Você está na página 1de 14

Analisis Kasus Korupsi BLBI

Di Susun Oleh :
Enok Wangsih 0221 16 089
Putri Hanifan H.R 0221 16 090
Febrianti Lestari 0221 16 091
Fazrin Prihandani Lubis 0221 16 098
Ihsan Dwi Gunawan 0221 16 099
Fadhia Salaswati 0221 16 103

Progam Studi Akuntansi


Fakultas Ekonomi
Universitas Pakuan
Bogor
2018
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum.wr.wb
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena penulis dapat menulis
paper analisis berjudul : ANALISIS KASUS KORUPSI BLBI .
Penulisan paper analisis ini berdasarkan hasil data analisis terhadap judul yang
terkait.. Penulis menyadari bahwa penulisan papaer analisis ini masih jauh dari yang
diharapkan, maka dengan rendah hati penulis mengharapkan masukan / koreksi yang bersifat
konstruktif dari Bapak/Ibu pembimbing dan para pembaca untuk perbaikan lebih lanjut.
Atas perhatian dan masukan, penulis mengucapkan banyak terima kasih, semoga
dapat terlaksana sesuai dengan rencana.
Wassalamualaikum.wr.wb

Bogor, Oktober 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i


DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................................ 1
1.2. Perumusan Masalah..................................................................................................... 1
1.3. Tujuan Analisis ........................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................... 3
2.1. Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)................................................................ 3
2.2. Korupsi ........................................................................................................................ 3
2.3. Penyimpangan Korupsi BLBI ..................................................................................... 4
2.4. Penyebab Terjadimya Kasus Korupsi oleh BLBI ....................................................... 5
2.5. Modus Operasi Penalaran BLBI ................................................................................. 6
2.6. Dampak Kasus BLBI .................................................................................................. 7
BAB III PENUTUP .................................................................................................................. 9
3.1. Kesimpulan.................................................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Keuangan Negara memang menjadi salah satu hal terpenting dalam proses
penyelenggaraan kegiatan negara yang berkenaan dengan kepentingan publik. Bahkan hal
yang berkenaan dengan Keuangan Negara memiliki kedudukan yang istimewa dalam
Undang-Undang Dasar 1945 yang tertuang dalam Bab III pasal 23c yang berisikan bahwa:
“Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang.”
Salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu peningkatan fungsi pengawasan dan
pemeriksaan keuangan negara. Sebagai bentuk perwujudan peningkatan fungsi pengawasan
dan pemeriksaan dapat dilihat dari adanya rangkaian perbaikan peraturan diawali dengan
amandemen ke-III Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan independensi pemeriksaan
Keuangan Negara oleh BPK, kemudian berlanjut dengan lahirnya paket Undang-Undang di
bidang Keuangan Negara yaitu: 1) Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, 2) Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, 3) Undang-
Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara. Paket Undang-undang di atas secara jelas mengesahkan peningkatan
kewenangan BPK untuk menjalankan fungsinya sebagai satu-satunya lembaga tinggi negara
yang diamanatkan untuk menjalankan kegiatan pemeriksaan berkaitan dengan pengawasan
dan pengelolaan keuangan negara.
Setiap penyelenggaraan keuangan Negara pasti ada yang menyalahgunkan atau
menyelewengkan untuk keuntungan pribadi atau hal lain. Salah satu kasus penyelewengan
keuangan yang marak terjadi disebut juga sebagai kasus korupsi, Salah satunya adalah kasus
yang sedang kembali naik daun, yaitu kasus peyimpangan yang dilakukan oleh Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). BLBI adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan
Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya
krisis moneter 1998 di Indonesia. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia
dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada bulan Desember 1998, BI telah
menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank, namun melalui Audit BPK
terhadap penggunaan dana BLBI oleh ke-48 bank

1.2. Perumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah dalam analisis sebagai
berikut :
1. Bagaimana Penjelasan Kasus Penyimpangan Korupsi BLBI dan Kronologinya?
2. Sebab Terjadimya Kasus Korupsi oleh BLBI ?
3. Bagaimana Modus Operasi Penalaran oleh BLBI ?

