Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
net/publication/279806756
CITATIONS READS
0 10,218
6 authors, including:
Keri Lestari
Universitas Padjadjaran
29 PUBLICATIONS 109 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Potential effect of nutmeg for preventing sarcopenia in aging rats View project
All content following this page was uploaded by Zulfan Zazuli on 07 July 2015.
Abstrak
Masalah terkait obat (DRPs) didefinisikan sebagai setiap kondisi dalam penatalaksanaan terapi pasien
yang menyebabkan, atau berpotensi menyebabkan tidak tercapainya hasil terapi yang optimal. Pada
penelitian ini dilakukan identifikasi DRPs pada pasien wanita berusia 59 tahun yang didiagnosis penyakit
ginjal kronis dengan penyulit penyakit arteri koroner dan gangren di tangan kiri (jari ke-3). Pasien
diketahui mempunyai riwayat diabetes melitus sejak dua hingga tiga tahun yang lalu. Melalui kajian
DRPs ditemukan permasalahan terkait obat, yaitu adanya terapi obat yang tidak diperlukan (pemberian
kalsium polistiren sulfonat), ketidaktepatan pemilihan antibiotik, ketidaktepatan dosis (pemberian
amoksisilin dan kaptopril), dan risiko interaksi obat-obat merugikan (interaksi kaptopril– furosemid,
kaptopril–isosorbid dinitrat, dan kaptopril–natrium bikarbonat). Pasien penyakit ginjal kronis dengan
penyulit penyakit arteri koroner menerima terapi obat yang kompleks sehingga meningkatkan risiko
terjadinya DRPs. Keterlibatan apoteker klinis di rumah sakit dalam penatalaksanaan penyakit yang
kompleks diperlukan untuk mengoptimalkan terapi, meminimalisir risiko DRPs, dan meningkatkan
kualitas hidup pasien.
Kata kunci: Drug related problems, penyakit ginjal kronis, penyakit arteri koroner
Key words: Drug related problems, chronic kidney disease, coronary artery disease
Korespondensi: Winda H. Furqani, S.Farm., Apt., Magister Farmasi Klinik, Fakultas Farmasi Universitas
Padjadjaran, Bandung, Indonesia, email: w.haniva@gmail.com
Naskah diterima: 6 Oktober 2014, Diterima untuk diterbitkan: 12 Februari 2014, Diterbitkan: 1 Juni 2015
141
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 4, Nomor 2, Juni 2015
142
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 4, Nomor 2, Juni 2015
mulai tidak jelas atau kabur. Pasien mengaku hanya berdasarkan pada kondisi klinis pasien.
tidak memiliki riwayat alergi obat maupun Pada hari pertama perawatan pasien, hasil
makanan. Pada saat keluar dari rumah sakit, dari pemeriksaan laboratorium menunjukkan
diagnosa akhir pasien adalah penyakit ginjal nilai tidak normal pada nilai hemoglobin,
kronis dengan penyulit penyakit arteri koroner hematokrit, leukosit, glukosa darah sewaktu,
dan gangren derajat 3 di tangan kiri (jari ke 3). ureum, dan kreatinin. Hasil pemeriksaan foto
Pengukuran petanda vital dan pemantauan toraks menunjukkan kardiomegali ringan
gejala klinis menunjukkan bahwa kondisi dan hipertrofi ventrikel kiri (left ventricular
pasien cenderung membaik dari hari ke hari, hypertrophy/LVH). Nilai indeks massa tubuh
dibandingkan dengan saat awal masuk rumah (body mass index/BMI) pasien adalah 29,9
sakit. Keluhan lemas, sesak, dan nyeri dada sehingga termasuk pada kategori overweight.
masih ada sejak hari pertama hingga ketujuh Estimasi bersihan kreatinin (ClCr) pasien
walaupun keluhan sesak terasa berkurang dengan metode Cockroft-Gault adalah 7,66
sejak hari keempat. Sejak hari ke-4 hingga mL/menit/1,73 m2, sedangkan laju filtrasi
ke-8, nyeri dada juga berangsur menghilang. glomerulus (LFG) yang ditetapkan dengan
Namun, pada hari ketiga pasien mengeluh metode MDRD (modification of diet in
gangren di tangan kirinya semakin parah. renal disease)4 adalah 3,16 mL/menit/1,73
Pasien dipulangkan dengan status mengalami m2. Nilai ClCr pasien menandakan pasien
perbaikan. mengalami penyakit ginjal tahap akhir (end-
Pemeriksaan laboratorium pasien hanya stage renal disease/ESRD) dan nilai LFG
dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu pada hari menandakan pasien mengalami gagal ginjal
ke-1, ke-2, dan ke-8 perawatan. Dokter tidak dan diindikasikan untuk hemodialisis.
