Você está na página 1de 9

Gele Harun Nasution: Pahlawan Lampung

Berdarah Batak

Ilustrasi Gele Harun Nasution, pahlawan Lampung.

Oleh: Iswara N Raditya - 4 April 2018


Dibaca Normal 2 menit
Lahir di Sibolga, Sumatera Utara, Gele Harun ditetapkan sebagai Pahlawan Daerah
Lampung. Ia memimpin perlawanan terhadap pendudukan Belanda dari ujung selatan
Sumatera.
tirto.id - Betapa sedih Gele Harun Nasution dan istrinya pada pertengahan 1949 itu. Di
pedalaman Lampung Barat, putri kesayangan mereka sudah tidak sanggup bertahan lagi. Bayi
berusia 8 bulan itu awalnya sakit, tetapi hidupnya tidak tertolong karena obat-obatan yang tak
memadai, begitu pula stok makanan yang amat terbatas.

Gele Harun yang kala itu menjabat sebagai pelaksana tugas Residen Lampung memang
sedang bergerilya. Bersama laskar rakyat dan warga Lampung, mereka menghadapi ancaman
Belanda yang ingin kembali berkuasa. Gele Harun dan orang-orangnya terpaksa bermarkas di
pedalaman untuk menghindari serangan musuh yang bersenjata lebih lengkap dan canggih.

Baca juga: Mengenal Kerajaan Sekala Brak sebagai Leluhur Lampung

Setelah penyerahan kedaulatan secara penuh dari Belanda kepada pemerintah Indonesia pada
akhir 1949, karier politik Gele Harun berjalan mulus. Dari Residen Lampung, kemudian ke
Jakarta sebagai anggota Dewan Konstituante, hingga anggota DPR-GR dan MPR-S.

Tahun 1968, masa tugasnya di parlemen berakhir. Gele Harun pun kembali ke Lampung dan
kembali menjalani profesi lamanya sebagai advokat sampai wafatnya pada 4 April 1973,
tepat hari ini 45 tahun silam. Pada 10 November 2015 lalu, pria Batak ini ditetapkan sebagai
Pahlawan Daerah Lampung.

Anak Sibolga Lulusan Belanda


Amiruddin Sormin dalam 100 Tokoh Terkemuka Lampung: 100 Tahun Kebangkitan
Nasional (2008) menggambarkan sosok Gele Harun Nasution yang mudah dikenali.
“Perawakannya sangat khas: berewokan, kepala plontos, dan (biasanya) ada handuk kecil
yang melilit di leher. Teman seperjuangannya menjuluki dia Si Berewok” (hlm. 27).

Ditilik dari marganya, Gele Harun Nasution jelas berdarah Batak. Ia lahir di Sibolga,
Sumatera Utara, pada 6 Desember 1910. Namun, Gele Harun justru akrab dengan Lampung
sejak kecil. Ayahnya, Harun Al-Rasyid Nasution, yang berprofesi sebagai dokter, sudah lama
menetap dan punya lahan yang sangat luas di Tanjungkarang Timur, Bandar Lampung.

Pertengahan dekade 1930-an, Gele Harun berkesempatan melanjutkan studi ke sekolah hakim
tinggi di Leiden, Belanda, hingga memperoleh gelar meester in de rechten (Mr). Menjelang
1939, ia kembali ke Lampung dan membuka kantor bantuan hukum pertama di daerah itu.

Berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia yang digantikan pemerintahan militer Jepang


berimbas pada karier Gele Harun di bidang hukum. Sejak 1942, ia ditunjuk sebagai Ketua
Pengadilan Negeri Tanjungkarang hingga 1947.

Pemimpin Darurat Lampung


Kondisi perang yang dimulai tidak lama setelah Indonesia merdeka seiring masuknya
Belanda membuat Gele Harun terlibat langsung dalam kancah pertempuran. Ia memimpin
Angkatan Pemuda Indonesia (API) di Palembang kendati masih menjabat Ketua Mahkamah
Tentara Sumatera Selatan yang diembannya sejak 1947.

Baca juga: Gubernur Sumatera Pertama dan Satu-satunya

Selain di Palembang, API juga berdiri di sejumlah daerah lain di Indonesia, termasuk di
Lampung, Jakarta, Banda Aceh, dan seterusnya. Menurut Saleh As'ad Djamhari dalam
Ichtisar Sedjarah Perdjuangan ABRI: 1945-Sekarang (1971), nama-nama seperti Chairul
Saleh, Wikana, Pangeran Mohammad Nur, dan Nawawi Manaf juga pernah memimpin laskar
perjuangan ini (hlm. 3).

