Você está na página 1de 20

LAPORAN KASUS

TUMOR MAMMAE

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Dalam Mengikuti


Program Pendidikan Klinik Bagian Anastesi
Di RSUD dr. Soedirman Kebumen

oleh :

Wulan Nursari
12711113

Pembimbing:
dr. Raditsya Mada Gautama Sp.An

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2017
BAB I
STATUS PASIEN

UNIVERSITAS DEPARTEMEN ILMU ANESTESI


ISLAM
INDONESIAFAKULTASKEDOKTERAN
STATUS PASIEN UNTUK UJIAN

Nama Dokter Muda Wulan Nursari Tanda Tangan


NIM 12711113
Tanggal Ujian 24 november 2017
RSUD Dr. Soedirman
Rumah sakit
Kebumen
06 november– 25 november
Gelombang Periode
2017

A. Identitas Pasien
 Nama : Nn SA
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Umur : 22 tahun
 Alamat : Karangsambung Kebumen
 Agama : Islam
 Pekerjaan : Mahasiswa
 Tanggal masuk : 21 november 2017
 Tanggal OP : 22 november 2017
 No RM : 35xxxx

B. Anamnesis
Dilakukan autoanamnesis pada tanggal 22 november 2017 pukul 19.00 WIB di
Bangsal Teratai RSUD Dr. Soedirman Kebumen.

I. Keluhan Utama
Benjolan di payudara kanan
II. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli bedah RS Dr Soedirman dengan keluhan ada
benjolan di payudara kanan sejak 1 bulan SMRS. Benjolan di rasakan hanya

2
satu di payudara kanan arah jam tiga, dirasakan sebesar kelereng dan dapat
digerakkan, menurut pasien ukuran benjolan tersebut tidak membesar. Nyeri
saat ditekan (-), Keluhan lain seperti mual (-), muntah (-), demam (-) ,
benjolan di ketiak kanan (-)
III. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa, riwayat penyakit keganasan, riwayat alergi,
riwayat asma, riwayat penyakit jantung, riwayat diabetes melitus, riwayat operasi
atau tindakan anestesi sebelumnya disangkal.
IV. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan serupa, riwayat hipertensi, riwayat diabetes melitus,
riwayat keganasan disangkal.
V. Kebiasaan dan Lingkungan
 Riwayat merokok -
 Riwayat mengkonsumsi alkohol -
VI. Riwayat Medis
 A (Allergies) : Tidak ada riwayat alergi makanan dan obat-obatan
 M (Medications) : Pasien tidak sedang dalam pengobatan penyakit
tertentu, pasien juga belum pernah menjalani operasi sebelumnya.
 P (Pass illness) : Riwayat keluhan serupa (-), riwayat keganasan (-),
riwayat alergi (-), riwayat asma (-), riwayat hipertensi (-), riwayat penyakit
jantung (-), riwayat diabetes melitus (-) , riwayat kejang (-)
 L (Last meal) : puasa mulai pukul 00.00 (± puasa 8 jam sebelum
operasi)
 E (Event) : Pasien tidak melakukan kegiatan apapun sebelum
operasi.

3
C. Pemeriksaan Fisik

 B1 Breath (Pernafasan)  B3 Brain (Sistem saraf pusat)


- Jalan nafas paten - GCS E4V5M6
- Nafas spontan - Gelisah (-)
- Frekuens nafas 18x/menit - Kelemahan ekstremitas (-)
- Ronkhi (-)  B4 Bladder (Saluran kemih)
- Wheezing (-) - Produksi urin (+)
- Gigi goyang (-), gigi palsu (-) - Darah pada urin (-)
- Leher bebas  B5 Bowel (Saluran cerna)
- Suara dasar vesikuler pada - Mual muntah (-)
kedua lapang paru - Kembung (-)
 B2 Blood (Jantung dan - Diare (-)
pembuluh darah)  B6 Bone (Tulang dan
- Tekanan darah 120/79mmHg Ekstremitas)
- Frekuensi nadi 78x/menit - Kaku kuduk (-)
- CRT < 2 detik - Kelainan tulang belakang (-)
- Edema pada ekstremitas (-)
- Akral dingin (-)

Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, pasien termasuk dalam ASA 1 karena tidak
terdapat riwayat penyakit.

