Você está na página 1de 2

Berdasarkan Undang-undang No.

5 tahun 1979, tentang pemerintahan di daerah, status desa-desa


di dalam kota berubah menjadi kelurahan. Saat itu di Surabaya ada dua sebutan sebelum menjadi
kelurahan. Pemerintahan terendah yang berada di tengah kota disebut lingkungan dan yang berada
di daerah pinggiran masih disebut desa.
Menindaklanjuti UU No.5/1979 itu, Mendagri mengeluarkan Keputusan No.140-502 tahun
1979. Isinya, menetapkan desa-desa di dalam kota diubah satusnya menjadi kelurahan. Kota
Surabaya dulu dibagi menjadi 38 lingkungan dan 103 desa. Dalam peleburan menjadi kelurahan,
38 lingkungan diubah menjadi 60 kelurahan dan 103 desa menjadi 103 kelurahan, sehingga total
di Kota Surabaya ada 163 kelurahan.
Perubahan lingkungan menjadi kelurahan tidak banyak membawa pengaruh, tetapi bagi
desa pengaruhnya luar biasa. Bahkan, di antara kepala desa ada yang menyampaikan protes dan
menyatakan keberatan. Namun, akhirnya terpaksa tunduk kepada aturan hukum yang berlaku.
Salah satu keberatan para kepala desa itu adalah “melepaskan” tanah ‘ganjaran’ yang dikuasasinya
selama ini.
Desa yang jumlahnya 103 di kota Surabaya memiliki dan punya tanah ‘ganjaran’ yang cukup luas.
Ada desa yang punya 10 hektar dan ada yang hanya memiliki 2 hektar. Jumlah total tanah ganjaran
saat peralihan status desa menjadi kelurahan di Kota Surabaya, luas tanah ‘ganjaran” itu tidak
kurang dari 1.000 hektar.
Diambilalih
Perubahan status desa menjadi kelurahan, mengakibatkan aset desa berupa tanah
‘ganjaran’ akhirnya “diambilalih” menjadi aset Pemerintah Kota Surabaya. Kepala desa yang
sebelumnya adalah orang swasta yang dipilih langsung oleh rakyat di desa itu, berubah statusnya
menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan diangkat menjadi pegawai Pemkot Surabaya. Mereka ini
tidak mempunyai kewenangan lagi mengolah tanah ‘ganjaran’ , apalagi menikmati hasilnya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.1 tahun 1982, semua
desa-desa yang berubah menjadi kelurahan, seluruh kekayaan desa, terutama tanah kas desa, atau
tanah ‘ganjaran’ di Kota Surabaya, juga beralih menjadi aset kelurahan. Nah, karena kelurahan
itu adalah lembaga Pemerintah Kota, dengan demikian aset itu menjadi aset Pemerintah Kota.
Kalau dulu desa merupakan daerah otonom, sekarang kelurahan hanya wilayah administratif.
Dalam Keputusan Mendagri No.164 tahun 1997 lebih tegas lagi, disebutkan tanah kas desa
yang berasal dari bengkok, tanah ganjaran dan sejenisnyta, tidak lagi menjadi aset atau kekayaan
pemerintahan kelurahan, tetapi menjadi aset Pemerintah Daerah. Keputusan ini dipertegas lagi
dengan surat Dirjen PUOD (Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah) Depdagri
No.593/2023/PUOD tangggal 14 Juli 1999. Gubernur Jawa Timur, juga menindaklanjuti dengan
suratnya No.143/8272/013/1999 tanggal 27 Juli 1999.