Masa tugasnya sebagai Ketua Mahkamah Tentara Sumatera Selatan di Palembang harus
terhenti pada 1948 setelah Gubernur Jenderal Hindia Belanda (de facto), Hubertus van Mook,
memberi peringatan bahwa seluruh tentara RI, termasuk hakim militer, harus hengkang dari
Palembang.
Gele Harun memilih pulang ke Lampung, bergabung dengan API pimpinan Pangeran
Mohammad Nur. Tak lama berselang, Desember 1948, Belanda melancarkan agresi militer
kedua. Tak hanya di pusat pemerintahan RI di Yogyakarta, namun berdampak pula hingga ke
berbagai daerah, termasuk Lampung.

Sejak akhir 1948, Belanda menduduki Tanjungkarang, ibukota Karesidenan Lampung.


Kondisi ini membuat para pejabat Karesidenan Lampung saat itu, termasuk Rukadi selaku
residen, menyingkir dari Tanjungkarang, sehingga terjadi kekosongan pemerintahan.

Atas dasar itulah, seperti diungkap dalam Sejarah Daerah Lampung (1981), Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) Karesidenan, setelah bermusyawarah dengan para pimpinan partai
politik, pada 5 Januari 1949 sepakat untuk mengangkat Gele Harun Nasution sebagai Kepala
Pemerintah Darurat atau Pejabat Pelaksana Tugas Residen L

Dari Gerilya ke Parlemen


Tanjungkarang yang sudah dikuasai Belanda tidak mungkin lagi ditempati. Maka itu, Gele
Harun berpindah-pindah. Dari Pringsewu, kemudian ke Talang Padang, hingga ke Way
Tenong, kawasan hutan di pedalaman Lampung Barat. Di belantara Way Tenong inilah Gele
Harun kehilangan bayi perempuannya yang sakit lalu meninggal dunia karena minimnya
obat-obatan dan makanan yang layak.

Setelah menguburkan jasad putri kecilnya di tengah hutan, Gele Harun bergerak lagi karena
posisi mereka sudah diketahui Belanda. Dari Way Tenong, seperti tercatat dalam Sejarah
Perkembangan Pemerintahan di Daerah Sumatera Selatan (1996), rombongan ini menaiki
Bukit Kemuning. Mereka pindah lagi ke Pulau Panggung yang berada dalam rangkaian
Pegunungan Bukit Barisan, lalu ke Sumber Jaya, Lampung Barat (hlm. 199).

Situasi mulai membaik setelah disepakatinya gencatan senjata pada 15 Agustus 1949 oleh
pemerintah Indonesia dan Belanda. Gele Harun dan rombongannya memang sudah bisa
keluar dari hutan dan turun bukit. Namun, mereka baru kembali ke Tanjungkarang usai
pengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949.

Baca juga: Warisan Utang Belanda: Tumbal Pengakuan Kedaulatan

Memasuki masa damai, terhitung mulai 1 Januari 1950, Gele Harun resmi ditetapkan sebagai
Residen Lampung. Jabatan ini diemban hingga 7 Oktober 1955. Setelah itu, Gele Harun ke
Jakarta untuk menempati posisi sebagai anggota Dewan Konstituante.

Sejak 1965, Gele Harun akhirnya masuk parlemen. Buku P.N.I. dan Perdjuangannja (1960)
mencatat, ia menjadi anggota DPR Gotong Royong (DPR-GR) sekaligus Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPR-S) mewakili Fraksi Partai Nasional Indonesia
atau PNI (hlm. 279).

