Você está na página 1de 4

Pria berinisial MA yang diduga mencuri amplifier dari sebuah musala, di Babelan, Kabupaten Bekasi

dibakar hidup-hidup oleh warga. Terkait kasus tersebut Dosen Fakultas Psikologi UI yaitu Agnes Nauli
Shirley W. Sianipar, S.Psi, M.Sc. (Bidang Studi Sosial) tertarik untuk memberikan tanggapannya.

Fenomena bakar massal yang terjadi akhir-akhir ini menurut saya terkait dengan dua fenomena
psikologis yang disebut sebagai: abuse of power/penyalahgunaan kekuasaan dan bystander effect.

Abuse of power: Setiap orang punya kecenderungan alamiah untuk mencari dominasi/kuasa atas orang
lain. Kecenderungan ini memanisfestasikan bentuk sosialnya lewat berkelompok. Berada dalam
kelompok dapat memberikan ilusi kalau kita kuat atau berkuasa dan ilusi ini sangat mungkin terjadi di
antara masyarakat kolektif seperti Indonesia. Kekuasaan sendiri terkait erat dengan faktor emosional
dominansi. Ketika amarah muncul maka secara alamiah kita ingin menunjukkan dominansi kita pada
penyebab amarah tersebut. Secara evolusioner, biasanya ini terjadi saat ‘teritori’ kita diganggu oleh
orang asing. Dengan demikian, situasi yang membangkitkan amarah dapat mendorong kecenderungan
alamiah untuk mencari dominasi atas penyebabnya, termasuk lewat menyalurkan kekerasan
berkelompok. Saat orang yang terlihat membawa speaker masjid diteriaki maling, saat itulah amarah
massa disulut setelah merasa menyaksikan teritori-nya dilanggar (walaupun belum tentu benar karena
tidak ada proses peradilan, pencarian fakta, dll).

Bystander effect: Massa yang marah sulit dibendung lagi. Namun, akibat yang lebih buruk lagi (seperti
pembunuhan konyol lewat pembakaran) dapat diatasi seandainya para pengamat (bystanders) berani
mengambil tanggung jawab dan berteriak, “Berhenti!”. Memang ada kecenderungan di mana pengamat
cenderung berilusi bahwa tanggung-jawabnya sangatlah kecil mengingat ia bukanlah satu-satunya
pengamat yang menyaksikan peristiwa tersebut. Seringkali bystander effect juga muncul karena sikap
tidak mau ikut campur, bukan urusan saya, dll. Namun hal ini sesungguhnya dapat diatasi bila kita mau
mengambil peran dan terlibat atas apa yang kita alami. Bahwa kita berada di sana, tidak berarti hanya
sekedar kebetulan. Kehadiran kita sesungguhnya dapat memberi makna yang positif bagi masyarakat
bila kita mau terlibat dan bertindak demi kemanusiaan.

Saya juga memiliki pengalaman yang hampir mirip dengan fenomena kekerasan massal di Bekasi
beberapa waktu lalu. Suatu hari saya dan keponakan saya naik angkot melewati Kelapa Dua ke arah
Depok. Seperti biasa saya main-main HP. Kadang-kadang saya berbincang dengan keponakan saya dan
menaruh HP di tas tangan yang terbuka. Tak lama kemudian seorang pemuda, mungkin berusia sekitar
20 tahunan, naik dan duduk di sebelah tas saya. Saat angkot berhenti karena macet, pemuda tersebut
tiba-tiba menyambar HP saya dan lari meninggalkan angkot. Keponakan saya langsung berteriak, “Hei!
Maling!” Saya sendiri cuma bisa berteriak, “Hehhh!! Tolong! Tolong!”. Orang-orang yang kebanyakan
buruh galian di sekitar area itupun segera terjaga, menyaksikan pemuda tersebut turun dari angkot
diteriaki dua perempuan. Salah satu dari mereka lalu berteriak, “Maling! Maling! Tangkap!” Tak lama, si
pemuda sudah dikerumuni oleh banyak orang yang siap menghantamnya. Ia segera mengembalikan HP
tersebut ke saya, tapi massa yang terkumpul tidak mau berhenti. Mereka siap mengeroyok pemuda itu.
Tiba-tiba jantung saya terasa mau berhenti membayangkan si pencuri ini bisa mati seketika tanpa proses
hukum, saya pun segera maju ke tengah-tengah kerumunan dan berteriak ke orang-orang tersebut,
“Jangan! Jangan Pak! Saya mau polisi yang bertindak!”. Suara saya tentu tidak selantang suara lelaki.
Tapi saya tidak peduli karena tahu betul pemuda itu bisa mati dikeroyok. Akhirnya pelan-pelan, para
lelaki yang siap mengeroyok pun mundur. Si pemuda segera lari kabur. Orang-orang itu memandang
saya bingung. Saya sendiri tidak peduli dia kabur. Yang penting saya tidak mau ada orang mati karena
dikeroyok.

