Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk mengulas pendekatan fenomenologi dalam arsitektur melalui pandangan tiga
pakar arsitek. Hal ini dicapai melalui telaah literatur, baik yang mengulas mengenai fenomenologi dalam
tataran filsafat, maupun literatur mengenai fenomenologi dalam arsitektur secara khusus. Dalam konteks
filsafat, fenomenologi dipopulerkan oleh Edmund Husserl dan muridnya, Martin Heiddeger. Selain kedua
filsuf tersebut, pemahaman lain mengenai fenomenologi yang berfokus pada pengalaman tubuh (bodily
experience) dipelopori oleh filsuf Maurice Marleau-Ponty. Dalam arsitektur, adalah arsitek Christian
Norberg Schulz dan muridnya Thomas Thiis-Evensen, yang mendapat pengaruh dari Heiddeger, serta Juhani
Palaasma yang banyak mendapat pengaruh dari Marleau-Ponty. Hasil telaah menunjukan bahwa Schulz
mengedepankan dua konsep yang mendasari pemahaman manusia mengenai tempat, yakni orientasi dan
identifikasi. Kajian ini dilengkapi oleh Evensen dengan mengedepankan konsep identifikasi terhadap sifat
gerak, gravitasi, dan substansi elemen bangunan. Di sisi lain, Palaasma menekankan pada persepsi indera
haptikal manusia dalam mengalami sebuah bangunan. Kajian ini bermanfaat sebagai landasan untuk
memahami apa yang dimaksud dengan fenomenologi serta bagaimana fenomenologi dapat digunakan untuk
membaca karya arsitektur.
1. Pendahuluan
Sebagai mahluk yang senantiasa berpikir, manusia tidak pernah berhenti untuk
memahami cara kerja dunia di sekitarnya. Thomas Kuhn, dalam bukunya yang berjudul The
Structure of Scientific Revolution menunjukan bahwa seiring dengan perkembangan jaman,
pemikiran manusia tentang dunia, yang umumnya disebut dengan ilmu pengetahuan (sains),
juga selalu berubah. Sebuah paham pemikiran digantikan dengan paham lainnya yang
umumnya melengkapi atau justru menegasi paham yang ada sebelumnya [1].
Secara umum, paham pemikiran di dunia barat dapat diklasifikasikan menjadi dua:
Pertama, yang menekankan bahwa kebenaran hanya diperoleh melalui pikiran (idealisme).
Kedua, yang menekankan pada pengalaman indera [gerlenrter 2]. Selanjutnya, pada masa
modern, idealisme berkembang menjadi rasionalisme; sedangkan paham yang menekankan
pada pengalaman indera berkembang menjadi empirisisme. Di antara kedua kutub yang
cenderung ekstrim tersebut, terdapat pula paham yang berusaha mensintesiskan kedua paham
tadi. Salah satu paham ini adalah fenomenologi.
Secara umum, fenomenologi mengajak untuk melihat benda dengan kembali pada
benda itu sendiri (back to the thing itself) [3-moran]. Sama halnya dengan filsafat, dalam
arsitektur, fenomenologi merupakan reaksi atas modernisme yang dianggap terlalu rasional,
steril, serta kurang mampu menggugah perasaan manusia yang menggunakan bangunan
tersebut [4 leach]. Pendekatan ini acap kali menjadi pilihan bagi para akademisi untuk
membaca bangunan. Meski demikian, tidak sedikit pula yang menggunakan pendekatan ini
namun tanpa memahaminya secara mendalam [5-shirazi].
Berangkat dari argumentasi tersebut, isu yang diangkat dalam kajian ini adalah
penerapan fenomenologi dalam arsitektur. Kajian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman
mendalam mengenai fenomenologi dan bagaimana fenomenologi diterapkan dalam arsitektur
melalui pemikiran tiga pakar arsitektur.Meski fokus pembahasan ada pada pengaruh
fenomenologi dalam arsitektur, pemahaman mendasar mengenai fenomenologi dalam tataran
filsofis akan diikut-sertakan dalam pembahasan. Hal ini dilakukan karena disadari bahwa
arsitektur sebagai cabang ilmu tidak dapat dipisahkan dari ilmu filsafat; sehingga pemahaman
fenomenologi dalam tataran filsafat menjadi penting agar diperoleh pemahaman yang utuh.
Hasil telaah ini bermanfaat sebagai landasan untuk memahami apa yang dimaksud dengan
fenomenologi, serta bagaimana pengaruhnya terhadap arsitektur. ranah praktik: diperoleh
metode yang dapat digunakan utk membaca bentuk ars
2. Metode pembahasan
Dalam kajian ini ditentukan beberapa teori yang sejalan dengan tujuan penulisan. Teori
tersebut dibagi menjadi dua, klasifikasi pertama mencakup teori-teori tentang fenomenologi
dalam konteks filsafat. Pada tahap ini akan dikaji pemikiran filsuf pencetus fenomenologi,
seperti Husserl dan muridnya, Heiddeger. Selain kedua filsuf tersebut, pemahaman lain
mengenai fenomenologi yang berfokus pada pengalaman tubuh (bodily experience) dipelopori
oleh filsuf Maurice Marleau-Ponty.