Setelah masa jabatannya usai pada 1968, ia pulang ke Lampung dan kembali menekuni
profesi sebagai advokat, hingga wafat pada 4 April 1973 dalam usia 62. Empat puluh dua
warsa kemudian, tepatnya 10 November 2015, Gele Harun, orang Batak bermarga Nasution
itu, ditetapkan sebagai Pahlawan Daerah Lampung.
Dr Abdul Moeloek, Pejuang Kemerdekaan
di Tanah Lampung

Dokter pejuang kemerdekaan, dr. Abdul Moeloek namanya diabadikan sebagai nama Rumah
Sakit Umum Daerah di Lampung. (via: Youtube)

Liputan6.com, Jakarta Dokter Pejuang Kemerdekaan edisi Rabu (9/8/2017) akan


membahas seorang dokter yang berjuang selama perang kemerdekaan di Lampung. Berikut
kisah perjuangan dr. Abdul Moeloek setelah kemarin membahas perjuangan dr. Oen dalam
rangkaian profil dokter pahlawan yang dipersembahkan tim Health-Liputan6.com untuk
merayakan bulan kemerdekaan Indonesia di Agustus ini.

Abdul Moeloek memulai terjun di dunia kedokteran saat berkuliah di STOVIA Jakarta. Lulus
dari STOVIA pada 1932 dia tidak langsung ditugaskan ke Lampung, melainkan bekerja di
RS Kariadi Semarang.

Mengutip buku 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional, Moeloek
mulai bertugas di bagian pesisir Lampung yakni Krui dan Liwa serta Sumatera Selatan pada
1940-1945.

Pada saat itu, Jepang merekrut banyak penduduk lokal untuk dijadikan romusa. Dengan akal
cemerlang, Moeloek punya trik agar warganya tidak menjadi romusa, yakni dengan
memberikan surat keterangan sakit.

Peran Moeloek dalam perang kemerdekaan Indonesia pun sangat besar. Pria kelahiran
Padang Panjang, 10 Maret 1905 ini bertugas menyuplai obat-obatan saat perang
kemerdekaan.

Kebaikan hati serta dedikasinya terhadap profesi dokter terlihat saat perang kemerdekaan.
Moeloek turun tangan membantu korban perang tanpa pandang bulu suku bangsa.

Pertempuran Indonesia melawan Belanda saat itu memakan banyak korban. Moeloek yang
bertugas di Tanjung Karang meminta tenaga medis bertugas membantu siapa saja, baik
tentara Indonesia atau Belanda.

Moeloek menghembuskan napas terakhir pada 1973 pada usia 68 tahun. Walau sudah tiada,
nama Abdul Moeloek hingga kini masih akrab di telinga masyarakat Lampung. Namanya
diabadikan menjadi Rumah Sakit Daerah Dr. H. Abdul Moeloek yang terletak di Tanjung
Karang, Bandar Lampung.
adin Inten II (Lampung, 1834 - Lampung, 5 Oktober 1858[1]) adalah seorang pahlawan
nasional Indonesia. Namanya diabadikan sebagai sebuah Bandara Radin Inten II dan
perguruan tinggi IAIN Raden Intan di Lampung.

Berdasarkan penelitian, Radin Inten II gelar Kesuma Ratu masih keturunan Fatahillah yang
dikenal sebagai Sunan Gunung Jati dari perkawinannya dengan Putri Sinar Alam, seorang
putri dari Minak Raja Jalan Ratu dari Keratuan Pugung, cikal-bakal pemegang kekuasaan di
keratuan tersebut.

Radin Inten II adalah putra tunggal Radin Imba II gelar Kesuma Ratu (1828-1834). Radin
Imba II sendiri putra sulung Radin Inten I gelar Dalam Kesuma Ratu IV (1751-1828).
Dengan demikian, Radin Inten II cucu dari Radin Inten I.

Pada saat Radin Inten II lahir tahun 1834, ayahnya, Radin Imba II, ditangkap oleh Belanda
dan dibuang ke P. Timor, akibat memimpin perlawanan bersenjata menentang kehadiran
Belanda yg ingin menjajah Lampung. Istrinya yg sedang hamil tua, Ratu Mas, tidak dibawa
ke pengasingannya. Pemerintahan Keratuan Lampung dijalankan oleh Dewan Perwalian, yg
dikontrol oleh Belanda.

Radin Inten II tidak pernah mengenal ayah kandungnya tersebut, namun ibunya selalu
menceritakan perjuangan ayahnya sehingga pada saat dinobatkan sebagai Ratu Negara Ratu,
Radin Inten II melanjutkan berjuang memimpin rakyat di daerah Lampung untuk
mempertahankan kedaulatan dan keutuhan wilayahnya. Perjuangannya didukung secara luas
oleh rakyat daerah Lampung dan mendapatkan bantuan dari daerah lain, seperti Banten.

