Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Kolusi Dan Nepotisme Anggaran Belanja APBN Dan APBD. Sistem Kontrol
Terintegrasi Dan Sumber Daya Manusia Berdudaya Anti Korupsi Sebagai Solusi
Pencegahan Dan Pemberantasannya.
Teknologi canggih tak ubahnya seperti senjata canggih. Oleh penggunanya, senjata canggih
tersebut dapat digunakan untuk memproteksi diri dari serangan musuh atau sekaligus untuk
membunuh musuh yang menyerangnya.
Senjata canggih tersebut juga dapat digunakan untuk bunuh diri atau membunuh orang lain
yang tidak berdoa. Semuanya tergantung pada kemauan dan kemampuan penggunanya.
Ini berarti penggunaan teknologi canggih belum tentu bermanfaat bagi penggunanya.
Kualitas penggunanya lah sesungguhnya yang menentukan besaran manfaat sebuah
teknologi canggih bagi penggunanya.
Semakin berkualitas penggunanya, semakin besar pula manfaat teknologi canggih yang
digunakannya. Sebaliknya bila penggunanya tidak berkualitas, teknologi yang paling canggih
sekali pun sulit untuk memberi manfaat kepada penggunanya. Bahkan berpotensi
merugikan penggunanya.
Teknologi E-Budgeting adalah salah satu dari teknologi canggih pengendalian anggaran.
Teknologi E-Budgeting yang merupakan bagian dari Sistem Informasi Manajmen (SIM) ini
mulai banyak digunakan oleh beberapa korporasi atau perusahaan swasta bersekala besar
untuk mengontrol anggaran belanjanya pada era tahun sembilan puluhan dan awal tahun
dua ribuan.
Tujuannya tentu untuk meningkatkan efisiensi anggaran belanja dan produktifitas proses
bisnis korporasi atau perusahaan di semua area manajemennya (riset dan pengembangan,
pemasaran, sumber daya manusia, produksi dan keuangan).
Korporasi atau perusahaan swata pengguna E-Bugedting saat itu cukup berhasil
meningkatkan efisiensi anggaran belanja dan produktifitas proses bisnis mereka dalam
rangka meningkatkan daya saing korporasi atau perusahaan secara menyeluruh,
termasuk produk (barang dan atau jasa) mereka di pasar.
Berselang beberapa tahun, beberapa korporasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mulai
menerapkan tehnologi E-Budgetingini, menyusul kemudian beberapa dan Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD) melakukan hal yang sama, namun sayang hasilnya kurang
menggembirakan.
Efisiensi anggaran belanja dan produktifitas proses bisnis korporasi di atas ternyata tidak
meningkat secara signifikan, bahkan malah terjadi pemborosan capital
expenditure dan operational expenditure akibat adanya biaya pengadaan teknologi E-
Budgeting, biaya training operator dan biaya operasi malah membengkak karena di-mark-
up oleh manajer pelaksana bersekongkol dengan supllier kroninya. Semua bisa diatur.
Sumber pemborosan capital expenditure dan operational expenditure di beberapa korporasi
atau perusahaan yang meng-aplikasikan teknologi E-Budgeting ini, ternyata bukan hanya
karena pengadaan teknologi E-Budgeting saja yang berpotensi di-mark-up, biaya prilaku
(behavior cost) sumber Daya Manusia (SDM) yang telah ternjur ketagihan melakukan
korupsi, kolusi dan nepotisme juga menjadi sumber pemborosan.
Teknologi E-Budgeting tidak bisa dianggap sebagai malaikat yang turun dari langit langsung
menjadi penyelamat anggaran belanja (APBN) pemerintah pusat dan (APBD) pemerintah
daerah seperti yang belakangan dikampanyekan oleh Presiden Jokowi dan Gubernur DKI,
Ahok.
Di pemerintahan kita, baik di pusat maupun di daerah, dimana budaya anti korupsi, kolusi
dan nepotismenya belum terbangun, implementasi teknologi E-Budgeting justru sangat
berpotensi menjadi modus baru monopoli korupsi, kolusi dan nepotisme.
Koruptor dan kroni-kroninya kini semakin kreatif dan inovatif dalam mengembangkan
prilaku korupsinya. Mereka yang berasal dari petualang politik, birokrat, pengusaha
dan supplier ini membentuk tim koruptor untuk merampok anggaran belanja APBN dan
APBD dengan memanfaatkan kelemahan sistem dan teknologi E-Budgeting dan SDM
terkaitnya.
Di pemerintah pusat dan di daerah, yang budaya anti-korupsi, kolusi dan nepotismenya
belum terbangun, implementasi teknologi E-Budgeting justru berpotensi menjadi sumber
modus baru bagi koruptor dan kroni-kroninya untuk mengaburkan korupsi, kolusi dan
nepotisme anggaran belanja APBN dan APBD, sebagaimana telah digambarkan di atas.
