Você está na página 1de 121

ANALISIS DAYA SAING PENGUSAHAAN KOMODITAS

MANGGIS
(Studi Kasus : Kelompok Tani Desa Karacak Kecamatan
Leuwiliang Kabupaten Bogor)

ANNA SWASTI SURI

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Daya Saing
Pengusahaan Komoditas Manggis (Studi Kasus : Kelompok Tani Desa Karacak
Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor) adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2017

Anna Swasti Suri


NIM H44130025
ABSTRAK
ANNA SWASTI SURI. Analisis Daya Saing Pengusahaan Komoditas Manggis
(Studi Kasus : Kelompok Tani Desa Karacak Kecamatan Leuwiliang Kabupaten
Bogor). Dibimbing oleh FAROBY FALATEHAN.

Manggis (Garcinia mangostana L.) merupakan salah satu komoditas buah tropis
yang menjadi primadona ekspor Indonesia. Desa Karacak Kecamatan Leuwiliang
merupakan sentra pengembangan manggis. Beberapa permasalahan yang terjadi
yaitu rendahnya produksi, kualitas yang tidak menentu dan harga yang menurun
drastis saat panen raya mempengaruhi tingkat daya saing pada daerah tersebut.
Maka dari itu diperlukan penelitian dengan tujuan (1) Menganalisis keunggulan
komparatif dan kompetitif pengusahaan manggis menggunakan Policy Analysis
Matrix (2) Menganalisis dampak perubahan input dan output terhadap keunggulan
komparatif dan kompetitif pengusahaan manggis menggunakan analisis
sensitivitas (3) Menganalisis daya dukung pengusahaan manggis menggunakan
analisis Diamond Porter. Hasil analisis menunjukan bahwa pengusahaan manggis
di Desa Karacak memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif, dilihat dari nilai
PCR dan DRC sebesar 0,86 dan 0,34. Secara keseluruhan, kebijakan input-output
yang diterapkan oleh pemerintah belum efektif. Analisis sensitivitas menunjukan
bahwa kondisi yang dapat meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitif
yaitu peningkatan produksi sebesar 165 persen, sedangkan kondisi yang dapat
menurunkan keunggulan komparatif dan kompetitif yaitu penerapan sistem Upah
Minimum Regional (UMR). Hasil Analisis Diamond Porter secara keseluruhan
menunjukkan kondisi di Desa Karacak mendukung dalam peningkatan
pengusahaan manggis.

Kata kunci: manggis, policy analysis matrix, porter, sensitivitas


ABSTRACT

ANNA SWASTI SURI. Analysis of Competitiveness of Mangosteen Farming


(Case Study: Farmers in Karacak Village, Leuwiliang District, Bogor Regency).
Supervised by FAROBY FALATEHAN.

Mangosteen (Garcinia mangostana L.) is one of tropical fruit commodities


which becomes Indonesia’s prima donna of export. Karacak Village, Sub-district
of Leuwiliang is a mangosteen development center. Some problems arise, namely
low production, uncertain quality, and price that decreases drastically during
harvest time affect the level of competitiveness in the area. Therefore, research is
needed with the objectives of (1) Analyzing the comparative and competitive
advantages of mangosteen production using Policy Analysis Matrix (2) Analyzing
the change of input and output toward comparative and competitive advantage of
mangosteen production using sensitivity analysis. (3) Analyzing the carrying
capacity of mangosteen using Diamond Porter analysis. The result of Policy
Analysis Matrix shows that mangosteen production in Karacak Village has
comparative and competitive advantages because the value of PCR and DRC is 0.86
and 0.34. Overall, the government's input-output policy has not been effective.
Sensitivity analysis shows that condition which increase the comparative and
competitive advantages is the inrease in production of output 165 persen, condition
which decrease the comparative and competitive advantages is the aplication of
Regional Minimum Wages. The results of Diamond Porter Analysis generally show
that conditions in Karacak Village support the improvement of mangosteen
production.

Keywords: mangosteen, policy analysis matrix, porter, sensitivity


ANALISIS DAYA SAING PENGUSAHAAN KOMODITAS
MANGGIS
(Studi Kasus : Kelompok Tani Desa Karacak Kecamatan
Leuwiliang Kabupaten Bogor)

ANNA SWASTI SURI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini
yang berjudul Analisis Daya Saing Pengusahaan Komoditas Manggis (Studi
Kasus : Kelompok Tani Desa Karacak Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor.
Penulis mengucapkan terimakasih sebesar besar nya kepada:
1. Ayah (Rizal Fahlevi) dan Ibu (Rusminah) tercinta, serta adik tersayang (Rani
Cantika Suri dan Mutiara Anjani Suri) atas kasih sayang, dukungan baik materi
dan moral, serta limpahan doa yang tak pernah putus diberikan kepada penulis.
2. Seluruh keluarga besar yang telah memberikan kasih sayang, dukungan, serta
limpahan doa yang tak pernah putus diberikan kepada penulis.
3. Dr. A. Faroby Falatehan, SP, ME selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
mengarahkan dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA dan Arini Hardjanto, SE, M.Si selaku dosen
penguji yang telah memberikan saran dan masukan.
5. Seluruh dosen dan staff Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
(ESL) atas bantuannya selama masa studi.
6. Teman-teman ESL 50 yang telah memberikan semangat, masukan, dan
bantuannya.
7. Teman-teman satu bimbingan skripsi yaitu Izmi, Putri, Afin, Aini, dan Reffi
yang telah memberikan semangat, masukan, dan bantuannya.
8. Pihak Desa Karacak dan petani responden atas bantuannya selama penyelesaian
skripsi.
9. Semua pihak yang telah membantu selama penyelesaian skripsi ini yang tidak
dapat disebutkan satu per satu.
Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2017

Anna Swasti Suri


DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvi
I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah .................................................................................. 4
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................... 6
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................ 6
II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 7
2.1 Karakteristik Manggis............................................................................... 7
2.1.1 Syarat Tumbuh ............................................................................... 7
2.1.2 Teknik Budidaya ............................................................................ 7
2.1.3 Pembibitan ...................................................................................... 8
2.1.4 Pengolahan Media Tanam ............................................................. 8
2.1.5 Penyiangan ..................................................................................... 8
2.1.6 Pemupukan .................................................................................... 9
2.1.7 Pengairan ....................................................................................... 9
2.1.8 Panen .............................................................................................. 9
2.2 Penelitian Terdahulu ............................................................................... 10
2.2.1 Keunggulan Komparatif dan Kompetitif ..................................... 10
2.2.2 Analisis Diamond Porter .............................................................. 11
2.2.3 Dampak Perubahan pada Input dan Output terhadap Keunggulan
Komparatif dan Kompetitif .......................................................... 12
2.3 Kebaruan Penelitian ................................................................................ 12
III KERANGKA PEMIKIRAN ....................................................................... 19
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis .................................................................. 19
3.1.1 Konsep Daya Saing ...................................................................... 19
3.1.2 Keunggulan Komparatif .............................................................. 19
3.1.3 Keunggulan Kompetitif ................................................................ 20
3.1.4 Kebijakan Pemerintah .................................................................. 21
3.1.5 Policy Analysis Matrix (PAM) ..................................................... 22
3.1.6 Analisis Sensitivitas ..................................................................... 35
3.1.7 Analisis Diamond Porter ............................................................. 35
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ............................................................ 41
IV METODE PENELITIAN ............................................................................. 44
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian................................................................... 45
4.2 Jenis dan Sumber Data ............................................................................ 45
4.3 Metode Pengambilan Sampel .................................................................. 45
4.4 Metode Analisis Data .............................................................................. 45
4.4.1 Penentuan Input dan Output ......................................................... 47
4.4.2 Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing .......................... 47
4.4.3 Penentuan Harga Bayangan ......................................................... 48
4.5 Analisis Sensitivitas ................................................................................ 52
V GAMBARAN UMUM PENELITIAN ........................................................ 53
5.1 Kondisi Umum Kabupaten Bogor ........................................................... 53
5.2 Kondisi Umum Desa Karacak ................................................................. 54
5.3 Karakteristik Responden ......................................................................... 54
5.4 Usahatani Manggis di Desa Karacak ...................................................... 57
VI HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 59
6.1 Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Pengusahaan
Manggis ................................................................................................... 59
6.2 Analisis Sensitivitas Pengusahaan Manggis ........................................... 65
6.3 Analisis Daya Dukung Pengusahaan Manggis........................................ 71
6.3.1 Kondisi Faktor Sumberdaya ......................................................... 71
6.3.2 Kondisi Permintaan ...................................................................... 74
6.3.3 Industri Terkait dan Industri Pendukung ...................................... 75
6.3.4 Struktur, Persaingan, dan Strategi Perusahaan ............................. 77
6.3.5 Peran Pemerintah ......................................................................... 78
6.3.6 Peran Kesempatan ........................................................................ 78
6.4 Implikasi Kebijakan ................................................................................ 79
VII KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 80
7.1 Kesimpulan ............................................................................................. 81
7.2 Saran ........................................................................................................ 82
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 83
LAMPIRAN ......................................................................................................... 87
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................... 103
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1 Ekspor produksi buah-buahan tahunan tahun 2015 ................................ 2
2 Perkembangan ekspor produksi buah manggis tahun 2011 - 2015 ........ 2
3 Luas panen, produksi, dan produktivitas manggis di Indonesia tahun
2011 - 2015 ............................................................................................. 3
4 Luas lahan, produksi, dan produktivitas manggis menurut provinsi
penghasil terbesar di Indonesia tahun 2015 ............................................ 3
5 Produksi manggis di Kecamatan Leuwiliang tahun 2012 – 2016 .......... 4
6 Penelitian terdahulu .............................................................................. 13
7 Klasifikasi kebijakan pemerintah terhadap harga komoditi ................. 21
8 Policy Analysis Matrix (PAM) ............................................................. 30
9 Matriks keterkaitan tujuan penelitian, jenis data, dan metode ............. 46
10 Alokasi biaya produksi dalam komponen domestik dan asing ............ 48
11 Alokasi biaya tataniaga dalam komponen domestik dan asing ............ 48
12 Sebaran petani responden berdasarkan usia ......................................... 55
13 Sebaran petani responden berdasarkan tingkat pendidikan .................. 55
14 Sebaran petani responden berdasarkan luas lahan ................................ 56
15 Sebaran petani responden berdasarkan pengalaman bertani manggis .. 56
16 Rincian biaya finansial dan ekonomi pengusahaan manggis di Desa
Karacak tahun 2016 (Rp/Ha) ................................................................ 61
17 Policy Analysis Matrix (PAM) pengusahaan manggis di Desa Karacak
tahun 2016 (Rp/Ha) .............................................................................. 62
18 Indikator-indikator PAM pada pegusahaan manggis di Desa Karacak
tahun 2016 ............................................................................................ 62
19 Analisis sensitivitas saat terjadi penurunan harga output domestik
sebesar 73,88% ..................................................................................... 66
20 Analisis sensitivitas saat harga output domestik sama dengan harga
internasional ......................................................................................... 67
21 Analisis sensitivitas saat terjadi kenaikan jumlah produksi 165% ....... 68
22 Analisis sensitivitas saat terjadi depresiasi nilai tukar 5,3% ................ 68
23 Analisis sensitivitas saat terjadi apresiasi nilai tukar sebesar 36% ...... 69
24 Analisis sensitivitas saat terjadi pencabutan subsidi solar.................... 69
25 Analisis sensitivitas saat terjadi kenaikan subsidi solar ....................... 70
26 Analisis sensitivitas saat penggunaan Upah Minimum Regional
(UMR) ................................................................................................... 70
27 Perkembangan produksi, ekspor, dan kebutuhan manggis dalam negeri
tahun 2011 – 2015 ................................................................................. 74
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1 Dampak subsidi pada produsen dan konsumen barang impor .............. 25
2 Hambatan perdagangan pada produsen barang impor .......................... 26
3 Dampak pajak dan subsidi pada input tradable .................................... 27
4 Dampak pajak dan subsidi pada input non tradable ............................. 28
5 The complete system of national advantage ......................................... 41
6 Kerangka pemikiran operasional .......................................................... 43

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman
1 Kuisioner penelitian .............................................................................. 89
2 Perhitungan premium nilai tukar dan nilai tukar bayangan tahun
2016 ...................................................................................................... 92
3 Perhitungan harga bayangan manggis .................................................. 92
4 Perhitungan harga bayangan obat-obatan ............................................. 92
5 Perhitungan harga bayangan bahan bakar ............................................ 93
6 Rata-rata penggunaan input dan output pada usahatani manggis di Desa
Karacak Kecamatan Leuwiliang tahun 2016 ........................................ 93
7 Analisis sensitivitas saat terjadi penurunan harga output domestik sebesar
73,88% (Rp/Ha) .................................................................................... 94
8 Analisis sensitivitas saat harga output domestik sama dengan harga
internasional (Rp/Ha) ............................................................................ 95
9 Analisis sensitivitas saat terjadi peningkatan produksi sebesar 165%
(Rp/Ha) ................................................................................................. 96
10 Analisis sensitivitas saat terjadi depresiasi nilai tukar sebesar 5,3%
(Rp/Ha) ................................................................................................. 97
11 Analisis sensitivitas saat terjadi apresiasi nilai tukar sebesar 36%
(Rp/Ha) ................................................................................................. 98
12 Analisis sensitivitas saat pencabutan subsidi solar (Rp/Ha) ................. 99
13 Analisis sensitivitas saat peningkatan subsidi solar (Rp/Ha) ............. 100
14 Analisis sensitivitas saat penggunaan Upah Minimum Regional (UMR)
(Rp/Ha) ............................................................................................... 101
15 Dokumentasi penelitian ...................................................................... 102
1

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia sebagai negara agraris tentu memiliki potensi dalam sektor


pertanian. Sektor pertanian masih menjadi sektor penting dalam pembangunan
ekonomi nasional. Peran strategis sektor pertanian tersebut digambarkan dalam
kontribusi sektor pertanian dalam penyedia bahan pangan dan bahan baku industri,
penyumbang PDB, penghasil devisa negara, penyerap tenaga kerja, sumber utama
pendapatan rumah tangga perdesaan, penyedia bahan pakan dan bioenergi, serta
berperan dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca. Rencana Strategis
Kementrian Pertanian periode 2015 - 2019, memiliki tujuan salah satu nya yaitu
meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk pangan dan pertanian dengan
sasaran peningkatan komoditas bernilai tambah, berdaya saing dalam memenuhi
pasar ekspor dan substitusi impor (Kementrian Pertanian 2015).
Hasil Laporan Kinerja Kementrian Pertanian tahun 2015 menyatakan bahwa
produk pertanian utama terdiri dari 10 (sepuluh) komoditas utama, yaitu kelapa,
kelapa sawit, kopi, kakao, pala, teh, cengkeh, manggis, mangga dan nenas (segar).
Pertumbuhan volume ekspor produk pertanian utama tahun 2015 mencapai 15,66%
dari target 10%, atau pencapaian target sebesar 156,6%. Sebagian besar ekspor
komoditas pertanian utama di dominasi oleh sub sektor perkebunan dengan tujuh
komoditas dan yang lainnya oleh sub sektor hortikultura.
Hortikultura merupakan salah satu sub sektor dari sektor pertanian yang dapat
dikembangkan, baik melalui upaya peningkatan produksi untuk kebutuhan dalam
negeri maupun untuk kebutuhan ekspor. Pada dasarnya, komoditas hortikultura
dikelompokkan ke dalam empat kelompok utama yaitu buah-buahan, sayuran,
tanaman hias dan biofarmaka (tanaman obat-obatan). Salah satu komoditas
hortikultura yang memiliki prospek untuk ekspor yaitu buah buahan. Komoditas
hortikultura yang termasuk ke dalam sepuluh komoditas utama pertanian seperti
penjelasan diatas yaitu komoditas buah-buahan. Menurut istilah BPS, tanaman
buah-buahan adalah tanaman sumber vitamin, garam, mineral dan lain lain, yang
dikonsumsi dari bagian tanaman berupa buah umumnya merupakan tanaman
tahunan.
2

Tabel 1 Ekspor produksi buah-buahan tahunan tahun 2015


No Komoditas Jumlah Ekspor (Kg) Nilai (US$)
1 Manggis 38.177.338 17.212.084
2 Mangga 1.242.719 1.820.607
3 Salak 2.201.636 1.665.699
4 Nanas 873.674 653.637
5 Rambutan 801.954 828.651
Sumber : BPS (2016a)

Berdasarkan Tabel 1, manggis menempati urutan pertama dalam ekspor


produksi buah buahan tahunan tahun 2015. Jumlah ekspor sebesar 38.177.338 kg
atau senilai US$ 17.212.084. Hal ini menunjukkan bahwa buah manggis diminati
oleh konsumen luar negeri. Sebagian besar buah manggis diekspor ke Thailand,
Malaysia dan Hongkong (BPS 2016a). Urutan kedua ekspor terdapat buah mangga
dengan jumlah ekspor sebesar 1.242.719 kg atau senilai US$ 1.820.607.
Manggis (Garcinia mangostana L.) merupakan salah satu komoditas buah
eksotik primadona ekspor. Manggis adalah buah tropis yang dijuluki sebagai Queen
of Tropical Fruits, karena memiliki cita rasa yang eksotik serta keindahan kulit
buah dan daging buah yang putih bersih (Redaksi Agromedia 2009). Perkembangan
ekspor produksi manggis dari tahun 2011 - 2015 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Perkembangan ekspor produksi buah manggis tahun 2011 - 2015
Jumlah Ekspor Pertumbuhan Nilai Pertumbuhan
No Tahun
(Kg) (%) (US$) (%)
1 2011 12.603.043 - 9.985.684 -
2 2012 20.168.660 60,03 17.426.034 74,51
3 2013 7.647.853 -62,08 5.734.310 -67,09
4 2014 10.081.787 31,83 6.544.688 14,13
5 2015 38.177.338 278,68 17.212.084 162,99
Sumber : BPS (2016)
Berdasarkan Tabel 2, perkembangan ekspor manggis dari tahun 2011 hingga
2015 cenderung mengalami peningkatan. Jumlah produksi ekspor pada tahun 2011
sebesar 12.603.043 kg atau senilai US$ 9.985.684 meningkat menjadi 38.177.338
kg atau senilai US$ 17.212.084 pada tahun 2015. Penurunan jumlah dan nilai
ekspor terjadi pada tahun 2013, namun terjadi peningkatan kembali pada tahun
selanjutnya. Penurunan jumlah ekspor sebesar 62,08 persen dan penurunan nilai
sebesar 67,09 persen. Pertumbuhan terbesar terjadi pada tahun 2015 yaitu
pertumbuhan jumlah ekspor sebesar 278,68 persen dan pertumbuhan nilai sebesar
162,99 persen dari tahun sebelumnya.
3

Tabel 3 Luas panen, produksi, dan produktivitas manggis di Indonesia tahun 2011
- 2015
Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Ton/Ha)
2011 16.180 117.595 7,27
2012 17.852 190.287 10,66
2013 18.200 139.602 7,67
2014 15.197 114.755 7,55
2015 22.377 203.100 9,08
Sumber : BPS (2016b)
Berdasarkan Tabel 3, luas panen manggis cenderung mengalami peningkatan.
Luas panen pada tahun 2011 seluas 16.180 ha meningkat menjadi 22.377 ha pada
tahun 2015. Penurunan luas panen terjadi pada tahun 2014, namun mengalami
peningkatan pada tahun selanjutnya menjadi 22.377 ha.
Produksi manggis cenderung mengalami peningkatan. Produksi pada tahun
2011 sejumlah 117.595 ton menjadi 203.100 ton pada tahun 2015. Penurunan
produksi terjadi pada tahun 2013. Produktivitas manggis cenderung mengalami
peningkatan. Penurunan produktivitas terjadi pada tahun 2013 dan 2014
Sentra produksi manggis tersebar di beberapa wilayah, diantaranya Jawa
Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Barat dan Bali. Selengkapnya
mengenai luas lahan, produksi dan produktivitas manggis menurut provinsi
penghasil terbesar di Indonesia tahun 2015 dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Luas lahan, produksi, dan produktivitas manggis menurut provinsi
penghasil terbesar di Indonesia tahun 2015
Provinsi Luas Lahan (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Ton/Ha)
Jawa Barat 7.547 69.314 9,18
Jawa Timur 2.797 29.748 10,64
Sumatera Barat 1.556 20.339 13,07
Jawa tengah 1.834 12.190 6,65
Bali 1.872 10.660 5,69
Sumber : BPS (2016c)
Berdasarkan Tabel 4, Jawa Barat merupakan daerah penghasil manggis
terbesar di Indonesia dengan produksi sebesar 69.314 ton pada tahun 2015. Daerah
penghasil terbesar lainnya yaitu Jawa Timur, Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan
Bali. Kabupaten Bogor merupakan salah satu sentra produksi manggis di Jawa
Barat. Produksi manggis di Kabupaten Bogor pada tahun 2015 sebesar 7.992 ton
dengan persentase sebesar 11,53 % terhadap total produksi Jawa Barat (BPS
Provinsi Jawa Barat 2016a).
4

1.2 Perumusan Masalah

Manggis merupakan salah satu komoditas unggulan Kabupaten Bogor.


Berdasarkan misi kedua dari Pemerintah Kabupaten Bogor yang telah ditetapkan
dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD 2013-
2018), yaitu meningkatkan daya saing perekonomian masyarakat dan
pengembangan usaha berbasis sumberdaya alam dan pariwisata. Upaya Dinas
Pertanian dan Kehutanan (Distanhut) Kabupaten Bogor untuk menumbuhkan usaha
agribisnis komoditas hortikultura pada tahun anggaran 2015, diantaranya melalui
intervensi pada komoditas : (a) tanaman hias, (b) tanaman buah - buahan, (c)
sayuran, dan (d) tanaman biofarmaka. Intervensi yang dilakukan oleh Distanhut
Kabupaten Bogor mengikuti pendekatan sistem agribisnis, yaitu memfasilitasi atau
memenuhi kebutuhan petani secara menyeluruh dimulai dari komponen hulu
hingga ke hilir, dengan tujuan terciptanya sentra komoditas hortikultura dan usaha
agribisnis yang sesuai dengan kondisi dan potensi agroklimatnya (Distanhut 2015).
Kecamatan Leuwiliang khususnya Desa Karacak merupakan salah satu sentra
produksi dan pengembangan manggis yang ditetapkan berdasarkan Surat
Keputusan Bupati Kabupaten Bogor nomor 500/96/KPTS/HUK/2004 mengenai
kawasan agropolitan dengan komoditas unggulan buah manggis. Produksi manggis
di Kecamatan Leuwiliang dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Produksi manggis di Kecamatan Leuwiliang tahun 2012 – 2016
No Tahun Produksi (Ton) Pertumbuhan (%)
1 2012 1.752 -
2 2013 1.331 -24,03
3 2014 233 -82,49
4 2015 1.214 421,03
5 2016 403 -66,80
Sumber : UPT Pertanian dan Hortikultura Kecamatan Leuwiliang (2017)
Berdasarkan Tabel 5, produksi manggis dari tahun 2012 hingga 2016
cenderung mengalami penurunan. Penurunan terbesar terjadi pada tahun 2014 yaitu
sebesar 82,49 persen dan tahun 2016 sebesar 66,80 persen. Peningkatan
pertumbuhan hanya terjadi pada tahun 2015. Pertumbuhan tersebut sebesar 421,03
persen dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2016 kembali terjadi penurunan sebesar
66,80 persen dari tahun sebelumnya.
5

Produksi yang cenderung menurun menjada kendala bagi petani dalam


mengusahakan manggisnya. Pada tahun 2016 produksi yang dihasilkan cukup
rendah. Hal ini disebabkan oleh kondisi cuaca dan iklim di daerah tersebut yaitu
hujan yang terjadi terus menerus hingga akhir tahun. Kualitas manggis yang
dihasilkan tidak menentu. Hal ini menyebabkan kualitas buah manggis tidak dapat
diprediksi setiap tahun. Petani tidak dapat mengharapkan hasil panen sepenuhnya
dari manggis dikarenakan berbagai kendala tersebut.
Panen raya manggis berlangsung selama dua tahun sekali. Hasil panen pada
panen raya cukup melimpah sehingga harga manggis mengalami penurunan. Harga
yang diterima petani ditentukan oleh pengumpul sehingga posisi tawar petani
menjadi lemah. Posisi tawar yang lemah disebabkan oleh ketergantungan petani
terhadap pengumpul. Petani tidak memiliki alternatif lain selain menjual hasil
panennya kepada pengumpul.
Sejumlah permasalahan yang dihadapi oleh petani mempengaruhi tingkat
daya saing pada daerah tersebut. Berdasarkan kondisi tersebut diperlukan penelitian
untuk mengetahui tingkat daya saing pengusahaan manggis di Desa Karacak.
Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana keunggulan komparatif dan kompetitif pengusahaan komoditas
manggis di Desa Karacak Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor?
2. Bagaimana dampak perubahan pada output dan input terhadap keunggulan
komparatif dan kompetitif pengusahaan komoditas manggis di Desa Karacak
Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor?
3. Bagaimana daya dukung pengusahaan komoditas manggis di Desa Karacak
Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif pengusahaan komoditas


manggis di Desa Karacak Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor dengan
menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM).
2. Menganalisis dampak perubahan yang terjadi pada output dan input terhadap
keunggulan komparatif dan kompetitif pengusahaan komoditas manggis di Desa
6

Karacak Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor menggunakan Analisis


Sensitivitas.
3. Menganalisis daya dukung pengusahaan komoditas manggis di Desa Karacak
Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor menggunakan Analisis Diamond
Porter.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Untuk peneliti sebagai wadah pengaplikasian materi-materi yang didapat


selama masa perkuliahan.
2. Untuk pemerintah diharapkan penelitian ini dapat menjadi masukan dalam
pengambilan kebijakan terkait pengusahaan manggis.
3. Untuk civitas akademika sebagai bahan acuan ataupun perbandingan dalam
melakukan penelitian selanjutnya.
4. Untuk petani manggis sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam
menjalankan usahatani nya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Karacak Kecamatan Leuwiliang Kabupaten


Bogor. Responden dalam penelitian ini yaitu petani yang tergabung dalam
kelompok tani yaitu Kelompok Tani Karya Mekar dan Kelompok Tani Rimba
Lestari. Komoditas yang diteliti adalah buah manggis yang merupakan komoditas
unggulan Kabupaten Bogor.
7

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Manggis

Manggis termasuk buah musiman yang hanya berbuah satu periode dalam
setahun. Tanaman manggis di Indonesia secara umum dibudidayakan secara
tradisional, turun menurun dan belum banyak tersentuh teknologi modern. Karena
itu, peluang peningkatan produksi, kualitas, dan pemasaran masih sangat terbuka
(Paramawati 2010).