1
4. Akibat dan Dampak yang Ditimbulkan Oleh Kasus Korupsi BLBI?

1.3. Tujuan Analisis


Adapun target pencapaian dari hasil analisis ini sebagai berikut :
1. Untuk Mengetahui Penjelasan Kasus Penyimpangan Korupsi BLBI dan
Kronologinya
2. Untuk Mengetahui Sebab Terjadimya Kasus Korupsi oleh BLBI
3. Untuk Mengetahui Modus Operasi Penalaran oleh BLBI
4. Untuk Mengetahui Akibat dan Dampak yang Ditimbulkan Oleh Kasus Korupsi
BLBI

2
BAB
II PEMBAHASAN

2.1. Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)


BLBI atau Bantuan Likuiditas Bank Indonesia adalah suatu terminology yang
dimaksudkan untuk mengelompokan seluruh fasilitas bantuan likuiditas (liquidity support)
dari bank Indonesia kepada perbankan untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan
darurat sebagaimana yang diatur didalam Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun
1968 Tentang Bank Sentral. Menurut Prasetiantono,et al, dari Center for Financial Policy
Studies(2000;18) pada garis besarnya BLBI terdiri atas lima jenis fasilitas yaitu:
1. fasilitas dalam rangka mempertahankan kestabilan sistem pembayaran, yaitu dalam
hal terjadi mismatch antara penerimaan dan penarikan dana, baik dalam jangka
pendek (fasilitas diskonto I) maupun jangka panjang (fasilitas diskonto II)
2. fasilitas dalam rangka operasi pasar terbuka (OPT) sejalan dengan program moneter
(SBPU lelang dan bilateral)
3. fasilitas dalam rangka penyehatan (rescue) bank, kerdit likuiditas darurat (KLD) dan
kredit sub ordinasi atau sub ordinated loan (SOL)
4. fasilitas untuk mempertahankan kestabilan sistem perbankan dan system pembayaran
sehubungan dengan rush (penarikan cadangan wajib dan saldo negatif atau overdraft
rekening bank di Bank Indonesia)
5. fasilitas untuk mempertahankan kepercayaan kepada perbankan Indonesia (dana
talangan untuk membayar kewajiban luar negeri dalam rangka penjaminan oleh
pemerintah).
Istilah BLBI dikenal sejak tanggal 15 januari 1998 sebagaimana ditegaskan pemerintah
dalam Letter of Intent kepada International Monetary Fund (IMF) dimana didalamnya
pemerintah menyatakan pentingnya bantuan likuiditas (liquidity support) Bank Indonesia
kepada perbankan. Meskipun pengertian luasliquidity support itu meliputi juga kredit
subordinasi, kredit likuiditas darurat serta fasilitas diskonto I dan II, namun BLBI yang
diberikan dalam masa krisis ini hanya mencakup bantuan likuiditas kepada bank untuk
menutup kekurangan likuiditas terutama yang berupa saldo debet, fasilitas diskonto, dan
SBPU khusus serta dana talangan dalam rangka kewajiban pembayaran luar negeri.

2.2. Korupsi
Korupsi dalam bahasa Latin disebut Corruptio – corruptus, dalam bahasa Belanda
disebut corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruption, dalam bahasa Sansekerta didalam
Naskah Kuno Negara Kertagama tersebut corrupt arti harfiahnya rusak, busuk, bejat, tidak
jujur yang menunjukkan kepada perbuatan yang disangkutpautkan dengan keuangan. Korupsi