Implementasi E-Budgetingdi pemerintah pusat dan daerah yang sistem kontrolnya belum
solid, budaya anti-korupsi, kolusi dan nepotisme dan budaya kompetitifnya belum terbentuk
dan SDMnya juga belum handal seperti saat ini justru berpotensi menjadi sumber
pemborosan baru anggaran belanja APBN dan APBD karena adanya monopoli pengadaan,
training operator dan pengoperasian E-Budgeting yang dikendalikan oleh oknum politisi di
pusat pemerintahan.
Seperti kejahatan lain, Korupsi, kolusi dan nepotisme anggaran belanja APBN dan APBD
tidak pernah terjadi bila tidak ada peluang bagi koruptor dan kroni-kroninya untuk
melakukannnya.
Korupsi, kolusi dan nepotisme anggaran belanja APBN dan APBD selama ini seperti sulit
diatasi. Musuh rakyat ini sebetulnya dapat diatasi bila pemerintah kita (Presiden dan DPR)
mempunyai kemauan politik yang kuat dan kemampuan yang memadai untuk
memberantasnya sampai ke akar-akarnya.
Pemerintah sebaiknya pastikan sistem kontrol yang solid, budaya anti korupsi, kolusi dan
nepotisme SDM terkaitnya telah terbangun terlebih dahulu sebelum E-Budgeting diadakan
dan diimplementasikan di pemerintah pusat, provinsi DKI, provinsi-provinsi lain, kabuptaen
dan kota di seluruh Indonesia..
Kemudian agar lebih efektif, penyelidikan dan penyidikan kejahatan korupsi, kolusi dan
nepotisme anggaran belanja APBN dan APBD sebaiknya diarahkan pada petugas
pelaksana sourcing barang dan jasa, pelaksana entry data supplier, pelaksana tender,
pejabat pembuat komitmen pengadaan barang dan jasa, supplier, pengusaha, kepala
daerah dan staff ahli terkait.
Tulisan ini, sebagian atau secara keseluruhan, tentu diharapkan dapat menjadi pengingat
bagi yang lupa, inspirasi bagi yang belum tahu, pendorong bagi KPK, Polisi, BPKP, PPATK,
Kejaksaan dan Kepala Daerah) dan SDM berbudaya anti-korupsi untuk mencegah dan
memberantas kejahatan korupsi, kolusi dan nepotisme anggaran belanja APBN dan APBD
sampai ke akar-akarnya dan memberi hukuman seberat mungkin kepada koruptor dan
kroni-kroninya.
Ini sekaligus menjadi peringatan keras bagi koruptor dan kroni-kroninya untuk tidak
melakukan atau megurungkan niatnya untuk mengulangi kejahatan kejahatan korupsi,
kolusi dan nepotisme anggaran belanja APBN dan APBD di masa mendatang.
Semoga semua pihak yang disebut di atas dan yang terkait menyadari pentingnya untuk
senantiasa mengevaluasi dan berbenah diri agar dapat berbuat lebih banyak dalam
memberi nilai atau kemanfaatan yang lebih besar bagi seluruh rakyat Indonesia.
E-BUDGETING: MENGAWAL ASPIRASI MASYARAKAT DARI POLITIK
KEPENTINGAN*
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang nomor 25 tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN 2004), paradigma perencanaan pembangunan di Indonesia
telah mengalami perubahan yang sangat signifikan dan kedudukan perencanaan
pembangunan daerah di Indonesia menjadi semakin kuat. Perubahan yang signifikan dalam
penyusunan dokumen perencaan daerah di Indonesia pasca SPPN 2004 (Sjafrizal, 2015:3)
adalah: pertama, menyangkut jenis dokumen pembangunan daerah yang harus dibuat oleh
masing-masing sesuai dengan perkembangan demokratisasi dan otonomi dalam sitim
pemerintahan daerah. Kedua, sesuai denga perubahan jenis dokumen, maka teknis
penyusunan rencana juga mengalami perubahan yang cukup mendasar. Ketiga, tahapan
penyusunan rencana juga mengalami perubahan untuk dapat menerapkan sistim
perencanaan partisipatif (participatory planning) guna meningkatkan penyerapan aspirasi
masyarakat dalam penyusunan rencana pembangunan.
