Você está na página 1de 15

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/324865213

sekularisme tantangan pemikiran islam kontemporer

Article · December 2016

CITATION READS

1 2,981

2 authors, including:

Ahmad Khoirul Fata


Institut Agama Islam Negeri Sultan Amai Gorontalo
30 PUBLICATIONS   15 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Ahmad Khoirul Fata on 01 May 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


SEKULARISME DAN TANTANGAN
PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

Ahmad Khoirul Fata1 dan Siti Mahmudah Noorhayati2


1
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Amai Gorontalo
Jl. Sultan Ama, Limboto, Gorontalo
E-mail: cakfata@gmail.com
2
Institut Agama Islam Sahid Bogor
Jl. KH. Abdul Hamid KM. 6 Gng Menyan, Pamijahan Bogor
E-mail: afieda_2006@yahoo.co.id

Abstract: Secularism and Challenges of Contemporary Islamic Thought. Renaissance in the West comes
with scientific paradigm that emphasizes the ratio aspect and denies the transcendental aspect. Cartesian-
Newtonian paradigm resulted in progress to the West to secularistically, materialistically and positivistically,
so it’s not unfriendly to the existence of religions. Religion is removed from the public and private spheres.
This article examines the history, character and characteristics of Western secularism and its impact on world
religions and human beings, especially Islam. This study is focused on the aspects of Western secular scientific
paradigm, because behind the scientific aspects of this paradigm is the foundation of civilization. The results of
this paper prove that modern Western science offered to non-Western societies is not neutral and full of values.
Western science is not value-free (value free), but is full with value (value laden). Therefore,it is expected that
the community of non-Western civilizations that is familiar with spiritual values, especially Islam, could be critical
and wise in accepting the products of Western civilization, especially the scientific field.
Keywords: Western Civilization; Islamic paradigm; Secular paradigm; Western science.

Abstrak: Sekulerisme dan Tantangan Pemikiran Islam Kontemporer. Renaisans di Barat hadir dengan paradigma
saintifik yang menekankan pada rasio dan menafikan aspek transendental. Paradigma Cartesian-Newtonian
membawa Barat ke kemajuan yang sekuleristik, materialistik dan positivistik sehingga tidak ramah terhadap
keberadaan agama-agama. Agama disingkirkan dari ruang publik dan terpojok di ruang privat. Tulisan ini
mengkaji sejarah, watak dan karakteristik sekulerisme Barat dan dampaknya bagi agama-agama di dunia
dan umat manusia, khususnya Islam. Kajian difokuskan pada aspek paradigma keilmuan Barat yang sekuler,
mengingat pada aspek paradigma keilmuan inilah terletak pondasi peradaban. Hasil dari tulisan ini membuktikan
bahwa sains Barat modern yang ditawarkan ke masyarakat non-Barat itu tidak netral dan penuh nilai. Sains Barat
bukanlah bebas nilai (value free), namun sarat dengan nilai (value laden). Oleh sebab itu diharapkan masyarakat
peradaban non-Barat yang akrab dengan nilai-nilai spiritual, khususnya Islam, bisa bersikap kritis dan bijak dalam
menerima produk-produk peradaban Barat, khususnya bidang keilmuan.
Kata kunci: Peradaban Barat; paradigma Islam; paradigma Sekuler, sains Barat.

Pendahuluan kemapanan agama yang ada pada saat itu.1


Eropa mengalami arus pasang semenjak Di kemudian hari Renaisans menjadi pondasi
Renaisans berlangsung pada abad ke 14 hingga bagi kebangkitan peradaban Barat modern.
abad ke 16. Pada masa ini Eropa merasa di­ Hingga kini peradaban Barat terus menjadi
lahirkan kembali dalam kondisi yang lebih secara kekuatan adidaya yang memberikan pengaruh
akademik, dengan penekanan pada otonomi besar bagi umat manusia. Tidak hanya di bidang
manusia dalam berpikir. Beberapa manifestasi politik dan ekonomi, hegemoni Barat atas
utama Renaisans menurut Lorens Bagus adalah bangsa-bangsa lain juga mewabah ke hal-hal
munculnya gerakan humanisme, penolakan pada yang prinsip dan mendasar dalam peradaban
tradisi Aristotelianisme, keterbukaan pada ilmu-
ilmu yang baru muncul, serta ketidakpuasan pada 1
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2000), h. 954

215 |
MADANIA Vol. 20, No. 2, Desember 2016

manusia, yaitu pandangan dunia (worldview). di­­­anggap sebagai tantangan serius terkait
Munculnya worldview Barat menjadikan dunia kini dengan globalisasi nilai-nilai Barat. Tulisan ini
berwajah seragam, dengan nilai dan budaya Barat ber­upaya mengenali tantangan peradaban Islam
yang dominan menghiasinya. Keseragaman dunia kontemporer yang berasal dari Barat dengan
menjadi tantangan umat manusia kontemporer mengkaji secara historis dan konseptualnya.
karena menyalahi hukum alam yang memastikan Bahasan tulisan ini difokuskan pada paradigma
adanya keragaman didalamnya. keilmuan Barat, mengingat pada aspek inilah
Meski diakui telah melahirkan kemajuan terletak basis suatu peradaban. Dengan kajian
yang tak terbayangkan sebelumnya, Armas me­ itu diharapkan akan diketahui wujud dan
nyebutkan, modernisme Barat telah melahirkan karakter tantangan tersebut sehingga terbentuk
paham sekulerisme, dan ateisme pada tahap sikap kritis terhadapnya, dan meninggalkan
lebih lanjut. Ateisme secara vulgar dinyatakan sikap membabi buta dalam menerima atau
oleh Ludwig Feurbach dengan penegasannya menolaknya.
bahwa prinsip filsafat yang paling tinggi adalah
manusia, teologi sebagai antropologi (the true Akar Pandangan Dunia Barat
sense of theology is an anthropology) dan agama Pandangan dunia (disebut juga world-
sebagai mimpi akal manusia (religion is the dream view/ world-look dalam bahasa Inggris, atau
of human mind). Selain Feurbach adalah Friedrich weltanschauung dalam Bahasa Jerman) di­
Nietzsche yang terkenal dengan ungkapannya maknai sebagai pandangan tentang dunia,
“God is dead, now we want to the overman to pe­n gertian tentang realitas sebagai sebuah
live”.2 keseluruhan, atau pandangan umum tentang
Kartanegara melihat hal itu sebagai sebuah kosmos, yang mengandungi prinsip-prinsip,
kewajaran jika paham ateisme muncul dari pandangan-pandangan, dan keyakinan-keyakinan
peradaban Barat, mengingat kerangka kerja ilmiah menyangkut eksistensi absolut, tujuan dan makna
yang mereka gunakan ternyata telah mengalami dunia.5Weltanschauung sangat penting dalam
“sekulerisasi” akibat pandangan ideologis kehidupan individu dan sosial karena terkait
masyarakat Eropa yang tidak mempercayai hal- dengan hakikat, nilai, arti, dan tujuan dunia dan
hal yang bersifat metafisis dan spiritual.3 Dengan kehidupan manusia. Karena itulah weltanschauung
mengutip Erich Fromm, Heriyanto menyebut mengandung pandangan-pandangan filosofis,
problem tersebut merupakan ekspresi dari ilmiah, politis, moral, estetis, dan religius yang
penyakit alienasi dan reifikasi yang menyergap dimiliki manusia.6
mental masyarakat modern, yaitu perasaan Karena menyangkut cara pandang terhadap
keterasingan dari segala sesuatu; terasing dari dunia, Hamid Fahmy memastikan kata ter­sebut
sesama manusia, alam, Tuhan, dan jati dirinya dikaitkan dengan atribusi kultural, religius,
sendiri. Sebagai pelarian dari keterasingan itu ataupun saintifik tertentu sehingga terlihat
muncullah budaya konsumerisme, hedonisme, ekslusivitasnya, seperti Christian Worldview,
kecemasan yang mendalam, dan maraknya ke­ Medieval Worldview, Scientific Worldview,
kerasan dan konflik yang mewarnai kehidupan Modern Worldview, atau Islamic Worldview. 7
manusia secara global.4 Husein Heriyanto melihat worldview Barat yang
Dalam konteks tersebut umat Islam mem­ dibangun selama era Renaisans, diletakkan di
punyai tata nilai yang berbeda, bahkan ber­ atas pondasi filsafat Rene Descartes dan Sir
tentangan dengan peradaban Barat yang Isaac Newton, mengingat keduanya merupakan
tokoh yang paling besar pengaruhnya dalam
2
Adnin Armas, Westernisasi dan Islamisasi Ilmu,” Islamia
No 6 Tahun II, Juli-September 2005, h. 10-11
3
Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama 5
Lorens Bagus, Kamus..., h. 1178
Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2002), h. 86 6
Lorens Bagus, Kamus..., h. 954.
4
Heriyanto, Paradigma Holistik, (Jakarta: Teraju, 2003), h. 7
Hamid Fahmy, “Worldview”, dalam jurnal Islamia, No 5
viii-ix Tahun II, April-Juni 2005, h. 119

