Você está na página 1de 38

TA’RIF GHAZWUL FIKRI (PENGERTIAN GHAZWUL FIKRI)

Posted on 20 January 2018By Tarbawiyah

Perang salib dalam arti peperangan fisik mungkin sudah berakhir. Namun, satu hal yang harus disadari
oleh kaum muslimin, peperangan yang bersifat non fisik sejatinya masih terus berlangsung hingga saat
ini. Peperangan inilah yang kemudian disebut dengan istilah al-ghazwul fikri.

Secara Bahasa, ghazwul fikri terdiri dari dua suku kata yaitu ghazwah dan fikr. Ghazwah berarti
serangan, serbuan atau invansi. Sedangkan fikr berarti pemikiran. Jadi, secara bahasa ghazwul fikri
diartikan sebagai invansi pemikiran.[1]

Sebagian orang menyebut ghazwul fikr dengan istilah perang ideologi, perang budaya, perang urat
syaraf, dan perang peradaban. Intinya, ia adalah peperangan dengan format yang berbeda, yaitu
penyerangan yang senjatanya berupa pemikiran, tulisan, ide-ide, teori, argumentasi, propaganda, dialog
dan perdebatan.

Konon, orang yang pertama kali menyadari pentingnya metode baru dalam menaklukkan Islam adalah
Raja Louis IX. Setelah ditawan oleh pasukan muslim di Al-Manshuriyah Mesir pada perang salib ke VII[2],
di dalam memoarnya ia menulis: “Setelah melalui perjalanan panjang, segalanya menjadi jelas bagi kita.
Kehancuran kaum muslimin dengan jalan konvensional (perang fisik) adalah mustahil. Karena mereka
memiliki metode yang jelas dan tegas diatas konsep jihad fii sabilillah. Dengan metode ini, mereka tidak
pernah mengalami kekalahan militer.” Ia melanjutkan: “Barat harus menempuh jalan lain (bukan
militer). Yaitu jalan ideologi dengan mencabut akar ajaran itu dan mengosongkannya dari kekuatan,
kenekatan dan keberanian. Caranya tidak lain adalah dengan menghancurkan konsep-konsep dasar
Islam dengan berbagai penafsiran dan keragu-raguan.”[3]

Dalam artikel berjudul: “Serial Perang Salib Modern #3: Perang Salib, Benarkah?” disebutkan bahwa Raja
Louis IX berkata: ”Tidak mungkin meraih kemenangan atas umat Islam melalui peperangan. Kita hanya
akan bisa mengalahkan mereka, dengan cara sebagai berikut: (a) menimbulkan perpecahan di kalangan
pemimpin umat Islam. Jika sudah terjadi, perluaslah ruangnya sehingga perselisihan ini menjadi faktor
yang melemahkan umat Islam. (b) Tidak memberi peluang berkuasanya seorang penguasa yang shalih di
negeri-negeri Islam dan Arab. (c) merusak pemerintahan di negara-negara Islam dengan suap, kerusakan
dan wanita sehingga fondasi bangunan terpisah dengan puncak bangunan. (d) mencegah munculnya
tentara yang meyakini hak atas tanah airnya, rela berkorban demi membela prinsip tanah airnya. (e)
mencegah terbentuknya persatuan bangsa Arab di kawasan Arab. (f) Membuat sebuah negara Barat di
tengah kawasan Arab, mulai dari Ghaza di sebelah selatan, sampai Antokia di sebelah utara, kemudian
ke arah timur, terus memanjang sampai ke Barat.[4]
Sebelum menyimpulkan pengertian ghazwul fikri, perlu kita ketahui empat kata kunci dan target dari
ghazwul fikri ini.

Ifsadul akhlak (merusak akhlak), yaitu memporak-porandakan etika dan moral kaum muslimin sehingga
tidak lagi berakhlak sesuai etika dan moral ajaran Islam. Kaum muslimin diserbu dengan budaya
permissivisme (paham serba boleh), hedonisme (paham memburu kelezatan materi), gemar bersenang-
senang, melepaskan insting tanpa kendali, berlebih-lebihan dalam memuaskan kesenangan perut,
mencabut nilai-nilai kesopanan, kesantunan, dan rasa malu dari kalangan pria maupun wanita.

Tahthimul fikrah (menghancurkan pemikiran), yaitu mengacaukan pemahaman kaum muslimin dengan
memunculkan berbagai macam isme-isme yang asing dan bertentangan dengan ajaran Islam, seperti:
atheisme, materialisme, komunisme, liberalisme, dan lain-lain.

Idzabatus syakhshiyyah (melarutkan kepribadiaan), yaitu menggoyahkan sikap hidup kaum muslimin
sehingga enggan beramar ma’ruf nahi munkar dan bahkan bersikap mujamalah (basa-basi), toleran atau
ikut-ikutan kepada orang-orang yang menyimpang dari nilai-nilai ajaran Islam. Misalnya dengan dalih
HAM, tidak sedikit kaum muslimin ikut-ikutan mentolerir, bahkan melegalkan hal-hal yang bertentangan
dengan nilai-nilai agama. Contoh: lesbian, gay, biseksual, dan transgander (LGBT).

Ar-Riddah (murtad), yaitu melepaskan kewajiban agama, mengingkarinya, bahkan keluar dari agama.

Target dari ghazwul fikri ini adalah berubahnya pribadi-pribadi muslim sehingga menjadi orang-orang
yang memberikan al-wala-u lil kafirin (loyalitas, kesetiaan, dan kecintaan kepada orang-orang yang
ingkar kepada Allah Ta’ala).

Menurut Ali Abdul Halim Mahmud[5], ghazwul fikri merupakan suatu upaya untuk menjadikan:

Bangsa yang lemah atau sedang berkembang, tunduk kepada negara penyerbu.

Semua negara, negara Islam khususnya, agar selalu menjadi pengekor setia negara-negara maju,
sehingga terjadi ketergantungan di segala bidang.

Semua bangsa, bangsa Islam khususnya, mengadopsi ideologi dan pemikiran kafir secara membabi buta
dan serampangan, berpaling dari manhaj Islam, Al Quran dan Sunnah.

Bangsa-bangsa mengambil sistem pendidikan dan pengajaran negara-negara penyerbu.

Umat Islam terputus hubungannya dengan sejarah masa lalu, sirah nabinya dan salafus saleh.

Bangsa-bangsa atau negara-negara yang diserbu menggunakan bahasa penyerbu.

Ghazwul fikri adalah upaya melembagakan moral, tradisi, dan adat-istiadat bangsa penyerbu di negara
yang diserbunya.

Sejak awal, Islam telah memperingatkan kaum muslimin agar waspada terhadap orang-orang kafir dan
munafik yang selalu berupaya menyesatkan mereka,
‫س َواءْ فَت َ ُكونُونَْ َكف َُروا َك َما ت َكفُ ُرونَْ لَوْ َودُّوا‬ ْ َ َ‫اج ُروا َحتَّى أَو ِليَا َْء مِ ن ُهمْ تَتَّخِ ذُوا ف‬
َ ‫ل‬ ِ ‫ل فِي يُ َه‬ َ ِ‫ّللا‬
ِْ ‫سبِي‬ َّْ

“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi
sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga
mereka berhijrah pada jalan Allah.” (QS. An-Nisa, 4: 89)

*****

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan pengertian ghazwul fikri adalah serangan pemikiran, ide,
budaya, dan propaganda yang dilancarkan suatu bangsa/peradaban kepada bangsa/peradaban lain
sehingga mengalami kelemahan mental dan dapat dikuasai untuk kepentingan mereka.

Wallahu A’lam.

Besambung ke materi selanjutnya, silahkan klik:

Marahilul Ghazwul Fikri (Bag. 1)

Marahilul Ghazwul Fikri (Bag. 2)

Wasailul Ghazwul Fikri

CATATAN KAKI:

[1] Dikutip dari tulisan Bahron Ansori: http://www.mirajnews.com/id/ghazwul-fikri-dan-kelompok-


penebar-permusuhan/74746

[2] Dalam perang di Al-Manshurah, sekitar 30.000 tentara Perancis gugur, tidak sedikit pula yang
ditawan. Sementara Raja Louis berhasil ditangkap dan dipenjara di rumah Ibnu Luqman. Setelah
membayar uang tebusan 10 juta Frank, Louis beserta sisa-sisa keluarga dan pasukannya dibebaskan
(Lihat: Buku Pintar Sejarah Islam, Qasim A. Ibrahim & Muhammad A. Saleh, Penerbit: Serambi)

[3] Ibid. Penyusun sampai saat ini belum menemukan buku rujukan asli yang menyebutkan tentang hal
ini.
[4] Lihat: https://www.arrahmah.com/read/2012/06/12/20462-serial-perang-salib-modern-3-perang-
salib-benarkah.html

[5] Dr.Ali Abdul Halim Mahmud, Al – Ghazwul -Fikri wat –Tiyaratul–Muadiyah Lil- Islam

MARAHILUL GHAZWUL FIKRI (BAG. 1)

Posted on 20 January 2018By Tarbawiyah

Fase Al-Inhilal

Ghazwul fikri yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam dilakukan secara bertahap melalui tiga fase: al-
inhilal (masa-masa degradasi kekuatan kaum muslimin), al-ihtilal, yaitu fase pendudukan, perampasan,
atau penjajahan terhadap umat Islam, dan fase ma ba’dal ihtilal, yaitu masa setelah pendudukan,
perampasan, atau penjajahan terhadap umat Islam.

Dalam tuliasan bagian pertama ini marilah kita ulas ghazwul fikri pada fase al-inhilal.

Pada fase ini, mereka melakukan aktivitas al-istisyraq (orientalisme), at-tanshir (kristenisasi), dan
taqthi’u aushali daulatil khilafah (memutuskan hubungan umat Islam dengan daulah khilafah).

Al-istisyraq (orientalisme)

Yang dimaksud dengan orientalisme adalah sebuah studi yang dilakukan oleh orang-orang Barat
terhadap negara dan bangsa Timur (khususnya Islam-pent.) mengenai budaya, bahasa, sejarah, agama,
kondisi sosial, ekonomi, politik, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan bangsa tersebut.[1]

Barat membangun institut dan kelompok studi untuk kaum orientalis yang memberikan perhatian
khusus dalam bidang penerbitan manuskrip-manuskrip Islam. Selain itu, mereka juga menerbitkan karya
tulis berupa buku-buku yang berhubungan dengan dunia Islam dan keislaman. Mereka memasukkan
kritik-kritik terhadap Islam yang bersifat subyektif, jauh dari obyektifitas.

Pada saat dunia Islam melemah pada akhir abad 19 dan awal abad 20, para orientalis menggunakan
kesempatan tersebut untuk mentransfer manuskrip-manuskrip Islam dan naskah-naskah dari dunia Arab
khususnya dan dunia Islam pada umumnya ke negara-negara Eropa, dengan cara membeli dari tangan
orang Islam yang bodoh ataupun mencurinya dari perpustakaan-perpustakaan umum. Sampai abad 19
saja, mereka telah mentransfer sekitar 250.000 jilid manuskrip.[2]

Pada tahun 1873 M, untuk pertama kalinya kaum orientalisme mengadakan Konferensi Internasional I di
Paris.

Kaum Orientalisme sekurang-kurangnya memiliki empat motivasi:[3]

Motivasi imperialisme, yaitu menjadikan orientalisme sebagai langkah awal dari sebuah rencana invasi
militer atau penguasaan negara lain.

Motivasi agama, yaitu menebarkan agama dengan cara melemahkan keyakinan orang lain terhadap
agamanya. Mereka menebarkan keraguan terhadap kebenaran risalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Mereka menuduh, “Kitab Al-Qur’an adalah karangan Muhammad,” atau “Islam bukanlah agama
langit.”

Motivasi ilmiah, yaitu ada diantara mereka yang mempelajari Islam dengan motivasi ilmiah semata.
Bahkan diantara mereka ada yang masuk Islam setelah menemukan kebenaran dalam studi yang
mereka lakukan, misalnya, seorang orientalis Prancis bernama Deney. Setelah masuk Islam namanya
diganti menjadi Nashiruddin Deney.[4]

Motivasi ekonomi, yaitu melakukan studi dengan tujuan untuk menguasai pasar dunia Islam, menguasai
lembaga ekonomi, mengeksploitasi sumber daya alam, menjadikan negara-negara kaum muslimin
sebagai konsumen produk-produk negara Eropa.

At-tanshir (kristenisasi)

Yang dimaksud dengan kristenisasi adalah semua bentuk usaha orang-orang kristen dalam mengajarkan
agama Kristen dan menyebarkannya ke berbagai negara.[5] Namun, kenyataannya kristenisasi ini
hanyalah menjadi tujuan sekunder. Tujuan utama mereka adalah imperialisme.

