Você está na página 1de 20

Penggunaan E-Budgeting Berpotensi Menjadi Modus Baru Pengaburan Korupsi,

Kolusi Dan Nepotisme Anggaran Belanja APBN Dan APBD. Sistem Kontrol
Terintegrasi Dan Sumber Daya Manusia Berdudaya Anti Korupsi Sebagai Solusi
Pencegahan Dan Pemberantasannya.

Teknologi canggih tak ubahnya seperti senjata canggih. Oleh penggunanya, senjata canggih
tersebut dapat digunakan untuk memproteksi diri dari serangan musuh atau sekaligus untuk
membunuh musuh yang menyerangnya.

Senjata canggih tersebut juga dapat digunakan untuk bunuh diri atau membunuh orang lain
yang tidak berdoa. Semuanya tergantung pada kemauan dan kemampuan penggunanya.

Ini berarti penggunaan teknologi canggih belum tentu bermanfaat bagi penggunanya.
Kualitas penggunanya lah sesungguhnya yang menentukan besaran manfaat sebuah
teknologi canggih bagi penggunanya.

Semakin berkualitas penggunanya, semakin besar pula manfaat teknologi canggih yang
digunakannya. Sebaliknya bila penggunanya tidak berkualitas, teknologi yang paling canggih
sekali pun sulit untuk memberi manfaat kepada penggunanya. Bahkan berpotensi
merugikan penggunanya.

Teknologi E-Budgeting adalah salah satu dari teknologi canggih pengendalian anggaran.
Teknologi E-Budgeting yang merupakan bagian dari Sistem Informasi Manajmen (SIM) ini
mulai banyak digunakan oleh beberapa korporasi atau perusahaan swasta bersekala besar
untuk mengontrol anggaran belanjanya pada era tahun sembilan puluhan dan awal tahun
dua ribuan.

Tujuannya tentu untuk meningkatkan efisiensi anggaran belanja dan produktifitas proses
bisnis korporasi atau perusahaan di semua area manajemennya (riset dan pengembangan,
pemasaran, sumber daya manusia, produksi dan keuangan).

Korporasi atau perusahaan swata pengguna E-Bugedting saat itu cukup berhasil
meningkatkan efisiensi anggaran belanja dan produktifitas proses bisnis mereka dalam
rangka meningkatkan daya saing korporasi atau perusahaan secara menyeluruh,
termasuk produk (barang dan atau jasa) mereka di pasar.

Berselang beberapa tahun, beberapa korporasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mulai
menerapkan tehnologi E-Budgetingini, menyusul kemudian beberapa dan Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD) melakukan hal yang sama, namun sayang hasilnya kurang
menggembirakan.

Efisiensi anggaran belanja dan produktifitas proses bisnis korporasi di atas ternyata tidak
meningkat secara signifikan, bahkan malah terjadi pemborosan capital
expenditure dan operational expenditure akibat adanya biaya pengadaan teknologi E-
Budgeting, biaya training operator dan biaya operasi malah membengkak karena di-mark-
up oleh manajer pelaksana bersekongkol dengan supllier kroninya. Semua bisa diatur.
Sumber pemborosan capital expenditure dan operational expenditure di beberapa korporasi
atau perusahaan yang meng-aplikasikan teknologi E-Budgeting ini, ternyata bukan hanya
karena pengadaan teknologi E-Budgeting saja yang berpotensi di-mark-up, biaya prilaku
(behavior cost) sumber Daya Manusia (SDM) yang telah ternjur ketagihan melakukan
korupsi, kolusi dan nepotisme juga menjadi sumber pemborosan.

Teknologi E-Budgeting tidak bisa dianggap sebagai malaikat yang turun dari langit langsung
menjadi penyelamat anggaran belanja (APBN) pemerintah pusat dan (APBD) pemerintah
daerah seperti yang belakangan dikampanyekan oleh Presiden Jokowi dan Gubernur DKI,
Ahok.

Di pemerintahan kita, baik di pusat maupun di daerah, dimana budaya anti korupsi, kolusi
dan nepotismenya belum terbangun, implementasi teknologi E-Budgeting justru sangat
berpotensi menjadi modus baru monopoli korupsi, kolusi dan nepotisme.

Bila teknologi E-Budgeting benar diimplementasikan di DKI dan provinsi-provinsi lain di


Indonesia, kerawanan terjadinya pemborosan capital expenditure dan operational
expenditurepada aplikasi teknologi E-Budgeting sangat mungkin terjadi tahap-tahap dan
proses-proes berikut:
1. Tahap dan proses pembuatan keputusan dan kebijakan implementasi E-Budgeting sarat
dengan kepentingan politis penguasa dan kroni-kroninya. Modusnya: Petualang politik
penguasa atau kroninya bersekongkol dengan pengusaha atau supplier E-Budgeting untuk
pengadaannya. Harga dan pembagian "keuntungan" diatur tahu sama tahu.
2. Tahap dan proses sourcing supplier teknologi E-Budgeting. Modusnya: Petualang politik
penguasa atau kroninya bersekongkol dengan eksekutif kroninya untuk memasukkan
teknologi E-Budgeting supplier "titipan"nya ke dalam daftar rekanan supplier teknologi E-
Budgeting pemerintah pusat atau pemerintah daerah.
3. Tahap dan proses pelaksanaan tender pengadaan teknologi E-Budgeting. Modusnya:
Pelaksana tender pengadaan teknologi E-Budgeting memenagkan supplier “titipan” secara
terselubung dan prosedural.Tender pura-pura diatur diikuti beberapa perusahaan supplier
rekanan yang sebetulnya semuanya adalah perusahaan kroni-kroninya. Supplier "titipan"
tentu menjadi pemenangnya.
4. Tahap dan proses pembuatan komitmen pengadaan E-Budgeting yang penuh permainan.
Modusnya: Pejabat pembuat komitmen pengadaan teknologi E-Budgeting membuat
komitmen pengadaan dengan perusahaan "titipan" petualang politik penguasa secara
prosedural yang rapi.

Mempertimbangkan potensi korupsi, kolusi dan nepotismenya, implementasi E-


Budgeting di pemerintah pusat, DKI dan provinsi-provinsi lain bakal sulit diharapkan untuk
berhasil meningkatkan efisiensi anggaran belanja APBN dan APBD.

Koruptor dan kroni-kroninya kini semakin kreatif dan inovatif dalam mengembangkan
prilaku korupsinya. Mereka yang berasal dari petualang politik, birokrat, pengusaha
dan supplier ini membentuk tim koruptor untuk merampok anggaran belanja APBN dan
APBD dengan memanfaatkan kelemahan sistem dan teknologi E-Budgeting dan SDM
terkaitnya.
Di pemerintah pusat dan di daerah, yang budaya anti-korupsi, kolusi dan nepotismenya
belum terbangun, implementasi teknologi E-Budgeting justru berpotensi menjadi sumber
modus baru bagi koruptor dan kroni-kroninya untuk mengaburkan korupsi, kolusi dan
nepotisme anggaran belanja APBN dan APBD, sebagaimana telah digambarkan di atas.