melakukan pemeriksaan labarotorium secara Pada hari kedelapan, pasien menerima
rutin dengan alasan hasil dari pemeriksaan perawatan hemodialisis dan nilai bersihan
laboratorium sering terlambat keluar sehingga kreatinin pasien lalu mengalami perbaikan.
tidak menggambarkan kondisi aktual pasien. Pasien memperoleh terapi kaptopril 2 x 25
Selain itu, keterbatasan pembiayaan dalam mg, isosorbid dinitrat 1 x 5 mg, asetosal 1 x
JKN juga menjadi pertimbangan dokter untuk 80 mg, furosemid 1 x 40 mg, ketoasid 3 x 1
tidak melakukan pemeriksaan laboratorium kapsul, kalsium polistiren sulfonat 3 x 5 g,
secara rutin. Instalasi patologi klinik rumah natrium bikarbonat 3 x 500 mg, asam folat 3
sakit yang bersangkutan juga tidak memiliki x 1 mg, dan amoksisilin 4 x 500 mg. Kondisi
fasilitas untuk kultur mikroba sehingga dokter gangren pasien tidak mengalami perbaikan.
cenderung melakukan penilaian kondisi pasien Dokter lalu menyarankan untuk melakukan
143
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 4, Nomor 2, Juni 2015
pembedahan terhadap bagian tubuh yang berikut: (1) indikasi yang tidak ditangani,
terkena gangren. Namun, pasien menolak (2) pemilihan obat tidak tepat untuk kondisi
untuk dibedah saat dalam perawatan dan tertentu, (3) dosis subterapi, overdosis, (4)
meminta pembedahan dilakukan beberapa kegagalan menerima manfaat penuh dari
waktu setelah pasien diperbolehkan pulang. terapi, (5) kejadian terkait obat yang tidak
diharapkan aktual dan potensial, (6) interaksi
Pembahasan obat-obat, obat-penyakit, obat-makanan,
dan obat-pemeriksaan laboratorium aktual
CKD berasosiasi dengan peningkatan risiko dan potensial yang signifikan secara klinis,
penyakit kardiovaskular. Gangguan pada (7) pengobatan tanpa indikasi,7 (8) bentuk
sistem kardiovaskular, salah satunya adalah sediaan, jadwal pemberian, rute pemberian,
CAD, menjadi penyebab utama kesakitan dan atau metode pemberian obat yang tidak tepat,
kematian pada pasien dengan penyakit ginjal (9) duplikasi terapi, (10) peresepan obat untuk
kronis yang menerima hemodialisis dan pasien yang alergi terhadap obat tersebut,
dialisis peritoneal.5 Risiko CAD meningkat (11) interferensi terapi akibat penggunaan
seiring dengan penurunan nilai LFG.5 Selain obat rekreasional, (12) masalah yang muncul
itu, pasien CKD usia lanjut yang menerima akibat dampak dari finansial terapi (13)
hemodialisis mengalami peningkatan pada kurangnya pemahaman terhadap terapi, dan
risiko CAD dan kematian setelah terjadinya (14) kegagalan terapi akibat ketidakpatuhan
penyakit koroner akut.5 pasien terhadap regimen terapi.8
DRPs didefinisikan sebagai setiap kondisi DRPs yang mencakup kejadian reaksi obat
dalam penatalaksanaan terapi pasien yang merugikan (ROM), pemberian terapi obat
menyebabkan, atau berpotensi menyebabkan, yang tidak perlu, pemilihan obat yang tidak
tidak tercapainya hasil terapi yang maksimal.6 tepat, dan indikasi yang tidak tertangani,
American Society of Hospital Pharmacy diketahui umum terjadi pada pasien yang
(ASHP) mengklasifikasikan DRPs sebagai dirawat di rumah sakit, dengan insidensi
144
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 4, Nomor 2, Juni 2015
Tabel 4 DRPs pada Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronis dengan Penyulit Penyakit Arteri
Koroner
No. Penatalaksanaan Penyakit Pasien Jenis DRP
1 Kalsium polistiren sulfonat Pemilihan obat tidak tepat
2 Amoksisilin sebagai antibiotik empiris Pemilihan obat tidak tepat
3 Kaptopril Dosis tidak tepat, pemilihan obat sebagai terapi tunggal
tidak tepat
4 Kadar glukosa darah pasien tinggi dan Indikasi yang tidak ditangani
tidak diperiksa secara berkala
5 Kaptopril – furosemide Potensi interaksi obat-obat
6 Kaptopril – isosorbid dinitrat Potensi interaksi obat-obat
7 Kaptopril – natrium bikarbonat Potensi interaksi obat-obat
yang dilaporkan mencapai 25%.9 Polifarmasi, mengekskresikan ion kalium lebih banyak
ketidakpatuhan terhadap terapi yang rendah, daripada usus halus. Penghentian terapi ini
dan perubahan dosis yang sering, serta usia disarankan, namun harus disertai dengan
lanjut diketahui berkaitan dengan peningkatan pemantauan kadar elektrolit (K+, Na+, Ca2+,
risiko kejadian DRPs.3,9,10 Cl- dan PO43-).