| 216
Ahmad Khoirul Fata & Siti Mahmudah Noorhayati: Sekularisme dan Tantangan Pemikiran Islam

formasi sains dan peradaban modern.8 Barat filosof lain seperti Thomas Hobbes, Spinoza,
yang dimaksudkan bukanlah letak geografis, Immanuel Kant, John Locke, George Berkeley,
namun lebih pada cerminan masyarakat yang Voltaire, JJ Rousseau, David Hume, Soren
memiliki pandangan hidup yang scientific Kierkegard, Edmund Husserl, Henri Bergson, AN
(scientific worldview) dengan menanggalkan Whitehead, Bertrand Russel, hingga Emilio Betti
agama dan hal-hal yang berbau metafisika dan dan Gadamer.12 Pengabaian terhadap metafisika
teologis.9 seumpama ditunjukkan oleh Immanuel Kant yang
Saintisme itu menurut Heriyanto dibentuk menganggap metafisika sebagai sesuatu yang
oleh beberapa asumsi paradigmatik ala Cartesian- tidak mungkin karena tidak memiliki pernyataan-
Newtonian. Pertama, subjektivisme-antroposentrik pernyataan yang sintetik apriori seperti yang ada
yang menganggap manusia sebagai pusat dunia dalam matematika, fisika dan ilmu-ilmu empirikal
dengan slogan Cogito Ergo sum (aku berfikir maka lainnya.13
aku ada); Kedua, dualisme dengan pembagian Selain Descartes, Heriyanto menyebut
realitas menjadi dua (subjek-objek, manusia- nama Sir Isaac Newton sebagai pemikir utama
alam, kesadaran-materi, pikiran-tubuh, nilai-fakta, peletak paradigma saintisme Barat. Descartes
cogitans-extensa, dan lain-lain). Dari sini terlihat berperan besar sebagai “Bapak Filsafat Modern”,
penekanan pada superioritas subjek atas objek; sementara Newton merupakan tokoh pem­bangun
mekanistik-deterministik yang mengasumsikan sains modern dengan mazhab kosmologi klasik.14
bahwa alam raya dan realitas sebagai sebuah Peran Newton terletak pada kemampuan­nya
mesin raksasa yang bekerja menurut hukum- melakukan sintesis karya-karya Descartes, Galileo,
hukum matematika yang kuantitatif dan di­ dan Kepler yang menentukan pemahaman
analisis secara terpilah-pilah. Cara berfikir tentang tatanan alam yang berlaku tidak hanya di
seperti ini melahirkan asumsi selanjutnya dalam sains, tapi juga kebudayaan Barat hingga
yaitu; reduksionisme-atomistik yang menafikan abad ini.15
unsur-unsur kualitatif, simbolik, dan maknawi
pada realitas; instrumentalisme dimana sebuah Positivisme Sains Barat
kebenaran realitas diukur dari sejauh mana ia
Penyempitan pengetahuan akibat reduksi
dapat digunakan untuk memenuhi kepenting­
realitas pada hal-hal yang inderawi dalam jangka
an materiil dan praktis; serta materialisme-
tertentu mengakibatkan pengerasan dalam ruang
saintisme.10 Asumsi-asumsi seperti itu muncul
epistemologi dan metodologi ilmiah modern
tidak lepas dari ontologi dan epistemologi
sehingga melahirkan apa yang kemudian dikenal
Barat yang hanya bertumpu pada hal-hal yang
sebagai positivisme. F Budi Hardiman menyebut
bersifat inderawi, menyingkirkan hal-hal yang
August Comte sebagai salah satu pembuka pintu
non-inderawi, non-fisik dan metafisik.Dengan
aliran positivisme, dengan pernyataannya bahwa
metode tunggal berupa observasi.11
hal yang positif merupakan “apa yang berdasar­
Rene Descartes dianggap sebagai peletak kan fakta obyektif.”16 Positivisme menekankan
dasar saintisme di dunia Barat modern. aspek faktual dalam pengetahuan ilmiah dan
Pernyataan Cogito ergo sum-nya dianggap sebagai me­nafikan filsafat atau pengetahuan yang tidak
deklarasi atas superioritas rasio sebagai sumber bisa diverifikasi secara faktual. Yang benar dan
dan ukuran kebenaran. Menurut Adnin Armas, ilmiah menurut kaum positivis adalah apa-apa
langkah Descartes itu pun diikuti oleh filosof- yang bisa diverifikasi keberadaannya. Dengan

8
Husen Heriyanto, Paradigma Holistik, (Jakarta: Teraju,
2003), h. 30-31. 12
Adnin Armas, “Westernisasi dan Islamisasi Ilmu,”
9
Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat: Refleksi Tentang Islamia No 6 Tahun II, Juli-September 2005, 9-10
Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam (Jakarta: Insists & MIUMI, 13
Adnin Armas, “Westernisasi..., h. 10
2012), h. 86-87. 14
Heriyanto, Paradigma..., h. 31
10
Heriyanto, Paradigma..., h. 43-54. 15
Heriyanto, Paradigma..., h. 35-36
11
Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: 16
F Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas,
Panorama Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2002), h. 58 dan 61 (Yogyakarta: Kanisius, 2003), h. 50-53.