Implementasi E-Budgetingdi pemerintah pusat dan daerah yang sistem kontrolnya belum
solid, budaya anti-korupsi, kolusi dan nepotisme dan budaya kompetitifnya belum terbentuk
dan SDMnya juga belum handal seperti saat ini justru berpotensi menjadi sumber
pemborosan baru anggaran belanja APBN dan APBD karena adanya monopoli pengadaan,
training operator dan pengoperasian E-Budgeting yang dikendalikan oleh oknum politisi di
pusat pemerintahan.

Seperti kejahatan lain, Korupsi, kolusi dan nepotisme anggaran belanja APBN dan APBD
tidak pernah terjadi bila tidak ada peluang bagi koruptor dan kroni-kroninya untuk
melakukannnya.

Korupsi, kolusi dan nepotisme anggaran belanja APBN dan APBD selama ini seperti sulit
diatasi. Musuh rakyat ini sebetulnya dapat diatasi bila pemerintah kita (Presiden dan DPR)
mempunyai kemauan politik yang kuat dan kemampuan yang memadai untuk
memberantasnya sampai ke akar-akarnya.

Pemerintah sebaiknya pastikan sistem kontrol yang solid, budaya anti korupsi, kolusi dan
nepotisme SDM terkaitnya telah terbangun terlebih dahulu sebelum E-Budgeting diadakan
dan diimplementasikan di pemerintah pusat, provinsi DKI, provinsi-provinsi lain, kabuptaen
dan kota di seluruh Indonesia..

Dengan memberdayakan sistem kontrol anti-korupsi terintegrasi solid (yang melibatkan


KPK, Polisi, BPKP, PPATK, Kejaksaan dan Kepala Daerah) dan SDM berbudaya anti-korupsi
yang memadai dalam jumlah dan kualitas serta serangkaiann upaya pencegahan dan
pemberantasannya yang utuh, menyeluruh, sistematik, terintegrasi, terukur dan
berkelanjutan, korupsi, kolusi dan nepotisme anggaran belanja APBN dan APBD dapat
dicegah.

Kemudian agar lebih efektif, penyelidikan dan penyidikan kejahatan korupsi, kolusi dan
nepotisme anggaran belanja APBN dan APBD sebaiknya diarahkan pada petugas
pelaksana sourcing barang dan jasa, pelaksana entry data supplier, pelaksana tender,
pejabat pembuat komitmen pengadaan barang dan jasa, supplier, pengusaha, kepala
daerah dan staff ahli terkait.

Tulisan ini, sebagian atau secara keseluruhan, tentu diharapkan dapat menjadi pengingat
bagi yang lupa, inspirasi bagi yang belum tahu, pendorong bagi KPK, Polisi, BPKP, PPATK,
Kejaksaan dan Kepala Daerah) dan SDM berbudaya anti-korupsi untuk mencegah dan
memberantas kejahatan korupsi, kolusi dan nepotisme anggaran belanja APBN dan APBD
sampai ke akar-akarnya dan memberi hukuman seberat mungkin kepada koruptor dan
kroni-kroninya.
Ini sekaligus menjadi peringatan keras bagi koruptor dan kroni-kroninya untuk tidak
melakukan atau megurungkan niatnya untuk mengulangi kejahatan kejahatan korupsi,
kolusi dan nepotisme anggaran belanja APBN dan APBD di masa mendatang.

Semoga semua pihak yang disebut di atas dan yang terkait menyadari pentingnya untuk
senantiasa mengevaluasi dan berbenah diri agar dapat berbuat lebih banyak dalam
memberi nilai atau kemanfaatan yang lebih besar bagi seluruh rakyat Indonesia.
E-BUDGETING: MENGAWAL ASPIRASI MASYARAKAT DARI POLITIK
KEPENTINGAN*