4
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium (Tanggal 21 november 2017)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hemoglobin 13,3 g/dL 11,7-15,5
Leukosit 7,1 103 /ul 7,0-11
Hematokrit 40 % 35-47
Eritrosit 5,2 106/uL 3,8-5,2
Trombosit 295 103/uL 150-400
MCH 31 Pg 26-34
MCHC 35 g/dL 32-36
MCV 88 fL 80-100
Eosinofil 0,30(L) % 1-4
Basofil 0,00 % 0-1
Netrofil 65 % % 50-70
Limfosit 35 % % 22-40
Monosit 5,30 % 4-8
Masa Pendarahan/BT 2,3 Menit 1-3
Masa Pembekuan/CT 4 Menit 3-6
Kimia Rutin
Gula Darah Sewaktu 94 mg/dL 70-120

Sero imunologi
HbsAg Rapid Non reaktif Non reaktif

E. Kesan Anestesi
Perempuan usia 22 tahun menderita tumor mamae dextra dengan ASA 1 yang akan
dilakukan tindakan eksisi lumpektomi dengan general anestesi dan LMA .

F. Penatalaksanaan
 IVFD RL 20 tpm
 Pro-eksisi
 Informed consent operasi

5
 Konsul ke bagian anestesi
 Informed consent tindakan anestesi

G. Laporan Anestesi Intra Operasi


 Tanggal : 22 november 2017
 Waktu anestesi : 10.20 - 11.00
 Waktu operasi : 10.25 – 10.40
 Diagnosis pre-Operasi : Tumor mamae dextra
 Diagnosis post-Operasi : Tumor mamae dextra
 Rencana tindakan anestesi : General anestesi-LMA
 Teknik anestesi : General anestesi
Tindakan general anestesi dengan intubasi dilakukan dengan langkah sebagai
berikut:
1. Memasukkan pasien ke dalam ruang operasi dengan kondisi sudah terpasang
intravena line pada tanagan kiri.
2. Meletakkan pasien pada posisi supine di meja operasi
3. Melakukan pemasangan monitor bedside untuk mengevaluasi tekanan darah,
frekuensi nadi, dan saturasi oksigen
4. Menyiapakan peralatan dan obat-obatan yang akan digunakan dalam general
anestesi-intubasi.
5. Memastikan kondisi pasien stabil dengan vital sign dalam batas normal.
6. Memberikan pre-medikasi yang terdiri atas tramus, fentanyl, recofol,
sedacum,invomit yang diberikan secara intravena.
7. Memastikan jalan nafas pasien paten.
8. Menyiapkan LMA no 4 dan plester.
9. Memastikan pasien sudah berada dalam kondisi tidak sadar dan stabil untuk
dimasukkan LMA.
10. Memberkan bantuan nafas dengan ventilasi mekanik dengan metode face
mask.

6
11. Ventilasi dilakukan sampai pasien tidak hipoksia yang ditandai dengan
saturasi O2 yang baik atau tidak ada tanda sianosis di sentral maupun perifer
selama 2-5 menit.
12. Membuka mulut pasien dengan cara menekan mandibula kebawah lalu ujung
LMA dimasukkan pada sisi dalam gigi atas menyusur palatum dan dengn
bantuan jari telunjuk LMA dimasukkan lebih dalam dengan menyusuri
palatum lalu dimasukkan sampai rongga hipofaring
13. Menyambungkan dengan ventilator kemudian dilakukan oksigenasi
14. Cuff dikembangkan lalu mengamati pengembangan dinding dada.
15. Memfiksasi LMA agar tidak lepas.
16. Melakukan maintenance dengan inhalasi O2 10 lpm.
17. Memonitor tanda-tanda vital pasien, saturasi oksigen maupun tanda-tanda
komplikasi berupa perdarahan, alergi obat, dan obstruksi jalan nafas selama
operasi berlangsung.
18. Tindakan bedah selesai.
19. Melepaskan LMA apabila pasien mulai sadar, bernafas spontan, dan terdapat
refleks-refleks jalan nafas atas.
20. Melakukan ventilasi dengan face mask untuk memastikan pasien telah dapat
bernafas spontan.
21. Memindahkan pasien ke ruang pemulihan (recovery room).