Jumlah DRPs yang terjadi pada pasien Pemilihan antibiotik amoksisilin sebagai
berhubungan secara linear dengan jumlah terapi empiris untuk gangren ringan hingga
obat yang dikonsumsi pasien.10 Pada pasien sedang juga dinilai kurang bijak karena
ESRD yang menerima hemodialisis, diketahui tidak sesuai dengan pilihan antibiotik yang
bahwa pasien menerima rata-rata 12 jenis direkomendasikan. Tatalaksana pemilihan
obat dan mengalami rata-rata enam penyakit antibiotik untuk gangren tidak ditemukan di
penyulit atau komorbiditas.1 Keterlibatan rumah sakit tempat studi kasus ini dilakukan.
dari apoteker klinis dalam tim interdisplin Berdasarkan dari studi literatur, antibiotik
medis diharapkan dapat mencegah terjadinya yang direkomendasikan untuk kasus ini antara
DRPs, progresi penyakit, dan perkembangan lain klindamisin, sefaleksin, levofloksasin,
penyakit penyulit, serta meningkatkan kualitas atau amoksisilin-asam klavulanat.12 Akan
hidup pasien.3 Dalam penelitian ini, hasil tetapi, karena pasien pada studi kasus ini
pemantauan terapi obat menunjukkan adanya adalah peserta JKN, maka pilihan antibiotik
DRPs yang terjadi yang dapat menyebabkan yang dapat digunakan adalah antibiotik
hasil terapi pasien tidak maksimal. levofloksasin, klindamisin, dan sefaleksin.13
Pemberian kalsium polistiren sulfonat Amoksisilin-asam klavulanat tidak termasuk
dinilai kurang bijak karena pasien tidak dalam Formularium Nasional JKN.
mengalami hiperkalemia ditandai dengan Bakteri yang berpotensi menyebabkan
serum kalium yang masih berada dalam gangren pada pasien di antaranya adalah
rentang normal. Kalsium polistiren sulfonat MSSA (methicillin-sensitive S. aureus),
diindikasikan untuk menangani hiperkalemia MRSA (methicillin-resistant S. aureus),
dengan berperan sebagai resin penukar kation Streptococcus spp, atau bakteri anaerob.12
(ion kalsium) dengan kalium sehingga kalium Idealnya, kultur kuman diperlukan untuk
yang berasal dari makanan tidak diabsorpsi di memastikan terapi definitif mengingat
usus besar dan dibuang bersama feses (1 mEq levofloksasin suboptimal terhadap S. aureus.12
Ca2+ menukar 2 mEq K+).11 Sebagian besar Namun, tidak tersedianya laboratorium untuk
mekanisme aksi ini terjadi di usus besar yang uji kultur kuman di rumah sakit bersangkutan
145
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 4, Nomor 2, Juni 2015
sehingga pemilihan antibiotik hanya dapat selama perawatan tekanan darah pasien
dilakukan secara empiris. Dengan demikian, tidak terkontrol secara optimal. Pemilihan
pilihan terapi yang dapat diberikan kepada kaptopril sebagai antihipertensi tunggal tidak
pasien adalah dengan antibiotik klindamisin menghasilkan luaran terapi yang diharapkan
atau sefaleksin karena spektrum yang relatif (target tekanan darah adalah <140/90 mmHg).17
luas dan mencakup bakteri anaerobik.12 Pada pasien dengan penyulit penyakit
Antibiotik yang tersedia di Instalasi Farmasi diabetes melitus atau penyakit ginjal kronis,
rumah sakit bersangkutan pada saat pasien di JNC 8 telah merekomendasikan penggunaan
rawat adalah klindamisin. Dosis klindamisin antihipertensi kombinasi dengan dosis titrasi
tidak membutuhkan penyesuaian pada pasien apabila target tekanan darah pada pasien
gangguan fungsi ginjal.14 Rekomendasi dosis tidak tercapai.17 Pemberian antihipertensi
klindamisin adalah 300 mg pada setiap 8 golongan diuretik thiazide dengan dosis
jam. Penyesuaian dosis akibat kondisi pasien titrasi17direkomendasikan pada hari keempat.