217 |
MADANIA Vol. 20, No. 2, Desember 2016

demikian positivisme sesungguhnya merupakan atau pernyataan-pernyataan belaka.20


wujud ekstrim dari aliran empirisme.17 Senada dengan itu Wilson - yang mengutip
Secara historis Bagus menjelaskan bahwa pendapat Jonathan Fox - menyatakan bahwa
positivisme Barat terbentuk melalui tiga tahap, ilmu-ilmu sosial yang ada saat ini dibangun di
yang dimulai sejak era positivisme awal dengan atas penolakan terhadap agama. Para sarjana
tokoh-tokohnya seperti Comte, E Littre, dan P di bidang ini telah memberikan perhatian
Laffitte (Perancis), serta JS Mill dan Spencer di pada penemuan penjelasan ‘rasional’ terhadap
Inggris. Positivisme awal ini pun mulai merasuki fenomena-fenomena sosial untuk menggantikan
bidang ilmu sosial (sosiologi). Tokoh positivisme yang religius. Penjelasan sekuler rasional yang
sosiologi awal terkenal adalah August Comte. bertentangan dengan yang religius menggema
Pada tahap kedua positivisme mulai merasuki menjadi tren ideologis yang merata di saat
bidang psikologi dengan sudut pandang yang liberalisme muncul. Agama dianggap tidak
ekstrem berupa subyektivisme. Tokohnya adalah rasional, karenanya secara bertahap agama akan
Mach dan Avenarius. Selanjutnya, di tahap ketiga dikeluarkan dari kehidupan masyarakat melalui
positivisme mulai memasuki bidang-bidang bahasa, proses modernisasi. Sementara itu modernisasi
logika, simbolisme, struktur penyelidikan ilmiah, sendiri sering dipahami ketika kondisi institusi
dan lain-lain. Tahap ketiga ini biasa disebut juga politik, budaya dan ekonomi masyarakat menjadi
dengan neo-positivisme atau positivisme logis.18 lebih otonom, kurang terikat antara satu dengan
Dalam setiap tahap tersebut positivisme lainnya dan dengan agama.21
tetap mempertahankan wataknya yang sekuler, Penerapan metode verifikasi dalam ilmu-ilmu
bahkan semakin keras dan kaku pada tahap neo- sosial oleh kaum positivis dianggap Hardiman
positivisme. Setelah sukses menggarap bidang- sebagai persoalan serius yang mengakibatkan
bidang ilmu sosial-kemanusiaan, positivisme krisis pengetahuan dan kemanusiaan.22 Hal itu
pun merasuki wilayah bahasa dan mencoba dikarenakan obyek observasi ilmu-ilmu sosial
me­ngusir unsur-unsur metafisik dalam analisis adalah masyarakat dan manusia sebagai makhluk
bahasa dengan menerapkan verifikasi empirik. historis yang berbeda dari obyek-obyek ilmu alam
Menurut aliran ini, sebuah pernyataan dapat yang dapat diprediksi dan dikuasai secara teknis.
dinilai memiliki arti kognitif tergantung pada Pemaksaan penerapan metodologi positivistik
apakah pernyataan tersebut dapat diverifikasi dalam ilmu-ilmu sosial akan menghasilkan
atau tidak. Dengan demikian pernyataan-per­ teknologi sosial yang berujung pada determinasi
nyataan yang bersifat metafisik dianggap tidak sosial dan dominasi (herschafft). Dalam kondisi
bermakna karena tidak dapat diverifikasi secara seperti ini peranan subyek dalam membentuk
empirik dan bukan merupakan tautologi yang fakta sosial disingkirkan sehingga menjadi
bermakna.19 obyektivisme; subyek hanya bertugas menyalin
Hardiman menyebutkan beberapa gagasan fakta obyektif yang diyakini dapat menjelaskan
pokok positivisme logis yang diusung Lingkaran mekanisme yang obyektif.23
Wina, yaitu: menolak perbedaan ilmu-ilmu alam Pereduksian manusia dan fakta-fakta sosial
dan ilmu-ilmu sosial; menganggap pernyataan- ala kaum positivis bagaikan sebuah mesin yang
pernyataan yang tak dapat diverifikasi secara diatur menurut hukum-hukum yang mekanistik,
empiris seperti etika, estetika, agama, dan deterministik, linier, dan materialistik. Hal tersebut
metafisika sebagai non-sense; Berupaya me­ dinilai oleh Capra, seperti yang dikutip Heriyanto,
nyatukan semua ilmu pengetahuan dalam satu telah menampilkan sebuah dunia yang mati
bahasa ilmiah yang universal; Memandang tugas dengan lenyapnya kepekaan etis dan estetis,
filsafat semata-mata untuk menganalisis kata-kata
20
F Budi Hardiman , Melampaui..., h. 56
21
Erin K Wilson, After Secularism: Rethinking Religion in
17
Lorens Bagus , Kamus..., h. 858 Global Politics, (New York: Palgrave MacMillan, 2012), h. 36-37.
18
Lorens Bagus, Kamus..., h. 860-861 22
F Budi Hardiman, Melampaui…, h. 56.
19
Lorens Bagus,Kamus..., h. 862-863 23
F Budi Hardiman , Melampaui…, h. 58

| 218
Ahmad Khoirul Fata & Siti Mahmudah Noorhayati: Sekularisme dan Tantangan Pemikiran Islam

nilai, kualitas, jiwa, kesadaran, dan ruhani dari Cox membedakan antara sekulerisme
kehidupan manusia modern. Hal itulah yang dengan sekulerisasi. Menurutnya, sekulerisme
kemudian melahirkan krisis global di seantero me­­rujuk pada sebuah ideologi atau pandangan
dunia semisal penyalahgunaan narkotika, HIV/ hidup baru yang tertutup dan berfungsi mirip
AIDS, gay, krisis ekonomi, krisis ekologi, konflik agama. 30 Ideologi ini berusaha menjauh­k an
dan peperangan.24 negara, pendidikan, dan moralitas, dan seluruh
aspek kehidupan dari pengaruh agama. 31
Barat Yang Sekuler Sementara sekulerisasi merupakan pembebasan
Pokok persoalan dalam peradaban Barat manusia dari hal-hal yang berhubungan dengan
terletak pada sikapnya yang menyingkirkan agama (religious) dan kemudian dari kontrol
segala hal yang berbau agama, Tuhan, atau metafisik atas akal dan bahasa manusia. Ini
metafisika dalam kehidupannya. Sikap seperti berarti sekularisasi merupakan “penghilangan
ini biasa disebut sebagai “sekuler”. Secara bahasa pemahaman keagamaan dan quasi-keagamaan
sekuler bermakna “dunia atau alam saat ini” yang atas dunia dan mengusir semua pandangan
dibedakan dari “alam akhir, ghaib, dan agama”.25 dunia yang tertutup (all closed world views),
Kata ini berasal dari bahasa Latin saeculum yang mematahkan semua mitos supernatural dan
memiliki dua pengertian, yaitu temporal-duniawi, simbol-simbol suci...”.32
dan berkaitan dengan benda-benda yang tidak Sekulerisasi bukan hanya menyasar aspek
dianggap sakral, jauh dari muatan keagamaan, politik dan sosial, namun juga aspek budaya
dan tidak rohani.26 Semula saeculum bermakna sehingga menghasilkan tujuan akhir berupa
“zaman atau era”, namun kemudian mengalami relativisme historis. Proses sekularisasi dunia
perubahan makna di Abad Pertengahan menjadi dilakukan dengan tiga elemen penting, yaitu:
“alam atau dunia”. 27 1) Disenchantment of nature (die Entzauberung
Lebih jauh Syed Naquib al-Attas menjelaskan der Welt) atau pengosongan dunia dari
bahwa kata saeculum mengandungi dua konotasi keyakinan pada kekuatan supernatural
makna yang terkait dengan waktu (time) dan yang mengontrolnya. Cox, seperti yang di­
tempat (location). Terkait dengan waktu merujuk tulis Armas, meyakini bahwa agar usaha
pada makna “sekarang (now)” atau “saat ini urbanisasi, modernisasi dan pengembangan
(present)”. Sedangkan location memiliki arti sains tidak lagi terhambat maka paham
“dunia (world)” atau “bersifat duniawi (worldly)”. adanya kekuatan luar yang menguasai dunia
Dengan demikian sekuler bermakna “peristiwa- harus dihilangkan. Dengan itu dunia tidak
peristiwa yang terjadi di dunia ini”, atau lagi menjadi entitas yang suci sehingga
“peristiwa-peristiwa kekinian”. 28 Istilah lain yang manusia bisa bebas mengeksploitasinya
setara dengan makna saeculum menurut Harvey demi kemajuan hidupnya. Di titik ini kita
Cox, sebagaimana yang dikutip Adnin Armas, bisa memahami mengapa Capra, seperti yang
adalah mundus atau dalam bahasa Inggrisnya dikutip Heriyanto, menilai peradaban Barat
mundane. Meski saeculum memiliki konotasi saat ini telah melahirkan krisis ekologi yang
makna waktu dan tempat, namun ia lebih berat parah.
ke makna “waktu”. Sedangkan mundus lebih 2) Desacralization of politics atau penyingkiran
ditekankan pada arti “ruang”.29 unsur-unsur rohani dan agama dari politik
agar perubahan politik dan sosial demi proses
24
Heriyanto, Paradigma..., h. 3-5. sejarah dapat terwujud.
25
Muhammad Ali al-Bar, al-`Almaniyyah: Judzuruha wa
Ushuluha, (Damaskus: Dar al-Qalam, 2008), h. 26
26
Lorens Bagus, Kamus ..., h. 980 Islam Liberal, (Jakarta: GIP, 2003), h. 8
27
Muhammad Ali al-Bar, al-`Almaniyyah: Judzuruha wa…, 30
Adnin Armas, Pengaruh Kristen Orientalis..., h. 8.
h. 26 31
Muhammad Ali al-Bar, al-`Almaniyyah: Judzuruha wa...,
28
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, h. 27
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), h. 16. 32
Muhammad Ali al-Bar, al-`Almaniyyah: Judzuruha wa...,
29
Adnin Armas, Pengaruh Kristen Orientalis Terhadap h., 11 dan Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and..., h., 17