H. Pasca Bedah di Ruang Pemulihan


 Keluhan pasien : mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-)
 Pemeriksaan fisik:
o B1: jalan nafas paten, nafas spontan, gerakan dinding dada simetris,
frekuensi nafas 19x/menit
o B2: akral dingin (-), frekuensi nadi 80 x/menit, tekanan darah 105/68
mmHg, Capillary Refill Time <2 detik
o B3: GCS E4V5M6, gelisah (-), refleksi cahaya +/+
o B4: Terpasang kateter
o B5: Mual (-), muntah (-)
B6: Sianosis (-), mobilitas (+), edema (-)

7
I. Terapi Pasca Bedah
 Infus RL 20 tpm
 Inj Ceftriaxone 1g/12 jam
 Inj ketorolac 1g/12 jam
 Boleh makan bila bising usus (+)

8
BAB II
PEMBAHASAN

Persiapan Operasi
Pada laporan kasus ini didapatkan pasien atas nama Tn. S, 48 tahun, datang ke
instalasi bedah sentral untuk menjalani operasi laparotomipada tanggal 18 september 2017
dengan diagnosis pre-operasi yaitu ileus obstruktif letak tinggi e.c susp keganasan. Persiapan
pre-operasi dilakukan tanggal 18 september 2017 di IGD RSUD dr. Soedirman Kebumen.
Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan persiapan pre-operasi
terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya kecelakaan anastesi. Kunjungan terhadap pasien
sebelum dibedah harus dilakukan sehingga dapat mengetahui adanya kelainan di luar
kelainan yang akan dioperasi, menentukan jenis operasi yang akan di gunakan, melihat
kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, alergi,
ataudecompensasi cordis. Selain itu, dengan mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan,
dokter anestesi bisa menentukan cara anestesi dan pilihan obat yang tepat pada pasien.
Kunjungan pre-operasi pada pasien juga bisa menghindari kejadian salah identitas dan salah
operasi.Evaluasi pre-operasi meliputi history taking, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboratorium yang berhubungan.
Evaluasi tersebut juga harus dilengkapi klasifikasi status fisik pasien berdasarkan
skala ASA. Status fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkatmortalitas
perioperatif. Karena underlying disease hanyalah satu dari banyak faktor yangberkontribusi
terhadap komplikasi periopertif, maka tidak mengherankan apabila hubungan initidak
sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi status fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan
manajemen anestesi, terutama teknik monitoring.Adapun klasifikasi American Society of
Anesthesiologists (ASA) adalah:

9
ASA I : Pasien normal dan sehat tanpa kelainana organik, biokimia, atau psikiatri.
ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada keterbatasan
fungsional.
ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga berat yang menyebabkan
keterbatasan fungsi tubuh.
ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam hidup dan
menyebabkan ketidakmampuan fungsi.
ASA V : Pasien yang tidak dapat hidup/bertahan dalam 24 jam dengan atau tanpa
operasi
Bila operasi yang dilakukan darurat (emergency) maka penggolongan ASA diikuti
huruf E (misalnya ASA IE atau ASA IIE).
Pasien pada kasus ini tidak memiliki riwayat alergi. Riwayat alergi penting
ditanyakan karena beberapa obat anestesi dapat menimbulkan efek samping di antaranya
dapat menyebabkan bronkospasme misalnya pada pasien yang memiliki riwayat asama
makan akan memperburuk keadaaannya. Selain itu, obat-obatan yang digunakan dalam
general anestesi dapat menurunkan kerja mukosilia sehingga terjadi peningkatan produksi
mukus yang dapat menyumbat jalan nafas. Pasien tidak mengalami penyakit tertentu selain
penyakit yang diderita dan belum pernah menjalani operasi sebelumnya. Oleh karena itu jika
dilihat dari pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang menunjukkan bahwa pasien
masuk kedalam kategori ASA 1.
Selain menentukan status fisik dengn klasifikasi ASA, pada pasien ini juga dilakukan
pemeriksaan Mallampati. Pemeriksaan ini penting dilakukan untuk menentukan kesulitan
dalam melakukan intubasi. Yang dinilai pada pemeriksaan ini adalah tentang visualisasi
pembukaan mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Sementara skor Mallampati semakin
tinggi pula tingkat kesulitan untuk dilakukan intubasi. Pasien dalam kasus ini termasuk dalam
kategori Mallampati I
Dalam mempersiapkan operasi pada pasien juga dipersiapkan dengan melakukan
puasa yang bertujuan untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung akibat regurgitasi atau
muntah pada saat dilakukan tindakan anestesi akibat efek samping dari obat-obat anestesi
yang diberikan sehingga refleks laring mengalami penurunan selama kondisi anestesi. Karena
pasien ini adalah pasien CITO sehingga tidak dilakukan persiapan puasa sebelum operasi.
Untuk menghindari aspirasi isi lambung akibat regurgitasi atau munttah dilakukan intubasi

10
ETT dan pemberian obat premedikasi Atropin Sulfat yang mempunyai efek mengurangi
sekresi getah lambung dan mengurangi tonus otot polos sehingga motilitas usus menurun.

