Você está na página 1de 7

Menurut KPK, Lebih Baik Revisi UU Tipikor daripada Atur Korupsi Lewat

KUHP

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) mengusulkan sebaiknya


pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merevisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( Tipikor) daripada mengatur pidana
korupsi melalui KUHP. Hal itu disampaikan Ketua KPK Agus Rahardjo di Kompleks Parlemen,
Senayan, Jakarta, Kamis (7/6/2018). Menurut Agus, selama ini pemerintah dan DPR
beralasan Undang-Undang Tipikor belum memuat beberapa ketentuan pidana korupsi yang
termaktub dalam United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) dan berencana
memasukkannya ke dalam KUHP. "Kalau Undang-undang Tipikor perlu disempurnakan
karena masih ada gap dengan UNCAC ya itu nanti yang direvisi Undang-undang Tipikornya,"
kata Agus.
Sebab, menurut dia, jika membuat ketentuan baru tentang korupsi dalam KUHP
dikhawatirkan nantinya mengesampingkan Undang-Undang Tipikor. Padahal, Undang-
undang Tipikor sudah mumpuni untuk menjadi panduan pemberantasan korupsi bagi KPK,
Polri, dan Kejaksaan. Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif mengatakan dimasukannya ketentuan
pidana korupsi dalam KUHP justru menimbulkan ketidakpastian hukum karena akan
mengesampingkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor).
Ia juga tak sepakat dengan DPR yang beralasan pentingnya pengaturan pidana korupsi
dalam RKUHP untuk menjadi pedoman Polri dan Kejaksaan dalam memberantas korupsi.
Sebab, menurut dia, Undang-Undang Tipikor sudah menaungi pemberantasan korupsi oleh
KPK, Polri, dan Kejaksaan. "Undang-undang Tipikor kan juga dipakai polisi dan kejaksaan
kan. Jadi jangan memaksakan sesuatu yang menimbulkan ketidakpastian," kata Laode di
Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/6/2018). "Ya memang begitu. kalau
misalnya Undang-undang Tipikor itu kan sudah enak dijalankan oleh polisi, jaksa dan, KPK.
Jadi kenapa yang sudah khusus dimasukkan lagi ke dalam yang umum?" lanjut dia.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Menurut KPK, Lebih Baik Revisi UU
Tipikor daripada Atur Korupsi Lewat KUHP",
https://nasional.kompas.com/read/2018/06/08/09375731/menurut-kpk-lebih-baik-revisi-
uu-tipikor-daripada-atur-korupsi-lewat-kuhp.
Penulis : Rakhmat Nur Hakim
Editor : Sabrina Asril
Kekhususan UU Tipikor Dikhawatirkan Akan Hilang jika RKUHP Disahkan

JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia


Corruption Watch (ICW) Lalola Easter mengkhawatirkan hilangnya sifat khusus Undang-
Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)
jika rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) disahkan. Sebagaimana
diketahui, DPR dan pemerintah mencantumkan delik tindak pidana korupsi dalam draf
RKUHP per 9 April 2018. Namun, dalam draf tersebut terdapat pasal yang berpotensi
menghilangkan sifat khusus UU Tipikor, yakni Pasal 723.
Pasal 723 menyatakan, dalam jangka waktu satu tahun sejak KUHP dinyatakan berlaku, Buku
Kesatu yang memuat Ketentuan Umum menjadi dasar bagi ketentuan-ketentuan pidana di
luar KUHP. "Jadi satu tahun setelah KUHP berlaku itu semua asas yang selama ini ada di UU
sektoral harus kembali lagi ke RKUHP. Asas hukum yang selama ini sudah diatur secara
khusus dalam UU tipikor dan UU KPK akan kembali ke KUHP," ujar Lalola saat dihubungi,
Selasa (5/6/2018). Lalola mencontohkan soal potensi hilangnya asas hukum terkait pidana
tambahan uang pengganti yang diatur dalam UU Tipikor. Sebab, Ketentuan Umum KUHP
tidak mengatur asas pidana tambahan uang pengganti. Bentuk pidana tambahan uang
pengganti dalam pasal 18 UU Tipikor tidak dicantumkan dalam pasal 72 RKUHP. Sementara,
selama ini asas tersebut menjadi mekanisme yang digunakan KPK untuk mengembalikan
kerugian negara yang dikorupsi. "Kerugian negara selama ini mekanisme pengembaliannya
lewat pidana tambahan uang pengganti di UU Tipikor, itu akan tidak ada lagi karena yang
berlaku nantinya asas-asas yang diatur dalam ketentuan umum RKUHP," kata Lalola
DPR akan segera menuntaskan pembahasan RKUHP. Itu tampak dari pernyataan Ketua DPR
Bambang Soesatyo yang mengatakan bahwa pembahasan RKUHP tengah berjalan dan
ditargetkan selesai pada Agustus mendatang. Bambang juga memastikan pembahasan
RKUHP akan selesai sebelum HUT RI ke 73 pada 17 Agustus 2018. Bahkan ia menyebut KUHP
akan menjadi kado bagi bangsa Indonesia dari DPR saat peringatan kemerdekaan RI.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kekhususan UU Tipikor Dikhawatirkan
Akan Hilang jika RKUHP Disahkan",
https://nasional.kompas.com/read/2018/06/05/17430991/kekhususan-uu-tipikor-
dikhawatirkan-akan-hilang-jika-rkuhp-disahkan.
Penulis : Kristian Erdianto
Editor : Krisiandi
Jika Disahkan, RUU KUHP Berpotensi "Bunuh" KPK

JAKARTA, KOMPAS.com — Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar
mengatakan, rancangan Undang-Undang KUHP yang saat ini masih dibahas di DPR
berpotensi "membunuh" Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jika nantinya disahkan. "Jika
(RUU KUHP) disahkan, secara langsung atau tidak langsung akan membunuh KPK, itu bukan
lagi sekadar memperlemah," ujar Fickar dalam sebuah diskusi di bilangan Cikini, Jakarta
Pusat, Jumat (26/1/2018). Pasalnya, sejumlah ketentuan tindak pidana korupsi yang secara
khusus sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK turut dimasukkan
ke dalam RUU KUHP. Misalnya, berdasarkan draf Februari 2017, Pasal 687 RUU KUHP
senada dengan Pasal 2 UU Tipikor, Pasal 688 RUU KUHP senada dengan Pasal 3 UU Tipikor,
Pasal 689 RUU KUHP senada dengan Pasal 4 UU Tipikor, dan sebagainya.
Hukum di Indonesia menganut tiga prinsip. Pertama, produk hukum yang khusus
mengalahkan yang umum. Kedua, produk hukum yang tinggi mengalahkan yang rendah, dan
ketiga, produk hukum yang baru mengalahkan yang lama. Dengan demikian, jika RUU KUHP
disahkan, UU lama, meskipun mengatur kekhususan, tidak lagi digunakan. "Kalau begitu
jelas, ini menggeser UU Tipikor dan KPK yang bersifat extraordinary crime ke tindak pidana
yang bersifat biasa-biasa saja. Otomatis, konsekuensinya adalah menggeser cara
penanganan tindak pidananya dari yang khusus menjadi biasa saja," ujar Fickar.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menegaskan bahwa KPK tidak akan
kehilangan kewenangannya yang bersifat khusus sekalipun tindak pidana korupsi nantinya
akan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Menurut Yasonna, hal
tersebut tak akan menghapuskan sifat lex specialis atau kekhususan KPK. Hal serupa terjadi
pada lembaga lain, misalnya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Badan
Narkotika Nasional (BNN). "Kecuali dengan undang-undang ini kewenangan yang bersifat
khusus dari KPK, BNN, BNPT akan hilang. Itu barulah ribut sedunia. Ini kan enggak," kata
Yasonna seusai acara buka bersama di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu
(14/6/2017).