yang overweight tidak signifikan karena Namun, rekomendasi ini juga tidak dijalankan
klindamisin aktif cenderung hidrofil.14 Bila sehingga tekanan darah pasien selama
infeksi berkembang menjadi infeksi sedang, perawatan tetap berkisar antara 150/90
literatur merekomendasikan penggunaan mmHg dan 140/80 mmHg.
kombinasi dari klindamisin dengan kuinolon Dengan adanya riwayat DM pada pasien
(levofloksasin atau siprofloksasin).12 Namun, dan gangren yang sedang dialami pasien,
mempertimbangkan nilai GFR pasien yang pemantauan kadar glukosa darah secara rutin
sangat rendah (<10 mL/menit) penggunaan sangat diperlukan pada pasien serta diberikan
kuinolon sebaiknya dihindari. Rekomendasi obat antidiabetes (OAD) jika diperlukan.
durasi terapi antibiotik untuk gangren yaitu 1 Namun, pada kasus ini, pemeriksaan kadar
hingga 2 minggu.12 Rekomendasi mengenai glukosa darah hanya dilakukan satu kali, yaitu
pemilihan antibiotik ini tidak dijalankan saat pasien baru masuk rumah sakit dan pasien
sehingga infeksi tidak mengalami perbaikan. tidak diberikan OAD. Pemantauan kembali
Dokter lalu menyarankan untuk dilakukannya terhadap kadar glukosa darah sewaktu dan
pembedahan terhadap gangren, namun pasien kadar glukosa darah 2 jam post-prandial di
meminta penundaan pembedahan. hari rawat selanjutnya tidak dilakukan untuk
Ketidaktepatan pada dosis berupa dosis mengkonfirmasi kondisi diabetes pasien,
berlebih terjadi pada pemberian kaptopril. padahal tidak ada jaminan glukosa darah
Pemberian kaptopril pada pasien dengan pasien stabil saat berada di rumah sakit. Bila
GFR <10 mL/menit sebaiknya dilakukan kadar glukosa darah pasien menunjukkan
dengan titrasi dosis, yaitu diberikan sebanyak nilai di atas normal, maka terapi lini pertama
50% dari dosis lazim setiap 24 jam (25 mg/ yang dapat direkomendasikan untuk pasien
hari yang diberikan dalam dua dosis terbagi ini adalah OAD golongan tiazolidindion
atau 2 x 12,5 mg), disertai monitoring kadar (misal: pioglitazon, rosiglitazon), DPP-4
ureum, kreatinin, dan kalium secara berkala, inhibitor (sitagliptin, vildagliptin), ataupun
kemudian ditingkatkan perlahan hingga dosis golongan insulin.18,19 Waktu paruh eliminasi
rekomendasi (50 mg/hari yang diberikan pioglitazon dan rosiglitazon tidak berubah
dalam dua dosis terbagi atau 2 x 25 mg).15,16 pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
Rekomendasi ini juga tetap tidak dijalankan sedang dan berat, sehingga tidak diperlukan
sehingga walaupun tekanan darah pasien penyesuaian dosis. Namun, tiazolidindion
mengalami perbaikan dan tekanan darah dapat mengeksaserbasi CHF pada beberapa
saat keluar dari rumah sakit adalah normal, pasien sehingga penggunaannya pada pasien
146
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 4, Nomor 2, Juni 2015
ini sebaiknya dihindari.20 Penggunan DPP- secara bertahap sampai dosis terkecil.