219 |
MADANIA Vol. 20, No. 2, Desember 2016

3) Deconsecration of values atau penyingkiran yang mewakili bidang-bidang dan pekerjaan yang
nilai-nilai absolut agama dari kehidupan berbeda. Sedangkan secara filosofis dijelaskan
manusia bertujuan agar terwujud sistem bahwa setiap keyakinan keagamaan dan filsafat
nilai yang relatif (relativisme kebenaran).33 dipahamai dalam pengertian relativisme murni
Dengan tiga komponen sekulerisasi inilah sebagai pendapat-pendapat pribadi yang
Armas menyimpulkan bahwa manusia yang telah semuanya mempunyai nilai yang sama.36
tersekulerkan akan tidak mengakui kebenaran Pada ranah studi agama-agama, istilah
mutlak agama Islam karena semua kebenaran pluralisme seringkali disandingkan dengan
dianggapnya relatif, tidak ada yang mutlak, dan dua istilah lainnya, yaitu: eksklusivisme dan
tergantung pada masyarakat tertentu.34 inklusivisme. Eksklusivisme adalah pandangan
Meski demikian, sekulerisme bukanlah bahwa tradisi keagamaan tertentu diyakini sebagai
ideologi yang monolitik. Mengutip Daniel satu-satunya ajaran kebenaran dan mengandung
Philpott, Wilson menyebut setidaknya terdapat jalan keselamatan pembebasan. Hanya keyakinan
sembilan makna yang meliputi istilah sekuler, atau tradisi keagamaan itu yang benar, sedangkan
sekulerisme, dan sekulerisasi yang dikelompok­ yang lain salah. Sedangkan inklusivisme adalah
kan dalam dua kategori utama, yaitu sekulerisme pandangan bahwa tradisi keagamaan yang di­
yang mengambil sikap lebih positif atau netral miliki oleh seseorang diyakini memiliki kebenaran
terhadap agama, dan sekulerisme yang yang yang menyeluruh (sempurna) tetapi kebenaran
secara terbuka menyatakan sikap permusuhan tersebut secara parsial terefleksikan pada
terhadap agama. Wilson juga menyebut pem­ tradisi keagamaan lain. Sedangkan pluralisme
bagian dua kategori dominan sekulerisme agama merupakan perkembangan lebih jauh
me­nurut Hurd, yaitu: Laicite dan sekulerisme dari inklusivisme dengan pengakuan adanya
Judeo-Kristian. Kedua kategori Hurd itu sejajar kebenaran dalam setiap tradisi agama-agama
dengan kategorisasinya Kuru’s yaitu sekulerisme dan kepercayaan.37
asertif dan sekulerisme pasif. Laicite (assertive Dalam konteks tradisi Kristen, John Hick
secularism) secara aktif menyokong pengeluaran menjelaskan, bahwa sikap pertama (eksklusivisme)
agama dari ruang publik dan negara pun secara mengandung klaim kebenaran mutlak hanya
tegas mengeluarkan agama dari kehidupan publik terdapat dalam tradisi Gereja Kristen. Keselamatan
serta memainkan peran aktif melakukan rekayasa dan pembebasan hanya terdapat dalam Kristen,
sosial yang membatasi agama hanya di ruang khususnya dalam gereja. Sikap ini terumuskan
privat. Sementara Judeo-Kristian atau sekulerisme dalam kaidah “extra ecclessiam nulla sallus” (di
pasif “tidak berupaya membuang agama” dari luar gereja tidak ada keselamatan). Keselamatan
kehidupan publik. Mereka hanya menginginkan dalam gereja tidak terlepas dari doktrin dosa
negara sekuler memainkan peran pasif dalam asal yang diterima manusia sebagai akibat dari
menghindari pembentukan agama apapun yang kesalahan yang dilakukan oleh Adam dan Hawa,
memungkinkan visibilitas publik dari agama.35 bapak dan ibu umat manusia. Kedatangan Yesus
Wujud nyata infiltrasi sekulerisasi dalam Kristus ke dunia dan kesediaannya disalib adalah
masyarakat beragama (termasuk masyarakat dalam rangka menebus dosa tersebut. Pengakuan
Muslim) dapat dilihat dari gagasan tentang terhadap misi ini menjadikan seseorang terbebas
pluralisme agama. Secara bahasa pluralisme dari dosa asal dan masuk dalam ‘area keselamatan
(Inggris: pluralism, Latin: pluralis) berarti jamak/ dan pembebasan’.
banyak. Dalam bidang sosial pluralisme berarti Hick menganggap klaim seperti ini secara
masyarakat dinilai tersusun dari berbagai ragam literal memang memiliki basis yang cukup kuat
kelompok yang relatif independen dan organisasi dalam teks-teks Bibel, seperti: “Akulah jalan dan

33
Adnin Armas, Pengaruh..., h. 12-14 dan S yed Muhammad 36
Lorens Bagus, Kamus..., h. 853-855.
Naquib al-Attas, Islam and..., h., 17 37
John Hick, “Religious Pluralism,” dalam The Encyclopedia
34
Adnin Armas, Pengaruh..., h. 14 of Religion, Vol. 11, Mircea Eliade (ed) (New York: Mac Millan Publ.
35
Erin K Wilson, After Secularism:..., h. 30-31. Comp., dan London: Collier Mac Millan Publ., 1987), h. 331-333

| 220
Ahmad Khoirul Fata & Siti Mahmudah Noorhayati: Sekularisme dan Tantangan Pemikiran Islam

kebenaran dan hidup” (Yohannes 14: 6), “dan keselamatan. Dengan demikian kebenaran semua
keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga agama-agama yang ada setara dengan kebenaran
selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit yang ada dalam Kristen, dan para pemeluk
ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada agama-agama lainnya pun layak mendapatkan
manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan” keselamatan seperti halnya kaum Kristen.38
(Kisah Para Rasul 4, 12). Sikap ini telah lama Bukan hanya menyerang komunitas Kristen,
berkembang di kalangan Kristen. Salah satu proses deconsecration of values dalam bentuk
tokohnya adalah Karl Barth dan Hendrick paham pluralisme agama juga telah merasuk
Kraemer. dalam masyarakat Muslim. Dalam artikel “Basis
Perkembangan selanjutnya menunjukkan Teologi Persaudaraan Antar-Agama” Budhi
pergeseran sikap di kalangan gereja Kristen. Munawar Rahman memberikan kesimpulan
Dari klaim kemutlakan kebenaran tradisinya bahwa Allah secara tegas mengakui kesetaraan
beranjak ke sikap yang lebih terbuka terhadap di antara kaum beriman, tanpa melihat agama
tradisi keagamaan lain, yaitu sikap inklusivisme. formal orang tersebut. Menurutnya, ukuran
Secara ringkas inklusivisme mengakui bahwa misi derajat seseorang dengan orang lain bukanlah
Yesus ditujukan kepada setiap manusia, karenanya formalitas agama yang dianutnya, namun pada
setiap manusia berhak mendapat keselamatan ketakwaannya. Untuk itulah Rahman menekankan
dan pembebasan darinya. Inklusivisme me­nerima urgensi gagasan pluralisme agama karena diyakini
pemahaman keselamatan dan pembebasan dapat membawa kepada paham “kesetaraan kaum
sebagai transformasi gradual dalam kehidupan beriman di hadapan Allah”. Dengan demikian,
manusia dan memandangnya bertempat tidak “Yang diperlukan saat ini adalah pandangan
hanya dalam sejarah Kristen tetapi juga dalam bahwa siapa pun yang beriman - tanpa harus
konteks semua tradisi keagamaan besar dunia melihat agamanya apa - adalah sama di hadapan
lainnya. Allah karena Tuhan kita semua adalah Tuhan
Meski demikian, kerja penyelamatan dan Yang Satu,” tulis Rahman.39
pembebasan yang menjadi misi Yesus secara Dengan meminjam konsep eksoteris dan
istimewa berinkarnasi pada diri Yesus dari esoteris-nya Frithjouf Schoun, Rahman men­­
Nazareth. Namun, meski sama-sama mendapat­kan jelaskan, bahwa sesungguhnya secara tran­
keselamatan, terdapat perbedaan antara orang- sendental tidak ada perbedaan antar agama-
orang yang berada di dalam tradisi Kristen dengan agama. Secara esoterik yang ada adalah kesatuan
mereka yang berada di luar tradisi tersebut. transendental agama-agama. Perbedaan yang
Orang-orang yang hidup dalam tradisi lain disebut tampak bukanlah antar agama-agama, namun
oleh Karl Rahner sebagai ‘anonymous Christian’ antara orang-orang dalam setiap agama yang
(Kristen Anonim), yaitu orang yang tidak secara ada. Sikap eksklusif dalam beragama muncul
eksplisit berkeyakinan Kristen tetapi, secara sadar akibat pemeluk agama-agama yang ada masih
atau tidak, hidup dalam kehendak Tuhan. Orang berada di tahap eksoterik.40
seperti ini bisa sebagai Muslim, Hindu, Yahudi, Kenapa Barat memilih jalan sekulerisme?
atau apa pun juga. Graeme Smith menyebutkan dua perspektif
Puncak dari evolusi sikap tersebut terdapat untuk menjelaskan jalan sekuler yang jadi
pada sikap pluralisme. Pluralisme merupakan pilihan Barat. Pertama, dari perspektif sejarah
kritik terhadap inklusivisme yang meski telah sosial sekulerisme muncul berhubungan dengan
secara terbuka mengakui adanya keselamatan kondisi masyarakat modern. Kondisi urbanisasi,
untuk tradisi keagamaan lain, namun masih tetap
melihat tradisi luar menurut kacamata Kristen. 38
John Hick, “Religious Pluralism...,” h. 331-333
Pluralisme mengasumsikan adanya kebenaran 39
Budhi Munawar Rahman, “Basis Teologi Persaudaraan
dalam setiap tradisi keagamaan. Setiap tradisi Antar-Agama”, dalam Wajah Liberal Islam di Indonesia, Luthfie
Assyaukani (ed) (Jakarta: JIL & TUK, 2002), h. 51-53.
adalah jalan-jalan yang sah untuk mendapatkan 40
Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana
Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 51-52