Paradigma lama perencanaan pembangunan ialah perencanaan pembangunan yang bersifat
top down yaitu dengan membuat daftar usulan kegiatan sebanyak-banyaknya, seindah-
indahnya dan tidak terbatas (Purnamasari, 2008:3). Semua dokumen perencanaan hingga
penentuan anggaran berasal dari pusat. Walaupun setiap tahun ada yang disebut dengan
Rapat Koordinasi Pembangunan (Rakorbang) namun itu hanyalah acara seremonial belaka,
karena pemerintah pusat sesungguhnya sudah menetapkan rencana pembangunan untuk
suatu daerah tertentu. Partisipasi yang didengungkan dalam proses Rakorbang hanyalah
omong kosong belaka dan masyarakat dijadikan pelengkap penderita dalam nuansa
simbolisme.
Tentu saja paradigma lama ini sangat banyak ditentang oleh masyarakat dan juga para praktisi
pembangunan yang langsung turun ke lapangan. Hal ini didasari pada pemikiran bahwa
bagaimana pemerintah yang paling atas mengetahui kebutuhan masyarakat pada level yang
paling bawah dengan banyaknya tahapan birokrasi, luasnya wilayah dan kemajukan budaya
bangsa Indonesia. Oleh karena itu, untuk tercapainya keberhasilan pembangunan masyarakat
di daerah (mulai dari desa) maka segala program perencanaan, pelaksanaan serta evaluasi
pembangunan harus melibatkan masyarakat, karena merekalah yang mengetahui
permasalahan dan kebutuhan di wilayah mereka sendiri. Mereka pulalah yang akan
memanfaatkan dan menilai tentang berhasil atau tidaknya pembangunan di wilayah mereka.
Maka dari situlah muncul konsep pembangunan yang berpusat pada rakyat (people centered
development), yang terintegrasi dengan paradigma sosial budaya sebagai keseluruhan proses
pembangunan masyarakat (Dilla, 2010:105).
Mengapa keterlibatan masyarakat sangat penting dalam pembangunan? Conyers (dalam
Purnamasari, 2008:2) mengemukakan 3 (tiga) alasan utama mengapa partisipasi masyarakat
begitu penting dalam perencanaan, yaitu:
1. Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai
kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat.
2. Masyarakat akan lebih mempercayai program kegiatan pembangunan apabila mereka
dilibatkan dalam persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk
beluk program kegiatan tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap program
kegiatan tersebut.
3. Mendorong partisipasi umum karena akan timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak
demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan.
Konsep pembangunan partisipatoris atau pembangunan yang berpusat pada rakyat ini pun
langsung mendapat posisi yang sangat strategis dalam perencanaan pembangunan di
Indonesia. Sejak diterapkannya sistim otonomi daerah tahun 2001 dan terbitnya undang-
undang SPPN tahun 2004 merubah total mekanisme perencanaan pembangunan menjadi
kewenangan daerah (desentralisasi pembangunan). Peranan perencanaan pembangunan
daerah menjadi semakin penting dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan
daerah di Indonesia dan sekaligus juga dalam meningkatkan kontribusi daerah terhadap
pembangunan nasional secara keseluruhan.
Akan tetapi, dalam perjalanannya perencanaan pembangunan tentu saja tidak berjalan
dengan mulus. Muncul berbagai macam permasalahan-permasalahan pokok dalam
perencanaan. Permasalahan ini muncul baik dalam tahapan perencanaan maupun dalam
tahapan pelaksanaan. Permasalahan yang paling mencolok dan cukup menyita perhatian
publik akhir-akhir ini ialah tentang politik kepentingan dalam perencanaan pembangunan.
Kejadian-kejadian seperti ini sering terjadi ketika tahapan perencanaan sudah memasuki
tahapan penganggaran. Faktor internal yang bersumber dari eksekutif sendiri ialah dimana
masing-masing dinas dan instansi cenderung mengedepankan ego sektoral, merasa hanya
tugas dan fungsinyalah yang paling penting dalam kegiatan pembangunan.
Disamping itu, perencanaan pembangunan tentu saja tidak hanya direncanakan dua pihak
saja antara pemerintah daerah (eksekutif) dengan masyarakat. Dalam perencanaan juga ada
peran dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai lembaga legisatif yang memiliki
fungsi legislasi (legislation), pengawasan (controlling) dan penganggaran (budgetting). Pada
prinsipnya tahapan perencanaan dilakukan secara terbuka melalui mekanisme resmi, antara
lain; Musrenbang Desa, Musrenbang Kecamatan, Forum SKPD, Musrenbang Daerah,
Musrenang Provinsi dan Musrenbang Nasional. Bahkan dalam semua tahapan itu diberi ruang
yang sangat luas kepada setiap anggota DPRD untuk memberikan Pokok-Pokok Pikiran DPRD
sebelum sebuah perencanaan ditetapkan sebagai Peraturan Daerah (diadopsi dari proses
perencanaan dan penggangaran dalam UU No. 25 tahun 2004).