2.1.1 Syarat Tumbuh


Pohon manggis tumbuh dengan baik di dataran rendah hingga ketinggian
dibawah 1000 mdpl. Tanaman manggis paling cocok dibudidayakan di daerah
berketinggian 500-600 mdpl dengan curah hujan tahunan sebesar 1500 – 2500 mm
per tahun atau merata sepanjang tahun. Karena itu, jika mengalami kekeringan akan
berpengaruh terhadap kualitas buah. Buah manggis yang di hasilkan akan
berukuran kecil dan mengandung getah kuning yang menyebabkan manggis tidak
laku untuk di ekspor. Suhu udara yang ideal untuk pohon manggis berkisar 22 - 32
derajat celcius. Dalam masa pertumbuhannya, buah manggis akan melalui tiga fase
penting yang berkesinambungan.
1. Fase Pertumbuhan : dimulai sejak bunga rontok dan muncul bakal buah.
Fase ini merupakan proses pembentukan senyawa molekul
2. Fase Pematangan : berupa proses terurai nya senyawa makromolekul menjadi
senyawa mikromolekul (lebih kecil). Misalnya dari pati menjadi gula dan mulai
terbentuknya senyawa flavor.
3. Fase Kelayuan atau Ketuaan, merupakan proses degradasi senyawa yang
menyebabkan buah rusak (deteriorate) dan tidak dapat dikonsumsi lagi. Fase
kelayuan didefinisikan sebagai periode mulai terjadi proses degradasi senyawa
menuju terjadinya ketuaan dan kematian jaringan (Paramawati 2010).

2.1.2 Teknik Budidaya


Budidaya manggis paling baik dilakukan di tanah yang subur, gembur, dan
mengandung bahan organik. Derajat keasaman tanah yang ideal untuk budidaya
8

manggsi adalah sekitar 5 - 7. Manggis dapat ditanam diarea perkebunan yang luas
atau tanah pekarangan, asalkan memiliki sistem drainase yang baik sehingga
tanaman manggis tidak tergenang. Manggis akan tumbuh baik jika air tanah berada
pada kedalaman 50 - 200 meter (Paramawati 2010).

2.1.3 Pembibitan
Pohon manggis dapat diperbanyak dengan biji atau bibit hasil
penyambungan pucuk atau susuan. Pohon yang berasal dari biji akan berbunga pada
umur 10 - 15 tahun, sedangkan yang berasal dari bibit sambungan dapat berbunga
pada umur 5 - 7 tahun (Paramawati 2010).

2.1.4 Pengolahan Media Tanam


Persiapan areal perkebunan untuk menanam manggis perlu dilakukan. Faktor
yang perlu diperhatikan adalah kemudahan transportasi dan sumber air. Tanah
harus di cangkul terlebih dahulu untuk menghilangkan bongkahan tanah yang
terlalu besar. Hilangkan oula rumput rumput liar dan tanaman perdu di sekitar areal
penanaman.
Jarak tanam manggis bisa dibuat rapat atau renggang, tergantug dari
kesuburan tanah. Pada tanah yang kurang subur, jarak tanam dirapatkan. Sementara
itu pada tanah yang subur jarak tanam bisa lebih renggang. Jarak tanam standar
antar pohon adalah 10 meter.
Untuk teknik penanaman, buat lubang tanam dengan ukuran 50 x 50 cm
sedalam 50 cm. Letakkan tanah galian lubang tanam di salah satu sisi. Pisahkan
antara tanah bagian atas (topsoil) dan tanah bagian bawah (subsoil). Sebelum
penanaman, lakukan pemupukan menggunakan campuran pupuk ZA (500gr), SP-
36(250gr), KCl (200gr). Aduk campuran ketiga pupuk ini dengan tanah bagian atas
dari lubang tanam, lalu masukan ke dalam lubang tanam. Biarkan selama satu
minggu. Setelah itu, tanam bibit manggis di dalam lubang tanam yang sudah di
pupuk, lalu tutup dengan tanah (Paramawati 2010).

2.1.5 Penyiangan
Penyiangan sebaiknya dilakukan secara kontinu secara bersamaan dengan
pemupukan dan penggemburan, yaitu setahun sekali. Selain itu, perlu juga
9

dilakukan pemangkasan ranting, terutama ranting ranting yang tumbuh kembar dan
sudah tidak berbuah. Tujuannya untuk mencegah serangan hama dan penyakit.
Kanopi tanaman sebaiknya dibentuk melebar agar seluruh bagian tanaman mudah
mendapatkan sinar matahari, upayakan agar tanaman tidak tumbuh terlalu tinggi.
Di Thailand, kebun manggis mempunyai keseragaman tinggi yaitu sekitar empat
(Paramawati 2010).

2.1.6 Pemupukan
Pemupukan sebaiknya dilakukan dengan menaburkan pupuk di dalam lubang
disekeliling batang dengan diameter sejauh tajuk pohon. Kedalaman lubang
pemupukan sekitar 10 - 20 cm dan jarak antar lubang sekitar 100 - 150 cm
(Paramawati 2010).

2.1.7 Pengairan
Tanaman yang berumur dibawah lima tahun memerlukan ketersediaan air
yang cukup. Tanaman harus sering disiram sebanyak satu sampai dua kali sehari.
Sementara itu, tanaman yang umurnya lebih dari lima tahun, frekuensi pengurangan
dapat dikurangi secara bertahap. Pentiraman dapat dilakukan dengan menggenangi
saluran irigasi atau disiram pada pagi hari.
Penyiraman perlu ditingkatkan pada saat tanaman mulai berbunga. Petani di
Thailand menyiram tanaman dengan jumlah air yang disesuaikan dengan jumlah
bakal buah. Hal ini akan menghasilkan buah dengan ukuran diameter yang hampir
seragam. Tidak heran bila pada setiap pohon terdapat instalasi keran air untuk
mengairi masing masing pohon (Paramawati 2010).

2.1.8 Panen
Buah manggis yang sudah masak dan siap untuk dikonsumsi biasanya dimulai
pada akhir proses pematangan dan akhir proses penuaan. Buah manggis yang masih
muda berwarna hijau pucat. Ciri ciri buah manggis yang telah masak diantaranya
kulit berwarna ungu kemerahan, bentuk bulat agak pipih, tangkai lunak, dan
berdiameter sekitar 4 - 7 meter. Tingkat kematangan sangat berpengaruh terhadap
mutu dan daya simpan buah. Ciri fisik buah manggis yang siap panen adalah
sebagai berikut :
10

1. Panen 104 hari


Warna kulit hijau bintik ungu, berat 80 - 130 gram, diameter 55 - 60 mm.
2. Panen 106 hari
Warna kulit ungu merah 10 - 25%, berat 80 - 130 gram, diameter 55 - 60 mm.
3. Panen 108 hari
Warna kulit ungu merah 25 - 50%, berat 80 - 130 gram, diameter 55 - 60 mm.
4. Panen 110 hari
Warna kulit ungu merah 50 - 75%, berat 80 - 130 gram, diameter 55 - 60 mm.
5. Panen 114 hari
Warna kulit ungu merah, berat 80 - 130 gram, diameter 55 - 60 mm.
Hingga saat ini proses pemanenan buah manggis masih dilakukan secara
manual dengan cara memanjat pohon, kemudian memetik buahnya secara langsung
satu per satu. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan kualitasnya. Pemanjat
biasanya membawa galah dari ranting pohon sepanjang 1,5 - 2 meter dan bagian
ujung galah diberi pengait dan kantong
Buah manggis yang siap di panen biasanya setelah berumur 104 hari sejak
bunga mekar (SBM). Buah manggis yang akan di ekspor biasanya di panen pada
umur 104 - 108 hari SBM. Jika buah manggis dipetik diatas umur 108 SBM
dianggap terlalu matang sehingga hanya dapat dikonsumsi masyarakat lokal
(Paramawati 2010).

2.2 Penelitian Terdahulu

2.2.1 Keunggulan Komparatif dan Kompetitif


Yusran (2006) meneliti tentang keunggulan kompetitif dan komparatif
pengusahaan manggis di Desa Karacak Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor
dan Desa Babakan Kabupaten Purwakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengusahaan manggis pada kedua lokasi menguntungkan dan memiliki keunggulan
kompetitif dan komparatif. Hasil analisis menunjukkan pengusahaan manggis di
Desa Babakan lebih baik dibanding Desa Karacak.
Falatehan dan Wibowo (2008) meneliti tentang keunggulan komparatif dan
kompetitif pengusahaan komoditi jagung di Desa Panunggalan Kecamatan
Pulokulon Kabupaten Grobogan. Hasil penelitian menunjukkan pengusahaan
11

jagung memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif yang dilihat dari nilai PCR
dan DRC sebesar 0,57 dan 0,55 atau lebih kecil dari satu.
Dewanata (2011) meneliti tentang daya saing dan dampak kebijakan
pemerintah terhadap komoditas Jeruk Siam di Kabupaten Garut. Hasil penelitian
menunjukkan pengusahaan Jeruk Siam dengan teknologi modern lebih memiliki
keunggulan komparatif dibandingkan dengan teknologi tradisional.
Suryantini et. al (2014) meneliti tentang daya saing kelapa di Kabupaten
Kupang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usahatani kelapa di Kabupaten
Kupang tidak memiliki keunggulan kompetitif dilihat dari nilai PP yang negatif dan
PCR yang lebih besar dari satu, namun memiliki keunggulan komparatif dilihat dari
nilai SP yang positif dan DRC yang lebih kecil dari satu.

2.2.2 Analisis Diamond Porter


Wulandari (2013) meneliti tentang daya saing ubi jalar Indonesia di pasar
internasional. Hasil dari analisis Diamond Porter menyatakan bahwa kondisi
permintaan memberikan kontribusi yang positif dan besar untuk ubi jalar Indonesia,
sedangkan faktor lainnya masing-masing memberikan sisi negatif dan positif.
Baga dan Nurunisa (2012) meneliti tentang daya saing dan strategi
pengembangan agribisnis teh Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya
saing agribisnis teh Indonesia masih lemah. Komponen utama dalam sistem
Diamond Porter teh Indonesia yang telah mendukung satu sama lain adalah faktor
sumberdaya dengan komponen kondisi permintaan domestik dan juga faktor-faktor
sumberdaya dengan komponen industri terkait dan pendukung. Sementara pada
komponen penunjang, komponen pemerintah hanya mendukung komponen faktor
sumberdaya, berbeda dengan komponen kesempatan yang telah mendukung semua
komponen utama.
Puspita (2009) meneliti tentang daya saing dan strategi pengembangan
agribisnis gandum lokal di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
keterkaitan antar komponen yang tidak saling mendukung lebih dominan
dibandingkan keterkaitan antar komponen yang saling mendukung. Hal ini
menunjukkan bahwa dayasaing agribisnis gandum lokal di Indonesia masih lemah.
12

2.2.3 Dampak Perubahan pada Output dan Input terhadap Keunggulan


Komparatif dan Kompetitif
Nisaa (2013) meneliti tentang daya saing usaha budidaya Ikan Hias Neon
Tetra di Kecamatan Bojongsari Kota Depok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penurunan harga output 6.15 persen atau kombinasi penurunan harga output 6.15
persen dan penurunan harga input 18.75 persen akan menurunkan keunggulan
kompetitif dan komparatif usaha budidaya Ikan Neon Tetra kecuali pada skala
usaha besar di skenario 3 akan meningkatkan keunggulan komparatif usaha
budidaya Ikan Neon Tetra, sedangkan penurunan harga input 18.75 persen atau
kombinasi penurunan harga output 6.15 persen dan penurunan harga input 35
persen akan meningkatkan keunggulan kompetitif usaha budidaya Ikan Neon Tetra.
Situmorang et. al (2014) meneliti tentang keunggulan komparatif dan
kompetitif usahatani manggis di Kabupaten Tanggamus. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penurunan produksi sebesar 20%, penurunan harga output
sebesar 30%, gabungan dari peningkatan biaya input sebesar 25%, penurunan
produksi manggis sebesar 20% dan penurunan harga output sebesar 30% (skenario
gabungan) sensitif mempengaruhi keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani.

2.3 Kebaruan Penelitian

Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian


penelitian sebelumnya. Persamaan penelitian ini dengan Yusran (2006) adalah
komoditas, tempat dan metode. Namun perbedaanya mengacu pada kebaruan
kondisi tahun 2016 yang sangat berbeda dengan kondisi penelitian sebelumnya.
Kondisi terbaru yaitu sudah terdapat penambahan jumlah kelompok tani, serta
perumusan masalah yang berbeda. Penelitian ini melingkup pada satu daerah yaitu
Desa Karacak. Tujuan pada penelitian ini lebih luas yaitu menganalisis daya
dukung pengusahaan manggis menggunakan enam komponen Diamond Porter.
Persamaan penelitian ini dengan Falatehan dan Wibowo (2008), Baga dan
Nurunisa (2012), dan Puspita (2009) terdapat pada metode penelitiannya.
Persamaan penelitian ini dengan Nisaa (2013), Wulandari (2013), Suryantini et. al
(2014), Situmorang et. al (2014), dan Dewanata (2011) yaitu pada tema
penelitiannya tentang daya saing.
Tabel 6 Penelitian Terdahulu

No Peneliti/Judul Tujuan Metode Hasil


1 Laode Muhammad 1. Menganalisis keunggulan 1. Policy Analysis Matrix Pengusahaan manggis kedua lokasi
Yusran (2006) komparatif dan (PAM) menguntungkan dan efisien secara ekonomi.
Analisis Keunggulan kompetitif pengusahaan 2. Analisis Sensitivitas Terlihat dari nilai PCR dan DCR yang kurang
Kompetitif dan manggis di Desa Karacak dari satu. Berdasarkan analisis sensitivitas,
Komparatif dan Desa Babakan perubahan yang terjadi baik perubahan harga
Pengusahaan Manggis 2. Menganalisis perubahan jual output maupun perubahan nilai tukar rupiah,
(Studi Kasus Desa kebijakan pemerintah menunjukan bahwa kedua lokasi memiliki
Karacak Bogor dan terhadap keunggulan keunggulan komparatif dan kompetitif dan
Desa Babakan komparatif dan layak untuk dijalankan.
Purwakarta) kompetitif di Desa
Karacak dan Desa
Babakan
2 A. Faroby Falatehan & 1. Menganalisis keunggulan 1. Policy Analysis Matrix Pengusahaan komoditi jagung memiliki
Arif Wibowo (2008) komparatif dan (PAM) keunggulan komparatif dan kompetitif. Namun
Analisis Keunggulan kompetitif usahatani 2. Analisis Diamond kebijakan pemerintah belum berjalan dengan
Komparatif dan jagung di Kabupaten Porter efektif dilihat dari nilai PCR sebesar 0,57 yang
Kompetitif Grobogan 3. Analisis Sensitivitas lebih besar dari DRC sebesar 0,55.
Pengusahaan Komoditi 2. Menganalisis keunggulan Hasil analisis sensitivitas, komponen yang
Jagung di Kab. kompetitif menggunakan paling sensitif terhadap keuntungan adalah
Grobogan (Studi Analisis Diamond Porter komponen harga output yang menurun sebesar
Kasus : Desa 3. Menganalisis perubahan 25 persen. Analisis Diamond Porter
Panunggalan, Kec. yang terjadi terhadap menunjukkan bahwa kondisi di daerah
Pulokulon,Grobogan keunggulan komparatif penelitian mendukung peningkatan dayasaing
Jawa Tengah) dan kompetitif jika terjadi pengusahaan komoditi jagung
perubahan harga output

13
dan harga input
14
No Peneliti/Judul Tujuan Metode Hasil
3 Okky Pandu Dewanata 1. Menganalisis pengaruh 1. Policy Analysis Matrix Pengusahaan jeruk siam di Kecamatan
(2011) teknologi terhadap (PAM) Samarang dengan teknologi modern lebih
Analisis Daya Saing keunggulan komparatif 2. Analisis Sensitivitas memiliki keunggulan komparatif dibandingkan
dan Dampak Kebijakan dan kompetitif Jeruk dengan teknologi tradisional. Kebijakan
Pemerintah terhadap Siam di Kabupaten Garut. pemerintah yang berlaku saat ini belum
Komoditas Jeruk Siam 2. Menganalisis dampak mendukung dalam peningkatan keunggulan
di Kabupaten Garut kebijakan pemerintah komparatif dan keunggulan kompetitif nya.
(Studi Kasus : terhadap daya saing Jeruk Perubahan nilai tukar rupiah, harga jeruk siam,
Kecamatan Samarang, Siam di Kabupaten Garut. dan harga pupuk bersubsidi sensitif terhadap
Kabupaten Garut, 3. Menganalisis dampak keunggulan komparatif dan keunggulan
Provinsi Jawa Barat). perubahan nilai tukar kompetitif pengusahaan jeruk siam modern
rupiah, harga jeruk siam dibandingkan pengusahaan jeruk siam
domestik dan kenaikan tradisional di Kabupaten Garut.
harga pupuk.
4 Riana Ayu Wulandari 1. Menganalisis struktur 1. Herfindahl Index Hasil perhitungan HI dan CR4
(2013) pasar dan persaingan ubi 2. Concentration Ratio menunjukkan bahwa ubi jalar dalam pasar
Analisis Daya Saing jalar Indonesia di pasar 3. Revealed Comparative internasional menunjukkan struktur pasar
Ubi Jalar Indonesia di internasional. Advantage (RCA) dengan konsentrasi pasar yang sedang.
Pasar Internasional 2. Menganalisis keunggulan 4. Analisis Diamond Berdasarkan perhitungan index RCA
komparatif ubi jalar Porter menunjukkan Indonesia memiliki daya saing
Indonesia di pasar kuat. Ini berarti Indonesia memiliki keunggulan
internasional. komparatif untuk komoditas ubi jalar.
3. Menganalisis keunggulan Hasil dari analisis Diamond Porter
kompetitif ubi jalar menyatakan bahwa kondisi permintaan
Indonesia di pasar memberikan kontribusi yang positif dan besar
internasional. untuk ubi jalar Indonesia. Sedangkan faktor
lainnya masing-masing memberikan sisi negatif
dan positif.
15

No Peneliti/Judul Tujuan Metode Hasil


5 Dea Tri Jannatun Nisaa 1. Mengidentifikasi 1. Policy Analysis Matrix Penurunan harga output 6.15 persen atau
(2013) karakteristik peternak (PAM) kombinasi penurunan harga output 6.15 persen
Daya Saing Usaha Ikan Neon Tetra di 2. Analisis Sensitivitas dan penurunan harga input 18.75 persen akan
Budidaya Ikan Hias Kecamatan Bojongsari menurunkan keunggulan kompetitif dan
Neon Tetra di Kota Depok. komparatif usaha budidaya Ikan Neon Tetra
Kecamatan Bojongsari 2. Menganalisis keunggulan kecuali pada skala usaha besar di skenario 3
Kota Depok. komparatif dan akan meningkatkan keunggulan komparatif
kompetitif usaha usaha budidaya Ikan Neon Tetra, sedangkan
budidaya Ikan Neon penurunan harga input 18.75 persen atau
Tetra di Kecamatan kombinasi penurunan harga output 6.15 persen
Bojongsari Kota Depok dan penurunan harga input 35 persen akan
berdasarkan skala usaha meningkatkan keunggulan kompetitif usaha
3. Menganalisis pengaruh budidaya Ikan Neon Tetra.
perubahan harga output
dan input terhadap
keunggulan komparatif
dan kompetitif.
6 Suryantini et. al 1. Menganalisis keuntungan 1. Policy Analysis Matrix Usahatani kelapa di Kabupaten Kupang
(2014) (finansial dan ekonomi) (PAM) tidak memiliki keunggulan kompetitif dilihat
Analisis Daya Saing serta daya saing dari nilai PP yang negatif (-2.444.423) dan PCR
Komoditas Kelapa di (keunggulan kompetitif yang lebih besar dari satu (1,28), namun
Kabupaten Kupang dan komparatif) pada memiliki keunggulan komparatif dilihat dari
komoditas kelapa di nilai SP yang positif (4.616.000) dan DRCR
Kabupaten Kupang. yang lebih kecil dari satu (0,71).
Komoditas kelapa di Kabupaten Kupang
berdaya saing sedang dan masih dapat
dikembangkan, salah satunya dengan cara
meningkatkan nilai tambah dari pengolahan

15
kelapa.
16
No Peneliti/Judul Tujuan Metode Hasil
7 Agnes Aulia Dwi 1. Menganalisis kondisi 1. Analisis Diamond Hasil analisis Diamond Porter diperoleh
Puspita (2009) sistem agribisnis Porter bahwa keterkaitan antar komponen yang tidak
Analisis Daya Saing gandum lokal di 2. Analisis SWOT saling mendukung lebih dominan
dan Strategi Indonesia saat ini. dibandingkan keterkaitan antar komponen
Pengembangan 2. Menganalisis dayasaing yang saling mendukung. Hal ini menunjukkan
Agribisnis Gandum agribisnis gandum lokal bahwa dayasaing agribisnis gandum lokal di
Lokal di Indonesia di Indonesia saat ini Indonesia masih lemah.
sebagai komoditas yang Berdasarkan hasil analisis SWOT,
baru dikembangkan di rumusan strategi yang diperoleh yaitu
Indonesia. optimalisasi lahan gandum lokal, membangun
3. Merumuskan strategi industri berbasis gandum lokal di pedesaan,
pengembangan penguatan kelembagaan, melakukan
agribisnis gandum lokal bimbingan, pembinaan, dan pendampingan
di Indonesia dalam bagi petani, meningkatkan kualitas dan
upaya mewujudkan kuantitas produksi gandum lokal, pembatasan
diversifikasi pangan, volume impor, melakukan kerjasama dengan
desa industri berbasis industri makanan, membentuk kerjasama
gandum lokal, dan dengan lembaga permodalan serta
mensubtitusi sebagian memberdayakan kelompok tani untuk
permintaan gandum melayani kegiatan simpan pinjam, mengatur
domestik dengan ketersediaan benih, menciptakan varietas
gandum lokal. gandum baru untuk dataran rendah dan
medium, melakukan sosialisasi dan promosi
tentang agribisnis gandum kepada petani, dan
menciptakan produk olahan gandum
berkualitas untuk segmentasi pasar tertentu.
8 Situmorang et. al 1. Menganalisis keunggulan 1. Policy Analysis Matrix Usahatani manggis di Kabupaten
(2014) komparatif dan (PAM) Tanggamus memiliki daya saing (keunggulan)
17

No Peneliti/Judul Tujuan Metode Hasil


Keunggulan kompetitif usahatani 2. Analisis Sensitivitas kompetitif dan komparatif. Keunggulan
Komparatif dan manggis di Kabupaten kompetitif ditunjukkan oleh nilai PCR sebesar
Kompetitif Usahatani Tanggamus 0,349 dan keunggulan komparatif ditunjukkan
Manggis di dengan oleh nilai DRCR sebesar 0,506.
Kabupaten Tangamus Usahatani manggis di Kabupaten
Tanggamus peka (sensitif) terhadap (1)
penurunan produksi sebesar 20%, (2) penurunan
harga output sebesar 30%, (3) Gabungan dari
peningkatan biaya input sebesar 25%,
penurunan produksi manggis sebesar 20%
danpenurunan harga output sebesar 30%
(skenario gabungan), tetapi tidak peka (tidak
sensitif) terhadap peningkatan biaya input
sebesar 25%.
9 Baga LM dan 1. Menelaah sistem 1. Analisis Diamond Analisis dayasaing menggunakan Sistem
Nurunisa VF (2012) agribisnis teh di Porter Berlian Porter menunjukkan bahwa daya saing
Analisis Daya Saing Indonesia. 2. Analisis SWOT agribisnis teh Indonesia masih lemah.
dan Strategi 2. Menganalisis dayasaing Komponen utama dalam Sistem Berlian Porter
Pengembangan agribisnis teh Indonesia. teh Indonesia yang telah mendukung satu sama
3. Merumuskan strategi lain adalah faktor sumberdaya dengan
Agribisnis Teh pengembangan agribisnis komponen kondisi permintaan domestik dan
Indonesia teh Indonesia. juga faktor-faktor sumberdaya dengan
komponen industri terkait dan pendukung.
Sementara pada komponen penunjang,
komponen pemerintah hanya mendukung
komponen faktor sumberdaya, berbeda dengan
komponen kesempatan yang telah mendukung
semua komponen utama. Strategi

17
pengembangan agribisnis teh yang dihasilkan
18
No Peneliti/Judul Tujuan Metode Hasil
melalui Analisis SWOT dan Arsitektur Strategi
lebih diarahkan kepada peningkatan kinerja
petani kecil pada perkebunan rakyat dengan cara
memperkuat kelompok tani dan
mengoptimalkan peran asosiasi-asosiasi.
Sementara, bagi perkebunan negara dan swasta
lebih mengarah kepada peningkatan volume
produksi dan diversifikasi produk teh dengan
orientasi pasar ekspor. Hal lain yang penting
untuk diperhatikan adalah peningkatan aktivitas
promosi dan penyebaran informasi tentang teh
dan manfaatnya untuk meningkatkan konsumsi
teh domestik.
19

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1 Konsep Daya Saing


Konsep daya saing berawal dari pemikiran Adam Smith dengan teori
keunggulan absolut. Teori tersebut menyatakan jika sebuah negara lebih efisien
daripada (atau memiliki keunggulan absolut terhadap) negara lain dalam
memproduksi sebuah komoditi, namun kurang efisien dibanding (atau memiliki
kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi komoditi lainnya, maka
kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masing masing
melakukan spesialisasi dalam memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan
absolut, dan menukarnya dengan komoditi lain yang memiliki kerugian absolut.
Teori Adam Smith tersebut diperluas oleh David Ricardo yang dipopulerkan
melalui bukunya yang berjudul Principles of Political Economy and Taxation, yang
berisi penjelasan mengenai hukum keunggulan komparatif (Salvatore 1997).