Pencetus gerakan kristenisasi pasca kekalahan pasukan Kristen dalam perang salib adalah Ramon Llull.
Kegiatan ini bertambah besar pada abad ke – 18 dan abad ke -19, dan mencapai klimaksnya pada abad
ke-20 yaitu setelah berdirinya berbagai organisasi misionaris di negeri-negeri kaum muslimin. Misi
zending Kristen ini gencar disebarluaskan pada masa imperialisme Barat terhadap dunia Islam.

Kaum misionaris selalu mengadakan konferensi internasional untuk membahas segala macam kendala
yang mereka hadapi selama menjalankan misi kristenisasi. Di antara konferensi yang telah mereka
adakan antara lain :
Konferensi di Cairo ( Mesir ) pada tahun 1906

Konferensi di Edinburgh ( Skotlandia ) pada tahun 1910

Konferensi di Lucknow pada tahun 1911

Konferensi di Beirut pada tahun 1911

Konferensi di Yurusalem pada tahun 1924, 1925 dan 1928

Konferensi di Tunis ( Tunisia ) pada tahun 1931

Konferensi tersebut dilaksanakan untuk mempelajari kondisi, karakteristik, dan jumlah kaum muslimin
diseluruh dunia. Selain itu, untuk mengetahui kondisi dunia Islam dari segi politik, ekonomi, sosial,
maupun budayanya. Konferensi yang mereka adakan selalu dihadiri oleh pakar-pakar di bidang politik,
sosial, budaya dan tokoh- tokoh yang berkompeten dalam mendukung kegiatan kristenisasi dan
imperialisme.[6]

Taqthi’u Aushali Daulatil Khilafah (memutuskan hubungan umat Islam dengan Daulah Khilafah)

Salah satu kekuatan umat Islam yang tidak dapat dianggap enteng adalah kekuatan wihdah (persatuan)
dan ukhuwah (persaudaraan), yaitu kesadaran umat Islam bahwa mereka—dimana pun berada—
hakikatnya adalah satu kesatuan yang diikat oleh tali persaudaraan berdasarkan kesamaan aqidah.
Simbol persatuan umat Islam tersebut adalah lembaga Daulah Khilafah.

Maka, guna melemahkan kekuatan umat Islam, Barat kemudian mengarahkan makarnya ke arah Daulah
Khilafah Utsmaniyah yang saat itu masih tegak berdiri. Barat berupaya memutuskan hubungan umat
Islam dengan Daulah Khilafah ini, dengan cara menebarkan ide nasionalisme di wilayah negeri-negeri
muslim. Di Beirut muncul Butrus al-Bustani, Mikhail Mishaqa dan Nasif al-Yaziji mendirikan The Syrian
Association for The Sciences and Arts pada tahun 1847 atas inisiatif The American Mission. Pada tahun
1850 didirikan Eastern Association, lalu terbentuk pula The Syrian Scientific Association pada tahun
1852 dan The Secret Association pada tahun 1875.

The Secret Association memposisikan diri sebagai partai politik pertama yang fokus pada nasionalisme
Arab. Parpol ini membangkitkan permusuhan kepada Daulah Utsmaniyyah dan menyebutnya sebagai
Negara Turki. Mereka memperjuangkan pemisahan agama dari negara, menegakkan nasionalisme Arab
sebagai dasar persatuan dan mengubah loyalitas pada aqidah Islam menjadi setia pada nasionalisme
Arab. Sesuai namanya, parpol ini menerbitkan selebaran-selebaran yang berisi hasutan bahwa Turki
telah merampas Khilafah dari bangsa Arab.
Di Istanbul, muncul Gerakan Turki Muda (Young Turk Movement) dibentuk oleh Ahmad Ridha Beik yang
memiliki gagasan untuk mengimpor budaya Barat ke Turki. Gerakan ini sungguh terpengaruh Revolusi
Prancis dengan semboyannya: liberte, egalite, dan fraternite. Timbulnya kaum terpelajar yang berpaham
modern memudahkan proses adopsi liberalisme, nasionalisme dan demokrasi. Tokoh-tokoh mereka
seperti Ziya Gokalp tampil sebagai sosok Turki Muda pembawa semangat nasionalisme yang dominan
dan fanatik. Nasionalisme yang disebut Gokalp sebagai Turkisme Kultural tidak menuntut keberadaan
faktor religius. Ia merekomendasikan Syaikhul Islam sebagai representasi penerapan hukum Islam agar
dihapuskan. Pemikiran Gokalp menegaskan pemisahan agama dengan politik. Gerakan Turki Muda
membentuk Committee for Union and Progress/CUP (Komite Persatuan dan Kemajuan) sebagai alat
untuk memperoleh kekuasaan secara terbuka. CUP menjadi aktor penting dalam Daulah Utsmaniyah
sepanjang tahun 1908-1918, termasuk memasok tiga presiden pertama Republik Turki sekular.

Singkat kata, CUP berhasil melancarkan kudeta dan merampas kekuasaan yang diabadikan sejarah
sebagai Revolusi Turki Muda (Young Turk Revolution) pada tahun 1908. Pada musim gugur tahun yang
sama, CUP mengadakan konferensi di Salanik, Turki, sebagai sarana unjuk kekuatan. Pada saat itu
Ahmad Beik menyombongkan kekuatan gerakannya dan memastikan dukungan Eropa kepada mereka.
Selanjutnya saat Turki meresmikan pembentukan parlemen, komite ini memperoleh kekuasaan lewat
Partai Turki Muda.

Kekuasaan itu mereka manfaatkan sebaik-baiknya untuk mengendalikan angkatan bersenjata. Komite
sadar betul bila berhasil mengendalikan angkatan bersenjata, mereka akan mampu mengendalikan
seluruh kekuasaan. [7]

Gagasan nasionalisme kemudian menyebar ke seluruh wilayah Daulah Utsmaniyyah hingga bangsa
Albania, Sirkasia, Kurdi, Romawi dan Armenia sibuk mendirikan komite demi memerdekakan diri dari
kesatuan Khilafah.

Pada tanggal 18 Juni 1913 dengan bantuan Prancis, pemuda-pemuda Arab mengadakan konferensi di
Paris. Konferensi itu menjadi deklarasi pertama kaum nasionalis Arab yang bersekutu dengan Inggris
dan Prancis guna melawan Daulah Utsmaniyah.

Pada 16 Mei 1916, terjadilah persetujuan rahasia “Sykes-Picot” antara Perancis dan Inggris yang
menyepakati pembagian wilayah-wilayah kekuasaan Ustmani yang berhasil mereka rebut. Maka
munculah negara-negara kecil bernama: Libanon, Suriah, Irak, Palestina, Yordania, Hijaz dan Yaman.
Persetujuan ini dirahasiakan karena bertentangan dengan janji-janji yang diberikan kepada Amir
Makkah, Syarif Husein Bin Ali. Kepadanya pemerintah Inggris menjanjikan kemerdekaan bagi negara-
negara Arab dan berdirinya Khilafah Islamiyah Arabiyah yang dipimpin tokoh Mekkah atau Madinah, jika
mendukung Inggris melawan Kekhalifahan Utsmaniyah. Wilayah kekuasaan yang dijanjikan meliputi
Hijaz (Makkah, Madinah, Thaif), Jazirah Arab, Irak, dan Syam.
Pada 10 Juni 1916 Syarif Husein memproklamasikan pemberontakan Arab terhadap kekuasaan Khalifah
Turki Utsmani. Ia mengepung kota Madinah dan merebutnya dari kekuasaan Daulah Utsmaniyah. Lalu
putranya, Faishal bin Syarif Husain memimpin peperangan pasukan Arab melawan pasukan Turki
Utsmani di perbatasan wilayah Palestina.

Pasukan berkuda Arab dipimpin oleh Pangeran Faishal bin Syarif Husain dan agen intelijen Inggris,
Lawrence of Arabia, menyerbu pasukan Turki Utsmani di wilayah Jabal Druz, Baklabak, dan Ma’an.
Sementara itu, Musthafa Kamal Pasha, Panglima Pasukan Divisi VII Turki Utsmani, telah menjalin
kesepakatan rahasia dengan Inggris. Musthafa Kamal Pasha menarik mundur pasukannya tanpa
menembakkan sebutir peluru pun terhadap pasukan musuh. Atas pengkhianatannya itu, Inggris
menjanjikan Musthafa Kamal Pasha sebagai calon penguasa Turki Utsmani.

Pengkhianatan Musthafa Kamal Pasha membuat pasukan Turki Utsmani yang kelaparan dan kehabisan
amunisi di kota Gaza dan Ma’an kewalahan menghadapi serbuan pasukan Arab. Pasukan Turki Utsmani
terpaksa ditarik mundur, sehingga kota Gaza dan Ma’an jatuh ke tangan pasukan Arab.

Kemenangan pasukan Arab itu merupakan sebuah kesuksesan besar bagi pasukan Inggris dan Sekutu.
Sebab, Palestina jatuh ke tangan pasukan Inggris dan Sekutu tanpa tewasnya seorang pun tentara
mereka dalam perang melawan pasukan Turki Utsmani. Dengan mudah dan tanpa perjuangan apapun,
Jendral Allenby membawa pasukan Inggris memasuki kota Al-Quds pada tanggal 11 Desember 1917 M
(1336 H). Dengan congkak, ia mengeluarkan pernyataannya yang tercatat dalam sejarah “Sekarang telah
berakhir perang Salib!”.

Syarif Husain dan bangsa Arab baru mengetahui hal itu setelah isi Perjanjian Sykes-Picot dibocorkan dan
dipublikasikan oleh pejuang revolusi komunis Bolshevick, Oktober 1917.

Menteri Penjajahan Inggris, Churchil, pada tahun 1921 M menggelar Konferensi Kairo. Melalui
konferensi tersebut, Inggris mendirikan sejumlah negara dan menentukan raja-rajanya:

Khilafah Islamiyah atau Khilafah Arab berkedudukan di Makkah, dengan khalifahnya Syarif Husain.

Kerajaan Mesir, dengan rajanya Fuad.

Kerajaan Irak, dengan rajanya Faishal bin Syarif Husain.

Namun setelah itu, Inggris secara diam-diam juga menjalin kesepakatan dengan penguasa Riyadh dan
pemimpin politik gerakan dakwah tauhid Nejed, Pangeran Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Saud. Dengan
dukungan Inggris, pasukan Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Saud mengalahkan pasukan Syarif Husain
pada perang tahun 1925. Syarif Husain akhirnya lengser dan menyerahkan tahta kerajaannya kepada
putranya, Syarif Ali bin Syarif Husain.

Namun, kekalahan perang telah mengakibatkan kota Makkah jatuh ke tangan Abdul Aziz bin
Abdurrahman Al-Saud. Hal itu berarti Khilafah Arabiyah Makkah tumbang. Syarif Ali dan keluarganya
diberi jaminan untuk bergabung dengan saudaranya, Syarif Faishal bin Syarif Husain di Irak. Sementara
Syarif Husain sendiri dibuang ke Cyprus sebagai tahanan politik dan meninggal di pembuangan pada
tahun 1931. Makkah, Madinah, Jeddah, dan Riyadh disatukan oleh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Saud,
lalu ia mendirikan Kerajaan Alu Sa’ud.[8]

Bersambung ke materi selanjutnya:

Marahilul Ghazwul Fikri (Bag. 2)

Wasailul Ghazwul Fikri

CATATAN KAKI:

[1] Dikutip oleh Nabil bin Abdurrahman Al-Muhaisy dalam Al-Ghazwul Fikri lil ‘Alamil Islami dari
Ajnihatul Makrits Tsalatsah, hal. 83 karya Abdurrahman Al-Maidani.

[2] Dikutip oleh Nabil bin Abdurrahman Al-Muhaisy dalam Al-Ghazwul Fikri lil ‘Alamil Islami dari
Ajnihatul Makrits Tsalatsah, hal. 90, karya Abdurrahman Al-Maidani.

[3] Lihat: Al-Ghazwul Fikri lil ‘Alamil Islami, terjemahan Abu Fahmi, hal. 10

[4] Dikutip oleh Nabil bin Abdurrahman Al-Muhaisy dalam Al-Ghazwul Fikri lil ‘Alamil Islami dari Al-
Musytasyriqun Ma Lahum wa Ma ‘Alaihim, hal. 19, karya Musthafa As-Siba’i.

[5] Dikutip oleh Nabil bin Abdurrahman Al-Muhaisy dalam Al-Ghazwul Fikri lil ‘Alamil Islami dari Al-
Ghazwul Fikri wa Tiyaratul Mu’adiyah lil Islam, hal. 137, karya Dr. Ali Abdul Halim Mahmud.

