Você está na página 1de 30

PEMBANGUNAN PERTANIAN DENGAN PARADIGMA

SISTEM DAN USAHA AGRIBISNSIS

Prof Dr Ir Bungaran Saragih, MEc

PENDAHULUAN

Pengamatan empiris menunjukkan bahwa tidak banyak negara di dunia ini


yang dapat mencapai tahapan pembangunan berkelanjutan yang digerakkan oleh
sektor industri (barang dan jasa) berbasis ilmu dan teknologi modern tanpa
didahului dengan pencapaian tahapan pembangunan pertanian yang handal dan
kuat. Bahkan bagi banyak negara di dunia yang pendapatan per kapitanya kurang
dari US $ 2500.00, (dua ribu limaratus dollar AS) pertanian masih menjadi sektor
yang sangat penting bagi perekonomian nasionalnya. Bagi negara-negara tersebut
pertanian menjadi tulang punggung bagi tegaknya suatu ekonomi negara.
Pertanian tidak saja (a) menyediakan kebutuhan pangan penduduknya tetapi juga
(b) sebagai sumber pendapatan ekspor (devisa), dan (c) sebagai pendorong dan
penarik bagi tumbuhnya industri nasionalnya.
Karena itu apabila perencanaan pembangunan pertanian dan
pelaksanaannya dikelola dengan baik, pembangunan pertanian yang dilaksanakan
dengan seksama dapat memperbaiki pendapatan penduduk secara lebih merata
dan berkelanjutan serta pada akhirnya dapat memakmurkan masyarakat Indonesia
secara keseluruhan. Oleh sebab itu, sangat tepat apabila Presiden Republik
Indonesia, Megawati Soekarnoputri memberikan perhatian lebih besar pada
pembangunan sektor pertanian dalam upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat keseluruhan termasuk petaninya.
Pada masa lalu, khususnya beberapa tahun menjelang krisis ekonomi,
sektor pertanian ternyata lebih diarahkan sebagai sektor penunjang dan pendukung
pembangunan dan tidak dijadikan sebagai sektor andalan atau basis pembangunan
ekonomi nasional. Akibatnya, walaupun tingkat produksi berbagai komoditas
pertanian berhasil ditingkatkan, dan pertumbuhan ekonomi nasional juga tinggi
(rata-rata> 5% selama lebih dari 20 tahun) namun pertumbuhannya tidak merata,
terkonsentrasi pada kelompok tertentu (200 kongklomerat) dan tidak berkelanjutan.
Seharusnya bagi sebagian besar negara di dunia, sektor pertanian menjadi tulang
punggung bagi tergaknya struktur ekonomi nasional dan berlangsungnya
pemerataan pendapatan antar berbagai lapisan masyarakat secara adil.
Terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997/1998 telah memberikan pelajaran
yang berharga bagi bangsa Indonesia. Sektor industri yang selama ini diharapkan
menjadi sektor andalan dalam memacu pertumbuhan ekonomi ternyata tidak
mampu bertahan. Sementara itu, sektor pertanian yang sudah kurang diperhatikan
sejak Repelita V (diindikasikan dengan penurunan alokasi anggaran pembangunan
sektor pertanian, serta lemahnya dukungan kebijakan lainnya) pada awal krisis
ekonomi, sektor pertanian tetap tumbuh positif sebesar 0,22 persen, sementara
ekonomi nasional mengalami kontraksi (minus) sebesar 13,68 persen.
Selama terjadinya krisis ekonomi, penyerapan tenaga kerja secara nasioanl
juga mengalami penurunan sebanyak 6,4 juta atau sekitar 2,13 persen dan sektor
pertanian mampu menciptakan lapangan kerja baru sebanyak 432.350 orang. Hal
ini menunjukkan bahwa sektor pertanian terbukti tangguh menghadapi gejolak
ekonomi dan fleksibel dalam penyerapan tenaga kerja sehingga sesungguhnya
dapat berfungsi sebagai basis dan landasan perekonomian nasional Indonesia.
Dari berbagai analisis patut diduga bahwa salah satu akar penyebab krisis
ekonomi adalah penyimpangan pelaksanaan pembangunan dari rencana jangka
panjangnya. Sektor industri dan jasa dibangun tidak padu padan dengan sektor
pertanian. Dengan perkataan lain, krisis ekonomi merupakan akibat dari kesalahan
strategi pembangunan nasional yang mengabaikan potensi pertanian serta terfokus
pada pembangunan sektor industri berspektrum luas tanpa mempedulikan
keterkaitannya dengan sektor pertanian (tentu saja banyak faktor lain yang
berpengaruh seperti KKN-Kolusi-Korupsi Nepotisme dan rendahnya penegakan
hukum juga mempercepat krisis serta memperlambat proses pemulihan krisis). Jika
hipotesis ini benar maka strategi pembangunan di masa kini dan mendatang
haruslah ditinjau ulang. Sektor pertanian harus direposisi dari sektor penunjang
menjadi sektor andalan perekonomian nasional.

MASALAH DAN TANTANGAN FAKTUAL

Sebelum melangkah kepada penjabaran kebijakan pembangunan pertanian


yang harus dilakukan ke depan, ada baiknya kita ulas sekilas masalah dan
tantangan faktual yang terjadi saat ini. Hal ini penting karena pembangunan
pertanian ke depan mau tidak mau harus didasarkan kepada kondisi sumberdaya
nasional kita saat ini dan perubahan lingkungan strategis yang ada saat ini.
Beberapa masalah yang perlu dicermati saat ini antara lain:

2
(1) Utang luar negeri maupun domestik sebagai beban warisan yang harus
dipikul oleh pemerintah sekarang sangat besar, lebih dari 1700 trilyun
(beban bunganya saja, lebih dari 90 triliun-pertahun dan selalu
memberatkan APBN tahunan, sehingga mengurangi kemampuan
pemerintah dalam membiayai pembangunannya). Pertanian tidak banyak
membutuhkan pinjaman luarnegeri, bahkan hasilnya bisa untuk membayar
utang.
(2) Perbankan juga mengalami kesulitan luar biasa (bunga kredit tinggi,
likuiditas rendah sehingga sulit menyalurkan pinjaman). Meskipun pertanian
membutuhkan dukungan perbankan, banyak bukti empirik, lembaga
keuangan non bank juga masih dapat dimanfaatkan dan pola bagi hasil
juga masih menarik investor kecil dan menengah. Sehingga meskipun
perbankan tidak banyak berperan, pertanian masih dapat digunakan
sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dan sekaligus pemerataan
pendapatan.
(3) Akibat ikutan yang tak dapat dihindari dari krisis ekonomi yang panjang
adalah pengangguran nyata dan terselubung. Karena jumlah penduduk
Indonesia besar maka penganggurannya juga besar. Perkiraan kasar tahun
2003 ini, jika pertumbuhan ekonomi hanya 3.3 persen maka pengangguran
akan bertambah 1.6 juta Menurut menaker Yakob Nuwa Wea (Kompas, 29
april 2003, hal 13) jika pemerintah tidak menyelesaikan masalah
pengangguran dengan signifikan, angka pengangguran akan mencapai 40
juta orang (9.3 juta pengangguran terbuka dan sisanya tergolong
setengah menganggur. Dengan membangun sektor pertanian dan
pedesaan sebagian besar masalah pengangguran dapat teratasi.
(4) Kemenangan politik (pemilu) PDIP sebesar 35 %, menyebabkan Presiden
Megawati sebagai Ketua Partai dan sekaligus Presiden Terpilih Republik
Indonesia, harus lebih hati-hati dan bijaksana sehingga seringkali tampak
lemah dan kurang efektif (bandingkan dengan periode Presiden Soeharto
yang memenangkan perolehan suaranya melalui Golkar lebih dari 70 %,
sehingga mampu membentuk dan menjalankan pemerintah yang kuat).
Pembangunan pertanian dan pedesaan yang berhasil dapat meningkatkan
legitimasi pemerintah agar dapat memerintah dengan efektif (hal ini juga
dilakukan Presiden Soeharto/ABRI dan Golkar hingga 15 tahun awal
pemerintahannya sehingga Indonesia mampu memacu peningkatan

3
produksi hampir seluruh komoditi pertaniannya termasuk berhasil swasembada
beras tahun 1984 ). Sejalan dengan keberhasilan pembangunan pertanian
setapak-demi setapak juga diikuti dengan keberhasilan pembangunan
ekonomi dan akhirnya juga diikuti dengan keberhasilan penmabgunan di
bidang politik sehingga akhirnya Presiden Soeharto dan Golkar dapat
memerintah hingga selama 30 tahun lebih.
(5) Perubahan iklim dan musim serta kerusakan lingkungan yang hebat sering
kali menyebabkan bencana banjir dan tanah longsor yang akhir-akhir
banyak terjadi di Indonesia. Bencana alam tersebut selain menimbulkan
korban jiwa dan harta masyarakat yang terkena musibah juga telah merusak
infrastruktur publik seperti jalan dan jaringan irigasi yang sangat diperlukan
dalam menunjang kegiatan pertanian.