3.1.2 Keunggulan Komparatif


Pada tahun 1817 David Ricardo dalam bukunya yang berjudul Principles of
Political Economi and Taxation, menjelaskan mengenai Hukum Keunggulan
Komparatif (The Law of Comparative Advantage). Hukum keunggulan komparatif
(model Ricardian) menyatakan bahwa sekalipun suatu negara mengalami
ketidakunggulan absolut dalam memproduksi suatu komoditi jika dibandingkan
dengan negara lain, namun perdagangan yang saling menguntungkan masih dapat
berlangsung. Negara yang kurang efisien akan berspesialisasi dalam produksi dan
mengekspor komoditi yang mempunyai kerugian absolut lebih kecil. Komoditi
yang diusahakan suatu negara akan memiliki keunggulan komparatif jika komoditi
tersebut memiliki ketidakunggulan absolut terkecil (Salvatore 1997).
Pada tahun 1977 Heckscher dan Ohlin kemudian menyempurnakan konsep
keunggulan komparatif yang dikenal dengan teorema Heckscher-Ohlin (H-O).
Teorema ini menganggap bahwa setiap negara akan mengekspor komoditi yang
menyerap faktor produksi yang melimpah dan relatif murah di negara tersebut.
Negara akan mengimpor komoditi yang proses produksinya menyerap sumber daya
20

yang langka dan relatif mahal di negara tersebut. Teorema H-O memberikan
penjelasan mengenai keunggulan komparatif pada suatu negara berdasarkan
kepemilikan faktor produksi yang tersedia di masing-masing negara (Salvatore
1997).
Haberler menjelaskan teori keunggulan komparatif pada teori biaya
oportunitas sehingga disebut juga sebagai hukum biaya komparatif. Menurut biaya
oportunitas, biaya suatu komoditas adalah sejumlah komoditas kedua yang harus
dikorbankan untuk memperoleh sumberdaya yang cukup untuk memproduksi satu
unit tambahan komoditas pertama. Negara yang memiliki oportunitas lebih rendah
dalam memproduksi sebuah komoditas yang akan memiliki keunggulan komparatif
dalam komoditas tersebut (dan memiliki kerugian komparatif dalam komoditas
kedua). Biaya oportunitas yang konstan timbul ketika (1) sumberdaya atau faktor
produksi bersifat substitusi sempurna atau digunakan dalam proporsi yang sama
dalam memproduksi kedua komoditas, (2) semua unit dari faktor produksi yang
sama bersifat homogen atau memiliki kualitas yang tepat sama (Salvatore 1997).

3.1.3 Keunggulan Kompetitif


Keunggulan kompetitif (competitive advantage) merupakan alat untuk
mengukur dayasaing suatu aktivitas berdasarkan pada kondisi perekonomian aktual
atau harga pasar, dimana harga yang terjadi telah dipengaruhi oleh kebijakan
pemerintah. Keunggulan kompetitif adalah keunggulan yang ditujukan oleh suatu
negara atau daerah dalam daya saing produk yang dihasilkan dibandingkan dengan
atau negara lain. Misalnya, suatu daerah mempunyai kelebihan dalam komoditas
tertentu (mempunyai keunggulan komparatif) namun tidak terlihat dalam prestasi
ekspornya maka dapat dikatakan komoditas tersebut tidak mampu bersaing di pasar
dunia (tidak memiliki keunggulan kompetitif) (Puspitasari 2011).
Keunggulan kompetitif merupakan perluasan dari keunggulan komparatif
yang diajukan oleh Michael Porter sebagai kesuksesan suatu perusahaan dalam
beroperasi pasar. Keunggulan kompetitif merupakan alat untuk mengukur daya
saing komoditas suatu wilayah dengan wilayah lain. Keunggulan ini dapat dihitung
berdasarkan harga pasar dan nilai uang yang berlaku atau berdasarkan analisis
finansial, sehingga konsep keunggulan kompetitif bukan merupakan suatu konsep
yang sifatnya menggantikan atau mensubstitusi terhadap konsep keunggulan
21

komparatif, akan tetapi merupakan konsep yang sifatnya saling melengkapi


(Puspitasari 2011).
Michael E Porter dalam buku nya yang terkenal The Competitive Advantage
of Nation 1990, mengemukakan tentang tidak ada nya korelasi langsung antara dua
faktor froduksi (sumberdaya alam yang melimpah dan sumberdaya manusia yang
murah) yang dimiliki suatu negara, yang dimanfaatkan menjadi keunggulan daya
saing dalam perdagangan internasional. Banyak negara di dunia yang jumlah tenaga
kerjanya sangat besar yang proposional dengan luas negerinya, tetapi terbelakang
dalam daya saing perdagangan internasional. Begitu juga dengan tingkat upah yang
relatif murah daripada negara lain justru berkorelasi erat dengan rendahnya
motivasi bekerja keras dan prestasi. Hasil akhir Porter menyebutkan bahwa peran
pemerintah sangat mendukung dalam peningkatan daya saing selain factor produksi
yang tersedia (Halwani 2005).

3.1.4 Kebijakan Pemerintah


Monke dan Pearson (1989) menjelaskan tentang kebijakan harga (price
policies) dibagi menjadi tiga tipe kriteria, yaitu tipe instrumen (subsidi atau
kebijakan perdagangan), penerimaan atau keuntungan yang akan diperoleh
(produsen atau konsumen), dan tipe komoditi (impor atau ekspor). Hal tersebut bisa
digambarkan pada Tabel 7.
Tabel 7 Klasifikasi kebijakan pemerintah terhadap harga komoditi
Instrumen Dampak pada Produsen Dampak pada Konsumen
Kebijakan subsidi : Subsidi pada produsen : Subsidi pada konsumen :
a. Tidak mengubah harga
a. Pada barang-barang a. Pada barang-barang
pasar dalam negeri. substitusi impor (S+PI; substitusi impor (S+CI;
b. Mengubah harga pasar
S-PI) S-CI)
dalam negeri. b. Pada barang-barang b. Pada barang-barang
orientasi ekspor (S+PE; orientasi ekspor (S+CE;
S-PE) S-CE)
Kebijakan perdagangan Hambatan pada barang- Hambatan pada barang-
(mengubah harga pasar barang impor (TPI) barang ekspor (TCE)
dalam negeri)
Sumber : Monke dan Pearson (1989)
22

Keterangan :
S + : Subsidi
S- : Pajak
PE : Produsen barang orientasi ekspor
PI : Produsen barang substitusi impor
CE : Konsumen barang orientasi ekspor
CI : Konsumen barang substitusi impor
TCE : Hambatan barang ekspor
TPI : Hambatan barang impor

1) Tipe Instrumen
Di dalam kriteria ini terdapat perbedaan antara kebijakan subsidi dan
kebijakan perdagangan. Menurut Salvatore (1997) subsidi adalah pembayaran dari
atau untuk pemerintah. Kebijakan subsidi terdiri dari dua kebijakan, yaitu kebijakan
subsidi positif dan subsidi negatif. Kebijakan subsidi positif adalah subsidi yang
dibayarkan oleh pemerintah, sedangkan kebijakan subsidi negatif adalah
pembayaran kepada pemerintah. Tujuan dari kebijakan subsidi adalah untuk
melindungi konsumen dan produsen dengan menciptakan harga domestik agar
berbeda dengan harga luar negeri.
Menurut Monke dan Pearson (1989) kebijakan perdagangan adalah
pembatasan yang diterapkan pada impor atau ekspor komoditi. Kebijakan ini bisa
berbentuk pajak (tariff) atau pembatasan jumlah komoditi yang diperdagangkan
kuota). Tujuan diterapkan kebijakan ini adalah untuk mengurangi jumlah komoditi
impor yang diperdagangkan dan menciptakan perbedaan harga di dalam dan luar
negeri sehingga dapat mempertahankan daya saing komoditi di dalam negeri.
Kebijakan ini umumnya berfungsi untuk melindungi produsen domestik.
Monke dan Pearson (1989) menjelaskan perbedaan antara kebijakan
perdagangan dengan kebijakan subsidi yang dibagi ke dalam beberapa aspek, yaitu:
a) Implikasi terhadap anggaran pemerintah
Kebijakan perdagangan tidak mempengaruhi anggaran pemerintah,
sedangkan kebijakan subsidi akan berpengaruh pada anggaran pemerintah. Subsidi
negatif akan menambah anggaran pemerintah berupa pajak, sedangkan subsidi
positif akan mengurangi anggaran.
b) Tipe alternatif kebijakan
Terdapat delapan tipe subsidi bagi produsen dan konsumen pada barang
orientasi ekspor dan barang substitusi impor, yaitu:
23

1. Subsidi positif kepada produsen barang substitusi impor (S+PI)


2. Subsidi positif kepada produsen barang orientasi ekspor (S+PE)
3. Subsidi negatif kepada produsen barang substitusi impor (S-PI)
4. Subsidi negatif kepada produsen barang orientasi ekspor (S-PE)
5. Subsidi positif kepada konsumen barang substitusi impor (S+CI)
6. Subsidi positif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S+CE)
7. Subsidi negatif kepada konsumen barang substitusi impor (S-CI)
8. Subsidi negatif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S-CE)
Berbeda dengan kebijakan subsidi, pada kebijakan perdagangan hanya
terdapat dua tipe, yaitu hambatan perdagangan pada barang impor (TPI) dan
hambatan perdagangan pada barang ekspor (TPE). Menurut Monke dan Pearson
(1989) aliran impor atau ekspor dapat dibatasi oleh pajak perdagangan atau
kebijakan kuota sepanjang pemerintah dapat memiliki mekanisme yang efektif
untuk mengontrol penyelundupan.
c) Tingkat kemampuan penerapan
Kebijakan subsidi bisa diterapkan pada komoditi asing (tradable) dan
komoditi domestik (non tradable), sedangkan kebijakan perdagangan hanya bisa
diberlakukan pada komoditi tradable.
2) Kelompok Penerimaan
Klasifikasi kelompok penerimaan adalah kebijakan yang dikenakan pada
produsen dan konsumen. Suatu kebijakan subsidi dan perdagangan menyebabkan
terjadinya transfer antara produsen, konsumen, dan anggaran pemerintah. Jika tidak
ada kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan, pemerintah melalui anggarannya
harus membayar keseluruhan transfer ketika produsen mendapatkan keuntungan
dan konsumen mengalami kerugiam, atau konsumen mengalami keuntungan dan
produsen mengalami kerugian.
3) Tipe Komoditi
Pada kebijakan perdagangan terdapat komoditi yang akan diekspor dan
komoditi yang diimpor. Apabila pemerintah tidak memberlakukan kebijakan
kebijakan dalam komoditi ekspor-impor, maka harga domestik akan sama dengan
harga internasional. Harga FOB (harga di pelabuhan) digunakan untuk barang yang
akan diekspor, sedangkan harga CIF (harga di pelabuhan ekspor) berlaku untuk
24

barang impor. Kebijakan pemerintah dapat dikenakan pada komoditi pertanian baik
input ataupun output yang tentu saja dapat mempengaruhi kesejahteraan produsen
(petani) maupun konsumen. Umumnya kebijakan ini diberlakukan pada harga input
dan harga output.
3.1.4.1 Kebijakan Pemerintah terhadap Harga Output
Kebijakan terhadap output dapat berupa subsidi maupun pajak (subsidi
negatif). Kebijakan ini dapat diterapkan pada produsen maupun konsumen barang
impor dan ekspor. Adapun dampak kebijakan subsidi terhadap barang impor dan
ekspor yang diterima oleh produsen dan konsumen dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1a adalah gambar dampak subsidi untuk produsen barang impor
dimana harga yang diterima produsen lebih tinggi dari harga di pasaran dunia (Pw
ke Pd). Perubahan harga tersebut menyebabkan output produksi dalam negeri
meningkat dari Q1 ke Q2, sementara konsumsi tetap di Q3. Harga yang diterima
konsumen tetap sama dengan harga di pasar dunia. Subsidi dapat dilakukan jika
produsen dan konsumen dapat dipisahkan berdasarkan wilayah ekonomi yang jauh
dari kontrol administrasi yang ketat sehingga perbedaan harga antara produsen
(karena diberi subsidi) dan konsumen (tanpa subsidi) dapat terjadi. Subsidi ini
menyebabkan jumlah impor turun dari Q3-Q1 menjadi Q3-Q2. Tingkat subsidi per
output sebesar Pd - Pw pada output Q2, maka transfer total dari pemerintah ke
produsen sebesar PdABPw. Subsidi yang menyebabkan barang yang tadinya
diimpor diproduksi sendiri dengan biaya yang dikorbankan sebesar Q1CBQ2,
sehingga efisien yang hilang sebesar CAB.
Gambar 1b menunjukkan subsidi pada konsumen untuk output yang diimpor.
Kebijakan subsidi sebesar Pd - Pw yang menyebabkan produksi turun dari Q1 ke Q2
dan konsumsi naik dari Q3 ke Q4. Impor meningkat dari Q3 – Q1 menjadi Q4 - Q2.
Transfer yang terjadi terdiri dari dua yaitu transfer dari pemerintah ke konsumen
sebesar ABGH dan transfer dari produsen ke konsumen sebesar PwABPd. Di sisi
produksi terjadi penurunan output dari Q2 ke Q1 dan terjadi kehilangan pendapatan
sebesar Q2AFQ1, sehingga efisiensi ekonomi yang hilang sebesar AFB. Dari sisi
konsumsi, opportunity cost dari peningkatan konsumsi adalah sebesar Q3EGQ4,
sedangkan kemampuan membayar konsumen sebesar Q3EHQ4 sehingga efisiensi
yang hilang sebesar EGH.
25

a. Subsidi untuk Produsen Barang Impor b. Subsidi untuk Konsumen Barang Impor

c. Subsidi untuk Produsen Barang Ekspor d. Subsidi untuk Konsumen Barang Ekspor
Keterangan:
S : Supply
D : Demand
Q : Kuantitas
Pw : Harga Dunia
Pd : Harga Domestik
Sumber: Monke dan Pearson (1989)
Gambar 1 Dampak subsidi pada produsen dan konsumen barang impor

Gambar 1c menunjukan subsidi untuk produsen barang ekspor. Adanya


subsidi dari pemerintah menyebabkan harga yang diterima produsen lebih tinggi
dari harga di pasar dunia. Harga yang tinggi berakibat pada peningkatan output
produksi dalam negeri dari Q3 ke Q4, sedangkan konsumsi menurun dari Q1 ke Q2
sehingga jumlah ekspor meningkat dari Q3-Q1 menjadi Q4-Q2. Tingkat subsidi yang
diberikan pemerintah yaitu EBAD.
26

Gambar 1d menunjukkan subsidi pada barang ekspor menyebabkan harga


yang diterima produsen lebih rendah dari harga dunia. Hal tersebut terlihat dari
jumlah konsumsi barang ekspor yang meningkat dari Q1 ke Q2. Opportunity cost
dari peningkatan konsumsi adalah Q1BAQ2 sedangkan kemampuan membayar
konsumen sebesar Q1BCQ2 sehingga efisiensi ekonomi yang hilang sebesar ABC.
Selain kebijakan subsidi, kebijakan hambatan perdagangan juga dapat
diterapkan pada output barang impor. Pada Gambar 2 menunjukkan adanya
hambatan pada barang impor dimana terdapat tarif sebesar (Pd – Pw) sehingga
meningkatkan harga di dalam negeri baik untuk produsen maupun konsumen.
Output domestik meningkat dari Q1 ke Q2 dan konsumsi turun dari Q3 ke Q4,
sehingga impor turun dari Q3 – Q1 menjadi Q4 – Q2. Terjadi transfer pendapatan
dari konsumen kepada produsen sebesar PdEFPw dan terjadi transfer dari anggaran
pemerintah kepada produsen sebesar FEAB. Efisiensi ekonomi yang hilang dari sisi
konsumen adalah perbedaan antara opportunity cost dari perubahan konsumsi
Q4BCQ3 dengan willingness to pay Q4ACQ3, sehingga efisiensi yang hilang pada
konsumen adalah sebesar daerah ABC dan pada produsen sebesar EFG.

Keterangan:
S : Supply
D : Demand
Q : Kuantitas
Pw : Harga Dunia
Pd : Harga Domestik
Sumber: Monke dan Perason (1989)
Gambar 2 Hambatan perdagangan pada produsen barang impor
27

3.1.4.2 Kebijakan Pemerintah terhadap Harga Input


Kebijakan pemerintah juga dapat diterapkan pada input, baik input yang dapat
diperdagangkan (tradable) maupun input yang tidak dapat diperdagangkan (non
tradable). Intervensi pemerintah berupa hambatan perdagangan tidak akan tampak
pada input non-tradable, karena dalam input non tradable hanya diproduksi dan
dikonsumsi di dalam negeri saja. Kebijakan subsidi (positif atau negatif) dan
kebijakan hambatan perdagangan dapat diaplikasikan pada input tradable. Kedua
kebijakan ini dapat diterapkan karena input tradable yang diproduksi dan
dikonsumsi di dalam negeri maupun di luar negeri (Puspitasari 2011). Dampak
penerapan kebijakan pajak dan kebijakan subsidi dapat dilihat pada Gambar 3.

a. Pajak pada Input Tradable b. Subsidi pada Input Tradable

Keterangan:
S : Supply
D : Demand
Q : Kuantitas
Pw : Harga Dunia
Pd : Harga Domestik
Sumber: Monke dan Pearson (1989)
Gambar 3 Dampak pajak dan subsidi pada input tradable

Pada Gambar 3a menunjukkan dampak penerapan pajak terhadap input


tradable. Pajak menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga kurva supply
bergeser ke kiri atas. Pada tingkat harga output yang sama, output domestik turun
dari Q2 ke Q1. ABC adalah besarnya efisiensi ekonomi yang hilang, yang
28

merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang (Q1CAQ2) dengan biaya
produksi output (Q2BC Q1).
Dampak dari subsidi input tradable dapat dilihat pada Gambar 3b
menjelaskan kebijakan subsidi menyebabkan harga input menjadi murah yang
berdampak pada penurunan biaya produksi. Penurunan biaya produksi
menyebabkan kurva supply bergeser ke bawah, sehingga output yang dihasilkan
akan meningkat dari Q1 ke Q2. Besarnya efisiensi ekonomi yang hilang adalah ABC,
yang merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang (Q1ACQ2) dengan biaya
produksi output (Q1ABQ2).
Kebijakan pajak dan subsidi juga diterapkan pada input non tradable.
Dampak kebijakan pajak dan subsidi pada input non tradable dapat dilihat pada
Gambar 4.

a. Pajak pada Input Non-Tradable b. Subsidi pada Input Non-Tradable

Keterangan:
Pd : Harga domestik sebelum diberlakukan pajak dan subsidi
Pc : Harga di tingkat konsumen setelah diberlakukan pajak dan subsidi
Pp : Harga di tingkat produsen setelah diberlakukan pajak
Sumber: (Monke dan Perason 1989)
Gambar 4 Dampak pajak dan subsidi pada input non tradable

Pada Gambar 4a menjelaskan dampak kebijakan pajak terhadap input non-


tradable. Harga sebelum diberlakukannya pajak pada input non-tradable berada
pada Pd dengan tingkat output Q1. Adanya pajak sebesar PC-PP menyebabkan
produksi yang dihasilkan turun menjadi Q2. Harga ditingkat produsen turun menjadi
PP dan harga yang diterima konsumen naik menjadi PC. Besaran efisiensi ekonomi
29

yang hilang dari produsen sebesar BDA dan dari konsumen yang hilang sebesar
BCA.
Gambar 4b menjelaskan dampak subsidi terhadap input non tradable.
Sebelum diberlakukannya kebijakan subsidi, tingkat harga keseimbangan yang
terjadi adalah pada Pd dengan tingkat output keseimbangan Q1. Subsidi
menyebabkan terjadinya perubahan harga di tingkat produsen menjadi PP,
sedangkan harga yang dibayarkan konsumen menjadi lebih rendah yaitu PC.
Efisiensi yang hilang dari produsen sebesar ACB dan dari konsumen sebesar ABD.

3.1.5 Policy Analysis Matrix (PAM)


Policy Analysis Matrix merupakan suatu alat analisis yang digunakan untuk
menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem
komoditas. Empat aktivitas yang terdapat dalam sistem komoditi yang dapat
dipengaruhi terdiri dari tingkat usahatani, distribusi dari usahatani ke pengolah,
pengolahan, dan pemasaran secara keseluruhan dan sistematis. Isu-isu yang sering
dibahas dalam PAM adalah (1) apakah sistem usahatani memiliki daya saing pada
tingkat harga dan teknologi yang ada; (2) dampak investasi publik dalam bentuk
pembangunan infrastruktur baru, serta terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani;
(3) dampak investasi baru dalam bentuk riset atau teknologi pertanian (Pearson et.
al 2005).
Tiga tujuan utama dari metode PAM adalah (1) menghitung tingkat
keuntungan privat – sebuah ukuran daya saing usahatani pada tingkat harga pasar
atau harga aktual; (2) menghitung tingkat keuntungan sosial sebuah usahatani –
dihasilkan dengan menilai output dan biaya pada tingkat harga efisiensi (social
opportunity costs); (3) menghitung transfer effects, sebagai dampak dari sebuah
kebijakan yang dilakukan (Pearson et. al 2005).
Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan Policy Analysis
Matrix (PAM). PAM terdiri dari matriks yang disusun berdasarkan hasil analisis
finansial (privat) dan analisis ekonomi (sosial). Baris pertama mengestimasi
keuntungan privat, yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga yang
berlaku, yang mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi oleh kebijakan
pemerintah. Baris kedua mengestimasi keuntungan sosial, yaitu perhitungan
penerimaan dan biaya dengan harga sosial (harga yang akan menghasilkan alokasi
30

terbaik sumberdaya dan dengan sendirinya menghasilkan pendapatan tertinggi).


Pada baris ketiga menggambarkan divergensi yang merupakan selisih antara baris
pertama dengan baris kedua. Tabel PAM dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Policy Analysis Matrix (PAM)

Penerimaan Biaya Input


Uraian Keuntungan
Output Tradable Non Tradable
Harga Privat A B C D
Harga Sosial E F G H
Divergensi I J K L
Sumber : Monke dan Pearson 1989

Keterangan:
Keuntungan Privat : D = A - B - C Private Cost Ratio (PCR) = C / ( A-B )
Keuntungan Sosial : H = E - F - G Domestic Resource Cost (DRC) = G / ( E-F )
Transfer Output : I = A - E Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) = A / E
Transfer Input : J = B - F Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) = B / F
Transfer Faktor : K = C – G Koefisien Proteksi Efektif (EPC) = (A-B) / ( E-F )
Transfer Bersih : L = D - H Koefisien Keuntungan (PC) = D / H
Rasio Subsidi Produsen (SRP) = L / E

Berdasarkan Tabel 8 dapat dilakukan beberapa analisis. Analisis tersebut


meliputi analisis keuntungan, daya saing, dan dampak kebijakan pemerintah.
1. Analisis Keuntungan
a. Keuntungan Privat atau Private Profitability
Keuntungan privat (KP) merupakan indikator keunggulan kompetitif pada
kondisi terjadinya efek divergensi. Jika nilai KP lebih besar dari nol, berarti
usahatani memperoleh keuntungan. Sebaliknya jika nilai KP kurang dari nol, berarti
usahatani tidak mendapatkan keuntungan. Keuntungan privat didapat dengan
rumus berikut:
Keuntungan Privat (D) = A-B-C
Keterangan:
A = Penerimaan privat
B = Biaya input tradable privat
C = Biaya input non tradable privat
b. Keuntungan Sosial atau Social Profitability
Keuntungan sosial (KS) merupakan indikator keunggulan komparatif pada
kondisi tidak ada efek divergensi. Jika keuntungan sosial lebih besar dari nol, maka
usahatani tersebut efisien dan mempunyai keunggulan komparatif yang. Sebaliknya,
jika keuntungan sosial lebih kecil dari nol, maka sistem komoditi tidak mampu
31

berjalan dengan baik tanpa bantuan atau intervensi pemerintah. Keuntungan sosial
dirumukan sebagai berikut:
Keuntungan Sosial (H) = E-F-G
Keterangan:
E = Penerimaan sosial
F = Biaya input tradable sosial
G = Biaya input non tradable sosial
2. Analisis Daya Saing
a. Rasio Biaya Privat atau Private Cost Ratio (PCR)
PCR adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah dalam harga privat.
Nilai PCR mencerminkan kemampuan sistem komoditas membiayai faktor
domestik pada harga privat. Nilai ini juga digunakan sebagai ukuran efisien secara
finansial dan menjadi satu indikator keunggulan kompetitif. Nilai PCR diusahakan
kurang dari satu karena untuk meningkatkan nilai tambah sebesar satu satuan
diharapkan tambahan biaya faktor domestik kurang dari satu. Semakin kecil nilai
PCR maka semakin besar tingkat keunggulan kompetitif yang dimiliki. PCR dapat
diperoleh dari rumus :
Biaya Input Domestik Privat (C)
PCR =
Penerimaan Privat (A) - Biaya Input Tradable Privat (B)
b. Rasio Biaya Sumberdaya Domestik / Domestic Resource Cost (DRC)
DRC adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah dalam harga sosial
atau bayangan. Nilai ini digunakan sebagai ukuran efisiensi secara ekonomi dan
menjadi satu indikator keunggulan komparatif. Suatu kegiatan ekonomi juga
diharapkan memiliki nilai DRC yang kurang dari satu agar terjadi efisiensi secara
ekonomi (menunjukkan keunggulan komparatif). Apabila nilai DRC lebih dari satu,
menunjukkan semakin besar penggunaan sumberdaya atau terjadi pemborosan
sumberdaya domestik. DRC dapat diperoleh dari rumus:
Biaya Input Domestik Sosial (G)
DRC =
Penerimaan Sosial (E) - Biaya Input Tradable Sosial (F)
3. Dampak Kebijakan Pemerintah
Dampak kebijakan pemerintah terdiri dari kebijakan input, kebijakan output,
dan kebijakan input-output. Berikut penjelasan dampak kebijakan pemerintah,
yaitu:
32

