Você está na página 1de 3

ALIRAN ALIRAN FIQIH AWAL ; Ahlul Hadis dan Ahlul Ra'yi

Written By apaaja on Selasa, 13 Maret 2012 | 11.11.00


‫الر ِح ِيم‬
‫الرحْ َم ِن ه‬ ‫ِبس ِْم ه‬
‫َّللاِ ه‬

Pada periode Pasca Shabat yang dikenal dengan periode “Tabi’in” (tahun 40H s/d awal
abad ke-2 H) muncul dua aliran fiqh yang dikenal dengan “Madrasah Alhi Al-Hadis”
(Sekolah Ahli Hadits) Madrasah Ahl Al-Ra’’y (Al-Fiqh) atau Sekolah Ahli Fiqh
Latar belakang:
Pada periode Tabi’in ini, kondisi wilayah kekuasaan Islam semakin luas, sehingga para
generasi pasca sahabat mulai tersebar ke beberapa wilayah di luar madinah.
Kondisi perpolitikan dimana terjadi konflik internal, khususnya periode kekhalifaan
Usman, karena dianggap terjadi nepotisme dengan banyak melibatkan keluarga Bani
Umaiyah dalam pemerintahannya. Konflik tersebut mengakibatkan terbunuhnya Usman,
kemudian selanjutnya Ali bin Abi Thalib diangkat sebagai penggantinya. Pengangkatan Ali
sebagai Khalifah banyak diperotes oleh kalangan sahabat termasuk isteri Nabi “Aisyah”.
Sehingga kondisi politik pada saat sangat memanas sampai terjadi “Moqi’atul Jamal (Perang
Unta)” dan “Mauqi’atu Shiffin” (Perang Shiffin).

Konflik ini melahirkan sekte-sekte yang dikenal dengan golongan “Khawarij” dan “Syi’ah”.
Golongan Khawarij adalah mereka yang keluar dari kelompoknya Ali, karena menganggap
gencatan senjata yang dilakukan dengan tentara Muawiyah adalah perbuatan dosa besar.
Kelompok ini juga memunculkan masalah-masalah fiqh (diantaranya fiqh politik; hukum
pidana, seperti syarat seorang untuk menjadi kahlifah; sanksi perzinahan; peencurian
dsb). Golongan Syi’ah adalah pengikut setia Ali Bin Abi Thalib, mereka mengagungkan Ali,
termasuk dalam posisinya sebagai khalifah.
Golongan Syi’ah terbagi tiga kelompok:
Al-Zaidiyah: yaitu kelompok Syi’ah yang berafilisi dengan Zaid bin Ali bin Al-
Husain bin Ali bin Abi Thalib. Kelompok ini mirip dengan pemikiran Ahlu As-Sunnah wa
Al-Jama’ah dalam persoalan fiqh
Syi’ah Imamiyah: yaitu kelompok yang mengakui Imam 12: Ali bin Abi Thalib; Al-
Hasan; Al-Husain; Ali Zainal Abidin; Muhammad Al-Baqir; Ja’far Al-Shadiq; Musa bin
Ja’far; Ali bin Musa Al-ridha; Muhammad Al-Taqa; Ali bin Muhammad Al-Taqa; Al-Hasan
Al-Askari; Muhammad Al-Mahdi
Syi’ah Ismailiyah: yaitu pecahan dari syi’ah Imamiyah yang beranggapan bahwa
Imam setelah Ja’far Al-Sadiq adalah anak sulungnya “Ismail” kemudian diwariskan kepada
anak-anaknya.
Pesoalan-persoalan fiqh dari kelompok Syi’ah:
Dari Golongan Syi’ah muncul sejumlah persoalan-persoalan fiqh yang berbeda
dengan pemikiran Fiqh Kelompok Jumhur Ulama al:
Masalah Nikah Mut’ah: mereka membbolehkan dengan dasar pada QS. An-Nisa: 24:
(Maka istri-istri yang telah kamu istimta’ (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada
mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban;) dan QS. An-Nisa: 25:
(kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah “ujur/imbalan” (maskawin) mereka
menurut yang patut)
Nikah dengan Para Wanita Ahli Kitab: Mereka melarang persoalan tersebut yang
didasarkan atas: QS. Al-Mumtahinah: 10 (Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali
(perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir;)
Latar belakang lahirnya Aliran Fiqh Madinah (Madrasah Ahl Al-Hadits):
Munculnya pemikiran Fiqh Madinah yang disebut sebagai “Sekolah Ahli Hadits”
(Madrasah Ahl Al-Hadits) tidak lepas dari posisi Kota Madinah yang merupakan tempat
turunnya al-Quran dan Hadits Nabi baik hadits itu sebagai ucapan, perilaku dan keputusan
Nabi.
Madinah juga merupakan pusat penyebaran Agama Islam. Nabi Muhammad Saw
mendidik dan mengajar para sahabatnya tentang keislaman, sehingga praktik-praktik
keislaman secara langsung dicontohkan Rasulullah kepada para sahabatnya.
Selain Nabi, Khulafa’ Ar-Rasyidin juga menjalankan pemerintahannya di kota
Madinah.
Kota Madinah sebagai pusat penyebaran Islam banyak didatangi dan dikunjungi oleh
para ulama untuk memperdalam ilmu pengetahuannya.
Tokoh-tokohnya:
Tokoh dari kalangan Sahabat:
Umar bin Khatthab;
Zaed bin Tsabit;
Abdullah bin Umar; dan
Aisya RA.
(2) Tokoh dari kalangan Tabi’in:
Sa’ed bin Al-Musayab;
Sulaiman bin Yasar;
Al-Qasim Bin Muhammad bin Abu Bakar As-Shidiq;
Abu Bakar bin Abdurrahman Al-Harits;
Urwah bin Zubair bin ‘Awwam;
Ubaid bin Abdullah bin Utbah;
Kharijah bin Zed bin Tsabit. Para tokoh-tokoh ini telah mengambil peran yang sangat
penting dalam pengembangan pemikiran fiqh Madinah (Ahl al-Hadits).
Metodologinya:
Metodologi yang digunakan Aliran Fiqh Madinah adalah menggunakan modologi
pemikiran fiqh yang lebih banyak didasarkan atas Hadits Nabi, karena beberapa faktor:
Hadits Nabi dan Atsar para sahabat, pusatnya di Madinah, sehingga memudahkan
para ulama Madinah untuk mendasarkan pemikirannya kepada teks Hadits.
Kejadian-kejadian dan pristiwa-pristiwa yang terjadi di Madinah lebih sedikit
dibanding dengan pristiwa-pristiwa di Irak
Masyrakat Madinah merupakan masyarakat badawi yang jauh dari polemik dan
retorika filsafat dan logika (mantiq) seperti yang terjadi di Irak.
2. Aliran Ahli Fiqh (Madrasah Ahl Al-Fiqh)
Tokoh-tokohnya:
Tokoh dari kalangan Sahabat:
Abullah bin Mas’ud;
Sa’d bin Abi Waqash;
Abu Musa Al-Asy’ari;
Al-Mughirah bin Syu’bah, dan
Anas bin malik
(2) Tokoh dari kalangan Tabi’in:
Ulqamah bin Qais (61 H;
Al-Aswad bin Yazid Al-Nukhai (74H);
Masruq bin Al-Ajda’ Al-hamdani (63H);
Surekh bin Al-Haris Al-Qadhi (82H) (Para tokoh-tokoh ini telah mengambil peran
yang sangat penting dalam pengembangan pemikiran fiqh Irak (Ahl al-Iraq).