[6] Dikutip oleh Nabil bin Abdurrahman Al-Muhaisy dalam Al-Ghazwul Fikri lil ‘Alamil Islami dari Al-Islam
fi Wajhi Taghrib Mukhaththatuth Tabsyir wal Istisyraq, hal. 66, 67, karya Anwar Al-Jundi.
[7] Dikutip dari: Khilafah Runtuh Karena Nasionalisme, Pratma Julia Sunjandari (Lajanah Siyasiyah
Muslimah HTI).

[8] Lihat: http://www.kiblat.net/2015/11/14/beginilah-cara-penjajah-salibis-barat-menelikung-revolusi-


umat-bag-1/

MARAHILUL GHAZWUL FIKRI (BAG. 2)

Posted on 20 January 2018By Tarbawiyah

Fase Ihtilal dan Fase Ma Ba’dal Ihtilal

Fase al-ihtilal, yaitu fase pendudukan, perampasan, atau penjajahan terhadap umat Islam. Barat terus
melanjutkan aktivitas al-istisyraq (orientalisme) dan at-tanshir (kristenisasi), juga berupaya melakukan
fashlud dini ‘anid daulah (memisahkan urusan agama dari kenegaraan), nasyrul qaumiyyah
(menyebarkan faham nasionalisme/kebangsaan), dan isqatul khilafah (meruntuhkan khilafah).

Dari pembahasan sebelumnya kita telah mendapat gambaran sekilas tentang aktivitas orientalisme,
kristenisasi, serta bagaimana tertanamnya ide sekularisme dan nasionalisme di dunia Islam yang
menyebabkan semakin lemahnya kedudukan Daulah Khilafah Utsmaniyah.

Kekalahan demi kekalahan yang dialami pasukan Turki Utsmani di negeri Syam dan Irak pada masa
revolusi Arab akhirnya memaksa Daulah Utsmaniyah untuk menyerah kepada pasukan Inggris dan
Sekutu. Inggris kemudian menyerahkan kepemimpinan Turki kepada Musthafa Kamal sesudah
berlangsungnya perundingan “Luzon” antara pihak Inggris yang diwakili oleh Lord Cirzon, Menteri Luar
Negeri Inggris, dengan pihak Turki yang diwakili oleh Ismat Inonu, pembantu Musthafa Kamal.

Perundingan Luzon berjalan selama tiga bulan, dari November 1922 hingga Februari 1923. Ada empat
syarat yang diajukan pihak Inggris kepada wakil Turki dalam perundingan ini:

Harus bersedia menghapuskan Khilafah.

Usaha apapun yang bermaksud menegakkan kembali Khilafah harus ditumpas.

Harus bersedia mengambil undang-undang Eropa untuk menggantikan undang-undang Islam.

Harus bersedia memerangi syi’ar-syi’ar Islam.


Akhirnya Majelis Agung Nasional Turki mendeklarasikan Republik Turki pada tanggal 29 Oktober 1923
dan Musthafa Kamal berhasil menjadi presiden yang pertama. Dialah yang menghapuskan kekhalifahan
Turki Utsmaniyah pada 3 Maret 1924.

Berikutnya fase ma ba’dal ihtilal, yaitu fase setelah pendudukan, perampasan, atau penjajahan terhadap
umat Islam. Atau bisa disebut pula: fase setelah runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. Pada masa inilah
terjadi at-taghyir (perubahan) yang demikian besar di dunia Islam, yaitu perubahan siyasiy (politik),
ijtima’iy (sosial kemasyarakatan), dan khuluqiy (moralitas). Sebagai contoh, di Turki Musthafa Kamal
dengan lancangnya melakukan penghapusan berbagai syi’ar Islam, seperti: penggunaan bahasa Arab
lisan maupun tulisan, pakaian muslim di pasar-pasar, ibadah umrah dan haji, shalat berjama`ah, dan
merubah Masjid Aya Shofia menjadi gedung Museum. Kamal juga memaksa penduduk Turki memakai
topi ala Eropa dan melarang mereka memakai tarbusyi (songkok) dan surban Turki, serta melarang
pemakaian hithah dan ighal (jenis ikat kepala) yang menjadi ciri bangsa Arab.[1]

Gempuran al-istisyraq (orientalisme), at-tanshir (kristenisasi), al-ladiniyyah (sekulerisme), al-qaumiyyah


(nasionalisme/kebangsaan), dan at-taghrib semakin deras. Dunia Islam pada saat itu begitu terpuruk.
Virus-virus pemikiran ini masuk ke berbagai bidang kehidupan kaum muslimin, diantaranya melalui:

At-Ta’lim (pendidikan)

Bidang pendidikan adalah bidang yang paling diincar oleh musuh-musuh Islam, karena bila mereka dapat
menguasainya, berarti mereka telah berhasil menguasai masa depan dan peradaban umat Islam.

Maka, setiap kali kaum imperialis memasuki suatu negara, mereka biasanya terlebih dahulu menyerang
strategi pendidikan di negara tersebut. Demikian juga kaum misionaris kristen, mereka mendirikan
sekolah-sekolah dan universitas-universitas misionaris untuk mewujudkan tujuan mereka, yaitu
memasukkan doktrin pemikiran mereka, seperti yang terjadi di Universitas Amerika, di Beirut dan Cairo.

Dalam Konferensi Kristenisasi tahun 1924 M, dirumuskan pesan-pesan misionaris, yang antara lain
berbunyi, “Dalam setiap kegiatan yang kita lakukan, kita harus memfokuskan misi kita terhadap anak-
anak keluarga muslim, sebab mereka ibarat benih yang dapat kita petik buahnya dalam kurun waktu
yang tidak lama. Garapan ini harus kita prioritaskan dan kita dahulukan, daripada garapan lainnya, sebab
penanaman ruh Islam dalam pribadi mereka, telah dimulai sejak usia dini. Oleh karena itu kewajiban kita
adalah membina dan mengirimkan anak-anak Islam ke sekolah-sekolah misionaris, sebelum sempurna
perkembangan otak pemikiran dan moral mereka dalam norma-norma Islam.”[2]
“Tujuan utama kaum misionaris adalah, menguasai generasi baru dan mempersiapkan mereka menjadi
pelindung serta pendukung gerakan kristenisasi, tatkala anak-anak itu sudah besar dan menjadi ahli
politik, ilmuwan, sastrawan, intelektual, maupun tokoh masarakat, di negara mereka pada masa
mendatang. Mereka di harapkan akan menjadi pembela serta secara nalurriah, lalu memberikan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada orang-orang yang telah mendidik dan mengajari
mereka.”[3]

Abdul Qadir Al-Husaini, seorang mahasiswa Universitas Amerika pada saat yudisium wisudanya, dengan
ijazah tergenggam ditangannya, ia berdiri lalu berkata, ”Sungguh, universitas ini tampil dihadapan
masarakat, seolah-olah sebuah universitas keilmuan, padahal sebenarnya, merupakan pusat dan sumber
dari upaya perongrongan aqidah Islam, karena selalu menjatuhkan dan menghujat Islam. Oleh karena
itu, tidak pantas bagi orang-orang Islam, memasukan anak-anaknya ke universitas ini.” Kemusian Abdul
Qadir Al-Husaini, mengungkap sejumlah literature yang dijadikan buku pegangan, yang isinya menghina
dan menghujat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.[4]

Demikianlah, dengan menguasai sistem pendidikan dan pengajaran. Mereka berupaya keras mengganti
kurikulum, metode, dan sistem pendidikan di dunia Islam dengan kurikulum, metode, dan sistem
pendidikan yang bersumber dari budaya, serta pemikiran Barat, dengan tujuan, untuk mengangkat
kebudayaan Barat, dan menghancurkan kebudayaan Islam.

Menurut Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, invasi pemikiran di bidang pendidikan yang paling berbahaya
adalah mereka mendorong putra-putri Islam untuk belajar Islam di negara-negara Barat. Maka, ketika
mereka kembali ke pangkuan masyarakat muslim, kebanyakan mereka mengagung-agungkan dan
memuji-muji kebudayaan Barat, sambil mencemooh habis-habisan kebudayaan Islam. Di mata mereka,
kebudayaan Islam sudah kuno, usang, dan tidak cocok lagi dengan zaman modern.

Al-I’lam (media)

Media informasi modern yang canggih, serta dukungan dana yang besar, merupakan senjata yang paling
ampuh untuk mempengaruhi kaum muslimin secara langsung dan cepat.

Oleh karena itu, masuh-musuh Islam sangat berhasrat memanfaatkan media informasi tersebut untuk
menghancurkan norma dan budaya kaum muslimin, sehingga menimbulkan kekacauan, kericuhan, dan
penyimpangan di tengah kehidupan masarakat muslim.
Sebagian besar kantor berita, stasiun televisi, stasiun radio, harian, majalah, perusahaan perfilman dan
periklanan, penerbitan, serta percetakan, tunduk di bawah kekuasaan Barat dan Zionisme
internasional.[5]

Semua media informasi dipergunakan untuk menyiarkan acara dan program yang dapat menyulut
permusuhan etnis diantara ummat Islam. Selain itu, juga untuk menayangkan berbagai macam film yang
berisi adegan seksual dan tindak kriminal. Maka, para remaja Islam yang sedang mengalami masa puber,
bahkan orang tua sekali pun menjadi rusak pemikirannya, lalu terdorong untuk melakukan hal yang
serupa dengan apa yang baru saja mereka saksikan.[6]

Al-Qanun (undang-undang)

Kaum imperialis Barat semakin dalam menancapkan kuku-kukunya terhadap dunia Islam dengan
memaksa umat untuk tunduk kepada undang-undang buatan mereka. Walhasil umat Islam beserta
putra-putrinya semakin jauh dari nilai-nilai dan norma yang dapat membentuknya menjadi pribadi
muslim yang sejati.

Sebagaimana dimaklumi, diantara faktor pembentuk karakteristik individu dan budaya suatu
masyarakat, selain pendidikan (keluarga, lingkungan, dan sekolah) adalah undang-undang, peraturan,
nilai-nilai, dan norma yang berlaku.

*****

Demikianlah tahapan-tahapan invasi pemikiran yang melanda dunia Islam. Semuanya itu menyebabkan
umat ini semakin terpuruk dan kehilangan izzah-nya.

Marilah kita renungkan kembali hadits berikut ini:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُْ‫عى أَنْ يُوشِك‬ َ ‫عى َك َما األ ُ َم ُْم‬


َ ‫علَي ُكم ت َ َدا‬ َ ‫ل يَْا يَو َمئِذْ بِنَا قِلَّةْ ا َ َومِ نْ ”قَصعَتِ َها إِلَى األ َ َكلَ ْةُ ت َ َدا‬
َْ ‫سو‬ َْ ‫قَا‬: “ْ‫يَو َمئِذ َكثِي ُرونَْ اِنَّ ُكمْ بَل‬، ْ‫غثَاءْ َولَ ِكنَّ ُكم‬
ُ ‫ل هللاِ؟ َر‬ ُ
ِْ‫ل َكغُثَاء‬
ِْ ‫سي‬ َْ َ‫ل ”ال َوهنُْ بِ ُك ُْم نَز‬
َ ‫ال‬، ْ‫ل َوقَد‬ َْ ‫قِي‬: ‫ل ال َوهنُْ َو َما‬
َْ ‫ارسُو‬
َ َ‫ّللا ي‬ َْ ‫قَا‬: “ُّْ‫ت َوك ََرا ِهيَ ْةُ الدُنيَا ُحب‬
ِّْ ‫ل ؟‬ ِْ ‫ال َمو‬
“Kamu akan diperebutkan oleh bangsa-bangsa lain sebagaimana orang-orang berebut melahap isi
mangkok.” Para sahabat bertanya: “Apakah saat itu jumlah kami sedikit ya Rasulullah?” Beliau
menjawab: “Tidak, bahkan saat itu jumlah kalian banyak sekali tetapi seperti buih air bah dan kalian
ditimpa penyakit wahn.” Mereka bertanya lagi: “Apakah penyakit wahn itu ya Rasulullah?” Beliau
menjawab: “Terlalu cinta dunia dan takut kepada mati” (HR. Abu Daud).

Wallahu A’lam.

[1] Lihat: Hidmul Khilafah wa Bina-uha [Terjemahan:Runtuhnya Khilafah & Upaya menegakkannya,
Pustaka Al-Alaq: Solo.

[2] Dikutip oleh Nabil bin Abdurrahman Al-Muhaisy dalam Al-Ghazwul Fikri lil ‘Alamil Islami dari Al-Islam
fi Wajhit Targhib karya Anwar Al-Jundi, hal. 171.

[3] Dikutip oleh Nabil bin Abdurrahman Al-Muhaisy dalam Al-Ghazwul Fikri lil ‘Alamil Islami dari Al-Islam
fi Wajhit Targhib karya Anwar Al-Jundi, hal. 172.

