Wahb dan diriwayatkan


pula oleh Ibnul Mundzir yang bersumber dari Juraij bahwa kaum kafir Quraisy
berkata kepada Nabi sumber: asbabunnuzul KHQ.Shaleh dkk

3. Asbabun nuzul Al Qur'an Surat al-Kautsar Ayat 1-3

َ ‫اِنَّ ٰۤا ا َ ْع‬


‫طي ْٰنكَ ْالك َْوث َ َر‬
"Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak."
Allah SWT berfirman:

‫ص ِل ِل َر ِبكَ َوا ْن َح ْر‬


َ َ‫ف‬
"Maka laksanakanlah sholat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah
dan mendekatkan diri kepada Allah)."

‫ا َِّن شَانِئَكَ ه َُو ْاَلَ ْبت َُر‬


"Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat
Allah)."

Diriwayatkan oleh al-Bazzar dll, dengan sanad yang sahih, yang bersumber dari
Ibnu ‘Abbas bahwa ketika Ka’b bin al-Asyraf (tokoh yahudi) datang ke Mekah,
kaum Quraisy berkata kepadanya; “Tuan adalah pemimpin orang Madinah.
Bagaimana pendapat tuan tentang si pura-pura sabar yang diasingkan oleh
kaumnya, yang menganggap dirinya lebih mulia dari kami, padahal kami adalah
penyambut orang-orang yang melaksanakan haji, pemberi minumnya, serta
penjaga Ka’bah ?” Ka’b berkata: “Kalian lebih mulia daripada dia.” Maka
turunlah ayat ini (al-Kautsar ayat 3) yang membantah ucapan mereka.

Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah di dalam KItab al-Mushannaf dari Ibnul
Mundzir, yang bersumber dari ‘Ikrimah bahwa ketika Nabi Muhammad saw
diberi wahyu, kaum Quraisy berkata: “Terputuslah hubungan Muhammad dengan
kita.” Maka turunlah ayat ini (al-Kautsar ayat 3) sebagai bantahan terhadap
ucapan mereka.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari as-suddi. Juga
diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam Kitab ad-dalaa-il, yang bersumber dari
Muhammad bin ‘Ali, dan disebutkan bahwa yang meninggal itu ialah Qasim.
Bahwa kaum Quraisy menganggap kematian anak laki-laki itu berarti putus
keturunan. Ketika putra Rasulullah saw meninggal, al-‘Ashi bin Wa-il
mengatakan bahwa keturunan Muhammad saw telah terputus. Maka surat al-
Kautsar ayat 3 ini turun sebagai bantahan terhadap ucapan mereka.

Diriwayatkan oleh al-Baihaqi yang bersumber dari Mujahid bahwa ayat 3 ini
turun berkenaan dengan al-‘Ashi bin Wa-il yang berkata, “Aku membenci
Muhammad.” Maka ayat ini turun sebagai penegasan bahwa orang yang
membenci Rasulullah akan terputus segala kebaikannya.

Diriwayatkan oleh Aththabarani dengan sanad yang dhaif, yang bersumber dari
Ayyub bahwa ketika Ibrahim, putra Rasulullah saw wafat, orang-orang musyrik
berkata satu sama lain: “Orang murtad itu (Muhammad) telah terputus
keturunannya tadi malam.” Allah menurunkan surat al-Kautsar ayat 1-3 ini yang
membantah ucapan mereka.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Sa’id bin Jubair bahwa ayat ini
(ayat 2) turun pada peristiwa Hudaibiyah, ketika Jibril datang kepada rasulullah
memerintahkan kurban dan shalat. Rasulullah segera berdiri seraya
menyampaikan khotbah Idul Fitri-mungkin juga khotbah idul Adha (rawi ragu,
apakah peristiwa di dalam hadits itu terjadi pada bulan Ramadhan atau pada bulan
Zulkaidah) kemudian sholat dua rakaat. Sesudah itu beliau menuju ke tempat
kurban, lalu memotong hewan kurban.

Menurut as-Suyuthi, riwayat ini sangat gharib. Matan hadits ini meragukan,
karena menyebutkan sholat id didahului khotbah.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Syamr bin ‘Athiyyah bahwa
‘Uqbah bin Abi Mu’aith berkata: “Tidak ada seorang pun anak laki-laki Nabi
Muhammad saw yang hidup hingga keturunannya terputus.” Ayat ke 3 ini turun
sebagai bantahan terhadap ucapan itu.

Diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir yang bersumber dari Ibnu Juraij bahwa ketika
Ibrahim putra Rasulullah saw wafat, kaum Quraisy berkata, “Serkarang
Muhammad menjadi abtar (terputus keturunannya).” Hal ini menyebabkan Nabi
Muhammad saw bersedih hati. Maka turunlah ayat ini (al-Kautsar 1-3) sebagai
penghibur baginya. [Sumber: asbabunnuzul, KHQ.Shaleh dkk]

4. Asbabun nuzul Al Qur'an Surat Al-Ma'un

Menurut mayoritas ulama’, surat ini termasuk ke dalam surah Makkiyah.


Sebagian menyatakan Madaniyah’ dan ada juga yang berpendapat bahwa ayat
pertama sampai ayat ketiga turun di Mekah dan sisanya turun di Madinah.
Pendapat lain juga mengatakan bahwa awal surat ini turun di Mekah, sebelum
nabi berhijrah. Sedangkan akhirnya yang berbicara tentang riya’ dalam shalatnya
turun di Mekah.Yang berpendapat surat ini Makkiyah, menyatakan ia adalah
wahyu yang ke-17 yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. Ia turun sesudah
ayat At-Takatsur dan sebelum surah Al-Kafirun.

