Você está na página 1de 12

ARTIKEL PENGANTAR KEFARMASIAN

SEJARAH PENDIDIKAN FARMASI DI


INDONESIA

DISUSUN OLEH :

1. ZIDNI HAFIZHA (152210101019)


2. ANDREAN DENIS (152210101032)
3. ILHAM ROBBYNOOR S (152210101036)
4. RISKA FAURIYAH (152210101040)
5. MEI DWI CAHYANI (152210101046)

FAKULTAS : FARMASI
NAMA DOSEN : Prof. Drs. BAMBANG KUSWANDI,
Ph.D.

UNIVERSITAS JEMBER
2015
Judul : Sejarah Pendidikan Farmasi di Indonesia

Pengarang : Drs.Frans A.Rumate,Apt.

Institusi : Universitas Hasanuddin

Abstrak : Farmasi didefinisikan sebagai profesi yang menyangkut seni dan


ilmupenyediaan bahan obat, dari sumber alam atau sintetik yang sesuai, untukdisalurkan dan
digunakan pada pengobatan dan pencegahan penyakit. Farmasi mencakup pengetahuan
mengenai identifikasi, pemilahan(selection), aksi farmakologis, pengawetan, penggabungan,
analisis, danpembakuan bahan obat (drugs) dan sediaan obat (medicine). Perkembangan
farmasi suatu negara tercermin dalam kurikulumpendidikan tingginya, karena kurikulum
pendidikan merupakan gambarankebutuhan masyarakat akan jenis kemampuan dan
keterampilan dalambidang keahlian tertentu. Oleh karena itu sebagai
perbandingandibicarakan pula pendidikan Farmasis pada beberapa perguruan tinggidiluar
negeri.

Pendahuluan :

A. Latar Belakang

Pembuatan artikel yang bertemakan Sejarah Pendidikan Farmasi di Indonesia ini


dilatar belakangi oleh pandangan kami bahwa sejarah pendidikan farmasi di Indonesia ini
muncul pertama kali pada era perang dunia ke-II .Sebenarnya subjek yang dibahas di tema
yang diangkat ini mengenai perkembangan berdirinya suatu instansi yang mengembangkan
pendidikan farmasi di Indonesia. Jadi disini kami akan membahas sejarah pendidikan farmasi
di Indonesia.

B. Tujuan

Tujuan dari pembuatan artikel ini adalah agar mahasiswa farmasi lebih mengetahui
dan memahami tentang sejarah pendidikan farmasi di Indonesia.Sehingga lulusan dari farmasi
nantinya tidak sekedar mengetahui pendidikan farmasi melalui teori dan praktek saja
melainkan dengan mengetahui pula sejarahnya.
Sub Judul:

1. Pendidikan Kefarmasian
1.1 Sejarah Perkembangan Pendidikan Farmasi di Indonesia.
1.2 Jenjang Pendidikan Farmasi
1.1.1 Sekolah Menengah Farmasi
1.1.2 Program Diploma Farmasi
1.1.3 Pendidikan Tinggi Farmasi
1.3 Kurikulum Pendidikan Tinggi Farmasi
1.4 Sistem Kredit Semester
1.5 Kurikulum Inti
1.6 Kurikulum Pendidikan Tinggi Farmasi Tahun 2000
1.7 Forum Komunikasi Pendidikan Tinggi Farmasi Negeri
1.8 Dampak PP 25/80 terhadap Pendidikan Apoteker
1.9 Konsep Link and Match

Pembahasan :

1.PENDIDIKAN KEFARMASIAN

Pendidikan Farmasi, khususnya pendidikan tinggi sering berubah dengan perubahan


tuntutan zaman. Pendidikan tinggi secara umum dituntut untuk menghasilkan lulusan yang
lebih berkualitas dan lebih relevan terhadap kebutuhan masyarakat.Khususnya bidang
Farmasi di era reformasi ini semakin banyak didirikan perguruan tinggi swasta yang
menyelenggarakan pendidikan Farmasi. Demikian pula terjadi pada pendidikan program
profesional di bidang kesehatan, yang semakin dituntut mutu lulusan yang tinggi, sehingga
Sekolah Perawat, Sekolah Menengah Farmasi, dan lain-lain ditingkatkan menjadi setingkat
Akademi (Program D-3 atau D-4), yang dikelola oleh Dinas Kesehatan Propinsi, dan
dikelompokkan dalam Politeknik Kesehatan (POLTEKKES).