Penggunaan Obat Pre-Medikasi


Penggunaan obat-obatan pre-medikasi bertujuan untuk mengurangi rasa cemas
sebelum pembedahan, memperlancar induksi, mengurangi hipersalivasi, bradikardi, muntah
dan mengurangi kegawatan akibat anestesia. Pada kasus ini, pasien diberikan obat-obatan
pre-medikasi antara lain tramus, fentanyl, recofol, Sedacum, Sulfas atropin ,invomit dan
tradyl.
a. Sedacum
Sedacum merupakan merk dagang dari midazolam. Kandungan zat ini 1
mg/ml sebanyak 5 ml. Midazolam merupakan golongan obat benzodiazepine.
Benzodiazepine adalah obat golongan hipnotik sedatif yang digunakan dalam anestesi
dengan indikasi menyebabkan tidur, mengurangi cemas, menimbulkan amnesia
anterograde namun tidak berefek analgesik. Obat ini telah menggantikan diazepam
selama operasi dan memiliki potensi 2-3 kali lebih kuat. Selain itu afinitas terhadap
reseptor GABA 2 kali lebih kuat dibanding diazepam. Efek amnesia pada obat ini
lebih kuat dibanding efek sedasi sehingga pasien dapat terbangun namun tidak akan
ingat kejadian dan pembicaraan yang terjadi selama beberapa jam. Midazolam
bersifat ansiolitik, hipnotik, antikonvulsan, relaksan otot dan berefek hilang ingatan
jangka pendek yang merupakan karakteristik benzodiazepin.
Midazolam sering digunakan sebagai premedikasi pada pasien pediatrik
sebagai sedasi dan induksi anestesia. Midazolam juga memiliki efek antikonvulsan
sehingga dapat digunakan untuk mengatasi kejang.
a) Premedikasi
Premedikasi midazolam yang diberikan pada pasien ini sebanyak satu
ampul atau 5mg/5ml. dosis ini merupakan dosis yang adkuat untuk
menjaga efek sedasi pasien dewasa dengan berat lebih dari 40 kg.

11
b) Sedasi intravena
Midazolam dosis 1mg IV (onset 30-60 detik, waktu puncak 3-5 menit,
durasi 15-80 menit) efektif sebagai sedasi selama regional anestesi.
Dibanding dengan diazepam, midazolam memiliki onset yang lebih cepat,
amnesia yang lebih baik dan sedasi post operasi yang lebih rendah namun
waktu pulih sempurna tetap sama. Efek samping yang ditakutkan dari
midazolam adalah adanya depresi napas apalagi bila diberikan bersama
obat penekan CNS lainnya.
b. Fentanyl
Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika. Analgesik narkotika
digunakan sebagai penghilang nyeri. Dalam bentuk sediaan injeksi IM
(intramuskular) Fentanyl digunakan untuk menghilangkan sakit yang disebabkan
kanker. Menghilangkan periode sakit pada kanker adalah dengan menghilangkan rasa
sakit secara menyeluruh dengan obat untuk mengontrol rasa sakit yang
persisten/menetap. Obat Fentanyl digunakan hanya untuk pasien yang siap
menggunakan analgesik narkotika.
Fentanyl bekerja di dalam sistem saraf pusat untuk menghilangkan rasa sakit.
Beberapa efek samping juga disebabkan oleh aksinya di dalam sistem saraf pusat.
Pada pemakaian yang lama dapat menyebabkan ketergantungan tetapi tidak sering
terjadi bila pemakaiannya sesuai dengan aturan. Ketergantungan biasa terjadi jika
pengobatan dihentikan secara mendadak. Sehingga untuk mencegah efek samping
tersebut perlu dilakukan penurunan dosis secara bertahap dengan periode tertentu
sebelum pengobatan dihentikan.
Lama kerja fentanyl sekitar 30 menit untuk distribusi akan tetapi akan
memberikan efek yang lebih lama pada pemberian ulang dan akan terjadi efek
akumulasi. Dengan dosis besar fentanyl menimbulkan analgesia dan hilang kesadaran
yang lebih kuat daripada morfin, tetapi amnesinya tidak lengkap, instabilitas tekanan
darah dan depresi napas lebih singkat. Oleh karena itu fentanyl lebih disukai daripada
morfin, khususnya untuk dikombinasi dengan anestetik inhalasi.
Aksi sinergis dari fentanyl dan general anestesi meningkatkan kualitas
analgesia intraoperatif dan juga memperpanjang analgesia pascaoperasi. Durasi biasa
pada efek analgesik adalah 30 sampai 60 menit setelah dosis tunggal intravena sampai