Namun apa yang terjadi ketika sebuah anggaran sudah ditetapkan ialah munculnya berbagai
macam program yang tidak pernah direncanakan sebelumnya dan juga dengan anggaran yang
jumlahnya fantastis. Tentu saja jika kita merunut semua proses perencanaan yang terjadi
tentu saja setiap program dan kegiatan dalam rencana kerja dan anggaran pasti sudah
melewati tahapan perencanaan dan evaluasi. Tetapi kita tidak bisa menutup mata bahwa
realita di lapangan ialah bahwa sering terjadi ‘main mata’ antara oknum dari SKPD dengan
oknum anggota DPRD. Ada banyak alasan hal ini bisa terjadi, mungkin untuk mengamankan
posisi pejabat-pejabat tertentu, mungkin untuk memuluskan lobi dan negosiasi anggaran di
DPRD atau mungkin memang sudah merencanakan sebuah misi tertentu yang ujung-ujung
adalah tindakan koruptif.
Misalkan saja kasus anggaran siluman yang diungkap oleh Basuki Tjahaya Purnama (Ahok)
pada APBD DKI Jakarta tahun 2015. Tidak tanggung-tanggung dengan Provinsi sebesar DKI
Jakarta maka potensi mark up dan manipulasi anggaran bisa mencapai Rp. 12,1 Trilyun.
Notabene manipulasi anggaran siluman ini terjadi karena ada oknum dari pemerintah dan
anggota DPRD yang main mata menyusupkan program-program yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan dan sifatnya mubazir serta tidak bermanfaat. Hal ini tentu saja
sangat mengecewakan dan merusak kepercayaan rakyat yang telah diberikan kepada
pemerintah dan juga anggota DPRD.
Meskipun kondisinya demikian, bagi Kepala Daerah yang sangat komitmen untuk
mengedepankan pelayanan publik, keterbukaan anggaran dan akuntabilitas tentu akan
menemukan berbagai cara mengatasi kasus-kasus dimaksud. Penerapan sistem e-budgeting
dalam menyusun anggaran sangat efektif untuk mengelola anggaran dan memonitor masalah
(Nuryanto; Koran Jakarta, 5 Maret 2015). Dengan adanya e-budgeting diharapkan akan
mampu mencegah bermacam-macam modus korupsi. Antara lain, penggelembungan harga,
manipulasi spesifikasi barang dan realisasi penggunaan anggaran yang tidak benar.
2. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini ialah; pertama, menjelaskan tentang konsep
pembangunan partisipatif dan perencanaan pembangunan yang diterapkan di Indonesia
dengan model desentralisasi pembangunan. Kedua, menggambarkan dan memberikan
analisa tentang e-budgeting sebagai instrumen bagi pemerintah dalam menjaga transparansi
dan akuntabilitas kinerja pemerintah sehingga politik kepentingan dapat diminimalisir.
Ketiga, memberikan rekomendasi penerapan e-budgeting dalam perencanaan pembangunan
untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih.
3. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini ialah; pertama, manfaat untuk memperkaya kajian komunikasi
pembangunan tentang penerapan media baru dalam pembangunan partisipatif. Kedua,
mendorong pemerintah daerah (khususnya) untuk menerapkan e-budgeting dalam tahapan
perencanaan pembangunan di daerah untuk menghindari politik kepentingan yang merusak
tatanan pembangunan yang transparan dan akuntabel.
BAB II
TINJAUAN TEORETIS
2. Perencanaan Pembangunan
Perencanaan pada dasarnya merupakan cara, teknik atau metode untuk mencapai tujuan
yang diinginkan secara tepat, terarah dan efisien sesuai dengan sumber daya yang tersedia.
Dengan demikian, secara umum perencanaan pembangunan adalah cara atau teknik untuk
mencapai tujuan pembangunan secara tepat, terarah dan efisien sesuai dengan kondisi
negara atau daerah yang bersangkutan.
Jika menurut para ahli, terdapat banyak definisi tentang perencanaan pembangunan,
diantaranya ialah Arthur W. Lewis (dalam Sjafrizal, 2015:24) mengatakan bahwa perencanaan
pembangunan adalah suatu kumpulan kebijaksanaan dan program pembangunan untuk
merangsang masyarakat dan swasta untuk menggunakan sumber daya yang tersedia secara
lebih produktif. Menurut M.L. Jhingan (dalam Sjafrizal, 2015:25) perencanaan pembangunan
ialah pengendalian dan pengaturan perekonomian dengan sengaja oleh suatu penguasa
(pemerintah) pusat untuk mencapai suatu sasaran dan tujuan tertentudi dalam jangka waktu
tertentu pula.