a. Kebijakan Input
Kebijakan input adalah kemampuan pemerintah mempengaruhi input suatu
kegiatan produksi. Dampak kebijakan pemerintah terhadap input terdiri dari
transfer input, nominal protection coefficient in input, dan transfer faktor.
1. Transfer Input
Transfer input (TI) adalah selisih antara biaya input tradable pada harga
privat dengan biaya input tradable pada harga sosial. Nilai TI menunjukkan adanya
divergensi pada input tradable. Jika nilai TI positif atau lebih besar dari nol
menunjukkan harga sosial input asing lebih rendah. Akibatnya produsen harus
membayar input lebih mahal. Sebaliknya, jika TI bernilai negatif atau kurang dari
nol menunjukkan adanya subsidi pemerintah terhadap input asing, sehingga petani
tidak membayar penuh korbanan sosial (social opportunity) yang seharusnya
dibayarkan. Transfer input dirumuskan sebagai berikut:
TI = Biaya Input Tradable Privat (B)-Biaya Input Tradable Sosial (F)
2. Nominal Protection Coefficient in Input (NPCI)
NPCI merupakan rasio untuk mengukur besarnya transfer input tradable.
NPCI menunjukkan tingkat proteksi atau distorsi yang dibebankan pemerintah pada
input tradable bila dibandingkan tanpa adanya kebijakan. Nilai NPCI yang kurang
dari satu menunjukkan terdapat kebijakan yang dapat mengurangi biaya input
tradable sehingga biaya input domestik lebih rendah daripada biaya input pada
tingkat harga dunia. Sebaliknya untuk nilai NPCI lebih dari satu. NPCI dirumuskan
sebagai berikut:
Biaya Input Tradable Privat (B)
NPCI =
Biaya Input Tradable Sosial (F)
3. Transfer Faktor
Transfer faktor menunjukkan besarnya efek divergensi terhadap input non
tradable. Jika nilai transfer faktor positif atau lebih besar dari nol menunjukkan
bahwa terjadi kebijakan berupa subsidi negatif pada input non tradable. Jika nilai
transfer faktor negatif atau lebih kecil dari nol, berarti terdapat kebijakan berupa
subsidi positif pada input non tradable. Transfer faktor dirumuskan sebagai berikut:
TF = Biaya Input Non Tradable Privat (C) - Biaya Input Non Tradable Sosial (G)
33

b. Kebijakan Output
Kebijakan output adalah kemampuan pemerintah mempengaruhi output suatu
kegiatan produksi. Kebijakan output terdiri dari transfer output dan nominal
protection coefficient on output.
1. Transfer output (TO)
TO merupakan selisih antara penerimaan yang dihitung atas harga privat
dengan penerimaan yang dihitung atas harga sosial. Nilai TO menunjukkan efek
divergensi pada output sehingga ada perbedaan antara harga output privat dan sosial.
Nilai TO positif menunjukkan bahwa divergensi menyebabkan harga privat output
lebih besar dari harga sosialnya, yang menunjukkan besarnya intensif masyarakat
atau konsumen terhadap produsen, dimana konsumen membayar lebih tinggi dari
harga yang seharusnya dibayarkan. Jika nilai TO negatif menunjukkan bahwa
dengan adanya divergensi menyebabkan harga privat output menjadi lebih rendah
dibandingkan harga sosialnya. Rumus dari TO adalah sebagai berikut:
TO = Penerimaan Privat (A) - Penerimaan Sosial (E)
2. Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO)
NPCO adalah rasio penerimaan yang dihitung berdasarkan harga privat
dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial yang merupakan
indikator dari tingkat proteksi pemerintah terhadap output. Jika nilai NPCO lebih
dari satu (NPCO>1) berarti sistem usahatani yang sedang diteliti menerima proteksi,
begitu pula sebaliknya. NPCO dirumuskan sebagai berikut:
Penerimaan Privat (A)
NPCO =
Penerimaan Sosial (E)
c. Kebijakan Input-Output
Kebijakan input output adalah kemampuan pemerintah mempengaruhi input-
output suatu kegiatan produksi. Kebijakan input-output terdiri dari koefisien
proteksi efektif, transfer bersih, koefisien keuntungan nilai rasio subsidi bagi
produsen.
1. Koefisien Proteksi Efektif / Effective Protection Coefficient (EPC)
Koefisien proteksi efektif (EPC) merupakan indikator dampak keseluruhan
dari kebijakan input dan output terhadap sistem produksi komoditi dalam negeri.
Nilai EPC menggambarkan seberapa besar kebijakan pemerintah melindungi atau
menghambat produksi domestik secara efektif. Apabila nilai EPC lebih besar dari
34

satu berarti kebijakan pemerintah melindungi produsen secara efektif, begitu pun
sebaliknya. EPC dirumuskan sebagai berikut:
Penerimaan Privat (A) - Biaya Input Tradable Privat (B)
EPC =
Penerimaan Sosial (E) - Biaya Input Tradable Sosial (F)
2. Transfer Bersih atau (TB)
Transfer bersih (TB) merupakan selisih antara keuntungan privat dengan
keuntungan sosialnya. TB menggambarkan dampak kebijakan pemerintah secara
keseluruhan terhadap penerimaan petani. Nilai TB yang positif menunjukkan
kebijakan insentif membuat surplus produsen bertambah, sedangkan nilai TB yang
negatif mengakibatkan surplus produsen berkurang. Rumus TB:
TB = Keuntungan Privat (D) - Keuntungan Sosial (H)
3. Koefisien Keuntungan (KK)
Koefisien keuntungan (KK) adalah perbandingan antara keuntungan privat
dengan keuntungan sosialnya. Nilai KK menunjukkan pengaruh keseluruhan dari
kebijakan yang menyebabkan perbedaan antara keuntungan privat dan sosial. Jika
nilai KK lebih besar dari nol, maka kebijakan pemerintah membuat keuntungan
yang diterima oleh produsen lebih kecil bila dibandingkan tidak ada kebijakan,
sedangkan jika nilai KK lebih kecil dari nol, maka kebijakan pemerintah membuat
keuntungan yang diterima oleh produsen lebih besar bila dibandingkan tidak ada
kebijakan. Koefisien keuntungan dirumuskan:
Keuntungan Privat (D)
KK =
Keuntungan Sosial (H)
4. Nilai Rasio Subsidi bagi Produsen / Subsidi Ratio to Producer (SRP)
RSP adalah rasio yang digunakan untuk mengukur seluruh dampak transfer.
RSP merupakan ukuran proteksi yang disetarakan dengan tarif atas output. RSP
yang bernilai negatif (RSP<0) artinya kebijakan pemerintah menyebabkan
produsen mengeluarkan biaya produksi lebih besar dari biaya sosial (opportunity
cost) untuk berproduksi, sedangkan jika RSP yang bernilai positif (RSP>0) artinya
kebijakan pemerintah menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi lebih
rendah dari biaya sosial (opportunity cost) untuk berproduksi. RSP dapat diperoleh
dengan rumus :
Transfer Bersih (L)
SRP=
Penerimaan Sosial (E)
35

3.1.6 Analisis Sensitivitas


Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat apa yang terjadi terhadap hasil
analisis proyek jika ada sesuatu kesalahan atau perubahan dalam dasar-dasar
perhitungan biaya atau manfaat (Kadariah et al 1978 dalam Mastuti 2011). Analisis
sensitivitas merupakan suatu teknik analisis untuk menguji perubahan kelayakan
suatu kegiatan ekonomi (proyek) secara sistematis jika terjadi kejadian-kejadian
yang berbeda dengan perkiraan yang telah dibuat dalam perencanaan.
Analisis sensitivitas dilakukan dengan beberapa cara yaitu:
1. Mengubah besarnya variabel-variabel yang penting, masing-masing terpisah
atau beberapa dalam kombinasi dengan suatu persentase dan menentukan
seberapa besar kepekaan hasil perhitungan terhadap perubahan-perubahan
tersebut.
2. Menentukan seberapa besar faktor yang berubah sehingga hasil perhitungan
membuat proyek tidak dapat diterima (Puspitasari 2011).

3.1.7 Analisis Diamond Porter


Analisis Diamond Porter digunakan untuk mengetahui tingkat daya saing
atau keunggulan kompetitif suatu industri. Analisis dilakukan pada tiap komponen
yang terdapat pada teori Diamond Porter. Komponen tersebut meliputi :
1) Faktor Condition (FC), yaitu keadaan faktor–faktor produksi dalam suatu
industri seperti tenaga kerja dan infrastuktur.
2) Demand Condition (DC), yaitu keadaan permintaan atas barang dan jasa dalam
negara.
3) Related and Supporting Industries (RSI), yaitu keadaan para penyalur dan
industri lainnya yang saling mendukung dan berhubungan.
4) Firm, Strategy, Structur, and Rivalry (FSSR), yaitu strategi yang dianut
perusahaan pada umumnya, stuktur industri dan keadaan kompetisi dalam suatu
industri domestik.
Keempat komponen tersebut didukung oleh peranan pemerintah dan peranan
kesempatan dalam meningkatkan keunggulan dayasaing industri nasional, dan
secara bersama-sama membentuk suatu sistem yang dikenal dengan The National
Diamond. Setiap komponen yang terdapat dalam Teori Diamond Porter memiliki
poin-poin penting yang menjelaskan secara detail komponen yang ada (Porter 1990
36

dalam Puspita 2009). Komponen–komponen tersebut dapat dilihat pada Gambar 5


dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Kondisi Faktor Sumberdaya
Posisi suatu bangsa berdasarkan sumberdaya yang dimiliki merupakan faktor
produksi yang diperlukan untuk bersaing dalam industri tertentu. Faktor produksi
digolongkan kedalam lima kelompok:
a. Sumberdaya Fisik
Sumberdaya Fisik atau sumberdaya alam yang mempengaruhi dayasaing
nasional mencakup biaya, aksesibilitas, mutu dan ukuran lahan (lokasi),
ketersediaan air, mineral, dan energi sumberdaya pertanian, perkebunan, kehutanan,
perikanan (termasuk perairan laut lainnya), peternakan, serta sumberdaya alam
lainnya, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak. Begitu juga kondisi
cuaca dan iklim, luas wilayah geografis, kondisi topografis, dan lain-lain.
b. Sumberdaya Manusia
Sumberdaya Manusia yang mempengaruhi dayasaing industri nasional terdiri
dari jumlah tenaga kerja yang tersedia, kemampuan manajerial dan keterampilan
yang dimiliki, biaya tenaga kerja yang berlaku (tingkat upah), dan etika kerja
(termasuk moral).
c. Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Sumberdaya IPTEK mencakup ketersediaan pengetahuan pasar, pengetahuan
teknis, dan pengetahuan ilmiah yang menunjang dan diperlukan dalam
memproduksi barang dan jasa. Begitu juga ketersediaan sumber-sumber
pengetahuan dan teknologi, seperti perguruan tinggi, lembaga penelitian dan
pengembangan, asosiasi pengusaha, asosiasi perdagangan, dan sumber
pengetahuan dan teknologi lainnya.
d. Sumber Modal
Sumberdaya modal yang mempengaruhi dayasaing nasional terdiri dari
jumlah dan biaya (suku bunga) yang tersedia, jenis pembiayaan (sumber modal),
aksesibilitas terhadap pembiayaan, kondisi lembaga pembiayaan dan perbankan,
tingkat tabungan masyarakat, peraturan keuangan, kondisi moneter, fiskal, serta
peraturan moneter dan fiskal.
37

e. Sumberdaya Infrastuktur
Sumberdaya infrastuktur yang mempengaruhi dayasaing nasional terdiri dari
ketersediaan, jenis, mutu dan biaya penggunaan infrastuktur yang mempengaruhi
persaingan. Termasuk sistem transportasi, komunikasi, pos, giro, pembayaran
transfer dana, air bersih, energi listrik dan lain-lain.
2. Kondisi Permintaan
Kondisi permintaan dalam negeri merupakan faktor penentu dayasaing
industri, terutama mutu permintaan domestik. Mutu permintaan domestik
merupakan sasaran pembelajaran perusahaan-perusahaan domestik untuk bersaing
di pasar global. Mutu permintaan (persaingan yang ketat) di dalam negeri
memberikan tantangan bagi setiap perusahaan untuk meningkatkan dayasaingnya
sebagai tanggapan terhadap mutu persaingan di pasar domestik. Ada tiga faktor
kondisi permintaan yang mempengaruhi dayasaing industri nasional yaitu:
a. Komposisi Permintaan Domestik
Karakteristik permintaan domestik sangat mempengaruhi dayasaing industri
nasional. Karakteristik tersebut meliputi:
Stuktur segmen permintaan domestik sangat mempengaruhi dayasaing
nasional. Pada umumnya perusahaan-perusahaan lebih mudah memperoleh
dayasaing pada stuktur segmen permintaan yang lebih luas dibandingkan dengan
stuktur segmen yang sempit.
Pengalaman dan selera pembeli yang tinggi akan meningkatkan tekanan
kepada produsen untuk menghasilkan produk yang bermutu dan memenuhi standar
yang tinggi yang mencakup standar mutu produk, product features, dan pelayanan.
Antisipasi kebutuhan pembeli yang baik dari perusahaan dalam negeri
merupakan suatu poin dalam memperoleh keunggulan bersaing.
b. Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan
Jumlah atau besarnya permintaan domestik mempengaruhi tingkat persaingan
dalam negeri, terutama disebabkan oleh jumlah pembeli bebas, tingkat
pertumbuhan permintaan domestik, timbulnya permintaan baru dan kejenuhan
permintaan lebih awal sebagai akibat perusahaan melakukan penetrasi lebih awal.
Pasar domestik yang luas dapat diarahkan untuk mendapatkan keunggulan
kompetitif dalam suatu industri. Hal ini dapat dilakukan jika industri dilakukan
38

dalam skala ekonomis melalui adanya penanaman modal dengan membangun


fasilitas skala besar, pengembangan teknologi dan peningkatan produktivitas
c. Internasionalisasi Permintaan Domestik
Pembeli lokal yang merupakan pembeli dari luar negeri akan mendorong daya
saing industri nasional, karena dapat membawa produk tersebut ke luar negeri.
Konsumen yang memiliki mobilitas internasional tinggi dan sering mengunjungi
suatu negara juga dapat mendorong meningkatnya daya saing produk negeri yang
dikunjungi tersebut.
3. Industri Terkait dan Industri Pendukung
Keberadaan industri terkait dan industri pendukung yang telah memiliki daya
saing global juga akan mempengaruhi daya saing industri utamanya. Industri hulu
yang memiliki daya saing global akan memasok input bagi industri utama dengan
harga yang lebih murah, mutu yang lebih baik, pelayanan yang cepat, pengiriman
tepat waktu dan jumlah sesuai dengan kebutuhan industri utama, sehingga industri
tersebut juga akan memiliki daya saing global yang tinggi. Begitu juga industri
hilir yang menggunakan produk industri utama sebagai bahan bakunya. Apabila
industri hilir memiliki daya saing global maka industri hilir tersebut dapat menarik
industri hulunya untuk memperoleh daya saing global.
4. Stuktur, Persaingan, dan Strategi Perusahaan
Stuktur industri dan perusahaan juga menentukan daya saing yang dimiliki
oleh perusahaan-perusahaan yang tercakup dalam industri tersebut. Stuktur
industri yang monopolistik kurang memiliki daya dorong untuk melakukan
perbaikan-perbaikan serta inovasi-inovasi baru dibandingkan dengan stuktur
industri yang bersaing. Stuktur perusahaan yang berada dalam industri sangat
berpengaruh terhadap bagaimana perusahaan yang bersangkutan dikelola dan
dikembangkan dalam suasana tekanan persaingan, baik domestik maupun
internasional. Dengan demikian secara tidak langsung akan meningkatkan daya
saing global industri yang bersangkutan.
a. Stuktur Pasar
Istilah stuktur pasar digunakan untuk nenunjukan tipe pasar. Derajat
persaingan stuktur pasar (degree of competition of market share) dipakai untuk
menunjukan sejauh mana perusahaan-perusahaan individual mempunyai kekuatan
39

untuk mempengaruhi harga atau ketentuan-ketentuan lain dari produk yang dijual
di pasar. Stuktur pasar didefinisikan sebagai sifat–sifat organisasi pasar yang
mempengaruhi perilaku dan keragaan perusahaan. Jumlah penjual dan keadaan
produk (nature of the product) adalah dimensi–dimensi yang penting dari stuktur
pasar. Adapula dimensi lainnya adalah mudah atau sulitnya memasuki industri
(hambatan masuk pasar), kemampuan perusahaan mempengaruhi permintaan
melalui iklan, dan lain–lain. Beberapa stuktur pasar yang ada antara lain pasar
persaingan sempurna, pasar monopoli, pasar oligopoli, pasar monopsoni, dan pasar
oligopsoni. Biasanya stuktur pasar yang dihadapi suatu industri seperti monopoli
dan oligopoli lebih ditentukan oleh kekuatan perusahaan dalam menguasai pangsa
pasar yang ada, dibandingkan jumlah perusahaan yang bergerak dalam suatu
industri.
b. Persaingan
Tingkat persaingan dalam industri merupakan salah satu faktor pendorong
bagi perusahaan–perusahaan yang berkompetisi untuk terus melakukan inovasi.
Keberadaan pesaing lokal yang handal dan kuat merupakan faktor penentu dan
sebagai motor penggerak untuk memberikan tekanan pada perusahaan lain dalam
meningkatkan daya saingnya. Perusahaan–perusahaan yang telah teruji pada
persaingan ketat dalam industri nasional akan lebih mudah memenangkan
persaingan internasional dibandingkan dengan perusahaan–perusahaan yang belum
memiliki daya saing yang tingkat persaingannya rendah.
c. Strategi Perusahaan
Dalam menjalankan suatu usaha, baik perusahaan yang berskala besar
maupun perusahaan berskala kecil, dengan berjalannya waku, pemilik atau manajer
dipastikan mempunyai keinginan untuk mengembangkan usahanya ke dalam
lingkup yang lebih besar. Untuk mengembangkan usaha, perlu strategi khusus yang
terangkum dalam suatu strategi pengembangan usaha. Penyusunan suatu strategi
diperlukan perencanaan yang matang dengan mempertimbangkan semua faktor
yang berpengaruh terhadap organisasi atau perusahaan tersebut.
5. Peran Pemerintah
Peran pemerintah sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap upaya
peningkatan dayasaing global, tetapi berpengaruh terhadap faktor–faktor penentu
40

dayasaing global. Perusahaan–perusahaan yang berada dalam industri yang mampu


menciptakan dayasaing global secara langsung. Peran pemerintah merupakan
fasilitator bagi upaya untuk mendorong perusahaan–perusahaan dalam industri agar
senantiasa melakukan perbaikan dan meningkatkan dayasaingnya. Pemerintah dapat
mempengaruhi aksesibilitas pelaku–pelaku industri terhadap berbagai sumberdaya
melalui kebijakan–kebijakannnya, seperti sumberdaya alam, tenaga kerja,
pembentukan modal, sumberdaya ilmu pengetahuan, dan teknologi serta informasi.
Pemerintah juga dapat mendorong peningkatan dayasaing melalui penetapan standar
produk nasional, standar upah tenaga kerja minimum, dan berbagai kebijakan terkait
lainnya. Pemerintah dapat mempengaruhi kondisi permintaan domestik, baik secara
langsung melalui kebijakan moneter dan fiskal yang dikeluarkannya maupun secara
langsung melalui perannya sebagai pembeli produk dan jasa. Kebijakan penerapan
bea keluar dan bea masuk, tarif pajak, dan lain–lainnya yang juga menunjukan
terdapat peran tidak langsung dari pemerintah dalam meningkatkan dayasaing
global. Pemerintah dapat mempengaruhi tingkat dayasaing melalui kebijakan yang
memperlemah faktor penentu dayasaing industri, tetapi pemerintah tidak dapat
secara langsung menciptakan dayasaing global adalah memfasilitasi lingkungan
industri yang mampu memperbaiki kondisi faktor penentu dayasaing, sehingga
perusahaan–perusahaan yang berada dalam industri mampu mendayagunakan
faktor–faktor penentu tersebut secara efektif dan efisien.
6. Peran Kesempatan
Peran kesempatan merupakan faktor yang berada diluar kendali perusahaan
atau pemerintah, tetapi dapat meningkatkan dayasaing global industri nasional.
Beberapa kesempatan yang dapat mempengaruhi naiknya dayasaing global industri
nasional adalah penemuan baru yang murni, biaya perusahaan yang tidak berlanjut
(misalnya terjadi perubahan harga minyak atau depresiasi mata uang),
meningkatkan permintaan produk industri yang bersangkutan lebih tinggi dari
peningkatan pasokan, politik yang diambil oleh negara lain serta berbagai faktor
kesempatan lainnya
41

Persaingan, Struktur dan


Strategi Perusahaan
1.Persaingan Domestik
Peran
2.Struktur dan Strategi
Kesempatan
Perusahaan

Kondisi Permintaan
Kondisi Faktor Domestik
Sumberdaya 1.Komposisi
1. Sumberdaya Alam Permintan Domestik
2. Sumberdaya Manusia 2.Jumlah Permintaan
3. Sumberdaya IPTEK dan Pola
4. Sumberdaya Modal Pertumbuhan
5. Sumberdaya 3.Internasionalisasi
Infrastruktur Permintaan
Domestik

Industri Terkait dan Peran


Pendukung Pemerintah
1. Industri Terkait
2. Industri Pendukung

Keterangan :
Garis ( ) menunjukan keterkaitan antara komponen utama yang saling mendukung
Garis ( ---- ) menunjukan keterkaitan antara komponen penunjang yang mendukung komponen
utama.
Sumber : Porter (1990) dalam Puspita (2009)
Gambar 5 The complete system of national advantage

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

Manggis merupakan primadona ekspor Indonesia ditunjukkan dengan jumlah


ekspor yang cenderung meningkat setiap tahunnya. Sentra produksi manggis
terbesar di Indonesia yaitu Provinsi Jawa Barat dengan Kabupaten Bogor sebagai
salah satu sentra produksinya. Manggis merupakan salah satu komoditas unggulan
Kabupaten Bogor. Kecamatan Leuwiliang khususnya Desa Karacak merupakan
salah satu sentra produksi dan pengembangan manggis yang ditetapkan berdasarkan
Surat Keputusan Bupati Kabupaten Bogor nomor 500/96/KPTS/HUK/2004
mengenai kawasan agropolitan dengan komoditas unggulan buah manggis.
42

Kendala yang dihadapi di lokasi penelitian, pertama yaitu produksi manggis


di Kecamatan Leuwiliang cenderung menurun dalam kurun waktu lima tahun
terakhir. Produksi pada tahun 2016 tergolong rendah, hal ini disebabkan oleh
kondisi cuaca yang terjadi yaitu hujan terus menerus hampir sepanjang tahun.
Kedua, kualitas manggis yang tidak dapat diprediksi menyebabkan petani tidak
dapat bergantung pada hasil panen manggis. Ketiga, harga menjadi sangat rendah
pada saat panen raya karena kelimpahan hasil panen. Harga ditentukan oleh
pengumpul, ketergantungan petani dengan pengumpul menyebabkan daya tawar
petani menjadi rendah. Hal ini dikarenakan petani tidak memiliki alternatif lain
selain menjual hasil panen nya kepada pengumpul. Sejumlah permasalahan yang
dihadapi oleh petani mempengaruhi tingkat daya saing pada daerah tersebut. Maka
dari itu diperlukan penelitian untuk mengetahui tingkat daya saing pengusahaan
manggis di daerah tersebut.
Alat analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah Policy Analysis
Matrix (PAM), yaitu matriks analisis kebijakan yang bertujuan untuk mengetahui
keuntungan ekonomi dan finansial dari suatu usahatani, mengukur tingkat daya
saing suatu komoditi serta menghitung dampak dari kebijakan pemerintah . Analisis
keunggulan komparatif dilihat dari nilai keuntungan sosial dan rasio biaya
sumberdaya domestik, sedangkan keunggulan kompetitif dilihat dari keuntungan
privat dan rasio biaya privat. Dampak kebijakan pemerintah dilihat dari kebijakan
terhadap input, output dan input-output secara keseluruhan. Analisis PAM hanya
mampu menganalisis pada kondisi saat itu, maka dari itu perlu dilakukan analisis
perubahan yaitu analisis sensitivitas untuk mengetahui pengaruh perubahan pada
output dan input terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif pengusahaan
manggis. Selain itu digunakan alat analisis Diamond Porter untuk melihat berbagai
sisi usahatani secara mendalam melalui enam komponen Porter. Hasil akhir
Diamond Porter menunjukan kondisi di lokasi penelitian mendukung atau tidak
dalam pengusahaan manggis. Hasil keseluruhan dari penelitian ini dapat menjadi
rekomendasi kebijakan bagi pemerintah terkait pengusahaan manggis. Alur
kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 5.
43

- Manggis Primadona Ekspor Indonesia


- Komoditas Unggulan Kabupaten Bogor
- Usahatani Manggis di Desa Karacak
Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor

- Produksi manggis di Desa Karacak yang menurun


- Kualitas manggis di Desa Karacak yang tidak menentu
- Rendahnya harga manggis di Desa Karacak saat panen raya

Keunggulan Komparatif Dampak Perubahan Daya Dukung Usahatani


dan Kompetitif pada Output dan Input

Policy Analysis Matrix Analisis Sensitivitas Analisis Diamond


(PAM) Porter

Rekomendasi Kebijakan oleh Pemerintah


Terkait Pengusahaan Manggis

Gambar 6 Kerangka pemikiran operasional


44
45

IV METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten


Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan dengan pertimbangan lokasi tersebut merupakan
salah satu sentra produksi manggis di Kabupaten Bogor. Pengambilan data primer
pada penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari - Maret 2017.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh dari pengamatan langsung di lokasi penelitian melalui
wawancara terhadap responden dan informan terkait menggunakan kuesioner yang
telah dipersiapkan sebelumnya. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik
(BPS), Kementrian Pertanian, dan UPT Pertanian dan Holtikultura Kecamatan
Leuwiliang. Selain itu, berbagai data penunjang serta literatur-literatur yang relevan
dan memuat berbagai konsep dan teori yang digunakan dalam penelitian ini
diperoleh dari berbagai sumber, seperti buku bacaan, jurnal ilmiah, skripsi, tesis
dan internet.

4.3 Metode Pengambilan Sampel

Pemilihan responden dilakukan secara sensus. Menurut Sinaga (2004), dalam


metode sensus, pengumpulan data dilakukan terhadap seluruh elemen populasi
(pencacahan lengkap) yang ciri nya hendak diketahui, sehingga data yang diperoleh
dapat menunjukkan ciri keseluruhan populasi yang sebenarnya. Jumlah responden
yang diambil pada penelitian ini sebanyak 41 orang petani. Penentuan responden
dalam penelitian ini berdasarkan kondisi di lapangan, yaitu terdapat dua kelompok
tani dengan masing masing anggota sebanyak 25 dan 16 orang.