12
100 mcg (0,1 mg). Dosis injeksi Fentanyl 12,5 μg menghasilkan efek puncak, dengan
dosis yang lebih rendah tidak memiliki efek apapun dan dosis tinggimeningkatkan
kejadian efek samping.
c. Tramus
Tramus merupakan merk dagang yang berisi atracurium besylate 10mg/ml.
Sifat farmakodinamikatracurium adalah kompetitif (non-depolarisasi) neuromuskular
agen, memblokir sangat selektif dengan durasi menengah. Agen non-depolarisasi
memblokir aksi neurotransmiter asetilkolin dengan mengikat reseptor pada motor end
plate. Atracurium dapat digunakan dalam berbagai prosedur bedah dan untuk
memfasilitasi ventilasi terkontrol. Atracurium tidak memiliki efek langsung pada
tekanan intraokular, dan oleh karena itu cocok untuk digunakan dalam operasi mata.
Waktu paruh eliminasi atracurium sekitar 20 menit. Elimnasi atracurium tidak
tergantung pada fungsi ginjal atau fungsi hati.Produk pemecahan utama adalah
laudanosine dan alkohol monoquaternary yang tidak memiliki aktivitas pemblokiran
neuromuskuler.
Indikasi pemberian obat ini yaitu sebagai tambahan anestesi umum untuk
memungkinkan intubasi trakea yang akan dilakukan dan untuk mengendurkan otot
skeletal selama operasi atau ventilasi terkontrol dan untuk memfasilitasi ventilasi
mekanik di Intensive Care Unit (ICU).
Rute pemberian obat ini melalui injeksi intravena atau infus kontinu. Dosis
yang dianjurkan: 0,3-0,6 mg/kg (tergantung pada durasi blok penuh diperlukan) dan
akan memberikan relaksasi yang cukup untuk sekitar 15 sampai 35 menit.Intubasi
endotrakeal biasanya dapat dicapai dalam waktu 90 detik dari injeksi intravena 0,5-
0,6 mg / kg.Blok penuh dapat diperpanjang dengan dosis tambahan dari 0,1-0,2 mg /
kg seperti yang diperlukan. Dosis tambahan berturut tidak menimbulkan akumulasi
efek blocking neuromuskular. Pemulihan spontan dari ujung blok penuh terjadi pada
sekitar 35 menit yang diukur dengan pemulihan respon tetanik 95% dari fungsi
neuromuskular normal. Setelah bolus dosis awal 0,3-0,6 mg/kg, atracurium dapat
digunakan untuk mempertahankan blok neuromuskuler selama prosedur pembedahan
panjang dengan administrasi sebagai infus kontinu pada tingkat 0,3-0,6 mg/kg/jam.
d. Recofol