Adapun sebab turunnya ayat ini terdapat dalam riwayat yang di kemukakan
bahwa ada orang yang di perselisihkan, apakah Abu Sufyan atau Abu jahal, Al-
ash Ibn Walid atau selain dari mereka. Konon setiap minggu mereka
menyembelih unta. Suatu ketika, seorang anak yatim datang meminta sedikit
daging yang telah disembelih itu. Namun, ia tidak memberinya bahkan
menghardik dan mengusir anak yatim tersebut. Maka turunlah ayat pertama
sampai ketiga dari surat Al-Ma’un.

Sedang menurut sebuah riwayat yang dituturkan dari sahabat Ibnu Abbas ra yang
melatari turunnya wahyu Allah Al Quran surat Al-Maun ayat keempat sampai
terakhir ini adalah sebagai berikut.

Bahwa pada zaman Rasullah dulu ada sekelompok kaum munafik yang rajin
ibadah, dalam hal ini mengerjakan sholat. Namun patut disayangkan bahwa setiap
mereka sholat itu tidak diniatkan karena Allah, melainkan karena ingin dilihat
oleh orang lain. Ketika ada orang yang melihat mereka sholat maka mereka akan
sholat dengan khusyuknya tetapi jika tidak ada orang yang melihatnya maka
mereka sholat dengan seenaknya bahkan mereka tidak mengerjakannya.

Apa yang dikerjakan selalu ingin mendapatkan pujian dari orang lain atau dengan
kata lain disebut riya. Selain itu kaum munafik ini enggan untuk memberikan
barang-barang berguna yang dimikinya kepada orang yang membutuhkannya
dengan kata lain kaum munafik ini enggan untuk megeluarkan zakat. Allah tidak
menyukai kaum seperti ini. Oleh karena itu, Allah menurunkan wahyu-Nya
kepada Nabi Muhammad saw dengan perantara malaikat Jibril, sebagai ancaman
kepada kaum munafik tersebut dan menggolongkan mereka kedalam orang-orang
yang mendustakan agama Allah.

Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan


Allah akan membalas tipuan mereka, dan apabila mereka berdiri untuk shalat
mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan
manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS An
Nisa: 142.

F. Aneka Riwayat Sebab Turunya Ayat Al-Qur’an


Banyak riwayat mmengenai sebab turunya suatu ayat. Dalam keadaan
demikian sikap seorang musafir kepadanya sebagai berikut :
1. Apabila bentuk redaksi tidak tegas, seperti : “ayat ini turun mengenai
urusan ini”, atau “aku mengira ayat ini turun mengenai urusan ini”, maka
dalam hal ini tidak ada kontradiksi diantara riwayat-riwayat itu, sebab
maksud riwayat–riwayat tersebut adalah penafsiran dan penjelasan bahwa
hal itu termasuk kedalam makna ayat yang disimpulkan darinya, bukan
menyebutkan sebab nuzul, kecuali bila ada qorinah atau indikasi pada
salah satu riwayat bahwa maksudnya adalah penjelasan sebab nuzul.[10]
2. Apabila salah satu bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, misalnya “ayat
ini turun mengenai urusan ini”, sedang riwayat yang lain menyebutkan
sebab nuzul dengan tegas yang berbeda dengan riwayat pertama, maka
yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan sebab nuzul
secara tegas, dan riwayat yang lain dipandang termasuk didalam hukum
ayat.
3. Apabila riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan sebab nuzul,
sedang salah satu riwayat diantaranya itu shahih, maka yang menjadi
pegangan adalah riwayat yang shahih.
4. Apabila riwayat-riwayat itu sama namun terdapat segi yang memperkuat
salah satunya, seperti kehadiran perawi dalam kisah tersebut, atau salah
satu dari riwayat-riwayat itu lebih shahih, maka riwayat yang lebih kuat
itulah yang didahulukan.
5. Apabila riwayat-riwayat riwayat tersebutn sama kuat, mak riwayat-riwayat
itu dipadukan atau dikompromikan bila mungkin, hingga dinyatakan
bahwa ayat tersebut turun sesudah terjadi dua buah sebab atau lebih karena
jarak waktui diantara sebab-sebab itu berdekatan.
6. Bila riwayat-rawayat itu tidak bisa dikompromikan karena jarak waktu
antara sebab-sebab tersebut berjauhan, maka hal yang demikian, dipandan
sebagai banyak berulangnya nuzul.[6]