[4] Dikutip oleh Nabil bin Abdurrahman Al-Muhaisy dalam Al-Ghazwul Fikri lil ‘Alamil Islami dari Al-Islam
fi Wajhit Targhib karya Anwar Al-Jundi, hal. 176.

[5] Dikutip oleh Nabil bin Abdurrahman Al-Muhaisy dalam Al-Ghazwul Fikri lil ‘Alamil Islami dari As-
Saitharah As-Shuhyuniyyah ‘ala wasailil I’lam Al-‘Alamiyah, karya Ziyad Abu Ghanimah.

[6] Dikutip oleh Nabil bin Abdurrahman Al-Muhaisy dalam Al-Ghazwul Fikri lil ‘Alamil Islami dari
Ghazwun fish-Shamim, hal. 165, karya Abdurrahman Al-Maidani.

WASAILUL GHAZWIL FIKRI (SARANA INVASI PEMIKIRAN)

Posted on 20 January 2018By Tarbawiyah

A’daul Islam (musuh-musuh Islam) dari kalangan alladiniyyah (atheis), al-yahud (yahudi), al-musyrikun
(orang-orang musyrik), an-nashara (nasrani), dan al-munafiqun (orang-orang munafik) adalah kaum al-
mustakbirun (sombong), karena selalu menolak kebenaran Islam dan meremehkan para penganutnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


َ َ‫ق ب‬
ْ‫ط ُْر الكِب ُر‬ ُْ ‫اس َوغَم‬
ِّْ ‫ط ال َح‬ ْ ِ َّ‫الن‬

“Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim).

Mereka selalu berupaya merendahkan Islam dan menjauhkan manusia dari ajarannya dengan berbagai
macam sarana, diantaranya adalah:

Pertama, al-i’lam (media massa), al-mathbu’at (penerbitan), dan at-tarfihiyyat (hiburan).

Media massa adalah senjata ampuh dalam ghazwul fikri. Karena ia memiliki kekuatan untuk
mempengaruhi manusia; membentuk karakter, pemikiran, dan sikap mereka. Opini yang disebar media
massa ibarat sihir; ia bisa tiba-tiba menjadi opini publik padahal belum teruji kebenarannya.

Diantara musuh Islam yang menyadari keampuhan media massa ini diantaranya adalah kalangan zionis.
Mereka disebut-sebut menguasai 96 % media massa di dunia.

Reporter http://www.merdeka.com, Faisal Assegaf , dalam tulisannya yang diposting pada Rabu, 6
Maret 2013, menyebutkan bahwa penguasaan konglomerat Yahudi terhadap media dunia bukan isapan
jempol. Ada enam perusahaan milik taipan Yahudi menguasai sekitar 96 persen media sejagat. Keenam
perusahaan ini adalah AOL Time Warner, The Walt Disney Co., Bertelsmann AG, Viacom, News
Corporation, dan pendatang baru Vivendi Universal.[1]

Situs http://www.radioislam.org menggambarkan cengkeraman Zionis Yahudi terhadap Media Massa di


dunia ini adalah sebagai berikut: “Jews have disproportionate influence on the medias in the West; the
press, TV/Satellite channels, radio stations, publishing houses, and also in the film industry where for
instance the Jewish dominance over Hollywood is used to promote their Apartheid state of Israel and
Jewish values, and where the political enemies of Zionism are portrayed as sub-human….Hollywood is
mainly – according to Jewish sources – in Jewish hands, and is misused as an instrument of propaganda.
The Hollywood films shape the minds of Westerners but also, due to their Global reach, the rest of the
world as well.”

“Yahudi memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap media di Barat; saluran pers, TV / satelit, stasiun
radio, penerbitan, dan juga dalam industri film dimana sebagai contohnya dominasi Yahudi atas
Hollywood itu digunakan untuk mempromosikan Israel serta nilai-nilai Yahudi mereka, sedangkan
musuh-musuh politik Zionisme digambarkan sebagai “bukan manusia” …. Terutama adalah Hollywood –
menurut sumber-sumber Yahudi – Hollywood itu berada di tangan Yahudi, serta disalahgunakan oleh
mereka sebagai alat propaganda. Film-film produksi Hollywood itu (digunakan untuk) membentuk cara /
pola berpikirnya orang-orang Barat, dan oleh karena jangkauan film-film itu mendunia maka pada
akhirnya adalah membentuk cara / pola berpikir (orang-orang di berbagai belahan) dunia juga.”

“Media bias in the U.S. is the manifestation and endresult of Israel’s power in the Western world. It is
not always so much in blatant lies, but rather, it is in telling half-truths, taking events out of their
historical context, and giving gentler names to actions by Israel vice vile ones to actions by Palestinians
and Arabs.”

“Pemutarbalikan fakta Media Massa di Amerika Serikat itu adalah manifestasi dan hasil akhir dari
kekuasaan Israel atas dunia Barat. Kebohongan itu tidak selalu diungkapkan secara terang-terangan,
melainkan, dengan cara menyampaikan separuh kebenaran. Yaitu dengan menyajikan suatu kejadian itu
diluar konteks sejarah yang sebenarnya, lalu menggunakan “kata-kata yang bermakna melembutkan”
terhadap tindakan-tindakan Israel (atas Palestina dan Arab), dan sebaliknya menggunakan “kata-kata
yang melambangkan kekejian” (terhadap tindakan-tindakan orang Palestina dan Arab atas Israel).”

Selain media massa, kalangan zionis juga menguasai industri hiburan—diantaranya adalah industri
perfilman. Seorang jurnalis Yahudi, Elad Nehorai berkata:

“Let’s be honest with ourselves, here, fellow Jews. We do control the media. We’ve got so many dudes
up in the executive offices in all the big movie production companies it’s almost obscene… Did you know
that all eight major film studios are run by Jews?” ( “Jews DO control the media”, The Times of Israel,
July 1, 2012).

“Mari kita bersikap jujur pada diri kita sendiri dalam hal ini, hai orang-orang Yahudi. Kita lah yang
mengontrol media massa. Kita punya begitu banyak orang-orang dikalangan kantor Eksekutif di semua
perusahaan produksi film yang besar-besar, yang hampir-hampir tidak masuk akal …. Tahukah Anda
bahwa delapan studio perfilman utama, semuanya itu dijalankan oleh orang-orang Yahudi?” (“Yahudi
BENAR-BENAR mengontrol Media Massa”, The Times of Israel, 1 Juli 2012).

The New Yorker menulis tentang Haim Saban seorang Yahudi yang berkuasa di Hollywood: “His greatest
concern, he says, is to protect Israel, by strengthening the United States-Israel relationship. At a
conference last fall in Israel, Saban described his formula. His “three ways to be influential in American
politics,” he said, were: make donations to political parties, establish think tanks, and control media
outlets.” (“The Influencer”, May 10, 2010).
“Sebagaimana dikatakan (oleh Haim Saban), perhatiannya yang terbesar adalah untuk melindungi Israel,
dengan menguatkan hubungan antara Amerika Serikat dengan Israel. Dalam konferensi musim gugur
lalu di Israel, Saban mendeskripsikan formulanya, sebagai berikut: “Tiga cara untuk berpengaruh di
dunia politik Amerika, adalah dengan memberikan donasi (pendanaan) pada partai-partai politiknya,
menyokong para penggagas ide (think tank), dan mengontrol media massa.” (“The Influencer”, 10 Mei
2010).[2]

Di dalam negeri pun, kita dapat melihat dan merasakan penggunaan media massa dan penerbitan oleh
sebagian kalangan untuk menggiring opini negatif terhadap Islam dan umat Islam. Oleh karena itu,
masalah penguasaan media massa ini seharusnya menjadi perhatian umat Islam, khususnya para aktivis
dakwah.[3]

Kedua, at-ta’lim (pendidikan).

Sebagaimana telah dikemukakan dalam pembahasan sebelumnya, bidang pendidikan adalah bidang
yang paling diincar oleh musuh-musuh Islam, karena bila mereka dapat menguasainya, berarti mereka
telah berhasil menguasai masa depan dan peradaban umat Islam. Maka, setiap kali kaum imperialis
memasuki suatu negara, mereka biasanya terlebih dahulu menyerang strategi pendidikan di negara
tersebut.

Mereka berupaya keras mengganti kurikulum, metode, dan sistem pendidikan di dunia Islam dengan
kurikulum, metode, dan sistem pendidikan yang bersumber dari budaya, serta pemikiran Barat, dengan
tujuan, untuk mengangkat kebudayaan Barat, dan menghancurkan kebudayaan Islam.

Menurut Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, invasi pemikiran di bidang pendidikan yang paling berbahaya
adalah mereka mendorong putra-putri Islam untuk belajar Islam di negara-negara Barat. Maka, ketika
mereka kembali ke pangkuan masyarakat muslim, kebanyakan mereka mengagung-agungkan dan
memuji-muji kebudayaan Barat, sambil mencemooh habis-habisan kebudayaan Islam. Di mata mereka,
kebudayaan Islam sudah kuno, usang, dan tidak cocok lagi dengan zaman modern.

Ketiga, al-andiyat (klub-klub), ar-riyadhat (olah raga), al-muassasat (LSM-LSM)

Klub-klub atau komunitas-komunitas, kegiatan-kegiatan olah raga, dan LSM-LSM dengan beragam
coraknya didirikan sebagai sarana menjauhkan umat Islam dari nilai-nilai agamanya. Mereka
menghidupkan acara-acara seni, budaya, kajian pemikiran, diskusi, dan lain sebagainya untuk
menyebarkan syubhat.

*****

Dengan berbagai sarana tersebut mereka berupaya melumpuhkan ruhiyah, ma’nawiyah, dan fikriyah
umat Islam sehingga mereka menjadi al-mustadh’afun (orang-orang yang lemah); bahkan tergiring
menjadi al-murtadun (orang-orang murtad). Na’udzubillahi min dzalik.

Wallahu A’lam.

[1] Lihat: https://www.merdeka.com/khas/enam-perusahaan-yahudi-kuasai-media-dunia-yahudi-kuasai-


jagat-2.html

[2] Lihat: http://www.radioislam.org/islam/english/index_media.htm

[3] Lihat lampiran.

Bahaya Ghazwul Fikri, Merusak Pemikiran Umat Islam

Sabtu 13 Jan 2018 08:00 WIB

Red: Irwan Kelana

31

Ustaz Rahmadon mengupas ghazwul fikri.

Ustaz Rahmadon mengupas ghazwul fikri.

Foto: Dok KWPSI


REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH -- Umat Islam di negeri ini merupakan mayoritas, bahkan
pertumbuhannya di dunia juga cukup pesat. Akan tetapi, dari jumlah yang besar tersebut sedikit sekali
yang benar-benar menjalankan ajaran Islam secara menyeluruh.

Banyak yang masih salah mempersepsikan ajaran Islam yang syamil tersebut, sehingga menimbulkan
kerancuan dalam berpikir dan bertindak. “Sering didapati pemilahan ajaran Islam, antara urusan agama
dengan urusan ekonomi, budaya, politik, ataupun sisi kehidupan yang lain, jauh dari ajaran Islam,” kata
Ustaz H. Rahmadon Tosari Fauzi MEd, PhD,

Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry itu mengemukakan hal tersebut saat mengisi
pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingke,
Rabu (10/1) malam.

Salah satu diantaranya, kata Ustaz Rahmadon, akibat pengaruh ghazwul fikri atau invasi intelektual,
yaitu bentuk perang pemikiran dari orang-orang yang benci dan memusuhi Islam. Serangan atau
serbuan pemikiran ini bertujuan mengubah pola pikir dan sikap seorang muslim untuk pelan-pelan
mengikuti pemikiran dari musuh-musuh Islam, di antaranya Barat, dalam menghancurkan kaum
Muslimin.

"Perang pemikiran atau ghazwul fikri ini adalah cara lain dari musuh-musuh Islam, dalam
menghancurkan pelan-pelan tanpa disadari dengan mencuci otak kaum Muslimin. Ini akibat mereka
tidak mampu menghancurkan dan mengalahkan umat Islam secara perang fisik," ujar Ustaz Rahmadon
dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Jumat (12/1).

Dijelaskannya, peperangan demi peperangan terjadi berabad-abad selama kehidupan umat manusia di
era kejayaan Islam. Terakhir adalah Perang Salib yang terjadi selama 200 tahun lebih, yang banyak
menelan korban dari umat Islam dan juga kaum kafir.

ADVERTISEMENT

"Dengan kekuatan manhaj dan ajaran Islam yang disampaikan Rasulullah SAW, usaha yang dilakukan
oleh orang-orang kafir tidak berhasil secara maksimal dalam menghancurkan Islam. Karena orang Islam
diajarkan tidak takut mati dalam membela agamanya," ungka wakil ketua Iskada Aceh itu.
Akhirnya, orang-orang kafir mengakhiri perang dengan mempergunakan senjata, lalu dimulailah perang
dengan menggunakan akal dan pikiran.

