Você está na página 1de 15

LAPORAN PRAKTIKUM

DASAR TEKNOLOGI HASIL TERNAK


“UJI KUALITAS DAGING DAN PRODUK DAGING”
Dosen : Ir. Retno Budi Lestari, M.Sc

Disusun oleh :
YUVENSIUS WELLY
C1071141041

PRODI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN


UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah
pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging
antara lain adalah genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan
termasuk bahan aditif dan stres. Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi
kualitas daging antara lain meliputi metode pelayuan, metode pemasakan, pH karkas
dan daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, macam otot daging
dan lokasi pada suatu otot daging (Soeparno, 2005).

Kualitas suatu produk sangat menentukan tingkat keberhasilan usaha produk


tersebut. Hal ini juga berlaku pada produk daging. Daging dengan kualitas yang baik
akan lebih digemari oleh konsumen. Kualitas daging salah satunya dapat dilihat dari
sifat fisik daging tersebut. Pengujian sifat fisik daging diantaranya dilakukan dengan
pengujian pH daging, daya mengikat air, susut masak dan keempukan daging. Sifat fisik
daging mempengaruhi kualitas pengolahan daging. Daging yang memiliki kualitas sifat
fisik yang bagus tentunya akan memberikan produk pengolahan yang bagus dan akan
mempermudah selama proses pengolahannya. Penentuan kualitas sifat fisik daging
perlu dikaukan dengan benar dan teliti sehingga menghasilkan data yang akurat. Untuk
itu diperlukan keahlian dan keterampilan serta pemahaman lanjut tentang cara dan
metode pengujian ini.

Daging segar merupakan daging yang baru dipotong, belum mengalami


pengolahan lebih lanjut dan belum disimpan untuk waktu yang lama. Daging segar
cenderung memeiliki kualitas kandungan nutrisi dan penampakan lebih baik. Hal ini
terjadi karena daging belum mengalami pengolahan lebih lanjut dan belum disimpan
lama. Indikator yang dapat dijadikan kualitas daging ini adalah kekenyalan, warna
daging, bau dan tekstur. Selain itu, daging segar tidak berlendir, tidak terasa lengket
ditangan dan terasa kebasahannya (Deptan, 2001). Daging beku adalah daging yang
telah mengalami penyimpanan pada suhu dingin. Tujuan penyimpanan ini adalah untuk
mengawetka atau agar daging tersebut bisa digunakanan dalam jangka waktu yang
cukup lama. Daging dalam kondisi seperti ini akan mengalami perubahan sifat fisik
akibat pengaruh suhu yang dingin.

Nilai pH daging ini perlu diketahui karena pH daging akan menentukan tumbuh
dan berkembangnya bakteri. Hampir semua bakteri tumbuh secara optimal pada pH
sekitar 7 dan tidak akan tumbuh persis dibawah pH 4 atau diatas 9, tetapi pH untuk
pertumbuhan optimal ditentukan oleh kerja stimulan dari berbagai variabel lain di luar
faktor keasaman itu sendiri (Lawrie, 1979). Penurunan nilai daya ikat air oleh protein
daging, dan pada saat penyegaran kembali (thawing) daging beku, terjadi kegagalan
serabut otot menyerap kembali semua air yang mengalami translokasi atau keluar pada
saat penyimpanan beku (Bratzler et al., 1977 dan Lawrie, 1979). Semakin tinggi cairan
yang keluar dari daging menunjukkan bahwa nilai daya ikat air oleh protein daging
tersebut semakin rendah (Soeparno, 1998). Penurunan nilai daya mengikat air juga
dapat meningkatkan nilai susut masak (Jamhari, 2000). Nilai susut masak merupakan
nilai massa daging yang berkurang setelah proses pemanasan atau pengolahan masak.
Daging yang mempunyai angka susut masak rendah, memiliki kualitas yang baik
karena kemungkinan keluarnya nutrisi daging selama pemasakan juga rendah (Yanti,
2008)

Keempukan daging merupakan faktor penting dalam pengolahan daging.