Fikar Damai Setia Gea**

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang nomor 25 tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN 2004), paradigma perencanaan pembangunan di Indonesia
telah mengalami perubahan yang sangat signifikan dan kedudukan perencanaan
pembangunan daerah di Indonesia menjadi semakin kuat. Perubahan yang signifikan dalam
penyusunan dokumen perencaan daerah di Indonesia pasca SPPN 2004 (Sjafrizal, 2015:3)
adalah: pertama, menyangkut jenis dokumen pembangunan daerah yang harus dibuat oleh
masing-masing sesuai dengan perkembangan demokratisasi dan otonomi dalam sitim
pemerintahan daerah. Kedua, sesuai denga perubahan jenis dokumen, maka teknis
penyusunan rencana juga mengalami perubahan yang cukup mendasar. Ketiga, tahapan
penyusunan rencana juga mengalami perubahan untuk dapat menerapkan sistim
perencanaan partisipatif (participatory planning) guna meningkatkan penyerapan aspirasi
masyarakat dalam penyusunan rencana pembangunan.
Paradigma lama perencanaan pembangunan ialah perencanaan pembangunan yang bersifat
top down yaitu dengan membuat daftar usulan kegiatan sebanyak-banyaknya, seindah-
indahnya dan tidak terbatas (Purnamasari, 2008:3). Semua dokumen perencanaan hingga
penentuan anggaran berasal dari pusat. Walaupun setiap tahun ada yang disebut dengan
Rapat Koordinasi Pembangunan (Rakorbang) namun itu hanyalah acara seremonial belaka,
karena pemerintah pusat sesungguhnya sudah menetapkan rencana pembangunan untuk
suatu daerah tertentu. Partisipasi yang didengungkan dalam proses Rakorbang hanyalah
omong kosong belaka dan masyarakat dijadikan pelengkap penderita dalam nuansa
simbolisme.
Tentu saja paradigma lama ini sangat banyak ditentang oleh masyarakat dan juga para praktisi
pembangunan yang langsung turun ke lapangan. Hal ini didasari pada pemikiran bahwa
bagaimana pemerintah yang paling atas mengetahui kebutuhan masyarakat pada level yang
paling bawah dengan banyaknya tahapan birokrasi, luasnya wilayah dan kemajukan budaya
bangsa Indonesia. Oleh karena itu, untuk tercapainya keberhasilan pembangunan masyarakat
di daerah (mulai dari desa) maka segala program perencanaan, pelaksanaan serta evaluasi
pembangunan harus melibatkan masyarakat, karena merekalah yang mengetahui
permasalahan dan kebutuhan di wilayah mereka sendiri. Mereka pulalah yang akan
memanfaatkan dan menilai tentang berhasil atau tidaknya pembangunan di wilayah mereka.
Maka dari situlah muncul konsep pembangunan yang berpusat pada rakyat (people centered
development), yang terintegrasi dengan paradigma sosial budaya sebagai keseluruhan proses
pembangunan masyarakat (Dilla, 2010:105).
Mengapa keterlibatan masyarakat sangat penting dalam pembangunan? Conyers (dalam
Purnamasari, 2008:2) mengemukakan 3 (tiga) alasan utama mengapa partisipasi masyarakat
begitu penting dalam perencanaan, yaitu:
1. Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai
kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat.
2. Masyarakat akan lebih mempercayai program kegiatan pembangunan apabila mereka
dilibatkan dalam persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk
beluk program kegiatan tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap program
kegiatan tersebut.
3. Mendorong partisipasi umum karena akan timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak
demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan.
Konsep pembangunan partisipatoris atau pembangunan yang berpusat pada rakyat ini pun
langsung mendapat posisi yang sangat strategis dalam perencanaan pembangunan di
Indonesia. Sejak diterapkannya sistim otonomi daerah tahun 2001 dan terbitnya undang-
undang SPPN tahun 2004 merubah total mekanisme perencanaan pembangunan menjadi
kewenangan daerah (desentralisasi pembangunan). Peranan perencanaan pembangunan
daerah menjadi semakin penting dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan
daerah di Indonesia dan sekaligus juga dalam meningkatkan kontribusi daerah terhadap
pembangunan nasional secara keseluruhan.
Akan tetapi, dalam perjalanannya perencanaan pembangunan tentu saja tidak berjalan
dengan mulus. Muncul berbagai macam permasalahan-permasalahan pokok dalam
perencanaan. Permasalahan ini muncul baik dalam tahapan perencanaan maupun dalam
tahapan pelaksanaan. Permasalahan yang paling mencolok dan cukup menyita perhatian
publik akhir-akhir ini ialah tentang politik kepentingan dalam perencanaan pembangunan.
Kejadian-kejadian seperti ini sering terjadi ketika tahapan perencanaan sudah memasuki
tahapan penganggaran. Faktor internal yang bersumber dari eksekutif sendiri ialah dimana
masing-masing dinas dan instansi cenderung mengedepankan ego sektoral, merasa hanya
tugas dan fungsinyalah yang paling penting dalam kegiatan pembangunan.
Disamping itu, perencanaan pembangunan tentu saja tidak hanya direncanakan dua pihak
saja antara pemerintah daerah (eksekutif) dengan masyarakat. Dalam perencanaan juga ada
peran dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai lembaga legisatif yang memiliki
fungsi legislasi (legislation), pengawasan (controlling) dan penganggaran (budgetting). Pada
prinsipnya tahapan perencanaan dilakukan secara terbuka melalui mekanisme resmi, antara
lain; Musrenbang Desa, Musrenbang Kecamatan, Forum SKPD, Musrenbang Daerah,
Musrenang Provinsi dan Musrenbang Nasional. Bahkan dalam semua tahapan itu diberi ruang
yang sangat luas kepada setiap anggota DPRD untuk memberikan Pokok-Pokok Pikiran DPRD
sebelum sebuah perencanaan ditetapkan sebagai Peraturan Daerah (diadopsi dari proses
perencanaan dan penggangaran dalam UU No. 25 tahun 2004).
Namun apa yang terjadi ketika sebuah anggaran sudah ditetapkan ialah munculnya berbagai
macam program yang tidak pernah direncanakan sebelumnya dan juga dengan anggaran yang
jumlahnya fantastis. Tentu saja jika kita merunut semua proses perencanaan yang terjadi
tentu saja setiap program dan kegiatan dalam rencana kerja dan anggaran pasti sudah
melewati tahapan perencanaan dan evaluasi. Tetapi kita tidak bisa menutup mata bahwa
realita di lapangan ialah bahwa sering terjadi ‘main mata’ antara oknum dari SKPD dengan
oknum anggota DPRD. Ada banyak alasan hal ini bisa terjadi, mungkin untuk mengamankan
posisi pejabat-pejabat tertentu, mungkin untuk memuluskan lobi dan negosiasi anggaran di
DPRD atau mungkin memang sudah merencanakan sebuah misi tertentu yang ujung-ujung
adalah tindakan koruptif.
Misalkan saja kasus anggaran siluman yang diungkap oleh Basuki Tjahaya Purnama (Ahok)
pada APBD DKI Jakarta tahun 2015. Tidak tanggung-tanggung dengan Provinsi sebesar DKI
Jakarta maka potensi mark up dan manipulasi anggaran bisa mencapai Rp. 12,1 Trilyun.
Notabene manipulasi anggaran siluman ini terjadi karena ada oknum dari pemerintah dan
anggota DPRD yang main mata menyusupkan program-program yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan dan sifatnya mubazir serta tidak bermanfaat. Hal ini tentu saja
sangat mengecewakan dan merusak kepercayaan rakyat yang telah diberikan kepada
pemerintah dan juga anggota DPRD.
Meskipun kondisinya demikian, bagi Kepala Daerah yang sangat komitmen untuk
mengedepankan pelayanan publik, keterbukaan anggaran dan akuntabilitas tentu akan
menemukan berbagai cara mengatasi kasus-kasus dimaksud. Penerapan sistem e-budgeting
dalam menyusun anggaran sangat efektif untuk mengelola anggaran dan memonitor masalah
(Nuryanto; Koran Jakarta, 5 Maret 2015). Dengan adanya e-budgeting diharapkan akan
mampu mencegah bermacam-macam modus korupsi. Antara lain, penggelembungan harga,
manipulasi spesifikasi barang dan realisasi penggunaan anggaran yang tidak benar.

2. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini ialah; pertama, menjelaskan tentang konsep
pembangunan partisipatif dan perencanaan pembangunan yang diterapkan di Indonesia
dengan model desentralisasi pembangunan. Kedua, menggambarkan dan memberikan
analisa tentang e-budgeting sebagai instrumen bagi pemerintah dalam menjaga transparansi
dan akuntabilitas kinerja pemerintah sehingga politik kepentingan dapat diminimalisir.
Ketiga, memberikan rekomendasi penerapan e-budgeting dalam perencanaan pembangunan
untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih.

3. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini ialah; pertama, manfaat untuk memperkaya kajian komunikasi
pembangunan tentang penerapan media baru dalam pembangunan partisipatif. Kedua,
mendorong pemerintah daerah (khususnya) untuk menerapkan e-budgeting dalam tahapan
perencanaan pembangunan di daerah untuk menghindari politik kepentingan yang merusak
tatanan pembangunan yang transparan dan akuntabel.