1.1 Sejarah Perkembangan Pendidikan Farmasi di Indonesia.

Perkembangan pendidikan tinggi kefarmasian di Indonesia dapat dibagi dalam era


pra Perang Dunia II, Zaman Pendudukan Jepang dan pasca Proklamasi Kemerdekaan R.I.
Sebelum Perang Dunia II, selama penjajahan Belanda hanya terdapat beberapa Apoteker yang
berasal dari Denmark, Austria, Jerman dan Belanda. Tenaga kefarmasian yang dididik di
Indonesia hanya setingkat Asisten Apoteker (AA), yang mulai dihasilkan tahun
1906.Pelaksanaan pendidikan A.A. ini dilakukan secara magang ada Apotik yang ada
Apotekernya dan setelah periode tertentu seorang calon menjalani ujian negara.Pada tahun
1918 dibuka sekolah Asisten Apoteker yang pertama dengan penerimaan murid lulusan
MULO Bagian B (Setingkat SMP).Pada tahun 1937 jumlah Apotik di seluruh Indonesia
hanya 37.Pada awal Perang Dunia ke-2 (1941) banyak Apoteker warga negara asing
meninggalkan Indonesia sehingga terdapat kekosongan Apotik.Untuk mengisi kekosongan itu
diberi izin kepada dokter untuk mengisi jabatan di Apotik, juga diberi izin kepada dokter
untuk membuka Apotik-Dokter (Dokters-Apotheek) di daerah yang belum ada Apotiknya.

Pada zaman pendudukan Jepang mulai dirintis pendidikan tinggi Farmasi dengan
nama Yukagaku sebagai bagian dari Jakarta Ika Daigaku. Pada tahun 1944 Yakugaku diubah
menjadi Yaku Daigaku. Pada tahun 1946 dibuka Perguruan Tinggi Ahli Obat di Klaten yang
kemudian pindah dan berubah menjadi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada di
Yogyakarta. Tahun 1947 diresmikan Jurusan Farmasi di Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Ilmu
Alam (FIPIA), Bandung sebagai bagian dari Universitas Indonesia, Jakarta, yang kemudian
berubah menjadi Jurusan Farmasi, Institut Teknologi Bandung pada tanggal 2 Mei 1959.

Lulusan Apoteker pertama di UGM sebanyak 2 orang dihasilkan pada tahun 1953.
Saat ini di Indonesia terdapat 8 perguruan tinggi farmasi negeri dan belasan perguruan tinggi
swasta

1.2 Jenjang Pendidikan Farmasi

1.1.2 Sekolah Menengah Farmasi

Dari sejarah perkembangan kefarmasiaan di Indonesia tampak besarnya peranan


pendidikan menengah farmasi (Sekolah Asisten Apoteker), khususnya pada saat langkanya
tenaga kefarmasian berpendidikan tinggi. Pada saat peralihan sampai dikeluarkannya PP 25
tahun 1980, masih dimungkinkan adanya ”Apotik Darurat” yaitu Apotik yang dikelola oleh
Asisten Apoteker yang sudah berpengalaman kerja. Tenaga menengah farmasi ini masih
sangat diperlukan dan berperanan, khususnya pada Farmasi Komunitas, baik di Apotik
maupun di Rumah Sakit. Dengan bertambahnya tenaga farmasi berpendidikan tinggi, peranan
ini akan semakin kecil, sehingga perlu dipikirkan untuk meningkatkan pendidikan AA ini
setingkat akademi (lulusan SMA). Mulai tahun 2000, pendidikan menengah ini mulai
“phasing out”, ditingkatkan menjadi Akademi Farmasi.