4 inhibitor dapat meningkatkan nilai serum b. Kombinasi obat antihipertensi diperlukan
kreatinin dan penggunaannya pada pasien untuk mendapatkan kontrol tekanan
dengan gangguan fungsi ginjal sedang darah yang lebih optimal.
hingga berat perlu diwaspadai meski tidak c. Dilakukan pemeriksaan secara rutin pada
dikontraindikasikan.21 Tiazolidindion dan kadar glukosa darah sewaktu dan kadar
DPP-4 inhibitor juga tidak termasuk dalam glukosa darah 2 jam post-prandial untuk
Formularium Nasional JKN, maka terapi mengevaluasi kebutuhan terapi OAD
pemeliharaan dengan insulin subkutan dapat pada pasien.
menjadi pilihan.13 d. Penggantian antibiotik dari amoksisilin
Interaksi obat juga rawan terjadi pada ke amoksisilin-asam klavulanat dengan
kasus ini. Interaksi dari kaptopril–furosemid dosis 375–625 mg setiap 24 jam sesuai
dapat memunculkan efek aditif yang dapat dengan GFR pasien.14
menyebabkan hipotensi akut dan hipovolemia e. Pemberian terapi tambahan untuk
sehingga diperlukan monitoring pada tekanan CAD, yaitu pemberian atorvastatin atau
darah, diuresis, elektrolit, dan fungsi renal.22 simvastatin untuk mengurangi risiko
Interaksi kaptopril–isosorbid dinitrat dapat mortalitas dan kematian pada CAD.23,24
meningkatkan efek hipotensif dari isosorbid Statin diketahui mampu memperlambat
dinitrat, mencegah toleransi nitrat, dan progresivitas regregasi arterosklerosis
meningkatkan efek isosorbid dinitrat sehingga pada penyakit arteri koroner.23,24 Walaupun
diperlukan monitoring tekanan darah rutin.22 demikian, penggunaan statin berisiko
Risiko efek samping juga dapat dikurangi menyebabkan rabdomiolisis, namun hal
dengan memberikan jeda waktu terlebih ini sangat jarang terjadi. Rabdomiolisis
dahulu di antara waktu konsumsi kedua obat. umumnya terjadi pada penggunaan dosis
Interaksi kaptopril–natrium bikarbonat dapat statin di atas 20 mg/hari, terutama pada
menurunkan bioavailabilitas oral kaptopril pasien yang juga menerima siklosporin,
sehingga diperlukan pemisahan pada waktu asam nikotinat, atau gemfibrozil.25,26 Pada
pemberian kaptopril 1 sampai 2 jam setelah atorvastatin tidak memerlukan adanya
natrium bikarbonat.22 modifikasi dosis pada pasien dengan
Berdasarkan analisis terhadap kondisi gangguan fungsi ginjal berat sehingga
pasien meskipun dengan adanya keterbatasan dapat digunakan pada dosis 10 – 20 mg/
data yang diperlukan, apoteker klinis di hari.23–25 Namun, atorvastatin tidak masuk
rumah sakit dapat memberikan beberapa ke dalam Formularium Nasional JKN.13
rekomendasi bagi tenaga kesehatan lain Dosis simvastatin perlu disesuaikan,
yang terlibat dalam penanganan pasien untuk yaitu 5 mg sehari 1 kali. dan dimonitor
mencegah dan mengatasi DRPs, yaitu: penggunaannya.28 Pasien diedukasi agar
1. Untuk rekan dokter dapat diberikan segera memberitahu dokter/apoteker bila
rekomendasi sebagai berikut: muncul keluhan nyeri otot, lemah otot,
a. Titrasi dosis kaptopril untuk pasien. atau urin berwarna coklat.
Dosis kaptopril yang diberikan kepada f. Pemeriksaan penunjang lain yang meliputi
pasien adalah 2 x 25 mg. Dosis tersebut pemeriksaan elektrolit lengkap, pH darah,
dapat digunakan hingga target tekanan protein urin, dan kolesterol (HDL, LDL,
darah (<140/90 mmHg) tercapai. Jika tigliserida, dan kolesterol total) perlu
efek obat terhadap tekanan darah sudah dilakukan secara rutin. Kultur kuman
tercapai, maka dosis dapat diturunkan juga diperlukan agar pemilihan antibiotik
147
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 4, Nomor 2, Juni 2015
148
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 4, Nomor 2, Juni 2015
149
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 4, Nomor 2, Juni 2015
150