4.4 Metode Analisis Data

Metode analisis data meliputi metode kualitatif dan kuantitatif. Metode


kuantitatif dilakukan dengan cara mengumpulkan dan mengolah data yang
46

diperoleh. Pengolahan data menggunakan software Microsoft Excel. Tabel Input-


Output juga digunakan untuk mengalokasikan biaya ke dalam komponen domestik
dan asing. Metode analisis data berupa analisis daya saing dan dampak kebijakan
pemerintah dengan menggunakan alat analisis Policy Analysis Matrix (PAM) yang
dikembangkan oleh Monke dan Pearson (1989). Metode kualitatif berupa penyajian
data dengan cara mengintepretasikan dan mendeskripsikan data kuantitatif, serta
pengamatan mendalam untuk memperkuat Analisis Diamond Porter.
Tabel 9 Matriks keterkaitan tujuan penelitian, jenis data, dan metode
No Tujuan Penelitian Jenis Data Metode
1 Menganalisis keunggulan Jenis : Data Primer Policy Matrix
komparatif dan kompetitif Sumber : Petani manggis, Analysis (PAM)
usahatani manggis di Desa Pengumpul Manggis Desa
Karacak Kecamatan Karacak dan Pengumpul
Leuwiliang Kabupaten Bogor Besar Gudang Cibatok.
2 Menganalisis daya dukung Jenis : Data Primer Analisis
usahatani manggis di Desa Sumber : Petani manggis Diamond
Karacak Kecamatan Desa Karacak, Pengumpul Porter
Leuwiliang Kabupaten Bogor Manggis, Pengumpul Besar
Gudang Cibatok dan Instansi
terkait seperti Desa Karacak,
Kecamatan Leuwiliang, UPT
Pertanian dan Hortikultura
Kecamatan Leuwiliang.
3 Menganalisis dampak Jenis : Data Primer Analisis
perubahan pada output dan Sumber : Petani manggis di Sensitivitas
input terhadap keunggulan Desa Karacak
komparatif dan kompetitif
usahatani manggis di Desa
Karacak Kecamatan
Leuwiliang Kabupaten Bogor

Terdapat empat tahapan yang dilakukan dalam penyusunan PAM


berdasarkan Monke dan Pearson (1989), yaitu :
1. Penentuan input output fisik secara lengkap dari aktivitas ekonomi yang
dianalisis.
2. Pemisahan seluruh biaya ke dalam komponen domestik dan asing yang
didasarkan atas Tabel Input-Output.
3. Penentuan harga privat dan penafsiran harga bayangan input-output.
4. Tabulasi dan analisis berbagai indikator yang dihasilkan tabel PAM.
47

4.4.1 Penentuan Input dan Output


Pada usahatani manggis, komponen input merupakan semua input yang
digunakan dalam proses produksi sampai menghasilkan output yang siap dijual.
Input-input tersebut antara lain: bibit, pupuk, obat obatan, lahan, tenaga kerja,
Bahan Bakar Minyak (BBM), dan peralatan pertanian (cangkul, parang, golok,
garpu, keranjang plastik, galah dan mesin pembabat). Output yang dihasilkan yaitu
buah manggis segar.
4.4.2 Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing
Terdapat dua metode pendekatan dalam pengalokasian biaya ke dalam
komponen domestik dan asing. Dua metode tersebut adalah metode pendekatan
total (Total Approach) dan metode pendekatan langsung (Direct Approach). Pada
metode pendekatan total mengasumsikan semua biaya input tradable dibagi ke
dalam komponen biaya domestik dan asing, dan penambahan input tradable dapat
dipenuhi dari produksi domestik jika input tersebut memiliki kemungkinan untuk
diproduksi di dalam negeri. Pendekatan ini lebih tepat digunakan apabila produsen
lokal dilindungi sehingga tambahan input didatangkan dari produsen lokal atau
domestik (Monke dan Pearson 1989).
Pada metode pendekatan langsung mengasumsikan bahwa seluruh biaya
input yang dapat diperdagangkan baik impor maupun produksi dalam negeri dinilai
sebagai komponen biaya asing dan dapat diperdagangkan apabila tambahan
permintaan input tradable tersebut dapat dipenuhi dari perdagangan internasional.
Input non tradable yang berasal dari pasar domestik ditetapkan sebagai komponen
biaya domestik dan input asing yang dipergunakan dalam proses produksi dihitung
sebagai komponen biaya asing (Monke dan Pearson 1989). Pada penelitian ini
digunakan pendekatan total untuk mengalokasikan biaya komponen domestik (non
tradable) dan asing (tradable).
1. Alokasi Biaya Produksi
Biaya produksi merupakan biaya yang digunakan untuk membeli sejumlah
input. Penentuan alokasi biaya produksi ke dalam komponen asing (tradable) dan
domestik (non tradable) didasarkan atas jenis input dan penilaian biaya input
tradable dan non tradable dalam total biaya input (Pearson et. al 2005).
48

Pada usahatani manggis dalam penelitian ini, input tradable yang dimiliki
yaitu obat-obatan (furadan), bahan bakar minyak (BBM), dan peralatan pertanian
kecuali galah. Input non tradable yaitu bibit, pupuk kandang, galah, lahan, dan
tenaga kerja baik tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) maupun tenaga kerja luar
keluarga (TKLK). Alokasi biaya produksi dalam komponen domestik dan asing
disajikan dalam Tabel 10.
Tabel 10 Alokasi biaya produksi dalam komponen domestik dan asing
No Uraian Domestik (%) Asing (%) Pajak (%)
1 Bibit 100 0 0
2 Pupuk 100 0 0
3 Obat-obatan 43,9 55,8 0,3
4 Tenaga Kerja 100 0 0
5 Penyusutan Peralatan
Parang 35,4 64,4 0,3
Cangkul 35,4 64,4 0,3
Golok 35,4 64,4 0,3
Garpu 35,4 64,4 0,3
Keranjang Plastik 87,6 12,2 0,2
Galah 100 0 0
Mesin Pembabat 39,7 60,2 0,2
6 BBM 72,7 27,0 0,4
7 Sewa Lahan 100 0 0
8 PBB 100 0 0
Sumber : Tabel Input Output 2010 diolah

2. Alokasi Biaya Tata Niaga


Menurut Astriana (2011) biaya tataniaga merupakan biaya yang dikeluarkan
untuk menambah nilai atas kegunaan suatu barang, yakni kegunaan tempat, bentuk,
dan waktu termasuk di dalamnya penanganan dan pengangkutan. Biaya tataniaga
dihitung dari seluruh biaya pengangkutan dan penanganan mulai dari produsen
hingga ke konsumen dalam hal ini yaitu PT. Elok Manggis. Alokasi biaya tataniaga
disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Alokasi biaya tataniaga dalam komponen domestik dan asing
No Uraian Domestik (%) Asing (%) Pajak (%)
1 Pengangkutan 85 10 5
2 Penanganan 100 0 0
Sumber : Yusran (2006)

4.4.3 Penentuan Harga Bayangan Output dan Input


Penggunaan harga pasar dalam analisis ekonomi seringkali tidak
menggambarkan opportunity costnya. Oleh karena itu, ketika melakukan penelitian
49

analisis ekonomi setiap input dan output harus disesuaikan terlebih dahulu dengan
tingkat harga sosial. Harga sosial atau sering disebut dengan harga bayangan adalah
harga yang terjadi dalam suatu perekonomian apabila pasar berada dalam kondisi
persaingan sempurna dan dalam kondisi keseimbangan, namun dalam kenyataanya
sulit untuk menemukan kondisi pasar dalam kondisi pasar persaingan sempurna
(Gittinger 1986).
Menurut Monke dan Pearson (1989), cara untuk menentukan harga
internasional dari suatu barang yang tradable yaitu dengan menggunakan harga
paritas ekspor (FOB) untuk barang yang exportable dan harga paritas impor (CIF)
untuk barang yang importable. FOB merupakan syarat penyerahan barang dimana
penjual hanya menanggung biaya pengangkutan sampai dengan pelabuhan muat
penjual, sisanya ditanggung pembeli. CIF adalah syarat penyerahan barang dimana
penjual harus menanggung biaya pengangkutan dan asuransi atas suatu komoditas.
Penentuan harga bayangan barang-barang non tradable, menurut Monke dan
Pearson (1989) berdasarkan langkah-langkah berikut: (1) menghitung opprtunity
cost dari barang non tradable tersebut, namun cara ini sulit dilakukan, (2)
mengoreksi ada tidaknya divergensi baik yang disebabkan oleh adanya kebijakan
pemerintah yang distorsif, ada tidaknya kegagalan pasar seperti struktur pasar
monopoli, monopsoni, dan lain-lain; eksternalitas negatif atau positif, dan
ketidaksempurnaan kelembagaan, (3) apabila dampak divergensi tidak dapat
diestimasi maka menggunakan harga barang substitusinya, dan (4) jika langkah
tersebut juga sulit untuk dilakukan maka gunakan harga barang/substitusinya di
negara tetangga.
4.4.3.1. Harga Bayangan Output
Pada penelitian ini, output yang dihasilkan merupakan komoditas yang di
ekspor, sehingga perhitungan harga bayangannya menggunakan harga FOB dalam
nilai rupiah per kg selajutnya dikurangi biaya transportasi ke pedagang besar dan
biaya distribusi di tingkat petani, sehingga didapatkan harga bayangan manggis
yaitu sebesar Rp 24.027.
4.4.3.2 Harga Bayangan Input
Harga bayangan input juga ditentukan berdasarkan input tradable dan non
tradable. Harga FOB digunakan untuk menentukan harga bayangan input yang
50

diekspor, sedangkan harga CIF untuk input yang diimpor. Input non tradable
diestimasi dengan cara mendekomposisikannya, yaitu membagi biaya produksi
barang atau jasa non tradable kedalam biaya input tradable dan biaya faktor
domestik.
1. Harga Bayangan Bibit
Tanaman manggis merupakan tanaman tahunan yang dapat diperbanyak
dengan biji. Hampir seluruh petani di lokasi penelitian melakukan perbanyakan
dengan pembibitan. Bibit manggis yang digunakan berasal dari dalam negeri dan
termasuk komponen input non tradable, sehingga harga bayangannya sama dengan
harga aktual nya yaitu sebesar Rp 25.000 per pohon.
2. Harga Bayangan Pupuk
Pupuk yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pupuk kandang. Pupuk
kandang yang digunakan berasal dari dalam negeri dan termasuk komponen input
non tradable, sehingga harga bayangannya sama dengan harga aktual nya yaitu
sebesar Rp 300 per kg.
3. Harga Bayangan Obat Obatan
Sebagian kecil petani responden menggunakan obat obatan dengan jenis
furadan. Berdasarkan Adiputri (2016) perhitungan harga bayangan obat obatan
yaitu harga aktualnya dikurangi tarif impor dan PPN masing masing sebesar 10
persen, sehingga didapatkan harga bayangan obat obatan yaitu Rp 12.000 per kg.
4. Harga Bayangan Peralatan Pertanian
Peralatan yang digunakan oleh petani dalam pengusahaan manggis nya terdiri
dari cangkul, parang, garpu, golok, keranjang, galah, dan mesin pembabat. Untuk
perhitungan peralatan pertanian digunakan perhitungan penyusutannya. Harga
bayangan untuk peralatan tersebut didasarkan pada harga aktual nya lalu dikurangi
dengan PPN sebesar 10 persen. Perhitungan penyusutan selama satu tahun
menggunakan Metode Garis Lurus berdasarkan Adiputri (2016) dengan formula :
Nila Beli - Nilai Sisa
Penyusutan =
Umur Ekonomis
5. Harga Bayangan Bahan Bakar
Bahan bakar berjenis premium digunakan petani dalam kegiatan penyiangan
untuk menjalankan mesin pembabat. Perhitungan harga bayangan BBM premium
tidak didekati dengan besarnya rasio subsidi dan non subsidi karena saat ini subsidi
51

untuk BBM jenis premium telah dihapuskan. Berdasarkan Adiputri (2016)


perhitungan harga bayangan BBM premium didekati dengan harga CIF nya
kemudian dikalikan dengan nilai tukar bayangan lalu ditambahkan dengan biaya
distribusi ke pedagang besar dan petani masing-masing sebesar dua persen,
sehingga diperoleh harga bayangan sebesar Rp 5.772 per liter.
6. Harga Bayangan Tenaga Kerja
Tenaga kerja diklasifikasikan menjadi tenaga kerja terampil dan tidak
terampil. Harga bayangan tenaga kerja dalam penelitian ini sama dengan upah
aktualnya karena seluruh tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga kerja tidak
terampil dan para peneliti berpendapat tidak ada divergensi di pasar tenaga kerja
pertanian (Pearson et. al 2005). Harga bayangan tenaga kerja sama dengan upah
aktualnya yaitu sebesar Rp 40.122 per HOK.
7. Harga Bayangan Lahan
Menurut Gittinger (1986) penentuan harga bayangan lahan dapat didasari
oleh perhitungan sewa lahan. Pada penelitian ini penentuan harga bayangan yaitu
didasarkan oleh nilai sewa lahan kebun di lokasi penelitian yaitu sebesar Rp
3.000.000 per hektar per tahun.
5. Harga Bayangan Nilai Tukar Uang
Rumus penentuan harga sosial nilai tukar uang digunakan rumus menurut
Squire dan Van Der Tak (1975) dalam Gittinger (1986) yaitu:
OERt
SERt =
SCFt

Keterangan:
SERt = Shadow Exchange Rate tahun ke-t (nilai tukar bayangan, Rp/US$)
OERt = Official Exchange Rate tahun ke-t (nilai tukar resmi, Rp/US$)
SCFt = Standard Convertion Factor tahun ke-t (Faktor Konversi Standar)

Nilai SCF ditentukan berdasarkan formulasi sebagai berikut:


Xt + Mt
SCFt =
(X-Tx) + (M+Tm)
Keterangan:
SCFt = Faktor Konversi Standar tahun ke-t
Mt = Nilai Impor tahun ke-t (Rp)
Tmt = Pajak Impor tahun ke-t (Rp)
Xt = Nilai Ekspor tahun ke-t (Rp)
Txt = Pajak Ekspor tahun ke-t (Rp)
52

4.5 Analisis Sensitivitas

Dalam penelitian ini, analisis sensitivitas dilakukan pada indikator:


1. Analisis sensitivitas jika terjadi penurunan harga output domestik, dengan faktor
lainnya dianggap tetap (ceteris paribus). Hal tersebut berdasarkan kondisi di
lapangan bahwa terjadi penurunan harga output sebesar 73,88% pada tahun 2012.
2. Analisis sensitivitas saat harga output domestik sama dengan harga internasional,
dengan faktor lainnya dianggap tetap (ceteris paribus). Hal ini berdasarkan
asumsi jika terjadi perdagangan bebas, maka tidak ada hambatan perdagangan,
sehingga harga domestik sama dengan harga internasional.
3. Analisis sensitivitas jika terjadi kenaikan jumlah produksi sebesar 165%, dengan
faktor lainnya dianggap tetap (ceteris paribus). Hal ini berdasarkan penelitian
terdahulu, ketika tahun 2012 produksi manggis di lokasi penelitian meningkat
hingga 165%
4. Analisis sensitivitas ketika terjadi depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika sebesar 5,3% dengan asumsi faktor lain tetap (ceteris paribus). Hal
tersebut didasarkan pada kondisi tahun 2015.
5. Analisis sensitivitas ketika terjadi apresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika sebesar 36% dengan asumsi faktor lain tetap (ceteris paribus). Hal
tersebut didasarkan pada kondisi tahun 2011.
6. Analisis sensitivitas apabila terjadi pencabutan subsidi solar dengan asumsi
faktor lain tetap (ceteris paribus). Hal ini berdasarkan asumsi jika subsidi solar
tidak lagi disubsidi oleh pemerintah.
7. Analisis sensitivitas apabila terjadi peningkatan subsidi solar dengan asumsi
faktor lain tetap (ceteris paribus). Hal ini berdasarkan pada kondisi tahun 2014,
subsidi solar yang diberikan sebesar Rp 1.000 per liter sedangkan subsidi saat
ini sebesar Rp 500 per liter.
8. Analisis sensitivitas apabila terjadi penggunaan Upah Minimum Regional
(UMR) sebagai upah tenaga kerja dengan asumsi faktor lain tetap (ceteris
paribus). Hal ini berdasarkan asumsi jika upah tenaga kerja di lokasi penelitian
menggunakan sistem UMR.
53

V GAMBARAN UMUM PENELITIAN

5.1 Kondisi Umum Kabupaten Bogor

Luas wilayah Kabupaten Bogor sekitar 2.663,81 Km². Secara geografis


Kabupaten Bogor terletak antara 6.19º – 6.47º lintang selatan dan 106º1’ – 107º103’
bujur timur. Letak Kabupaten Bogor sangat strategis karena berdekatan dengan Ibu
Kota Negara Republik Indonesia, sehingga Kabupaten Bogor menjadi daerah
penyangga DKI Jakarta. Secara administratif Kabupaten Bogor mempunyai batas
wilayah sebagai berikut :
Sebelah Utara : Kabupaten Depok
Sebelah Barat : Kabupaten Lebak
Sebelah Barat Daya : Kabupaten Tanggerang
Sebelah Timur : Kabupaten Purwakarta
Sebelah Timur Laut : Kabupaten Bekasi
Sebelah Selatan : Kabupaten Sukabumi
Sebelah Tenggara : Kabupaten Cianjur
Kabupaten Bogor memiliki tipe morfologi wilayah yang bervariasi, dari
dataran yang relatif rendah di bagian utara hingga dataran tinggi di selatan, yaitu
sekitar 29,28 persen berada pada ketinggian 15-100 meter diatas permukaan laut,
42,62 persen berada di ketinggian 100-500 meter diatas permukaan laut, 8,43
persen berada pada ketinggian 1000-2000 meter diatas permukaan laut dan 0,22
persen berada pada ketinggian 2000-2500 meter diatas permukaan laut.
Kabupaten Bogor memiliki 40 kecamatan dan 434 desa/kelurahan. Rata-
rata suhu udara setiap bulannya 25,87ºC dan kelembapan udara nya sekitar 79,75
persen. Suhu rata rata terendah di Kabupaten Bogor yaitu 25ºC, paling sering terjadi
pada Bulan Februari. Kelembapan terendah di Kabupaten Bogor yaitu 68 persen,
paling sering terjadi pada Bulan September. Curah hujan yang relatif tinggi
menyebabkan Bogor dikenal sebagai Kota Hujan. Curah hujan tertinggi tahun 2016
sebesar 855 terjadi pada Bulan November dengan hari hujan sejumlah 23 Hari (BPS
Kabupaten Bogor 2016a).
54

5.2 Kondisi Umum Desa Karacak

Desa Karacak merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Leuwiliang.
Desa Karacak terdiri dari 44 RT dan 10 RW dengan luas wilayah seluas 710.023
Ha yang terdiri dari:
Persawahan : 210.714 Ha
Perkebunan : 270.510 Ha
Pemukiman : 36.236 Ha
Kehutanan : 139.510 Ha
Secara administratif Desa Karacak mempunyai batas wilayah sebagai
berikut :
Sebelah Utara : Desa Barengkok
Sebelah Selatan : Desa Karyasari
Sebelah Barat : Desa Pabangbon dan Cibeber II
Sebelah Timur : Desa Situ Udik Kecamatan Cibungbulang
Jumlah penduduk yang tercatat pada tahun 2015 sebanyak 12.314 jiwa,
dengan rincian laki laki sebanyak 6.241 jiwa dan perempuan sebanyak 6.073 jiwa
dengan kepala keluarga (KK) sebanyak 3.272 KK. Mata pencaharian penduduk
Desa Karacak meliputi petani, pengusaha, buruh, pedagang, pengrajin/UKM, PNS,
TNI/POLRI. Potensi pertanian Desa Karacak tersebar di beberapa bidang, seperti
tanaman pangan dan palawija, hortikultura, perikanan, peternakan, dan kehutanan.
Sejak terbentuk nya kawasan agropolitan pada tahun 2005, potensi pertanian yang
menjadi unggulan desa yaitu bidang hortikultura khususnya tanaman manggis dan
durian (BPS Kabupaten Bogor 2016b).

5.3 Karakteristik Responden

Karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi usia, tingkat pendidikan,


luas lahan, dan pengalaman bertani. Responden yang termasuk dalam karakteristik
merupakan petani yang tergabung dalam kelompok tani, yakni Kelompok Tani
Karya Mekar dan Kelompok Tani Rimba Lestari. Karakteristik responden
berdasarkan kelompok usia dapat dilihat pada Tabel 12.
55

Tabel 12 Sebaran petani responden berdasarkan usia


No Usia (Tahun) Jumlah Responden (Orang) Persentase (%)
1 21-30 2 4,88
2 31-40 8 19,51
3 41-50 10 24,39
4 51-60 8 19,51
5 >60 13 31,71
Total 41 100,00
Sumber : Data Primer diolah (2017)

Berdasarkan Tabel 12, usia petani responden paling banyak berusia diatas 60
tahun yaitu sebanyak 13 orang dengan persentase 31,71%. Usia terbanyak kedua
yaitu usia 41 sampai 50 tahun sebanyak 10 orang dengan persentase 24,39%.
Sebagian besar petani responden tergolong dalam usia non produktif. Usia yang
didominasi oleh usia diatas 60 tahun disebabkan oleh regenerasi petani yang tidak
berjalan dengan baik. Berdasarkan kondisi di lapang, sebagian anak petani
responden mengatakan tidak ingin menjadi petani, mereka lebih memilih bekerja di
sektor industri karena pendapatannya lebih pasti.
Tingkat pendidikan merupakan salah satu karakteristik responden yang
berperan penting dalam perkembangan usahatani. Semakin tinggi tingkat
pendidikan, semakin mudah para petani menyerap informasi dan teknologi yang
semakin berkembang. Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan
dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13 Sebaran petani responden berdasarkan tingkat pendidikan
No Tingkat Pendidikan Jumlah Responden (Orang) Persentase (%)
1 SD atau sederajat 24 58,54
2 SMP atau sederajat 8 19,51
3 SMA atau sederajat 8 19,51
4 S1 1 2,44
Total 41 100,00
Sumber : Data Primer diolah 2017

. Berdasarkan Tabel 13, tingkat pendidikan petani yang paling banyak


terdapat pada tingkat SD sebesar 24 responden dengan persentase 58,54 %. Hal ini
menunjukkan bahwa masih rendah nya tingkat pengetahuan petani mengenai
perkembangan pertanian. Maka dari itu kegiatan penyuluhan dari berbagai pihak
sangat diperlukan oleh para petani.
56

Luas lahan memiliki peranan penting dalam usahatani. Luas lahan


menentukan banyaknya produksi yang dihasilkan. Semakin luas lahan yang
dimiliki petani, semakin banyak tanaman yang dapat ditanaminya, sehingga
produksi yang dihasilkan akan lebih besar dibanding dengan lahan yang sempit.
Karakteristik responden berdasarkan luas lahan dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14 Sebaran petani responden berdasarkan luas lahan
No Luas Lahan (Ha) Jumlah Responden (Orang) Persentase (%)
1 0,1-0,5 20 48,78
2 0,6-1,0 10 24,39
4 >1,0 11 26,83
Total 41 100,00
Sumber : Data Primer diolah (2017)

Berdasarkan Tabel 14, sebaran luas lahan didominasi oleh luas kisaran 0,1
hingga 0,5 ha dengan jumlah 20 responden dan persentase sebesar 48,78 persen.
Berdasarkan kondisi di lapang, hampir seluruh luas lahan yang dimiliki petani
disebabkan oleh warisan keluarga.
Pengalaman bertani berdampak pada kegiatan usahatani. Semakin lama
pengalaman bertani, maka semakin banyak pengetahuan yang di dimiliki oleh
petani dari pengalamannya. Karakteristik responden berdasarkan pengalaman
bertani manggis dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15 Sebaran petani responden berdasarkan pengalaman bertani manggis
No Pengalaman Bertani (Tahun) Jumlah Responden (Orang) Persentase (%)
1 5-10 3 7,32
2 11-15 2 4,88
3 >15 36 87,80
Total 41 100,00
Sumber : Data Primer diolah (2017)

Berdasarkan Tabel 15, pengalaman bertani yang paling banyak yaitu lebih
dari 15 tahun dengan jumlah responden sebanyak 36 orang dan persentase sebesar
87,80 persen. Pengalaman bertani yang paling sedikit yaitu kisaran lima hingga
sepuluh tahun dengan jumlah responden tiga orang dan persentase sebesar 7,32
persen. Pengalaman bertani di lokasi penelitian di dominasi oleh pengalaman diatas
15 tahun. Hal ini dipengaruhi oleh faktor usia petani yang berada diatas 60 tahun
sehingga mereka memiliki lebih banyak pengalaman.
57