1.1.3 Program Diploma Farmasi

Sejak 1991 telah dirintis pembukaan pendidikan tenaga farmasi ahli madya dalam
bentuk Program Diploma (D-III) oleh Departemen Kesehatan, yaitu Program Studi Analis
Farmasi.Kebutuhan ini merupakan konsekuensi perkembangan di bidang kesehatan yang
semakin memerluka tenaga ahli, baik dalam jumlah maupun kualitas, dan semakin
memerlukan diversifikasi tenaga keahlian.Tujuan utama program studi ini ialah menghasilkan
tenaga ahli madya farmasi yang berkompetensi untuk pelaksanaan pekerjaan di bidang
pengendalian kualitas (quality control). Adapun peranan yang diharapkan dari lulusan
program Studi Analis Farmasi ialah: Melaksanakan analisis farmasi dalam laboratorium: obat,
obat tradisional, kosmetika, makanan-minuman, bahan berbahaya dan alat kesehatan; di
industri farmasi, instalasi farmasi rumah sakit, instansi pengawasan mutu obat dan makanan-
minuman atau laboratorium sejenisnya, di sektor pemerintah maupun swasta, dengan fungsi :
Pelaksanaan analisis, pengujian mutu, pengembangan metode analisis dan peserta aktif dalam
pendidikan dan penelitian di bidang analisis farmasi.

Program ini diharapkan dapat dikelola oleh perguruan tinggi negeri yang
mempunyai fakultas atau Jurusan Farmasi dengan status Program Diploma (D-III).
Kemungkinan besar Sekolah Menengah Farmasi di masa yang akan datang dapat ditingkatkan
menjadi Program Diploma seperti yang diuraikan di atas. Ramalan kami lebih dari 10 tahun
yang lalu, sekarang ini sudah menjadi kenyataan melalui ketentuan yang mengharuskan
pendidikan menengah ditingkatkan menjadi Akademi.

1.1.4 Pendidikan Tinggi Farmasi

Perkembangan pendidikan tinggi Farmasi di Indonesia sejak berdirinya perguruan


tinggi farmasi yang pertama di Klaten dan Bandung, sampai saat ini terdapat 8 pendidikan
tinggi Farmasi negeri dan belasan perguruan tinggi swasta. Menurut catatan tahun 1983
jumlah lulusan Farmasis (Apoteker) di Indonesia 3552 orang, yang merupakan peningkatan
sebesar 350% dari jumlah Apoteker di tahun 1966. Proyeksi jumlah Apoteker pada tahun
2000 adalah 6666 orang berdasarkan rasio 1 Apoteker untuk 30.000 jiwa, hanya untuk bidang
pelayanan saja. (Rasio yang ideal untuk perbandingan kebutuhan minimum yang lazim
diproyeksikan untuk profesi ini di bidang kesehatan ialah 1 : 15.000). Saat ini jumlah
Apoteker diperkirakan sebanyak 10.000 orang.

Tantangan pembangunan di bidang kesehatan, khususnya dalam bidang yang


merupakan tantangan bagi Pendidikan Tinggi Farmasi di Indonesia ialah menghasilkan
produk pendidikan tinggi yang memenui Standar Profesi Apoteker (Standard Operating
Procedure = SOP) sebagai berikut :

- turut mengupayakan obat yang bekerja spesifik, relatif aman yang dapat meringankan
penderitaan akibat penyakit.
- memberikan sumbangan untuk mengungkapkan mekanisme terinci dari fungsi normal
dan fungsi abnormal organisme.
- mengupayakan obat yang bekerja spesifik, relatif aman yang dapat memodifikasi
penyakit; memulihkan kesehatan; mencegah penyakit.
- mengupayakan obat yang dapat membantu kebehrasilan intervensi dengan cara lain
(bukan obat) dalam upaya kesehatan.
- menciptakan metode untuk mendeteksi sedini mungkin kelainan fungsional pada
manusia.
- menggali dan mengembangkan sumber alam Indonesia yang dapat diperbaharui atau
pun tidak dapat diperbaharui untuk tujuan kefarmasian.
- menciptakan cara baru untuk penyampaian obat ke sasaran yang harus dipengaruhinya
dalam organisme.
- mengembangkan metode untuk menguji, menciptakan norma dan kriteria untuk
meningkatkan secara menyeluruh daya guna dan keamanan obat dan komoditi
farmasi, maupun keamanan lingkungan dan bahan lain yang digunakan manusia untuk
kepentingan kehidupannya.
- membangun sistem farmasi Indonesia dan sistem pengejawantahan profesi farmasi
yang efisien dan efektif selaras dengan konstelasi budaya, geografi dan lingkungan
Indonesia.