BAB II
TINJAUAN TEORETIS

1. Konsep Pembangunan Partisipatif


Pembangunan partisipatif terdiri dari dua kata kunci utama yaitu; pembangunan dan
partisipasi. Maka untuk memakami konsep pembangunan partisipatif ini baiknya kedua kata
kunci ini dibahas satu persatu terlebih dahulu untuk mendapat pemahaman yang
komprehensif.
a. Pembangunan
Pembangunan jika mengacu pada tujuan akhirnya ialah terjadinya perubahan menuju pada
tingkatan yang lebih baik. Namun demikian terdapat beberapa definisi pembangunan
menurut para ahli sesuai dengan bidang masing-masing dan juga terkait dengan isu-isu
perubahan sosial di tengah-tengah masyarakat.
Menurut Rogers (dalam Dilla, 2010:58) pembangunan merupakan sebagai suatu proses
perubahan sosial dengan partisipatori yang luas dalam suatu masyarakat untuk kemajuan
sosial dan material (termasuk bertambah besarnya keadilan, kebebasan dan kualitas lainnya
yang dihargai) bagi mayoritas rakyat melalui kontrol yang lebih besar yang mereka peroleh
terhadap lingkungan mereka. Definisi ini menggambarkan bahwa pembangunan merupakan
usaha dan keterlibatan semua masyarakat dalam sebuah bangsa menuju pada perubahan
sosial.
Siagian (dalam Purnamasari, 2008:18) memberikan pengertian pembangunan sebagai suatu
usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan
secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka
pembinaan bangsa (nation building). Pengertian ini mengisyaratkan bahwa pembangunan
adalah perubahan kualitas kehidupan masyarakat dalam sebuah negara.
Dissaynake (dalam Dilla, 2010:58) mendefinisikan pembangunan sebagai proses perubahan
sosial yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari seluruh atau mayoritas
masyarakat tanpa merusak lingkungan alam dan kultural tempat mereka berada dan
berusaha melibatkan sebanyak mungkin anggota masyarakat dalam usaha ini dan menjadikan
mereka penentu dari tujuan mereka.
Dari tiga definisi di atas, pembangunan dapat digambarkan sebagai usaha untuk memperbaiki
kualitas hidup masyarakat dan bangsa dengan melibatkan semaksimal mungkin peran
masyarakat dalam merencanakannya sesuai dengan konteks sosial dan budaya dimana
mereka berada. Sehinga benar yang dinyatakan oleh Todaro (dalam Punamasari, 2008:19)
bahwa nilai yang menjadi tujuan pembangunan ada 3 (tiga), yaitu; (1) Live sustainance atau
terpenuhinya kebutuhan dasar manusia berupa sandang, pangan papan, kesehatan, dan
perlindungan dari ancaman, (2) self esteem, kemampuan untuk menjadi diri sendiri, (3)
freedom for survitude, yaitu kemampuan untuk memilih secara bebas.
b. Parsitipasi
Partisipasi adalah tingkat keterlibatan anggota sistim sosial dalam proses pengambilan
keputusan. Tingkat partisipasi anggota sistim sosial dalam pembuatan keputusan
berhubungan positif dengan kepuasan mereka terhadap keputusan inovasi kolektif (Harun
dan Elvinaro, 2011:249). Dalam pemahaman ini mengisyaratkan bahwa hasil dari sebuah
pembangunan awalnya dibangun karena keterlibatan semua unsur dalam masyarakat dalam
memberikan sarana dan pendapat sehingga keputusan yang diambil adalah keputusan yang
terbaik.
Dalam kaitannya dengan pembangunan, partisipasi merupakan keperansertaan semua
anggota atau wakil-wakil masyarakat untuk ikut membuat keputusan dalam proses
perencanaan dan pengelolaan pembangunan termasuk di dalamnya memutuskan tentang
rencana-rencana kegiatan yang akan dilaksanakan, manfaat yang akan diperoleh, serta
bagaimana melaksanakan dan mengevaluasi hasil pelaksanaannya.
Jadi, partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah bagaimana pemerintah dalam
merencanakan pembangunan melibatkan masyarakat secara maksimal karena masyarakatlah
yang lebih memahami keberadaan mereka dalam wilayahnya sendiri. Dengan demikian rasa
kepemilikan dan usaha maksimal dari masyarakat dalam pemperjuangkan pembangunan dan
upaya mereka dalam menjaganya akan lebih maksimal.
Menurut Juliantara (dalam Purnamasari, 2008:31) substansi dari partisipasi adalah
bekerjanya suatu sistem pemerintahan dimana tidak ada kebijakan yang diambil tanpa
adanya persetujuan dari rakyat, sedangkan arah dasar yang akan dikembangkan adalah
proses pemberdayaan, lebih lanjut dikatakan bahwa tujuan pengembangan partisipasi
adalah: Pertama, bahwa partisipasi akan memungkinkan rakyat secara mandiri (otonom)
mengorganisasi diri, dan dengan demikian akan memudahkan masyarakat menghadapi
situasi yang sulit, serta mampu menolak berbagai kecenderungan yang merugikan. Kedua,
suatu partisipasi tidak hanya menjadi cermin konkrit peluang ekspresi aspirasi dan jalan
memperjuangkannya, tetapi yang lebih penting lagi bahwa partisipasi menjadi semacam
garansi bagi tidak diabaikannya kepentingan masyarakat. Ketiga, bahwa persoalan-persoalan
dalam dinamika pembangunan akan dapat diatasi dengan adanya partisipasi masyarakat.
(Juliantara, 2002: 89-90).
c. Pembangunan partisipatif
Jika memperhatikan kedua konsep di atas maka dapat diambil garis besar bahwa
pembangunan partisipatif adalah pembangunan yang melibatkan masyarakat secara
maksimal dalam pengambilan keputusan untuk menghasilkan hasil yang lebih maksimal dan
memuaskan sesuai dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat dalam wilayah tertentu.
Pembangunan partisipatif pada prinsipnya lebih kepada pendekatan pembangunan apa yang
ingin diterapkan dalam suatu masyarakat. Sebagaimana paradigma pembangunan yang telah
dibahas sebelumnya, maka pendekatan pembangunan yang diterapkan di Indonesia saat ini
adalah desentralisasi pembangunan. Pemerintah memberi kewenangan yang sebesar-
besarnya kepada daerah otonom untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Partisipasi yang
dimaksud adalah menyelenggarakan dan mengatur pemerintahan di daerah sesuai dengan
aspirasi masyarakat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pembangunan partisipatif merupakan pendekatan pembangunan dimana masyarakat
melihat lingkungan mereka dengan pendekatan multi sektoral (holistik). Pembangunan
didasarkan pada semangat kemandirian, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan serta
melaksanakan pemanfaatan sumber daya pembangunan secara serasi, selaras dan sinergis
sehingga tercapai optimalisasi (Adisasmita, 2006: 119).

2. Perencanaan Pembangunan
Perencanaan pada dasarnya merupakan cara, teknik atau metode untuk mencapai tujuan
yang diinginkan secara tepat, terarah dan efisien sesuai dengan sumber daya yang tersedia.
Dengan demikian, secara umum perencanaan pembangunan adalah cara atau teknik untuk
mencapai tujuan pembangunan secara tepat, terarah dan efisien sesuai dengan kondisi
negara atau daerah yang bersangkutan.
Jika menurut para ahli, terdapat banyak definisi tentang perencanaan pembangunan,
diantaranya ialah Arthur W. Lewis (dalam Sjafrizal, 2015:24) mengatakan bahwa perencanaan
pembangunan adalah suatu kumpulan kebijaksanaan dan program pembangunan untuk
merangsang masyarakat dan swasta untuk menggunakan sumber daya yang tersedia secara
lebih produktif. Menurut M.L. Jhingan (dalam Sjafrizal, 2015:25) perencanaan pembangunan
ialah pengendalian dan pengaturan perekonomian dengan sengaja oleh suatu penguasa
(pemerintah) pusat untuk mencapai suatu sasaran dan tujuan tertentudi dalam jangka waktu
tertentu pula.
Definisi-definisi di atas merupakan definisi umum yang berlaku secara global dimana sebuah
bangsa merencanakan pembangunan untuk mewujudkan tatanan perekonomian yang baik
yaitu kesejahteraan dan keadilan dalam jangka waktu tertentu. Artinya ialah bahwa setiap
bangsa atau negara mempunyai mekanisme perencanaan pembangunan masing-masing
sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kondisi sosial budaya yang berkembang dalam
masyarakat.
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 mendefinisikan perencanaan pembangunan
sebagai; Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional adalah suatu kesatuan tata-cara
perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan jangka
panjang, jangka menengah dan tahunan, yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara
dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah. Dari definisi ini terlihat dengan jelas bahwa
komponen utama dari perencanaan pembangunan pada dasarnya adalah:
i. Merupakan usaha pemerintah secara terencana dan sistematis untuk
mengendalikan dan mengatur proses pembangunan,
ii. Mencakup periode jangka panjang, menengah dan tahunan,
iii. Menyangkut dengan variabel-variabel yang mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi dan pembangunan secara keseluruhan baik secara langsung maupun tidak
langsung, dan
iv. Mempunyai sasaran pembangunan yang jelas sesuai dengan keinginan
masyarakat.
Dalam mendorong proses pembangunan yang terpadu dan efisien, dalam Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2004 mengemukakan tujuan sasaran pokok perencanaan nasional, adalah:
i. Mendukung kondisi antar pelaku pembangunan.
ii. Menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antar daerah,
antar ruang, antar waktu antar fungsi pemerintah maupun antar pusat dan daerah.
iii. Menjamin keterkaitan dan konsistensi antar perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan dan pengawasan.
iv. Mengoptimalkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan.
v. Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif,
berkeadilan dan berkelanjutan.