3
menurut Henry Campbell Black dalam Black’s Law Dictionary adalah suatu perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan
kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain, secarasalah menggunakan jabatannya
atau karakternya untuk mendapatkan suatukeuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang
lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.
Dalam pengertian lain, korupsi dapat diartikan sebagai “perilaku tidak mematuhi prinsip”,
dilakukan oleh perorangan di sektor swasta atau pejabat publik. Dan keputusan dibuat
berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga, korupsi akan timbul, termasuk juga konflik
kepentingan dan nepotisme. Terlepas dari berbagai ragam pengertian korupsi diatas, secara
yuridis, pengertian korupsi, baik arti maupun jenisnya telah dirumuskan, di dalam Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999. Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang sebelumya, yaitu Undang-
undang Nomor 3 Tahun 1971. Dalam pengertian yuridis, pengertian korupsi tidak hanya
terbatas kepada perbuatan yang memenuhi rumusan delik dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, tetapi meliputi juga perbuatan-perbuatan yang memenuhi
rumusan delik, yang merugikan masyarakat atau orang perseorangan.
Secara garis besar korupsi memiliki unsur sebagai berikut :
1. Perbuatan melawan hukum
2. Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau saran
3. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau lorporasi
4. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Menurut nur syam, korupsi di indonesia muncul akibat tindak kriminal yang dilakukan para
pejabat karena adanya godaan akan materi dunia. Dan menurut arifin, korupsi terjadi karena 3
poin utama: 1. Aspek perilku individu, 2. Aspek organisasi, 3. Aspek masyarakat

2.3. Penyimpangan Korupsi BLBI


Penyimpangan atau korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) telah
menunjukkan kepada kita ongkos korupsi masa lalu yang harus ditanggung seluruh rakyat
Indonesia. Harus diakui penyimpangan dana BLBI merupakan kasus korupsi terbesar yang
pernah terjadi di negeri ini. Fakta ini bisa dilihat dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK). Dari Rp 144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional,
Rp 138,4 triliun dinyatakan berpotensi merugikan negara.
Dana-dana tersebut kurang jelas penggunaannya. Juga terdapat penyimpangan dalam
penyaluran maupun penggunaan dana BLBI yang dilakukan pemegang saham, baik secara
langsung atau tidak langsung melalui grup bank tersebut. Sedangkan hasil audit Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap 42 bank penerima BLBI

4
menemukan penyimpangan sebesar Rp 54,5 triliun. Sebanyak Rp 53,4 triliun merupakan
penyimpangan berindikasi korupsi dan tindak pidana perbankan.
Penyimpangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dapat dianggap sebagai sebuah
lembaran hitam dalam kehidupan perbankan nasional. Sementara penanganan terhadap kasus-
kasus penyimpangan BLBI tersebut dapat pula dicatat sebagai sebuah lembaran hitam dalam
sejarah kehidupan hukum Indonesia. Catatan tersebut bukanlah sesuatu yang berlebihan bila
dikaitkan dengan adanya berbagai implikasi yuridis yang kemudian muncul sebagai akibat
berbelit-belitnya proses penanganan kasus penyalahgunaan dana BLBI. Ketidaksamaan
persepsi di kalangan hukum sendiri tentang penanganan kasus-kasus BLBI adalah gambaran
tentang betapa kehidupan hukum kita semakin menjauh dari kepastian hukum.
Ada dua aspek hukum yang cenderung mendapatkan perhatian dan mengemuka dalam
berbagai diskusi terkait dengan masalah BLBI. Pertama, apakah penyimpangan BLBI itu
merupakan sesuatu yang berada dalam tataran hukum keperdataan, atau apakah kasusnya
kemudian dapat berkembang menjadi sesuatu yang berada dalam lingkup hukum pidana.
Kedua, masalah penyelesaian terhadap kasus-kasus penyimpangan BLBI yang telah
menimbulkan berbagai kontrovesri.
2.4. Penyebab Terjadimya Kasus Korupsi oleh BLBI
Bantuan likuiditas dalam berbagai bentuk dan jenis yang diberikan kepada bank
penerima, pada awalnya adalah sesuatu yang berada dalam lapangan hukum keperdataan,
karena para pihak dilandasi oleh adanya hubungan hukum dalam bentuk perjanjian atau
kontrak sebagai kreditur dan debitur. Berdasarkan verifikasi terhadap data hasil olahan
pengawas bank penerima BLBI, ditemui oleh BPK dan BPKP adanya indikasi
penyalahgunaan BLBI oleh bank penerima. Menurut tujuannya, dana BLBI itu hanyalah
untuk dana pihak ketiga (masyarakat), namun pada kenyataannya juga digunakan untuk
membayar kembali transaksi bank yang tidak layak dibiayai oleh dana BLBI. Oleh karena
adanya penyalahgunaan atau penyimpangan penggunaan dana BLBI oleh bank penerima,
yang kemudian ternyata merugikan keuangan negara, maka persoalannya tentu tidak lagi
hanya sekedar kasus yang mesti diselesaikan dengan menggunakan ketentuan hukum
keperdataan.
Ada beberapa bentuk perilaku menyimpang dalam kaitannya dengan BLBI yang dapat
diklasifikasikan sebagai tindak pidana, di antaranya:
1. pemberian BLBI dilakukan kepada pihak yang tidak pantas menerimanya.
2. konspirasi antara oknum Bank Indonesia dengan bank penerima BLBI.
3. pemberian BLBI melebihi jumlah yang sepantasnya
4. penyimpangan dalam penyaluran dana BLBI
Di samping itu, studi hukum yang dilakukan Satgas BLBI telah mengidentifikasi bentuk-
bentuk penyimpangan penggunaan BLBI, antara lain: Penggunaan dana BLBI oleh penerima
secara menyimpang, seperti digunakan untuk keperluan pembelian devisa dan memindahkan