1.3Kurikulum Pendidikan Tinggi Farmasi

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maupun perubahan orientasi Farmasi


sebagai ilmu dan profesi juga berkembang mengikuti zaman. Kurikulum Pendidikan Tinggi
Farmasi mulai berubah secara drastis pada awal tahun 80-an. Perubahan ini ditandai oleh
penerapan Sistem Kredit Semester, penerapan Kurikulum Inti dalam rangka penyeragaman
pendidikan tinggi Farmasi di seluruh Indonesia, dan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 25
tahun 1980 tentang dikembalikannya fungsi Apotik sebagai tempat pengabdian profesi
Apoteker.

Perkembangan di era sembilan puluhan dimulai dengan terbitnya Undang-Undang No.


2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah No. 30/Tahun 1990
tentang Pendidikan Tinggi, Konsep Link and Match (1993) oleh DepDikBud; dan di sektor
kesehatan diterbitkan Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Perkembangan
terakhir ialah diterbitkannya PP 60/ Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, yang merupakan
penyempurnaan PP No.30/Tahun 1990 Tentang Pendidikan Tinggi, dan PP No.61/ Tahun
1999, tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum. Peraturan Pemerintah
yang terakhir ini pada dasarnya memberikan otonomi kepada perguruan tinggi untuk
penyelenggaraan pendidikan akademik dan profesional, yang disertai akuntabilitas
(pertanggungjawaban), melalui akreditasi, yang dilakukan melalui evaluasi, untuk
meningkatkan kualitas secara berkelanjutan. (Paradigma Baru Pendidikan Tinggi , KPPT-JP
1996-2005)

Kebijaksanaan pemerintah yang tertuang dalam berbagai perundang-undangan itu


semuanya mengacu pada Tujuan Pembangunan Nasional seperti yang tercantum dalam Garis-
Garis Besar Haluan Negara, yang mempengaruhi pula arah, tujuan dan orientasi pendidikan
kefarmasian, dan kurikulum pendidikannya.

1.4 Sistem Kredit Semester

Sistem Kredit Semester ialah sistem pengadministrasian pendidikan yang memberikan


bobot SKS pada hasil upaya peserta didik maupun pendidik.Untuk Sarjana Farmasi ditetapkan
jumlah bobot 114-160 SKS sebagai suatu kebulatan studi yang dapat diselesaikan dalam 9
Semester, dan 2 Semester untuk program profesi Apoteker.
1.5Kurikulum Inti

Kurikulum Inti Bidang Farmasi merupakan hasil rumusan Konsorsium Matematika


dan Ilmu Pengetahuan Alam, DepDikBud pada tahun 1980 yang diberlakukan tahun 1983
dengan SK DirJenDikTi. Kurikulum Inti (1983) dapat dilihat pada Tabel berikut menurut
pengelompokan mata kuliah dan sebaran SKS :

Di luar Kurikulum
Kurikulum Inti
Kelompok Inti Jumlah SKS
(SKS)
(SKS)
Mata kuliah Dasar Umum 6 8 - 10 14 - 16
(MKDU)
Mata Kuliah Dasar 54 11 - 18 65 - 72
Keahlian (MKDK)
Mata Kuliah Keahlian 54 11 - 18 65 - 72
Utama (MKKU)
(Kimia Farmasi 12
Farmasetik 12
Farmakognosi 12
Farmakologi 12
Tugas Akhir 6
Mata kuliah Pilihan(MKP) (termasuk mata kuliah di luar Kurikulum Inti)
114 114 - 160
Catatan :
1. Antara MKDK dan MKDU dibuat berimbang dengan maksud agar supaya mahasiswa
lebih fleksibel untuk mengembangkan diri baik terjun ke masyarakat, maupun
melanjutkan ke program Pascasarjana.
2. Masing-masing MKKU mendapat jumlah SKS yang sama dengan maksud memberi
kesempatan yang seimbang kepada masing-masing bidang untuk berkembang sesuai
dengan situasi dan kondisi masing-masing universitas/institut.
3. MKP dapat diisi dengan mata kuliah dalam bidang studi atau di luar bidang studi untuk
memperluas wawasan, juga dimaksudkan untuk diisi dengan mata kuliah yang sesuai
dengan Pola Ilmiah Pokok masing-masing universitas/institut.