Krisis ketersediaan air menjadi isu yang sangat hangat dibicarakan baik di
forum nasional maupun internasional. Perubahan iklim mikro yang sangat ekstrim
juga perlu segera diantisipasi. Akhir-akhir ini banyak daerah di Indonesia yang
mengalami perubahan iklim mikro yang sangat ekstrim (mendadak) dari banyak
hujan menjadi sangat kering atau sebaliknya. Meskipun kondisi ini sangat tidak
kondusif bagi kegiatan pertanian; pertanian yang dijalankan selaras dengan alam
justru dapat menyelamatkan lingkungan kehidupan kita baik sekarang maupun
yang akan datang. Disamping beberapa masalah di atas, pembangunan pertanian
di Indonesia juga dihadapkan dengan beberapa tantangan (sekaligus peluang)
yang mesti diatasi dan dikelola dengan baik.
Pertama, jumlah penduduk yang sangat besar, yaitu sekitar 211 juta jiwa
pada tahun 2002 dan pertumbuhannya masih sekitar 1.5 % per tahun. Dilihat dari
modal dasar pembangunan, jumlah penduduk yang banyak merupakan potensi
yang sangat besar, baik dari sisi penawaran produk (peningkatan produksi)
maupun dari sisi permintaan produk (peluang pasar).
Dari sisi penawaran, penduduk yang sangat banyak tersebut sangat
bermanfaat untuk : (a) sumber tenaga kerja yang melimpah dan dengan upah yang
relatif rendah, (b) sumber inventor dan inovator (wirausahawan) yang merupakan
pelopor bisnis di sektor pertanian yang saat ini sangat dibutuhkan. Dari sisi
permintaan produk, jumlah penduduk yang sangat besar merupakan potensi pasar
yang sangat potensial yang dapat menyerap apapun produksi yang dihasilkan.
Namun demikian jumlah penduduk yang besar dan pertumbuhan yang tinggi
(lebih dari tiga juta orang per tahun/sama dengan penduduk Singapura) ,

4
menimbulkan konsekuensi yang tidak mudah bagi sektor pertanian. Mulai dari
penyediaan sandang-pangan dan perumahan hingga pekerjaan yang setiap tahun
selalu bertambah sesuai dengan pertambahan jumlah penduduknya.
Kedua, perubahan era politik pemerintahan dari sentralistik menjadi
desentralistik berdasarkan UU otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah di
Indonesia akan membawa beberapa perubahan penting, yaitu bila sebelumnya
peran pemerintah pusat dalam pembangunan pertanian sangat dominan bertindak
sebagai eksekotor, fasilitator, stimulator dan promotor, maka dengan UU otonomi
daerah tersebut, peran pemerintah pusat berubah, tidak lagi menjadi eksekutor atau
aktivist (melaksanakan sendiri) pembangunan, tetapi sebagai fasilitator, stimulator
atau promotor pembangunan pertanian.
Pembangunan pertanian pada era otonomi daerah dilaksanakan oleh
pemerintah daerah bersama seluruh komponen masyarakat yang terlibat.
Pemerintah daerah di sini juga hanya berfungsi sebagai fasilitator, stimulator atau
promotor pembangunan pertanian di daerahnya. Orientasi pembangunan era
otonomi daerah akan lebih mengandalkan kreativitas rakyat. Tuntutan demokrasi
yang lebih kuat juga menyebabkan orientasi pembangunan dari government driven
ke arah people driven. Konsekuensi dari masalah ini adalah diperlukannya
manajemen pemerintahan pusat dan daerah yang lebih akomodatif, transparan
(terbuka) dan canggih.
Ketiga, era liberalisasi perdagangan, khususnya AFTA telah dimulai.
Indonesia sebagai salah satu negara yang terlibat di dalamnya harus benar-benar
mempersiapkan berbagai kebijakan untuk membantu dan melindungi petani
terhadap persaingan perdagangan global yang belum sepenuhnya menganut asas
keadilan (fair trade). Dengan dalih untuk melindungi para petaninya, masih banyak
negara-negara produsen produk pertanian yang memberikan proteksi dan subsidi
yang berlebihan terhadap petaninya. Kondisi ini tentunya menjadi tidak adil bagi
Indonesia yang telah lebih awal melepaskan berbagai bentuk subsidi dan
menurunkan tariff bea masuk kepada petani di dalam negeri sebagai konsekuensi
kesepakatan Letter of Intent (LOI) antara IMF dengan pemerintah Indonesia pada
saat krisis ekonomi tahun 1997.

5
PEMBANGUNAN PERTANIAN DENGAN PENDEKATAN
SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS

Sejak dimulainya REPELITA I, 1 April 1969, peningkatan produksi pertanian


khususnya beras, menjadi target pembangunan nasional Indonesia. Untuk itu
maka faktor penunjang peningkatan produksi pertanian dibangun. Sang Hyang Seri
(industri benih nasional) didirikan tahun 1971. Demikian pula BULOG, Lembaga
Perkreditan (BRI Unit Desa), KUD, Jaringan Irigasi, Jalan Desa, Pasar semua
disiapkan untuk mensukseskan program pertanian khususnya beras. Rekayasa
social melalui Program nasional BIMAS-INMAS dideseminasikan dan dilaksanakan
dari Sabang sampai Merauke. Mulai dari Presiden, Gubernur, Bupati bahkan
Komandan Koramil sangat aktif terlibat dalam program peningkatan produksi
pertanian. Pabrik pupuk urea yang pendiriannya ditentang oleh Bank Dunia berhasil
dibangun setelah ada negosiasi yang alot. Lima belas tahun kemudian dari negara
importir beras terbesar di dunia menjadi negara swasembada sehingga Presiden
Soeharto diundang ke Roma untuk menceritakan pengalaman keberhasilannya.
Sejalan dengan peningkatan produksi beras, peningkatan produksi
peternakan, perkebunan, perikanan, perhutanan juga digalakkan. Hasilnya, ayam
broiler yang pada tahun 1970 tidak tercatat dalam statistik nasional (karena terlalu
kecil jumlahnya), tahun 1997 mencapai hampir satu milyar ekor setiap tahun,
demikian produksi susu, telur, sawit, karet, coklat, teh, kopi, ikan dan produk
perhutanan semua menunjukan peningkatan produksi yang luar biasa. Hanya saja
peningkatan produksi pada tingkat segar (farm gate) sehingga seringkali kelebihan
produksi di saat musim panen. Tampaknya keberhasilan peningkatan produksi
pertanian yang telah susah payah diusahakan tidak diikuti dengan pengembangan
kebijakan lanjutan agar kelebihan produksi itu berkelanjutan dan petani
memperoleh pendapatan yang layak atas hasil kerjanya. Keberhasilan peningkatan
produksi tidak diikuti dengan kebijakan perindustrian dan perdagangan (industrial
and trade policy) agar ada saluran dan pengembangan industri pertanian yang
mampu meningkatkan penyerapan produksi on farm dan meningkatkan nilai
tambah serta menghindari jatuhnya harga di musim panen Keberhasilan
peningkatan produksi pertanian juga tidak segera diikuti dengan kebijakan lain
misalnya kebijakan moneter dan fiskal yang lebih bersahabat dengan pertanian
Indonesia. Meskipun dalam banyak hal petani Indonesia tergolong salah satu petani
yang paling efisien tetapi mereka selalu dikalahkan oleh petani negara lain karena
lemahnya dukungan kebijakan moneter dan fiskal. Kredit pertanian di Indonesia
adalah salah satu kredit yang paling mahal di dunia bunganya.