5.4 Usahatani Manggis di Desa Karacak

Tanaman manggis di Desa Karacak sudah ada sejak dulu dan diwariskan
secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Umur tanaman manggis sudah
lebih dari 50 tahun. Awalnya tanaman manggis di lokasi penelitian masih berupa
hutan manggis yang kurang terawatt, namun sejak tahun 2009 dilakukan program
registrasi kebun oleh sebagian petani. Program registrasi kebun yang dilakukan
petani menyebabkan kondisi kebun dinilai menjadi lebih baik karena sudah
menerapkan Standard Operating Procedure (SOP).
Tanaman manggis mendominasi di setiap lahan, jarak tanam yang cukup
lebar yaitu 10 x 10 meter, menyebabkan petani mentumpangsarikan tanaman
manggis dengan tanaman lain seperti timun, melinjo, petai dll. Hal tersebut
dikarenakan terdapat sisa lahan diantara tanaman manggis dan untuk menambah
pendapatan petani.
Budidaya manggis tidak sulit bagi petani, sebagian petani memelihara
tanamannya dengan perlakuan alami. Pemeliharaan manggis yang dilakukan petani
meliputi pemupukan, penyiangan dan pembibitan. Pemupukan dilakukan
menggunakan pupuk organik berupa pupuk kandang. Sebagian responden ada yang
tidak memupuk pohon manggisnya dan membiarkan secara alami tanpa perlakuan
khusus. Penyiangan dilakukan setahun sekali, karena menurut petani jika kebun
ditanami manggis maka rumput tidak akan tumbuh lebat. Pemberian obat-obatan
pada tanaman mangis hanya dilakukan oleh sebagian kecil petani.
Berbagai lembaga pengetahuan dan penelitian seperti Dinas Pertanian dan
PKBT-IPB cukup membantu para petani dalam hal pelatihan dan pengembangan
usahatani. Hal ini juga didukung dengan adanya kelompok tani di lokasi penelitian.
Kelompok tani manggis yang terdapat di lokasi penelitian yaitu Kelompok Tani
Karya Mekar dan Kelompok Tani Rimba Lestari.
Kelompok Tani Karya Mekar dibentuk pada tahun 1984 yang diketuai
pertama kali oleh H. Sayuti dengan anggota 60 orang petani, namun sejak tahun
1989 hingga sekarang, diketuai oleh Bapak M. Bakri dengan jumlah anggota
sebanyak 25 orang. Kelompok Tani Rimba Lestari berdiri sejak tahun 2008.
Awalnya kelompok tani ini hanya difokuskan pada bidang kehutanan, namun setiap
anggota kelompok juga memiliki kebun khususnya terdapat tanaman manggis,
58

sehingga kelompok tani ini memperluas area cakupannya. Jumlah anggota


kelompok tani ini sebanyak 16 orang.
Manggis merupakan tanaman musiman yang panen setiap setahun sekali.
Tanaman manggis dapat dikatakan panen raya jika hasil panen yang didapat sangat
melimpah. Kondisi panen raya terjadi dalam dua sampai tiga tahun sekali. Pada saat
panen raya, harga manggis bisa sangat rendah karena ketersediaan manggis yang
melimpah.
Kegiatan panen manggis di lokasi penelitian umumnya dilakukan oleh
tenaga kerja luar keluarga. Kegiatan panen meliputi pengambilan buah di pohon
dan pengangkutan dari kebun ke rumah atau ke tempat pedagang pengumpul. Hasil
panen dapat dijual secara langsung atau sistem tebas (borongan).
Kelompok Tani Karya Mekar sudah melakukan nilai tambah terhadap
manggis yaitu pengolahan manggis berupa dodol dan jus manggis. Terdapat suatu
outlet di area halaman rumah ketua kelompok tani yang diberi nama Pusat Oleh
Oleh Karya Mekar yang berisi aneka olahan produk seperti dodol manggis, durian
dll. Pengolahan manggis menjadi dodol biasanya saat panen raya ketika harga
manggis sangat rendah.
59

VI HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Pengusahaan Manggis

Analisis keunggulan komparatif dan kompetitif digunakan untuk mengukur


tingkat daya saing. Untuk mengetahui tingkat daya saing pengusahaan manggis,
langkah pertama yaitu penentuan input output dan pemisahan seluruh biaya ke
dalam komponen domestik dan asing yang didasarkan atas Tabel Input Output.
Selanjutnya penentuan harga privat dan harga bayangan input output untuk
dikelompokan menjadi analisis finansial dan analisis ekonomi. Analisis finansial
berisi seluruh biaya pada tingkat harga privat, termasuk didalamnya kebijakan
pemerintah seperti pajak dan subsidi. Sedangkan analisis ekonomi berisi seluruh
biaya pada tingkat harga bayangan (shadow price), yaitu harga pada saat tanpa
adanya kebijakan pemerintah berupa pajak dan subsidi. Rincian komponen pada
analisis finansial dan ekonomi akan dijelaskan pada Tabel 16.
Berdasarkan Tabel 16, penerimaan dalam pengusahaan manggis berasal dari
penjualan buah manggis segar, tidak dalam bentuk lain maupun olahannya. Hal
tersebut berdasarkan kondisi di lapang bahwa petani menjual langsung hasil panen
nya tanpa mengolah terlebih dahulu. Komponen biaya terbesar terdapat pada biaya
tenaga kerja, khususnya tenaga kerja luar keluarga. Komponen ini mendominasi
lebih dari setengah biaya yang dikeluarkan dalam pengusahaan manggis. Persentase
biaya untuk tenaga kerja luar keluarga pada analisis finansial sebesar 51,24 persen,
sedangkan pada analisis ekonomi sebesar 51,71 persen. Tenaga kerja yang
mendominasi ini disebabkan oleh kegiatan usahatani yang paling banyak terdapat
pada kegiatan panen. Jangka waktu panen manggis cukup panjang yaitu selama tiga
bulan dan waktu pemetikan dua hari sekali, sehingga membutuhkan tenaga kerja
yang cukup banyak. Tenaga kerja yang digunakan saat panen yaitu tenaga kerja luar
keluarga.
Persentase untuk tenaga kerja dalam keluarga persentase tidak terlalu besar.
Persentase biaya untuk tenaga kerja dalam keluarga pada analisis finansial sebesar
1,87 persen, sedangkan pada analisis ekonomi sebesar 1,89 persen. Hal ini
dikarenakan dalam pengusahaan manggis, tenaga kerja dalam keluarga hanya
digunakan dalam pemeliharaan kebun. Pemeliharaan kebun di lokasi penelitian
60

menggunakan sistem arisan kerja. Sistem arisan kerja ini biasanya memerlukan
lima sampai enam orang untuk memelihara kebun dengan jangka waktu yang cukup
singkat, sehingga komposisi biayanya tidak mendominasi.
Input yang digunakan dalam penelitian ini yaitu bibit, pupuk dan obat obatan.
Bibit yang digunakan tergantung pada kebutuhan lahan. Penambahan bibit pada
lahan tidak dilakukan setiap tahun, karena luas lahan yang ada tidak mencukupi,
namun kegiatan pembibitan masih dilakukan oleh petani hampir setiap tahun. Hal
ini bertujuan untuk menambah cadangan bibit untuk kebutuhan lahan dan sebagian
dapat dijual. Petani menambah bibitnya pada lahan jika terdapat pohon yang mati
atau roboh tertiup angin sehingga harus dilakukan penyulaman.
Pupuk yang digunakan yaitu pupuk kandang. Pupuk kandang didapatkan
dengan mudah melalui peternak di lokasi penelitian. Obat obatan didapatkan dari
bantuan pemerintah dan sebagian membelinya di pasar. Obat obatan yang berasal
dari bantuan pemerintah berupa furadan. Sebagian petani tidak melakukan
perawatan khusus terhadap tanaman manggis, pertumbuhannya dibiarkan secara
alami. Hal ini disebabkan oleh sebagian petani berpendapat bahwa akan lebih baik
jika tanamannya dibiarkan secara alami.
Berdasarkan acuan penelitian terdahulu, terdapat penelitian yang dilakukan
oleh Hermanto et. al (2011) di Kecamatan Bukit Barisan, Kabupaten Lima Puluh
Kota, Provinsi Sumatera Barat menunjukkan bahwa tanaman manggis dalam
penelitian tersebut ditumpangsarikan dengan tanaman kakao dan diberi pupuk
kimia seperti Urea dan NPK, insektisida, fungisida dan herbisida. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa daya saing manggis yang dihasilkan cukup tinggi,
terlihat dari nilai PCR dan DRC sebesar 0,40 dan 0,19.
Nilai PCR dan DRC yang lebih kecil dari satu menunjukkan daerah tersebut
memiliki daya saing. Semakin rendah nilai tersebut atau hampir mendekati 0, maka
daerah tersebut memiliki daya saing yang tinggi. Jika dibandingkan dengan
penelitian ini, maka penggunaan pupuk kimia, insektisida, fungisida dan herbisida
berpengaruh terhadap tingkat daya saing suatu daerah.
61

Tabel 16 Rincian biaya finansial dan ekonomi pengusahaan manggis di Desa Karacak tahun 2016 (Rp/Ha)
Analisis Finansial Analisis Ekonomi
No Uraian % %
Domestik Asing Pajak Total Domestik Asing Total
A Penerimaan 21.049.361 100 52.840.815 100
B Biaya Produksi
Bibit 147.549 147.549 0,81 147.549 147.549 0,82
Pupuk Kandang 485.938 485.938 2,67 485.938 485.938 2,71
Obat Obatan 5.767 7.319 39 13.125 0,07 4.614 5.855 10.469 0,06
Tenaga Kerja
TKDK 340.678 340.678 1,87 340.678 340.678 1,90
TKLK 9.329.822 9.329.822 51,24 9.329.822 9.329.822 51,97
Penyusutan Peralatan
Parang 11.510 20.953 98 32.561 0,18 10.359 18.858 29.217 0,16
Cangkul 22.051 40.140 187 62.378 0,34 19.845 36.126 55.972 0,31
Golok 6.854 12.477 58 19.390 0,11 6.169 11.230 17.399 0,10
Garpu 1.966 3.579 17 5.561 0,03 1.769 3.221 4.990 0,03
Mesin Pembabat 60.665 92.030 337 153.000 0,84 54.598 82.827 137.425 0,77
Galah 11.707 11.707 0,06 11.707 11.707 0,07
Keranjang Plastik 45.188 6.277 103 51.579 0,28 40.669 5.649 46.319 0,26
BBM 72.400 26.789 398 99.588 0,55 60.129 22.248 82.377 0,46
Sewa Lahan 3.000.000 3.000.000 16,48 3.000.000 3.000.000 16,71
PBB 117.991 117.991 0,65
C Biaya Tataniaga
Biaya Pengangkutan 1.558.961 183.407 91.704 1.834.072 10,07 1.562.894 183.870 1.746.764 9,73
Biaya Penanganan 2.503.975 2.503.975 13,75 2.503.975 2.503.975 13,95

61
Total Biaya 17.723.022 392.971 92.941 18.208.933 17.580.715 369.883 17.950.598
62

Analisis daya saing pada usahatani manggis dianalisis menggunakan alat


analisis Policy Analysis Matrix (PAM). Hasil perhitungan PAM akan disajikan
dalam Tabel 17.
Tabel 17 Policy Analysis Matrix (PAM) pengusahaan manggis di Desa Karacak
tahun 2016 (Rp/Ha)
Biaya
Uraian Penerimaan Keuntungan
Tradable Non Tradable
Harga Privat 21.049.361 392.971 17.815.963 2.840.428
Harga Sosial 52.840.815 369.883 17.580.715 34.890.217
Divergensi -31.791.454 23.087 235.248 -32.049.789
Sumber : Data Primer diolah (2017)

Tabel PAM yang telah disusun pada Tabel 17, selanjutnya akan dilakukan
perhitungan untuk mendapatkan nilai-nilai yang menjadi indikator tingkat
keuntungan pada kondisi privat dan sosial, kondisi daya saing, serta nilai untuk
mengukur pengaruh kebijakan pemerintah pada output dan input. Indikator-
indikator PAM tersebut disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18 Indikator-indikator PAM pada pegusahaan manggis di Desa Karacak
tahun 2016
No Indikator Nilai
1 Keuntungan Privat 2.840.428
2 Keuntungan Sosial 34.890.217
3 Private Cost Ratio (PCR) 0,86
4 Domestic Cost Ratio (DRC) 0,34
5 Transfer Output (TO) -31.791.454
6 Nominal Protection Coefficient in Output (NPCO) 0,40
7 Transfer Input (TI) 23.087
8 Nominal Protection Coefficient in Input (NPCI) 1,06
9 Transfer Faktor (TF) 235.248
10 Koefisien Proteksi Efektif (EPC) 0,39
11 Transfer Bersih (TB) -32.049.789
12 Koefisien Keuntungan (PC) 0,08
13 Rasio Subsidi untuk Produsen (SRP) -0,60
Sumber : Data Primer diolah (2017)

6.1.1 Analisis Keuntungan


Usahatani Manggis di Desa Karacak menghasilkan keuntungan yang positif,
hal ini menunjukkan bahwa usahatani menguntungkan secara finansial dan
ekonomi. Keuntungan privat yang diperoleh sebesar Rp 2.840.428 per hektar,
sedangkan keuntungan sosial sebesar Rp 34.890.217 per hektar. Keuntungan yang
bernilai positif tersebut disebabkan oleh penerimaan yang didapatkan lebih tinggi
dari biaya yang dikeluarkannya.
63

6.1.2. Analisis Daya Saing


Analisis daya saing usahatani manggis dapat diukur melalui keunggulan
komparatif dan kompetitif. Analisis keunggulan kompetitif dilihat dari nilai Privat
Cost Ratio (PCR) dan analisis keunggulan komparatif dilihat dari nilai Domestic
Resource Ratio (DRC).
6.1.2.1. Keunggulan Kompetitif
Nilai PCR yang diperoleh sebesar 0.86 artinya untuk meningkatkan nilai
tambah output sebesar 100 persen, usahatani manggis tersebut membutuhkan biaya
faktor domestik sebesar 86 persen atau dengan kata lain usahatani manggis mampu
membiayai faktor domestiknya pada tingkat harga privat.
Nilai PCR yang dihasilkan kurang dari satu menunjukkan bahwa usahatani
manggis memiliki keunggulan kompetitif. Hal ini menunjukkan bahwa
pengusahaan manggis di Desa Karacak efisien secara finansial atau memiliki daya
saing pada saat terjadi distorsi dari pemerintah.
6.1.2.2. Keunggulan Komparatif
Nilai DRC yang diperoleh sebesar 0.34 artinya untuk meningkatkan nilai
tambah output sebesar 100 persen usahatani manggis tersebut membutuhkan biaya
faktor domestik sebesar 34 persen atau dengan kata lain usahatani manggis mampu
membiayai faktor domestiknya pada tingkat harga sosial.
Nilai DRC yang dihasilkan kurang dari satu menunjukkan bahwa usahatani
manggis memiliki keunggulan komparatif. Hal ini menunjukkan bahwa
pengusahaan manggis di Desa Karacak efisien secara ekonomi atau memiliki daya
saing pada kondisi tanpa adanya distorsi dari pemerintah.

6.1.3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah


Kebijakan pemerintah berupa subsidi atau pajak akan memberikan dampak
yang positif maupun negatif dalam kegiatan ekonomi. Dampak kebijakan
pemerintah yang dianalisis melalui matriks PAM yaitu kebijakan terhadap output,
kebijakan terhadap input, dan kebijakan terhadap input-output.
6.1.3.1. Kebijakan Pemerintah terhadap Output
Kebijakan terhadap output dilihat dari Transfer Output (TO) dan Nominal
Protection Coefficient in Output (NPCO). Nilai TO yang diperoleh bernilai negatif
sebesar Rp 31.791.454. Nilai TO yang negatif tersebut menunjukkan bahwa harga
64

privat yang diterima produsen lebih rendah dari harga sosialnya atau dengan kata
lain harga domestik manggis lebih rendah dari harga sosialnya.
Dampak kebijakan terhadap output juga dilihat dari nilai NPCO. Nilai NPCO
diperoleh kurang dari satu yaitu sebesar 0,40 artinya penerimaan domestik manggis
lebih rendah 60 persen dari penerimaan sosialnya. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa kebijakan pemerintah terhadap usahatani manggis belum efektif untuk
memproteksi sehingga penerimaan yang diterima menjadi lebih rendah.
Berdasarkan kondisi di lapang, rendahnya harga manggis yang diterima petani
bukan disebabkan oleh kebijakan pemerintah, melainkan posisi tawar yang lemah.
Petani tidak memiliki alternatif lain selain menjual hasil panen kepada pengumpul.
6.1.3.2. Kebijakan Pemerintah terhadap Input
Kebijakan pemerintah terhadap input dapat dilihat dari indikator Transfer
Input (TI), Transfer Faktor (TF) dan Nominal Protection Coefficient in Input
(NPCI). Transfer input merupakan indikator untuk melihat besarnya efek
divergensi pada input tradable. Nilai TI diperoleh sebesar Rp 23.087. Nilai TI yang
positif menunjukkan harga sosial input asing yang lebih rendah, artinya terdapat
kebijakan pemerintah terhadap input tradable berupa pajak yaitu Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) pada obat obatan dan peralatan sehingga produsen harus
membayar input lebih mahal.
NPCI menunjukkan besarnya tingkat insentif yang diberikan pemerintah
terhadap input tradable. Nilai NPCI yang diperoleh sebesar 1.06. Nilai NPCI yang
lebih besar dari satu menunjukkan bahwa terdapat kebijakan pemerintah berupa
pajak terhadap input sehingga petani membayar input lebih tinggi 6 persen dari
harga sebenarnya.
Transfer Faktor (TF) menunjukkan dampak kebijakan terhadap input faktor
domestik. Nilai TF yang diperoleh sebesar Rp 235.248 per tahun. Nilai TF yang
bernilai positif menunjukkan terdapat kebijakan pemerintah berupa pajak pada
faktor domestik yaitu Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
6.1.3.3. Kebijakan Pemerintah terhadap Input-Output
Kebijakan pemerintah terhadap input-output dapat dilihat dari indikator
Efektif Protection Coefisien (EPC), Transfer Bersih (TB), Koefisien Keuntungan
(KK), dan Subsidi Rasio Produsen (SRP).
65

Nilai EPC menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah terhadap input


dan output bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik. Nilai EPC
yang diperoleh sebesar 0,39. Nilai EPC yang kurang dari satu artinya kebijakan
pemerintah terhadap input dan output belum berjalan secara efektif. Nilai tambah
yang diterima petani secara privat lebih rendah dari yang seharusnya diterima
secara sosial. Kebijakan pemerintah berupa pajak terhadap input belum berjalan
secara efektif untuk melindungi produsen.
Transfer Bersih (TB) menunjukan dampak kebijakan pemerintah secara
keseluruhan terhadap penerimaan. Nilai Transfer Bersih (TB) yang diperoleh
bernilai negatif sebesar Rp 32.049.789. Nilai TB yang negatif menunjukan bahwa
kebijakan yang ada terhadap input dan output belum memberikan insentif ekonomi
untuk meningkatkan produksi.
Koefisien Keuntungan (KK) menunjukkan pengaruh keseluruhan dari
kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah memberikan insentif kepada produsen.
Nilai KK yang diperoleh sebesar 0,08. Nilai KK yang kurang dari satu artinya
kebijakan pemerintah mengakibatkan keuntungan yang diterima petani lebih
rendah 92 persen jika dibandingkan tanpa adanya kebijakan.
Subsidi Rasio Produsen (SRP) merupakan rasio yang digunakan untuk
mengukur seluruh dampak kebijakan input output. Nilai SRP yang diperoleh negatif
sebesar 0,60. Nilai SRP yang kurang dari nol menunjukan kebijakan pemerintah
menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi lebih tinggi 60 persen dari
biaya sosialnya.

6.2 Analisis Sensitivitas Pengusahaan Manggis

Perubahan-perubahan yang terjadi dalam pengusahaan manggis dan


kebijakan pemerintah akan berpengaruh terhadap usahatani tersebut. Keterbatasan
Policy Analysis Matrix (PAM) yaitu analisis yang dilakukan bersifat statis (hanya
berlaku pada musim yang bersangkutan). Untuk menutupi keterbatasan tersebut
maka dilakukanlah analisis perubahan atau analisis sensitivitas.
Pada penelitian ini dilakukan beberapa skenario sensitivitas, yaitu: (1)
penurunan harga output domestik sebesar 73,88 persen, (2) kondisi saat harga
output domestik sama dengan harga internasional (3) peningkatan produksi sebesar
66

165 persen (4) depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika sebesar 5,3
persen (5) apresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika sebesar 36 persen
(6) pencabutan subsidi solar (7) peningkatan subsidi solar menjadi Rp 1.000 per
liter, dan (8) kondisi saat penggunaan Upah Minimum Regional (UMR) sebagai
upah tenaga kerja. Skenario-skenario menyebabkan perubahan pada tingkat
keuntungan dan indikator utama daya saing yaitu nilai PCR dan DRC pada
usahatani manggis di Desa Karacak.

6.2.1 Analisis Sensitivitas Saat Terjadi Penurunan Harga Output Domestik


Analisis sensitivitas akibat penurunan harga output domestik didasarkan pada
kondisi di lokasi penelitian. Panen raya menyebabkan hasil panen melimpah dan
membuat harga menjadi turun. Panen raya tahun 2012 menghasilkan penurunan
harga output domestik sebesar 73,88%. Hal ini mengakibatkan perubahan pada
tingkat keuntungan dan daya saing, perubahan akibat penurunan harga output
domestik tersebut disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19 Analisis Sensitivitas saat terjadi penurunan harga output domestik sebesar
73,88%
Indikator Sebelum Sesudah Selisih
Keuntungan Privat (KP) 2.840.428 -12.710.840,28 -15.551.268,28
Keuntungan Sosial (KS) 34.890.217 34.890.216,80 -
Private Cost Ratio (PCR) 0,86 3,49 2,63
Domestic Resource Cost (DRC) 0,34 0,34 -
Sumber : Data Primer diolah (2017)

Berdasarkan Tabel 19, ketika harga output domestik turun sebesar 73,88
persen, keuntungan privat mengalami penurunan dan nilai PCR mengalami
peningkatan. Keuntungan sosial dan indikator DRC tidak mengalami perubahan,
karena harga domestik termasuk dalam analisis finansial, sehingga perubahan
hanya terjadi pada indikator keuntungan privat dan PCR. Setelah terjadi penurunan
harga output domestik, petani mengalami kerugian secara finansial sebesar Rp.
12.710.840,28. Nilai PCR meningkat menjadi 3,49. Hal tersebut menyebabkan
usahatani yang dijalankan sudah tidak menguntungkan secara finansial, namun
masih menguntungkan secara ekonomi. Usahatani sudah tidak memiliki
keunggulan kompetitif namun masih memiliki keunggulan komparatif.
67

6.2.2. Analisis Sensitivitas Saat Harga Output Domestik sama dengan Harga
Internasional
Analisis sensitivitas saat harga output domestik sama dengan harga
internasional diasumsikan apabila terjadi perdagangan bebas, maka tidak ada
hambatan perdagangan, sehingga harga domestik sama dengan harga internasional.
Hal ini dapat menyebabkan perubahan pada tingkat keuntungan dan daya saing,
perubahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20 Analisis sensitivitas saat harga output domestik sama dengan harga
internasional
Indikator Sebelum Sesudah Selisih
Keuntungan Privat 2.840.428 34.631.882 31.791.454
Keuntungan Sosial 34.890.217 34.890.217 -
Private Cost Ratio (PCR) 0,86 0,34 -0,52
Domestic Resource Cost (DRC) 0,34 0,34 -
Sumber : Data Primer diolah (2017)

Berdasarkan Tabel 20, ketika harga output domestik sama dengan harga
internasional, keuntungan privat mengalami peningkatan dan nilai PCR mengalami
penurunan. Keuntungan sosial dan indikator DRC tidak mengalami perubahan,
karena harga domestik termasuk dalam analisis finansial, sehingga perubahan
hanya terjadi pada indikator keuntungan privat dan PCR. Akibat kondisi harga
output domestik sama dengan harga internasional, keuntungan privat meningkat
menjadi Rp. 34.631.882. Nilai PCR menurun menjadi 0,34. Hal tersebut
mengakibatkan usahatani yang dijalankan masih menguntungkan secara finansial
dan ekonomi serta memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif.

6.2.3 Analisis Sensitivitas Saat Terjadi Peningkatan Jumlah Produksi


Analisis sensitivitas saat terjadi peningkatan produksi didasarkan pada
penelitian terdahulu. Damanik (2013) meneliti tentang pendapatan usahatani
manggis di Desa Karacak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi pada
tahun 2012 cukup tinggi jika dibandingkan dengan kondisi tahun 2016 pada
penelitian ini. Hal tersebut disebabkan kondisi tahun 2012 merupakan kondisi
panen raya di lokasi penelitian. Peningkatan jumlah produksi mencapai 165 persen
dari produksi pada penelitian ini. Jumlah produksi yang meningkat dapat
menyebabkan perubahan pada keuntungan dan tingkat daya saing. Pengaruh
peningkatan jumlah produksi dapat dilihat pada Tabel 21.
68

Tabel 21 Analisis sensitivitas saat terjadi kenaikan jumlah produksi 165%


Indikator Sebelum Sesudah Selisih
Keuntungan Privat 2.840.428 36.611.152,70 33.770.724,70
Keuntungan Sosial 34.890.217 121.311.820,18 86.421.603,18
Private Cost Ratio (PCR) 0,86 0,34 -0,52
Domestic Resource Cost (DRC) 0,34 0,13 -0,21
Sumber : Data Primer diolah (2017)

Berdasarkan Tabel 21, ketika jumlah produksi naik sebesar 165 persen,
keuntungan privat dan sosial mengalami peningkatan. Nilai PCR dan DRC
mengalami penurunan. Peningkatan jumlah produksi menyebabkan keuntungan
privat dan sosial meningkat menjadi Rp. 36.611.152,70 dan Rp 121.311.820,18.
Nilai PCR dan DRC menurun menjadi 0,34 dan 0,13. Hal tersebut menyebabkan
usahatani yang dijalankan masih menguntungkan secara finansial dan ekonomi,
serta masih memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif.

6.2.4 Analisis Sensitivitas Saat Terjadi Depresiasi Nilai Tukar


Analisis sensitivitas ini didasarkan pada kondisi tahun 2015 ketika nilai
tukar rupiah terhadap dollar Amerika melemah hingga mencapai puncaknya sebesar
5,3%. Hal ini dapat menyebabkan perubahan pada tingkat keuntungan dan daya
saing, perubahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22 Analisis sensitivitas saat terjadi depresiasi nilai tukar 5,3%
Indikator Sebelum Sesudah Selisih
Keuntungan Privat 2.840.428 2.940.968,91 100.540,91
Keuntungan Sosial 34.890.217 36.747.608,76 1.857.391,76
Private Cost Ratio (PCR) 0,86 0,86 -
Domestic Resource Cost (DRC) 0,34 0,34 -
Sumber : Data Primer diolah 2017

Berdasarkan Tabel 22, ketika nilai tukar rupiah melemah sebesar 5,3 persen,
keuntungan privat dan social mengalami peningkatan. Nilai PCR dan DRC tidak
mengalami perubahan. Depresiasi nilai tukar menyebabkan keuntungan privat dan
sosial meningkat menjadi Rp 2.940.968,91 dan Rp 36.747.608,76. Hal tersebut
mengakibatkan usahatani yang dijalankan masih menguntungkan secara finansial
dan ekonomi, serta masih memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif.