Salah satunya dengan H. Wakhia, tokoh Banten yang pernah melakukan perlawanan terhadap
Belanda dan kemudian menyingkir ke Lampung. Radin Inten II mengangkat H. Wakhia
sebagai penasihatnya. H. Wakhia menggerakkan perlawanan di daerah Semangka dan
Sekampung dengan menyerang pos-pos militer Belanda. Tokoh lain yang juga menjadi
pendukung utama Radin Inten II ialah Singa Beranta, Kepala Marga Rajabasa.

Sementara itu, Radin Inten II memperkuat benteng-benteng yang sudah ada dan membangun
benteng-benteng baru. Benteng-benteng ini dipersenjatai dengan meriam, lila, dan senjata-
senjata tradisional. Bahan makanan seperti beras dan ternak disiapkan dalam benteng untuk
menghadapi perang yang diperkirakan akan berlangsung lama. Semua benteng tersebut
terletak di punggung gunung yang terjal, sehingga sulit dicapai musuh. Beberapa panglima
perang ditugasi memimpin benteng-benteng tersebut. Singaberanta, misalnya, memimpin
benteng Bendulu, sedangkan Radin Inten II sendiri memimpim benteng Ketimbang.

Melihat munculnya kembali perlawanan di daerah Lampung setelah reda selama enam belas
tahun, pada tahun 1851 Belanda mengirim pasukan dari Batavia. Pasukan berkekuatan 400
prajurit yang dipimpin oleh Kapten Jucht ini bertugas merebut benteng Merambung. Akan
tetapi, mereka dipukul mundur oleh pasukan Radin Inten II. Karena gagal merebut
Merambung, Belanda mengubah taktik. Kapten Kohler, Asisten Residen Belanda di Teluk
Betung, ditugasi untuk mengadakan perundingan dengan Radin Inten II.

Setelah berkali – kali mengadakan perundingan, akhirnya dicapai perjanjian untuk tidak
saling menyerang. Belanda mengakui eksistensi Negara Ratu. Raden Inten II pun mengakui
kekuasaan Belanda di tempat – tempat yang sudah mereka duduki. Perjanjian itu digunakan
Belanda hanya sebagai adem pause menunggu kesempatan untuk melancarkan serangan besar
– besaran. Bagi mereka dengan cara apa pun, Raden Inten II harus ditundukan.

Belanda yakin, selama Radin Inten II masih berkuasa, kedudukan mereka di Lampung akan
tetap terancam. Namun, sebelum memulai serangan-serangan baru, Belanda berusaha
memecah belah masyarakat Lampung. Kelompok yang satu diadu dengan kelompok yang
lain. Di kalangan masyarakat ditimbulkan suasana saling mencurigai. Tugas itu dipercayakan
kepda Kapten Kohler.

Di beberapa tempat usahanya berhasil. Pemuka – pemuka masyarakat Kalianda, misalnya,


termakan hasutan untuk memusuhi Radin Inten II, sehingga mereka tidak menghalang –
halangi pasukan Belanda berpatroli di sekitar Gunung Rajabasa.

Pada tanggal 10 Agustus 1856 pasukan Belanda diberangkatkan dari Batavia dengan
beberapa kapal perang. Pasukan ini dipimpin oleh Kolonel Welson dan terdiri atas pasukan
infanteri, artileri dan zeni disertai sejumlah besar kuli pengangkut barang. Esok harinya
mereka mendarat di Canti. Kekuatan mereka bertambah dengan bergabungnya pasukan
Pangeran Sempurna Jaya Putih, bangsawan Lampung yang sudah memihak Belanda.

Iring – iringan kapal perang Belanda yang memasuki perairan Lampung ini dilihat oleh
Singaberanta dari Benteng Bendulu. Ia segera mengirim kurir ke Benteng Ketimbang untuk
memberitahukan hal itu kepada Radin Inten II yang selanjutnya memerintahkan pasukannya
di benteng-benteng lain agar menyiapkan diri.

Belanda mengirim ultimatum kepada Radin Inten II agar paling lambat dalam waktu lima
hari ia dam seluruh pasukannya menyerahkan diri. Bila tidak, Belanda akan melancarkan
serangan. Singaberanta pun dikirimi surat yang mengajaknya untuk berdamai. Sambil
menunggu jawaban dari Radin Inten II dan Singaberanta, pasukan Belanda mengadakan
konsolidasi. Radin Inten II pun meningkatkan persiapannya.