F. Pandangan Ulama’ Tentang Asbabun Nuzul Al-Qur’an


Para ulama’ tidak sepakat mengenai kedudukan asbab al nuzul.
Mayoritas ulama tidak memberikan keistimewaan khusus kepada ayat-ayat yang
mempunyai riwayat asbab al nuzul, karena yang terpenting dari mereka ialah apa
yang tertera didalam redaksi ayat. Jumhur ulama’ kemudian menetapkan suatu
kaidah : “yang dijadikan pegangan ialah keumuman lafadz, bukan kekhususan
sebab”. Sedangkan sebagian kecil ulama’ memandang penting keberadaan
riwayat-riwayat asbab al nuzul didalam memahami ayat. Golongan ini juga
memenetapkan satu kaidah : “yang dijadikan pegangan adalah kekhususan sebab,
bukan keumuman lafadz”
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa ayat-ayat yang diturunkan
berdasarkan sebab khusus tetapi diungkapkan dalam bentuk lafadz umum, maka
yang dijadikan pegangan adalah lafadz umum.
Contoh turunya surat Q.S Al Maidah:38:
“laki-laki yang mencuri dan pertempuan yang mencuri, motonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Ayat ini turun berkenaan dengan pencurian sejumlah perhiasan yang
dilakukan seseorang pada masa Nabi. Tetapi ayat ini menggunakan lafadz ‘am,
yaitu isim mufrad yang dita’rifkan dengan lam (al) jinsiyyah, mayoritas ulama’
memahami ayat tersebut berlaku umum \, tidak hanya tertuju kepada yang
menjadi sebab turunya ayat.
Sebagian kecil ulama’ mempunyai sisi pandangan lain. Mereka berpegang
kepada akaidah kedua dengan alasan bahwa kalau yang dimaksud tuhan adalah
kaidah lafadz umum, bukan untuk menjelaskan suatu peristiwa atau sebab khusus,
mengapa tuhan menunda penjelasan hukumnya hingga terjadinya peristiwa
tersebut.
KESIMPULAN

Asbabun Nuzul merupakan bentuk Idhafah dari kata “asbab” dan “nuzul”.
Secara etimologi Asbabun Nuzul adalah Sebab-sebab yang melatar belakangi
terjadinya sesuatu. Sedangkan sescara terminology atau istilah Asbabun Nuzul
dapat diartikan sebagai sebab-sebab yang mengiringi diturunkannya ayat-ayat al-
Quran kepada Nabi Muhammad SAW karena ada suatu peristiwa yang
membutuhkan penjelasan atau pertanyaan yang membutuhkan jawaban.
Sejak zaman sahabat pengetahuan tentang Asbabun Nuzul dipandang sangat
penting untuk bisa memahami penafsiran Al-Qur’an yang benar. Karena itu
mereka berusaha untuk mempelajari ilmu ini. Mereka bertanya kepada Nabi SAW
tentang sebab-sebab turunya ayat atau kepada sahabat lain yang menjadi saksi
sejarah turunnya ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan demikian pula para tabi’in yang
datang kemudian, ketika mereka harus menafsirkan ayat-ayat hukum, mereka
memerlukan pengetahuan Asbabun Nuzul agar tidak salah dalam mengambil
kesimpulan.
Asbabun Nuzul ada bermacaam-macam, diantarannya :
1. Banyaknya nuzul dengan satu sebab.
2. Penuruna ayat lebih dahulu daripada sebab.
3. Beberapa ayat turun mengenai satu orang.

Adapun contoh-contoh asbabun nuzul:


1. Asbabun nuzul QS. Al-Ahzab Ayat 1-3
2. Asbabun nuzul Al Qur'an Surat al-Kaafiruun
3. Asbabun nuzul Al Qur'an Surat al-Kautsar Ayat 1-3
4. Asbabun nuzul Al Qur'an Surat Al-Ma'un
DAFTAR PUSTAKA

Didin saefudin Buchori, 2005, Pedoman Memahami Kandungan Al-


Qur’an, Granada Pustaka : Bogor:
Manna’ Khalil Al-Qattan, 2001, Studi Ilmu-Uilmu Al-Qur’an, Pustaka Litera
AntarNusa : Bogor
Rosihon Anwar, 2000,Ulum Al-Qur’an, Pustaka setia:
Bandung
Asbabul Wurud
A. Pendahuluan

Hadis atau sunnah merupakan salah satu sumber ajaran islam yang
menduduki posisi sangat signifikan, baik secara struktural maupun fungsional.
Secara struktural menduduki posisi kedua setelah al-Qur’an, namun jika dilihat
secara fungsional, ia merupakan bayan (eksplanasi) terhadap ayat-ayat al-Qur’an
yang bersifat ‘am (umum), mujmal (global) atau mutlaq. Secara tersirat, al-
Qur’an-pun mendukung ide tersebut, antara lain firman Allah SWT:

َ‫اس َمانُ ِز َل ِإلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّ ُه ْم يَتَفَ َّك ُر ْون‬ ِ َ‫َوأ َ ْنزَ ْلنَا ِإلَيْك‬
ِ َّ‫الذ ْك َر ِلت ُ َب ِينَ ِللن‬
“Dan kami turnkan al-Qur’an kepadamu (Muhammad) agar kamu menjelaskan
kapada umat manusia apa yang telah diturunkan untuk mereka, dan supaya
mereka memikirkan.”. (QS. An-Nahl 44)

Adanya perintah agar Nabi SAW. Menjelaskan kapada umat manusia


mengenai al-Qur’an, baik melalui ucapan, perbuatan atau taqrirnya, dapat
diartikan bahwa Hadis berfungsi sebagai bayan (penjelas) terhadap al-Qur’an.

Oleh karena itu tidaklah terlalu berlebihan jika kemudian Imam al-Auza’i
pernah berkesimpulan bahwa al-Qur’an sesungguhnya lebih membutuhkan
kepada al-Hadis daripada sebaliknya. Sebab secara tafshili (rinci) al-Qur’an masih
perlu dijelaskan dengan Hadis.

