Você está na página 1de 4

BAB I

PENDAHULUAN

Bab ini menjelaskan mengenai latar belakang, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian
danmanfaat penelitian

A. Latar Belakang
Rumah sakit sebagai institusi penyedia jasa pelayanan kesehatan harus selalu mengikuti
perkembangan teknologi di era global ini, sehingga harus berkompetisi secara sehat
dengan rumah sakit lain untuk menciptakan mutu pelayanan terbaik untuk pelanggan. UU
RI No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menjelaskan bahwa setiap rumah sakit
mempunyai kewajiban memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu,
antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan
standar pelayanan rumah sakit.Lembaga kesehatan Budi Kemuliaan (2015) dalam
bukunya menerangkan bidang pelayanan kesehatantelah mengalami kemajuan dengan
penemuan-penemuan ilmiah kedokteran modern. Namun, studi dari banyak negara
menunjukkan bahwa terdapat risiko yang signifikan atas keselamatan pasiendiantaranya
layanan kesehatan yang berkaitan dengan infeksi, luka karena pembedahan atau salah
pembiusan, praktik penyuntikan yang tidak aman termasuk dalam pengambilan darah,
praktik medis yang tidak aman untuk wanita hamil dan bayi,.

Keselamatan pasien merupakan suatu variabel untuk mengukur dan mengevaluasi


kualitas pelayanan di rumah sakit. Mutu pelayanan kesehatan adalah kinerja yang
menunjukkan tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan, tidak saja yang dapat
menimbulkan kepuasan bagi pasien sesuai dengan kepuasan rata-rata penduduk tetapi
juga sesuai dengan standar dan kode etik profesi yang telah ditetapkan (Kemenkes RI
dalam Muninjaya, 2011).Oleh sebab itu diperlukan program untuk lebih memperbaiki
proses pelayanan. Program keselamatan pasien adalah suatu usaha untuk menurunkan
angka Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)yang sering terjadi pada pasien selama dirawat
di rumah sakit sehingga sangat merugikan baik pasien itu sendiri maupun pihak rumah
sakit (Nursalam, 2011).
Keselamatan pasien merupakan hal mendasar yang perlu diperhatikan oleh tenaga medis
saat memberikan pelayanan kesehatan. Keselamatan pasien adalah suatu sistem agar
rumah sakit dalam memberikan asuhan kepada pasien secaraaman serta mencegah
terjadinya cedera akibat kesalahan. Sistem ini mencegah terjadinya cedera
yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan tindakan atau tidak melaksanakan
tindakan yang seharusnya diambil, system tersebut meliputi pengenalan risiko,
identifikasi, dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan, dan
analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden, tindak lanjut dan implementasi solusi
untuk meminimalkan risiko (Depkes 2008). Kejadian resiko yang mengakibatkan pasien
tidak aman sebagian besar dapat dicegah atau diminimalisasi dengan beberapa cara,
antara lain petugas pelayanan kesehatan selalu meningkatkan kompetensi dalam
melakukan kewaspadaan dini melalui identifikasi yang tepat, serta komunikasi aktif
dengan pasien (widayat, 2009).

Kesalahan identifikasi pasien adalah salah satu bentuk kesalahan yang berakibat fatal
pada pasien. Contoh kesalahan yang berakibat fatal adalah pemberian obat pada pasien
yang salah, pemeriksaan patologi anatomi pada pasien yang salah, pemeriksaan imaging
pada pasien yang salah, pemberian tranfusi pada pasien yang salah, pembedahan pada
pasien yang salah, dan pengambilan spesimen pada pasienyang salah. Hal tersebut dapat
terjadi pada pelayanan kesehatan (Anggraeni, 2014).

The World Health Organization World Alliance For Patient Safety pada Januari 2007,
memulai dengan konsultasi dengan para pakar untuk menyusun standar untuk
meningkatkan keselamatan pasien dalam tindakan pembedahan (WHO, 2008). WHO
telah mengenalkan Patient Safety Safe Surgery Saves Lives untuk meningkatkan
keselamatan pasien pada pembedahan di dunia dengan menyusun suatu standar yang
dapat di aplikasikan pada semua kedaan di semua Negara. Pada bulan juni 2008, WHO
berinisiatif membuat Surgical Safety Checklist (SSC). Tujuan ceklis ini untuk
meningkatkan keselamatan pasien pada tindakan pembedahan serta menurunkan
komplikasi dan kematian karena tindakan pembedahan (WHO, 2009).

Angka komplikasi tindakan pembedahan di Negara berkembang diperkirakan jauh lebih


tinggi. Studi di Negara berkembang, angka kematian akibat pembedahan 5-10 % dan
angka komplikasi pembedahan sekitar 3-6% (Waiser et al. 2008). Belum ada data yang
lengkap tentang angka kematian dan komplikasi pembedahan di Indonesia. Demikian
pula belum ada data lengkap tentang praktek keselamatan pasien (patient safety) pada
tindakan pembedahan di Indonesia. Pelaksanaan keselamatan pasien dengan SSC WHO
di Indonesia juga belum banyak dilaporkan, (Permenkes RI no 1691, 2011).