5
asset ke luar negeri, membawanya ke pasar uang atau digunakan untuk operasionalisasi bank,
serta untuk membayar pinjaman kepada kelompok sendiri (group perusahaan penerima
BLBI). Studi hukum :
1. membayar atau melunasi kewajiban kepada pihak terafiliasi.
2. membayar atau melunasi dana pihak ketiga yang melanggar ketentuan.
3. membiayai kontrak derivatif baru atau kerugiaan karena kontrak derivative lama jatuh
tempo.
4. membiayai penempatan baru di pasar uang antar bank (PUAB), atau pelunasan
kewajiban yang timbul dari transaksi PUAB.
5. membiayai ekspansi kredit atau merelasasikan kelonggaran tarik dari komitmen kredit
yang sudah ada.
6. bentuk-bentuk penyimpangan lainnya seperti :
a. pembayaran kepada pihak ketiga yang masih mempunyai kewajiban kepada
bank.
b. penarikan dana tunai dari giro bank di BI yang penggunaannya tidak jelas.
c. pelunasan kewajiban antar bank, dan sebagainya.
Penyimpangan-penyimpangan tersebut dilakukan dengan berbagai cara dan modus operandi
yang pada prinsipnya tidak sesuai dengan penggunaan dana BLBI yang seharusnya
dilakukan. Bertolak dari adanya penyimpangan dalam berbagai bentuk dan modus operandi
yang merugikan keuangan negara, maka penyelesaian terhadap kasus-kasus BLBI mesti
ditanggapi dengan menggunakan ketentuan-ketentuan hukum pidana.

2.5. Modus Operasi Penalaran BLBI


Penyimpangan-penyimpangan tersebut dilakukan dengan berbagai cara dan modus
operandi yang pada prinsipnya tidak sesuai dengan penggunaan dana BLBI yang seharusnya
dilakukan. Bertolak dari adanya penyimpangan dalam berbagai bentuk dan modus operandi
yang merugikan keuangan negara, maka penyelesaian terhadap kasus-kasus BLBI mesti
ditanggapi dengan menggunakan ketentuan-ketentuan hukum pidana.
BLBI memberikan fasititas tertebih dahulu sedangkan pembuatan akte perjanjian tersebut
dilakukan beberapa hari kemudian.BI mengetahui jumlah jaminan bank persero lebih kecil
dari dana BLBI yang diberikan tetapi pejabat BI masih memberikan bantuan dana BLBI
dalam jumlah yang tinggi.
Fasilitas yang diberikan telah habis digunakan dan pengembalian yang sudah jatuh tempo
belum ada yang dibayar, tetapi pejabat BI masih memberikan tambahan fasilitas overdraft
(saldo debet) kepada bank pemerintah.Intersensi BI di pasar valas dilakukan bersamaan
dengan pemberian bantuan BLBI yang berarti penerima bantuan BLBI dapat memburu dolar
yang disediakan BI tersebut dan itulah sebabnya rupiah tidak juga menguat, sementara
cadangan devisa merosot terpakai untuk intervensi.

