Você está na página 1de 3

Alergi Susu Sapi (ASS)

Alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas sistem imun. Alergi terjadi ketika sistem imun seseorang
bereaksi terhadap substansi normal yang tidak berbahaya di lingkungan. Suatu substansi yang
menyebabkan reaksi alergi disebut alergen. Reaksi-reaksi ini didapat (acquired), mudah ditebak
(predictable), dan cepat (rapid). Alergi adalah salah satu dari empat bentuk hipersensitivitas, yaitu
Hipersensitivitas Tipe 1 / Immediate hypersensitivy (Kay, 2000). Pada hipersensitivitas tipe 1, terdapat
tiga fase, yaitu fase sensitasi, aktivasi, dan efektor. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk
pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik (Fcƹ-R) pada permukaan sel mast dan basofil.
Pada fase sensitasi, antigen dipresentasikan ke sel spesifik CD4+ Th2 terhadap antigen, yang akan
menstimulasi sel B untuk menghasilkan antibodi IgE yang selanjutnya akan berikatan dengan reseptor
sel mast dan basofil. Fase aktivasi terjadi ketika adanya pajanan ulang dengan antigen yang spesifik,
sel mast akan melepas isinya yang berisikan granul (degranulasi) untuk menimbulkan reaksi. Dan fase
efektor yaitu waktu terjadinya respons yang kompleks sebagai efek mediator-mediator yang dilepaskan
sel mast. Mediatormediator inflamasi yang dilepaskan adalah histamin, leukotrien, prostaglandin, dan
PAF (Platelet Activating Factor). Susu sapi menjadi penyebab alergi yang paling utama khususnya
pada bayi karena merupakan jenis makanan yang pertama kali dikonsumsi bayi (PASI). Bayi di bawah
usia satu tahun cenderung hipersensitif terhadap susu sapi, karena susu sapi memiliki protein yang lebih
tinggi 3,4 persen daripada ASI yang hanya 0,9 persen. Hampir semua susu sapi proteinnya berupa
kasein dan hanya sedikit berupa Soluble Whey Protein. Kasein ini membentuk gumpalan yang liat
dalam usus bayi sehingga protein susu sapi sulit dicerna dan cenderung menjadi alergen. Selain itu,
lemak pada susu formula tidak dilengkapi dengan enzim lipase seperti yang terdapat di dalam ASI,
karena enzim ini hancur saat dipanaskan, sehingga bayi menemukan kesukaran untuk 5 menyerap susu
formula. Tubuh bayi sendiri baru membentuk enzim lipase pada usia 6-9 bulan). Pada bayi yang baru
lahir, aktivitas enzim pencernaan dan sistem imun IgA-nya belum sepenuhnya aktif dan matur.
Pencernaan bayi memang memiliki pertahanan tubuh yang sifatnya non-imunologis, seperti pelindung
mukosa, motilitas usus, sekresi mukus, dan keasaman lambung, namun pertahanan imunologis pertama
bayi didapat dari kolostrum dan ASI. Dengan susu formula sebagai cairan prelaktal, pertahanan
imunologis bayi tidak terbentuk sempurna. Mukosa pencernaan bayi juga memiliki permiabilitas yang
meningkat dengan cepat setelah lahir. Diperkirakan enterosit berpengaruh terhadap pengikatan antigen
dan aktivasi sel T CD 8+ dan susu formula yang masuk dianggap sebagai antigen. Karena kedua faktor
inilah, antigen dapat masuk ke lapisan epitel mukosa pada pencernaan, melewati pelindung mukosa,
mengalami transitosis (dengan bantuan enterosit atau dengan pengambilan melalui Microfold cells) dan
menyebabkan keluarnya sitokin-sitokin inflamasi dan menimbulkan reaksi alergi.

Gejala reaksi cepat alergi susu sapi muncul dalam hitungan menit atau jam setelah si Kecil
mengonsumsi susu sapi, umumnya disebabkan oleh respon antibodi IgE terhadap protein susu.
Gejalanya antara lain:

 Sakit perut
 Mual
 Muntah
 Sesak napas atau mengi
 Ruam, bengkak, gatal pada kulit
 Diare

Gejala pada si Kecil juga dapat muncul secara lambat. Reaksi lambat alergi susu sapi umumnya
disebabkan oleh respon hipersensitivitas non antibodi IgE, berlangsung dalam hitungan jam atau hari
setelah mengonsumsi susu. Gejalanya antara lain:

 Penurunan berat badan


 Pertumbuhan terhambat
 Ruam kulit (Ruam akibat Alergi), seperti eksim
 Menolak makan
 Diare
 Kolik perut
 Mudah marah dan rewel
Patofisiologi
Respon imunologis spesifik yang terbentuk pada pasien alergi dipicu oleh adanya interaksi antara
epitop, yaitu suatu sekuens asam amino di permukaan antigen, dengan sistem imun dalam tubuh yang
dapat diperantarai oleh IgE maupun mediator lain selain IgE, atau kombinasi dari keduanya. Namun,
reaksi hipersensitivitas yang paling umum terjadi adalah hipersensitivitas tipe I dimana sistem imun
melepaskan mediator-mediator spesifik setelah antigen berikatan dengan IgE. Antigen yang dapat
memicu terjadinya alergi disebut alergen.Alergen umumnya adalah komponen dari protein dengan berat
molekul 10- 70 kDa. Alergen harus dapat melakukan penetrasi ke jaringan tubuh host untuk 12 dapat
berikatan dengan antigen presenting cells (APC). Beberapa alergen diketahui memiliki enzim protease
untuk meningkatkan daya penetrasi ke dalam jaringan dan menginduksi terjadinya respon imunologis.
Alergen penting yang terkandung di susu sapi adalah α-laktalbumin, β-laktoglobulin dan αs-kasein.
Alergi yang diperantarai oleh IgE merupakan jenis reaksi alergi yang paling diketahui mekanismenya.
Pada reaksi alergi yang diperantarai IgE, saat pertama kali memasuki tubuh, sel dendritik sebagai salah
satu APC yang terdapat di epitel akan memproses alergen pada lokasi terjadinya kontak. Selanjutnya,
alergen yang telah diproses ini akan ditranspor ke kelenjar limfe dan mempresentasikan Major
Histocompatibility Complex (MHC) kelas II ke sel T helper naif (TH0). Sel T selanjutnya akan
berdiferensiasi menjadi T helper 2 (TH2) dan sel T helper folikular (TFH) yang berperan dalam
produksi sitokin-sitokin, khususnya IL-4 yang menginduksi diferensiasi lebih lanjut ke arah TH2.
Melalui IL-4, TH2 dan TFH selanjutnya akan menginduksi limfosit B untuk menukar produksi isotipe
antibodi dari IgM menjadi IgE. IgE yang dihasilkan akan menempel pada reseptor-reseptor IgE
berafinitas tinggi (FϲεRI) pada sel mast, basofil dan eosinofil yang menandai terjadinya proses
sensitisasi. Sel mast, basofil dan eosinofil merupakan sel efektor dari reaksi hipersensitivitas tipe cepat
(immediate hypersensitivity reactions) yang mengandung granula berisi mediator-mediator reaksi alergi
seperti histamin, heparin dan serotonin. Pada paparan selanjutnya, sel mast yang telah tersensitisasi oleh
alergen spesifik ini akan teraktivasi apabila terjadi reaksi silang antara alergen dengan minimal 2
reseptor FϲεRI. Aktivasi sel mast akan menimbulkan tiga respon 13 biologis yang meliputi degranulasi
mediator yang telah terbentuk sebelumnya, sintesis dan sekresi mediator lipid serta sintesis dan sekresi
sitokin. Pada beberapa individu dengan ASS, tidak ditemukan kenaikan kadar IgE yang spesifik
terhadap protein susu sapi di sirkulasi darah dan tidak menunjukkan hasil yang positif pula pada uji
tusuk kulit. Karena tidak melibatkan kenaikan kadar IgE seperti pada hipersensitivitas tipe I, reaksi ini
disebut alergi yang tidak diperantarai IgE (non IgE-mediated allergy) atau sering juga disebut sebagai
delayed-type allergic reaction. Mekanisme alergi ini belum diketahui secara pasti, namun berdasarkan
beberapa studi diperkirakan ada dua mekanisme yang dapat mendasari respon alergi ini. Yang pertama
adalah reaksi yang diperantarai TH1, dimana kompleks imun yang terbentuk akan mengaktivasi
komplemenkomplemen. Mekanisme kedua adalah reaksi yang melibatkan interaksi sel limfosit T, sel
mast atau neuron, dimana interaksi ini menimbulkan perubahan fungsional pada motilitas usus dan
aktivitas otot polos saluran cerna. Sel limfosit T akan menginduksi sekresi sitokin-sitokin seperti IL-3,
IL-4, IL-5 dan IL-13 yang akan mengaktivasi eosinofil, sel mast, basofil dan makrofag untuk
melepaskan mediator-mediator inflamasi yang pada akhirnya akan menyebabkan inflamasi kronis dan
manifestasi ASS.
Beberapa alternatif pilihan untuk pengganti susu
sapi
 Air susu ibu
 Susu soya
 Susu formula ekstensif hidrolisa

Daftar Pustaka
Lifsehitz C, Alergy to cow milk. J.Ped. Neonatal 2005;2:l-7.
Ebisawa M, Sugizaki C, lkcda Y, Tachimoto H. Development of food allergy during infancy.
APAPARI-KAPARD Joint congress. Seoul, Korea. April2005.
dDsrfrxc

Você também pode gostar