6
Selama kurang lebih 10 tahun sebelum krisis ekonomi, nilai tukar rupiah
terhadap mata uang asing lainnya terlalu kuat secara artifisial sehingga hampir
semua produk impor pertanian (dari daging sapi sampai kedelai) begitu mudah
masuk karena sangat murah, pada masa itulah pertanian mengalami tekanan luar
biasa dan pemulihanya membutuhkan waktu yang lama. Praktis hanya pertanian
yang khas yang mampu bertahan seperti sawit, coklat, teh dan produk rempah-
rempah. Sedangkan iindustri perunggasan yang bisa bangkit cepat tidak mudah
memulihkannya, karena jagung dan kedele sampai sekarang masih tertekan
produksinya.
Jika diamati dengan seksama, peningkatan produksi pertanian yang tercatat
dalam statistik cukup respectable, dengan kata lain upaya peningkatan produksi
cukup berhasil. Hanya saja peningkatan produksi tidak selalu diikuti dengan
peningkatan pendapatan petaninya. Bahkan ada kecenderungan pendapatan
petani semakin menurun (term of trade, tot, semakin rendah), jika dibandingkan
dengan peningkatan produk industrinya. Karena itu konsep atau paradigma
pembangunan pertanian yang hanya meningkatkan produksi tanpa meningkatkan
pendapatan petaninya perlu dikoreksi karena paradigma itu sudah mentog dan
sudah menunaikan keberhasilan, dengan meningkatkan hampir semua komoditi
pertanian Indonesia. Karena itu pula perlu dikembangkan paradigma baru dan
dengan paradigma baru itu pembangunan pertanian diarahkan untuk juga
meningkatkan kesejahteraan petani dan sekaligus masyarakat Indonesia.
Pardigma baru itu adalah pendekatan agribisnis.
Konsep agribisnis pertama kali diperkenalkan oleh John H. Davis pada
tahun 1955 dalam suatu makalah yang disampaikan pada Boston Conference on
Distribution di Amerika Serikat. Dua tahun kemudian konsep agribisnis
dimasyarakatkan kembali oleh orang yang sama dalam buku yang berjudul A
Conception of Agribusiness di Harvard University. Tahun 1957 ini dianggap sebagai
tahun kelahiran agribisnis. Seiring perkembangan pengetahuan, konsep agribisnis
berkembang sehingga saat ini memliki ruang lingkup yang sangat luas.
Agribusiness is the sum total of all operation in the manufacture and distribution of
farm, production operation on the farm, and the storage processing and distribution
of farm commodities and items made from them (Davis and Golberg, 1957).
Dalam pengertian seperti itu, agribisnis mempunyai ruang lingkup kegiatan: (1)
pembuatan dan penyaluran sarana produksi untuk kegiatan budidaya pertanian, (2)
kegiatan budidaya atau produksi dalam usahatani, dan (3) penyimpanan,

7
pengolahan dan distribusi berbagai komoditi pertanian dan produk-produk yang
memakai komoditas pertanian sebagai bahan baku.
Menurut Desai (1974) system agribisnis dapat dikelompokkan menjadi 4
(empat) bagian, yaitu : (1) subsistem pengadaan sarana produksi, (2) subsistem
produksi pertanian (usahatani), (3) subsistem pengolahan, dan (4) subsistem
distribusi. Dengan demikian sistem agribisnis merupakan usaha bisnis yang berada
dalam alur yang harmonis mulai dari pengadaan sarana produksi usahatani hingga
produk usahatani sampai ke konsumen.
Cramer and Jensen (1991) menilai bahwa dalam keterpaduan sistem
agribisnis sangat penting peranannya dalam industri berbasis agribisnis. Disamping
itu, kemampuan koordinasi akan menentukan kualitas keterpaduan sistem
agribisnis. Koordinasi ini tidak lain merupakan keterpaduan dalam hubungan
kelembagaan yang mengatur organisasi dan tata hubungan antar setiap komponen
dalam sistem agribisnis.
Dari batasan di atas, agribisnis merupakan sub sektor yang luas meliputi
industri hulu sektor pertanian sampai industri hilir. Industri hulu adalah industri yang
memproduksi alat-alat dan mesin pertanian serta industri sarana produksi yang
digunakan dalam proses budidaya pertanian. Sedangkan industri hilir merupakan
iindustri yang mengolah hasil pertanian menjadi bahan baku atau barang yang siap
dikonsumsi atau merupakan industri pascapanen dan pengolahan hasil pertanian.
Di Indonesia konsep dan pemikiran Sistem dan Usaha Agribisnis juga
dikembangkan antara lain oleh Prof. Bungaran Saragih dkk., dengan modifikasi
sesuai dengan kepentingan dan perkembangan masyarakat Indonesia sendiri.
Pengembangan dan pelaksanaan konsep agribisnis yang telah disesuaikan ini
diharapkan akan meningkatkan keterkaitan langsung antara produksi pertanian,
pengolahan hasil dan penciptaan prasarana yang diperlukan, yang akhirnya untuk
meningkatkan kesejahteraan petani secara lebih merata dan berkelanjutan
(Gambar 1).

Sub-Sistem Sub-Sistem Sub-Sistem Sub-Sistem


§ Pertanian Hulu Budiday Pertanian Pengolahan Hasil Pemasaran Hasil
Pertanian Pertanian
§ Usaha tanaman
§ Industri maka- § Distribusi
§ Industri perbeni- pangan dan
nan § Promosi
han/pembibitan hortikultura
§ Industri minu- § Informasi pasar
tanaman/hewan § Usaha tanaman
§ Intelijen pasar
§ Industri agro- perkebunan 8 man
§ Industri rokok § Kebijakan per-
kimia § Usaha
§ Industri barang dagangan
§ Industri agro- peternakan
Gambar 1. Lingkup Pengembangan Sistem dan Usaha Agribisnis

Selain intensif dan ekstensif, hubungan langsung itu juga akan lebih
menekankan pada spesifikasi penanganan sehingga dapat membantu
perencanaan yang seimbang. Dengan pengembangan agroindustri yang
merupakan bagian dari rantai agribisnis akan dicapai nilai tambah yang berdampak
positif terhadap penerimaan pendapatan petani yang mengadopsinya.
Di sisi lain, agroindustri merupakan usaha meningkatkan efisiensi sektor
pertanian hingga menjadi kegiatan yang sangat produktif melalui proses
modernisasi pertanian. Melalui modernisasi di sektor agroindustri dalam skala
nasional penerimaan nilai tambah dapat ditingkatkan sehingga pendapatan ekspor
akan lebih banyak lagi (CPO diolah menjadi super olein/bio diesel dan bahan baku
kosmetika serta obat-obatan/beta karoten; karet menjadi ban kapal terbang atau
ban radial bermutu tinggi; biji coklat menjadi makanan olahan; teh menjadi
katekin/obat kanker; dll)
Besarnya linkage dari berkembangnya sektor agribisnis ini terhadap sektor-
sektor ekonomi lainnya dapat diindikasikan dari multiplier effect yang ditimbulkan
dari pengembangan agroindustri meliputi semua industri dari hulu sampai pada
industri hilir. Hal ini disebabkan karena karakteristik agroindustri dalam agribisnis
memiliki kelebihan dibandingkan dengan industri industri lainnya lainnya (misalnya
otomotif, elektonika dan industri dirgantara), yaitu:

9
(1) Memiliki keterkaitan yang kuat, baik dengan industri hulunya maupun dengan
ke industri hilirnya,
(2) Menggunakan sumberdaya alam yang ada dan dapat diperbarui serta lebih
banyak tenaga kerja, baik yang berpendidikan maupun yang tidak dapat
dilibatkan. Hal ini menjadi penting dalam kerangka pelestarian sumberdaya
alam dan daya dukung lingkungan terhadap kehidupan. Penggunaan
sumberdaya yang dapat diperbarui menunjukkan bahwa agroindustri dapat
dikembangkan dalam jangka panjang dan kapasitas produksinya dapat
ditingkatkan seiring dengan perkembangan teknologi pengelolaan
sumberdaya nya,
(3) Mampu memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif, baik di pasar domestik
maupun di pasar internasional, khususnya pertanian tropika
(4) Dapat menampung tenaga kerja dalam jumlah besar, hal ini telah dibuktikan
setidaknya dalam masa krisis ekonomi tahun 1997 dimana sektor pertanian
mampu menampung tenaga kerja yang terkena pemutusan hubungan kerja
dari sektor industri manufaktur,
Produk agroindustri pada umumnya bersifat cukup elastis, sehingga dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat yang berdampak semakin luasnya pasar,
khususnya pasar domestik.

PRINSIP DAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS

Pengembangan Agribisnis mengimplikasikan perubahan kebijakan di sektor


pertanian. Pertama, produksi sektor pertanian harus lebih berorientasi kepada
permintaan pasar, tidak saja pasar domestik tapi juga pasar internasional. Kedua,
pola pertanian harus mengalami transformasi dari sistem pertanian subsisten yang
berskala kecil dan pemenuhan kebutuhan keluarga ke usahatani dalam skala yang
lebih ekonomis. Hal ini merupakan keharusan, jika produk pertanian harus dijual ke
pasar dan jika sektor pertanian harus menyediakan bahan baku bagi sektor industri.
Bagi negara yang mempunyai potensi yang besar di sektor pertanian dan
memiliki keunggulan komparatif, industrialisasi pertanian hendaknya bersifat
resource based atau agro based . beberapa prinsip pembangunan melalui
pengembangan agribisnis adalah sebagai berikut: (1) agribisnis merupakan suatu
sistem dari kegiatan pra panen, panen, pascapanen dan pemasaran. Sebagai
sistem, kegiatan agribisnis tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, sehingga
saling terkait, (2) berorientasi pasar (market oriented), yaitu menempatkan