3. E-Budgeting
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 dijelaskan 4 (empat) tahap dalam proses
perencanaan pembangunan, yaitu:
a. Tahap penyusunan rencana
Tahap awal kegiatan perencanaan ini adalah menyusun naskah atau rancangan rencana
pembangunan yang secara formal yang menjadi tanggungjawab badan perencana, baik di
pusat maupun di daerah dan dapat dibantu oleh tenaga ahli tambahan dari instansi atau
badan lainnya yang terkait. Karena penyusunan rencana dilakukan dengan menggunakan
pendekatan partisipatif, maka sebelum naskah disusun, terlebih dahulu perlu dilakukan
penjaringan aspirasi dan keinginan masyarakat tentang visi dan misi serta arah
pembangunan.
b. Tahap penetapan rencana
Rancangan rencana pembangunan yang telah selesai baru akan berlaku secara resmi bila
telah mendapat pengesahan dari pihak yang berwenang. Sesuai ketentuan yang berlaku,
salah satu pihak yang perlu mendapat pengesahan yaitu DPRD. Biasanya penetapan rencana
melalui DPRD seringkali memerlukan proses yang cukup lama karena dilakukan pembahasan
kembali oleh pihak dewan.
c. Tahap pengendalian pelaksanaan rencana
Pada tahapan ini sasaran utamanya adalah mematikan agar pelaksanaan kegiatan
pembangunan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
d. Tahap evaluasi keberhasilan pelaksanaan rencana
Pada tahapan akhir ini badan perencana melakukan evaluasi kinerja dari pembanguna yang
telah dilakukan. Evaluasi setidaknya dilakukan pada tiga unsur yaitu: unsur masukan (input)
terutama dana, keluaran (output) dan hasil (outcome).
Pada tahapan perencanaan ini baik pada tahapan pertama maupun tahapan kedua, selain
perencanaan berupa isu strategis, perumusan strategi dan kebijakan, perumusan program
dan kegiatan serta penetapan indikator kinerja program dan kegiatan juga di dalamnya
termasuk penyunan dokumen Kebijakan Umum Anggaran (KUA), Prioritas dan Plafond
Anggaran Sementara (PPAS) dan Rencana Kerja Anggaran. Tiga hal ini juga merupakan
tahapan proses yang harus ditempuh dan dibahas dengan berbagai pihak, termasuk di
antaranya ialah antaran Pemerintah Daerah dengan DPRD (diadopsi dari proses perencanaan
dan penggangaran dalam UU No. 25 tahun 2004).
Untuk mencapai performance anggaran yang baik, terarah, efektif dan efisien maka dalam
tahapan proses penyusunan anggaran ini didorong untuk menggunakan proses penganggaran
berbasis elektronik. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas serta
menghindari keterlambatan penyusunan anggaran dan menghindari program, kegiatan dan
anggaran diluar dari yang disusun dalam dokumen awal. Maka muncullah apa yang disebut
dengan mekanisme ebudgeting pada penyusunan anggaran daerah.
Ada banyak definisi tentang ebudgeting baik dilihat dari pandangan para praktisi anggaran
maupun pandangan para praktisi dunia elektronik. Konsep ebudgeting merupakan
pengembangan konsep budgeting, salah satu financial tools di dalam mengelola suatu
perusahaan maupun pemerintah. Ebudgeting adalah aplikasi teknologi informasi atau
perangkat lunak untuk mendukung siklus, mulai dari perencanaan, pembuatan program,
sapia dengan kendali dan evaluasi.
Pemerintah daerah yang sudah sangat masif menerapkan ebudgeting adalah Pemerintah
Kota (Pemko) Surabaya. Menurut Pemko Surabaya sistim ebudgeting adalah sistim
penyusunan anggaran di lingkungan Pemerintahan Kota Surabaya secara online. Dalam
sistem ini untuk membuat sebuah anggaran, dibutuhkan komponen-komponen penyusun
yang mana komponen-komponen penyusun tersebut merupakan hasil dari survey di
lapangan. Komponen penyusun terdiri dari tiga jenis pengelompokan, yaitu : Standar Harga
Satuan Dasar (SHSD), Harga Satuan Pokok Kegiatan (HSPK), Standar Analisa Belanja (SAB).
Sistem ini dibuat secara online agar dapat diakses oleh dinas dimanapun lokasinya dan juga
dapat diakses pada saat pembahasan dengan dewan.
Fitur-fitur yang terdapat dalam sistim Surabaya ebudgeting adalah:
Pembuatan komponen-komponen penyusun,
Pembuatan program,
Pengiriman rincian anggaran,
Evaluasi anggaran,
Daftar harga dan daftar penyusun komponen,
Rekap anggaran,
History rincian anggaran, dan
Setting kode rekening komponen penyusun anggaran.
Adapun manfaat ebudgeting adalah:
Kontrol akan lebih mudah dilakukan. Hanya mereka yang berhak yang dapat mengakses
dan mengubah anggaran. Karenanya, pelacakan siapa mengisi apa seharusnya juga dapat
dilakukan dengan mudah.
Kontrol dapat dilakukan sejak tahap perencanaan. Jadi, ebudgeting dibuat untuk dapat
menolak usulan yang dianggap tidak relevan.
Transparansi anggaran dapat ditingkatkan.
Kontrol realisasi anggaran akan menjadi lebih mudah dilakukan. Capaian pelaksanaan
program dan keterserapan anggaran bahkan dapat diketahui secara langsung ketika sudah
dilaporkan ke sistem. Dengan demikian, pemerintah menjadi lebih akuntabel, karena setiap
rupiah pengeluaran dapat dilacak dengan mudah.
Penggunaan sistim Surabaya eBudgeting dibagi menjadi 6 (enam) tahapan atau 6 (enam) level
alur ebudgeting:
1. Satuan kerja (Dinas)
Merupakan satuan kerja di lingkungan pemerintah kota Surabaya yang mendapatkan
anggaran dari APBD.
Berhak mengajukan usulan harga SHSD.
Mengisi Rincian Kegiatan sesuai dengan anggaran yang diberikan.
Setiap satuan kerja memiliki beberapa login berdasarkan bidang yang terdapat dalam
dinas tersebut.
2. Tim Peneliti
Merupakan sekelompok orang dari beberapa satuan kerja yang ditunjuk untuk memonitoring
anggaran dari satuan-satuan kerja agar anggaran tersebut sesuai dengan limit yang
ditentukan.
Berhak untuk mengunci kegiatan yang sudah sesuai.
Merasionalisasikan dan menyesuaikan komponen.
Mengedit RKA.
3. Tim Data
Merupakan sekelompok orang yang ditunjuk untuk melakukan survey dan kemudian
membuat komponen penyusun dan menentukan apakah komponen tersebut tidak kena
pajak atau kena pajak.
Berhak untuk memasukkan komponen ke dalam e-budgeting.
Berhak untuk merubah harga komponen yang sudah ada dalam ebudgeting.
Berhak mengunci komponen agar tidak dapat dipilih dalam menyusun RKA.
Berhak menghapus komponen yang sudah terdapat dalam ebudgeting.
4. Bappeko
Merupakan salah satu satuan kerja di pemerintah kota Surabaya yang ditunjuk untuk
menentukan program dan bidang suatu anggaran dalam tiap satuan kerja, tujuannya agar
dapat dilihat secara langsung nilai per program.
Berhak membuat kegiatan dan sub kegiatan untuk satuan-satuan kerja sebelum
dilakukan penganggaran.
5. DPRD (Legislatif)
Dapat melihat usulan dan perencanaan anggaran dari satuan kerja.
6. Administrator
Merupakan user yang dapat melakukan managemen user,database dan dapat mengakases
semua hak user lainnya, seperti :
Mengunci dan membuka akses user.
Mengunci kegiatan yang diusulkan satuan kerja.
Untuk mewujudkan satu sistim ebudgeting maka perlu memperhatikan 3 (tiga) faktor
penting, yaitu:
1. People
Pengelolaan sumber daya manusia (SDM) yang terdiri dari; operator komputer, analisis
Data/DSS, Administrator, dan lain-lain.
2. Process
Proses ini merupakan sistim informasi berupa; ebudgeting yang terintegrasi dengan sitim
lainnya eprocurement, esourcing, edelivery, eperformance, eproject planning, aset, dan lain-
lain.
3. Technology
Teknologi terkait dengan infrastruktur berupa; koneksi jaringan, situasi ruangan yang
memadai, data center, komputer, dan lain-lain.