Ghazwul fikri atau invasi intelektual pertama kali diterapkan oleh Napoleon Bonaparte (Perancis) saat
menaklukkan Mesir sebagai awal sejarah dimulainya perang yang menyerang pikiran umat Islam ini.

"Bentuk invasi ini dia menyerang peradaban, falsafah, aqidah dan pemahaman dan pengamalan agama
yang benar dari umat. Umat Islam dibuat menjadi kalah dengan tanpa harus mati secara fisik, tapi akal
dan pikirannya yang dilumpuhkan dari kebenaran manhaj dan ajaran Islam yang mendasar," sebut
doktor filsafat lulusan Universitas Sennar, Sudan ini.

Ditambahkannya, sendi-sendi kehidupan umat Islam di berbagai belahan dunia dimatikan dengan
dilakukan beberapa langkah. Pertama, Pendangkalan pemahaman ajaran agama, yaitu membuat umat
ragu-ragu terhadap agamanya (Tasykik). Kedua, pengaburan fakta kebenaran yang disampaikan oleh
ajaran Islam (Tasywih).

Ketiga, menghilangkan kepribadian dan marwah serta harga diri yang menjadi identitas Islam (Tadzwib).

Terakhir membuat umat menjadi murtad dengan cara mengikuti mereka secara menyeluruh dalam
berbagai aspek kehidupannya dengan menganut paham yang di luar ajaran Islam dengan usaha
westernisasi (Taghrib).

Usaha-usaha tersebut dilakukan secara massif, dipersiapkan secara matang dan terukur, diterapkan
secara teratur dan sistematis melalui sarana-sarana yang menjadi kebutuhan umat semisal, pers dan
media informasi, pendidikan, hiburan dan olahraga, yayasan dan LSM.

"Yang menjadi sasaran ghazwul fikri adalah pola pikir dan akhlak. Apabila seseorang Muslim sering
menerima pola pikir sekuler, maka iapun akan berpikir ala sekuler. Bila sesorang sering menerima
paham pluralisme agama, liberal, materialis, dan kapitalis atau yang lainnya, maka merekapun akan
berpikir dari sudut pandang paham tersebut.

Bahaya ghazwul fikri juga akan menyeret seseorang ke dalam jurang kesesatan dan kekafiran tanpa
terasa. Ibaratnya seutas rambut yang dimasukkan ke dalam tepung, kemudian ditarik dari tepung
tersebut. Tak akan ada sedikitpun tepung yang menempel pada rambut. Rambut itu keluar dari adonan
dengan halus sekali tanpa terasa. Demikianlah, seseorang hanya tahu bahwa ternyata dirinya sudah
berada dalam kesesatan, tanpa terasa.

"Yang diserang adalah orang yang kuat pemikirannya. Seperti mengirim orang-orang Islam yang cerdas
untuk belajar Islam atau Islamic Studies di negara barat. Bagaimana kita belajar Islam sama orang kafir.
Baru-baru ini ada kawan saya dosen baru pulang belajar Islam di Amerika, lalu karena dia merasa sudah
dicuci otaknya, dia minta masuk pesantren lagi untuk kembali belajar Islam dengan benar," ungkapnya.

Lalu bagaimana sikap yang harus dilakukan umat menghadapi invasi ini? Ustaz Rahmadon menyebutkan,
umat Islam harus benar-benar dibuat dalam keadaan sadar dan menyadari invasi ini sedang
mengincarnya, dan peduli serta mawas diri bahwa ada musuh yang paling nyata sedang melakukan
penjajahan diam-diam terhadap umat Islam.

"Kembali mengkaji kebenaran ajaran Islam yang telah diatur dalam manhaj yang murni dan beramal
dengannya. Membina kepribadian dan karakter yang luhur secara estafet terhadap generasi-generasi
Islam, ukhuwah islamiyah dan persatuan umat," katanya.

Selanjutnya, berdakwah dan menyampaikan ajaran Islam semaksimal mungkin terhadap umat di
berbagai kesempatan dan tempat. Lalu, meningkatkan kesabaran ke level paling tinggi, bersiap-siap
untuk melawan dengan segenap kemampuan, yang dilandaskan ketakwaan kepada Allah SWT.

https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/18/01/13/p2gysw374-bahaya-
ghazwul-fikri-merusak-pemikiran-umat-islam

Membaca Gerakan Invasi Perang Pemikiran

Senin, 12 November 2012 - 06:49 WIB

Bentuk lain dari ‘perang pemikiran” adalah wacana HAM dan diterimanya “hermeneutika” sebagai
metode penafsiran kitab suci, di Perguruan Tinggi Islam dan IAIN/UIN

Membaca Gerakan Invasi Perang Pemikiran

Terkait

Salah Kaprah Toleransi

Wasatiyah dalam Pemikiran

Kebangkitan Islam 2050: Bencana atau Rahmat?


Islam dan Sekularisasi Sains dalam Pendidikan

“Sungguh, Perang Kebudayaan Merasuk di Waktu Senggang Kita”

~Syeikh Muḥammad al-Ghazālī~

Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi

MENURUT Muḥammad ‘Imārah, tidak sedikit hari ini orang yang menolak adanya wacana “perang
pemikiran” (al-ghazw al-fikrī). Pandangan ini kemudian melahirkan pandangan lain, yaitu: bahwa ide
perang pemikiran hanya digiring kepada satu dari dua pernyataan: ilusi atau relita.[al-Ghazw al-Fikrī:
Wahm am Ḥaqīqah?, Universitas Al-Azhar)

Tulisan ini mencoba untuk mengkaji sejauh mana “perang pemikiran” itu ada dan beraksi di tengah-
tengah kondisi umat Islam.

Perang Pemikiran, Makhluk Apa itu?

Dalam bahasa Arab, perang pemikiran dikenal dengan istilah ‫الفكري الغزو‬, yaitu berbagai upaya yang
dilakukan oleh satu bangsa untuk menguasai bangsa lain. Perang Pemikiran ini lebih berbahaya
ketimbang perang prajurit/tentara (al-ghazw al-‘askarī), karena “perang pemikiran” berjalan secara
“rahasia”. Sehingga, bangsa yang diperangi tidak merasa bahkan tidak siap untuk membendungnya.
Pada gilirannya, bangsa yang diperangi menderita sakit pemikiran dan mencintai dan membenci apa
yang disukai dan dibenci oleh musuhnya. “Perang pemikiran”, menurut Alī ‘Abd al-Ḥalīm Maḥmūd dalam
“al-Ghazw al-Fikrī wa al-Firaq al-Mu‘ādiyah li al-Islām” (al-Riyāḍ, 1981) memiliki banyak otot untuk
memangsa bangsa-bangsa lain dan menghilangkan identitasnya. Secara umum, perang pemikiran ini
biasa terjadi terhadap bangsa-bangsa berkembang (al-umam al-nāmiyah) dan secara khusus terhadap
umat Islam.

Menurut Khādim Ḥusain dalam “al-Ghazw al-Fikrī Ta‘rīfuhu wa Ahdāfuhu”, kalangan non Muslim sangat
terbiasa melakukan praktik ini. Tujuannya mengajak umat lain untuk “menghilangkan” karakteristik
kehidupan islami, mengalihkan umat Islam agar tidak berpegang kepada akidah dan etika Islam.
Biasanya, sasaran “perang pemikiran” adalah fondasi Islam, yaitu: akidah, ekonomi, sistem
pemerintahan, sistem pendidikan bahkan penerangan.
Melalui “perang pemikiran”, seseorang tak harus berganti agama, misalnya dari Islam menjadi Kristen.
Namnun, denahn “perang pemikiran”, seseorang akan bisa hilangk karakteristik kehidupan islami nya.

Penjelasan di atas mengingatkan kita kepada pandangan sejarawan, sosiolog dan antropolog Muslim
klasik kenamaan, Ibn Khaldūn (w. 808 H). Dalam kitab “al-Muqaddimah” nya yang terkenal itu, Ibn
Khaldūn menyatakan, …ْ‫ب أ َ َّن‬
َْ ‫ب ِباالِقتِ َداءِْ أَبَدا ُمولَعْ المــَغلُو‬ َ ‫ع َوائِ ِدِْه أَح َوا ِل ِْه َو‬
ِ ‫سائ ِِْر َونِحلَتِ ِْه َو ِز ِيّ ِْه ِش َع‬
ِْ ‫ارِْه فِى ِبالغَاِْل‬ َ ‫َو‬

“…bangsa pecundang selalunya mengikuti bangsa pemenang, baik dalam: syiarnya (motto hidup),
pakaiannya, keyakinannya, tindak-tanduknya bahkan kebiasaannya.”

Sikap meniru itu, kata Ibn Khaldūn, disebut al-iqtidā’. Sikap itu tampak dari perilaku sang pecundang
yang mengimitasi sang pemenang dalam berpakaian (malbas), berkendaraan (markab) dan senjatanya,
bahkan seluruh pernak-pernik kehidupannya. Hal ini dapat dilihat, misalnya, dalam sikap anak terhadap
bapak. Mereka tampak serupa, karena sang anak meyakini bahwa kesempurnaan kepribadian ada dalam
diri bapaknya.

Melalui “perang pemikiran” inilah para pembenci dan musuh-musuh Islam merasuk ke tengah-tengah
kehidupan berbagai bangsa. Merusak kehidupan, merusak sejarahnya, masa lalunya dan perikehidupan
orang-orang shaleh mereka. Dengan tradisi dan nilai-nilai baru inilah, kaum Muslim tidak lagi
mengetahui mana yang haq dan mana yang batil.

Sampai hari ini, fenomena yang ditegaskan oleh Ibn Khaldūn di atas begitu kentara. Yang paling dekat
adalah di Indonesia. Dimana produk hukum yang ada masih kental nuansa kolonialis-Belanda. Bahkan
untuk memasukkan nilai-nilai Islam begitu susah dilakukan. Sementara memegang hokum warisan
Belanda dipertakankan mati-matian, seolah itu sudah sebagai kebenaran mutlak.

Fase Perang Salib

Fase “perang pemikiran” bisa dilihat sejak risālah Nabi Muḥammad turun. Di sana sudah terjadi
perhelatan antara tauhid dan syirik. Nilai-nilai islami kemudian coba dihapuskan wujudnya, meskipun
Allah Subhanahu Wata’ala tidak pernah memberikan kesempatan kepada siapapun yang ingin
memadamkan cahaya agama-Nya.
Fase selanjutnya ‘perang pemikiran” dapat dilihat sebelum runtuhnya Khilāfah Islāmiyyah ditandai
dengan adanya Perang Salib (al-ḥurūb al-ṣalībiyyah), kemudian diikuti oleh gerakan masukknya
Orientalisme (al-istisyrāq), injilisasi atau kristenisasi (al-tabsyīr), dan memotong nadi negara khilāfah.

Dalam ‘Alī Laban al-Ghazw al-Fikrī fī al-Manāhij al-Dirāsiyyah (awwalan) fī al-‘Aqīdah: Fī al-Radd ‘alā Zakī
Najīb Maḥmūd wa Ghairihi (Cairo: Dār al-Wafā’Pasca), dijelaskan, bahwa runtuhnya Khilāfah Islāmiyyah,
melahirkan berbagai wacana yang menyerang Islam. Seperti ide pemisahan agama dari negara,
penyebaran nasionalisme (al-qawmiyyah) untuk melawan Khilāfah Islāmiyyah dan meruntuhkan
Khilāfah.

Setelah itu dilanjutkan dengan perubahan besar-besaran dalam urusan politik. Perubahan sosial ini
ditandai dengan lahirnya westernisasi alias pembaratan (al-taghrīb), yang ditandai dengan: sekularisme
(al-‘almāniyyah), nasionalisme (al-qawmiyyah), dan liberalis perempuan (taḥrīr al-mar’ah).