6
Dalam kasus BLBI terdapat beberapa penyelewengan yang diantaranya beberapa ada modus
operandi yang diketahui yaitu :
1. BLBI digunakan untuk transaksi surat berharga dengan penyimpangan sebesar
RP136,902 miliare yang terjadi pada 4 bank. Modus operandinya antara lain
pembayaran atas transaksi L/C yang telah dilunasi importir, tetapi tidak diteruskan ke
bank koresponden.
2. BLBI digunakan untuk membiayai placement baru di PUAB. Penyimpangan ini
terjadi pada 11 bank dengan total penyimpangan Rp9,822 miliar. Modus operandinya,
antara lain penempatan dana bank pada bank lain yang kemudian diteruskan sebagai
kredit grupnya.
3. BLBI digunakan untuk membiayai ekspansi kredit atau merealisasikan kelonggaran
tarik dari komitmen yang sudah ada dengan total penyimpangan Rp16,815 triliun di
35 bank. Modus operandinya, antara lain pelunasan pinjaman lama yang macet
dengan pinjaman baru dan pemberian kredit ke pihak ketiga yang kemudian
disalurkan ke pemilik.
4. BLBI digunakan untuk membiayai over head bank umum. Modus operandinya adalah
biaya entertainment dan pembayaran keanggotaan golf. Penyimpangan penggunaan
jenis ini mencapai Rp87,144 miliar yang terjadi di 19 bank.

2.6. Dampak Kasus BLBI


Sejumlah kalangan menegaskan kerugian negara akibat skandal Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) secara nyata terus membengkak sejak 1998 hingga 2043 selama kewajiban obligasi
rekapitalisasi perbankan eks BLBI terus berjalan. Bahkan, belum lama ini pemerintah menyebutkan
BLBI merupakan salah satu kebijakan salah warisan masa lalu yang merugikan negara hingga 3.000
triliun rupiah. Direktur Eksekutif Indef, Enny Sri Hartati, membenarkan terus membengkaknya
kerugian negara akibat kasus BLBI. Bahkan, jika mau dihitung, kerugian itu bakal bertambah selama
pemerintah terus membayar bunga obligasi rekap sejak 1998 hingga jatuh tempo pada 2043. Dan, saat
jatuh tempo, pemerintah juga mesti mengembalikan pokok obligasi.
Terkait kerugian negara akibat BLBI, Wakil Presiden Jusuf Kalla memaparkan Indonesia mengalami
kerugian banyak pada krisis ekonomi 1997–1998 akibat kredit macet perbankan. Dia menyebut
kerugian jika dikonversi ke rupiah pada tahun itu sangatlah besar. Kesalahan pemerintah adalah
melakukan penjaminan sehingga menerbitkan blanket guarantee dan BLBI dengan nilai total sekitar
600 triliun rupiah.
Seperti dikabarkan, KPK menyebut kerugian negara akibat kasus korupsi BLBI yang menjerat eks
Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung, yang semula
sebesar 3,7 triliun rupiah, diperkirakan akan membengkak. Menggandeng Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK), KPK menaksir ulang angka kerugian negara tersebut. Berbagai bukti dari penyidikan juga
digunakan untuk memperkuat taksiran.

7
Sementara itu, pemilik BDNI Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim kembali tidak memenuhi
panggilan KPK untuk diperiksa sebagai saksi dalam penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi
dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada BDNI dengan tersangka mantan Ketua
BPPN tersebut.

Kucuran dana BLBI yang diterima Sjamsul sebagai pemegang saham pengendali BDNI
adalah sebesar Rp27,4 triliun. Sjamsul kemudian membayar dengan aset-aset miliknya serta
uang tunai hingga menyisakan utang sebesar Rp 4,8 triliun. BBPN juga menagihkan
pembayaran sebesar Rp1,1 triliun kepada para petani tambak Dipasena, yang adalah debitur
BDNI. Oleh karena itu, masih ada Rp3,7 triliun yang harus ditagih BPPN ke BDNI. Namun
Kepala BPPN Syafruddin justru mengeluarkan SKL (Surat Keterangan Lunas ) pada April
2004, sehingga masih ada dana sebesar Rp3,7 triliun yang belum dikembalikan ke negara.