Setelah menjelaskan tentang fenomenologi secara umum, langkah kedua adalah
mengkaji teori - teori yang mengulas pandangan tiga pakar arsitektur yang dipengaruhi oleh
Heiddeger dan Ponty. Pakar arsitektur yang dipilih adalah Christian Norberg-Schulz yang
dipengaruhi oleh Heiddeger, serta murid Schulz yakni Thomas Thiis-Evensen. Dibahas pula
pakar arsitektur yang dipengaruhi oleh Ponty, yakni Juhani Pallaasma. Dari pembahasan
tersebut, dapat diketahui bagaimana fenomenologi dapat digunakan untuk membaca atau
merancang bangunan.
Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk mengulas pendekatan fenomenologi dalam arsitektur melalui pandangan tiga
pakar arsitek. Hal ini dicapai melalui telaah literatur, baik yang mengulas mengenai fenomenologi dalam
tataran filsafat, maupun literatur mengenai fenomenologi dalam arsitektur secara khusus. Dalam konteks
filsafat, fenomenologi dipopulerkan oleh Edmund Husserl dan muridnya, Martin Heiddeger. Selain kedua
filsuf tersebut, pemahaman lain mengenai fenomenologi yang berfokus pada pengalaman tubuh (bodily
experience) dipelopori oleh filsuf Maurice Marleau-Ponty. Dalam arsitektur, adalah arsitek Christian
Norberg Schulz dan muridnya Thomas Thiis-Evensen, yang mendapat pengaruh dari Heiddeger, serta Juhani
Palaasma yang banyak mendapat pengaruh dari Marleau-Ponty. Hasil telaah menunjukan bahwa Schulz
mengedepankan dua konsep yang mendasari pemahaman manusia mengenai tempat, yakni orientasi dan
identifikasi. Kajian ini dilengkapi oleh Evensen dengan mengedepankan konsep identifikasi terhadap sifat
gerak, gravitasi, dan substansi elemen bangunan. Di sisi lain, Palaasma menekankan pada persepsi indera
haptikal manusia dalam mengalami sebuah bangunan. Kajian ini bermanfaat sebagai landasan untuk
memahami apa yang dimaksud dengan fenomenologi serta bagaimana fenomenologi dapat digunakan untuk
membaca karya arsitektur.
1. Pendahuluan
Sebagai mahluk yang senantiasa berpikir, manusia tidak pernah berhenti untuk
memahami cara kerja dunia di sekitarnya. Thomas Kuhn, dalam bukunya yang berjudul The
Structure of Scientific Revolution menunjukan bahwa seiring dengan perkembangan jaman,
pemikiran manusia tentang dunia, yang umumnya disebut dengan ilmu pengetahuan (sains),
juga selalu berubah. Sebuah paham pemikiran digantikan dengan paham lainnya yang
umumnya melengkapi atau justru menegasi paham yang ada sebelumnya [1].
Secara umum, paham pemikiran di dunia barat dapat diklasifikasikan menjadi dua:
Pertama, yang menekankan bahwa kebenaran hanya diperoleh melalui pikiran (idealisme).
Kedua, yang menekankan pada pengalaman indera [gerlenrter 2]. Selanjutnya, pada masa
modern, idealisme berkembang menjadi rasionalisme; sedangkan paham yang menekankan
pada pengalaman indera berkembang menjadi empirisisme. Di antara kedua kutub yang
cenderung ekstrim tersebut, terdapat pula paham yang berusaha mensintesiskan kedua paham
tadi. Salah satu paham ini adalah fenomenologi.
Secara umum, fenomenologi mengajak untuk melihat benda dengan kembali pada
benda itu sendiri (back to the thing itself) [3-moran]. Sama halnya dengan filsafat, dalam
arsitektur, fenomenologi merupakan reaksi atas modernisme yang dianggap terlalu rasional,
steril, serta kurang mampu menggugah perasaan manusia yang menggunakan bangunan
tersebut [4 leach]. Pendekatan ini acap kali menjadi pilihan bagi para akademisi untuk
membaca bangunan. Meski demikian, tidak sedikit pula yang menggunakan pendekatan ini
namun tanpa memahaminya secara mendalam [5-shirazi].