Bentuk lain ‘perang pemikiran’ adalah program-program Barat bernama wacana hak asasi manusia
(HAM). Dengan ukuran HAM, seolah-olah Islam mengekang kehidupan para wanita. Padahal, sejak
turunnya risālah Islam, posisi wanita dimuliakan. Islam membawa warna berbeda bagi perempuan, jauh
dibanding masah jahiliyyah. Bahkan, penghormatan Islam terhadap kaum perempuan jauh di atas
penghormatan Barat.[ Lihat, Waḥīd al-Dīn Khān, al-Mar’ah baina Syarī‘at al-Islām wa al-Ḥaḍārah al-
Gharbiyyah, Terj. Sayyid Ra’īs Aḥmad al-Nadwī (Cairo: Dār al-Ṣaḥwah, 1414 H/1994 M). Lihat juga,
Muḥammad ibn Aḥmad Ismā‘īl al-Muqaddam, al-Mar’ah baina Takrīm al-Islām wa Ihānat al-Jāhiliyyah
(Cairo: Dār Ibn al-Jawzī, 1426 H/2005 M)]

Pemikiran-pemikiran Barat, seperti HAM, sekularisme, pluralism dan liberalism, cukup menjadi bukti
nyata betapa umat Islam tengah diinvasi secara pemikiran. Bagi kalangan pemuja sekularisme,
pluralisme dan liberalism (ada yang menyingkatnya menjadi SePILIS), nilai-nilai itu adalah satu kemestian
diterapkan jika suatu negara ingin maju dan berkembang.

Karenanya gagasan yang sering mereka lontarkan adalah tidak bolehnya ada campur-tangan agama
dalam hal-hal duniawi, khususnya dalam ranah politik.[baca; M. Dawam Rahardjo, “Merayakan
Kemajemukan, Kebebasan dan Kebangsaan” (Jakarta: 2010), juga, Luthfi Assyaukani dalam “Islam Benar
versus Islam Salah” (Depok: 2005].

Padahal sekularisme adalah bentuk “perang pemikiran” yang sudah lama dihembuskan untuk
meruntuhkan sendi-sendi kehidupan dan nilai-nilai Islami. Kritik tajam dan sangat mendasar terhadap
paham SePILIS pernah disampaikan Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam karyanya berjudul, “Islam
and Scularism”. Menurut Al-Attas, baik sekularisme maupun sekularisasi adalah murni produk Barat dan
tidak kompatibel – jika diamalkan – dengan ajaran Islam.
Ini lah yang dilakukan oleh Kamal Attaurk, pengusung sekularisme dan penghancur khilāfah islāmiyyah.
Di era kontemporer ini, usulan sekularisme terus diusung kembali. Salah satunya oleh akademisi asal
Sudan, Abdullahi Ahmed An-Na’im. Padahal Islam tidaklah dapat disatukan dengan sekularisme. Karena
Islam tidak terpisah dari ranah kehidupan, termasuk politik.

Bahkan, pemikir Barat sekelas David de Santillana, orientalis Italia, sendiri mengaku bahwa Islam adalah
agama sekaligus negara (dīn wa dawlah).[ Lihat, Muḥammad ‘Imārah, al-Islām fī ‘Uyūn Gharbiyyah:
Baina Iftirā’ al-Juhalā’ wa Inṣāf al-‘Ulamā’ (Cairo: Dār al-Syurūq, 2006), hlm. 145-146. Lihat juga, Yūsuf al-
Qaraḍāwī, Meluruskan Dikotomi Agama & Politik: Bantahan Tuntas terhadap Sekularisme dan
Liberalisme, Terj. Khoirul Amru Harahap (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008).

Bentuk lain dari ‘perang pemikiran” selain disebutkan tadi adalah; diterimanya “hermeneutika” sebagai
metode penafsiran kitab suci, khususnya Al-Qur’an di Perguruan Tinggi Islam dan IAIN atau UIN. Padahal
hermeneutika, sebagai metode penafsiran Bible, dipandang memiliki banyak masalah serius. Konon lagi
jika diterapkan untuk menafsirkan Al-Qur’an. Padahal Al-Qur’an tidak mungkin ditafsirkan dengan
metode hermeneutika yang murni Barat.

Alhasil, sesungguhnya apa yang dijajakan oleh Barat kepada dunia Islam melalui produk pemikiran
mereka, sejatinya mereka tengah melancarkan “perang pemikiran”. Sejatinya, mereka ingin menipu
umat Islam dan menjadikan mereka seperti istri Aladin. Mereka memberikan lampu yang palsu yang
dipoles seolah lebih indah, lebih mahal dan lebih berharga.

Melalui ‘perang pemikiran, seperti istri Aladin, kita lebih mudah takjub (bahasa lain tertipu) produk baru
yang menarik, dibanding ilmu-ilmu wariran Islam melalui para ulama-ulama salaf.

Inilah saatnya, kaum Muslim untuk tidak lagi tertipu dan takjub. Sebab “perang pemikiran” akan masuk
kapan saja.

Sebagaimana peringatan Allah;

‫ضى َولَن‬َ ‫عنكَْ ت َر‬ َ ‫الَ اليَ ُهو ُْد‬


ْ ‫ارى َو‬
َ ‫ص‬َ َّ‫ن قُلْ مِ لَّت َ ُهمْ تَتَّبِ َْع َحتَّى الن‬
َّْ ِ‫ّللا ُه َدى إ‬ ِْ ‫مِْنَْ لَكَْ َما العِل ِْم مِ نَْ َجاءكَْ الَّذِي بَع َْد أَه َواءهُم اتَّبَعتَْ َولَئ‬
ِّْ ‫ِن ال ُه َدى ه َُْو‬
ِ‫ّللا‬ ّْ ‫الَ َو ِل‬
ّْ ‫ي مِ ن‬ ْ ‫َصيرْ َو‬ ِ ‫ن‬

“Kaum Yahudi dan Kristen tidak akan pernah ridha sampai kalian mengikuti millah mereka.” (Qs. al-
Baqarah (2): 120); dan jika kaum Muslimin tidak menerima agama lain, maka tidak ada jalan lain kecuali
mengeluarkan mereka dari Islam dan membiarkan mereka dalam keadaan tanpa agama.” Wallāhu al-
hādī ilā al-ṣawāb!

Penulis adalah pengajar di Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, Medan, Sumatera Utara. Penulis
buku “Salah Paham tentang Islam: Dialog Teologis Muslim-Kristen di Dunia Maya” (2012). Tulisan
merupakan ringkasan makalah “Perang Pemikiran: Membaca Gerakan Invasi Pemikiran” yang pernah
disampaikan dalam Kajian Rutin Guru-guru Siti Hajar, Senin 29 Dzulqa’dah 1433 H/15 Oktober 2012 M

https://www.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2012/11/12/2378/membaca-gerakan-invasi-
perang-pemikiran.html

Islam dan Sekularisasi Sains dalam Pendidikan

Senin, 27 Agustus 2018 - 16:56 WIB

Tak masalah jadi saintis sekaligus menjadi Muslim yang ta’at. Dengan bangga kita mengatakan Islam Yes!
Sains Yes! Sekular No!

Islam dan Sekularisasi Sains dalam Pendidikan

Terkait

Islamisasi Ilmu Al Attas dalam Aplikasi

Belajar Worldview Dari Hamid Fahmy Zarkasyi

“Seminar Psikologi Islam di UGM”

PIMPIN Gelar Special Lecture Falsafah Sains Ibn Al-Haytham

Oleh: Daru Nurdianna

“…Bahwa sains bisa berkembang dan maju, jika di dunia ini dikosongkan dari tradisi atau Agama yang
menyatakan adanya kekuatan supernatural di dunia ini… Jika dunia ini dianggap manifestasi dari kuasa
supernatural, maka sains tidak akan maju dan berkembang…” – Harvey Cox

SUATU ketika, ada seorang siswa SMA Negeri atau mahasiswa Perguruan Tinggi yang merasa sulit untuk
memahami hubungan tentang ilmu sains dan agama. Bahkan ada yang dengan alasan yang ilmiah dan
sistematis, mereka punya argumen untuk memisahkan hubungan sains dan agama. Wajar saja sih, ya
mau gimana lagi. Ia tumbuh dalam kondisi pendidikan sekolah Negeri yang basis kurikulumnya sekular,
sehingga jauh dari nilai-nilai transendental. Maksudnya trasendental adalah jauh dari nilai-nilai yang
menonjolkan rohani atau keimanan. Di kurikulum itu juga, tokoh-tokoh sains yang diangkat dalam buku
ajar adalah tokoh-tokoh Barat. Ditambah lagi dari keluarganya juga bukan keluarga yang agamis. Siswa
terbiasa belajar sains tanpa agama di dalam kelas. Sehingga aneh jika mengaitkan ayat-ayat Al-Quran
dan Hadits di dalam kelas. Sebenarnya tidak berdosa kan ketika guru mengaitkan dengan agama di
dalam kelas? Ya, kendalanya juga tidak ada guru yang menyadari bahwa sains dan agama bukan dua
entitas yang terpisah. Kalau sudah begini, maka, sudah komplit dah!, akhirnya dinding sekularisasi sains
dan agama sukses dibangun di dalam jiwa siswa-siswa itu.

Paham sekular yang memisahkan agama dan sains telah memberikan kerugian yang amat besar
terhadap umat beragama, terkhusus umat Muslim. Sebenarnya, ide sekular ini dari mana sih? Ini perlu
untuk kita gali. Dari sana kita akan memahami sebenarnya umat Islam tidaklah perlu untuk mengikuti
sekularisasi karena bukan dari Islam, tidak Islami dan bertentangan dengan Islam. Sekularisasi telah
memisahkan manusia dari ayat-ayat kauniyah yang tertulis di alam. Sehingga hati gersang tatkala belajar
tentang Biologi, Fisika, Matematika. Akhirnya, orientasi siswa untuk menguasai ilmu itu untuk
membangun peradaban Umat atau kemaslahatan umat tidakklah terbangun. Karena baginya, belajar
sains itu tidak ada kaitannya dengan agama dan tidak bisa menambah keimanan. Ini nih masalah!

Sejarah dan Konsep Sekular

Untuk memahami lebih lanjut mengapa kaum Muslimin tidak perlu mengikuti paham sekularisme maka,
kita perlu memahami dari mana asal muasal paham tersebut. Sekularisai singkatnya berawal dari
pergumulan perseteruan pihak Gereja dan Saintis di Eropa pada Zaman Pertengahan (Medieval Period)
yang dimana saat itu agama Kristen sebagai sentral peradaban Barat tidak memberikan ruang pada ilmu
pengetahuan dan bahkan justru menghalangi ilmu pengetahuan bisa berkembang. Saat itu ketika orang
Barat berfikir, mereka menjauhi gereja karena doktrin apriori gereja terasa mencurigakan dan konsep
Tuhan menjadi meragukan. Akhirnya para pemikir Saintis mencerai agama dan sains. Mereka lebih
tertarik mengambangkan budaya Filsafat Yunani dari pada gereja.

Akhir Abad ke-18 terjadi kekacauan yang kusut di Eropa. Saat itu terjadi revolusi sosial dan pergolakan
yang mengubah pandangan manusia dari keyakinan kepada Tuhan menuju penyembahan alam materi
yang sekularistik. Peran agama dipisahkan dari fungsi agama. Akibatnya, komersialisasi dan
industrialisasi kehidupan, revolusi sains, dan visi keduniaan berubah dari persoalan moral dan keyakinan
kearah kapitalisasi kehidupan, pasar bebas, peluang-peluang hedonisme, dan free-sex (seks bebas) yang
meluas.

Teolog Kristen mulai pada abad ke-20 sepeti Karl Bart, Dietrich Bonhoeffer, Freidrich Gogarten, Paul van
Buren, Thomas Altizer, Gabriel Vahanian, William Hamilton, Woolwich, Werner dan Lotte Pels, Harvey
Cox dan lain-lain memodifikasi teologi Kristen supaya sesuai dengan peradaban Barat yang modern-
secular.

Baca: Mencari Sains Islam

Mereka menegaskan bahwa ajaran Kristen harus sesuai degan pandangan-hidup (worldview) sains
moden yang sekular dan mereka membuat penafsiran baru terhadap Bibel seta menegasikan penafsiran
lama bahwa ada alam lain yang lebih kuat dan hebat dari alam ini.

Komponen integral di sekularisasi menurut Harvey Cox, salah satunya memiliki sistem disenchantment
of nature yang berasal dari terjemahan die Entzuberung der Welt yang diambil dari gagasan Max Weber.
Bahwa sains bisa berkembang dan maju, jika di dunia ini dikosongkan dari tradisi atau agama yang
menyatakan adanya kekuatan supernatural di dunia ini. Manusia harus mengekploitasi alam seoptimal
mungkin, tanpa perlu dibatasi oleh pandangan-dunia agama manapun.

Jika dunia ini dianggap manifestasi dari kuasa supernatural, maka sains tidak akan maju dan
berkembang. Jadi, dengan cara apapun, semua makna-makna ruhani keagamaan ini mesti dihilangkan
dari alam. Maka ajaran, ajaran-ajaran Agama dan tradisi harus disiingkirkan. Jadi, alam bukanlah suatu
entitas suci (devine entity).

Zaman modern, Filsafat Emanuel Kant sangat berpengaruh. Menurut Kant, pengetahuan adalah
mungkin, namun metafisika adalah tidak mungkin karena tidak berlandaskan panca indra. Hal ini untuk
menjawab keraguan terhadap Ilmu Pengetahuan yang dimunculkan oleh David Hume yang skeptik.