13
Recofol mengandung propofol dengan dosis 10 mg/ml. Secara kimiawi,
propofol tidak ada hubungannya dengan anestetik IV lain. Zat yang berupa minyak
pada suhu kamar ini tersedia sebagai emulsi 1%. Propofol IV 1,5-2,5 mg/kgBB
menimbulkan induksi anesthesia secepat thiopental, tetapi dengan pemulihan yang
lebih cepat dan pasien segera merasa lebih baik disbanding dengan penggunaan
anestesi lain. Nyeri kadang terasa pada tempat suntikan, tetapi jarang disertai dengan
phlebitis atau thrombosis.
Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 30% tetapi efek ini
lebih disebabkan oleh vasodilatasi perifer ketimbang penurunan curah jantung.
Tekanan darah sistemik kembali normal dengan intubasi trakea. Propofol tidak
menimbulkan aritmia atau iskemia jantung tetapi terjadi sensitasi jantung terhadap
katekolamin. Efek propofol terhadap pernapasan mirip dengan efek thiopental
sesudah pemberian IV yakni depresi napas selama 30 detik. Hal ini diperkuat bila
digunakan opioid sebagai medikasi pre-anestetik.
Propofol segera dimetabolisme di hati (lebih cepat daripada eliminasi
tiopental) tetapi klirens totalnya lebih besar dari aliran darah hati yang menunjukkan
bahwa ada eliminasi ekstra-hepatik. Sifat ini menguntungkan untuk pasien dengan
gangguan metabolisme hati. Kelebihan propofol adalah bekerja lebih cepat daripada
thiopental, konfusi pasca bedah minimal dan kurang menyebabkan mual muntah
pasca bedah.
e. Invomit
Invomit berisi obat ondansetron 8mg/4ml. Ondansetron adalah suatu antagonis
5-HT3 yang sangat selektif yang dapat menekan mual dan muntah karena
sitostatistika misalnya cisplatin dan radiasi. Mekanisme kerjanya diduga
dialngsungkan dengan mengantagonisasi reseptor 5HT yang terdapat pada
chemoreceptor trigger zone di area postrema otak dan mungkin juga pada aferen
vagal saluran cerna. Ondansetron juga mempercepat pengososngan lambung, bila
kecepatan pengosongan basal rendah. Tetapi waktu transit saluran cerna memanjang
sehingga dapat terjadi konstipasi. Ondansetron tidak efektif diberikan untuk
pengobatan morning sickness.
Indikasi penggunaan ondansetron adalah diberikan untuk pencegahan mual
dan muntah yang berhubungan dengan operasi dan pengobatan kanker dengan

14
radioterapi dan statistika dengan dosis 0,1-0,2 mg/kgBB secara intravena.
Ondansetron dalam penggunaannya biasanya ditoleransi secara baik, namun
terkadang ada timbul efek samping dari pemberian obat ini, keluhan yang umum
ditemukan adalah konstipasi. Gejala lain dapat berupa sakit kepala, flushing,
mengantuk, gangguan saluran cerna dan sebagainya.
Kontraindikasi dari penggunaan ondansetron adalah hipersensitivitas. Obat ini
dapat diberikan pada pasien anak, tetapi sebaiknya tidak digunakan pada kehamilan
dan ibu menyusui karena mungkin disekresi di dalam ASI (air susu ibu). Selain itu
jangan diberikan pada pasien dengan gangguan hati karena dapat menyebabkan
intoksikasi, pada pasien dengan insufisiensi ginjal obat ini dapat digunakan dengan
aman.

f. Tradyl
Tradyl berisi obat tramadol hidroklorida 100mg/2ml. Tramadol adalah
obat analgetik opioid yang digunakan untuk meredakan nyeri sedang sampai berat.
Obat ini sering dikombinasikan denganparacetamol untuk meningkatkan efek
analgetiknya. Tramadol bekerja dengan dua mekanisme. Pertama, dengan mengikat
secara stereospesifik reseptor µ-opioid di sistem saraf pusat untuk mengeblok sensasi
nyeri dan respon terhadap nyeri (inflamasi). Kedua, menghambat pelepasan
neurotransmitter, serotonin dan norepinephrine dari sistem saraf aferen yang sensitif
terhadap rangsang yang berakibat terhambatnya impuls nyeri.
Kegunaan tradyl (tramadol) adalah untuk mengobati nyeri sedang sampai
berat, baik itu nyeri akut maupun kronis misalnya nyeri pasca operasi. The European
League Against Rheumatism merekomendasikan penggunaan tramadol untuk
pengobatan fibromyalgia, suatu kondisi nyeri yang terjadi hampir di seluruh tubuh,
terutama jika ditekan pada bagian tubuh.Dosis tramadol adalah 50 – 100 mg per 4 -6
jam tidak boleh lebih dari 400 per 24 jam.
Kontraindikasi untuk menggunakan obat ini adalah jangan diberikan pada
pasien yang memiliki riwayat hipersensitif pada tramadol atau opioid analgetic
lainnya.Tidak boleh diberikan pada penderita yang sedang diterapi dengan obat-obat
monoamine oxidase (MAO) inhibitors, obat-obat yang berefek hipnotik dan sedatif,
analgetik dan obat-obat lain yang mempengaruhi sistem saraf pusat lainnya.Jika anda