Saat akal sehat telah hilang digantikan oleh ilusi kekuasaan kelompok, saat itulah kita harus berani
berkata “Tidak” atau “Jangan!” atau “Hentikan”. Terutama saat situasi telah mampu mengubah orang-
orang biasa menjadi serigala pembunuh bagi sesamanya.

Fakultas Psikologi

Universitas Indonesia

Saya memulai tulisan ini langsung meloncat pada pertanyaan kesimpulan: mengapa keindahan perilaku
yang selama ini diagungkan sebagai identitas asli Indonesia makin pudar? Pertanyaan ini berangkat dari
berbagai perilaku masyarakat Indonesia yang makin ke sini makin ajaib (kalau merasa ngilu bilang makin
mengerikan). Kasus kemanusiaan terakhir dan paling buruk, Muhammad Alzahra atau Zoya dituduh
mencuri amplifier lalu dibakar hidup-hidup.

Hidup Zoya harus berakhir amat tragis. Ia dibakar massa yang marah dan kalap lantaran dituduh
mencuri amplifier musala Al Hidayah, Pasar Muara Bakti, Desa Hurip Jaya, Babelan, Kabupaten Bekasi
pada Selasa, 1 Agustus 2017 sekitar pukul 16.30.

Saat itu, Zoya dalam perjalanan pulang setelah membawa dua amplifier bekas untuk diperbaiki di
rumah dan hendak dijual lagi. Ia mampir di musala untuk melaksanakan salat asar. Lantaran takut
amplifier bekasnya itu hilang, ia membawanya ke dalam sambil ia sendiri salat. Di saat itulah, ia tiba-tiba
dituduh mencuri amplifier musala. Ia sudah berusaha membantah. Tapi massa memilih mengeroyoknya
tanpa memberikan dia keadilan.

BLOG TERKAIT

Kematian Dimas dan Candu Kekerasan


Pejabat Kita Kurang Cerdas-Emosional?

Lemparan batu dan kayu menderas darah di Zoya. Dalam keadaan kesakitan, ia masih berusaha
mengatakan dia bukan maling. Tapi iblis sudah bersemayam di hati ratusan lelaki durjana itu. Tubuhnya
yang lemas dan lebam digotong dan digeletakkan di parit. Lalu badannya disiram bensin dan dibakar!
Ratusan orang bersorak sorai dan melihatnya tanpa bergidik. Zoya tewas meninggalkan istri yang
tengah hamil tujuh bulan dan seorang balita yang tak paham mengapa ayahnya mati dibakar.

Saya sungguh berharap, tulisan ini sampai di tangan para pelaku. Karenanya, tak perlu tulisan ini dijejali
dengan beragam teori kekerasan yang akan membikin rambut di kepala para pelaku makin kusut.

Wahai para pembakar, saya ingin bertanya sederhana: panas api yang melalap badan Zoya, apakah tidak
terasa saat amarah membungkus kalian? Dia manusia, makhluk hidup, yang merasakan kesakitan,
bukan sampah yang harus dibakar. Soal benar tidaknya dia mencuri, apakah sepadan dengan kejahatan
kalian membakarnya?