Emanuel Kant membuat demarkasi yang tegas bahwa agama adalah non-ilmiah dan sains adalah imiah.
Ideologi sekular akhirnya mejadi fondasi kepada berbagai disiplin keilmuwan, seperti filsafat, teologi
Yahudi-Kristen, sains, sosiologi, psikologi, politik, ekonomi-dari kapitalisasi, pertanian sebagai korban-,
dan lain-lain. Maka, apakah pantas Islam mengikuti ajaran sekular? Padahal Peradaban Islam berpusat
pada sikap mengakui dan mengikuti wahyu, sehingga muncullah ilmu pengetahuan dan peradaban.
Sejarah sudah membuktikan.

Sains dan Agama

Sentuhan transendental dalam pendidikan di non-pondok pesantren dinilai sangat diperlukan. Sentuhan
rohani diperlukan karena ini bisa membentuk cara pandang siswa kedepan dan menentukan masa yang
akan datang. Siswa atau mahasiswa yang memiliki cara pandang agamis, akan lebih mudah membentuk
pribadi yang bermoral dan berakhlak mulia. Karena dalam dirinya ia menyadari akan keterlibatannya
dalam kegiatan-kegiatan dan perkara kehidupan selalu terhubung dengan Sang Pencipta. Sehingga, nilai-
nilai amoral terkikis. Itulah jiwa sehat yang terpancar dari keimanan dan keihsanan.

Baca: Empat Pendekatan Sains Islam

Orientasi paham sekularisme adalah dunia semata. Maka, pendidikan yang berbasis sekular hanya
berakhir pada cita-cita keduniaan saja. Dipersubur dengan adanya degradasi nilai pendidikan menjadi
perusahaan untuk mengeruk kekayaan dari konsumen (walisantri), yang menjadi pendidikan sebagai
‘lahan basah’ mencari keuntungan materil. Maka nilai moril tidaklah lagi penting.

Kemajuan sains dan teknologi hanya untuk memenuhi nafsu manusia tanpa memperhatikan nilai-nilai
agama. Hati akan menjadi kering, karena saat belajar sains, peserta didik dijauhkan dari nilai Keimanan.
Harga yang sangat murah jika dibanding dengan prinsip ajaran Islam. Islam menuntut penganutnya
untuk mengejar Akhirat, karena dunia hanya sementara. Jika mengejar akhirat, Allah telah berjanji
bahwa dunia akan mengikutinya. Sebaliknya jika orientasinya hanya dunia, akhirat tidaklah didapati.

Dalam uraian BNSPI (Badan Standarisasi Nasional Pendidikan Indonesia) mengenai pelajaran agama
dalam standar di semua jenjang pendidikan telah ditemukan bahwa nilai agama direduksi menjadi
sekadar alat untuk mendidik ‘mental-spiritual’. Yang bermakna bahwa agama hanya diposisikan sebagai
instrumen pengembangan potensi kepribadian yang sangat individualis. Seperti terdengar suara besar
yang samar bahwa itu juga mengatakan “tidak ada tempat untuk agama dalam ruang publik dan sains”.
Pun tidak hanya itu, semua Agama diposisikan sama rata. Maka nilai pluralisme agama pun tidak
dielakkan harus diakui.

Dalam kasus tersebut, jika dilihat dari perspektif dari agama lain mungkin tidak masalah. Namun, jika
dikaitkan dengan Islam, maka konsep ini bermasalah. Islam sebagai deen tidak sekedar mentalistas
pribadi, namun sebagai instrument peradaban yang bahkan mejadi basis dari peradaban itu sendiri.
Islam memiliki ruang lingkup yang multidimensional, menyeluruh, dan berlaku bagi siapapun karena
nilai-nilainya universal. Islam mencakup budaya, politik, ekonomi, sosial, sains, dan peradaban yang
inheren dalam seluruh ajarannya. Lebih dalam lagi, Islam mencakup cara berfikir, cara melihat, cara
merasa, cara menyikapi realitas dan kebenaran yang nampak dan tidak nampak dengan mata hati, yang
menembus langit dan nilainya berpusat pada Allah (teosentrisme). Hal ini bertolak belakang dengan
paham sekular yang manusia sebagai pusat nilainya (antroposentrisme).

Maka, Syed al-Attas dalam bukunya Islam dan Sekularisme mengatakan bahwa kita harus melakukan
islamisasi yang pertama-tama melakukan pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis,
nasional-kultural, dan sesudah itu melakukan pengendalian pembebasan jiwa dari paham sekular
terhadap nalar dan bahasanya. Penjelasan tersebut merupakan penggambaran tentang Islamisai yeng
bermakna sebagai suatu proses pembebasan. Kita harus menolak sekularisasi secara lahir maupun batin
karena sekularisasi bukan bagian dari Islam, dan tidak sama sekali Islami.

Diharapkan pembebasan tersebut memunculkan semangat kepada para siswa dan mahasiswa untuk
belajar sains yang sesuai dengan cara pandang Islam. Belajar adalah ibadah, dan ibadah untuk
membangun ilmu dan peradaban. Menyambung kembali spirit para saintis Muslim yang telah menjadi
pioner dalam ilmu-ilmu penting. Diantara para saintis besar Muslim dan temuannya adalah sebagai
berikut: Ibnu Ishaq al-Kindi w.800 (pakar falsafah, fisika, dan optik); al-Battani w. 858 (Pakar astronomi
dan matematika); Al-Farabi w.870 (pakar falsafah, logika, sosiologi, sains dan musik); Ibn Sina w.980
(pakar kedokteran, filsafat, matematika); Omar al-Khayyam w. 1044 (Pakar matematika dan penyair),
Ibn al-Haitham w.965 (pakar fisika, optik dan matematika), Abu Raihan al-Birruni w.973 (Pakar
astronomi dan matematika), Ibn Sina w. 980 (Pakar kedokteran, filsafat, dan matematika), al-Zarqali
w.1029 (Pakar astronomi penemu astrolabe) dan lain-lain. Maka, menjadi sebuah keniscayaan menjadi
saintis sekaligus menjadi Muslim yang ta’at. Dengan bangga kita bisa mengatakan Islam Yes! sains Yes!
sekular No!*

Penulis adalah peserta Program Kaderisasi Ulama’ (PKU) UNIDA Gontor

https://www.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2018/08/27/149537/islam-dan-sekularisasi-sains-
dalam-pendidikan.html

Mencari Sains Islam

Kamis, 26 Mei 2016 - 09:00 WIB

Kalau kita cermati, mengapa sarjana-sarjana ini berusaha keras mengangkat isu islamisasi,
dewesternisasi, atau desekularisasi? Nampaknya mereka sepakat bahwa ilmu itu selamanya tidak
pernah netral

Mencari Sains Islam

Terkait

Islamisasi Ilmu Al Attas dalam Aplikasi

“Seminar Psikologi Islam di UGM”

PIMPIN Gelar Special Lecture Falsafah Sains Ibn Al-Haytham

Islam dan Sekularisasi Sains dalam Pendidikan

Oleh: Akhmad Rafi‘i Damyati


BANYAK orang beranggapan bahkan berkesimpulan bahwa sains hanya untuk sains: scientia gratia
scientiae. Atau berpendapat sains itu netral, dan tak pernah ada sains yang ditunggangi ideologi,
kepercayaan atau agama tertentu. Maka istilah “sains Islam” itu hanya isapan jempol, ilusi belaka, kata
mereka. Dan upaya-upaya islamisasi ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh beberapa kalangan selama
ini hanya khayalan dan lebih ke arah justifikasi sains dengan dalil-dalil agama. Istilah derogatifnya,
“ayatisasi” sains.

Itulah beberapa kecurigaan umum yang terjadi di kalangan beberapa sarjana belakangan. Namun,
sebelum kita terburu-buru berkesimpulan seperti di atas, ada baiknya kita mencoba teliti lagi, apa betul
sains itu netral, apa memang dalam Islam tidak ada sains?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan mengajak kita menjumpai atau mencari ulang beberapa hal
penting terkait dengan sains; definisinya, sejarahnya, dan apa yang terjadi di dunia Islam terkait dengan
diskursus sains.

Untuk itulah INSISTS cabang Malaysia telah menggelar diskusi bersama Dr Syamsuddin Arif untuk
mengotak-atik kembali sains dan hubungannya dengan Islam. Pada kesempatan itu Ustadz Syams –
begitu sebagian memanggilnya – melemparkan poin-poin yang mendesak untuk dibahas, yakni tentang
definisi sains, peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah sains, dan yang terakhir diskursus Islamisasi
sains.

Menurutnya, selama ini sains tidak mempunyai definisi tunggal. Bahkan para saintis tak pernah
memikirkan apa itu sains walaupun ia melaksanakan sains sehari-hari. Walaupun demikian ada rumusan
secara sengaja atau tidak sengaja disepakati dan dibuat pijakan bahwa sains itu merupakan upaya
manusia untuk mengerti, memahami, dan menjelaskan alam tabi’i yang terbatas pada alam syahadah
(dapat dicerap oleh panca indera).

Sedang yang tak bisa ditangkap oleh panca indera tidak lagi masuk obyek sains, menurut rumusan
tersebut.

Kalau merujuk ke akar katanya, istilah sains diambil dari bahasa Latin scio, scire, scientia, yang bermakna
“aku tahu, mengetahui, pengetahuan” tentang apapun oleh siapapun dengan cara apapun dalam
perjalanan waktu telah dan terus mengalami pengerucutan maknawi (semantic reduction) hingga
sekarang dibatasi untuk menunjuk pengetahuan manusiawi (bukan ilahi) mengenai alam jasmani (bukan
rohani) dan alam nyata (bukan alam ghaib) secara empiris, induktif dan quantitatif.

Dengan demikian, yang disebut sains itu hanyalah seperti fisika, biologi, kimia, dan cabang-cabangnya
yang meliputi astrofisika, geofisika, thermofisika dan lain-lain, dan di luar itu bukanlah sains.

Nampaknya, sains sekarang yang sangat sempit ini adalah hasil reduksi yang telah berabad-abad dan
menjadi cara pandang yang mapan melalui icon utamanya, yakni tokoh-tokoh sains seperti Isaac Newton
dengan Newtonian Revolution-nya, Albert Einstein dengan teori relativitasnya, Neils Bohr dengan teori
atomnya, Charles Darwin dengan teori evolusinya, Antoine Laurent Lavoisier dengan revolusi kimianya,
Johannes Kepler dengan Motion of the Planets-nya, Nicolaus Copernicus dengan Heliocentric Universe-
nya, dan lain

sebagainya.

Lalu seperti apa sains sebelum pengertiannya menyempit? Nah, inilah permasalahannya. Ketika sains
yang menyempit itu sudah “established”, orang cenderung melupakan sejarah. Padahal sejarah itu yang
menguatkan akar suatu peradaban. Suatu peradaban terlihat kukuh dan kokoh kalau ia didukung
dengan histori yang mapan. Oleh karena itu, melihat sejarah sains ke belakang, sejauh apapun jaraknya,
amat penting bagi seseorang.

Di masa peradaban Islam berpapasan dengan keilmuan dari luar, utamanya Yunani, maka pemimpin
Islam dan ulamanya berdiskusi panjang apakah ilmu ini perlu diambil atau ditinggalkan.

Diskusi ini terjadi cukup sengit di antara ulama dan pemimpin Umat Islam saat itu, antara Khalifah Al-
Makmun dan Imam Ahmad bin Hambal dan diteruskan oleh al-Ghazali dan Ibn Rusd, bahkan Ibn
Taimiyyah juga mempunyai tempat yang tidak kalah pentingnya mengenai hal ini.

Menurut Al-Ghazali, sains itu manusiawi (kasbi), yakni ilmu yang didapatkan oleh manusia melalui upaya
yang dilakukannya. Ilmu seperti ini tidak pernah mencapai puncak kepastian, tapi hanya mendekatinya
saja.

Sedangkan menurut Ibn Rusd, sains itu tidak pasti, tapi ia bisa benar. Karena, menurutnya, kalau ia tidak
benar pasti tidak ada gunanya. Nyatanya, sampai sekarang ia digunakan berguna kepada banyak orang.
Jadi, dalam sejarahnya, yang dimaksud sains itu sebenarnya ilmu yang secara langsung tidak diajarkan
nabi. Sebab itulah ia disebut kasbi dan karena itu pula ia menjadi perdebatan. Namun walaupun menjadi
perdebatan, ulama-ulama dulu mencoba memproses ilmu itu dengan tasawwur Islami (islamic
worldview). Dan ilmu ini belum mengalami penyempitan sebagaimana saat ini.