BAB III
PEMBAHASAN

1. Peran eBudgeting dalam Mengawal Aspirasi Masyarakat


Pembangunan adalah sekumpulan aspirasi masyarakat yang diolah dan dianalisis sesuai
dengan kebutuhan suatu daerah untuk dilaksanakan guna tercapainya perubahan sosial dan
ekonomi ke arah yang lebih baik. Dalam pendekatan pembangunan partispatori aspirasi
masyarakat merupakan faktor penting agar perencanaan yang dilakukan memberikan
alternatif-alternatif pilihan model pembangunan yang lebih tepat untuk diterapkan dalam
masyarakat.
Sebagaimana tujuan dari perencanaan adalah untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat
dalam perencanaan pembangunan sehingga tercapai penggunaan sumber daya yang efektif,
efisien dan adil, namun ada saja banyak rintangan dan tantangan yang muncul di perjalanan
pada saat proses penyusunan rencana kerja dan anggaran di pemerintahan. Ada banyak
faktor yang membuat aspirasi masyarakat yang semestinya ditampung dalam rencana kerja
dan anggaran tetapi seiring waktu berjalan dalam tahapan perencanaan beberapa dan/atau
hampir semua aspirasi dari masyarakat hilang ditengah jalan.
Kelemahan teknis penyusunan anggaran bisa jadi faktor penyebab gagalnya perencanaan.
Kekurangan tenaga perencana di daerah (planners) di daerah baik secara kuantitas maupun
kualitas membuat hasil perencanaan jauh dari yang diharapkan. Hal ini berdampak juga pada
hasil perencanaan yang kualitasnya rendah (Sjafrial, 2015:142). Sementara beban kerja atau
volume anggaran yang dikerjakan sangat besar, akibatnya kontrol dalam tahapan
perencanaan sendiri menjadi sangat lemah dan rawan manipulasi. Akibatnya upaya daerah
untuk mendorong proses pembanguna yang berkualitas masih belum dapat dilakukan dengan
optimal.
Faktor selanjutnya yang membuat perencanaan bisa gagal ialah kurang terpadunya
perencanaan dan penganggaran. Hal ini terjadi akibat tidak konsistennya sebuah
perencanaan awal dengan dokumen akhir yang dihasilkan ketika telah disandingkan dengan
anggarannya (Sjafrial, 2015:144). Kelemahan inilah yang sering menimbulkan ada celah bagi
oknum pemerintah dan juga oknum dari DPRD yang cenderung manipulatif dengan
memasukkan kegiatan di luar perencanaan dengan jumlah anggaran yang sudah di mark up
dan tidak sesuai dengan stadar harga baku yang diberlakukan.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa kebiasaan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) juga menjadi
faktor penyebab gagalnya perencanaan pembangunan. Dampak negatif yang muncul dalam
perencanaan daerah yaitu berubahnya pelaksanaan program dan kegiatan akibat para
pengambil keputusan yaitu mereka-mereka yang punya kewenangan melakukan perubahan
menerima suap dari pihak yang berkepentingan (Sjafrial, 2015:149). Dan lebih tragis lagi ialah
bila KKN tersebut dilakukan dalam bentuk pelaksanaan program dan proyek fiktif, pekerjaan
sama sekali tidak kerjakan tetapi uang sudah diambil dengan rekayasa admnistrasi.
Maka untuk inilah ebudgeting mencoba masuk merubah beberapa kelemahan yang ada
dalam perencanaan.
a. Peran eBudgeting
Mengacu pada Stadar Operasional Prosedur (SOP) sistim ebudgeting di Pemerintah Kota
Surabaya, maka ada beberapa tahapan yang harus dilalui sehingga kelemahan, kekuarangan,
kecurangan dan manipulasi perencanaan anggaran dapat dimnimalisir, yaitu;
1) Penyusunan Standar Satuan Harga (SSH), Harga Satuan Pokok Kegitan (HSPK) dan Analisa
Standar Belanja (ASB).
Kegiatan ini meliputi tahapan survei harga yang berlaku di pasar kemudian melakukan analisa
untuk itu dan ditetapkan sebagai keputusan Walikota Surabaya.
2) Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA)/Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA)
Pada tahapan ini bagian Bina Program menyiapkan aplikasi ebudgeting termasuk komponen
SSH lalu diedarkan kepada SKPD untuk memulai penyusunan RKA. Pada tahapan penyusunan
ini Penyelia sebagai pendamping SKPD secara paralel melakukan pengecekan kesesuaian isi
RKA yang telah dientrikan oleh SKPD dengan ketentuan – ketentuan yang harus dipenuhi, dan
memberikan masukan, saran kepada SKPD jika menemukan sesuatu yang tidak sesuai agar
dilakukan pembetulan, sejak SKPD mengentrikan RKA sampai dengan 2 (dua) minggu
setelahnya. Raperda APBD yang telah disusun, disampaikan oleh PPKD kepada DPRD untuk
dilakukan pembahasan bersama. Dan sampai dengan proses pembahasan di DPRD, penyelia
ikut mendampingi SKPD dalam mempertanggungjawabkan isian RKA.
3) Revisi/Pergeseran APBD
Revisi atau pergeseran APBD hanya terjadi apabila ada perubahan aturan baik dari pusat
maupund aerah pemerintah daerah, ada kesalahan rekening, usulan perubahan dari SKPD.
Revisi hanya boleh dilakukan selama tidak ada perubahan antara belanja dan total belanja.
4) Penyusunan Perubahan Anggaran Kegiatan (PAK)
Perubahan ini hanya bisa dilakukan jika ada perubahan aturan atau evaluasi Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK).
Dalam alur pelaksanaan ebudgeting di atas, beberapa poin penting yang perlu diperhatikan
ialah:
ü Bahwa semua penetapan harga harus lewat analisa di lapangan.
ü Semua tahapan harus melewati ebudgeting.
ü Perubahan hanya bisa terjadi atas persetujuan bersama.
ü Dewan hanya bisa melihat usulan perencanaan anggaran melalui ebudgeting dari SKPD dan
hanya dapat melakukan perubahan melalui tahapan pembahasan anggaran di DPRD.
ü Usulan revisi atau pergeseran hanya dilakukan pada tataran normatif dan tidak dapat
merubah total anggaran maupun perubahan total program dan kegiatan.
Sistim yang sudah diberlakukan di Pemerintah Kota Surabaya ini untuk sementara hingga saat