221 |
MADANIA Vol. 20, No. 2, Desember 2016

pluralitas agama, dan fragmentasi sosial yang masyarakat Barat. Keragaman teks yang men­
dihadapi masyarakat modern menjadikan mereka capai sekitar 5000 manuskrip menjadikan Bible
melakukan mitigasi terhadap kelangsungan hidup semakin tidak jelas otentisitasnya.43 Akibatnya,
agama. Kekristenan jatuh karena tidak mampu masyarakat Barat pun mengalami kesulitan
bertahan hidup dalam kehidupan modern. dalam memahami makna dan mempraktikkan
Kedua, sekulerisme mampu memenangkan ajaran-ajaran Kristen. Keragaman pemahaman
perang gagasan. Sekulerisme dapat muncul pun tak terelakkan dan menjadikan fragmentasi
dan berkembang karena superioritas intelektual­ dalam masyarakat Kristen semakin kental.
nya dibanding Kristianitas sehingga mampu Di titik ini mereka mengembangkan metode
meyakinkan orang banyak terhadap ke­ penafsiran teks Bible yang kemudian dikenal
benarannya. Lebih jelasnya, sains mampu mem­ dengan hermeneutika.
berikan penjelasan tentang fungsi dunia sehingga Ketiga, ketidakjelasan Bible yang otentik
mampu memarjinalkan teologi.41 melahirkan problem ketiga berupa paham teologi
Secara lebih terinci Adian Husaini melihat yang tidak jelas pula. Dengan mengutip teolog
setidaknya terdapat tiga sebab Barat memilih Belanda C Groenen Ofm, Husaini menulis, “seluruh
jalan sekuler: permasalahan kristologi di dunia Barat berasal
Pertama, secara psiko-historis masyarakat dari kenyataan bahwa di dunia Barat, Tuhan
Barat mengalami trauma kesejarahan, terutama menjadi satu problem.” Dan titik permasalahan
terkait dengan dominasi Kristen di zaman itu terletak pada konsep tentang ketuhanan
pertengahan dan banyaknya konflik antara Yesus.44
kelompok-kelompok Kristen yang berujung Lebih jauh dari itu Weber, sebagaimana yang
pada peperangan dan penindasan. Gereja di dikutip Steve Bruce, menarik akar sekulerisme
zaman pertengahan (era kegelapan/the dark pada ajaran keagamaan Israel kuno. Berbeda
ages) memiliki kekuasaan yang luar biasa, baik dengan agama-agama di wilayah sekitarnya
di bidang spiritual maupun politik. Dengan seperti di Mesir dan Mesopotamia yang sangat
kekuasaan itu pihak gereja sering melaku­ kosmologik (cosmological), di mana tidak ter­
kan tindakan penindasan terhadap kelompok- dapat perbedaan tajam antara manusia dan
kelompok keagamaan, intelektual, bahkan pe­ non-manusia, bahkan dunia manusia dianggap
nguasa politik yang berseberangan dengannya. menempel dalam tatanan kosmik yang mencakup
Para bapak Gereja juga suka berperilaku korup seluruh semesta. Sementara itu Perjanjian
denagn memperjualbelikan kartu pengampunan Lama-nya Israel menempatkan Tuhan di luar
dan menjadi pendorong bagi perang antar kosmos, padahal kosmos merupakan ciptaan-
agama (Katolikisme dan Protestanisme). Salah Nya sendiri. Akibatnya Tuhan-nya Israel menjadi
satu wujud arogansi gereja adalah keberadaan bertentangan dengan dan tidak meresap di
institusi inkuisisi sebagai lembaga penyiksaan dalam kosmos.45
bagi mereka-mereka yang dianggap menentang Judaisme awal dan kemudian Kristianitas
(heresy) oleh gereja. Posisi gereja semakin kokoh dengan kekuatan rasionalitasnya telah me­
dengan klaimnya sebagai satu-satunya wakil tuhan nyederhanakan yang supernatural menjadi
pemegang kebenaran mutlak.42 hanya Satu Tuhan, serta melakukan sistematisasi
Kedua, problem terkait dengan otentisitas penyembahan kepada-Nya. Dengan kekuatan rasio
teks Bible dan makna yang terkandung di itu pula mereka menaikkan posisi Tuhan dan
dalam­n ya. Siapa pengarang dan Bible mana memindahkan Dia dari dunia. Posisi ini sangat
yang otentik menjadi persoalan penting bagi tampak pada Gereja Kristen yang menempatkan
para malaikat dan orang-orang suci sebagai
41
Graeme Smith, The Short History of Secularism, (London
& New York: I.B. Tauris, 2008), h. 20. 43
Adian Husaini, Wajah ..., h. 41-46
42
Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, (Jakarta: Gema 44
Adian Husaini, Wajah ..., h. 46-51
Insasi Press, 2005), 29-41. Lihat juga Muhammad Ali al-Bar, al- 45
Steve Bruce, Religion in the Modern World (Oxford &
`Almaniyyah: ..., h. 7 New York: Oxford University Press, 1996), 9-10.