Naifnya, sains sekarang yang sudah menyempit pengertiannya itu sudah terlanjur menjadi instrumen
untuk mengukur kemajuan suatu peradaban. Makanya Islam sekarang dianggap mundur gara-gara tidak
banyak memegang peranan dalam sains dan teknologi.

Bagaimana umat Islam menyikapi kondisi keterbelakangannya terkait dengan kemajuan sains?

Menurut doktor yang sempat “nyantri” selama empat tahun di Frankfurt ini, sempat ada tiga arus
pendapat dalam merespon sains dari kalangan orang Islam. Tapi semuanya menurutnya bermasalah.
Arus pertama, menyatakan ”Islam Yes dan Sains No!”; arus kedua menyatakan ”Islam Yes dan Sains
Yes!”; dan ketiga menyatakan ”Sains Yes dan Islam no”.

Kenapa ketiga-tiganya bermasalah? Hal ini karena yang pertama sangat ekstrem tidak mau tahu tentang
sains. Kelompok ini dikomandani oleh Syeikh al-Bakri. Sedangkan kelompok kedua, walaupun
kelihatannya hendak mengkompromikan antara Islam dan sains, ternyata ending-endingnya mau
menundukkan agama kepada sains, dimana ayat-ayat agama harus ditafsir mengikut selera sains.
Kelompok ini dimotori oleh Ahmad Khan, Afghani. Sementara yang ketiga, sangat ekstrem menolak
Islam dan sangat pro sains. Menurut kelompok ini, untuk memajukan Islam haruslah mempelajari sains.
Jika setelah belajar sains tidak juga maju-maju, maka berarti yang bermasalah adalah agamanya, maka
tinggalkan agama itu dan teruskan gunakan sains. Kelompok ini dimotori oleh Thaha Husayn.

Selanjutnya pembicara menyebut empat macam cara bagaimana orang menghidupkan sains dalam
Islam; cara saintisis, historis, sosiologis, dan yang holistik.

Pertama itu cara saintis. Cara ini seperti yang dilakukan Akhmad Khan di atas. Namun ujung-ujungnya
“westernisasi Islam”, memaksa Islam mengikuti gaya sains. Masih cara-cara saintis, apa yang dilakukan
Tantawi Jawhari, Maurice Bucaille, dan Harun Yahya adalah upaya yang disebut oleh pemateri sebagai
”saintifikasi al-Quran”.

Kedua itu cara historis. Cara ini bagaimana kembali lagi ke sejarah. Menghidupkan sejarah lama dengan
mengangkat lagi sains-sains di masa ulama silam. Ada dua aliran pegiat cara ini. Pertama aliran orientalis
seperti Ernest Renan dan Max Horten dan kedua aliran revisionisme seperti Sabra, Sezgin dan Saliba.
Ketiga adalah cara sosiologis. Cara ini adalah apa yang dijalankan oleh Ziauddin Sardar dan kawan-
kawannya yang mengkritik sains sebagai produk masyarakat Barat, sebagai bagian dari peradaban
modern yang membawa nilai-nilai khasnya yang belum tentu pas jika diterapkan oleh bangsa-bangsa
lain.

Lalu yang Keempat itu cara holistik. Cara ini dibagi kepada empat model. Pertama apa yang dilakukan
oleh Sayyed Hossein Nasr yang dikenal dengan “desekularisasi ilmu”. Kedua, apa yang dijalankan oleh
Syed Muhammad Naquib al-Attas yang dikenal dengan “dewesternisasi ilmu-ilmu kontemporer”. Ketiga,
yang diusung oleh Ismail Raji al-Faruqi yang masyhur dengan ”Islamisasi Ilmu”.

Menurut pemateri, kerja Nasr cukup mendalam dan menyeluruh. Namun sayangnya, ide
desekularisasinya ternyata ditunggangi oleh pluralisme agama sehingga yang beliau kampanyekan
adalah konsep “scientia sacra”. Sementara kerja keras al-Faruqi hanya untuk mengislamkan ilmu-ilmu
sosial dan tidak ilmu-ilmu alam (natural sciences). Karena menurutnya, yang perlu diislamkan adalah
ilmu-ilmu sosial yang memang penuh penyakit yang komplikasi. Sedangkan sains natural menurutnya
sudah Islami, sehingga tak perlu lagi diislamkan. Sedangkan menurut Profesor Naquib al-Attas, pada
ilmu-ilmu kontemporer saat ini, ada virus yang telah menjadikannya tidak Islami. Ilmu pengetahuan
modern saat ini telah dijangkiti oleh cara-cara pandang non-Islam yang pada gilirannya menjadikan para
ilmuwan Muslim semakin menjauh dari Islam.

Oleh karena itu, untuk mengatasinya perlu mengenal virus-virus itu dan cara membunuhnya. Virus-virus
itu berupa sekularisme, pluralisme, ateisme, liberalisme, dan isme-isme lainnya. Jika semua virus itu bisa
dihilangkan, maka ilmu-ilmu itu selanjutnya akan memasuki proses islamisasi.

Kalau kita cermati, mengapa sarjana-sarjana ini berusaha keras mengangkat isu islamisasi,
dewesternisasi, atau desekularisasi? Nampaknya mereka sepakat bahwa ilmu itu selamanya tidak
pernah netral. Ia selalu diboncengi ideologi di mana ia tumbuh dan berkembang. Jika demikian adanya,
maka setiap ilmu punya konsekuensi-konsekuensi baik positif maupun negatif, baik jangka pendek
ataupun jangka panjang, secara terbatas ataupun luas, dan bersentuhan dengan seluruh aspek
kehidupan manusia.

Sains, dengan demikan juga merupakan pengetahuan yang tidak berdiri di ruang hampa. Ia merupakan
upaya-upaya manusia untuk memahami alam tabi‘i ini pasti tidak netral. Hanya saja mungkin ada yang
sifatnya universal, seperti teknologi dan metodologi, namun ada yang partikular yang sifatnya eksklusif
pada masing-masing aliran seperti yang ontologikal, epistemologikal dan aksiologikal yang berbeda-beda
yang terdapat pada masing-masing aliran. Semua itu berlaku di dunia sains.[]
Penulis sedang menyelesaikan program doktoral di Turki

https://www.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2016/05/26/95395/mencari-sains-islam.html

Empat Pendekatan Sains Islam

Rabu, 13 Januari 2016 - 14:51 WIB

Handrianto, yang menepis anggapan keliru sains itu netral. Yang benar setiap sains dari mulai metode
dan teori hingga produk-produknya itu sarat nilai

Empat Pendekatan Sains Islam

peserta Seri Kuliah “Islamic Science” yang digelar Institute for the Study of Islamic Thought and
Civilizations (INSISTS) di kampus Universitas Indonesia (UI)

Terkait

Berubah atau Punah

Islamisasi Ilmu Al Attas dalam Aplikasi

PIMPIN Gelar Special Lecture Falsafah Sains Ibn Al-Haytham

Islam dan Sekularisasi Sains dalam Pendidikan

Hidayatullah.com–Langit mendung dan padatnya lalu lintas di wilayah Depok tidak menurunkan
semangat para peserta Seri Kuliah “Islamic Science” yang digelar Institute for the Study of Islamic
Thought and Civilizations (INSISTS) di kampus Universitas Indonesia (UI), Selasa (12/01/2016).

Sejak pukul 7 WIB, satu per satu perserta mulai berdatangan dari berbagai penjuru ibukota dan
sekitarnya.

Para peserta datang dari Bandung, Purwokerto, Semarang, Yogyakarta, bahkan Surabaya. Selain
mahasiswa, beberapa dari mereka memperkenalkan diri sebagai utusan dari perguruan tinggi
(Universitas Muhammadiyah dan UNISSULA) dan lembaga penelitian pemerintah (LIPI dan Balitbang
Kemenag) maupun swasta, seperti Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS).

Acara diawali dengan ucapan selamat datang dan terima kasih oleh Direktur Eksekutif INSISTS, Dr
Syamsuddin Arif.
Dalam kata pengantarnya, Syamsuddin, demikian akrab disapa, menjelaskan secara singkat pengertian
‘Islamic science’. Menurutnya, ada empat pendekatan terhadap sains Islam.

Pertama, pendekatan ‘apologetis’, seperti kita dapati dalam buku-buku yang ditulis oleh almarhum
Maurice Bucaille dan Harun Yahya, dimana teori-teori sains atau penemuan-penemuan ilmiah
dicocokkan dengan ayat-ayat al-Qur’an atau hadis yang diyakini mengantisipasinya.

Kedua, pendekatan ‘filosofis’, dimana pembahasan sains Islam itu difokuskan pada landasan
epistemologisnya, kerangka berfikir saintisnya, alias worldview-nya yang memang berbeda dengan
paradigm sains modern. Ini pendekatan yang dilakukan oleh Hossein Nasr, Naquib al-Attas, dan
Alparslan Acikgenc dalam buku-buku mereka.

Ketiga, pendekatan ‘historis’ yang menitikberatkan pengungkapan fakta dan data tertulis. Inilah
pendekat para sarjana Barat seperti David A. King, George Saliba, dan Paul Lettinck –untuk menyebut
beberapa nama saja. Pendekatan ini memerlukan ketekunan dan keseriusan, karena yang dikaji adalah
karya-karya saintis Muslim dalam berbagai bidang yang masih berbentuk manuskrip berbahasa Arab
‘gundul’ (tanpa tanda baca). Maka hasil kajian mereka berisi banyak simbol, diagram atau grafik-grafik
dan angka-angka seperti lazimnya buku-buku sains.

Adapun yang keempat adalah pendekatan ‘praktis’. Menurut eksponen pendekatan ini, sains Islam itu
tidak cukup hanya diwacanakan, tetapi harus diwujudkan dalam praktik hidup keseharian. Sains Islam itu
mengajarkan kita hidup sesuai dengan nilai-nilai Islam. Kalau berupa ilmu alam atau natural science,
maka bagaimana kita mengembangkan sains yang tidak merusak alam, yang ramah lingkungan, yang
menghormati lagi memelihara keanekaragaman hayati. Ini pendekatan yang dikedepankan oleh Adi
Setia dan Nadia Lawton, penganjur permaculture dari Australia.

Dr Syamsuddin Arif berharap para peserta dapat mengikuti seri kuliah ini empat hari (tanggal 12, 13, 19
dan 20 Januari 2016) ini sampai tuntas.

“Seumpama orang yang disarankan oleh dokter untuk meminum antibiotik sampai habis agar terasa
hasilnya insyaAllah,” ujarnya.

Tampil sebagai moderator dalam kuliah tersebut Dr Nirwan Syafrin Manurung, Wakil Rektor UIKA Bogor.
Dalam kesimpulannya, Nirwan menggarisbawahi fakta historis bahwa peradaban Islam itu merangkul
dan menghargai orang-orang berilmu dari manapun asalnya, walaupun berbeda budaya, bahasa,
ataupun agamanya.

“Masyarakat Islam itu beragam, terbuka, dan toleran,” jelasnya.

Setelah istirahat makan siang dan shalat dzuhur para peserta kembali ke ruang Budi Harsono FH UI itu
untuk mendengarkan kuliah lanjutan yang disampaikan oleh Dr Hamid Fahmy Zarkasyi, Wakil Rektor
UNIDA Gontor, yang juga merupakan salah satu pendiri INSISTS.

Menurut Hamid, sains Islam itu hanya bisa terwujud jika worldview saintisnya sudah islami. Hal ini
ditegaskan juga oleh moderator, Dr Budi Handrianto, yang menepis anggapan keliru bahwa sains itu
netral. Yang benar adalah setiap sains dari mulai metode dan teori hingga produk-produknya itu sarat
nilai.

“Contohnya pisau, sengaja dibuat untuk memotong sayur, buah, kue dan sebagainya, sementara
samurai memang dibuat untuk tujuan membunuh. Jadi setiap produk sains atau teknologi itu pasti
mengandung nilai-nilai yang dianut oleh perancang dan pembuatnya”, kata Handrianto menutup sesi
tanya jawab dengan peserta.*

Rep: Ahmad

Editor: Cholis Akbar

https://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2016/01/13/87380/empat-pendekatan-sains-
islam.html

UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu
(umum) pasal 15 yang berbunyi: Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik,
profesi, advokasi, keagaman, dan khusus.

Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan tampak pada pendidikan agama melalui madrasah, institut
agama, dan pesantren yang dikelola oleh Departemen Agama; sementara pendidikan umum melalui
sekolah dasar, sekolah menengah, kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen
Pendidikan Nasional.

BAB X pasal 37 UU Sisdiknas tentang ketentuan kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang
mewajibkan memuat sepuluh bidang mata pelajaran dengan pendidikan agama yang tidak proposional
dan tidak dijadikan landasan bagi bidang pelajaran yang lainnya.

Você também pode gostar