Pelaku pembakar Zoya ini jamak. Bukan hanya yang menyiram bensin dan menyulut api lalu dilemparkan
ke tubuhnya. Tapi juga para penonton dewasa dan yang paling mengerikan tukang video yang dengan
kalem mengambil gambar MA yang merintih kesakitan dan kepanasan tanpa rasa bergidik dan tidak
mencegah kebrutalan ini. Bukankah penontonnya juga ada anak-anak? Apakah mereka juga pelaku?

Justru itu. Para penonton dewasa itu tidak saja melakukan kejahatan manusia terhadap MA, tapi juga
kepada anak-anak. Mereka membiarkan anak-anak (mungkin juga disuruh) melihat adegan mengerikan
itu dan mengendap menjadi trauma seumur hidup. Jika mereka bisa menggunakan pikiran dan hati
mereka, tak mungkin mereka membiarkan anak-anak melihat aksi di depan mata mereka lantaran
pembakaran itu terjadi di tengah pasar saat hari masih terang.

Hukum manakah yang kalian pakai? Saya yakin di antara para pelaku adalah orang yang juga salat di
musala itu lantaran melihat dan kemudian menuduh MA mencuri amplifier musala. Hukum Islam? Jelas
tidak. Allah pun sudah berfirman di dalam Q.S Al Maidah ayat 32. “Barang siapa yang membunuh
seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain atau karena membuat kerusakan di
muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.”

Ini artinya, setiap pembunuhan yang dilakukan dengan semena-mena sama saja membunuh semua
manusia. Mengapa? Karena korban pasti memiliki keluarga. Zoya, dalam hal ini, punya istri yang tengah
hamil tua dan anak balita yang menjadi yatim karena kebiadaban orang-orang durjana.
Dan Tuhan sudah menyatakan, pembunuhan ini sebagai dosa besar kedua setelah syirik. Balasannya
adalah neraka jahanam (Q.S. An Nisa: 93).

Oke, kalau kalian masih menyangkal, mari kita menggunakan hukum positif yang berlaku di Indonesia.
Sikap main hakim sendiri ini, bisa dalam bentuk pengeroyokan hingga berujung korban tewas, paling
enak dikenakan pasal 351 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Bunyinya, “penganiayaan
diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah.”

Undang-Undang Perlindungan Anak juga bisa dikenakan kepada para pelaku. Pada Pasal 15 butir d
dengan jelas menyebutkan, “setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari pelibatan dalam
peristiwa yang mengandung unsur kekerasan.” Aksi itu dibiarkan ditonton langsung oleh anak-anak.

Apakah yang membuat kalian terlecut untuk menampilkan kebengisan dan kebiadaban itu di muka
umum. Apakah kemiskinan membuat kesalehan kalian meranggas? Karena miskin lalu berhak mencari
pelampiasan dengan mengeroyok dan membakar tubuh yang masih bernyawa. Karena kemiskinan
membuat kalian merasa perlu bermain peran sebagai Tuhan? Harga amplifier bekas itu tak sampai Rp
500 ribu harus ditukar dengan jasad hangus?

Sekarang kita bicara soal kemanusiaan. Terpikirkah kalian, wahai para pelaku, kebengisan kalian sudah
melenyapkan mimpi anak balita empat tahun bakal bermain dengan bapaknya lebih lama lagi.
Kebengisan kalian sudah membuat anak empat tahun dan jabang bayi itu menjadi yatim? Mereka
kehilangan seorang ayah dengan cara amat tragis dan memilukan. Dibakar!

Apakah terlintas meski hanya sebentar, kebiadaban itu membawa perih bukan hanya Zubaidah, bocah
empat tahun dan jabang bayi dalam kandungan, tapi juga merobek kemanusiaan kita. Perilaku itu telah
menurunkan derajat kita sebagai makhluk Tuhan paling tinggi. Perilaku barbar kalian telah menurunkan
wibawa kita sebagai bangsa yang beradab dan berbudaya. Saya berharap Tuhan masih menyisakan
ampunan untuk kalian dan berlutut memohon maaf di depan Zubaidah.

Você também pode gostar