10
pendekatan supply-demand sebagai pertimbangan utama, (3) menerapkan konsep
pembangunan yang berkesinambungan (sustainable development), yaitu dengan
memperhitungkan kesinambungan supply, demand dan produksi jangka panjang,
(4) keterkaitan sistem produksi dan pendukung perlu dijaga dan diseimbangkan,
seperti: (a) penyediaan input produksi (benih, pupuk, pestisida, tenaga kerja), (b)
kredit perbankan, (c) unit-unit industri pengolahan, (d) lembaga pemasaran dan (e)
lembaga penelitian dan pengembangan untuk menciptakan dan mengembangkan
teknologi usahatani yang mutakhir, (5) dukungan system informasi, adanya data
yang akurat dan mudah didapat setiap waktu mengenai produksi, permintaan dan
harga.
Di dalam struktur perekonomian Indonesia, sektor agribisnis mempunyai
spektrum dan cakupan yang sangat luas (mega sektor). Pada sisi pemerintah hal
ini mencakup hampir seluruh kepentingan departemen (pemerintah pusat) dan
pemerintahan di daerah hingga tingkat kecamatan. Sedangkan dari sisi usahatani,
agribisnis dapat dikelola oleh keluarga dengan sumberdaya yang sangat terbatas,
sampai dengan tingkatan perusahaan yang bersifat multi-nasional yang wilayah
kerjanya menembus batas antar negara (masing-masing unit bisnis dapat saling
hidup berdampingan dan saling menguntungkan)
Luasnya spektrum pengembangan agribisnis tersebut menghendaki
perencanaan yang seksama dalam melakukan pilihan seperti mampu
memanfaatkan semua sumberdaya potensial secara optimal, mampu mengatasi
segala hambatan dan tantangan yang dihadapi, mampu menyesuaikan diri dalam
pola dan struktur produksi terhadap perubahan baik teknologi maupun permintaan,
serta mampu berperan positif di dalam pembangunan wilayah maupun nasional.
Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam
perekonomian nasional Indonesia. Sektor agribisnis menyerap lebih dari 75 persen
angkatan kerja nasional termasuk di dalamnya 21,3 juta unit usaha skala kecil
berupa usaha rumah tangga pertanian dan apabila seluruh anggota rumah tangga
diperhitungkan, maka sekitar 80 ersen dari jumlah penduduk nasional
menggantungkan hidupnya pada sektor agribisnis. Peranan sektor agribisnis yang
demikian besar dalam perekonomian nasional memiliki implikasi penting dalam
pembangunan ekonomi nasional ke depan (Saragih, 1997).
Namun demikian sektor agribisnis di Indonesia masih menghadapi beberapa
tantangan yang perlu segera di atasi. Pertama, tingkat pendapatan petani yang
masih cukup rendah, baik secara absolut maupun secara relatif terhadap tingkat
pendapatan di sektor non pertanian, yaitu dengan melihatnya dari segi term of trade

11
industri pertanian yang merosot. Rendahnya tingkat pendapatan akan menciptakan
demand trap, dimana industrialisasi akan terhambat oleh daya beli masyarakat yang
rendah ada konsumen yang jumlahnya besar.
Kedua, stagnasi pertanian, jika pembangunan pertanian masih berkisar
pada sektor tanaman pangan dan on farm agribisnis. Dengan demikian, pertanian
harus dikembangkan tidak saja dengan diversifikasi (komoditas yang lebih
menguntungkan), tetapi juga dengan menciptakan nilai tambah terhadap produk-
produk pertanian (pengembangan ke hulu dan hilir pertanian) .
Ada beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan untuk memposisikan
agribisnis sebagai andalan pembangunan pertanian dan pedesaan. Pertama,
kegiatan agribisnis harus dipandang sebagai satu jaringan kegiatan ekonomi utuh,
tidak tersekat-sekat, sehingga responsiv terhadap dinamika pasar, teknologi dan
permodalan. Dengan cara pandang demikian, penghapusan struktur agribisnis yang
dualistik dapat lebih terjamin dan keandalannya sebagai penggerak perekonomian
nasional dapat lebih ditonjolkan.
Kedua, pengembangan agribisnis yang disesuaikan dengan keunikan lokasi,
sehingga hubungan kemajuan antar lokasi pengembangan agribisnis lebih bersifat
saling melengkapi (komplementer). Selain itu, langkah ini memungkinkan
keunggulan kekhasan sumberdaya setempat dijadikan penggerak agribisnis yang
khas pula. Ketiga, pengelolaan agribisnis secara konsolidatif (baik vertical maupun
horizontal), dengan pola manajemen tunggal berdasarkan satu jenis output, yaitu
produk akhir.
Dengan cara demikian, asas efisiensi atau MES (Minimum Economic of
scale) dapat diterapkan termasuk dalam kaitannya dengan penggunaan teknologi
dan penyehatan ekosistem setempat. Keempat, pengembangan (pola) kemitraan
agribisnis konsolidatif yang diarahkan untuk menggantikan pola kemitraan yang
berciri patronase. Dengan pola ini tidak dikenal lagi eksploitasi antar pelaku
agribisnis, dalam satu jaringan kegiatan agribisnis (berdasar output akhir), baik
secara terselubung, legal dan terbuka.
Beberapa ciri dari pola ini adalah: (a) Pelaksana terbesar kegiatan agribisnis
adalah petani kecil dan buruh tani, (b) kegiatan agribisnis bersifat integrative,
sehingga friksi antar kegiatan agribisnis dapat dieliminir, (c) output suatu kegiatan
agribisnis bersifat stabil, bernilai tambah tinggi dan berstandar mutu tinggi, (d)
spesialisasi kerja dan rasionalisasi ekonomi dapat diharmonisasikan dengan cara
pengelolaan agribisnis yang kooperatif, dengan koperasi sebagai lembaga ekonomi

12
andalannya, dan (e) mudah diintegrasikan dengan pengembangan perekonomian
pedesaan.

KEBIJAKAN STRATEGIS PENGEMBANGAN AGRIBISNIS

Saat ini telah dikembangkan terwujudnya masyarakat yang sejahtera


khususnya petani melalui pembangunan system dan usaha-usaha agribisnis yang
berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan, dan desentralistis.
Pembangunan system agribisnis merupakan pembangunan yang
mengintegrasikan pembangunan sector pertanian (dalam arti luas) dengan
pembangunan industri dan jasa terkait dalam suatu cluster industry yan mencakup
lima sub sistem, yaitu agribisnis hulu , usaha tani / ternak, pengolahan, pemasaran,
dan sub sistem jasa. Sebagai suatu sistem kelima subsistem agribisnis beserta
usaha-usaha di dalamnya harus berkembang secara simulatan dan harmonis
(Gambar 1).
Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang direncanakan dari
suatu keadaan kepada keadaan yang lebih baik dari sebelumnya. Dalam kaitan ini ,
pembangunan system dan usaha agribisnis diarahkan untuk mendayagunakan
keunggulan komparatif (comparative advantage) Indonesia menjadi keunggulan
bersaing (Competitive advantage) yang dapat memberikan kesejahteraan pada
sebanyak-banyaknya (sebagian besar) rakyat Indonesia dan berkelanjutan serta
tidak rentan pada berbegai gejolak perokonomian dunia.
Pelaku utama agribisnis adalah petani dan dunia usaha meliputi usaha
rumah tangga, usaha kelompok, koperasi, usaha menengah, maupun usaha besar.
Pelaku agribisnis tersebut, merancang, merekayasa, dan melakukan kegiatan
agribisnis itu sendiri mulai dari identifikasi pasar yang kemudian diterjemahkan ke
dalam proses produksi. Pengembangan perusahaan agribisnis diterjemahkan
sebagtai upaya meningkatkan kuantitas, kualitas management dan kemampuan
untuk melakukan usaha secara mandiri, Dan memanfaatkan peluang pasar.
Pemerintah berkewajiban memberikan fasilitas dan mendorong berkembangnya
usaha-usaha agribisnis tersebut dalam suasana yang harmonis dan tidak terlibat
langsung dalam bisnis. Untuk itu sistem dan usaha agribisnis yang dikembangkan
harus berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan desentralistis yang dicirikan:
Berdaya saing, dicirikan antara lain berorientasi pasar, meningkatnya
pangsa pasar khususnya pasar internasional dan mengandalkan produktivitas dan
nilai tambah melalui pemanfaatan modal (capital driven), pemanfaatan teknologi

13
(innovation driven) serta kreativitas sumber daya manusia terdidik (self driven), dan
bukan lagi mengandalkan kelimpahan sumber daya alam dan tenaga kerja tidak
terdidik (factor driven).
Berkerakyatan, dicirikan antara lain dengan mendayagunakan sumber daya
yang dimiliki atau dikuasasi rakyat banyak, menjadikan organissi ekonomi dan
jaringan organisasi ekonomi rakyat banyak menjadi pealku utama pembangunan
agribisnis sehingga nilai tambah yang tercipta dinikmati secara nyata oleh rakyat
banyak.
Berkelanjutan, dicirikan antara lain memiliki kemampuan merespons
perubahan pasat yang cepat dan efisien, berorientasi kepentingan jangka panjang,
inovasi teknologi yang terus menerus, menggunkan teknologi tamah lingkungan,
dan mengupayakan pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Desentralistis, dicirikan antara lain berbasis pada pendayagunaan
keragaman sumberdaya local, berkembangnya pelaku ekonomi local,
memampukan pemerintah daerah sebagai pengelola utama pembangunan
agribisnis, dan meningkatnya bagian nilai tambah yang dinikmati rakyat lokal.
Agar tercapai pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya
saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan lebih terdesentralistis maka diperlukan
berbagai kebijakan yaitu :