Keempukan dapat diukur dengan nilai daya putus Warner-Bratzler (WB). Keempukan
sangat berkaitan erat dengan status panjang sarkomer otot. Nilai keempukkan daging
terbagi atas tiga bagian, yaitu kisaran empuk dengan skala 0-3 Kg/g, cukup/sedang
dengan skala 3-6 Kg/g, dan alot dengan skala >6-11 Kg/g (Pearson dan Young, 1971).

1.2. Tujuan Praktikum


1. Mahasiswa mampu melakukan analisis kualitas daging yang meliputi kadar air, pH,
WHC dan susut masak/cooking loss.
2. Mahasiswa mampu menganalisis perubahan kualitas daging yang disimpan pada suhu
kamar dan didinginkan/dibekukan selama waktu tertentu.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Ayam (Gallus domesticus) memiliki beberapa klasifikasi, diantaranya adalah


ayam ras (ayam negeri), ayam kampung dan ayam hutan. Ayam kampung
menghasilkan daging yang lebih enak dari pada ayam negeri. Hal ini karena
kemampuan genetis yang membedakan antara kedua jenis ayam ini. Tetapi untuk
produksi telurnya ayam ras lebih disukai oleh masyarakat digunakan sebagai bahan
makanan atau olahan makanan dibanding dengan ayam kampung yang dari segi
harganya sedikit lebih mahal dan hanya digunakan untuk olahan makanan tradisional
(Rasyaf, 2000). Kedudukan ayam dalam sistematika (taksonomi) hewan dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
- Filum: Chordata
- Sub filum: Vertebrata
- Kelas: Aves
- Sub kelas: Neornithes
- Ordo: Galliformes
- Genus: Gallus
- Spesies: Gallus domesticus
(Suprijatna et al., 2005).
Ayam segar yang biasa digunakan untuk pengolahan terdiri dari tiga, yaitu:
1. Ayam segar biasa (segera dimasak, hanya tahan 4 - 6 jam setelah dipotong)
2. Ayam segar dingin (tahan 24 jam, dimasukkan dalam lemari es)
3. Ayam segar beku (tahan untuk beberapa hari jika disimpan dalam kondisi yang
tepat, 24°C dibawah nol.
Untuk memilih daging ayam segar yang biasa perlu diperhatikan beberapa hal,
yaitu warna daging yang putih kekuningan, warna lemak yang putih kekuningan dan
merata di bawah kulit, memiliki bau yang segar, kekenyalan yang elastis dan tidak ada
tanda-tanda memar atau tanda lain yang mencurigakan (Litbang Deptan, 2007).
Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil
pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak
menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya (Soeparno, 1994).
Komposisi daging terdiri dari 75% air, 19% protein, 3,5% substansi nonprotein yang
larut, dan 2,5% lemak (Lawrie, 2003). Daging dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu
daging segar dan daging olahan. Daging segar merupakan daging yang belum
mengalami pengolahan dan dapat dijadikan bahan baku pengolahan pangan. Sedangkan
daging yang diperoleh dari hasil pengolahan dengan metode tertentu dengan atau tanpa
bahan tambahan, misalnya sosis, dendeng, daging burger dan daging olahan dalam
kaleng dan sebagainya merupakan daging olahan (Desroiser, 1988).
Susut masak merupakan banyaknya berat yang hilang selama proses pemasakan
(cooking loss). Semakin tinggi temperatur dan waktu pemasakan, maka semakin besar
kadar cairan daging yang hilang sampai tingkat konstant. Susut masak juga merupakan
salah satu indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar jus daging
yaitu jumlah air yang terikat di dalam dan diantara serabut otot. Susut masak
dipengaruhi oleh temperatur dan lama pemasakan (Soeparno, 2005). Susut masak
merupakan salah satu penentu kualitas daging yang penting, karena berhubungan
dengan banyak sedikitnya air yang hilang serta nutrien yang larut dalam air akibat
pengaruh pemasakan. Susut masak dapat dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer
serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi miofibril, ukuran dan berat
sampel daging serta penampang lintang daging (Prayitno dkk., 2010).
BAB III

METODE PRAKTIKUM

3.1. Waktu dan Tempat


Praktikum dilakukan pada hari kamis, tanggal 20 Desember 2018 yang bertempat
di Laboratorium pangan Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura.