| 222
Ahmad Khoirul Fata & Siti Mahmudah Noorhayati: Sekularisme dan Tantangan Pemikiran Islam

mediator dan wakil dari Yesus Sang Penebus. sosietalisasi, di mana proses sosial masyarakat
Kepercayaan in kemudian dimanipulasi melalui modern yang dicirikan oleh saling tidak mengenal
berbagai ritual, pengakuan dan penebusan dosa dan institusi sosial diorganisir secara societally
dengan standarisasi perilaku dan aturan etika dan global daripada secara lokal dan personal.
rasional.46 Sosietalisasi terjadi seiring dengan individualisasi
Karena itulah Smith secara berani menyata­ di mana individu modern merespon massifikasi
kan bahwa sesungguhnya sekulerisme bukanlah dan anonimitas kehidupan sosial dengan
akhir dari Kekristenan (the end of Christianity) meletakkan lagi makna, tujuan dan nilai dalam
atau tanda dari sifat kurang bertuhan (godless)- pengertian otonom dan identitas personal yang
nya orang-orang Barat. Namun, menurutnya, lebih kuat. 49
sekulerisme merupakan wujud dari ekspresi Sekulerisasi di Barat, dalam pengamatan
terkini agama Kristen (the latest expression of Wilson, bergerak melalui empat tahap, yaitu:
the Christian religion). Dalam artian, sekulerisme Pertama, melakukan pembedaan antara Gereja
merupakan komitmen pada etika Kristen dengan dengan negara. Ini dianggap Wilson sebagai
mencukur habis doktrinnya, atau komitmen untuk bagian dari upaya pemisahan antara politik
melakukan kebaikan yang dipahami dari term dengan agama. Kedua, secara nyata melakukan
kekristenan tradisional tanpa memperhatikan pemisahan dua entitas tersebut (agama dan
teknikalitas ajaran Gereja.47 negara). Pemisahan antara Gereja dengan agama
dilakukan melalui pemisahan praktek juridiksi
Anti-Agama bagi kekuasaan dan otoritas keduanya. Awalnya
juridiksi keduanya setara, namun kemudian agama
Sekulerisme menjadi tantangan besar bagi
menjadi tersubordinasi dan berada di bawah
umat beragama saat ini. Meski Smith meng­anggap
kontrol otoritas politik. Ketiga, penyingkiran agama
sekulerisme bukan sebagai anti-Kristen, namun
dari politik dan kehidupan publik. Tahap ketiga
diakui atau tidak, sekulerisme telah mengikis
ini terjadi melalui proses pemisahan antara ruang
unsur-unsur spiritual, ketuhanan dan agama dalam
privat dan ruang publik. Keempat, penempatan
kehidupan sosial dan politik. Sekulerisme telah
sekularisasi sebagai pusat dari modernisasi dan
menyingkirkan the sacred dari ruang publik dan
pembangunan. Secara lebih luas ini memberikan
mendesak Kristianitas di pojok ruang privat. Lebih
implikasi pemosisian agama sebagai sesuatu yang
dari itu, sekulerisme juga memberi kontribusi bagi
pra-modern dan kemunduran.50
berkurangnya religiusitas masyarakat Eropa. Gereja-
gereja di Inggris mengalami tingkat pe­nurunan Bukan hanya menimpa Kristen, para sekularis
jamaah yang signifikan antara 50 persen pada pun secara tegas menyerang agama-agama lain
tahun 1815, dan semakin drastis hanya 9 persen dengan asumsi-asumsi yang dibangun bahwa
tingkat kehadiran di gereja di tahun 1997. Lapangan semakin modern suatu masyarakat, maka
kerja di bidang keagamaan juga mengalami otoritas dan pengaruh kepercayaan dan institusi
penurunan di seluruh negara Eropa dan banyak keagamaan pada akhirnya akan menghilang
seminari gereja digabungkan atau ditutup.48 dari kehidupan publik, dan agama pun hanya
relevan dengan individu di level privat. “Prinsip
Kondisi seperti itu dianggap oleh kalangan
teori sekularisasi memiliki klaim bahwa dalam
sekularis sebagai konsekuensi dari modernisasi,
menghadapi rasionalitas saintifik, pengaruh agama
di mana masyarakat mengalami pergeseran dari
dalam semua aspeknya secara dramatis akan
pedalaman ke urban, dari pertanian ke­p ada
runtuh” ujar Swatos Jr dan Christiano seperti
industrial, dengan melibatkan kompleksifikasi
dikutip Wilson.51
organisasi masyarakat (diferensiasi) dan

46
Steve Bruce, Religion....,h.10. 49
Michael S Northcott, “Pendekatan..., h. 304-306.
47
Graeme Smith, The Short ..., h. 2 50
Erin K Wilson, After ..., h. 43.Tiga tahap pertama dipinjam
48
Michael S Northcott, “Pendekatan Sosiologis,” Peter Wilson dari Taylor. Sementara yang terakhir merupakan
Connolly (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam pengamatannya sendiri.
Khoiri, (Yogyakarta: LKiS, 2009), h. 304 51
Erin K Wilson, After ..., h. 37

223 |
MADANIA Vol. 20, No. 2, Desember 2016

Akibatnya, menurut Bruce, masyarakat Ketiga, rasionalisasi yang berarti perhati­


modern mengalami perubahan radikal dengan an utamanya pada hal-hal yang rutin dan
tiga ciri utamanya: Pertama, fragmentasi dalam prosedural yang dapat diprediksi dan teratur,
masyarakat dan kehidupan sosial. Kehidupan dengan tingkat efisiensi yang terus meningkat.
sosial terbagi dalam institusi sosial tunggal Perhatian kita terkonsentrasi pada dunia natural
menjadi unit-unit yang lebih kecil namun lebih dengan kesuksesan teknologi dalam mengirim
terspesialisasi. Dahulu kala keluarga merupakan barang-barang. Mesin-mesin teknologi dan
unit penting bagi produksi ekonomi, kini produksi prosedur-prosedur yang efisien telah mereduksi
barang-barang telah terorganisir di pabrik-pabrik. ketidakpastian dan kebutuhan kita kepada yang
Dulu keluarga menjadi tempat pendidikan dan supernatural. Pertumbuhan teknik yang rasional
sosialisasi, kini kita punya tempat-tempat khusus secara gradual menggantikan pengaruh yang
untuk mendidik anak-anak dengan pengajar yang supernatural dan pertimbangan moral dari
profesional (sekolah). ruang publik yang luas, dengan pertimbangan-
Dalam proses ini institusi keagamaan telah pertimbangan obyektivitas prestasi dan ke­
dikeluarkan banyak ruang-ruang publik. Pertama- layakan praktis. Dalam dunia modern agama
tama agama dikeluarkan dari ruang ekonomi. sangat banyak digunakan dalam wilayah-wilayah
Modernisasi telah membebaskan aktivitas kehidupan manusia yang gelap terpendam
ekonomi dari kontrol keagamaan dan mem­ yang tidak bisa dikontrol secara mapan oleh
bangun dunia kerja sebagai sebuah domain teknologi, seperti rasa tidak bahagia dan stress
kehidupan manusia yang didorong oleh nilai- berat.55
nilainya sendiri. Baru kemudian secara gradual Di ranah rasionalisasi ini Weber melihat
ruang-ruang sosial lainnya mengalami nasib teknologi telah merebut otoritas agama dalam
serupa.52 mengatur waktu, pola kehidupan kerja, serta
Kedua, keruntuhan masyarakat dan kehidupan bentuk pertukaran ekonomi dan ide manusia
sosial. Bahwa masyarakat tidak lagi tumbuh modern. Jika sebelumnya agama begitu berkuasa
dalam sebuah kumpulan nilai-nilai dan tidak mengatur kehidupan manusia berdasar ritual-
dikontrol oleh “kesadaran” yang ditempatkan ritual dan hari-hari besar keagamaan, kini peran
pada diri mereka oleh komunitas yang dikuatkan itu diambil teknologi dengan prosedur teknis
dengan kontrol sosial informal. Sistem sosial atau organisasionalnya. Tujuan transenden dan
kurang bersandar pada penanaman tatanan hubungan saling mempengaruhi antara kekuatan
moral dan lebih ditekankan pada penggunaan spiritual dan materiil pun kini ditiadakan.56
teknikalitas efisien dengan maksud menumbuhkan Karena itulah menjadi wajar jika kebanyakan
dan mengontrol perilaku yang tepat. Polisi- masyarakat modern, simpul Bruce, menjadi
sasi menjadi pilihan penting untuk mengontrol sekuler. Industrialisasi datang dengan membawa
masyarakat daripada pertimbangan kesadaran; perubahan sosial berupa fragmentasi kehidupan
pengamatan kamera video lebih diutamakan sosial, keruntuhan komunitas, dan pertumbuhan
daripada celaan dari tetangga.53 Masyarakat birokrasi dan kesadaran teknikal sehingga mem­
modern telah mereduksi ide tentang moralitas buat agama kurang menarik, tidak masuk akal
tunggal dan sistem keagamaan (dalam istilah dan hanya berlaku di masyarakat pra-modern.57
istilah Peter L Berger “langit suci” -sacred canopy) Namun prediksi kematian agama di era
yang melingkupi semua yang kita miliki. Agama modern menjadi kontroversial dan dianggap
pun jadi terprivatisasi dan ditekan ke batas-batas bias dalam ilmu-ilmu sosial. Munculnya fenomena
dan celah-celah tatanan sosial yang terbatas pada New Religious Movement (NRM) di Eropa dan
urusan individual. 54 Amerika antara tahun 1945-1965 menjadi salah