(1) Kebijakan Ekonomi Makro


Kebijakan ekonomi makro yang diperlukan di sini adalah upaya menciptakan
iklim ekonomi yang kondusif bagi pembangunan agribisnis secara keseluruhan.
Kebijakan dilakukan melaui instrumen makro ekonomi, baik moneter maupun fiscal.
Instrumen moneter seperti suku bunga, uang beredar dan nilai tukar dapat dijadikan
alat kebijakan dalam merangsang berkembangnya sistem dan usaha agribisnis
yang berkerakyatan, berdaya saing dan berkelanjutan serta lebih desentralistis.
Dengan menetapkan suku bunga kreditt yang kompetitif serta perlakuan
kredit khusus bagi investasi dan atau modal kerja unit usaha yang bergerak dalam
bidang agribisnis, maka pertumbuhan unit usaha sektor agribisnis diharapkan makin
cepat. Hal lain yang perlu mendapat perhatian dalam kebijakan suku bunga dan
perkreditan adalah tercapainya keseimbangan alokasi kredit pada subsistem
agribisnis hulu, subsistem on farm dan sub system agribisnis hilir sedemikian rupa,
sehingga ketiga subsistem tersebut berkembang secara seimbang. Harus dirancang
kebijakan moneter untuk memudahkan tersediannya modal bagi usaha-usaha
agribisnis.

14
Dua instrumen penting kebijakan fiskal yang dapat dilakukan pemerintah
adalah alokasi pengeluaran pemerintah untuk pembangunan dan perlakuan pajak.
Kebijakan penerapan pajak dalam rangka perolehan dana pembangunan harus
dilakukan secara bijak agar mampu merangsang dunia usaha yang bergerak dalam
sektor agribisnis. Demikian pula pembelanjaan anggaran pembangunan (investasi
pemerintah) harus memberikan bobot yang lebih besar terhadap pembangunan
sektor riil yang terkait langsung dengan pembangunan sistem dan usaha agribisnis.
Alokasi investasi pemerintah (jika masih ada) perlu memperhatikan tahap-
tahap pembangunan sistem agribisnis. Bila pada suatu daerah misalnya Kawasan
Timur Indonesia dimana tahap perkembangan sistem dan usaha agribisnis masih
berada pada tahap awal (natural resources and unskill labor based), investasi
pemerintah perlu difokuskan pada investasi infrastruktur seperti jalan, pelabuhan,
irigasi dan pada investasi pembinaan kelembagaan lokal dan penyuluhan. Alokasi
anggaran pemerintah untuk membangun infrastruktur publik tersebut di daerah
akan merangsang masuknya investasi swasta khususnya investasi skala kecil dan
menengah nasional tidak terpaku pada investasi besar termasuk PMA.
Pada daerah dimana tahap perkembangan agribisnisnya sudah memasuki
tahap kedua (capital and skill labor based), investasi pemerintah perlu diprioritaskan
pada pengembangan riset yang menghasilkan teknologi yang tepat guna (tidak
penting apakah high tech atau low tech.) untuk didiseminasikan sehingga dapat
diadopsi dan menjadi sumber pertumbuhan baru bagi agribisnis di daerah tersebut
untuk memasuki tahap pembangunan sistem agribisnis yang digerakkan oleh
investasi/teknologi.
Selanjutnya kebijakan perpajakan perlu diarahkan untuk mempercepat
transformasi keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif. Oleh karena
itu, kebijakan perpajakan juga perlu memperhatikan karakteristik dan tahap-tahap
pembangunan sistem agribisnis. Pembebasan pajak atau keringan pajak sejak
dimulai investasi sampai mencapai titik impas (gestation periode) bagi perusahaan
yang mengembankan industri hilir dan industri hulu agribisnis, juga dapat menjadi
insentif bagi perusahaan untuk mengembangkan agribisnis.
Pengenaan PPN dan bea masuk yang saat ini sudah menuju arah yang
tepat (pembebasan PPN produk pertanian rakyat dan pengenaan bea masuk untuk
impor produk pertanian tertentu) perlu lebih diperhatikan disesuaikan dengan
kebutuhan dan kepentingan petani Indonesia dan perlakuan yang adil bagi petani
Indonesia tanpa mengabaikan kepentingan konsumen.

15
Kebijakan fiskal di atas harus memperhatikan tahapan-tahapan
pembangunan agribisnis, seperti untuk daerah yang baru berkembang (natural
resources and unskilled labor based) difokuskan pada investasi infrastruktur,
sedangkan pada daerah yang masuk pada tahap capital and skill labor based
investasi diarahkan pada pengembangan teknologi.
Sedangkan kebijakan moneter meliputi pengembangan sistem perkreditan
dengan bunga murah di bawah bunga pasar, fleksibel, dan prosedur yang
sederhana. Jika dilihat dari alokasi dana APBN/APBD, penyaluran kredit
perbankan, jumlah proyek investasi yang disetujui pemerintah, terlihat bahwa
sesungguhnya alokasi dana untuk sektor pertanian belum seimbang dengan beban
yang harus ditanggung sektor pertanian, terutama dalam penyediaan kesempatan
kerja, pemenuhan kecukupan pangan bagi sekitar 200 juta penduduk dan
pengentasan kemiskinan. Alokasi dana APBN untuk sektor pertanian dan
kehutanan selama periode 1991-2002 tidak banyak mengalami perubahan yaitu
berkisar 3,59 – 9,33 % dari total APBN, jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan
anggaran untuk sektor industri, pertambangan, dan energi yang rata-rata berkisar
11,76 %. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB pada tahun 2001 sebesar 17 %
dengan kemampuan penyediaan kesempatan kerja sebesar 43,76 %. Hal ini
menunjukkan bahwa sektor pertanian masih belum mendapatkan dukungan
kebijakan fiskal yang memadai dari pemerintah. Kondisi tersebut makin diperburuk
dengan masih rendahnya kepercayaan penyedia dana (investor, bank) untuk
menyediakan kredit bagi proyek-proyek pertanian. Pada periode 1997 – 2001,
proporsi kredit sektor pertanian rata-rata hanya 7,8 %, sedangkan untuk
perindustrian 35,8 %, dan perdagangan sebesar 26,4 % dari jumlah kredit yang
ada. Jumlah kredit untuk sektor pertanian turun 10,99 % (Tabel 1).
Belum keberpihakan penyandang dana untuk berinvestasi di sektor
pertanian ini juga terlihat dari besarnya penanaman modal dari dalam dan luar
negeri yang disetujui oleh pemerintah. Investor masih melihat sektor sekunder
(industri) sebagai ladang yang menarik untuk berinvestasi dibanding sektor primer.
Hanya sekitar 8,43 % dana yang ditanam di sektor pertanian oleh PMDN dan 4,51
% oleh PMA (Tabel 2).

Tabel 1 Perkembangan Kredit Bank Umum untuk Sektor Pembangunan Indonesia,


tahun 1997– 2001 (Miliar rupiah)

Pertum-
Sektor
1997 1998 1999 2000 2001 buhan
Pembangunan
(%)

16
Pertanian 26002 39308 23777 19503 21592 -10,99
Pertambangan 5316 5909 3697 6680 6162 4,44
Perindustrian 111679 171668 84259 106782 119950 -4,07
Perdagangan 82264 96364 43288 44099 46882 -19,66
Jasa-Jasa 113569 139124 43161 44316 49175 -28,71
Lain-lain 39304 35053 26951 47620 57170 11,72
Jumlah 378134 487426 225133 269000 300931 -11,23
Sumber: Laporan tahunan Bank Indonesia, Jakarta

17
Tabel 2. Perkembangan Persetujuan PMDN dan PMA menurut sektor
pembangunan, 1997-2002
Sektor 1997 1998 1999 2000 2001 2002
PMDN (miliar Rp)
• Primer 16438 7434 2780 5326 2517 2257
• Sekunder 77280 42170 46750 84070 44387 15851
• Tersier 26159 8371 4011 4502 11912 7198

Jumlah PMDN 119877 57975 53541 93898 58816 25306


% Primer/Total 13,71 12,82 5,19 5,67 4,28 8,92
PMA ( juta $ )
• Primer 627 1014 654 5951 512 508
• Sekunder 23021 9529 6907 0760 5148 3253
• Tersier 10140 4107 3323 4721 9395 6028

Jumlah PMA 33788 14650 10884 16076 15055 9789


% Primer/Total 1,86 6,92 6,01 3,70 3,40 5,19
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal, Jakarta.

Berkaitan dengan masih rendahnya gairah dunia usaha untuk berinvestasi di


sektor pertanian, maka dibutuhkan kebijakan promosi dan pengembangan sumber
daya untuk meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitif, pemulihan
stabilitas merupakan langkah yang tepat bagi pemerintah dalam rangka
merangsang investasi, aliran dana ke wilayah desa makin banyak, dan
mempercepat tumbuhnya sistem dan usaha agribisnis.

