Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
DISUSUN OLEH :
FAKULTAS : FARMASI
NAMA DOSEN : Prof. Drs. BAMBANG KUSWANDI,
Ph.D.
UNIVERSITAS JEMBER
2015
Judul : Sejarah Pendidikan Farmasi di Indonesia
Pendahuluan :
A. Latar Belakang
B. Tujuan
Tujuan dari pembuatan artikel ini adalah agar mahasiswa farmasi lebih mengetahui
dan memahami tentang sejarah pendidikan farmasi di Indonesia.Sehingga lulusan dari farmasi
nantinya tidak sekedar mengetahui pendidikan farmasi melalui teori dan praktek saja
melainkan dengan mengetahui pula sejarahnya.
Sub Judul:
1. Pendidikan Kefarmasian
1.1 Sejarah Perkembangan Pendidikan Farmasi di Indonesia.
1.2 Jenjang Pendidikan Farmasi
1.1.1 Sekolah Menengah Farmasi
1.1.2 Program Diploma Farmasi
1.1.3 Pendidikan Tinggi Farmasi
1.3 Kurikulum Pendidikan Tinggi Farmasi
1.4 Sistem Kredit Semester
1.5 Kurikulum Inti
1.6 Kurikulum Pendidikan Tinggi Farmasi Tahun 2000
1.7 Forum Komunikasi Pendidikan Tinggi Farmasi Negeri
1.8 Dampak PP 25/80 terhadap Pendidikan Apoteker
1.9 Konsep Link and Match
Pembahasan :
1.PENDIDIKAN KEFARMASIAN
Pada zaman pendudukan Jepang mulai dirintis pendidikan tinggi Farmasi dengan
nama Yukagaku sebagai bagian dari Jakarta Ika Daigaku. Pada tahun 1944 Yakugaku diubah
menjadi Yaku Daigaku. Pada tahun 1946 dibuka Perguruan Tinggi Ahli Obat di Klaten yang
kemudian pindah dan berubah menjadi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada di
Yogyakarta. Tahun 1947 diresmikan Jurusan Farmasi di Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Ilmu
Alam (FIPIA), Bandung sebagai bagian dari Universitas Indonesia, Jakarta, yang kemudian
berubah menjadi Jurusan Farmasi, Institut Teknologi Bandung pada tanggal 2 Mei 1959.
Lulusan Apoteker pertama di UGM sebanyak 2 orang dihasilkan pada tahun 1953.
Saat ini di Indonesia terdapat 8 perguruan tinggi farmasi negeri dan belasan perguruan tinggi
swasta
Sejak 1991 telah dirintis pembukaan pendidikan tenaga farmasi ahli madya dalam
bentuk Program Diploma (D-III) oleh Departemen Kesehatan, yaitu Program Studi Analis
Farmasi.Kebutuhan ini merupakan konsekuensi perkembangan di bidang kesehatan yang
semakin memerluka tenaga ahli, baik dalam jumlah maupun kualitas, dan semakin
memerlukan diversifikasi tenaga keahlian.Tujuan utama program studi ini ialah menghasilkan
tenaga ahli madya farmasi yang berkompetensi untuk pelaksanaan pekerjaan di bidang
pengendalian kualitas (quality control). Adapun peranan yang diharapkan dari lulusan
program Studi Analis Farmasi ialah: Melaksanakan analisis farmasi dalam laboratorium: obat,
obat tradisional, kosmetika, makanan-minuman, bahan berbahaya dan alat kesehatan; di
industri farmasi, instalasi farmasi rumah sakit, instansi pengawasan mutu obat dan makanan-
minuman atau laboratorium sejenisnya, di sektor pemerintah maupun swasta, dengan fungsi :
Pelaksanaan analisis, pengujian mutu, pengembangan metode analisis dan peserta aktif dalam
pendidikan dan penelitian di bidang analisis farmasi.
Program ini diharapkan dapat dikelola oleh perguruan tinggi negeri yang
mempunyai fakultas atau Jurusan Farmasi dengan status Program Diploma (D-III).
Kemungkinan besar Sekolah Menengah Farmasi di masa yang akan datang dapat ditingkatkan
menjadi Program Diploma seperti yang diuraikan di atas. Ramalan kami lebih dari 10 tahun
yang lalu, sekarang ini sudah menjadi kenyataan melalui ketentuan yang mengharuskan
pendidikan menengah ditingkatkan menjadi Akademi.
- turut mengupayakan obat yang bekerja spesifik, relatif aman yang dapat meringankan
penderitaan akibat penyakit.
- memberikan sumbangan untuk mengungkapkan mekanisme terinci dari fungsi normal
dan fungsi abnormal organisme.
- mengupayakan obat yang bekerja spesifik, relatif aman yang dapat memodifikasi
penyakit; memulihkan kesehatan; mencegah penyakit.
- mengupayakan obat yang dapat membantu kebehrasilan intervensi dengan cara lain
(bukan obat) dalam upaya kesehatan.
- menciptakan metode untuk mendeteksi sedini mungkin kelainan fungsional pada
manusia.
- menggali dan mengembangkan sumber alam Indonesia yang dapat diperbaharui atau
pun tidak dapat diperbaharui untuk tujuan kefarmasian.
- menciptakan cara baru untuk penyampaian obat ke sasaran yang harus dipengaruhinya
dalam organisme.
- mengembangkan metode untuk menguji, menciptakan norma dan kriteria untuk
meningkatkan secara menyeluruh daya guna dan keamanan obat dan komoditi
farmasi, maupun keamanan lingkungan dan bahan lain yang digunakan manusia untuk
kepentingan kehidupannya.
- membangun sistem farmasi Indonesia dan sistem pengejawantahan profesi farmasi
yang efisien dan efektif selaras dengan konstelasi budaya, geografi dan lingkungan
Indonesia.