Definisi-definisi di atas merupakan definisi umum yang berlaku secara global dimana sebuah
bangsa merencanakan pembangunan untuk mewujudkan tatanan perekonomian yang baik
yaitu kesejahteraan dan keadilan dalam jangka waktu tertentu. Artinya ialah bahwa setiap
bangsa atau negara mempunyai mekanisme perencanaan pembangunan masing-masing
sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kondisi sosial budaya yang berkembang dalam
masyarakat.
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 mendefinisikan perencanaan pembangunan
sebagai; Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional adalah suatu kesatuan tata-cara
perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan jangka
panjang, jangka menengah dan tahunan, yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara
dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah. Dari definisi ini terlihat dengan jelas bahwa
komponen utama dari perencanaan pembangunan pada dasarnya adalah:
i. Merupakan usaha pemerintah secara terencana dan sistematis untuk
mengendalikan dan mengatur proses pembangunan,
ii. Mencakup periode jangka panjang, menengah dan tahunan,
iii. Menyangkut dengan variabel-variabel yang mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi dan pembangunan secara keseluruhan baik secara langsung maupun tidak
langsung, dan
iv. Mempunyai sasaran pembangunan yang jelas sesuai dengan keinginan
masyarakat.
Dalam mendorong proses pembangunan yang terpadu dan efisien, dalam Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2004 mengemukakan tujuan sasaran pokok perencanaan nasional, adalah:
i. Mendukung kondisi antar pelaku pembangunan.
ii. Menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antar daerah,
antar ruang, antar waktu antar fungsi pemerintah maupun antar pusat dan daerah.
iii. Menjamin keterkaitan dan konsistensi antar perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan dan pengawasan.
iv. Mengoptimalkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan.
v. Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif,
berkeadilan dan berkelanjutan.
3. E-Budgeting
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 dijelaskan 4 (empat) tahap dalam proses
perencanaan pembangunan, yaitu:
a. Tahap penyusunan rencana
Tahap awal kegiatan perencanaan ini adalah menyusun naskah atau rancangan rencana
pembangunan yang secara formal yang menjadi tanggungjawab badan perencana, baik di
pusat maupun di daerah dan dapat dibantu oleh tenaga ahli tambahan dari instansi atau
badan lainnya yang terkait. Karena penyusunan rencana dilakukan dengan menggunakan
pendekatan partisipatif, maka sebelum naskah disusun, terlebih dahulu perlu dilakukan
penjaringan aspirasi dan keinginan masyarakat tentang visi dan misi serta arah
pembangunan.
b. Tahap penetapan rencana
Rancangan rencana pembangunan yang telah selesai baru akan berlaku secara resmi bila
telah mendapat pengesahan dari pihak yang berwenang. Sesuai ketentuan yang berlaku,
salah satu pihak yang perlu mendapat pengesahan yaitu DPRD. Biasanya penetapan rencana
melalui DPRD seringkali memerlukan proses yang cukup lama karena dilakukan pembahasan
kembali oleh pihak dewan.
c. Tahap pengendalian pelaksanaan rencana
Pada tahapan ini sasaran utamanya adalah mematikan agar pelaksanaan kegiatan
pembangunan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
d. Tahap evaluasi keberhasilan pelaksanaan rencana
Pada tahapan akhir ini badan perencana melakukan evaluasi kinerja dari pembanguna yang
telah dilakukan. Evaluasi setidaknya dilakukan pada tiga unsur yaitu: unsur masukan (input)
terutama dana, keluaran (output) dan hasil (outcome).
Pada tahapan perencanaan ini baik pada tahapan pertama maupun tahapan kedua, selain
perencanaan berupa isu strategis, perumusan strategi dan kebijakan, perumusan program
dan kegiatan serta penetapan indikator kinerja program dan kegiatan juga di dalamnya
termasuk penyunan dokumen Kebijakan Umum Anggaran (KUA), Prioritas dan Plafond
Anggaran Sementara (PPAS) dan Rencana Kerja Anggaran. Tiga hal ini juga merupakan
tahapan proses yang harus ditempuh dan dibahas dengan berbagai pihak, termasuk di
antaranya ialah antaran Pemerintah Daerah dengan DPRD (diadopsi dari proses perencanaan
dan penggangaran dalam UU No. 25 tahun 2004).
Untuk mencapai performance anggaran yang baik, terarah, efektif dan efisien maka dalam
tahapan proses penyusunan anggaran ini didorong untuk menggunakan proses penganggaran
berbasis elektronik. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas serta
menghindari keterlambatan penyusunan anggaran dan menghindari program, kegiatan dan
anggaran diluar dari yang disusun dalam dokumen awal. Maka muncullah apa yang disebut
dengan mekanisme ebudgeting pada penyusunan anggaran daerah.