(2) Kebijakan Pengembangan Industri (Industrial Policy).


Kebijakan pembangunan sektor industri seyogyanya lebih ditujukan untuk
menjadikan sektor industri sebagai tulang punggung kegiatan sistem agribisnis dan
usaha-usaha agribisnis, khususnya untuk memperkuat bagian hulu danhilir dari
sistem agribisnis. Dalam kaitan ini, pembangunan sektor industri harus lebih
diarahkan untuk pengembangan agroindustri yang menunjang pengembangan
komoditas pertanian andalan utama sebagian besar petani dan mampu memenuhi
standar mutu permintaan pasar. Kebijakan untuk memfokuskan pilihan
pembangunan sektor industri terhadap agroindustri merupakan kebijakan mendasar
yang membutuhkan kearifan dari para penentu kebijakan demi sinkronisasi
pembangunan secara nasional.
Untuk mentransformasi keunggulan komparatif menjadi keunggulan
bersaing, pembangunan sistem agribisnis ke depan (disamping mengembangkan
berbagai komoditas yang memiliki keunggulan komparatif) perlu didorong untuk
mempercepat pendalaman (deepening) struktur industri, baik ke hilir (down stream)

16
maupun ke hulu (up stream). Karakteristik khusus produk pertanian primer yang
berbeda dari produk non pertanian adalah sifatnya yang musah rusak (perishable),
beragam kualitas dan kuantitas (variability), bulky, dengan resiko fluktuasi harga
yang cukup tinggi.
Untuk meningkatkan daya saing produk-produk pertanian dengan sifat-sifat
di atas, diperlukan pengembangan industri hilir maupun hulunya. Lebih jauh lagi,
pendalaman struktur industri agribisnis diamksudkan untuk memperkuat dayasaing.
Jika hanya mengandalkan komoditas pertanian primer, Indonesia akan cenderung
senantiasa berperan sebagai penerima harga (price taker) dalam pasar
internasional.
Pendalaman struktur industri agribisnis ke hilir dilakukan dengan
mengembangkan industri-industri yang mengolah hasil pertanian primer menjadi
produk olahan, baik produk antara (intermediate product), produk semi akhir (semi
finished product) dan terutama produk akhir (final product). Agribisnis berbasis
minyak sawit perlu dilakukan pendalaman industri ke hilir dengan mengembangkan
berbagai jenis industri oleo pangan (food oleo) dan berbagai jenis industri oleo
kimia. Agribisnis berbasis karet alam perlu dilakukan pendalaman industri hilir
dengan mengembangkan industri pengolahan karet seperti industri ban otomotif
dan industri barang-barang dari karet.
Pendalaman sruktur industri ke hulu dilakukan dengan mempercepat
pengembangan industri pembibitan/perbenihan seluruh komoditas agribisnis
potensial Indonesia, pengembangan industri agro otomotif yang menghasilkan
mesin dan peralatan yang diperlukan baik pada subsistem on farm agribisnis,
amupun pada subsistem agribisnis hilir (industri pengolahan), serta pengembangan
industri agrokimia, seperti industri pupuk, industri pestisida dan industri obat-
obatan/vaksin hewan.
Pengembangan industri perbenihan/pembibitan ini sangat mendesak
sebagai sumber pertumbuhan produktivitas usahatani. Saat ini, industri perbenihan/
pembibitan merupakan salah satu mata rantai sistem agribisnis yang lemah. Dalam
pada itu, dengan keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia merupakan modal
dasar yang dapat didayagunakan untuk membangun suatu industri pembenihan/
pembibitan di Indonesia.

(3) Kebijakan Perdagangan dan Kerjasama Internasional (Trade and


International Cooperation Policy)
17
Perdagangan/pemasaran komoditas agribisnis biasanya sudah merupakan
kegiatan yang terintegrasi dengan industri pengolahan (agro-industri). Tetapi ada
kecenderungan pandangan yang demikian menjadikan kegiatan perdagangan/
pemasaran hanya merupakan bagian lanjutan kegiatan setelah produk dihasilkan.
Padahal kegiatan perdagangan/pemasaran memiliki banyak fungsi selain fungsi
menjual barang.
Fungsi informasi mengenai spesifikasi dan jumlah produk yang diminta
konsumen, harga dan kecenderungan perubahan jenis serta selera konsumen
merupakan beberapa contoh fungsi pemasaran yang informasinya dibutuhkan
dalam pengembangan sistem dan usaha agribisnis. Mengingat hingga saat ini
masih banyak dijumpai adanya berbagai kelemahan dan distorsi dalam
perdagangan/pemasaran di dalam negeri, maka diperlukan berbagai kebijakan
yang dapat mengefektifkan fungsi-fungsi perdagangan/pemasaran untuk
memperlancar arus barang dan jasa.
Mekanisme transparansi pembentukan harga (price discovery) merupakan
salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi
pemasaran. Bentuk-bentuk pasar seperti bursa komoditi dan pasar lelang
merupakan bentuk pasar yang perlu dikembangkan. Sudah tentu peningkatan
kemampuan nilai tukar petani harusmenjadi prioritas perhatian dalam kebijakan
perdagangan ini.
Posisi Indonesia dalam perdagangan global haruslah tetap ditempatkan
dalam kerangka pembangunan ekonomi Indonesia. Instrumen-instrumen
perdagangan seperti bea masuk danpajak ekspor harus dirancang dalam kerangka
memperkuat strutkur industri termasuk agroindustri dan merangsang tumbuhnya
usaha-usaha agribisnis nasional. Harus ada kebijakan tarif untuk memberikan
perlindungan yang wajar bagi produk-produk agribisnis lokal. Dalam konteks
kerjasama seperti AFTA, APEC kepentingan ekonomi nasional harus menjadi fokus
yang perlu diposisikan.
Untuk mendukung pengembangan agribisnis, kantor-kantor perwakilan
Indonesia di negara-negara lain (kantor duta besar dan konsulat) perlu
didayagunakan untuk mendukung pembangunan agribisnis di Indonesia selain
kepentingan politik luar negeri. Kantor-kantor perwakilan tersebut harus menjadi
pusat promosi produk-produk agribisnis Indonesia di negara tersebut. Dengan
demikian, kantor-kantor perwakilan Indonesia di luar negeri dapat berfungsi sebagai

18
entry point usaha-usaha agribisnis Indonesia untuk memasuki pasar negaralain.
Selain itu, kantor perwakilan kita perlu secara proaktif mengembangkan dan
memanfaatkan “market intelegance” diantaranya melakukan kegiatan pemantauan
peluang-peluang pasar produk agribisnis yang berprospek dan mencari
perusahaan-perusahaan yang dapat diajak menjadi partner pengusaha agribisnis
Indonesia.
Selain kebijakan domestik, kebijakan negara lain yang mengekspor produk
agribisnisnya ke Indonesia perlu diperhatikan dalam manajemen perdagangan
internasional. Produk-produk agribisnis yang menerapkan dumping, sehingga
seakan-akan kompetitif di Indonesia perlu memperoleh perhatian. Oleh karena itu
undang-undang atau peraturan anti-dumping dan UU perdagangan yang adil dalam
mengantisipasi perdagangan internasional dan domestik yang semakin canggih di
Indonesia perlu dibuat sesegera mungkin.
Globalisasi ekonomi, yang diwarnai oleh berbagai perubahan yang cepat
telah menyebabkan perubahan mendasar pada dinamika sosial, politik, ekonomi,
tidak terkecuali pada tata hubungan perdagangan internasional. Tuntutan
terciptanya pasar bebas yang lebih adil dengan menghilangkan/mengurangi bentuk-
bentuk proteksi/hambatan perdagangan antar negara, telah melahirkan organisasi-
organisasi ekonomi baik tingkat internasional (WTO) dan regional (NAFTA, AFTA, EU,
APEC) untuk itu Pemerintah Indonesia harus siap dalam memasuki pasar bebas.
Beberapa langkah yang harus ditempuh berupa : (1) kebijakan anti dumping
dan subsidi (rules of competition); (2) Pengembangan akses pasar (market acces);
(3) dan memanfaatkan isu-isu yang berkaitan dengan Non Trade concerns
(multifungsi lahan pertanian, pengentasan kemiskinan,dll) dan development box
(fasiliatas Special and Differential Treatment, Special Safe guard) sebagai basis
negosiasi dalam perdagangan internasional.
Kebijakan tarif dan subsidi diperlukan untuk mencegah membanjirnya
produk impor, dan melindungi produsen dalam negeri sebelum sistem produksi
nasional mampu bersaing secara efisien. Hal ini dipandang penting mengingat
sebagian besar produk-produk pertanian nasional mempunyai daya saing yang
rendah, baik dari sistem produksi, mutu maupun sistem pemasarannya.
Sampai saat ini kebijakan perdagangan dan harga nasional masih bias terhadap
sektor industri. Kebijakan perdagangan dan harga merupakan modus yang paling
umum dilakukan untuk mengendalikan arah pembangunan ekonomi. Intensitas
kebijakan perdagangan dan harga dapat diukur secara kuantitatif dengan Tingkat
19
Proteksi Efektif (NPR = Nominal Rate of Protection) dan Tingkat Proteksi Efektif (EPR =
Effective Rate of Protection). Dari tabel 3, dan mengingat liberalisasi perdagangan baru
dilaksanakan secara bertahap sejak awal dekade 1980-an, dapat disimpulkan bahwa
pemerintah jauh lebih melindungi sektor industri, khususnya industri non-migas,
sebagaimana ditunjukan oleh jauh lebih tingginya NPR dan lebih- lebih EPR sektor
industri pengolahan daripada sektor pertanian pada tahun 1997. Memang pada tahun
1995 dan tahun 2003 (perkiraan) NPR sektor industri lebih rendah daripada sektor
pertanian (tidak termasuk kehutanan dan perikanan), namun diukur dengan EPR
proteksi netto sektor industri tetap jauh lebih tinggi daripada sektor pertanian. Bahkan,
sektor kehutanan dan perikanan mengalami diproteksi yang cenderung makin berat. Hal
ini menunjukan bahwa kebijakan pemerintah bias memberikan insentif yang lebih besar
bagi sektor industri non-migas.