15
pengguna alkohol sebaiknya jangan menggunakan obat ini.Pasien yang menderita
depresi pernapasan yang signifikan, harus hati-hati jika menggunakan obat ini.Obat
ini juga kontraindikasi pada penderita asma akut atau asma bronkial berat

g. Sulfas Atropin
Sulfas atropin merupakan golongan antikholinergik dan merupakan turunan
dari yang berkhasiat menekan/menghambat aktivitas kholinergik atau parasimpatis.
Tujuan utama pemberian obat antikholinergik adalah
 Mengurangi sekresi kelenjar saliva, saluran cerna, dan saluran nafas
 Mencegah spasme laring dan bronkus
 Mencegah bradikardi
 Mengurangi motilitas usus
 Melawan efek depresi narkotik terhadap pusat nafas
Dosis pemberian sulfas atropin adalah 0,005 mg/kgbb diberikan 5-10 sebelum
induksi. Kontraindikasi sulfas atropin adalah pasien dengan demam, takikardi,
glukoma, dan tirotoksikasis.

Anestesi Intra-Operasi
Ditengah tindakan operasi tetap dilakukan pemberian obat anestesi yang berfungsi
untuk menjaga kestabilan bius sampai selesai operasi. Anestesi yang digunakan adalah
anestesi inhalan yang diberikan melalui selang intubasi. Zat yang digunakan dalam anestesi
intra-operasi kali ini adalah N2O, O2 dan sefoflurane.
Nitrogen monoksida (N2O) merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak
berasa dan lebih berat daripada udara. Gas ini tidak mudah terbakar, tetapi bila
dikombinasikan dengan zat anestesi lain yang mudah terbakar akan mudah untuk timbul
ledakan, missalnya campuran eter dan N2O.
Nitrogen monoksida sukar larut dalam darah dan merupakan anestetik yang kurang
kuat sehingga kini hanya digunakan sebagai adjuvant inhalasi lainnya. Karena kelarutannya
yang buruk, masa induksi dengan N2O segera dicapai. Dengan perbandingan 85:15
(N2O:O2), stadium induksi akan cepat dilewati, tetapi pemberiannya tidak boleh terlalu lama

16
karena mudah terjadi hipoksia yang dapat dicegah dengan memberikan O2 100% setelah
N2O dihentikan. Rlaksasi otot kurang baik sehingga untuk mendapatkan relaksasi yang
cukup sering ditambah dengan pelumpuh otot.
Kadar N2O 80% hanya sedikit mendepresi kontraktilitas otot jantung sehingga
peredaran darah tidak terganggu. Efeknya terhadap pernapasan tidak begitu besar, dikatakan
induksi dengan pentotal dan inhalasi N2O menyebabkan berkurangnya respon pernapasan
terhadap CO2. Pada anestesi yang lama dapat menyebabkan mual muntah dan lambat sadar.
Gejala sisanya hanya terjadi apabila hipoksia atau alkalosis karena hiperventilasi.
Nitrogen monoksida mempunyai efek analgesik yang baik, dengan inhalasi 20% N2O
dalam oksigen efeknya seperti 15 mg morfin. Kadar optimum untuk mendapatkan efek
analgesik maksimum 35%. N2O diekskresi dalam bentuk utuh melalui paru dan sebagian
kecil melalui kulit.
Sefoflurane adalah anestesi inhalasi baru yang memberikan induksi dan pemulihan
lebih cepat dari pendahulunya. Zat ini termasuk dalam eter berhalogen yang tidak mudah
terbakar. Setelah pemberian medikasi pre-anestesi stadium induksi dilalui kurang dari 10
menit dengan lancer dan sedikit eksitasi bila diberikan bersama N2O dan O2. Tanda yang
digunakan untuk mengukur kedalaman anestesi adalah penurunan tekanan darah, volume dan
frekuensi napas dan meningkatnya frekuensi denyut jantung.

Tindakan Pos-Operasi
Tindakan pasca operatif adalah fase yang dimulai pada saat pasien dipindahkan dari
kamar operasi ke ruang pemulihan (recovery room) dan berakhir pada saat pasien sudah
dipulangkan ke bangsal. Pada fase ini keadaan pasien dipantau yaitu melalui vital sign,
saturasi O2, kepatenan jalan nafas, pemantauan cairan yang masuk, dan pengeluarn urin serta
mempertahankana keseimbangan cairan elektrolit.
Setelah menjalani operasi selanjutnya pasien dipindahkan ke ruang pemulihan atau
recovery room (RR) yaitu ruangan yang dikhususkan untuk observasi pasien pasca operasi
dan anestesi. Ruangan ini merupakan tempat pasien sebelum dipindahkan ke bangsal ataupun
ke ICU jika pasien memang masih membutuhkan perawatan yang intensif sehingga pasien
dapat terhindar dari komplikasi yang dapat timbul akibat tindakan operasi maupun anestesi.
Di ruang ini pasien dibantu untuk disadarkan dan diberitahu bahwa operasi telah selesai.