Disamping sebagai bayan terhadap al-Qur’an, Hadis secara mandiri


sesungguhnya dapat menetapkan suatu ketetapan yang belum diatur dalam al-
Qur’an. Namun persoalannya adalah bahwa untuk memahami suatu Hadis dengan
“baik”, tidaklah mudah. Untuk itu, diperlukan seperangkat metodologi dalam
memahami Hadis.

Ketika kita mencoba memahami suatu Hadis, tidak cukup hanya melihat
teks Hadisnya saja, khususnya ketika Hadis itu mempunyai asbabul wurud,
melainkan kita harus melihat konteksnya. Dengan lain ungkapan, ketika kita ingin
menggali pesan moral dari suatu Hadis, perlu memperhatikan konteks
historitasnya, kepada siapa Hadis itu disampaikan Nabi, dalam kondisi sosio-
kultural yang bagaimana Nabi waktu itu menyampaikannya. Tanpa
memperhatikan konteks historisitasnya (baca: asbabul wurud) seseorang akan
mengalami kesulitan dalam menangkap dan memahami makna suatu Hadis,
bahkan ia dapat terperosok ke dalam pemahaman yang keliru. Itulah mengapa
asbabul wurud menjadi sangat penting dalam diskursus ilmu Hadis, seperti
pentingnya asbabun nuzul dalam kajian tafsir al-Qur’an.
Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa tidak semua Hadis mempunyai
asbabul wurud. Sebagian Hadis mempunyai asbabul wurud khusus, tegas dan
jelas, namun sebagian yang lain tidak. Untuk katagori pertama, mengetahui
asbabul wurud mutlak diperlukan, agar terhindar dari kesalahpahaman
(misunderstanding) dalam menangkap maksud suatu Hadis. Sedangkan untuk
Hadis-Hadis yang tidak mempunyai asbabul wurud khusus, sebagai alternatifnya,
kita dapat menggunakan pendekatan historis, sosiologis, antropologis atau bahkan
pendekatan psikologis sebagai pisau analisis dalam memahami Hadis. Hal ini
didasarkan pada suatu asumsi bahwa Nabi SAW tidak mungkin berbicara dalam
kondisi yang vakum historis dan hampa kultural.

B. Pengertian Asbabul Wurud

Secara etimologis, “asbabul wurud” merupakan susunan idhafah yang


berasal dari kata asbab dan al-wurud. Kata “asbab” adalah bentuk jamak dari
kata “sabab”. Menurut ahli bahasa diartikan dengan “al-habl” (tali), saluran yang
artinya dijelaskan sebagai segala yang menghubungakan satu benda dengan benda
lainnya sedangakan menurut istilah adalah :

‫كل شيء يتوصل به الى غا يته‬

“Segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan”

Dan ada juga yang mendifinisikan dengan : suatu jalan menuju terbentuknya suatu
hukum tanpa ada pengaruh apapun dalam hukum itu

Sedangkan kata Wurud bisa berarti sampai, muncul, dan mengalir seperti :

‫الماء الذي يورد‬

“Air yang memancar atau air yang mengalir “

Dengan demikian, secara sederhana asbabul wurud dapat diartikan sebagai sebab-
sebab datangnya sesuatu. Karena istilah tersebut biasa dipakai dalam diskursus
ilmu hadis, maka asbabul wurud maka asbabul wurud dapat diartikan sebagai
sebab-sebab atau latar belakang ( background ) munculnya suatu hadis.

Menurut as-suyuthi, secara terminology asbabul wurud diartikan sebagai berikut :

‫أنه ما يكون طريقا لتحديد المراد من الحديث من عموم أو حصوص أو إطلق أوتقييد أونسخ‬
‫أونحو ذالك‬.

Sesuatu yang menjadi thoriq (metode) untuk menentukan suatu Hadis yang
bersifat umum, atau khusus, mutlak atau muqayyad, dan untuk menentukan ada
tidaknya naskh (pembatalan) dalam suatu Hadis.
Jika dilihat secara kritis, sebenarnya difinisi yang dikemukakan As-Suyuthi lebih
mengacu kepada fungsi asbabu wurud al-Hadis, yakni untuk menentukan takhsis
(pengkususan) dari yang ‘am (umum), membatasi yang mutlak, serta untuk
menentukan ada tidaknya naskh mansukh dalam Hadis dan lain sebagainya.

Dengan demikian, nampaknya kurang tepat jika definisi itu dimaksudkan


untuk merumuskan pengertian asbabul wurud menurut Prof.Dr. Said Agil Husin
Munawwar untuk merumuskan pengertian asbabul wurud, kita perlu mengacu
kepada pendapat hasbi ash-shiddiqie. Beliau mendefinisikan asbabul wurud
sebagai berikut :

‫علم يعرف به السبب الذي ورد ألجله الحديث والزمان الذي جاء به‬

“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab nabi SAW. Menuturkan sabdanya dan


masa-masa nabi SAW. Menuturkannya”.

Sementara itu, ada pula ulama’ yang memberikan definisi asbabul wurud, agak
mirip dengan pengertian asbabun-nusul, yaitu :

‫ما ورد الحديث أيام وقوعه‬

“Sesuatu (baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-pertanyaan) yang


terjadi pada waktu Hadis itu disampaikan oleh nabi SAW.”