1.6 Kurikulum Pendidikan Tinggi Farmasi Tahun 2000

Melalui Keputusan Menteri Pendidikan Nasional (MenDikNas) No.232/2000, tentang


Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Evaluasi hasil Belajar, dan
No.045/2002, tentang Kurikulum Pendidikan, telah terjadi perubahan mendasar pada
penyusunan kurikulum, yang saat ini ditekankan pada kompetensi lulusan (Competency-
Based Curriculum). Dengan demikian maka perlu diadakan tinjauan kembali mengenai
kompetensi yang akan dirumuskan dalam Tujuan Program Studi Farmasi sesuai dengan
elemen kompetensi seperti diberikan pengelompokannya. Kalau pada kurikulum mata kuliah
dikelompokkan menurut MKDU, MKDK, MKK dan MKP, maka dalam kurikulum 2002
diadakan pengelompokan menurut :

 Kelompok MPK (mata kuliah pengembangan kepribadian)


 Kelompok MKK (mata kuliah keilmuan dan ketrampilan)
 Kelompok MKB (mata kuliah keahlian berkarya)
 Kelompok MPB (mata kuliah perilaku berkarya)
 Kelompok MBB (matakuliah berkehidupan bermasyarakat)

Pada dasarnya, masing-masing pendidikan tinggi dapat menyusun kurikulumnya sendiri


berdasarkan pedoman tersebut. Kurikulum yang baru ini sedang dalam proses
penyusunannya. Selanjutnya oleh Asosiasi PTFI (lihat di bawah) telah diterbitkan
kesepakatan mengenai Kisi-Kisi Matakuliah Kurikulum Inti Program Studi Farmasi Tahun
2002, yang berisi silabus dan uraian singkat masing-masing matakuliah. Kisi-Kisi Mata
Kuliah Kurikulum Inti Program Studi Farmasi 2002 telah disusun untuk mata kuliah :

1) Biologi Sel dan Molekul ( 2 SKS )


2) Mikrobiologi Farmasi (2+1)
3) Morfologi, Anatomi dan Fisiologi Tumbuhan (2+1)
4) Anatomi Fisiologi Manusia (2+1)
5) Kimia Analisis (2+1)
6) Kimia Fisika (2)
7) Kimia Organik (4+1)
8) Biokimia (2+1)
9) Farmasi Fisika (2+1)
10) Farmasetika Dasar (2+1)
11) Kimia Farmasi Analisis (2+1)
12) Teknologi Sediaan Farmasi (4+2)
13) Biofarmasi (2)
14) Farmakokinetika (2)
15) Kimia Medisinal (2)
16) Farmakognosi (3+1)
17) Fitokimia (2+1)
18) Farmakologi-Toksikologi (4+1)
-------------------------------------------------------------------------------
Jumlah Mata Kuliah = 18
Jumlah SKS = (43 + 14)

Jumlah Mata kuliah dan Bobot SKS masih perlu dilengkapi dengan muatan lokal sampai
menjadi (144-160) SKS

1.7 Forum Komunikasi Pendidikan Tinggi Farmasi Negeri

Sejak 1984 telah dibentuk Forum Komunikasi oleh pimpinan pendidikan tinggi Farmasi
Negeri (Dekan atau Ketua Jurusan) yang bertemu sekali setahun sebagai wadah sumbang
saran dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan pendidikan. Beberapa kesepakatan
penting antara lain :
1. usaha penyeragaman status pendidikan tinggi Farmasi menjadi Fakultas Farmasi.
2. usaha penyeragaman lulusan Farmasis, khususnya Apoteker dengan menetapkan
kurikulum minimal selain Kurikulum Inti.
3. pelaksanaan ujian negara bagi Perguruan Tinggi Swasta (sekarang ini sudah
dihapus)
4. pengembangan program studi baru, misalnya D-III Farmasi, Pascasarjana Farmasi,
dan Spesialis.

FORKOM PTFN beranggotakan 8 perguruan tinggi negeri yang menyelenggarakan


pendidik Farmasi dan Apoteker. Sejak tahun 2000 perkembangan perguruan tinggi swasta
semakin pesat sehingga dibentuk Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia, yang
beranggotakan semua pendidikan tinggi farmasi, negeri dan swasta. Tercatat saat ini
perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan Sarjana Farmasi di Indonesia berjumlah
8 (negeri) dan 23 (swasta)

1.8 Dampak PP 25/80 terhadap Pendidikan Apoteker

Sejak dikeluarkannya PP 25/80 diwajibkan kepada para Apoteker untuk mengikuti


pelatihan tambahan sebagai Apoteker Pengelola Apotik (APA). Dengan dikeluarkannya PP
tersebut maka kemampuan dan keterampilan Apoteker sebagai Pengelola Apotik perlu
ditingkatkan, khususnya dalam bidang manajemen, komunikasi personal, farmakologi dan
kewiraswastaan dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pengabdian profesi di Apotik.
Pelatihan ini dilaksanakan untuk semua Apoteker yang sudah mempunyai izin kerja dengan
pemberian sertifikat Apoteker Pengelola Apotik (APA).Setelah itu pada tahun 1984 materi
kompetensi APA itu diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan Apoteker.