8
BAB
III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Penyalahgunaan dana BLBI yang merugikan keuangan negara adalah perbuatan
melawan hukum (wederrechtelijk), sehingga memenuhi rumusan perundang-
undangan pidana sebagai tindak pidana korupsi;
2. Pemberian release and discharge sebagaimana tertuang dalam Inpres Nomor 8 tahun
2002 dapat dianggap sebuah kebijakan yang telah menjungkir-balikkan asas-asas
hukum yang menjadi sendi dari sebuah negara hukum; dan dapat mengakibatkan
disfungsionalisasi hukum pidana;
3. Kewenangan KPK untuk mengambil alih penanganan kasus-kasus penyalahgunaan
dana BLBI tidak perlu dikaitkan dengan asas non retroaktif, karena sasaran dari asas
non retroaktif adalah perbuatan sebagai sesuatu yang berada dalam ruang lingkup
hukum pidana materil.
Kasus BLBI yang melibatkan tiga pilar demokrasi, yaitu parlemen (lembaga
legislatif), pemerintah (lembaga eksekutif) dan kejaksaan (lembaga yudikatif),
memang merupakan permasalahan yang tidak mudah diselesaikan. Permasalahan ini
sudah berkait berkelindang antar lembaga negara tersebut sehingga justru menjadi isu
politik, alih-alih isu ekonomi dan korupsi yang menyengsarakan rakyat.
a. Pertama, kebijakan BLBI ini sudah keliru sejak awal. Bank Indonesia tidak
mampu mengelola dan mengawasi implementasi penggunaan dana bantuan
likuiditas untuk merestrukturisasi perbankan. Hal ini, merupakan ekses dari
ketiadaan kelembagaan (aturan main/rules of the games) yang berakibat pula
pada ketiadaan kontrol yang efektif dalam implementasinya, yang juga
memunculkan potensi tindakan curang (moral hazard) pada para pelakunya.
Perilaku curang ini bisa terjadi pada pihak perbankan maupun Bank Indonesia.
b. Kedua, parlemen (DPR) tidak merespon secara cerdas untuk mengelaborasi
lebih jauh alasan-alasan fundamental mengapa sepuluh tahun berjalan masih
ada obligor dalam kategori non-kooperatif. Sidang interpelasi DPR malah
ricuh oleh persoalan tidak hadirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Tak cukup hanya menciptakan hujan interupsi, banyak anggota DPR yang
mengembalikan lembar jawaban tertulis Presiden ke meja pimpinan sidang
tanpa membahas lebih lanjut dan hanya menjadikannya konsumsi politik
belaka.
c. Ketiga, penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan oleh KPK itu semakin
membenarkan persepsi masyarakat yang selalu menempatkan aparat penegak
hukum, seperti kejaksaan dan kepolisian, pada peringkat atas terkorup.
Penggantian kepemimpinan kejaksaan pertengahan 2007 oleh Susilo Bambang

9
Yudhoyono dengan mengganti Jaksa Agung, kinerja institusi yang
dipimpinnya tak menunjukkan perbaikan. Ada banyak indikasi yang
menunjukkan masih buruknya kinerja kejaksaan. Seberapa banyak dana yang
berhasil diselamatkan untuk negara belum signifikan, tak transparan, dan
akuntabilitasnya rendah.

10
DAFTAR PUSTAKA

Wiratamafamily.blogspot.com/2009/02/analisis-hukum-blbi.html?m=1
www.academia.edu/30796417/BLBI_adalah_skema_bantuan
https://wiratamafamily.blogspot.com/2009/02/analisis-hukum-kasus-blbi.html?m=1
https://nasional.sindonews.com/read/1026441/149/tiga-modus-kejahatan-perbankan-
mengancam-masyarakat-1437964142
https://nasional.tempo.co/amp/1103925/kasus-blbi-kwik-kian-gie-keputusan-megawati-
berakibat-fatal
https://Bantuan Likuiditas Bank Indonesia - Wikipedia bahasa Indonesia ...
https://id.m.wikipedia.org › wiki › Bantu...

Você também pode gostar