Di luar Kurikulum
Kurikulum Inti
Kelompok Inti Jumlah SKS
(SKS)
(SKS)
Mata kuliah Dasar Umum 6 8 - 10 14 - 16
(MKDU)
Mata Kuliah Dasar 54 11 - 18 65 - 72
Keahlian (MKDK)
Mata Kuliah Keahlian 54 11 - 18 65 - 72
Utama (MKKU)
(Kimia Farmasi 12
Farmasetik 12
Farmakognosi 12
Farmakologi 12
Tugas Akhir 6
Mata kuliah Pilihan(MKP) (termasuk mata kuliah di luar Kurikulum Inti)
114 114 - 160
Catatan :
1. Antara MKDK dan MKDU dibuat berimbang dengan maksud agar supaya mahasiswa
lebih fleksibel untuk mengembangkan diri baik terjun ke masyarakat, maupun
melanjutkan ke program Pascasarjana.
2. Masing-masing MKKU mendapat jumlah SKS yang sama dengan maksud memberi
kesempatan yang seimbang kepada masing-masing bidang untuk berkembang sesuai
dengan situasi dan kondisi masing-masing universitas/institut.
3. MKP dapat diisi dengan mata kuliah dalam bidang studi atau di luar bidang studi untuk
memperluas wawasan, juga dimaksudkan untuk diisi dengan mata kuliah yang sesuai
dengan Pola Ilmiah Pokok masing-masing universitas/institut.
Jumlah Mata kuliah dan Bobot SKS masih perlu dilengkapi dengan muatan lokal sampai
menjadi (144-160) SKS
Sejak 1984 telah dibentuk Forum Komunikasi oleh pimpinan pendidikan tinggi Farmasi
Negeri (Dekan atau Ketua Jurusan) yang bertemu sekali setahun sebagai wadah sumbang
saran dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan pendidikan. Beberapa kesepakatan
penting antara lain :
1. usaha penyeragaman status pendidikan tinggi Farmasi menjadi Fakultas Farmasi.
2. usaha penyeragaman lulusan Farmasis, khususnya Apoteker dengan menetapkan
kurikulum minimal selain Kurikulum Inti.
3. pelaksanaan ujian negara bagi Perguruan Tinggi Swasta (sekarang ini sudah
dihapus)
4. pengembangan program studi baru, misalnya D-III Farmasi, Pascasarjana Farmasi,
dan Spesialis.
Dalam rangka pembinaan Sistem Pendidikan Nasional, sejak Agustus 1993 oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan diumumkan kebijakan keterkaitan (link) dan
keterpadanan (match) sebagai salah satu strategi di bidang pendidikan. Inti dari konsep ini
ialah relevansi pendidikan yang perlu dijabarkan lebih lanjut dalam program-program
pendidikan, sedangkan latar belakang permasalahan yang mendasari konsep ini ialah
kenyataan bahwa terdapat ketidaksesuaian antara kesempatan kerja menurut proyeksi
penyediaan tenaga kerja (DepTenaKer), dengan luaran pendidikan menurut tingkat
pendidikannya.
Upaya peningkatan relevansi dalam sistem pendidikan dapat diartikan bahwa hasil
pendidikan harus memberikan dampak bagi pemenuhan dunia kerja, kehidupan di
masyarakat, dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.Upaya peningkatan
relevansi ini perlu dioptimalkan agar lulusan dapat memperoleh keterampilan dan keahlian
sesuai (keterpadanan) kebutuhan masyarakat pada umumnya dan kebutuhan lapangan kerja
(keterkaitan) pada khususnya baik dilihat dari segi jumlah dan komposisinya menurut
keahlian, mutu keahlian dan keterampilannya maupun sebaran serta efisiensinya.
Dikaitkan dengan konsep DepDikBud tersebut, pendidikan tinggi farmasi perlu
membenahi diri untuk menghasilkan tenaga yang jumlahnya cukup (kuantitas) untuk mengisi
kebutuhan lapangan kerja yang diproyeksikan, dan lebih meningkatkan kualitasnya lulusan
agar mempunyai keterampilan dan keahlian yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Pendidikan tinggi farmasi di Indonesia baik negeri maupun swasta setiap tahun
diperkirakan dapat memproduksi lulusan Apoteker sebanyak 500 orang.Jumlah Apoteker saat
ini (1993) diperikirakan 4500 orang. Dengan perhitungan rasio 1 orang Apoteker untuk
20.000 orang, dan perkiraan penduduk Indonesia pada tahun 2000 berjumlah 200 juta orang,
berarti diperlukan tenaga Apoteker sebanyak 10.000 orang, yang belum dapat dihasilkan oleh
perguruan tinggi di Indonesia (7 tahun @ 500 = 3500 orang). Dari segi kualitas Apoteker
sebagai profesi yang mendapat pengakuan masyarakat, perlu ditingkatkan dan diadakan
diversifikasi menurut keahlian yang sepadan denga kebutuhan masyarakat. Konsep “Link and
Match” saat ini masih dilanjutkan dengan nama lain.
Kesimpulan :
DAFTAR PUSTAKA
1. Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Farmasi Negeri se Indonesia, Hasil Rapat Tahunan
(1992).
2. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Keputusan Kongres Nasional XIII, N0.XIII/Kongres
XIII/ISFI/1989 tentang Standar Profesi Apoteker dalam Pengabdian Profesi di Apotik.
3. Suryasumantri, Y.S (1985) “ Filsafat Ilmu, Suatu Pengantar Populer”, Penerbit Sinar
Harapan, Jakarta.
4. Wattimena, J.R. dkk. (1986) makalah dalam Ekspose Perkembangan Ilmu Kesehatan oleh
IDI/ISFI, Jakarta.