6.2.5 Analisis Sensitivitas Saat Terjadi Apresiasi Nilai Tukar


Analisis sensitivitas akibat apresiasi nilai tukar rupiah berdasarkan kondisi
tahun 2011 ketika penguatan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika mencapai
69

puncak nya. Apresiasi nilai tukar tersebut sebesar 36%. Hal ini dapat menyebabkan
perubahan pada tingkat keuntungan dan daya saing, perubahan tersebut dapat
dilihat pada Tabel 23.
Tabel 23 Analisis sensitivitas saat terjadi apresiasi nilai tukar sebesar 36%
Indikator Sebelum Sesudah Selisih
Keuntungan Privat 2.840.428 1.817.873,34 -1.022.554,66
Keuntungan Sosial 34.890.217 22.329.738,35 -12.560.478,65
Private Cost Ratio (PCR) 0,86 0,86 -
Domestic Resource Cost (DRC) 0,34 0,34 -
Sumber : Data Primer diolah (2017)

Berdasarkan Tabel 23, ketika nilai tukar rupiah menguat sebesar 36 persen,
keuntungan privat sosial mengalami penurunan. Nilai PCR dan DRC tidak
mengalami perubahan. Apresiasi nilai tukar menyebabkan keuntungan privat dan
sosial menurun menjadi Rp 1.817.873,34 dan Rp 22.329.738,35. Hal tersebut
mengakibatkan usahatani yang dijalankan masih menguntungkan secara finansial
dan ekonomi serta masih memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif.

6.2.6. Analisis Sensitivitas Ketika Terjadi Pencabutan Subsidi Solar


Analisis sensitivitas akibat pencabutan subsidi solar diasumsikan jika bahan
bakar solar tidak lagi mendapat subsidi dari pemerintah. Bahan bakar solar pada
penelitian ini digunakan pada proses pengangkutan. Subsidi solar yang diberikan
yaitu sebesar Rp. 500 per liter. Hal ini dapat menyebabkan perubahan pada tingkat
keuntungan dan daya saing, perubahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24 Analisis sensitivitas saat terjadi pencabutan subsidi solar
Indikator Sebelum Sesudah Selisih
Keuntungan Privat 2.840.428 2.824.922,78 -15.505,22
Keuntungan Sosial 34.890.217 34.890.217 -
Private Cost Ratio (PCR) 0,86 0,86 -
Domestic Resource Cost (DRC) 0,34 0,34 -
Sumber : Data Primer diolah (2017)

Berdasarkan Tabel 24, ketika terjadi pencabutan subsidi solar, keuntungan


privat mengalami penurunan. Keuntungan sosial, nilai PCR, dan DRC tidak
mengalami perubahan. Pencabutan subsidi solar menyebabkan keuntungan privat
menurun menjadi Rp 2.824.922,78. Hal tersebut mengakibatkan usahatani yang
dijalankan masih menguntungkan secara finansial dan ekonomi serta masih
memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif.
70

6.2.7. Analisis Sensitivitas Saat Terjadi Peningkatan Subsidi Solar


Analisis sensitivitas akibat peningkatan subsidi solar diasumsikan jika bahan
bakar solar mendapat tambahan subsidi dari pemerintah. Hal ini berdasarkan
kondisi tahun 2014, subsidi solar yang diberikan yaitu sebesar Rp. 1.000 per liter.
Hal ini dapat menyebabkan perubahan pada tingkat keuntungan dan daya saing,
perubahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 25.
Tabel 25 Analisis sensitivitas saat terjadi kenaikan subsidi solar
Indikator Sebelum Sesudah Selisih
Keuntungan Privat 2.840.428 2.855.931 15.503
Keuntungan Sosial 34.890.217 34.890.217 -
Private Cost Ratio (PCR) 0,86 0,86 -
Domestic Resource Cost (DRC) 0,34 0,34 -
Sumber : Data Primer diolah (2017)

Berdasarkan Tabel 25, ketika terjadi peningkatan subsidi solar, keuntungan


privat mengalami peningkatan Keuntungan sosial, nilai PCR dan DRC tidak
mengalami perubahan. Peningkatan subsidi solar menyebabkan keuntungan privat
meningkat menjadi Rp 2.855.931 per hektar. Hal tersebut mengakibatkan usahatani
yang dijalankan masih menguntungkan secara finansial dan ekonomi serta masih
memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif.

6.2.8. Analisis Sensitivitas Saat Penggunaan Upah Minimun Regional (UMR)


Berdasarkan kondisi di lokasi penelitian, pengusahaan manggis belum
menetapkan tingkat upah minimum terhadap tenaga kerjanya. Analisis sensitivitas
ini diasumsikan jika upah tenaga kerja pada pengusahaan manggis menggunakan
sistem Upah Minimum Regional (UMR). Hal ini dapat menyebabkan perubahan
pada tingkat keuntungan dan daya saing, perubahan tersebut dapat dilihat pada
Tabel 26.
Tabel 26 Analisis sensitivitas saat penggunaan Upah Minimum Regional (UMR)
Indikator Sebelum Sesudah Selisih
Keuntungan Privat 2.840.428 -4.175.631,88 -7.016.059,88
Keuntungan Sosial 34.890.217 27.874.162,22 -7.016.054,78
Private Cost Ratio (PCR) 0,86 1,20 0,34
Domestic Resource Cost (DRC) 0,34 0,47 0,13
Sumber : Data Primer diolah (2017)

Berdasarkan Tabel 26, ketika terjadi penggunaan sistem UMR, keuntungan


privat dan sosial, serta nilai PCR dan DRC mengalami penurunan. Penggunaan
71

sistem UMR menyebabkan keuntungan privat bernilai negatif atau petani merugi
sebesar Rp 4.175.631,88. Keuntungan ekonomi menurun menjadi Rp
27.874.162,22. Nilai PCR dan DRC meningkat menjadi 1,20 dan 0,47. Hal tersebut
mengakibatkan usahatani yang dijalankan sudah tidak menguntungkan secara
finansial namun masih menguntungkan secara ekonomi. Usahatani sudah tidak
memiliki keunggulan kompetitif namun masih memiliki keunggulan komparatif.

6.3 Analisis Daya Dukung Pengusahaan Manggis

6.3.1 Kondisi Faktor Sumberdaya


Faktor sumberdaya terbagi kedalam lima kelompok yaitu sumberdaya fisik
atau alam, sumberdaya manusia, sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(IPTEK), sumberdaya modal, dan sumberdaya infrastuktur.
1. Sumberdaya Fisik atau Alam
Sumberdaya fisik atau alam pada lokasi penelitian cukup berlimpah. Kondisi
lahan yang cukup baik karena berada pada ketinggian 500 meter diatas permukaan
laut dengan kondisi tanah yang subur. Hal tersebut sesuai dengan syarat tumbuh
buah manggis. Menurut Paramawati (2010) tanaman manggis paling cocok
dibudidayakan di daerah berketinggian 500 - 600 meter diatas permukaan laut.
Sebagian petani dengan kemiringan lahan sudah menerapkan sistem terasering pada
lahannya. Ketersediaan air langsung berasal dari sumber nya yaitu terdapat Gunung
Bunder di lokasi penelitian. Ikon Bogor yang dikenal sebagai kota hujan
menyebabkan pengairan tanaman manggis dibiarkan secara alami oleh air hujan.
Kebutuhan akan cuaca yang panas menyebabkan manggis dapat tumbuh
dengan baik. Umumnya musim hujan terjadi di lokasi penelitian selama sembilan
bulan dan musim kemarau terjadi selama tiga bulan. Menurut petani, walaupun
musim kemarau hanya berlangsung selama tiga bulan, namun hal itu dapat
mendukung pengusahaan manggis. Mereka mengatakan bahwa dibutuhkan waktu
minimal satu bulan musim kemarau agar terjadi pembungaan pada manggis
sehingga dapat terjadi proses pembuahan.
Tahun 2016 kondisi cuaca dan iklim di lokasi penelitian kurang mendukung
pengusahaan manggis. Hal tersebut dikarenakan pada tahun 2016 terjadi musim
hujan yang sangat panjang sehingga panen manggis mengalami penurunan produksi
72

yang sangat drastis. Hal tersebut berdampak pada musim panen 2017 yaitu musim
panen manggis mengalami kemunduran. Musim panen biasanya terjadi pada bulan
Desember hingga Bulan Maret. Saat pengambilan data di lapang pada bulan
Februari, kondisi manggis belum sampai tahap pembungaan, sehinga musim panen
manggis 2017 diprediksi akan datang pada pertengahan atau akhir tahun.
2. Sumberdaya Manusia
Jumlah penduduk di lokasi penelitian pada tahun 2015 sebanyak 12.314 jiwa
dengan komposisi lebih banyak laki laki dari perempuan. Laki laki sebanyak 6.241
jiwa dan perempuan sebanyak 6.073 jiwa dengan kepala keluarga (KK) sebanyak
3.272 KK. Mata pencaharian penduduk tersebar ke dalam berbagai profesi meliputi
petani, pengusaha, buruh, pedagang, pengrajin/UKM, PNS, TNI/POLRI (BPS
Kabupaten Bogor 2016b).
Berdasarkan kondisi di lapang, sebagian besar tingkat pendidikan petani
responden didominasi oleh tingkat SD atau sederajat sebesar 24 responden dengan
persentase 58,54%. Hal ini menunjukkan bahwa masih rendah nya tingkat
pengetahuan petani mengenai perkembangan pertanian, maka dari itu kegiatan
penyuluhan dari berbagai instansi sangat diperlukan oleh para petani.
Pengusahaan manggis di lokasi penelitian menggunakan tenaga kerja sebagai
sumber daya manusianya, baik berupa tenaga kerja dalam keluarga maupun luar
keluarga. Tenaga kerja dalam pemeliharaan kebun manggis menggunakan sistem
arisan kerja. Sistem yang sama dengan arisan pada umumnya, namun kegiatannya
melakukan aktivitas kerja, yaitu setiap bulan melakukan pemeliharaan pada kebun
yang berbeda. Kegiatannya meliputi penyiangan dan pengolahan lahan. Pelaku
arisan kerja tidak mendapatkan upah, maka dari itu perhitungannya dianggap
sebagai tenaga kerja dalam keluarga. Selanjutnya dalam kegiatan panen
menggunakan tenaga kerja luar keluarga, karena tenaga kerja yang digunakan
dibayar langsung dengan upah. Tingkat upah yang diberikan berbeda-beda antar
petani.
Kemampuan manajerial dan keterampilan didukung oleh adanya organisasi
kelompok tani. Keberadaan kelompok tani memudahkan petani untuk mendapatkan
informasi dan bantuan baik berupa pelatihan maupun pendampingan.
73

3. Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi


Sumber daya IPTEK didapatkan melalui berbagai instansi dengan bentuk
sosialisasi dan pelatihan. Sosialisasi terkait Standard Operating Procedure (SOP)
sudah dilakukan di lokasi penelitian. Lembaga Perguruan Tinggi pun turut serta
memberikan sosialisasi tentang pengetahuan dan teknologi seperti PKBT IPB.
PKBT IPB pernah memberikan galah sebagai alat untuk panen manggis.
Berdasarkan kondisi di lapang, pemanfaatan teknologi komunikasi belum
sepenuhnya dimanfaatkan oleh petani. Sebagian kecil petani tidak memiliki alat
komunikasi berupa handphone. Hal ini dikarenakan oleh faktor usia yang sudah
tidak produktif menyebabkan petani enggan menggunakan handphone. Hal ini
menjadi kendala dalam kelembagaan kelompok tani, karena sulit untuk
menghubungi anggota yang lain yang jaraknya berjauhan.
4. Sumberdaya Modal
Pemodalan petani dapat diakses melalui berbagai sumber, mulai dari
kelompok tani, bantuan pemerintah hingga tengkulak. Kelompok Tani Rimba
Lestari memiliki iuran bersama yang dikelola oleh kelompok. Iuran tersebut berupa
simpanan wajib sebesar Rp 250.000 dan iuran pokok yang dibayarkan dengan
jumlah minimal Rp. 10.000 setiap bulannya. Kelompok Tani Karya Mekar pernah
melakukan iuran bersama berupa simpanan wajib sebesar Rp 200.000 per anggota.
Kelompok Tani Karya Mekar mendapat Bantuan Pinjaman Langsung
Masyarakat (BPLM) dari pemerintah untuk pemodalan usahatani. Berdasarkan
kondisi di lapangan, sebagian besar petani masih meminjam kepada tengkulak
karena menurut mereka, cara peminjamannya lebih mudah. Petani dalam penelitian
ini tidak ada yang meminjam ke lembaga perbankan, hal ini dianggap menyulitkan
petani dengan berbagai persyaratannya.
5. Sumberdaya Infrastuktur
Keadaan jalan di lokasi penelitian lebih baik dari sebelumnya, terlihat dari
sebagian jalan yang sudah di aspal, namun belum dilengkapi dengan lampu jalan di
setiap tikungan. Selain itu di lokasi penelitian terdapat sebuah PLTA (Pembangkit
Listrik Tenaga Air) Kracak yang dapat memasok listrik melalui PLN bagi
masyarakat. PLTA ini merupakan peninggalan dari jaman Belanda yang dibangun
pada tahun 1921 dan mulai beroperasi pada tahun 1926.
74

6.3.2 Kondisi Permintaan


Kondisi permintaan dalam negeri merupakan faktor penentu dayasaing
industri, terutama mutu permintaan domestik. Faktor-faktor kondisi permintaan
yang mempengaruhi dayasaing industri nasional yaitu:
1. Komposisi Permintaan Domestik
Buah manggis diklasifikasikan ke dalam beberapa tingkatan atau grade.
Kelompok buah yang di grading yaitu berdasarkan diameter, ukuran, bentuk buah,
dan tingkat kematangan. Kegiatan grading dilakukan ditingkat pedagang
pengumpul. Beberapa grade tersebut ialah :
Grade 1 (Super) berisikan 6 – 8 buah per kg, sebanyak 40% buah manggis
pada grade 1 ini akan dijual ke pihak eksportir. Grade 2 berisikan 10 – 13 buah per
kg, sebanyak 30% buah manggis pada grade 2 ini akan dijual ke pedagang pengecer.
Grade 3 berisikan 14 -15 buah per kg, sebanyak 30% buah manggis pada grade 3
ini akan dijual ke pihak pedagang besar seperti pasar induk.
Permintaan domestik lebih didominasi oleh kualitas Grade 2 dan Grade 3
atau bisa disebut BS (Bekas Sortir). Kualitas Grade 1 diutamakan untuk pasar
ekspor dalam rangka meningkatkan daya saing komoditas manggis di pasar dunia.
2. Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan
Jumlah permintaan dan pola pertumbuhan mempengaruhi kondisi daya saing
suatu komoditas. Perkembangan produksi, ekspor dan kebutuhan dalam negeri
manggis tahun 2011 hingga 2015 disajikan pada Tabel 27.
Tabel 27 Perkembangan produksi, ekspor, dan kebutuhan manggis dalam negeri
tahun 2011 – 2015
Produksi Ekspor Persentase Dalam Negeri Persentase
Tahun
(Ton) (Ton) (%) (Ton) (%)
2011 117.595 12.603 10,72 104.992 89,28
2012 190.287 20.168 10,60 170.168 89,43
2013 139.602 7.647 5,48 131.955 94,52
2014 114.755 10.081 8,78 104.674 91,22
2015 203.100 38.177 18,80 164.923 81,20
Sumber : BPS (2016a)

Berdasarkan Tabel 27, jumlah ekspor manggis cenderung meningkat setiap


tahunnya. Hal ini mencerminkan permintaan untuk pasar luar negeri cenderung
meningkat. Permintaan yang meningkat disebabkan oleh perkembangan
75

pengetahuan dan teknologi yang menjadikan manggis sebagai Queen of Fruit.


Manggis memiliki berbagai manfaat mulai dari daging buahnya hingga kulitnya
yang bisa digunakan untuk pengobatan berbagai penyakit. Persentase ekspor
terbesar yaitu 18,8 persen dari total produksi pada tahun 2015. Produksi manggis
secara keseluruhan didominasi oleh kebutuhan dalam negeri. Persentase kebutuhan
dalam negeri terbesar yaitu 94,52 persen dari total produksi pada tahun 2013.
3. Internasionalisasi Permintaan Domestik
Berdasarkan kondisi di lapang, belum terdapat internasionalisasi permintaan
domestik. Hal ini disebabkan oleh konsumen yang membeli manggis terhadap
petani yaitu pedagang untuk pasar dalam negeri dan konsumen perseorangan dari
luar kota khususnya Jakarta. Selanjutnya untuk konsumen luar negeri, merupakan
buyer yang berasal dari negara importir. Konsumen luar negeri membeli manggis
Indonesia melalui kesepakatan dengan eksportir.

6.3.3 Industri Terkait dan Industri Pendukung


6.3.3.1 Industri Terkait
Industri terkait terbagi menjadi dua yaitu industri pemasok bahan baku dan
industri jasa pemasaran.
a. Industri Pemasok Bahan Baku
Input yang digunakan dalam usahatani manggis yaitu berupa bibit, pupuk dan
obat-obatan. Kondisi di lokasi penelitian menunjukkan terdapat beberapa produsen
perseorangan yang menyediakan kebutuhan bibit untuk diri sendiri dan orang lain.
Hampir seluruh petani melakukan kegiatan pembibitan, baik untuk tanaman
manggis maupun yang lainnya. Hal ini menjadi usaha sampingan bagi para petani.
Karena bibit yang dibuatnya, dapat dijual untuk konsumen.
Selain itu terdapat organisasi kemasyarakatan bernama Bani Kosim Peduli
(BKP) yaitu organisasi berdasarkan ikatan kekeluargaan. Anggota ikatan tersebut
merupakan satu turunan atau satu bani dari H. Kosim yang bertujuan untuk kegiatan
sosial. Salah satu kegiatannya yaitu pemasok bahan baku berupa bibit untuk
berbagai jenis tanaman. Berdasarkan kondisi di lokasi penelitian, khusunya
Kelompok Tani Karya Mekar hampir seluruhnya merupakan anggota dari BKP.
Ikatan kekeluargaan di lokasi penelitian ini sangat kuat, karena hampir seluruh
penduduk kampung merupakan turunan H. Kosim.
76

Pupuk yang digunakan yaitu pupuk kandang yang diperoleh dengan mudah
dari peternak di lokasi penelitian. Obat obatan jarang digunakan oleh petani,
sebagian petani mendapatkan obat obatan dari Dinas Pertanian dan sebagian
membeli nya dengan mudah di pasar.
b. Industri Jasa Pemasaran
Salah satu industri jasa pemasaran manggis di daerah penelitian yaitu
pedagang pengumpul. Petani menyerahkan hasil panen nya tanpa memilah, maka
dari itu, untuk meningkatkan daya saing pengusahaan manggis, para pedagang
pengumpul melakukan sortasi dan grading untuk penyaluran ke tahap selanjutnya
hingga ke konsumen. Berdasarkan informasi keseluruhan dari responden, terdapat
12 pengumpul tingkat kampung yang berada di lokasi penelitian.
Berdasarkan kondisi di lapangan, kemitraan yang dilakukan oleh petani hanya
terbatas hanya pada pedagang pengumpul. Kemitraan dengan perusahaan eksportir
dilakukan oleh pengumpul besar, sehingga alur pemasaran yang terjadi yaitu dari
petani diserahkan pada pengumpul kampung, lalu pengumpul kampung
menyerahkan kepada pengumpul besar, selanjutnya barang diserahkan kepada
eksportir.
Kemitraan dengan berbagai perusahaan belum diterapkan oleh petani, karena
enggan terikat dengan kontrak. Hal ini dikarenakan tanaman manggis merupakan
tanaman tahunan yang tumbuh berdasarkan cuaca dan iklim, jadi tidak bisa
ditetapkan jumlah hasil panen setiap tahun. Perusahaan Herbal Sidomuncul dan
Garcia pernah mengunjungi lokasi penelitian untuk membeli kulit manggis sebagai
bahan baku produk mereka.
6.3.3.2 Industri Pendukung
Industri pendukung dalam penelitian ini terdapat pada kegiatan pengolahan.
Pengolahan manggis sudah dilakukan oleh kelompok tani Karya Mekar, seperti
membuat aneka olahan dari manggis berupa dodol manggis, jus manggis, dll.
Pengolahan manggis hanya dilakukan ketika hasil panen melimpah, biasanya pada
saat panen raya dengan menggunakan teknologi tradisional. Hal ini tentu
menjadikan nilai tambah untuk manggis dan meningkatkan daya saing nya.
77

6.3.4 Stuktur, Persaingan, dan Strategi Perusahaan


6.3.4.1 Stuktur Pasar
Struktur pasar yang terbentuk termasuk dalam pasar persaingan karena
terdapat banyak penjual dan pembeli walaupun jumlah penjual lebih banyak dari
pembeli. Petani berperan sebagai penjual manggis dan semua lembaga tataniaga
yang melakukan perdagangan manggis dengan petani merupakan pembeli.
Sebagian petani menjual manggis dalam bentuk borongan atau per kg tanpa adanya
sortasi terlebih dahulu.
6.3.4.2 Persaingan
Tingkat persaingan dalam pengusahaan manggis sangat tinggi karena struktur
pasar yang berlaku. Sulit nya pelaku pasar baru untuk masuk pasar karena setiap
petani sudah memiliki langganan pengumpul nya masing masing. Keterikatan
petani dengan pengumpul sudah terjalin lama. Hampir seluruh petani di lokasi
penelitian memiliki ikatan kekeluargaan yang sangat kuat, jadi keterikatan antar
petani dan pengumpul sulit dihapuskan.
6.3.4.3 Strategi Perusahaan
6.3.4.3.1 Strategi Produk
Untuk mempertahankan kualitas produk agar tetap baik belum dilakukan oleh
para petani, karena mereka belum mengetahui cara untuk mempertahankannya.
Manggis dengan karakteristik yang unik menyebabkan kualitas nya tidak dapat
diprediksi. Hal ini menjadi kendala dalam pengusahaan manggis di lokasi penelitian.
6.3.4.3.2 Strategi Harga
Dalam mempertahankan keuntungan usahatani, hampir seluruh petani tidak
melakukan perlakuan khusus terhadap tanaman manggis. Sebagian petani
membiarkan kebunnya tumbuh dengan alami. Perawatan kebun seperti penyiangan,
pengolahan lahan dan pemupukan dilakukan setahun sekali. Pengairan kebun pun
dilakukan secara alami dengan memanfaatkan air hujan. Hal tersebut menyebabkan
biaya yang dikeluarkan menjadi rendah.
6.3.4.3.3 Strategi Promosi
Kelompok tani melakukan promosi dengan bantuan pemerintah daerah.
Kegiatan promosi yang dilakukan yaitu dengan mengikuti pameran produk
pertanian dengan menyajikan hasil olahan dari manggis. Kegiatan yang pernah
78

diikuti oleh Kelompok Tani Karya Mekar salah satu nya yaitu kegiatan Agrinex
(Indonesia’s Internasional Agribusiness Expo) pada Tahun 2011 di Jakarta
Convention Center (JCC) yang diselenggarakan oleh pihak IPB dan PT.
PERFORMAX.
6.3.4.3.4 Strategi Distribusi
Tidak ada strategi distribusi yang dilakukan oleh petani seperti
memperpendek rantai pemasaran. Hal ini dikarenakan dalam kelompok tani,
pengumpul di setiap rantai pemasaran ialah saudara petani itu sendiri, terutama
dalam Kelompok Tani Karya Mekar diperkuat dengan adanya organisasi BKP.
Apabila rantai pemasaran diputus, petani menganggap hal itu dapat menghentikan
rezeki keluarga nya yang berperan sebagai lembaga tataniaga. Selanjutnya untuk
Kelompok Tani Rimba Lestari pun tidak ada strategi distribusi yang dilakukan.
Karena alur pemasaran pada kelompok tani ini sudah cukup pendek dan sederhana.
Semua hasil panen diserahkan ke kelompok tani, lalu dari kelompok diserahkan ke
pengumpul besar dan langsung disalurkan kepada pedagang besar dalam negeri
maupun eksportir.

6.3.5 Peran Pemerintah


Dinas Pertanian pernah memberikan bantuan kepada Kelompok Tani Karya
Mekar berupa Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat (BPLM) guna untuk
membantu petani dalam hal pemodalan. Selanjutnya terdapat bantuan berupa bibit
tanaman dan pengadaan sarana prasarana untuk menunjang segala kegiatan
usahatani. Kelompok Tani Rimba Lestari mendapat bantuan pasca panen berupa
motor roda 3, keranjang plastik, dan obat obatan. Agenda penyuluhan pertanian
turut berperan dalam pengembangan usahatani. Selain itu program registrasi kebun
yang dilakukan diharapkan dapat memudahkan petani dalam pengusahaan tani nya.

6.3.6 Peran Kesempatan


Perdagangan bebas menyebabkan jalur perdagangan semakin luas. Hal ini
menjadi peluang untuk manggis dalam memperluas pasar ke negara lain. Negara
tujuan ekspor manggis di lokasi penelitian paling banyak mencakup wilayah Asia
dan sudah mulai merambah ke pasar Australia dan Afrika. Hal ini tentu
meningkatkan daya saing komoditas manggis. Selain itu, depresiasi mata uang
79

rupiah terhadap dollar Amerika yang terjadi menyebabkan dampak positif bagi
eksportir. Dengan adanya depresiasi dapat meningkatkan penerimaan eksportir dan
meningkatkan devisa negara.