17
Selama di ruang pemulihan jalan nafas diusahakan agar dalam keadaan paten,
pernafasan spontan dan adekuat serta kesadaran compos mentis. Tanda-tanda vital selama 15
menit pertama setelah operasi pada pasien ini dalam kondisi stabil. Pemberian cairan tetap
dilanjutkan yang ditentukan berdasarkan defisit cairan selama operasi dan ditambah dengan
kebutuhan sehari-hari.
Pasien pada kasus ini kondisinya baik pada saat berada di RR yaitu dengan nafas spontan,
frekuensi nafas 18 x/menit, frekuensi nadi 80 x/menit, tekanan darah 138/98 mmHg, akral
hangat, kesadaran compos mentis, dan GCS E4V5M6.
Dalam rangka memindahkan pasien ke ruang perawatan diperlukan skoring untuk
mengetahui kondisi pasien pasca operasi dan anestesi. Pada kasus ini karena dilakukan
general anestesi sehingga digunakan skoring dengan menggunakan Aldrete Scoring System.
Apabila diperoleh skor >8 tanpa nilai 0 maka pasien dapat dipindahkan ke ruang perawatan
dan jika skor <8 maka pasien dipindahkan ke ICU. Pada paseien ini diperolehskor Aldrete <8
sehingga pasien dapat dipindahkan ke ICU. Adapun interpretasi penilaian dari Aldrete
Scoring System yaitu seperti tertera pada Tabel 1
Tabel 1. Penilaian dari Aldrete Scoring System
No. Kriteria Skor
1 Aktivitas motorik  Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas atas 2
peintah atau secara sadar
 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas atas perintah 1
atau secara sadar
 Tidak mampu menggerakkan ekstremitas atas 0
perintah atau secara sadar

2 Respirasi  Nafas adekuat dan dapat batuk 2


 Nafas kurang adekuat/distress/hipoventilasi 1
 Apneu/tidak bernafas 0

3 Warna kulit  Kemerahan atau seperti semula 2


 Pucat 1
 Sianosis 0

4 Sirkulasi  Tekanan darah berubah sekitar 20% dari semula 2


 Tekanan darah berubah sekitar 20-50% dari semula 1
 Tekanan darah berubah sekitar >50% dari semula 0

5 Kesadaran  Sadar penuh 2


 Bangun apabila dipanggil 1
 Tidak ada respon atau belum sadar 0

18
BAB III
KESIMPULAN

Pada laporan kasus ini didapatkan pasien dengan diagnose ileus obstruksi letak tinggi
yang akan dilakukan tindakan laparatomi. Teknik anestesi yang digunakan dengan general
anestesi dengan intubasi ETT. Prosedur persiapan operasi sudah dilaksanakan dengan benar.
Anestesi pre-medikasi diberikan dengan menggunakan obat antara lain tramus, fentanyl,
recofol, sedacum,Sulfas atropin,invomit dan tradyl yang memberi efek sinergis dalam
mencapai anestesi yang stabil. Anestesi intra-operasi yang diberikan dengan N2O, O2 dan
Sefoflurane bertujuan untuk menjaga kedalaman anestesi dan kestabilan hemodinamik
pasien. Tindakan post-operasi dilakukan dengan mengobservasi pasien di recovery
room.Secara umum, semua tindakan sudah dilakukan dengan tepat, sehingga tidak
didapatkan adanya efek samping maupun komplikasi pasca operasi.

19
DAFTAR PUSTAKA

Barash, P.G., Cullen, B.F., Stoelting, R.K., Cahalan, M.K., Stock, M.C. 2009. Handbook of
Clinical Anesthesia (6th ed.). Lippincott Williams & Wilkins, USA.

Gunawan, S.G., 2009. Farmakologi dan Terapi (5th ed.), FK UI, Jakarta.

Katzung, B.G., 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik (6th ed.), Penerbit EGC, Jakarta.

Latief, S.A., Suryadi, K.A., Dachlan, M.R., 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi (2nd ed),
Penerbit FK UI, Jakarta.

Mangku, G., Tjokorda, G.A., 2010. Buku Ajar Anestesiologi dan Reanimasi. Indeks, Jakarta.

20

Você também pode gostar