Tingginya angka komplikasi dan kematian akibat pembedahan menyebabkan tindakan


pembedahan seharusnya menjadi perhatian kesehatan global. Penerapan SSC WHO
adalah untuk meningkatkan keselamatan pasien dalam proses pembedahan dikamar
operasi dan mengurangi terjadinya kesalahan dalam proses pembedahan.Penggunaan
ceklis terstruktur dalam proses pembedahan akan sangat efektif karena standarisasi
kinerja manusia dalam memastikan prosedur telah diikuti, sehingga WHO menganjurkan
agar SSC digunakan di seluruh dunia.

Penelitian Haynes et al, (2009) melaporkan hasil penelitian sebelum dan setelah
implementasi dari SSC WHO. Pilot Study yang diikuti 8 rumah sakit di dunia dengan
3955 pasien setelah implementasi SSC, didapatkan hasil angka komplikasi menurun dari
11% menjadi 7% (p<0,001).angka kematin juga menurun dari 6,2% m3njadi 3,4%
(p=0,001). Komplikasi luka operasi (ILO) menurundari 6,2% menjadi 3,4% (p<0,001),
pembedahan ulang tanpa terencana menurun dari 2,4% menadi 1,8% (p=0,047).

Penelitian Bawelle, dkk (2013) menyimpulkan bahwaada hubungan pengetahuan perawat


dengan pelaksanaan keselamatan pasien (patient safety) di Ruang Rawat Inap RSUD
Liun Kendage Tahuna sebesar 95%. Secara keseluruhan program patien safetysudah
diterapkan, walaupun sudah mengikuti program patien safety, tetap masih ada resiko
pasien cidera, jatuh, salah obat, dan ketidaktepatan informasi tentang kondisi pasien oleh
petugas pada saat pergantian shift. Pengetahuan merupakan faktor penting dalam
pengambilan keputusan, namun tidak selamanya pengetahuan seseorang bisa
menghindarkan dirinya dari kejadian yang tidak diinginkan.Berdasarkan observasi,
masalah tersebut dipengaruhi juga oleh kepatuhan perawat tentang Standard Operating
Procedure (SOP), peran kepemimpinan, komunikasi dan tanggung jawab setiap perawat
dalam pelaksanaan keselamatan pasien sendiri.
Menurut Baron dalam Sarwono (2009), kepatuhan merupakan salah satu jenis pengaruh
sosial, dimana seseorang menaati dan mematuhi permintaan orang lain untuk melakukan
tingkah laku karena adanya unsur power. Power yang dimaksudkan dapat diartikan
sebagai suatu kekuatan atau kekuasaan yang memiliki pengaruh terhadap seseorang atau
lingkungan tertentu. Pengaruh sosial ini dapat memberikan dampak positif dan negatif
terhadap perilaku individu. Jadi adanya kekuatan dari pihak yang berwenang membuat
seseorang mematuhi dan melakukan apa yang di perintah. Menurut Neufelt dalam
Kusumadewi(2012), menjelaskan arti kepatuhan sebagai kemauan mematuhi sesuatu
dengan takluk dan tunduk. Perilaku masyarakat untuk cenderung mengikuti peraturan ini
disebut sebagai kepatuhan (obedience).Menurut Blass dalam Kusumadewi(2012),
kepatuhan adalah menerima perintah-perintah dari orang lain. Kepatuhan dapat terjadi
dalam bentuk apapun, selama individu tersebut menunjukkan perilaku taat terhadap
sesuatu atau seseorang. Ada tiga dimensi kepatuhan terhadap peraturan, yaitu
mempercayai (belief), menerima (accept), dan melakukan (act).

Penelitian Saputra, Ade dan Devi (2015) tentang gambaran penerapan dokumentasi safe
surgery di IBS RSUP Dr. Kariadi Semarang,menghasilkan 228 dokumentasi safe surgery
yang diteliti menunjukkan 39 (17,11%) dokumentasi safe surgeryyang tidak lengkap dan
189 (82,89%) dokumentasi safe surgery yang lengkap yakni mencakup verifikasi
prosedur operasi, marking lokasi operasi dan surgical safety checklist.Penelitian prakoso
dan rosa yang dilakukan di Rumah Sakit Nur Rohmah Gunungkidul,
dokumentasisurgical safety checklist fase sign in telah terisi 100%, surgical safety
checklist fase time out hanya terisi 83,42% dan surgical safety checklist fase sign out
hanya terisi 85,6%. Hal ini menunjukkan pelaksanaan surgical safety checklist sudah
baik, tapi belum sepenuhnya patuh dilakukan.

Mwachofi (2011), menyatakan selain pengetahuan dan kepatuhan terdapat faktor


karakteristik yang berpengaruh terhadap keselamatan pasien yang meliputi usia, jenis
kelamin, pendidikan, status perkawinan dan masa kerja. Hal ini juga didukung oleh
penelitian Irwandi (2011), terdapat hubungan antara usia dengan kinerja 8 perawat RSU
Pirngadi Medan. Sedangkan menurut Sopiah (2009), menyatakan bahwa peningkatan
kinerja seseorang dapat dipengaruhi oleh masa kerjanya sendiri.

Você também pode gostar