Benteng-benteng diperkuat. Beberapa orang kepercayaannya diperintahkan memasuki


daerah-daerah yang sudah dikuasai Belanda untuk menganjurkan penduduk di tempat
tersebut agar mengadakan perlawanan. Sampai batas waktu ultimatum berakhir, baik Radin
Inten II maupun Singaberanta tidak memberikan jawaban.

Maka, pada tanggal 16 Agustus 1856 pasukan Belanda pun mulai melancarkan serangan.
Sasaran mereka hari itu ialah merebut Benteng Bendulu. Pukul 08.00 mereka sudah tiba di
Bendulu setelah menempuh jarak setapak di punggung gunung yang cukup terjal.

Akan tetapi, mereka menemukan benteng itu dalam keadaan kosong. Singaberanta sudah
memindahkan pasukannya ke tempat lain. Ia dengan sengaja menghindari perang terbuka,
sebab yakin bahwa pasukan lawan yang dihadapinya jauh lebih kuat. Pasukannya disebar di
tempat-tempat yang cukup tersembunyi dengan tugas melakukan pencegatan terhadap patroli
pasukan Belanda yang keluar benteng. Sesudah menduduki Benteng Bendulu, sebagian
pasukan Belanda bergerak ke benteng Hawi Berak yang dapat mereka kuasai pada tanggal 19
Agustus.

Di Bendulu, pasukan Belanda berhasil menangkap seorang kemenakan Singaberanta dan 14


orang lainnya. Mereka dipaksa menunjukkan tempat Singaberanta dan menunjukkan jalan
menuju Ketimbang. Semuanya mengatakan tidak tahu. Namun, mereka terpaksa
menunjukkan tempat Singaberanta menyimpan senjata, antara lain 25 tabung mesiu, 1 pucuk
meriam, 4 pucuk lila, dan beberapa pucuk senapan.

Sasaran utama Belanda ialah merebut benteng Ketimbang, sebab di benteng inilah Radin
Inten II bertahan. Untuk merebut benteng ini, kolonel Waleson membagi tiga pasukannya.
Satu pasukan bergerak dari Bendulu ke arah selatan dan timur Gunung Rajabasa, satu
pasukan bergerak menuju Kalianda dan Way Urang dengan tugas merebut benteng
Merambung dan setelah itu langsung menuju Ketimbang.

Pasukan ketiga bergerak dari Panengahan untuk merebut benteng Salai Tabuhan dan
selanjutnya menuju Ketimbang. Ternyata, pelaksanaannya tidak semudah seperti yang
direncanakan. Kesulitan utama ialah Belanda belum mengetahui jalan menuju Ketimbang.
Penduduk yang tertangkap tidak mau menunjukkan jalan tersebut. Oleh karena itu, pasukan
yang langsung dipimpin Kolonel Welson dan sudah menduduki Hawi Berak, terpaksa
kembali ke Bendulu. Pasukan lain yang dipimpin Mayor Van Ostade berhasil mencapai Way
Urang yang penduduknya sudah memihak Belanda. Walaupun pasukan ini sempat tertahan di
Kelau akibat serangan yang dilancarkan pasukan Radin Inten II, namun akhirnya mereka
berhasil juga merebut benteng Merambung.

Sebenarnya, letak benteng Ketimbang tidak jauh dari benteng Merambung. Akan tetapi,
Belanda tidak mengetahuinya. Kesulitan untuk mengetahui jalan menuju Ketimbang baru
dapat mereka atasi pada tanggal 26 Agustus. Pada hari itu Belanda berhasil menangkap dua
orang anak muda. Seorang diantaranya ditembak mati karena berusaha melarikan diri. Yang
seorang lagi diancam akan dibunuh bila tidak mau menunjukkan jalan ke Ketimbang. Anak
muda itupun terpaksa menuruti kehendak Belanda.