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Jika Disahkan, RUU KUHP Berpotensi
"Bunuh" KPK", https://nasional.kompas.com/read/2018/01/26/19055521/jika-disahkan-
ruu-kuhp-berpotensi-bunuh-kpk.
Penulis : Fabian Januarius Kuwado
Ketentuan Tipikor Dalam RKUHP Berpotensi Timbulkan Dualisme Hukum
JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting
menilai, masuknya ketentuan tindak pidana korupsi (tipikor) dalam rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) akan menimbulkan dualisme hukum. Pasalnya,
meski tipikor diatur dalam RKUHP, namun Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) tetap berlaku. Sebab, tim Panitia Kerja
(Panja) RKUHP dari pemerintah menegaskan bahwa UU Tipikor sebagai undang-undang
sektoral tidak kehilangan sifat khususnya.
Lewat KUHP Argumen tersebut didasarkan pada pasal 729 yang menyebut ketentuan bab
tentang tindak pidana khusus (tipikor) dalam KUHP tetap dilaksanakan berdasarkan
kewenangan lembaga yang telah diatur dalam UU masing-masing. "Timbul dualisme
pengaturan ketika ketentuan tipikor diserap ke dalam RKUHP sementara UU Tipikor tetap
hidup," ujar Miko dalam diskusi di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta
Selatan, Minggu (10/6/2018). Menurut Miko, dualisme tersebut akan menyebabkan
persoalan dengan adanya perbedaan ancaman pidana dalam RKUHP dan UU Tipikor.
Akibatnya, aparat penegak hukum akan kesulitan dalam menentukan aturan hukum mana
yang akan digunakan. "Dualisme pengaturan tidak masalah jika standarnya sama. Kalau
Ancaman pidananya berbeda, mana yang akan berlaku, UU Tipikor atau RKUHP," kata Miko.
Dalam pasal 687 RKUHP per 9 April 2018, seseorang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
merugikan keuangan negara, diancam pidana minimal 2 tahun dan maksimal 20 tahun
dengan denda minimal 10 juta Rupiah hingga maksimal 2 miliar Rupiah. Sedangkan delik
yang sama dalam pasal 2 UU Tipikor ancaman pidana penjaranya minimal 4 tahun dan
maksimal 20 tahun. Selain itu, diatur pula denda minimal Rp 200 juta dan maksimal Rp 1
miliar. Perbedaan ancaman pidana dan denda juga terdapat dalam pasal 688 RKUHP dengan
pasal 3 UU Tipikor.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ketentuan Tipikor Dalam RKUHP
Berpotensi Timbulkan Dualisme Hukum",
https://nasional.kompas.com/read/2018/06/10/17013441/ketentuan-tipikor-dalam-rkuhp-
berpotensi-timbulkan-dualisme-hukum.
Penulis : Kristian Erdianto
Editor : Sandro Gatra
KPK Nilai RKUHP Berpotensi Jadi Celah Baru Lemahkan KPK
JAKARTA, KOMPAS.com - Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) Febri Diansyah
menuturkan, keberadaan pasal-pasal korupsi dalam rancangan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana ( RKUHP) berpotensi menjadi celah baru dalam merevisi Undang-Undang
tentang KPK ke depannya. "Jangan sampai ketika ada KUHP baru yang mengatur tentang
tindak pidana korupsi, maka menjadi celah atau cara baru untuk melakukan revisi UU KPK ke
depan. Kita tahu sejarah dorongan revisi UU KPK selama ini selalu substansinya melemahkan
KPK," kata Febri di gedung KPK, Jakarta, Senin (4/6/2018). Febri mencontohkan, dulu
sejumlah kewenangan KPK sempat terancam dipersulit. Selain itu, masa keberadaan KPK
juga sempat diwacanakan hanya sampai batas waktu tertentu, dan bisa dibubarkan. "Nah ini
yang harus kita cegah dan antisipasi sejak awal," kata dia.
Ia menegaskan, KPK juga tak ingin keberadaan RKUHP nantinya menguntungkan para
koruptor. Febri menilai tak sulit bagi Pemerintah dan DPR untuk mengeluarkan pasal-pasal
korupsi dari RKUHP. Ia berharap pihak-pihak terkait dalam pembahasan RKUHP bisa
membawa agenda pemberantasan korupsi di masa depan menjadi lebih baik. "Nanti bisa
diskusikan lebih jauh, misalnya sebagai concern dari Presiden mendorong revisi UU Tipikor.
Jadi UU ini yang akan kita dorong untuk direvisi. Ini kami percaya akan lebih mempermudah