Tabel 3. Tingkat Proteksi Menurut Sektor, 1987-2003 (%).

NPR EPR
Sektor 1987 1995 2003 1987 1995 2003
Pertanian 14 8 4 9 4 5
Kehutanan -22 -24 -28 -36 -34 -37
Pertambangan 0 1 1 -12 -6 -3
Industri non migas 21 6 3 66 16 11
Industri total 16 5 1 32 11 9

Sumber : Fane and Condon (1996), perkiraan untuk tahyn 2003 berdasarkan paket liberalisasi
Mei 1995

Gambaran yang lebih spesifik tentang bias kebijakan perdagangan dan harga
pemerintah untuk mendorong pembangunan sektor industri dapat dilihat berdasarkan
indikator tingkat pajak relatif netto (Garcia, 1997). Seperti yang ditunjukan pada Tabel 4
tingkat pajak netto pada sektor pertanian relatif terhadap sektor industri selalu bertanda
negatif dan secara absolut sangat besar. Jika dilihat menurut kategori tampak bahwa
tingkat pajak relatif pada produk ekspor pertanian jauh lebih tinggi daripada produk
impor pertanian lebih-lebih pada periode akhir ini (1995). Ini menunjukan bahwa
kebijakan pemerintah lebih bias anti produk ekspor pertanian. Menarik pula diperhatikan
bahwa subsektor tanaman pangan yang selama ini “terkesan” lebih dilindungi
pemerintah ternyata juga menderita bias kebijakan industri. Data ini menunjukkan
walaupun mungkin intervensi langsung pemerintah pada bidang perdagangan dan
kebijakan harga terlihat melindungi sektor pertanian, khususnya subsektor tanaman
pangan, tetapi adanya efek intervensi tidak langsung yang bias anti sektor pertanian

20
telah membuat secara keseluruhan kebijakan pemerintah menekan pembangunan
sektor pertanian.

Tabel 4 . Tingkat Pajak Netto Sektor Pertanian Relatif Terhadap Sektor Industri dan
Proteksi Efektif Menurut Subsektor, 1987-1995.

Pajak Netto Relatif EPR


Sektor 1987 1995 1987 1995
Pertanian (total) -48 -32 20 15
Tanaman pangan -44 -25 28 15
Perkebunan -53 -35 8 -1
Peternakan -41 -23 35 17
Kehutanan -65 -69 -20 -53
Perikanan -50 -17 -16 27
Produk ekspor -58 -55 -3 -31
Produk impor -43 -24 -31 17

Sumber : Garcia (1997)

Dampak penurunan tarif terhadap produk pertanian sangat besar.


Rendahnya tarif akan mendorong peningkatan proses pertukaran komoditas antara
Indonesia dengan negara lain. Dengan makin rendahnya tarif menyebabkan harga
yang terbentuk di dalam negeri makin dekat dengan biaya imbangan (opportunity
cost) internasional sehingga harga akan lebih banyak berperan dalam efisiensi
alokasi sumberdaya domestik. Konsekuensi dari kondisi yang demikian adalah
komoditas yang mempunyai keunggulan kompetitif atau daya saing relatif rendah
dibanding negara lain akan tersisih baik di pasar domestik maupun di pasar
internasional. Ini merupakan ancaman bagi komoditas pertanian mengingat daya
saing produk masih rendah.
Pengenaan PPN pada produk olahan hasil pertanian juga tidak sepenuhnya
mendukung kebijakan diversifikasi ekspor produk pertanian yang diarahkan pada
produk olahan hasil pertanian, karena menjadi kurang kompetitif di pasar
internasional. Kebijakan ini akan mendorong pengusaha agribisnis mengekspor
produk non olahan/raw material. Untuk itu pemerintah Indonesia dalam rangka
melindungi produk dalam negeri walaupun bertentangan dengan ratifikasi piagam
WTO masih tetap mengenakan tarif pada produk-produk tertentu seperti beras,
CPO dan gula. Sedangkan non tarif barier juga dikenakan khususnya bagi impor
produk peternakan melalui issue daging halal, penyakit mulut dan kuku (PMK),
Anthrax, dan Hog Cholera.

21
Selain pengenaan tarif, kebijakan subsidi sarana produksi atau transfer
pendapatan masih diperlukan pemerintah untuk membendung arus barang impor dan
melindungi produsen dalam negeri. Meskipun dalam aturan WTO subsidi ekspor tidak
diperbolehkan (kecuali untuk produk tertentu), namun tetap dilakukan juga oleh negara-
negara maju. Sebagai gambaran, Uni Eropa menyediakan subsidi ekspor sebesar US $
142,2 milyar, Amerika serikat dan Kanada memberi subsidi US$ 101,5 milyar, Jepang
memberikan subsidi sebesar US$ 56,8 milyar (Pranolo (2001) dalam Rurastra (2002)).
Pemerintah Amerika Serikat bahkan memberikan subsidi kepada petani gandum
sebesar 25 kali pendapatan rata-rata negara berkembang (Gibson, et al. Dalam
Rurastra (2002)).
Selain tarif dan non tariff concerns, rendahnya daya saing merupakan
permasalahan utama dalam pengembangan akses pasar produk pertanian Indonesia.
Hal ini menyebabkan lemahnya posisi tawar menawar komoditas pertanian di pasar.
Berdasarkan kenyataan tersebut maka usaha yang dapat dilakukan pemerintah antara
lain adalah: (1) Pengembangan daya saing meliputi identifikasi potensi pengembangan
dan pasar, perbaikan proses produksi, perbaikan mutu, diversifikasi produk,
manajemen, pemasaran dll; (2) Mengefektifkan kerjasama-kerjasama ekonomi (AFTA,
APEC) untuk memperkuat posisi tawar menawar; dan (3) Memanfaatkan aspek non
tarif untuk basis negosiasi komoditas pertanian.

(4) Kebijakan Lahan dan Pengembangan Infrastruktur


Upaya peningkatan kesejahteraan petani kecil hanya dapat dilakukan
melalui peningkatan akses mereka kepada aset produktif berupa lahan, ternak serta
kesempatan kerja di wilayah pedesaan. Lahan merupakan faktor produksi yang paling
langka khususnya di Jawa. Luas penguasaan lahan oleh petani sangat menentukan
volume produksi dan tingkat pendapatan rumah tangga petani. Hasil Sensus Pertanian
(1993) menunjukkan kondisi yang mempri-hatinkan dimana lebih dari 10,5 juta (53%)
rumah tangga petani menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar, dan lebih dari 6 juta
(30%) menguasai lahan kurang dari 0,25 hektar. Hasil penelitian PATANAS (2000)
tentang penguasaan lahan lebih memprihatinkan lagi utamanya lahan sawah (Tabel 5).
Di Jawa, sekitar 88,00 persen rumah tangga petani menguasai lahan sawah kurang dari
0,5 hektar dan sekitar 76,00 persen menguasai lahan sawah kurang dari 0,25 hektar.
Namun demikian kondisi pengusaan lahan sawah di Luar Jawa masih lebih baik
dibanding di Jawa (Tabel 6).