3.2. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah :
a. Pisau f. Timbangan analitik
b. Tissue g. Cawan petri
c. Labu erlenmyer h. Buret mikro
d. Beaker glass i. Gelas ukur
e. Pipet tetes j. pH meter

Bahan
Bahan yang diperlukan untuk praktikum ini adalah :
a. Daging ayam f. Plastik PE
b. Larutan NaOH
c. Indikator Phenolphthalien PP 1%
d. Larutan K-Oksalat
e. Formaldehyde
3.3. Diagram alir

Timbang 5 gr sampel daging

Beeker glas di isi 50 ml aquades dan didihkan

Sampel daging dimasukkan kedalam air yang mendidih

Sampel diangkat dari beaker glass

Setelah sampel dingin, dikeringkan dengan tisue tanpa harus di tekan

Sampel di timbang

Lalu dihitung susut masaknya

Penentuan pH

Test mode selective pada posisisi

Knop di atur suhu sesuai dengan suhu sampel


pH meter dikalibrasi dengan memasukkan elektroda

Elektroda dibilas dengan aquades dan di lap dengan tisue

Diklabirasi elekroda dengan mengunakan buffer pH 4

Elektroda yang telah diklabirasi kemudian dimasukkan kedalam larutan

Angka yang terbaca pada layar pH meter dicatat setealah angka konstan

Penentuan Kadar Protein

Ambil 5 ml kaldu daging

Tambahkan 10 ml aquades dan 0,4 ml larutan k-oksalat jenuh

Tambahkan 0,5 ml phenolphthalin 1 %


Titrasi larutan dengan NaOH 0,1 N, sampai warna merah jambu

Setelah warna merah jambu ditambahkan 1 ml fomaldehyde 40 % dan


bewarna semula

Titrasi kembali dengan larutan NaOH 0,1 N sampai warna merah muda

Lalu buat titrasi blangko

Hitunglah kadar protein


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Sampel Berat awal Berat akhir
Daging (B2) 48,83 gr 47,91 gr
Daging (D2) 48,02 gr 47,24 gr

Perhitungan drip :
Berat cairan
B2 : % drip = x 100 %
Berat daging
0,92
= x 100 % = 1,92 %
47,91

Berat cairan
D2 : % drip = x 100 %
Berat daging

0,78
= x 100% = 1,65 %
47,24

Berat awal – berat akhir


Berat awal

1. Pengukuran Cooking Loss (Susut Masak)


Sampel Berat awal Cooking Loss
Daging 1 (B2) 5 gr 3,17 gr
Daging 2 (D2) 5 gr 3,31 gr

Perhitungan
Berat sampel sebelum dimasak – berat sampel setelah dimasak
Cooking loss = x 100 %
Berat sampel sebelum dimasak

5 – 3,25
B2 = x 100 % = 60 %
5
5 – 3,45
D2 = x 100 % = 64 %
5

2. Penentuan pH
Sampel Kadar Ph
Daging 1 (B2) 6
Daging 2 (D2) 5,86

3. Penentuan Kadar Protein


a. Hasil titrasi sampel (X) : 1,4 ml
b. Hasil titrasi blanko (Y) : 0,5 ml
Faktor konversi : 6,25
- % N = Titrasi formol x 0,1 x 14,008
= (X-Y) x 0,1 x 14,008