52
Steve Bruce, Religion..., h. 39. 55
Steve Bruce, Religion..., h. 47-51.
53
Steve Bruce, Religion...., h. 44-45. 56
Northcott, “Pendekatan…”, 307
54
Steve Bruce, Religion ..., h. 46 57
Steve Bruce, Religion..., h. 51-52

| 224
Ahmad Khoirul Fata & Siti Mahmudah Noorhayati: Sekularisme dan Tantangan Pemikiran Islam

satu dalih untuk membantah prediksi yang bias Muslim modern awal tidak merasa ada per­
itu. NRM sering digambarkan sebagai ungkapan tentangan tentang praktik memanfaatkan sains
kekecewaan dan keprihatinan terhadap sistem baru itu, namun di kemudian hari muncul gugat­
sosial modern dan kehidupan urban yang an atas “perasaan” tersebut karena beberapa
impersonal. Selain itu juga kebangkitan gerakan- sarjana mem­pertanyakan kesesuaian elemen-
gerakan keagamaan yang bercorak fundamentalis elemen sains Barat dengan dasar-dasar keyakinan
di Amerika Utara dan Selatan, Timur Tengah Islam. Salah satu issu yang paling mendapatkan
dan beberapa wilayah Asia menjadi antitesis sorotan adalah teori evolusi Darwinian. 60
dari sekulerisme. 58 Bahkan Jose Casanova Perdebatan tentang sains Barat masih
me­nyatakan bahwa agama kembali mencapai terasa hingga kini. Zainal Abidin Bagir melihat
kemasyhuran publik dan politik di banyak belahan setidaknya ada empat kecenderungan respons
dunia selama puluhan tahun terakhir. Ini ditandai sarjana Muslim atas sains Barat, yaitu:
oleh kemunculan Teologi Pembebasan di Amerika
Pertama, sekelompok sarjana dan saintis
Latin, Revolusi Iran dan serangkaian gerakan
Muslim yang mengambil secara penuh sains
nasionalis Islam dan semangat anti Barat di
sebagai kegiatan yang netral, dan mengajak
banyak negara Muslim, Konfusianisme yang turut
kaum Muslim untuk fokus mengambilnya guna
mendorong pertumbuhan ekonomi di negara-
mengatasi keterbelakangannya. Jika terjadi
negara Asia Timur, Katolikisme yang memainkan
per­debatan tentang beberapa masalah terkait
peran penting dalam keruntuhan Komunisme di
dengan sains, menurut kelompok ini, itu tidak
Eropa Timur, serta Kristen Ortodoks yang kembali
lebih dari problem di ranah aplikasi sains. Bagi
memainkan peran agama publik di Rusia pasca
kelompok ini, sains dianggap seperti sebilah
komunisme.59
pisau yang netral. Ia dapat digunakan untuk
kebaikan atau kejahatan. Yang dapat menjamin
Respon Terhadap Sekulerisme pisau digunakan untuk kebaikan adalah dengan
Di era modern, perjumpaan Muslim dengan menerapkan kriteria etik baginya. Zainal Abidin
Barat secara intensif terjadi melalui kolonialisasi menyebut kelompok ini sebagai “Instrumentalis”
dunia Islam oleh negara-negara Barat, sehingga karena pandangannya yang sederhana tentang
melahirkan trauma historis dan inferiority complex sains instrumen yang tergantung pada siapa yang
mendalam dalam psikologi umat Islam hingga memanfaatkannya.
saat ini. Dalam menghadapi tantangan peradaban Kedua terdiri dari mereka yang berkeinginan
Barat yang unggul itu para sarjana Muslim menegaskan superioritas Islam dengan Alquran
modern awal, semisal Sir Sayyid Ahmad Khan yang dimilikinya yang seringkali diperbandingkan
di Pakistan atau pun Jamaluddin al-Afghani dan dengan agama lain. Mereka seringkali mencoba
Muhammad Abduh di Mesir, mengajak umat mengkaitkan ayat-ayat Alquran untuk setiap
Islam untuk meraih sains dan teknologi agar penemuan saintifik baru. Kelompok ini mirip
dapat mengimbangi penguasa kolonial Barat. dengan orang-orang Hindu yang membangun
Bagi mereka superioritas Barat atas dunia Islam gagasan “Vedic/Hindu science”.
karena mereka (Barat) memiliki sains yang jauh
Ketiga, kelompok yang sangat kritis terhadap
lebih unggul. Di sini berlaku adagium “knowledge
kelompok-kelompok lain. Bagi kelompok ini sains
is power”. Dalam konteks inilah Turki Utsmani
tidaklah bebas nilai (value-free); sains modern
pernah melakukan upaya nyata dengan mengirim
diwarnai dengan nilai-nilai sekuler Barat; karena
ratusan pelajar ke Eropa untuk mempelajari
itu kaum Muslim perlu memasukkan nilai-nilai
pengetahuan yang telah memberikan Eropa
Islam ke sains tersebut sehingga bisa menjadi
sebuah kekuatan (power) itu.
Meski demikian, walau kebanyakan sarjana 60
Zainal Abidin Bagir, “Islam, Science, and ‘Islamic
Science’: How to Integrate Science andReligion?” dalam
Z. A. Bagir (ed), Science and Religion in the Post-colonial
58
Michael S Northcott, “Pendekatan ..., h. 299-230, 309 World:Interfaith Perspectives, (Australia: ATF Press, 2005),
59
Michael S Northcott, “Pendekatan ..., h. 311-312. 37-61