1.9 Konsep Link and Match

Dalam rangka pembinaan Sistem Pendidikan Nasional, sejak Agustus 1993 oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan diumumkan kebijakan keterkaitan (link) dan
keterpadanan (match) sebagai salah satu strategi di bidang pendidikan. Inti dari konsep ini
ialah relevansi pendidikan yang perlu dijabarkan lebih lanjut dalam program-program
pendidikan, sedangkan latar belakang permasalahan yang mendasari konsep ini ialah
kenyataan bahwa terdapat ketidaksesuaian antara kesempatan kerja menurut proyeksi
penyediaan tenaga kerja (DepTenaKer), dengan luaran pendidikan menurut tingkat
pendidikannya.

Upaya peningkatan relevansi dalam sistem pendidikan dapat diartikan bahwa hasil
pendidikan harus memberikan dampak bagi pemenuhan dunia kerja, kehidupan di
masyarakat, dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.Upaya peningkatan
relevansi ini perlu dioptimalkan agar lulusan dapat memperoleh keterampilan dan keahlian
sesuai (keterpadanan) kebutuhan masyarakat pada umumnya dan kebutuhan lapangan kerja
(keterkaitan) pada khususnya baik dilihat dari segi jumlah dan komposisinya menurut
keahlian, mutu keahlian dan keterampilannya maupun sebaran serta efisiensinya.
Dikaitkan dengan konsep DepDikBud tersebut, pendidikan tinggi farmasi perlu
membenahi diri untuk menghasilkan tenaga yang jumlahnya cukup (kuantitas) untuk mengisi
kebutuhan lapangan kerja yang diproyeksikan, dan lebih meningkatkan kualitasnya lulusan
agar mempunyai keterampilan dan keahlian yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Pendidikan tinggi farmasi di Indonesia baik negeri maupun swasta setiap tahun
diperkirakan dapat memproduksi lulusan Apoteker sebanyak 500 orang.Jumlah Apoteker saat
ini (1993) diperikirakan 4500 orang. Dengan perhitungan rasio 1 orang Apoteker untuk
20.000 orang, dan perkiraan penduduk Indonesia pada tahun 2000 berjumlah 200 juta orang,
berarti diperlukan tenaga Apoteker sebanyak 10.000 orang, yang belum dapat dihasilkan oleh
perguruan tinggi di Indonesia (7 tahun @ 500 = 3500 orang). Dari segi kualitas Apoteker
sebagai profesi yang mendapat pengakuan masyarakat, perlu ditingkatkan dan diadakan
diversifikasi menurut keahlian yang sepadan denga kebutuhan masyarakat. Konsep “Link and
Match” saat ini masih dilanjutkan dengan nama lain.

Kesimpulan :

Pendidikan farmasi berkembang seiring dengan pola perkembangan teknologi


agar mampu menghasilkan produk obat yang memenuhi persyaratan dan sesuai dengan
kebutuhan.Kurikulum pendidikan bidang farmasi disusun lebih ke arah teknologi pembuatan
obat untuk menunjang keberhasilan para anak didiknya dalam melaksanakan tugas profesinya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Farmasi Negeri se Indonesia, Hasil Rapat Tahunan
(1992).
2. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Keputusan Kongres Nasional XIII, N0.XIII/Kongres
XIII/ISFI/1989 tentang Standar Profesi Apoteker dalam Pengabdian Profesi di Apotik.
3. Suryasumantri, Y.S (1985) “ Filsafat Ilmu, Suatu Pengantar Populer”, Penerbit Sinar
Harapan, Jakarta.
4. Wattimena, J.R. dkk. (1986) makalah dalam Ekspose Perkembangan Ilmu Kesehatan oleh
IDI/ISFI, Jakarta.

Você também pode gostar