Metodologinya:
Metodologi yang digunakan Pemikir Fiqh di Irak lebih banyak didasarkan atas
pemikiran rasional, mereka jarang masuk dalam wilayah penafsiran Al-Quran selain yang
berkaitan dengan masalah-masalah fiqh; sebagaimana mereka juga banyak menukil pendapat
para seniornya dari kalangan sahabat;
Mereka tidak banyak memiliki narasi dari koleksi Hadits dan riwayat sahabat seperti
yang ada di Madinah, sehingga berdampak terhadap upaya mereka untuk memaksimal daya
nalar dengan ijtihad;
Kejadian-kejadian dan pristiwa-pristiwa yang terjadi di Irak lebih beragam dari
Madinah Masyrakat Madinah merupakan masyarakat badawi yang jauh dari polemik dan
retorika filsafat dan logika (mantiq) seperti yang terjadi di Irak;
Sebagai pusat kekuasan Islam pasca Madinah, mempunyai konsekwensi munculnya
berbagai oersoalan dan fitnah; khususnya pertikaian antara kelompok pendukung Ali bin Abi
Thalib (Khawarij dan Syi’ah)
Masalah-masalah fiqh yang lahir dari kedua aliran:
Perselisihan mereka dalam penafsiran tentang kata “quru’” pada QS. Al-Baqarah: 23:
dari kelompok Madinah menafsirkan kata “qar’” dengan “thuhr” (bersih), sedangkan
kelompok Irak menafsirkan kata tersebut dengan “haidh/dam” (masa menstruasi); dari
perbedaan pandangan tersebut melahirkan perbedaan dalam menentukan akhir dari masa
tunggu (iddah) wanita yang ditalak; kelompok Madinah mengatakan jika telah masuk haid
ketiga; kelompok Irak mengatakan jika telah bersih dari haid ketiga;
Perselisihan mereka dalam masalah gender (mengangkat perempuan menjadi hakim);
kelompok Madinah tidak membolehkan, dasarnya hadis yang mengatakan: (Tidak akan
beruntung suatu kaum yang menempatkan wanita sebagai hakim); sementara kelompok Irak
membolehkan dengan dasar analogi (qiyas) dan pemikiran rasional, dimana perempuan boleh
menjadi saksi dengan demikian boleh juga menjadi hakim.

Você também pode gostar