225 |
MADANIA Vol. 20, No. 2, Desember 2016

“sains Islam”, atau dengan kata lain, perlu Ketiga, kelompok yang menolak anggapan
dilakukan upaya “Islamisasi sains”. Secara general sains sebagai bebas nilai (value-free). Kelompok
gagasan kelompok ketiga ini terasa serupa dengan ini menilai bahwa sains tidak lahir dari ruang
gagasan “theistic science” yang secara intensif vacuum, sehingga dengan demikian, sains
didiskusikan oleh kelompok-kelompok Kristen dikonstruksi dalam sebuah pandangan dunia/
Amerika dengan tokoh utamanya seorang filosof hidup yang spesifik dan selalu memancarkan
analitik, Alvin Platinga. nilai-nilai tertentu.62
Keempat, kelompok yang dipimpin oleh Keragaman respons intelektual Islam terhadap
Harun Yahya. Fokus kelompok ini melaku­k an sains modern menunjukkan betapa peradaban
kajian kritis terhadap teori evolusi. Harun Barat, khususnya paradigma sainstifiknya, menjadi
Yahya sangat menolak tuduhan anti-sains, dia dilema tersendiri bagi umat Islam kontemporer.
hanya melawan sains yang materialistik dan Dari ketiga (atau keempat) kategori di atas,
sekuleristik yang menjadi paradigma utama sikap paling lunak ditunjukkan oleh segolongan
teori evolusi Darwinian. Di sisi lain dia me­ intelektual modernis yang menilai sains sebagai
nerima kosmologi Big Bang karena secara umum sesuatu yang netral sehingga problem utama
bisa diinterpretasikan untuk mendukung ide sains Barat bukan terletak pada sains itu sendiri,
tentang Tuhan. Zainal Abidin mengidentikkan tetapi pada aplikasinya.
kelompok ini—dalam hal argumentasi, tuju­ Jika ditinjau dari kenyataan bahwa sains
an dan strategi—seperti gerakan American (terutama sains alam) berbicara tentang obyek-
Intteligent Design.61 obyek yang bersifat obyektif, tentu netralitas
Senada dengan itu Pradana Boy Zulian me­ bisa diupayakan secara maksimal. Namun
nyebutkan, setidaknya terdapat tiga tren dominan sains bukanlah sekedar “data-data mentah”
dalam merespon sains Barat: Pertama, kaum seperti apa adanya. Sains terkait erat dengan
modernis yang melihat sains modern yang dibangun aktivitas intelektual manusia dalam memandang,
di Barat sebagai pencapaian besar peradaban Barat menganilisis, dan mencerna data-data tersebut
yang memberikan kekuatan (power) bagi Barat. sehingga menghasilkan sesuatu. Karena me­
Kekaguman pada prestasi yang telah diperoleh libatkan aktivitas intelektual dan psikologis para
Barat itu kemudian diperbandingkan dengan ilmuan itulah, maka mau tidak mau sains yang
kondisi keterbelakangan yang dialami dunia dihasilkan akan selalu terkait erat dengan kondisi
Islam, sehingga mendorong kaum modernis untuk subyektif sang ilmuan.
mengadopsi formula keilmuan Barat agar dapat Keterkaitan subjektifitas itu menjadi tidak
merebut kembali masa keemasan keilmuan Islam terelakkan dalam sains, bahkan terjadi sejak awal
yang dahulu pernah dicapai. mula seseorang memulai proses pencarian dan
Kedua, sebuah posisi yang bisa dikategorikan penelitian terhadap fakta-fakta. Saat memilih
sebagai “islamis atau apologis” (di saat yang tema apa yang mau dikaji, subjektifitas peneliti
sama juga konformis), yang menerima pandang­ sudah memiliki peran penting. Karena itu, akan
an bahwa sesungguhnya tidak ada kontradiksi sangat berlebihan bila dikatakan sains itu netral
antara Islam dengan sains dan teknologi modern. seratus persen. Maka, dalam mengembangkan
Kontradiksi yang terjadi bukanlah pada ranah sains pun kita tidak bisa serta merta menerima
epistemologi, tetapi lebih pada framework etika; apa yang telah dihasilkan oleh Barat.
aplikasi praktisnya yang seharusnya mendapat Produk-produk peradaban Barat tidak
perhatian penting. Dengan kata lain, kelompok serta-merta harus diterapkan di dunia Muslim
ini melihat bahwa sains itu bebas nilai (value- sebabnya semua itu tidak bebas-nilai (valuefree),
free), dan operasionalisasinya tergantung pada
siapa yang menggunakannya (man behind the 62
Pradana Boy Zulian, “Islamic Ethical Framework for
gun). Development of Science and Technology,”Paper disampaikan
dalam Global Conference on Ethics in Science and Technology,
University ofSanto Thomas, Manila, Philippine, 20-22 October
61
Zainal Abidin Bagir, “Islam, Science..., h. 61 2011.

| 226
Ahmad Khoirul Fata & Siti Mahmudah Noorhayati: Sekularisme dan Tantangan Pemikiran Islam

tetapi sarat nilai (value laden). Di sini kita perlu Al-Bar, Muhammad Ali, al-`Almaniyyah: Judzuruha
menerapkan “kecurigaan” terhadap produk- wa Ushuluha. Damaskus: Dar al-Qalam, 2008.
produk Barat, terutama sains dan teknologinya. Armas, Adnin, Pengaruh Kristen Orientalis Terhadap
Karena bagaimanapun juga semua itu dikonstruk Islam Liberal, Jakarta: GIP, 2003
dalam sebuah lingkungan tertentu, dengan
_____, “Westernisasi dan Islamisasi Ilmu.” Islamia,
nilai-nilai, pandangan hidup, dan sejarah yang
No 6 Tahun II, Juli-September 2005.
melingkupinya. Kewaspadaan lebih tinggi perlu
diterapkan dalam mencerna ilmu pengetahuan Bagir, Zainal Abidin, “Islam, Science, and
Barat mengingat ia bisa dijadikan alat yang sangat ‘Islamic Science’: How to Integrate Science
halus dan tajam bagi menyebarluaskan cara dan andReligion?.” Dalam Bagir, Z.A.(ed).
pandangan hidup mereka. Science and Religion in the Post-colonial
World:Interfaith Perspectives.Australia: ATF
Penutup Press, 2005

Kebangkitan peradaban Barat menghadir­ Bagus, Lorens, Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia,
kan tantangan besar bagi peradaban Islam. 2000.
Karakter sekuler yang lahir dari pondasi Bruce, Steve, Religion in the Modern World.
filsafat antroposentrisme dan paradigma sains Oxford & New York: Oxford University
positivistik, secara diametral berbeda bahkan Press, 1996.
bertentangan dengan peradaban Islam yang
Fahmy, Hamid, “Worldview”, Islamia. No 5 Tahun
bersumber dari Tauhid yang mengagungkan
II, April-Juni 2005.
nilai-nilai ketuhanan.
_____, Misykat: Refleksi Tentang Westernisasi,
Peniadaan Tuhan dalam lingkup kehidupan
Liberalisasi, dan Islam. Jakarta: Insists &
publik membuat peradaban Barat tampak kering
MIUMI, 2012
dari rasa kemanusiaan dan melahirkan dampak
krisis eksistensial masyarakat modern. Dampak Hardiman, F Budi, Melampaui Positivisme dan
negatif ini tampak nyata dari berbagai tragedi Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003.
kemanusiaan modern. Konflik dan peperangan, Heriyanto, Husen, Paradigma Holistik. Jakarta:
penyalahgunaan narkotika, penyebaran HIV/AIDS, Teraju, 2003.
peningkatan angka kemiskinan dan bunuh diri,
Hick, John, “Religious Pluralism,” Dalam The
dan pemanasan global akibat kehancuran ekologi
Encyclopedia of Religion, Vol. 11. Eliade, Mircea
menjadi bukti nyata krisis eksistensial itu.
(ed), New York: Mac Millan Publ. Comp.,
Perbedaan pandangan tentang Tuhan secara dan London: Collier Mac Millan Publ., 1987.
esensial menjadikan kedua peradaban tersebut
Husaini, Adian, Wajah Peradaban Barat, Jakarta:
berbeda dan sulit untuk dipertemukan. Maka
Gema Insasi Press, 2005.
mengambil apa saja yang dari Barat bukanlah
langkah bijaksana untuk mengejar ketertinggalan Kartanegara, Mulyadhi, Menembus Batas Waktu:
peradaban Islam. Pun demikian bersikap Panorama Filsafat Islam. Bandung: Mizan,
apatis dan membabi-buta menolaknya juga 2002.
merupakan sikap yang tidak bisa dibenarkan. Northcott, Michael S, “Pendekatan Sosiologis,”
Yang diperlukan sesungguhnya adalah sikap kritis dalam Aneka Pendekatan Studi Agama.
dalam menyerap apapun yang berasal dari Barat Connolly, Peter (ed), Terj. Imam Khoiri.
dengan menggunakan paradigma tauhid sebagai Yogyakarta: LKiS, 2009.
saringannya. Rachman, Budhy Munawar, Islam Pluralis:
Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta:
Pustaka Acuan Paramadina, 2001.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam and
_____, “Basis Teologi Persaudaraan Antar-
Secularism, Kuala Lumpur: ISTAC, 1993.
Agama,” Dalam Wajah Liberal Islam di

227 |
MADANIA Vol. 20, No. 2, Desember 2016

Indonesia, Assyaukani, Luthfie (ed). Jakarta: Zulian, Pradana Boy, “Islamic Ethical Framework
JIL & TUK, 2002. for Development of Science and Technology,”
Smith, Graeme, The Short History of Secularism, Paper disampaikan dalam Global Conference
London & New York: I.B. Tauris, 2008. on Ethics in Science and Technology, University
ofSanto Thomas, Manila, Philippine, 20-22
Wilson, Erin K, After Secularism: Rethinking
October 2011.
Religion in Global Politic, New York: Palgrave
MacMillan, 2012.

| 228

View publication stats

Você também pode gostar