pemberantasan korupsi ke depan," kata dia. Febri mengingatkan seluruh pihak lainnya agar
mampu membawa agenda pemberantasan korupsi ke arah yang lebih baik.
Jika pasal korupsi dipaksakan masuk ke dalam RKUHP, akan berisiko besar bagi kinerja KPK,
kewenangan KPK, dan agenda pemberantasan korupsi. "Ini yang kami harapkan bisa
didengar bisa ditindaklanjuti juga baik oleh Presiden dan DPR," kata Febri. "Jadi KPK sudah
mengirimkan surat kepada presiden, juga sudah mengirimkan surat kepada panja DPR dan
Kemenkumham. Kami uraikan risiko dan pendapat KPK," ujar dia. Menurut Febri, sikap
resmi yang telah disampaikan oleh Wakil Ketua KPK Laode M Syarif beberapa waktu silam
didasarkan atas kajian yang matang. Febri menuturkan, KPK sudah mengingatkan berkali-
kali kepada pihak terkait atas risiko masuknya pasal korupsi dalam RKUHP. "Kajian
sebenarnya sudah kami lakukan sejak 2014 dan 2015. Dalam draf pertama sudah kami
wanti-wanti sejak awal ada risiko besar bagi pemberantasan korupsi, kalau seperti ini masih
diteruskan," ucap dia.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "KPK Nilai RKUHP Berpotensi Jadi Celah
Baru Lemahkan KPK", https://nasional.kompas.com/read/2018/06/05/07164911/kpk-nilai-
rkuhp-berpotensi-jadi-celah-baru-lemahkan-kpk.
Penulis : Dylan Aprialdo Rachman
Editor : Sabrina Asril
Pasal dalam RKUHP yang Berpotensi Melemahkan Pemberantasan Korupsi
JAKARTA, KOMPAS.com - Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang saat ini
dibahas di DPR dinilai berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Adapun,
salah satu aturan dalam RKUHP yang menjadi sorotan adalah Ketentuan Peralihan, terutama
Pasal 723. Pasal itu menyatakan bahwa dalam jangka waktu satu tahun, seluruh asas hukum
yang diatur dalam Buku Kesatu KUHP yang memuat Ketentuan Umum akan menjadi dasar
bagi ketentuan pidana di undang-undang lainnya. Anggota Divisi Hukum dan Monitoring
Peradilan Indonesia Corruption Watch ( ICW) Lalola Easter berpendapat bahwa pasal
tersebut akan menghilangkan sifat khusus penanganan perkara korupsi. "Karena merujuk ke
Buku Kesatu, penanganan perkara korupsi kehilangan sifat khususnya. Buku Kesatu kan
isinya ketentuan umum," ujar Lalola saat dihubungi, Selasa (5/6/2018).
Menurut Lalola, Pasal 723 akan mengesampingkan ketentuan Pasal 729 dalam RKUHP.
Selama ini, Pasal 729 menjadi dasar DPR dan pemerintah untuk meyakinkan publik bahwa
KPK tidak akan kehilangan kewenangannya dalam menangani kasus korupsi.
Artinya,Undang-Undang Tipikor dan Undang-Undang KPK akan tetap berlaku secara khusus,
meski KUHP mengatur ketentuan tindak pidana khusus. Namun, ketentuan Pasal 723 dinilai
Lalola justru akan menghilangkan asas-asas hukum yang diatur secara khusus dalam UU
Tipikor dan UU KPK. "Seluruh undang-undang di luar KUHP, norma hukumnya akan merujuk
ke Buku Kesatu RKUHP. Jadi misalnya kalau soal pengecualian asas-asas yang ada di UU
tipikor itu jadi tidak berlaku lagi," kata Lalola. Ia mencontohkan soal potensi hilangnya asas
hukum terkait pidana tambahan uang pengganti yang diatur dalam UU Tipikor. Sebab,
Ketentuan Umum KUHP tidak mengatur asas pidana tambahan uang pengganti.
Sementara, selama ini asas tersebut menjadi mekanisme yang digunakan KPK untuk
mengembalikan kerugian negara yang dikorupsi. Contoh lainnya adalah soal ketentuan
pidana maksimal seumur hidup bagi terpidana kasus korupsi yang tidak diatur dalam Buku
Kesatu KUHP. "Pidana tambahan uang pengganti itu bisa tidak ada lagi karena Buku Kesatu
tidak mengatur soal itu," ujar Lalola. "Begitu juga dengan ketentuan pidana maksimal
seumur hidup itu juga nanti tidak akan lagi," ucapnya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ini Pasal dalam RKUHP yang
Berpotensi Melemahkan Pemberantasan Korupsi",
https://nasional.kompas.com/read/2018/06/05/16492901/ini-pasal-dalam-rkuhp-yang-
berpotensi-melemahkan-pemberantasan-korupsi.
Penulis : Kristian Erdianto
Editor : Bayu Galih
Nama : Fahrizal Wahyu