ini sangat efektif untuk menjaga program dan kegiatan dari pengalihan ke program-program
fiktif dan anggaran yang di mark up.
b. Integrasi dengan sistim elektronik lain
Keberbasilan pelaksanaan sistim ebudgeting di Kota Surabaya ialah karena komimen
pemimpin daerah (walikota) untuk mempercepat proses penganggaran, mengurangi
kebocoran anggaran APBD, mempercepat proses penyusunan RKA SKPD dan secara teknis
dalam upaya mewujudkan pengurangan penggunaan kertas.
Sementara itu faktor-faktor penghambat pelaksanaan sistim ebudgeting adalah perlu waktu
yang cukup lama untuk mengubah mindset para pegawai untuk membangun dan
menjalankan ebudgeting, adanya resistensi dari beberapa SKPD dan juga lembaga legislatif,
ketergantungan terhadap internet, keterbatasan sumber daya manusia untuk
mengoperasikan aplikasi ebudgeting dan masih banyak SKPD yang belum memahami
penggunaan aplikasi ebudgeting.
Penerapan ebudgeting pada prinsipnya merupakan wujud dari penerapan eGoverment dalam
tata kelola pemerintahan di Indonesia. Oleh karena itu, dalam upaya mencegah bermacam-
macam penyelewengan atau berbagai modus korupsi yang sudah dimulai dari perencanaan
dan dilanjutkan pada saat pelaksanaan pembangunan, maka sistim ebudgeting ini harus
terintegrasi dengan sistim elektronik lainnya seperti eprocurement, esourcing, edelivery,
eperformance, eproject planning, aset, dan lain-lain.
2. Peran Pemimpin
Perencanaan pembangunan yang baik yang mengedepankan aspirasi dan kepentingan
masyarakat daripada kepentingan politik kelompk tertentu hanya tercapai bila ada komitmen
dari pemimpin di daerah. Nugroho (2015;239) mengatakan bahwa seorang pemimpin harus
memiliki empat kapasitas utama; (1). Pikiran yang baik dan jelas. (2). Tahu tujuannya kemana.
(3). Gagasan cerdas. dan (4). Menguasai sumber daya kebijakan.
Mewujudkan penerapan ebudgeting di suatu daerah tercapai apabila:
Ada komitmen pemimpin daerah dan semua jajaran pemerintah daerah (SKPD) serta
legislatif untuk mewujudkan mekanisme perencanaan pembangunan yang baik dan bersih.
Adanya kerjasama pemerintah daerah dengan stakeholders yang bergerak dalam
pengembangan sistim penganggaran berbasis online.
Komitmen untuk menyediakan infrastruktur seperti hardware (server) yang memadai.
Menyusun SOP sistim penganggaran berbasis online. Dan
Mempersiapkan sumber daya manusia yang terlatih.
3. Rekomendasi
Sistim perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi anggaran merupakan satu
mekanisme yang sangat strategis dalam pembangunan. Oleh karena itu untuk mencapai hasil
pembangunan yang optimal maka semua tahapan ini harus dijaga agar bebas dari hal-hal yang
tidak mengedepankan kepentingan masyarakat namun hanya mementingkan kepentingan
politik tertentu saja. Mengingat saat ini perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
telah mampu memberi solusi untuk membantu berbagai kelemahan dan kekuarangan serat
kecerobohan yang dilakukan oleh manusia, maka kepada Pemerintah (Daerah) untuk
membuat Blue Print Sistim Informasi dan Komunikasi di daerah yang merupakan integrasi
semua sistim pelayanan bebasis online untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang
baik.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan
Dalam upaya mengawal anggaran yang bersih, terarah, efektif dan efisien sehingga kinerja
perencanaan pembangunan lebih tepat sasaran butuh usaha-usaha yang tidak sekedar biasa-
biasa saja. Dewasa ini ada saja banyak cara yang bisa dilakukan oleh berbagai oknum yang
tidak bertanggungjawab yang menomorduakan kepentingan dan aspirasi masyarakat hanya
untuk kepentingan segelintir orang dan kelompok tertentu. Oleh karena itu dibutuhkan usaha
ekstra, inovasi dan kreatifitas dari pemerintah (pusat dan daerah). Oleh karena itu, saat ini
sebagaimana juga sudah banyak diamatkan dalam banyak peraturan perundang-undangan
tentang penerapan eGoverment dimana salah satu jenisnya adalah sistim eBudgeting.
Pemerintah didorong untuk mengembangkan dan menerapkan sistim ini baik dipusat
maupun di daerah.
Disamping itu, yang tidak kalah pentingnya adalah komitmen dari pemimpin daerah. Hanya
dengan komitmen untuk menjaga pemerintahan yang bersih penerapan sisitim ebudgeting
ini bisa berjalan dengan baik. Komitmen untuk sama sekali tidak ada lagi usul-usul diluar
perencanaan dan pembahasan resmi dari pihak manapun baik eksekutif maupun legislatif.
Dan juga komitmen untuk menempatkan orang-orang yang bersih dan berintegritas sebagai
operator yang memegang administrasi e budgeting.
2. Saran
Penerapan ebudgeting adalah bagian dari penerapan eGovernment pada pemerintah (pusat
dan daerah) agar terwujudnya pemerintahan yang transparan, partisipatif, efektif, efisien dan
akuntabel. Oleh karena itu, mengingat penerapan ebudgeting sangat penting dalam
mendukung tata kelola pemerintahan yang baik maka, kiranya pemerintah pusat membuat
satu sistim atau aplikasi yang bisa digunakan secara serentak diseluruh Indonesia. Karena
dengan demikian, pemerintah daerah yang masih belum ada gagasan penerapan ebudgeting
dapat juga tergerak untuk menerapkannya.
Pemerintahan didaerah juga harus aktif untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang
mampu dalam bidang teknologi dan informasi serta mempersiapkan infastruktur yang
dibutuhkan untuk itu. Dukungn dari berbagai pihak juga sangat dibutuhkan terutama para
praktisi sistim informatika dan dukungan dari lembaga-lembaga pendidikan tinggi dan
penelitian untuk mendukung usaha-usaha pemerintah daerah dalam menerapkan
ebudgeting.