6.4 Implikasi Kebijakan

Berdasarkan hasil analisis, pengusahaan manggis di lokasi penelitian


menguntungkan dan memiliki daya saing. Komponen biaya terbesar dalam
pengusahaan terdapat pada biaya tenaga kerja. Hal tersebut menyebabkan tenaga
kerja menjadi faktor penting dalam pengusahaan manggis dan mendorong
pemerintah untuk meningkatkan sumber daya manusianya seperti peningkatan
kualitas dengan diadakannya penyuluhan atau pelatihan secara kontinu.
Hasil analisis menunjukkan penerimaan privat yang lebih rendah dari
penerimaan sosial menunjukkan kebijakan pemerintah terhadap output belum
efektif. Pada kenyataannya kondisi di lapang belum terdapat kebijakan pemerintah
terhadap output. Sebaiknya pemerintah melakukan kebijakan harga terkait output.
Hasil panen lima tahun terakhir cenderung menurun dan kualitas yang tidak
dapat diprediksi menjadi kendala bagi petani dalam menjalankan usahataninya.
Produksi yang meningkat dan kualitas yang baik dapat meningkatkan harga jual di
tingkat petani. Hal tersebut bertujuan melindungi petani sehingga petani lebih
sejahtera dan dapat meningkatkan daya saingnya. Hal tersebut mendorong
pemerintah untuk meningkatkan produksi dan kualitas manggis.
80
81

VII KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil perhitungan dan analisis yang dilakukan dapat


disimpulkan bahwa usahatani manggis di Desa Karacak pada tahun 2016
menguntungkan secara finansial dan ekonomi. Hal tersebut dilihat dari keuntungan
privat dan sosial yang bernilai positif yaitu sebesar Rp 2.840.448 dan Rp
34.797.218 per hektar. Keuntungan privat yang lebih kecil dari keuntungan sosial
disebabkan oleh kebijakan pemerintah secara keseluruhan belum efektif
melindungi petani sehingga surplus produsennya berkurang. Sebagian petani tidak
melakukan perlakuan khusus kepada tanaman manggisnya untuk mempertahankan
keuntungannya. Tingkat efisiensi penggunaan sumberdaya menunjukkan usahatani
manggis memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif. Hal tersebut
dilihat dari indikator PCR dan DRC yang bernilai kurang dari satu yaitu nilai PCR
sebesar 0,86 dan DRC sebesar 0,34.
Berdasarkan analisis sensitivitas, kondisi yang dapat meningkatkan
keunggulan kompetitif yaitu pada saat harga output domestik sama dengan harga
internasional dan peningkatan produksi sebesar 165 persen. Kondisi yang dapat
meningkatkan keunggulan komparatif yaitu hanya peningkatan produksi sebesar
165 persen. Kondisi yang dapat menurunkan keunggulan kompetitif yaitu
penurunan harga output domestik sebesar 73,88 persen dan penggunaan sistem
Upah Minimum Regional (UMR). Kondisi yang dapat menurunkan keunggulan
komparatif yaitu hanya penggunaan sistem Upah Minimum Regional (UMR).
Depresiasi dan apresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, pencabutan dan
peningkatan subsidi solar tidak menunjukan perubahan terhadap keunggulan
komparatif dan kompetitif. Berdasarkan Analisis Diamond Porter secara
keseluruhan menunjukkan bahwa kondisi di daerah penelitian mendukung dalam
peningkatan pengusahaan komoditas manggis.
82

7.2 Saran

Berdasarkan kondisi di lapang, usahatani manggis di daerah penelitian


sangat berpotensi untuk dikembangkan. Namun terdapat beberapa saran yaitu:
1. Sebaiknya pemerintah melakukan agenda penyuluhan atau pelatihan secara
kontinu untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusianya.
2. Sebaiknya pemerintah melakukan upaya peningkatan produksi dan kualitas
sehingga dapat meningkatkan harga jual di tingkat petani. Hal tersebut
bertujuan melindungi petani sehingga petani lebih sejahtera dan dapat
meningkatkan daya saingnya.
3. Sebaiknya pengolahan manggis menjadi aneka produk olahan dilakukan oleh
kelompok tani yang lain. Berdasarkan kondisi di lokasi penelitian, pengolahan
manggis dilakukan oleh satu kelompok tani. Hal ini dapat menjadi solusi ketika
harga manggis mengalami penurunan saat panen raya.
83

DAFTAR PUSTAKA

Adiputri M.B. 2016. Analisis Dayasaing Melon Apollo di Kota Cilegon [Skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Astriana F. 2011. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usahatani


Jambu Biji (Studi Kasus: Kecamatan Tanah Sereal, Kota Bogor, Jawa
Barat) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Baga LM, Nurunisa VF. 2012. Analisis Daya Saing dan Strategi Pengembangan
Agribisnis Teh Indonesia. Forum Agribisnis. Vol 2(1): 33-52.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2016a. Statistik Produksi Holtikultura 2015. Jakarta:
Badan Pusat Statistik.

_______________________. 2016b. Statistik Indonesia 2016. Jakarta: Badan Pusat


Statistik.

______________________. 2016c. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas


Manggis tiap Provinsi 2011-2015. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

______________________. 2017. Nilai Ekspor dan Impor menurut Bulan Tahun


2016. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

[BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2016. Provinsi Jawa Barat dalam
Angka 2016. Jawa Barat: Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2016a. Kabupaten Bogor dalam
Angka 2016. Bogor: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor.

_________________________________. 2016b. Kecamatan Leuwiliang dalam


Angka 2016. Bogor: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor.

Damanik. 2013. Pengaruh Kemitraan terhadap Pendapatan Petani di Desa Karacak


Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor [Skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.

Dewanata. 2011. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap
Komoditas Jeruk Siam di Kabupaten Garut [Skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.

[Distanhut] Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. 2015. Publikasi


Kinerja Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor 2015. Bogor:
Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor.
84

Direktorat Budidaya Tanaman Buah. 2009. Standar Operating Procedure (SOP)


Manggis Kabupaten Bogor. Direktorat Jendral Hortikultura. Departemen
Pertanian.

Falatehan AF, Wibowo A. 2008. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif


Pengusahaan Komoditi Jagung di Kabupaten Grobogan (Studi Kasus: Desa
Panunggalan, Kecamatan Pulokulon, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.
Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian. Vol 2(1): 1-15.

Gittinger J.P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek Proyek Pertanian. Edisi Kedua.
Jakarta: UI Press.

Halwani. 2005. Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi. Bogor: Ghalia


Indonesia.

Hermanto et. al. 2012. Analisis Daya Saing Manggis Indonesia di Pasar Dunia
(Studi Kasus di Sumatera Barat). Jurnal Agro Ekonomi. Vol 30(1): 81-107.

Kementrian Pertanian. 2014. Pedoman Teknis Buah 2014. Jakarta: Direktorat


Jenderal Hortikultura Kementrian Pertanian.

_________________. 2015a. Rencana Kinerja Tahunan Kementrian Pertanian


2014. Jakarta: Kementrian Pertanian.

_________________. 2015b. Rencana Strategis Kementrian Pertanian 2015-2019.


Jakarta: Kementrian Pertanian.

_________________. 2016. Laporan Kinerja Kementrian Pertanian 2015. Jakarta:


Kementrian Pertanian.

Kementrian Keuangan. 2017. Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan Tahun 2016.


Jakarta: Kementrian Keuangan.

Mastuti ID. 2011. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usaha


Pembenihan Ikan Patin Siam (Studi Kasus: Perusahaan Deddy Fish Farm)
[Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Monke EA, Pearson SR. 1989. The Policy Analysis Matrix for Agricultural
Development. Cornell University Press. New York.

Paramawati R. 2010. Dahsyatnya Manggis untuk Menumpas Penyakit. Cet-1.


Jakarta: Agromedia Pustaka.

Puspita A. 2009. Analisis Daya Saing dan Strategi Pengembangan Agribisnis


Gandum Lokal di Indonesia [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
85

Puspitasari. 2011. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah


terhadap Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok [Skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.

Pearson et. al. 2005. Aplikasi Policy Analysis Matrix pada Pertanian Indonesia.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Redaksi Agromedia. 2009. Budidaya Tanaman Buah Unggul Indonesia. Jakarta:


Agromedia

Salvatore D. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi Kelima Jilid 1. Jakarta: Erlangga

Sinaga BM. 2004. Metode Pengumpulan Data. Bogor: Departemen Ilmu-Ilmu


Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Situmorang et. al. 2014. Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usahatani


Manggis di Kabupaten Tangamus. Jurnal Ilmu-Ilmu Agribisnis. Vol 2(3):
214-222.

Suryantini et. al. 2014. Analisis Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten
Kupang. Jurnal Agritech. Vol 34(1): 88-93.

[UPT] Unit Pelaksana Teknis Pertanian dan Hortikultura Kecamatan Leuwiliang.


2017. Produksi manggis di Kecamatan Leuwiliang. Bogor: UPT Pertanian
dan Hortikultura Kecamatan Leuwiliang.

Wijaya AS. 2016. Analisis Pemasaran Manggis (Studi Kasus : Kelompok Tani
Rimba Lestari, Kampung Cengal, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang,
Kabupaten Bogor) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
86
87

LAMPIRAN
88
89

Lampiran 1 Kuisioner penelitian

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN
Jl. Kamper Wing 5 Level 5 Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680

KUISIONER PENELITIAN

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF


PENGUSAHAAN KOMODITAS MANGGIS DI DESA KARACAK KECAMATAN
LEUWILIANG KABUPATEN BOGOR

Tanggal Wawancara
Nama Responden
Alamat
No Hp

*coret yang tidak perlu


Karakteristik Responden
1. Jenis kelamin : L / P *
2. Umur : .......... Tahun
3. Pendidikan terakhir : SD/SLTP/SMU/Perguruan Tinggi / Lainnya: ..........
4. Pengalaman bertani : .......... Tahun
5. Pengalaman bertani manggis : ...... Tahun
6. Sifat usahatani manggis : Utama / Sampingan*
7. Pekerjaan diluar usahatani yang dimiliki: ................
8. Luas lahan yang diusahakan: ... Ha
9. Status kepemilikan lahan : Milik Sendiri/ Sewa / Bagi Hasil / Lainnya ...
10. Bagaimana penggunaan lahan kebun dalam satu tahun? Sejenis / Campuran*
11. Bagaimana pengelolaan lahan? Digarap Sendiri / Orang Lain*
12. Berapa jumlah tenaga kerja yang dimiliki? ..... Orang
13. Darimana sumber tenaga kerja? Dalam Keluarga / Luar Keluarga*
14. Berapa upah tenaga kerja? Rp........................... / Bulan
15. Bagaimana tingkat penerimaan pada tahun 2016?
Musim Panen 2016 Harga (Rp/Kg) Produksi (Kg) Penerimaan
Januari
Februari
Maret
90

16. Penjualan hasil panen


Lembaga Harga Jual Jumlah Sistem Pasar yang
Tataniaga (Rp/Kg) Penjualan (Kg) Pembayaran Dituju

Sumber Modal dalam Usahatani

No Sumber Modal Jumlah (Rp)


1. Sendiri
2. Pinjaman dari bank
4. Pinjaman dari pengumpul
6. Rentenir
7. Saudara
8. Hibah dari pemerintah/ swasta

Biaya Investasi
Waktu Harga Umur
No Komponen Biaya Jumlah
Pembelian Beli/Sewa Ekonomis
1 Parang
2 Sabit / Golok
3 Cangkul
4 Garpu
5 Pikulan
6 Bambu
7 Tangga Panjang
8 Tangga Segitiga / Steiger
9 Galah / Gantar
10 Gunting Panen
11 Keranjang Plastik
12 Kain Halus
13 Box Plastik
14 Mesin Pembabat
15 Sewa Gudang
91

Biaya Operasional
Harga Total
No Input Jumlah Keterangan
Satuan (Rp)
1 Bibit Pohon
2 Pupuk Urea Kg
3 Pupuk KCL Kg
4 Pupuk Kandang Kg
5 Pestisida Ltr
6 Insektisida
7 Sewa/Beli Lahan Ha

Jumlah Jumlah
Waktu Upah
No Tenaga Kerja TKDK TKLK
(jam x hari) (Rp/HOK)
(orang) (orang)
1 Pengolahan Lahan
2 Penanaman
3 Pemupukan
4 Pengendalian OPT
5 Penyiangan
6 Panen
7 Sortasi dan grading
8 Pengangkutan

No Biaya Lainnya Jumlah Pengeluaran Keterangan


1 Pinjaman
2 Pajak (PBB)

Permasalahan dalam Usahatani


1. Terkait dengan modal
.........................................................................................................................................
.........................................................................................................................................
2. Terkait input produksi (ketersediaan, harga, cara mendapatkannya)
.........................................................................................................................................
.........................................................................................................................................
3. Terkait budidaya manggis (ketersediaan air, cuaca, bencana alam, penyakit)
.........................................................................................................................................
.........................................................................................................................................
4. Terkait pasca panen (peralatan pasca panen)
.........................................................................................................................................
.........................................................................................................................................
5. Terkait pemasaran (harga, kesulitan memasarkan, daya tawar rendah)
.........................................................................................................................................
.........................................................................................................................................
92

Lampiran 2 Perhitungan premium nilai tukar dan nilai tukar bayangan tahun 2016
Uraian Jumlah (Rp)
Total Ekspor (Xt) 1.930.686.237.149.310
Total Impor (Mt) 1.803.911.153.830.300
Penerimaan Pajak Ekspor (TXt) 2.987.918.353.314
Penerimaan Pajak Impor (TMt) 32.291.699.425.307
Nilai Tukar Rupiah/USD (OERt) 13.298
SCFt 101%
SERt 13.210
Sumber : BPS (2017)
Kementrian Keuangan (2017)

Xt+Mt
SCFt =
(X-Tx)+(M+Tm)
1.930.686.237.149.310 + 1.803.911.153.830.300
=
(1.930.686.237.149.310 - 2.987.918.353.314)+ (1.803.911.153.830.300 – 32.291.699.425.307)

=101%

OERt
SERt =
SCFt
13.298
SERt = = 13.210
101 %

Lampiran 3 Perhitungan harga bayangan manggis


Uraian Jumlah (Rp)
FOB (US$/Ton)
Nilai Tukar Keseimbangan (Rp/$)
FOB Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/Ton)
FOB Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/Kg)* 26.000,00
Biaya Transportasi dan Handling ke Pedagang Besar 1381,34
Harga paritas impor tingkat pedagang besar (Rp/Kg) 24.618,66
Biaya distribusi Tingkat Petani (Rp/Kg) 591,23
Harga Paritas Impor tingkat Petani (Rp/Kg) 24.027,23
Sumber : Data Primer diolah (2017)
*Wijaya (2016)

Lampiran 4 Perhitungan harga bayangan obat-obatan


Uraian Jumlah (Rp)
Harga Aktual 15000
Tarif Impor 10% 1500
PPN 10% 1500
Harga Bayangan 12000
Sumber : Data Primer diolah (2017)
93

Lampiran 5 Perhitungan harga bayangan bahan bakar

Uraian Jumlah (Rp)


Nilai CIF (USS / liter)* 0,42
SER (Rp / USS) 13.210,00
Nilai CIF (Rp / Liter) 5548,02
Biaya distribusi ke pedagang besar (Rp / liter) 2%* 110,96
Harga paritas impor di tingkat pedagang besar (Rp / liter) 5658,98
Biaya distribusi ke tingkat petani (Rp/ Liter) 2%* 113,17
Harga Bayangan Premium (Rp/ Liter) 5772,00
Sumber : *Adiputri (2016)

Lampiran 6 Rata-rata penggunaan input dan output pada usahatani manggis di


Desa Karacak Kecamatan Leuwiliang tahun 2016

Uraian Jumlah Satuan Harga (Rp) Nilai (Rp/Ha)


Output
Buah Manggis 2.199 Kg 9.571 21.049.361
Input
Bibit 5,90 Pohon 25.000 147.549
Pupuk Kandang 1619,79 Kg 300 485.938
Obat-obatan 0,88 Kg 15.000 13.125
Tenaga Kerja
TKDK 8 HOK 40.122 340.678
TKLK 233 HOK 40.122 9.329.822
Penyusutan Alat
Parang 2 Unit 19.632 32.561
Cangkul 3 Unit 24.357 62.378
Golok 1 Unit 14.455 19.390
Garpu 1 Unit 4.471 5.561
Keranjang Plastik 13 Unit 4.000 51.579
Galah 4 Unit 3.000 11.707
Mesin Pembabat 1 Unit 153.000 153.000
BBM 14 Liter 6.950 99.588
Sewa Lahan 1 Tahun 3.000.000 3.000.000
PBB 1 Tahun 117.991 117.991
Sumber : Data Primer diolah (2017)
94

Lampiran 7 Analisis sensitivitas saat terjadi penurunan harga output domestik


sebesar 73,88% (Rp/Ha)

Biaya
Penerimaan Keuntungan
Tradable Non Tradable
Harga Privat 5.498.093 392.971 17.815.963 -12.710.840
Harga Sosial 52.840.815 369.883 17.580.715 34.890.217
Kebijakan -47.342.722 23.087 235.248 -47.601.057

1. Analisis Keuntungan
a. Keuntungan Privat = -12.710.840
b. Keuntungan Sosial = 34.890.217
2. Analisis Daya Saing
a. Private Cost Ratio (PCR) = 3,49
b. Domestic Cost Ratio (DRC) = 0,34
3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah
a. Kebijakan Terhadap Input
- Transfer Input (TI) = 23.087
- Nominal Protection Coefficient in Input (NPCI) = 1,06
- Transfer Faktor (TF) = 235.248
b. Kebijakan Terhadap Output
- Transfer Output = -47.342.722
- Nominal Protection Coefficient in Output (NPCO) = 0,10
c. Kebijakan Terhadap Input – Output
- Effective Protection Coefficient (EPC) = 0,10
- Transfer Bersih (TB) = -47.601.057
- Koefisien Keuntungan (KK) = -0,36
- Subsidi Ratio to Producer (SRP) = -0,90
95

Lampiran 8 Analisis sensitivitas saat harga output domestik sama dengan harga
internasional (Rp/Ha)

Biaya
Penerimaan Keuntungan
Tradable Non Tradable
Harga Privat 52.840.815 392.971 17.815.963 34.631.882
Harga Sosial 52.840.815 369.883 17.580.715 34.890.217
Kebijakan - 23.087 235.248 -258.335

1. Analisis Keuntungan
a. Keuntungan Privat = 34.631.882
b. Keuntungan Sosial = 34.890.217
2. Analisis Daya Saing
a. Private Cost Ratio (PCR) = 0,34
b. Domestic Cost Ratio (DRC) = 0,34
3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah
a. Kebijakan Terhadap Input
- Transfer Input (TI) = 23.087
- Nominal Protection Coefficient in Input (NPCI) = 1,06
- Transfer Faktor (TF) = 235.248
b. Kebijakan Terhadap Output
- Transfer Output =0
- Nominal Protection Coefficient in Output (NPCO) = 1,00
c. Kebijakan Terhadap Input – Output
- Effective Protection Coefficient (EPC) = 1,00
- Transfer Bersih (TB) = -258.335
- Koefisien Keuntungan (KK) = -0,99
- Subsidi Ratio to Producer (SRP) =0
96

Lampiran 9 Analisis sensitivitas saat terjadi peningkatan produksi sebesar 165%


(Rp/Ha)

Biaya
Penerimaan Keuntungan
Tradable Non Tradable
Harga Privat 55.851.487 447.607 18.792.728 36.611.153
Harga Sosial 140.205.590 381.118 18.512.651 121.311.820
Kebijakan -84.354.102 66.488 280.077 -84.700.667

1. Analisis Keuntungan
a. Keuntungan Privat = 36.611.153
b. Keuntungan Sosial = 121.311.820
2. Analisis Daya Saing
a. Private Cost Ratio (PCR) = 0,34
b. Domestic Cost Ratio (DRC) = 0,13
3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah
a. Kebijakan Terhadap Input
- Transfer Input (TI) = 66.488
- Nominal Protection Coefficient in Input (NPCI) = 1,17
- Transfer Faktor (TF) = 280.077
b. Kebijakan Terhadap Output
- Transfer Output = -84.354.102
- Nominal Protection Coefficient in Output (NPCO) = 0,40
c. Kebijakan Terhadap Input – Output
- Effective Protection Coefficient (EPC) = 0,40
- Transfer Bersih (TB) = -84.700.667
- Koefisien Keuntungan (KK) = 0,30
- Subsidi Ratio to Producer (SRP) = -0,60
97

Lampiran 10 Analisis sensitivitas saat terjadi depresiasi nilai tukar sebesar 5,3%
(Rp/Ha)

Biaya
Penerimaan Keuntungan
Tradable Non Tradable
Harga Privat 22.164.977 445.974 18.778.034 2.940.969
Harga Sosial 55.641.378 381.118 18.512.651 36.747.609
Kebijakan -33.476.401 64.856 265.383 -33.806.640

1. Analisis Keuntungan
a. Keuntungan Privat = 2.940.969
b. Keuntungan Sosial = 36.747.609
2. Analisis Daya Saing
a. Private Cost Ratio (PCR) = 0,86
b. Domestic Cost Ratio (DRC) = 0,34
3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah
a. Kebijakan Terhadap Input
- Transfer Input (TI) = 64.856
- Nominal Protection Coefficient in Input (NPCI) = 1,17
- Transfer Faktor (TF) = 265.383
b. Kebijakan Terhadap Output
- Transfer Output = -33.476.401
- Nominal Protection Coefficient in Output (NPCO) = 0,40
c. Kebijakan Terhadap Input – Output
- Effective Protection Coefficient (EPC) = 0,39
- Transfer Bersih (TB) = -33.806.640
- Koefisien Keuntungan (KK) = 0,08
- Subsidi Ratio to Producer (SRP) = -0,61
98

Lampiran 11 Analisis sensitivitas saat terjadi apresiasi nilai tukar sebesar 36%
(Rp/Ha)

Biaya
Penerimaan Keuntungan
Tradable Non Tradable
Harga Privat 13.471.591 251.501 11.402.216 1.817.873
Harga Sosial 33.818.122 236.726 11.251.658 22.329.738
Kebijakan -20.346.530 14.776 150.559 -20.511.865

1. Analisis Keuntungan
a. Keuntungan Privat = 1.817.873
b. Keuntungan Sosial = 22.329.738
2. Analisis Daya Saing
a. Private Cost Ratio (PCR) = 0,86
b. Domestic Cost Ratio (DRC) = 0,34
3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah
a. Kebijakan Terhadap Input
- Transfer Input (TI) = 14.776
- Nominal Protection Coefficient in Input (NPCI) = 1,06
- Transfer Faktor (TF) = 150.559
b. Kebijakan Terhadap Output
- Transfer Output = -20.346.530
- Nominal Protection Coefficient in Output (NPCO) = 0,40
c. Kebijakan Terhadap Input – Output
- Effective Protection Coefficient (EPC) = 0,39
- Transfer Bersih (TB) = -20.511.865
- Koefisien Keuntungan (KK) = 0,08
- Subsidi Ratio to Producer (SRP) = -0,61
99

Lampiran 12 Analisis sensitivitas saat pencabutan subsidi solar (Rp/Ha)

Biaya
Penerimaan Keuntungan
Tradable Non Tradable
Harga Privat 21.049.361 394.521 17.829.917 2.824.923
Harga Sosial 52.840.815 369.883 17.580.715 34.890.217
Kebijakan -31.791.454 24.638 249.202 -32.065.294

1. Analisis Keuntungan
a. Keuntungan Privat = 2.824.923
b. Keuntungan Sosial = 34.890.217
2. Analisis Daya Saing
a. Private Cost Ratio (PCR) = 0,86
b. Domestic Cost Ratio (DRC) = 0,34
3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah
a. Kebijakan Terhadap Input
- Transfer Input (TI) = 24.638
- Nominal Protection Coefficient in Input (NPCI) = 1,06
- Transfer Faktor (TF) = 249.202
b. Kebijakan Terhadap Output
- Transfer Output = -31.791.454
- Nominal Protection Coefficient in Output (NPCO) = 0,40
c. Kebijakan Terhadap Input – Output
- Effective Protection Coefficient (EPC) = 0,39
- Transfer Bersih (TB) = -32.065.294
- Koefisien Keuntungan (KK) = 0,08
- Subsidi Ratio to Producer (SRP) = -0,61
100

Lampiran 13 Analisis sensitivitas saat peningkatan subsidi solar (Rp/Ha)

Biaya
Penerimaan Keuntungan
Tradable Non Tradable
Harga Privat 21.049.361 391.420 17.802.009 2.855.932
Harga Sosial 52.840.815 369.883 17.580.715 34.890.217
Kebijakan -31.791.454 21.537 221.294 -32.034.285

1. Analisis Keuntungan
a. Keuntungan Privat = 2.855.932
b. Keuntungan Sosial = 34.890.217
2. Analisis Daya Saing
a. Private Cost Ratio (PCR) = 0,86
b. Domestic Cost Ratio (DRC) = 0,34
3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah
a. Kebijakan Terhadap Input
- Transfer Input (TI) = 21.537
- Nominal Protection Coefficient in Input (NPCI) = 1,06
- Transfer Faktor (TF) = 221.294
b. Kebijakan Terhadap Output
- Transfer Output = -31.791.454
- Nominal Protection Coefficient in Output (NPCO) = 0,40
c. Kebijakan Terhadap Input – Output
- Effective Protection Coefficient (EPC) = 0,39
- Transfer Bersih (TB) = -32.034.285
- Koefisien Keuntungan (KK) = 0,08
- Subsidi Ratio to Producer (SRP) = -0,61
101

Lampiran 14 Analisis sensitivitas saat penggunaan Upah Minimum Regional


(UMR) (Rp/Ha)

Biaya
Penerimaan Keuntungan
Tradable Non Tradable
Harga Privat 21.049.361 393.031 24.831.963 -4.175.632
Harga Sosial 52.840.815 369.933 24.596.720 27.874.162
Kebijakan -31.791.454 23.097 235.243 -32.049.794

1. Analisis Keuntungan
a. Keuntungan Privat = -4.175.632
b. Keuntungan Sosial = 27.874.162
2. Analisis Daya Saing
a. Private Cost Ratio (PCR) = 1,20
b. Domestic Cost Ratio (DRC) = 0,47
3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah
a. Kebijakan Terhadap Input
- Transfer Input (TI) = 23.097
- Nominal Protection Coefficient in Input (NPCI) = 1,06
- Transfer Faktor (TF) = 235.243
b. Kebijakan Terhadap Output
- Transfer Output = -31.791.454
- Nominal Protection Coefficient in Output (NPCO) = 0,40
c. Kebijakan Terhadap Input – Output
- Effective Protection Coefficient (EPC) = 0,39
- Transfer Bersih (TB) = -32.049.794
- Koefisien Keuntungan (KK) = -0,15
- Subsidi Ratio to Producer (SRP) = -0,6
102

Lampiran 15 Dokumentasi penelitian

Kebun manggis milik petani di lokasi Motor roda tiga untuk pasca panen
penelitian manggis

Keranjang plastik untuk pasca panen Outlet oleh-oleh hasil olahan buah
manggis manggis

Kemasan dodol buah manggis


103

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Bogor pada tanggal 19 Oktober 1995. Penulis
merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari Bapak Rizal Fahlevi dan Ibu
Rusminah. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 2007 di
SD Pertiwi Bogor. Pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) diselesaikan di
SMP Negeri 2 Kota Bogor pada tahun 2010 dan pendidikan Sekolah Menengah
Atas (SMA) diselesaikan pada tahun 2013 di SMA Negeri 6 Kota Bogor. Penulis
diterima masuk di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN pada Mayor
Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut
Pertanian Bogor.
Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis pernah mengikuti kegiatan
kepanitiaan seperti Staff Humas acara ESL Day 2015 dan Staff Konsumsi acara
Greenstation 2015 oleh Himpunan Profesi REESA IPB, serta Staff Logistik acara
The 13th Economic Contest 2015 oleh BEM FEM IPB.

Você também pode gostar