Setelah jalan ke Ketimbang diketahui, Kolonel Welson segera memerintahkan pasukannya


untuk melakukan serbuan. Subuh tanggal 27 Agustus mereka mulai bergerak. Ketika tiba di
Galah Tanah pukul 10.00 mereka dihadang oleh pasukan Radin Inten II. Pertempuran di
tempat ini dimenangi oleh Belanda. Begitu pula pertempuran berikutnya di Pematang Sentok.
Sebagian pasukan ditinggalkan di Pematang Sentok dan sebagian lagi meneruskan gerakan ke
Ketimbang. Tengah hari pasukan ini sudah tiba di Ketimbang. Sesudah itu datang pula
pasukan lain, termasuk pasukan Pangeran Sempurna Jaya Putih. Ternyata, benteng
Ketimbang sudah ditinggalkan oleh Radin Inten II dan pasukannya. Dalam benteng ini
Belanda menemukan bahan makanan dalam jumlah yang cukup banyak. Benteng Ketimbang
sudah jatuh ke tangan Belanda. Akan tetapi, Kolonel Welson kecewa, sebab Radin Inten II
tidak tertangkap atau menyerah.

Welson mengirimkan pasukannya ke berbagai tempat untuk mencari Radin Inten II.
Sebaliknya, untuk mengacaukan pendapat Belanda, Radin Inten II menyebarkan berita-berita
palsu melalui orang-orang kepercayaannya. Beredar berita bahwa ia sudah menyerah di Way
Urang. Welson pun segera menuju Way Urang. Ternyata, orang yang dicarinya tidak ada di
tempat itu. Seorang perempuan melaporkan pula bahwa Radin Inten II ada di Rindeh dan
hanya ditemani oleh beberapa orang pengikutnya. Berita itu pun ternyata berita bohong.
Suatu kali, Belanda mengetahui tempat persembuyian Radin Inten II. Tempat itu pun
dikepung di bawah pimpinan Kapten Kohler. Akan tetapi, Radin Inten II berhasil meloloskan
diri.

Sampai bulan Oktober 1856 sudah dua setengah bulan Belanda melancarkan operasi militer.
Satu demi satu benteng pertahanan Radin Inten II berhasil mereka duduki. Namun, Radin
Inten II masih belum tertangkap. Sementara itu, Belanda mendapat laporan bahwa Radin
Inten II sudah pergi ke bagian utara Lampung, menyeberangi Way Seputih. Berita lain
mengabarkan bahwa Singaberanta berada di Pulau Sebesi.

Belanda mengarahkan pasukan untuk memotong jalan Radin Inten II. Pasukan juga dikirim
ke Pulau Sebesi untuk mencari Singaberanta. Hasilnya nihil. Baik Radin Inten II maupun
Singaberanta tidak mereka temukan. Kolonel Welson hampir putus asa, ia merasa
dipermainkan oleh seorang anak muda berumur 22 tahun.

Akhirnya, Waleson menemukan cara lain. Ia berhasil memperalat Radin Ngerapat. Maka
pengkhianatan pun terjadi. Radin Ngerapat mengundang Radin Inten II untuk mengadakan
pertemuan. Dikatakannya bahwa ia ingin membicarakan bantuan yang diberikannya kepada
Radin Inten II. Tanpa curiga, Radin Inten II memenuhi undangan itu. Pertemuan diadakan
malam tanggal 5 Oktober 1856 di suatu tempat dekat Kunyanya. Radin Inten II ditemani oleh
satu orang pengikutnya. Radin Ngerapat disertai pula oleh beberapa orang. Akan tetapi, di
tempat yang cukup tersembunyi, beberapa orang serdadu Belanda sudah disiapkan untuk
bertindak bila diperlukan. Radin Ngerapat mempersilahkan Radin Inten II dan pengiringnya
memakan makanan yang sengaja dibawanya terlebih dahulu.

Pada saat Radin Inten menyantap makanan tersebut, secara tiba-tiba ia diserang oleh Radin
Ngerapat dan anak buahnya. Perkelahian yang tidak seimbang pun terjadi. Serdadu Belanda
keluar dari tempat persembunyiannya dan ikut mengeroyok Radin Inten II. Radin Inten II
tewas dalam perkelahian itu. Malam itu juga mayatnya yang masih berlumuran darah
diperlihatkan kepada Kolonel Welson.

Raden Inten II tewas karena pengkhianatan yang dilakukan oleh orang sebangsanya dalam
usia sangat muda, 22 tahun. Pada tahun 1986 Pemerintah Republik Indonesia
menganugerahinya gelar pahlawan nasional (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia
No. 082 Tahun 1986 tanggal 23 Oktober 1986)

Raden Inten II

Você também pode gostar