Jadi Banca’an
Setelah tanah ‘ganjaran’ menjadi aset Pemkot Surabaya, mulai muncul masalah.
Permasalahan yang paling menonjol adalah saat akan dialihkannya atau dilepasnya tanah
‘ganjaran’ itu ke pihak lain. Kalau sebelumnya tidak ada tanah ‘ganjaran’ yang dijual atau
dialihkan ke pihak lain, maka setelah menjadi aset Pemkot Surabaya, bekas tanah’ganjaran’ ini
menjadi “banca-an” pejabat (maaf: dikorupsi secara berjamaah)
Ada aturan, bahwa Pemerintah Kota (dulu disebut Pemerintah Daerah), dalam pengurusan
pendapatan desa yang menjadi kelurahan, tidak harus mengembalikan seluruh pendapatan suatu
kelurahan ke kelurahan tersebut. Namun kalau dipandang perlu sebagian dapat diserahkan kepada
kelurahan yang lain. Di sini ditegaskan, tanah bekas ‘ganjaran’ atau disebut bekas tanah kas desa
bukan milik warga. Kendati demikian untuk pelepasan tanah tersebut ke pihak lain harus melalui
rembug kelurahan, bukan rembug warga.
Dari Mendagri, Dirjen PUOD dan Gubernur Jatim dalam suratnya menegaskan, apabila
terjadi pelepasan atau tukar-menukar terhadap aset tanah bekas tanah kas desa (di Surabaya bekas
tanah ‘ganjaran’), harus mendapat persetujuan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).
Kerawanan sering mencuat ke permukaan, mulai dari terjadi ketidaksetujuan warga bekas
desa yang menjadi kelurahan atas tanah ‘ganjaran’ yang akan dialihkan kepada pihak lain.
Biasanya, warga di kelurahan mempertahankan, atau minta konpensasi. Tidak jarang pula di awal
era reformasi lalu, aksi menentang pengalihan atau tukar-guling tanah bekas ‘ganjaran’ itu, warga
melakukan demo ke Balaikota Surabaya.
Walaupun sudah ada aturan yang baku tentang tatacara pelepasan dan tukar-menukar bekas
tanah ‘ganjaran’ itu, masih saja terjadi berbagai masalah. Menurut aturan yang ditetapkan,
sebelum tanah ‘ganjaran’ dialihkan, harus diproses lebih dulu oleh tim yang bekerja berdasarkan
SK Walikota Surabaya dan Gubernur Jawa Timur. Selanjutnya hasil tim kerja tim tersebut
dituangkan dalam berita acara, serta dilengkapi dengan surat rekomendasi dari Kepala Kantor
Pertanahan Nasional (KPN), serta kepala Dinas Pertanian tentang tingkat kesuburan tanah. Baru
kemudian, mendapat izin dari gubernur.
Biasanya pengalihan bekas tanah ‘ganjaran’ ini berkaitan dengan pembangunan
perumahan, perkantoran atau kegiatan bisnis lainnya. Untuk itulah, masalah konpensasi selalu
menjadi masalah, sebab Pemerintah Kelurahan menuntut ‘bagian’. Bagi Pemkot Surabaya, tidak
begitu saja memberikan konpensasi ke kelurahan bekas pemilik tanah’ganjaran’ itu, sebab
keuangan hasil pengalihan tanah itu dimasukkan lebih dulu ke dalam APBD
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) Kota Surabaya.
Sebagai aset, bekas tanah ‘ganjaran’ ini memang menggiurkan. Tidak sedikit pengembang
dan pengusaha kawasan permukiman, maupun perkantoran mengincar tanah ini. Di samping
harganya lebih murah dibandingkan tanah yang sudah ada, juga pengusaha menilai prosedurnya
lebih gampang.
Berdasarkan catatan penulis, luas bekas tanah ‘ganjaran’ yang ada saat ini tinggal 131,16
hektar. Luas tanah ini setelah bertambah 29,968 hektar dari hasil tukar guling atau ruilslag. Sudah
banyak bekas tanah ‘ganjaran’ ini yang dialihkan atau dipergunakan untuk berbagai kepentingan.
Termasuk untuk membangun beberapa kantor, sekolah dan Masjid Al Akbar Surabaya. Bahkan
lahan yang disediakan untuk pembangunan stadion Olahraga yang semula direncanakan untuk
PON XV/2000 lalu di Kecamatan Pakal juga sebagai tukar-menukar tanah ‘ganjaran’. Kendati
demikian, angka tentang luas bekas tanah ‘ganjaran’ ini sering tidak sama antara satu instansi
dengan instansi lainnya. ***

TANAH ganjaran, adalah istilah yang hanya dikenal masyarakat Kota Surabaya. Kalau di
daerah lain namanya juga tidak sama. Ada yang menyebut tanah ‘bengkok’, tanah ‘percaton’,
tanah ‘titisoro’, tanah ‘pangonan’, tanah ‘singkeran’, tanah ‘guron’, tanah ‘nagari’, tanah
‘cawisan’ dan masih banyak istilah di masing-masing desa di suatu daerah di seluruh Nusantara.
Namun, artinya sama, yakni: tanah yang dikuasai desa sebagai kekayaan desa. Dan semua itu
dipopularkan dengan sebutan “tanah kas desa”

Você também pode gostar