Dari ketiga definisi tersebut di atas dapat ditarik benang merah bahwa asbabul
wurud adalah konteks historisitas, baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan
atau lainnya yang terjadi pada saat Hadis itu disampaikan oleh Nabi SAW. Ia
dapat berfungsi sebagai pisau analisis untuk menentukan apakah Hadis itu bersifat
umum atau khusus, mutlaq atau muqayyad, naskh atau mansukh dan lain
sebagainya.

Dengan demikian, dalam perspektif ini mengetahui asbabul wurud bukanlah


tujuan (ghayah), melainkan hanya sebagai sarana (washilah) untuk memperoleh
ketepatan makna dalam memahami pesan moral suatu Hadis.

C. Macam-Macam Asbabul Wurud

Menurut imam as-Suyuthi asbabul wurud itu dapat dikatagorikan menjadi tiga
macam, yaitu: 1) sebab yang berupa ayat al-Qur’an, 2) sebab yang berupa Hadis
itu sendiri 3) sebab yang berupa sesuatu yang berkaitan dengan para pendengar
dikalangan sahabat.

Berikut ini akan dijelaskan satu-persatu mengenai ketiga macam tersebut, yaitu:

1. Sebab yang berupa ayat al-Qur’an. Artinya di sini ayat al-Qur’an itu
menjadi penyebab Nabi SAW. Mengeluarkan sabdanya. Contohnya antara
lain firman Allah Swt. Yang berbunyi :
‫الذين أمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك لهم األمن وهم مهتدون‬

“orang-orang yang beriman, dan mereka tidak mencampur adukkan iman mereka
dengan kedzaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan
mereka itu orang-orang yang mendapatkan petunjuk” (Q.S. Al-An’am: 82)

Ketika itu sebagian sahabat memahami kata “azh-zhulmu” dengan pengertian al


jaur yang berarti berbuat aniaya atau melanggar aturan. Nabi SAW. Kemudian
memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud “azh-zhulmu” dalam firman
tersebut adalah asy-syirku yakni perbuatan syirik, sebagaimana yang disebutkan
dalam surat al-Luqman:

‫إن الشرك لظلم عظيم‬

“sesungguhnya syirik itu merupakan kezhaliman yang besar.” (Q.S al-Luqman:


13)

1. Sebab yang berupa Hadis. Artinya pada waktu itu terdapat suatu Hadis,
namun sebagian sahabat merasa kesulitan memahaminya, maka kemudian
muncul Hadis lain yang memberikan penjelasan terhadap Hadis tersebut.
Contoh adalah Hadis yang berbunyi:

‫إن هلل تعالى ملئكة في األرض ينطق على ألسنة بني أدم بما في المرء من خير أو شر‬

“sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi, yang dapat berbicara
melalui mulut manusia mengenai kebaikan dan keburukan seseorang.” (HR.
Hakim)

Dalam memahami Hadis tersebut, ternyata para sahabat merasa kesulitan,


maka mereka bertanya: Ya rasul !, bagaimana hal itu dapat terjadi? Maka Nabi
SAW menjelaskan lewat sabdanya yang lain sebagaimana Hadis yang
diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Suatu ketika Nabi SAW bertemu dengan
rombongan yang membawa jenazah. Para sahabat kemudian memberikan pujian
terhadap jenazah tersebut, seraya berkata: “Jenazah itu baik”. Mendengar pujian
tersebut, maka Nabi berkata: “wajabat” (pasti masuk surga) tiga kali. Kemudian
Nabi SAW bertemu lagi dengan rombongan yang membawa jenazah lain.
Ternyata para sahabat mencelanya, seraya berkata: “Dia itu orang jahat”.
Mendengar pernyataan itu, maka Nabi berkata: “wajabat”. (pasti masuk neraka).

Ketika mendengar komentar Nabi SAW yang demikian, maka para


sahabat bertanya: “Ya rasul !, mengapa terhadap jenazah pertama engkau ikut
memuji, sedangkan terhadap jenazah kedua tuan ikut mencelanya. Engkau
katakan kepada kedua jenazah tersebut: “wajabat” sampai tiga kali. Nabi
menjawab: ia benar. Lalu Nabi berkata kepada Abu Bakar, wahai Abu Bakar
sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi. Melalui mulut
merekalah, malaikat akan menyatakan tentang kebaikan dan keburukan seseorang.
(HR. al-Hakim dan al-Baihaqi)
Dengan demikian, yang dimaksud dengan para malaikat Allah di bumi yang
menceritakan tentang kebaikan keburukan seseorang adalah para sahabat atau
orang-orang yang mengatakan bahwa jenazah ini baik dan jenzah itu jahat.

1. 3. Sebab yang berupa perkaitan yang berkaitan dengan para pendengar


dikalangan sahabat.