Dalam Genius Loci, ..... Berangkat dari pemahaman Heidegger mengenai proses
manusia meng-ada (Being in the World), Schulz berpendapat bahwa proses tersebut hanya
dimungkinkan melalui proses identifikasi dan orientasi. Identifikasi dapat dipahami sebagai
proses di mana manusia menemu-kenali sebuah tempat, dan menyadari bahwa tempat itu
berada dalam konteks lingkungan yang lebih besar di mana juga terdapat tempat-tempat
lainnya. Setelah melakukan identifikasi, manusia kemudian berusaha berpindah dari satu
tempat ke tempat lainnya. Proses ini dimungkinkan dengan adanya pemahaman terhadap arah,
yang disebut dengan orientasi. Dengan demikian,
Konsep identifikasi dielaborasi lebih lanjut oleh Thomas Thiis-Evensen dalam bukunya
yang berjudul "Archetype in Architecture" (1987). Pembahasan dalam buku ini bertujuan untuk
menunjukkan bahwa setiap elemen arsitektur memiliki ‘bahasa yang universal’ (common
language), sehingga ekspresi yang terpancar dari elemen tersebut dapat langsung dimengerti
oleh pengamat tanpa perlu mengetahui konsep perancangan arsitek terlebih dulu.
Metode penelusuran yang digunakan untuk mengetahui ekspresi mendasar dalam setiap
elemen arsitektural terbagi atas dua tahap. Pertama, dengan melakukan klasifikasi pada
bangunan. Evensen membaginya menjadi tiga, yakni atap, dinding, dan lantai. Apabila atap,
dinding, serta lantai tadi diamati berdasarkan susunannya, maka akan diperoleh bentuk
keseluruhan (major forms). Klasifikasi kedua berhubungan dengan sistem konstruksi, dimana
elemen arsitektural terbagi menjadi elemen pelingkup struktural dan non – struktural. Terakhir,
akan dilakukan klasifikasi berdasarkan bukaan yang ada.
Langkah kedua adalah mendeskripsikan ekspresi yang ditampilkan oleh setiap elemen
arsitektural seperti yang telah diklasifikasikan sebelumnya. Diyakini bahwa ekspresi mendasar
(exsistential expression) ini terkait dengan fungsi mendasar dari setiap elemen tersebut. Karena
memiliki fungsi yang berbeda, maka setiap elemen akan memiliki ekspresi mendasar yang
berbeda pula. Meskipun begitu, elemen atap, lantai, dan dinding dianggap memiliki persamaan,
yakni sebagai elemen arsitektural yang membatasi ruang dalam (interior) dan ruang luar
(eksterior). Tujuannya adalah menciptakan keseimbangan antara kedua lingkup tersebut, yang
diyakini menjadi tujuan manusia primitif ketika mereka mulai membangun rumah pertamanya.
Relasi antara bangunan masyarakat primitif dengan alamnya ini merupakan relasi mendasar
yang menjamin keberlangsungan hidup manusia di bumi.
Evensen memberi contoh, bahwa atap membatasi ruang dalam dan ruang luar berupa
langit (the sky) yang berada di atas kita. Dinding membatasi ruang dalam dan luar yang berada
di sekeliling kita (landscape, people). Sedangkan lantai membatasi ruang dalam dan luar
berupa tanah (the ground) yang berada di bawah. Dengan demikian, ekspresi elemen yang
berfungsi untuk ‘membatasi’ ini memiliki rentang dari sangat terbuka sampai sangat tertutup.
Dinding, misalkan, dapat menunjukan ekspresi tertutup ketika ia terbuat dari susunan batu
masif seperti pada benteng pertahanan. Ekspresi terbuka atau tertutup dalam kaitannya sebagai
pembatas ruang luar dan ruang dalam inilah yang disebut ekspresi mendasar.
Berdasar pada uraian tersebut, Evensen merumuskan tiga sifat dasar yang akan
menghasilkan ekspresi mendasar pada setiap elemen arsitektural yang ada. Ketiga sifat dasar
ini adalah motion, weight, dan substance. Motion secara harafiah dapat diartikan sebagai sifat
gerak. Pada setiap elemen arsitektural akan ditemukan sifat gerak tersebut. Sebuah kubus,
kerucut, atau limas segi empat sifat geraknya selalu memusat (contract). Sedangkan sebuah
bola pada umumnya sulit untuk tetap diam di tempatnya berdiri, karena memiliki sifat
menggelinding. Kedua, weight adalah sifat berat setiap benda terkait dengan relasinya dengan
gravitasi. Hal ini dapat menjelaskan bagaimana setiap benda berdiri tegak, rebah, berkesan
berat atau ringan. Ketiga, substance terkait dengan tekstur material yang membentuk elemen
tersebut, apakah kasar, halus, keras, atau lunak. Ketiga sifat dasar ini sesuai untuk digunakan
untuk mendeskripsikan elemen – elemen bangunan secara mendetail, termasuk untuk
mengidentifikasi elemen arsitektural yang mendominasi tampilan bangunan.
Merleau-Ponty’s influence has been to emphasise the role of the body and kinaesthetics in
our experiences of space, including architectural space. He reminds us that our everyday
interaction with buildings is not as cerebral as many theorists would have us believe, and that
there exists a level of bodily experience that is prior to our analysis of architecture.
4. Kesimpulan