Ada banyak definisi tentang ebudgeting baik dilihat dari pandangan para praktisi anggaran
maupun pandangan para praktisi dunia elektronik. Konsep ebudgeting merupakan
pengembangan konsep budgeting, salah satu financial tools di dalam mengelola suatu
perusahaan maupun pemerintah. Ebudgeting adalah aplikasi teknologi informasi atau
perangkat lunak untuk mendukung siklus, mulai dari perencanaan, pembuatan program,
sapia dengan kendali dan evaluasi.
Pemerintah daerah yang sudah sangat masif menerapkan ebudgeting adalah Pemerintah
Kota (Pemko) Surabaya. Menurut Pemko Surabaya sistim ebudgeting adalah sistim
penyusunan anggaran di lingkungan Pemerintahan Kota Surabaya secara online. Dalam
sistem ini untuk membuat sebuah anggaran, dibutuhkan komponen-komponen penyusun
yang mana komponen-komponen penyusun tersebut merupakan hasil dari survey di
lapangan. Komponen penyusun terdiri dari tiga jenis pengelompokan, yaitu : Standar Harga
Satuan Dasar (SHSD), Harga Satuan Pokok Kegiatan (HSPK), Standar Analisa Belanja (SAB).
Sistem ini dibuat secara online agar dapat diakses oleh dinas dimanapun lokasinya dan juga
dapat diakses pada saat pembahasan dengan dewan.
Fitur-fitur yang terdapat dalam sistim Surabaya ebudgeting adalah:
Pembuatan komponen-komponen penyusun,
Pembuatan program,
Pengiriman rincian anggaran,
Evaluasi anggaran,
Daftar harga dan daftar penyusun komponen,
Rekap anggaran,
History rincian anggaran, dan
Setting kode rekening komponen penyusun anggaran.
Adapun manfaat ebudgeting adalah:
Kontrol akan lebih mudah dilakukan. Hanya mereka yang berhak yang dapat mengakses
dan mengubah anggaran. Karenanya, pelacakan siapa mengisi apa seharusnya juga dapat
dilakukan dengan mudah.
Kontrol dapat dilakukan sejak tahap perencanaan. Jadi, ebudgeting dibuat untuk dapat
menolak usulan yang dianggap tidak relevan.
Transparansi anggaran dapat ditingkatkan.
Kontrol realisasi anggaran akan menjadi lebih mudah dilakukan. Capaian pelaksanaan
program dan keterserapan anggaran bahkan dapat diketahui secara langsung ketika sudah
dilaporkan ke sistem. Dengan demikian, pemerintah menjadi lebih akuntabel, karena setiap
rupiah pengeluaran dapat dilacak dengan mudah.
Penggunaan sistim Surabaya eBudgeting dibagi menjadi 6 (enam) tahapan atau 6 (enam) level
alur ebudgeting:
1. Satuan kerja (Dinas)
Merupakan satuan kerja di lingkungan pemerintah kota Surabaya yang mendapatkan
anggaran dari APBD.
Berhak mengajukan usulan harga SHSD.
Mengisi Rincian Kegiatan sesuai dengan anggaran yang diberikan.
Setiap satuan kerja memiliki beberapa login berdasarkan bidang yang terdapat dalam
dinas tersebut.
2. Tim Peneliti
Merupakan sekelompok orang dari beberapa satuan kerja yang ditunjuk untuk memonitoring
anggaran dari satuan-satuan kerja agar anggaran tersebut sesuai dengan limit yang
ditentukan.
Berhak untuk mengunci kegiatan yang sudah sesuai.
Merasionalisasikan dan menyesuaikan komponen.
Mengedit RKA.
3. Tim Data
Merupakan sekelompok orang yang ditunjuk untuk melakukan survey dan kemudian
membuat komponen penyusun dan menentukan apakah komponen tersebut tidak kena
pajak atau kena pajak.
Berhak untuk memasukkan komponen ke dalam e-budgeting.
Berhak untuk merubah harga komponen yang sudah ada dalam ebudgeting.
Berhak mengunci komponen agar tidak dapat dipilih dalam menyusun RKA.
Berhak menghapus komponen yang sudah terdapat dalam ebudgeting.
4. Bappeko
Merupakan salah satu satuan kerja di pemerintah kota Surabaya yang ditunjuk untuk
menentukan program dan bidang suatu anggaran dalam tiap satuan kerja, tujuannya agar
dapat dilihat secara langsung nilai per program.
Berhak membuat kegiatan dan sub kegiatan untuk satuan-satuan kerja sebelum
dilakukan penganggaran.
5. DPRD (Legislatif)
Dapat melihat usulan dan perencanaan anggaran dari satuan kerja.