Sebagai contoh adalah persoalan yang berkaitan dengan sahabat Syuraid Bin
Suwaid ats-Tsaqafi. Pada waktu Fath makkah (pembukaan kota makkah) beliau
pernah datang kepada nabi SAW seraya berkata: “Saya Bernazar Akan Shalat
Dibaitul Maqdis”. Mendengar pernyataan sahabat tersebut, lalu Nabi berssabda:
“Shalat Di Sini, yakni masjidil haram itu lebih utama”. Nabi SAW lalu bersabda:
“Demi Dzat yang Jiwaku Berada dalam kekuasaan-Nya, seandainya kamu shalat
disini (Masjid Al-Haram Makkah), maka sudah mencukupi bagimu untuk
memnuhi nazarmu”. Kemudian Nabi SAW, bersabda lagi: “Shalat Dimasjid Ini,
Yaitu Masjid Al-Haram Itu Lebih Lebih Utama Dari Pada 100 000 Kali Shalat Di
Selain Masjid Al-Haram”. (H.R. Abdurrazzaq Dalam Kitab Al-Mushannafnya).[9]

D. Contoh – Contoh Asbabul Wurud

1. tentang Syafa’at

‫ت من عند ربي ف َخي ََّرني ِ بيْنَ أن يُد ِْخ َل نصف أمتي الجنة و بين الشفاعة‬
ٍ ‫)أتاني أ‬

Artinya: telah datang kepadaku Malaikat dari Tuhanku azza wazalla yang
menyuruh aku memilih diantara separuh umatku masuk surga atau syafa’at.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Musa Al-‘As’ari menurut penilaian Al-
Haitsami, orang orang yang meriwayatkan hadits ini adalah tsiqat (dapat
dipercaya)

Sababul wurud

Dijelaskan dalam musnad imam ahmad bersumber dari abu Musa Al-‘As’ari :
kami telah bertempur melawan musuh bersama Nabi SAW kemudian kami
bersama beliau turun untuk istirahat. Pada suatu malam aku terbangun, namun
beliau tidak ada . aku mencari tetapi yang muncul adalah seorang sahabat yang
juga mencari beliau . untunglah tiba-tiba Nabi datang menuju kami seraya
bersabda; Engkau berada di daerah perang, maka jika engkau akan pergi karena
karena suatu keperluan, katakanlah kepada yang lainnya sehingga ia
menemanimu. Kemudian Rasulullah bercerita : aku telah mendengar suara seperti
gemuruhnya suara lebah dan datanglah seorang malaikat yang menyuruh aku dst.

Keterangan

Yang datang kepada nabi adalah malaikat pembawa kabar gembira yang
menerangkan bahwa nabi boleh memilih diantara dua yang beliau sukai yakni
separuh umatnya masuk surga atau hak syafaat. Beliau memilih syafaat sehingga
seluruh umat beliau akan masuk surga asalkan tidak berbuat syirik.

2. Tentang Konsentrasi

‫إذا كتبت فَض ْع قلمك على اذُنِكَ فإنه أَذْكر لك‬

Artinya jika engkau menulis letakkan penamu diatas kupinglu sebab dengan
demikian engkau lebih ingat.

Diriwayatkan oleh al khatib dalam tarikhnya dari anas bin malik

Sababul wurudnya adalah kata anas, muawiyah salah satu seorang penulis wahyu
jika ia lengah atau lupa mencatat wahyu yang diterimanya dari nabi ia meletakkan
penanya kedalam mulutnya. Maka bersabdalah rasulullah: jika engkau menulis,
letakkan penamu di telingamu

Keterangan

Hadits ini mengisyaratkan perlunya persiapan dan pemusatan pikiran di saat


menulis dan mempelajari ilmu.

3. Tentang Menziarahi kubur

ِ ‫إني نهيتكم عن زيارة القبور فزورها َو ْل‬


‫تزدكم زيارتُها أجرا‬

“Sesungguhnya aku pernah melarang kamu menziarahi kubur maka sekarang


ziarahilah dan tambahilah pahala kamu dengan menziarahinya”.

Diriwayatkan oleh Thahawi dalam al-atsar dari buraidah r.a dan dari sa’id
berbunyi: arabny (aku larang kamu menziarahi kubur maka sekarang ziarahilah
karena sesunggunya dalam menziarahi kubur itu terdapat pelajaran

Sababul wurud

Kata Burairah: kami bersaama rosul dalam suatu perjalanan. Kami singgah,
sedangkan jumlah kami semuanya hampir 1.000 orang. Beliau mengerjakan shalat
dua rakaat bersama kami. Kemudian beliau menghadapkan mukanya kepada
kami. Air maya beliau mengalir membasahi pipi. Umar pun berdiri dan bersedia
menggantikannya (segala apayang dihadapi nabi dengan dirinya. Umar bertanya:
apa yang engkau rasakan wahai rasul: beliau menerangkan : sesungguhnya ku
mohon izin kepada allah untuk mendo’akan keampunan kepada ibuku (istighfar) ,
tetapi Tuhan tidak mengizinkanku. Maka mengalirlah air mataku sebagai tanda
kasih sayang kepadanya (yang melepaskannya) dari api neraka. Sesungguhnya
aku pernah melarang kamu….dst.[7]
D. Urgensi Asbabul Wurud dan Cara Mengetahuinya

Asbabul wurud mempunyai peranan yang sangat penting dalam rangka


memahami suatu hadis. Sebab biasanya hadis yang disampaikan oleh Nabi
bersifat kasuistik, cultural, bahkan temporal. Oleh karenanya, memperhatikan
konteks historisitas munculnya hadis sangat penting, karena paling tidak akan
menghindarkan kesalahpahaman dalam menangkap maksud suatu hadis.
Sedemikian rupa sehingga kita tidak terjebak pada teksnya saja, sementara
konteksnya kita abaikan atau kita ketepikan sama sekali. Pemahaman hadis yang
mengabaikan peranan asbabul wurud akan cenderung bersfat kaku, literalis-
skriptualis, bahkan kadang kurang akomodatif terhadap perkembangan zaman.