= (1,4 – 0,5) x 0,1 x 14,008

= 1,26 %

- % protein = %N x faktor konversi


= 1,26 x 6,25
= 7,875 %
c. Kadar protein : 7,875 %
4.2. Pembahasan
Daya ikat air oleh protein daging atau Water Holding Capacity (WHC)
didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk menahan air. Daging juga mempunyai
kemampuan untuk menyerap air secara spontan dari lingkungan yang mengandung
cairan.
Susut masak adalah perhitungan berat yang hilang selama pemasakan atau
pemanasan pada daging. Pada umumnya, makin lama waktu pemasakan makin besar
kadar cairan daging hingga mencapai tingkat yang konstan. Susut masak merupakan
indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar jus daging yaitu banyaknya
air yang terikat diantara serabut otot. Jus daging merupakan komponen dari daging yang
ikut menentukan keempukan daging. (Soeparno, 1992)
Nilai pH daging merupakan salah satu kriteria dalam penentuan kualitas daging.
Setelah pemotonganhewan (hewan telah mati), maka terjadilah proses biokimiawi yang
sangat kompleks di dalam jaringan otot dan jaringan lainnya sebagaikonsekuen tidak
adanya aliran darah ke jaringan tersebut. Hasil praktikum menunjukkan bahwa secara
keseluruhan dari sampel daging 1 sampai daging 2 memiliki pH daging rata-rata pH 6.
Hal ini menunjukkan hasil dari keempat pengujian tersebut tidak berbeda nyata karena
bersal dari sumber yang sama. Hasil perhitungan pH dari keempat sampel tersebut
menunjukkan bahwa nilai pH yang diperoleh berada dalam kisaran pH normal daging
segar.
Jika dilihat dari kedua indikator diatas, semuanya memiliki hubungan yang saling
berpengaruh. Semakin tinggi nilai pH maka nilai daya mengikat air daging akan semakin
tinggi. Tingginya daya mengikat air ini akan berpengaruh pada nilai susut masak.
Semakin tinggi daya mengikat air, maka air ataupun nutrien yang keluar dari daging
dalam bentuk Drip akan semain sedikit. Sehingga ketika dimasak daging akan menyusut
sedikit. Ketika daging menyusut sedikit dan masih banyak mengandung air maka daging
akan semakin empuk.
BAB V

PENUTUP

5.1.Kesimpulan
 Pengujian sifat fisik daging dapat dilihat dengan cara mengukur nilai pH daging, daya
ikat air, keempukan daging dan susut masak daging. Keempat indikator ini saling
berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain.
 Semakin tinggi cairan yang keluar dari daging menunjukkan bahwa nilai daya ikat air
oleh protein daging tersebut semakin rendah. Penurunan nilai daya mengikat air juga
dapat meningkatkan nilai susut masak.
 Daging yang mempunyai angka susut masak rendah, memiliki kualitas yang baik
karena kemungkinan keluarnya nutrisi daging selama pemasakan juga rendah.
 Keempukan dapat diukur dengan nilai daya putus Warner-Bratzler (WB). Keempukan
daging terbagi atas tiga bagian, yaitu kisaran empuk, cukup/sedang dan alot.

5.2. Saran
Diharapkan untuk menyiapkan alat dan bahan sebelum melakukan pengujian
kualitas daging serta memahami metode-metode praktikum yang telah disediakan.
Pengujian harus di dilakukan dengan teliti agar mendapatkan hasil yang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA

Lawrie, R. A. 1979. Meat Science, 3rd edition. Pregamon Press, Oxford.

Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Yanti, H., Hidayati, dan Elfawati. 2008. Kualitas Daging Sapi dengan Kemasan Plastik PE
(polyethylen) dan Plastik PP (polypropylen) di Pasar Arengka Kota Pekanbaru. Jurnal
Peternakan Vol 5 No 1 Februari 2008 (22 – 27).

Pearson, A. M dan R. B. Young. 1971. Muscle and Meat Biochemistry. Academic Press, Inc.
San Diego, New York, Berkeley, Boston, London, Sidney, Yokyo, and Toronto.

Soeparno, 1992. Teknologi Pengawasan Daging. Fakultas Teknologi Pertanian Bogor, Bogor.
LAMPIRAN

Você também pode gostar