6. Administrator
Merupakan user yang dapat melakukan managemen user,database dan dapat mengakases
semua hak user lainnya, seperti :
Mengunci dan membuka akses user.
Mengunci kegiatan yang diusulkan satuan kerja.
Untuk mewujudkan satu sistim ebudgeting maka perlu memperhatikan 3 (tiga) faktor
penting, yaitu:
1. People
Pengelolaan sumber daya manusia (SDM) yang terdiri dari; operator komputer, analisis
Data/DSS, Administrator, dan lain-lain.
2. Process
Proses ini merupakan sistim informasi berupa; ebudgeting yang terintegrasi dengan sitim
lainnya eprocurement, esourcing, edelivery, eperformance, eproject planning, aset, dan lain-
lain.
3. Technology
Teknologi terkait dengan infrastruktur berupa; koneksi jaringan, situasi ruangan yang
memadai, data center, komputer, dan lain-lain.
BAB III
PEMBAHASAN
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Dalam upaya mengawal anggaran yang bersih, terarah, efektif dan efisien sehingga kinerja
perencanaan pembangunan lebih tepat sasaran butuh usaha-usaha yang tidak sekedar biasa-
biasa saja. Dewasa ini ada saja banyak cara yang bisa dilakukan oleh berbagai oknum yang
tidak bertanggungjawab yang menomorduakan kepentingan dan aspirasi masyarakat hanya
untuk kepentingan segelintir orang dan kelompok tertentu. Oleh karena itu dibutuhkan usaha
ekstra, inovasi dan kreatifitas dari pemerintah (pusat dan daerah). Oleh karena itu, saat ini
sebagaimana juga sudah banyak diamatkan dalam banyak peraturan perundang-undangan
tentang penerapan eGoverment dimana salah satu jenisnya adalah sistim eBudgeting.
Pemerintah didorong untuk mengembangkan dan menerapkan sistim ini baik dipusat
maupun di daerah.
Disamping itu, yang tidak kalah pentingnya adalah komitmen dari pemimpin daerah. Hanya
dengan komitmen untuk menjaga pemerintahan yang bersih penerapan sisitim ebudgeting
ini bisa berjalan dengan baik. Komitmen untuk sama sekali tidak ada lagi usul-usul diluar
perencanaan dan pembahasan resmi dari pihak manapun baik eksekutif maupun legislatif.
Dan juga komitmen untuk menempatkan orang-orang yang bersih dan berintegritas sebagai
operator yang memegang administrasi e budgeting.
2. Saran
Penerapan ebudgeting adalah bagian dari penerapan eGovernment pada pemerintah (pusat
dan daerah) agar terwujudnya pemerintahan yang transparan, partisipatif, efektif, efisien dan
akuntabel. Oleh karena itu, mengingat penerapan ebudgeting sangat penting dalam
mendukung tata kelola pemerintahan yang baik maka, kiranya pemerintah pusat membuat
satu sistim atau aplikasi yang bisa digunakan secara serentak diseluruh Indonesia. Karena
dengan demikian, pemerintah daerah yang masih belum ada gagasan penerapan ebudgeting
dapat juga tergerak untuk menerapkannya.
Pemerintahan didaerah juga harus aktif untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang
mampu dalam bidang teknologi dan informasi serta mempersiapkan infastruktur yang
dibutuhkan untuk itu. Dukungn dari berbagai pihak juga sangat dibutuhkan terutama para
praktisi sistim informatika dan dukungan dari lembaga-lembaga pendidikan tinggi dan
penelitian untuk mendukung usaha-usaha pemerintah daerah dalam menerapkan
ebudgeting.
Daftar Pustaka
Adisasmita, Rahardjo. 2006. Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Dilla, Sumadi. 2010. Komunikasi Pembangunan: Pendekatan Terpadu. Bandung: Sembiosa
Rekatama Media.
Harun, Rochajat dan Elvinaro Ardianto. 2011. Komunikasi Pembangunan dan Perubahan
Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.
Nugroho, Riant. 2015. Policy Making: Mengubah Negara Biasa Menjadi Negara Berprestasi.
Jakarta: Alex Media Komputindo
Nuryanto, Hemat Dwi. E-budgetting Minimalkan Siluman (Opini). Koran Jakarta, 5 Maret
2015.
Purnamasari, Irma. 2008. Studi Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan Pembangunan di
Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi. Semarang: Tesis Pascasarjana Universitas
Diponegoro.
Sjafrizal. 2015. Perencanaan Pembangunan Daerah Dalam Era Otonomi. Jakarta: Rajawali
Pers.
Wahid, Fathul. 2015. eBudgeting (Kolom Analisis). Harian Kedaulatan Rakyat, 6 Maret 2015.
Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional.
Website
http://budgeting.surabaya2excellence.or.id/manual_dinas_surabaya_budgeting. Diakses
tanggal 8 Maret 2016, pukul 22.30.
http://budgeting.surabaya2excellence.or.id/SOP_eBudgeting. Diakses tanggal 8 Maret 2016,
pukul 22.35.
Asal Usul Penerapan Sistem e-Budgeting di Pemprov DKI
Andi Muttya Keteng
12 Mar 2015, 02:27 WIB
Wakil Ketua DPRD DKI Abraham 'Lulung' Lunggana dan peserta rapat meninggalkan ruang
mediasi pembahasan APBD 2015 antara Pemprov DKI dengan DPRD DKI Jakarta di Kantor
Kementerian Dalam Negeri, Kamis (5/3/2015) . (Liputan6.com/Herman Zakharia)
Liputan6.com, Jakarta - DPRD DKI hari ini menggelar rapat hak angket untuk menyelidiki
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI, yang dicurigai mengandung anggaran
'siluman', menyusul tudingan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
"Kami sebenarnya tidak pernah tawarkan sistem e-budgeting ke DKI. Kami diundang," kata
Gagat dalam rapat Hak Angket, Jakarta, Rabu (11/3/2015).
Menurut pria asal Jawa Timur ini, pada akhir 2013 Badan Pengelola Keuangan dan Aset
Daerah (BPKAD) dan ada Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) berkunjung ke Pemkot
Surabaya, untuk membahas perihal e-budgeting. Kemudian, Pemkot Surabaya sebagai
perintis sistem ini memperkenalkan Pemprov DKI kepada dirinya.
Setelah itu, kata Gagat, kerja sama pun dimulai. Dia beserta 4 orang timnya direkrut untuk
menjadi konsultan atau tim IT guna menerapkan sistem penganggaran elektronik tersebut di
Jakarta. "Sistem itu sudah lama kami bangun, ada tim yang membangun," sambung dia.
Gagat dan timnya pun mulai membuat master desain sistem e-budgeting untuk APBD DKI
pada 2014 lalu. Namun, karena struktur nya lebih kompleks dari Pemkot Surabaya, maka
dibutuhkan penyesuaian yang banyak. Dari struktur SKPD hingga pola anggarannya, tanpa
mengubah prinsip dasar e-budgeting.
Gagat mengaku, meski sempat bernaung di bawah Universitas Airlangga, tetapi ketika kerja
sama dengan Pemprov DKI dirinya tak membawa institusi, melainkan secara perorangan.
Dia menegaskan sistem e-budgeting ini tidak dijual ke pemerintah, dia hanya mendapatkan
honor sebesar Rp 50 juta lebih untuk satu proyek.
"Saya hanya berempat. Itu pun pada saat awal dan pada saat pick penyusunan APBD. Kita
kan harus menerima konsultasi dari SKPD. Kalau saya sendiri nggak cukup. Ada 4 orang
disitu. Kalau sudah selesai, kami tinggal 1-2 orang untuk mengawal supaya sistem nggak
hang," jelas Gagat.
Dia memastikan walau pun bertanggungjawab pada sistem e-budgeting, namun dirinya tak
mengetahui keseluruhan anggaran yang dimasukkan ke dalam sistem itu. Sejauh ini, apa
yang dia lakukan atas permintaan Pemprov DKI. Jika ada yang harus disesuaikan, pihaknya
hanya menjalankan fungsi teknis.
"Meski pun ada data (APBD) itu di server, saya tidak mempunyai kepentingan untuk melihat
data, apalagi mempublikasikan apabila tanpa izin. Kecuali kalau diminta, Pak Gagat tolong
buat report ini, kami buatkan. Kami profesional," kata Gagat.
Pada 2015, Gagat mengaku, peran pihaknya sudah sangat kecil sekitar 20% pada akhir-akhir
pencetakan APBD DKI. Karena filenya besar, maka membutuhkan memori yang juga besar.
Di situ lah ia berfungsi mengatur sistem e-budgeting.
"Berkaitan dengan posisi kami, sebenarnya sistem itu selesai 2014. Cuma Pemda DKI minta
saya tetap mendampingi, itu pun mendampingi pada proses penyusunan," kata dia.
Gagat menjelaskan, sistem e-budgeting merupakan alat untuk menyusun RAPBD DKI.
Prinsipnya, ada di pola input anggaran. Jika yang selama ini manual menggunakan Microsoft
Excel, dengan e-budgeting maka input pun secara elektronik atau online, dan menggunakan
sistem keamanan dengan password.
"Dengan sistem e-budgeting, tinggal query aja seperti orang beli online," kata Gagat. (Rmn)