Adapun urgensi asbabul wurud menurut imam as-Suyuthi antara lain untuk:

1. Menentukan adanya takhsish hadis yang bersifat umum.


2. Membatasi pengertian hadis yang masih mutlak.
3. 3. Mentafshil (memerinci) hadis yang masih bersifat global.
4. Menentukan ada atau tidak adanya nash-mansukh dalamsuatu hadis.
5. Menjelaskan ‘illat (sebab-sebab) ditetapkannya suatu hukum.
6. Menjelaskan maksud suatu hadis yang masih musykil (sulit dapahami)

Sebagai ilustrasi, akan diberikan beberapa contoh mengenai fungsi asbabul wurud
hadis, yaitu untuk menentukan adanya takhsish terhadap suatu hadis yang ‘am,
misalnya hadis yang berbunyi:

‫صلة القاعد على النصف من صلة القائم‬

“shalat orang yang sambil duduk pahalanya separoh dari orang yang sholat
sambil berdiri.” (H.R. Ahmad)

Pengertian “shalat” dalam hadis tersebut masih bersifat umum. Artinya dapat
berarti shalat fardhu dan sunnat. Jika ditelusuri melalui asbabul wurudnya, maka
akan dapat dipahami bahwa yang dimaksud “shalat” dalam hadis itu adalah shalat
sunnat, bukan shalat fardhu. Inilah yang dimaksud dengan takhshish, yaitu
menentukan kekhususan suatu hadis yang bersifat umum, dengan memperhatikan
konteks asbabul wurud.

Asbabul wurud hadis tersebut adalah bahwa ketika itu dimadinah dan
penduduknya sedang terjangkit suatu wabah penyakit. Maka kebanyakan para
sahabat lalu melakukan shalat sunnah sambil duduk. Pada waktu itu, nabi
kebetulan datang dan tahu bahwa mereka suka melakukan shalat sunnat tersebut
sambil duduk. Maka nabi kemudian bersabda :” shalat orang yang sambil duduk
pahalanya separuh dari orang yang shalat dengan berdiri”. Mendengar pernyataan
nabi tersebut, akhirnya para sahabat yang tidak sakit memilih shalat sunnat sambil
berdiri.

Dari penjelasan asbabul wurud tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan “shalat” dalam hadis itu adalah shalat sunnat. Pengertiannya
adalah bahwa bagi orang yang sesungguhnya mampu melakukan shalat sunnah
sambil duduk, maka ia akan mendapat pahala separoh dari orang shalat sunnat
dengan beridiri.

Dengan demikian, apabila seseorang memang tidak mampu melakukan shalat


sambil berdiri -mungkin karena sakit-, baik shalat fardhu atau shalat sunnat, lalu
ia memilih shalat dengan duduk, maka ia tidak termasuk orang yang disebut-sebut
dalam hadis tersebut. Maka pahala orang itu tetap penuh bukan separoh, sebab ia
termasuk golongan orang yang memang boleh melakukan rukhshah atau
keringanan syari’at.

Adapun contoh mengenai asbabul wurud yang berfungsi untuk membatasi


pengertian yang mutlak adalah hadis yang berbunyi:

‫من سن سنة حسنة عمل بها بعده كان له أجره مثل أجورهم من غير أن ينقص من أجورهم‬
‫شيئا و من سن سنة سيئة فعمل بها من بعده كان عليه وزره ومثل أوزارهم من غير أن‬
‫ينقص من أوزارهم شيئا‬

“barang siapa melakukan suatu sunnah hasanah (tradisi atau perilaku yang
baik), lalu sunnah itu diamalkan orang-orang sesudahnya, maka ia akan
mendapatkan pahalanya seperti pahala yang mereka lakukan, tanpa mengurangi
pahala mereka sedikitpun. Demikian pula sebaliknya, barang siapayang
melakukan suatu sunnah sayyi’ah (tradisi atau perilaku yang buruk) lalu diikuti
orang-orang sesudahnya, maka ia akan ikut mendapatkan dosa mereka, tanpa
mengurangi sedikitpun dari dosa yang mereka peroleh.” (H.R. Muslim)

Kata “sunnah” masih bersifat mutlak, artinya belum dijelaskan oleh pengertian
tertentu. Ia dapat berarti sunnah hasanah (perilaku yang baik) dan sunnah sayyi’ah
(perilaku yang jelek). Sunnah merupakankata yang mutlaq baik yang mempunyai
dasar pijakan agama atau tidak.

Asbabul wurud dari hadis tersebut adalah ketika itu Nabi SAW sedang bersama-
sama sahabat. Tiba tiba datanglah sekelompok orang yang kelihatan sangat susah
dan kumuh. Ternyata mereka adalah orang-orang miskin. Melihat fenomena itu,
Nabi SAW wajahnya menjadi merah, karena merasa empati, iba dan kasihan.
Beliau lalu memerintahkan kepada sahabat yang bernama bilal agar
mengumandangkan adzan dan iqamah untuk melakukan shalat jama’ah. Setelah
selesai jama’ah shalat, Nabi SAW kenudian berpidato, yang inti pidatonya adalah
menganjurkan agar bertaqwa kepada Allah SWT dan mau menginfaqkan sebagian
hartanya untuk sekelompok orang-orang miskin tersebut.