Garuda / kastria : 13/12

Tema : Dimasukkannya pasal Tipikor ke dalam RKUHP, membuat pemberantasan

Korupsi berjalan mundur.

Peran : Mahasiswa Pro

Surabaya – Adanya berita yang menyatakan bahwa RKUHP yang sedang digodok oleh DPR dinilai
berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Ada beberapa aturan dalam RKUHP
terutama Ketentuan Peralihan pasal 723 yang menyatakan dalam jangka satu tahun, seluruh asas
hukum yang diatur dalam Buku Kesatu KUHP akan menjadi dasar bagi ketentuan pidana di undang-
undang lain. Saya berpikir bahwa pidana tipikor yang seharusnya berupa pidana khusus yang setara
dengan terorisme dan narkoba akan menjadi pidana umum yang mana pengaturan pidana dan
denda lebih kecil dan penangannya akan lebih banyak diatur oleh pihak lain. Seharusnya tindak
pidana tipikor lebih baik diserahkan kepada KPK agar tidak terjadi dualisme antara pihak KPK dengan
pihak penegak hukum lain.

Jika saja RKUHP yang berisi UU tipikor disahkan maka, pasti UU tipikor yang telah ada akan
kehilangan sifat kekhususannya sebagai dasar hukum penanganan korupsi yang khusus sebagaimana
terorisme dan narkoba.

Indonesia menganut tiga ketentuan hukum. Pertama produk hukum yang bersifat khusus
mengalahkan yang umum. Kedua, produk hukum yang tinggi mengalahkan yang rendah. Dan yang
ketiga produk hukum yang baru mengalahkan yang lama. Jika saja ada yang mengatakan UU Tipikor
yang lama tetap akan digunakan meskipun UU Tipikor dalam KUHP telah disahkan akan tetap
digunakan maka dalam prosesnya akan mengalami banyak kendala karena bingung harus
menggunakan dasar hukum yang mana. Dan prosedurnya bisa bertabrakan dari KPK dengan aparat
lain. Inilah yang disebut dualisme.

Selain adanya kehilangan sifat kekhususan pada UU Tipikor dan dualisme pada prosesnya,

Você também pode gostar