Daftar Pustaka
Adisasmita, Rahardjo. 2006. Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Dilla, Sumadi. 2010. Komunikasi Pembangunan: Pendekatan Terpadu. Bandung: Sembiosa
Rekatama Media.
Harun, Rochajat dan Elvinaro Ardianto. 2011. Komunikasi Pembangunan dan Perubahan
Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.
Nugroho, Riant. 2015. Policy Making: Mengubah Negara Biasa Menjadi Negara Berprestasi.
Jakarta: Alex Media Komputindo
Nuryanto, Hemat Dwi. E-budgetting Minimalkan Siluman (Opini). Koran Jakarta, 5 Maret
2015.
Purnamasari, Irma. 2008. Studi Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan Pembangunan di
Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi. Semarang: Tesis Pascasarjana Universitas
Diponegoro.
Sjafrizal. 2015. Perencanaan Pembangunan Daerah Dalam Era Otonomi. Jakarta: Rajawali
Pers.
Wahid, Fathul. 2015. eBudgeting (Kolom Analisis). Harian Kedaulatan Rakyat, 6 Maret 2015.

Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional.

Website
http://budgeting.surabaya2excellence.or.id/manual_dinas_surabaya_budgeting. Diakses
tanggal 8 Maret 2016, pukul 22.30.
http://budgeting.surabaya2excellence.or.id/SOP_eBudgeting. Diakses tanggal 8 Maret 2016,
pukul 22.35.
Asal Usul Penerapan Sistem e-Budgeting di Pemprov DKI
Andi Muttya Keteng
12 Mar 2015, 02:27 WIB

 
 


Wakil Ketua DPRD DKI Abraham 'Lulung' Lunggana dan peserta rapat meninggalkan ruang
mediasi pembahasan APBD 2015 antara Pemprov DKI dengan DPRD DKI Jakarta di Kantor
Kementerian Dalam Negeri, Kamis (5/3/2015) . (Liputan6.com/Herman Zakharia)
Liputan6.com, Jakarta - DPRD DKI hari ini menggelar rapat hak angket untuk menyelidiki
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI, yang dicurigai mengandung anggaran
'siluman', menyusul tudingan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

Agenda rapat tersebut adalah mendengarkan penjelasan konsultan sistem e-budgeting


untuk Pemprov DKI, Gagat Sidi Wahono. Gagat menuturkan kepada panitia hak angket,
tentang asal muasal penerapan e-budgeting bisa diterapkan di Pemerintah DKI Jakarta.

"Kami sebenarnya tidak pernah tawarkan sistem e-budgeting ke DKI. Kami diundang," kata
Gagat dalam rapat Hak Angket, Jakarta, Rabu (11/3/2015).

Menurut pria asal Jawa Timur ini, pada akhir 2013 Badan Pengelola Keuangan dan Aset
Daerah (BPKAD) dan ada Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) berkunjung ke Pemkot
Surabaya, untuk membahas perihal e-budgeting. Kemudian, Pemkot Surabaya sebagai
perintis sistem ini memperkenalkan Pemprov DKI kepada dirinya.

Setelah itu, kata Gagat, kerja sama pun dimulai. Dia beserta 4 orang timnya direkrut untuk
menjadi konsultan atau tim IT guna menerapkan sistem penganggaran elektronik tersebut di
Jakarta. "Sistem itu sudah lama kami bangun, ada tim yang membangun," sambung dia.

Gagat dan timnya pun mulai membuat master desain sistem e-budgeting untuk APBD DKI
pada 2014 lalu. Namun, karena struktur nya lebih kompleks dari Pemkot Surabaya, maka
dibutuhkan penyesuaian yang banyak. Dari struktur SKPD hingga pola anggarannya, tanpa
mengubah prinsip dasar e-budgeting.

Gagat mengaku, meski sempat bernaung di bawah Universitas Airlangga, tetapi ketika kerja
sama dengan Pemprov DKI dirinya tak membawa institusi, melainkan secara perorangan.
Dia menegaskan sistem e-budgeting ini tidak dijual ke pemerintah, dia hanya mendapatkan
honor sebesar Rp 50 juta lebih untuk satu proyek.

"Saya hanya berempat. Itu pun pada saat awal dan pada saat pick penyusunan APBD. Kita
kan harus menerima konsultasi dari SKPD. Kalau saya sendiri nggak cukup. Ada 4 orang
disitu. Kalau sudah selesai, kami tinggal 1-2 orang untuk mengawal supaya sistem nggak
hang," jelas Gagat.

Dia memastikan walau pun bertanggungjawab pada sistem e-budgeting, namun dirinya tak
mengetahui keseluruhan anggaran yang dimasukkan ke dalam sistem itu. Sejauh ini, apa
yang dia lakukan atas permintaan Pemprov DKI. Jika ada yang harus disesuaikan, pihaknya
hanya menjalankan fungsi teknis.

"Meski pun ada data (APBD) itu di server, saya tidak mempunyai kepentingan untuk melihat
data, apalagi mempublikasikan apabila tanpa izin. Kecuali kalau diminta, Pak Gagat tolong
buat report ini, kami buatkan. Kami profesional," kata Gagat.

Pada 2015, Gagat mengaku, peran pihaknya sudah sangat kecil sekitar 20% pada akhir-akhir
pencetakan APBD DKI. Karena filenya besar, maka membutuhkan memori yang juga besar.
Di situ lah ia berfungsi mengatur sistem e-budgeting.

"Berkaitan dengan posisi kami, sebenarnya sistem itu selesai 2014. Cuma Pemda DKI minta
saya tetap mendampingi, itu pun mendampingi pada proses penyusunan," kata dia.

Gagat menjelaskan, sistem e-budgeting merupakan alat untuk menyusun RAPBD DKI.
Prinsipnya, ada di pola input anggaran. Jika yang selama ini manual menggunakan Microsoft
Excel, dengan e-budgeting maka input pun secara elektronik atau online, dan menggunakan
sistem keamanan dengan password.

"Dengan sistem e-budgeting, tinggal query aja seperti orang beli online," kata Gagat. (Rmn)

Você também pode gostar