Mendengar anjuran itu, maka salah seorang dari sahabat Anshar lalu keluar
membawa satu kantong bahan makanan dan diberikan kepada mereka. Ternyata
yang dilakukan oleh Anshar itu kemudian diikuti oleh para sahabat yang lain.
Maka kemudian Nabi bersabda :

‫من سن سنة حسنة … الحديث‬


Dari asbabul wurud tersebut, as-Suyuthi menyimpulkan bahwa yang dimaksud
sunnah dalam hadis tersebut adalah sunnah yang baik.

Adapun cara mengetahui asbabul wurudnya sebuah hadis adalah dengan melihat
aspek riwayat atau sejarah yang berkaitan dengan peristiwa wurudnya hadis,
sebab-sebab wurudnya hadis, ada yang sudah tercantum pada matan hadis itu
sendiri, ada yang tercantum pada matan hadis lain. Dalam hal tidak tercantum,
maka ditelusuri melalui riwayat atau sejarah atas dasar pemberitaan para sahabat.

E. Kitab-Kitab yang Berbicara tentang Asbabul Wurud

Ilmu mengenai asbabul wurud al-hadis ini sebenarnya telah ada sejak zaman
sahabat. Hanya saja ilmu ini belum tersusun secara sistematis dalam suatu bentuk
kitab-kitab. Demikian kesimpulan as-Suyuthi dalam al-Luma’ fi Asbabi wurud al-
hadis. Namun kemudian, seiring dengan perkembangan dunia keilmuan waktu itu,
ilmu asbab al-wurud menjadi berkembang. Para ulama ahli hadis rupa-rupanya
merasakan perlunya disusun suatu kitab secara tersendiri mengenai asbabul
wurud.

Adapun kitab-kitab yang banyak berbicara mengenai asbabul wurud antara lain
adalah:

1. Asbabu wurud al-Hadis karya Abu hafs al-Ukbari (w. 339 H.), namun
sayang kitab tersebut tidak dapat sampai ke tangan kita.
2. Asbabu wurud al-hadis karya Abu Hamid Abdul Jalil Al-Jabari. Kitab
tersebut juga tidak sempat sampai ketangan kita.
3. Asbabu Wurud al-Hadis atau yang disebut juga al-Luma’ fi Asbab
Wurudil hadis, karya Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi. Kitab tersebut
sudah ditahqiq oleh Yahya Ismail Ahmad.
4. Al-Bayan wa at-Ta’rif karya Ibnu Hamzah Al-Husaini ad-Damasyqi
(w.1110 H.)
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1. Asbabul warud al-hadis merupakan konteks historisitas yang melatar


belakangi munculnya suatu hadis. Ia dapat berupa peristiwa atau
pertanyaan yang terjadi pada saat hadis itu di sampaikan nabi SAW.
Dengan lain ungkapan, asbabul wurud adalah faktor-faktor yang melatar
belakangi munculnya suatu hadis.
2. Sebagai salah satu disiplin ilmu dalam studi hadis, asbabul wurud
mempunyai peranan yang sangat signifikan dalam rangka memahami
maksud suatu hadis secara lebih baik. Pemahaman yang mengabaikan
asbabul wurud, cenderung dapat terjebak kepada arti tekstual saja dan
bahkan dapat membawa pemahaman yang keliru.
3. Dari beberapa definisi asbabul wurud yang telah dikemukakan oleh para
ulama dapat disimpulkan bahwa pengertian asbabul wurud tersebut lebih
mengacu pada asbabul wurud khas (asbabul wurud mikro). Di antara
fungsi dari mengetahui asbabul wurud adalah untuk menentukan ada
tidaknya takhsish dalam suatu hadis yang umum, membatasi kemutlakan
suatu hadis, merinci yang masih global, menentukan ada tidaknya nasikh
mansukh dalam hadis, mejelaskan ‘illat ditetapkannya suatu hukum, dan
menjelaskan hadis yang sulit dipahami (musykil).
4. Tampaknya perlu dikembangkan asbabul wurud ‘am (asbabul wurud
makro), yaitu situasi sosio-historis yang lebih bersifat umum di mana dan
kapan Nabi SAW menyampaikan sabdanya dan hal ini memerlukan kajin
sejarah yang sangat detail.
Daftar pustaka

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,


Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001.

Munawwar, Said Agil Husin dan Abdul Mustaqim, Asbabul wurud Studi kritis
Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001, Cet 1

Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: RajaGrafindo, 2008, Cet ke 5

Soetari, Endang, Ilmu hadits, Bandung: Amal Bakti Press, 1997, Cet ke 2

Jumhur ulama hadits menyamakan istilah hadits dengan sunnah. Lihat :


Muhammad’Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Mushthalahuhu
(Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm.25

Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, 2001 Asbabul Wurud study
kritis hadits nabi pendekatan sosio/histories/-kontekstual Yogyakarta PT. Pustaka
Pelajar Hlm.05

Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, 2001 Asbabul Wurud study
kritis hadits nabi pendekatan sosio/histories/-kontekstual Yogyakarta PT. Pustaka
Pelajar. Hlm 6

Ibn hamzah Al-Husainy Al-Dimasyqy , dalam muqoddimah Al-Bayan Wa Al Ta’rif


Fi Asbab Wurud Al- hadits Al-Syarif. Hlm 32

Munzier Suparta, 2008 Ilmu Hadits Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 38-
.39

Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, ………………. Hlm.07

Ibid. hlm 09

Ibid . Hlm 09-12

Ibid. hlm 13-16

Endang soetari, Ilmu Hadits, (Bandung: Amal Bakti Press, 1997). Hlm 211

Você também pode gostar