22
Tabel 5. Persentase Rumah Tangga Berdasarkan Luas Kepemilikan dan Garapan
Lahan Sawah dan Lahan Kering di Jawa, 1999

Lahan sawah Lahan kering


Golongan luas Rataan pe- Rataan pe-
Proporsi Proporsi
lahan (ha) nguasaan lahan nguasaan lahan
RT (%) RT (%)
(ha/RT) (ha/RT)
Landless 49,54 0,264 24,86 0,389
0,001 - 0,250 26,46 0,216 26,49 0,572
0,251 - 0,500 12,00 0,481 20,54 0,955
0,501 - 0,750 5,53 1,074 12,44 1,166
0,751 - 1,000 2,46 1,046 6,49 2,043
1,001 - 1,500 2,77 1,494 4,32 3,020
1,501 - 2,000 0,62 2,720 2,16 4,513
2,001 - 3,000 0,62 3,630 1,62 5,480
3,001 - 5,000 - - 1,08 9,650
5,001 - 10,000 - - - -
>10,000 - - - -
Total 100,00 0,411 100,00 1,143
Sumber: Adnyana, 2000

Pemilikan lahan berbeda dengan penguasaan lahan. Petani yang tidak


mempunyai lahan, tetapi mempunyai garapan lahan. Di Jawa petani yang tidak memiliki
lahan, namun menguasai lahan garapan 0,264 ha sawah dan 0,389 ha lahan kering. Di
luar Jawa justru lebih luas yaitu 0,775 ha sawah dan 0,49 lahan kering. Ini
menunjukkan bahwa memang terjadi ketimpangan pemilikan lahan oleh petani.
Dengan kondisi pengusasaan lahan yang sempit dan terjadinya ketimpangan pemilikan
lahan, maka muustahil petani kecil mampu meningkatkan kesejahteraannya apabila
hanya menggantungkan hidupnya pada matapencaharian yang berbasis pada lahan.
Ketimpangan lahan tersebut dapat dipandang sebagai peluang untuk
meningkatkan akses petani kecil lebih besar terhadap lahan melalui redistribusi aset
lahan tersebut. Redistribusi aset lahan tersebut akan berpengaruh positif terhadap
kemampuan petani dalam meningkatkan produktivitas lahan dan peningkatan kualitas
sumberdaya manusia serta bkualitas hidup mereka. Land Reform tersebut akan lebih
efektif apabila diikuti oleh peningkatan akses petani terhadap pembiayaan dan
teknologi. Dengan demikian kebijakan lahan (land reform) tidak cukup memadai dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan petani, tetapi harus diikuti oleh kebijakan Agrarian
Reform yang tidak hanya mencakup land reform tetapi juga mencakup peningkatan
akses petani terhadap teknologi, penguatan kelembagaan petani, pengaturan batas
minimum dan maksimum pemilikan lahan dan lainnya.

23
Tabel 6. Persentase Rumah Tangga Berdasarkan Luas Kepemilikan Garapan Lahan
Sawah dan Lahan Kering di Luar Jawa, 1999.

Lahan sawah Lahan kering


Golongan luas Rataan pe- Rataan penguasaan
Proporsi Proporsi
Lahan (ha) nguasaan lahan lahan
RT (%) RT (%)
(ha/RT) (ha/RT)
Landless 18,73 0,775 11,43 0,490
0,001 - 0,500 24,44 0,747 21,90 0,895
0,501 - 1,000 21,27 1,459 19,37 1,733
1,001 - 1,500 13,97 2,018 13,33 2,529
1,501 - 2,000 7,62 2,726 12,70 3,784
2,001 - 3,000 7,94 2,948 13,02 4,119
3,001 – 5,000 4,76 4,052 5,40 6,080
5,001 – 7,500 0,63 8,800 1,90 5,057
7,501 – 10,000 0,32 10,390 0,95 9,443
10,001 – 15,000 0,32 13,000 - -
>15,000 - - - -
Total 100,00 1,685 100,00 2,456
Sumber: Adnyana, 2000

Keberadaan infrastrutkur tidak hanya dibutuhkan untuk mendukung usaha


agribisnis yang sudah ada, tapi juga merangsang tumbuhnya usaha-usaha baru
yang dibutuhkan dalam pembangunan sistem dan usaha agribisnis. Pengembangan
infrastruktur sebagai bagian dari pelayanan publik akan lebih efektif apabila: (a)
sesuai dengan kebutuhan/kepentingan publik, (b) mampu menunjang
pengembangan usaha yang dilakukan masyarakat banyak, dan (c) mampu
merangsang tumbuhnya usaha-usaha atau investasi baru yang dapat memacu
perkembangan ekonomi wilayah.
Dalam kaitannya dengan pembangunan sistem dan usaha agribisnis, maka
kebijakan pembangunan infrastruktur perlu diarahkan pada infrastruktur yang
dibutuhkan oleh banyak pelaku agribisnis dan mampu merangsang para investor
untuk melakukan usaha agribisnis. Infrastruktur seperti sarana pengairan dan
drainase, jalan, listrik, farm road, pelabuhan (khususnya pelabuhan-pelabuhan
ekspor baru di wilayah timur Indonesia), transportasi dan telekomunikasi merupakan
prasarana yang sangat dibutuhkan dalam pembangunan sistem dan usaha
agribisnis.

(5) Kebijakan Keamanan dan Law Enforcement


Hal terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah membangun kepedulian
sosial (social awareness) seluruh komponen masyarakat untuk bersama-sama

24
mewujudkan keamanan nasional. Keamanan nasional sangat diperlukan untuk
mewujudakan stabilitas politik dan ekonomi, sehingga investasi dan kegiatan
ekonomi masyarakat dapat berjalan dengan baik dan lancar. Salah satu peran serta
masyarakat yang sangat diperlukan adalah secara bersama-sama menanggulangi
kegiatan perdagangan ilegal, khususnya penyelundupan. Indonesia merupakan
negara kepulauan dengan bentangan garis pantai yang sangat panjang (nomor
dua terpanjang di dunia) sehingga akan membutuhkan biaya yang sangat tinggi
apabila kita mengharapkan pemerintah untuk harus melakukan pengawasan
terhadap upaya-upaya kegiatan perdagangan ilegal (penyelundupan).
Membanjirnya beras dan gula serta kedelai impor di dalam negeri beberapa
tahun terakhir disinyalir sebagian besar berasal dari impor ilegal (penyelundupan)
melalui pelabuhan-pelabuhan kecil yang jumlahnya mencapai ribuan di seluruh
Indonesia. Keterbatasan aparat yang dimiliki oleh pemerintah membuat upaya
pengendalian penyelundupan terhadap komoditi pertanian, khususnya beras
menjadi sulit untuk dilaksanakan.
Oleh karena itu, sangat diharapkan peran serta seluruh masyarakat untuk
bersama-sama mengawasi dan mengatasi setiap upaya-upaya penyelundupan
komoditas pertanian. Kegiatan penyelundupan selain merugikan negara (melalui
pendapatan bea masuk impor) juga merugikan petani dalam negeri karena harga
komoditi pertanian menjadi tertekan.
Pengembangan tanggung jawab keamanan dan stabilitas social, politik
serta ekonomi tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah khususnya aparat
keamanan Indonesia saja. Hal ini, penguatan stabilitas sosial, politik dan ekonomi
seharusnya juga menjadi tanggung jawab kita semua (tidak hanya ditimpakan pada
aparat keamanan yang kemampuanya semakin terbatas) mulai dari petaninya
sebagi subjek pelaku utama agribisnis hingga aparat pemerintah baik di pusat
maupun di daerah.
Dalam pengembangan stabilitas sosial, ekonomi dan politik selamai ini
menunjukkani bahwa modal sosial kita juga belum banyak mewarnai
pembangunan nasional kita. Jika modal sosial dapat kita kembangkan dan
dimanfaatkan sebagai salah satu asset dalam pengembangan system dan usaha
agribisnis maka upaya pemulihan krisis ekonomi dapat lebih dipercepat dan
pembangunan nasional Indonesia diharapkan dapat lebih mensejahterakan
sebagian besar warganya.

25
(6) Kebijakan Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia
Hasil penelitian Word Bank (2002) menunjukkan bahwa di Indonesia,
Pilipina dan Thailand, kontribusi kualitas sumberdaya petani pada peningkatan
produksi pertanian cukup tinggi 11-14 persen. Dengan demikian peningkatan
kualitas sumberdaya manusia ini berpotensi untuk meningkatkan produksi
pertanian. Kebijakan peningkatan kualitas sumberdaya petani difokuskan pada: (a)
peningkatan kemampuan manajemen usahatani, menerapkan IPTEK, membaca
signal pasar dan menghadapi resiko searah dengan pengembangan sistem dan
usaha agribisnis; (b) mengembangkan kemampuan kewirausahaan
(entrepreneurship) (c) mengembangkan kemampuan team work; (d) peningkatan
pada pelayanan kesehatan; (e) peningkatan penyediaan air minum dan sanitasi
pedesaaan dan (f) peningkatan ketahanan pangan.

(7) Pengembangan organisasi petani

Dua faktor utama yang mempengaruhi pelandaian produksi pertanian


adalah : (1) Delivery System, dan (2) Receiveng System. Delivery System
merupakan sistem yang memungkinkan pasokan input dari luar wilayah pertanian
dan pemasaran output ke luar wilayah pertanian berjalan lancar, sehingga
penerapan teknologi oleh petani menjadi optimal (Mosher, 1966). Apabila system ini
buruk, maka akan berpengaruh pada produksi. Sistem ini dalam usahatani padi
meliputi kelembagaan penyaluran saprodi, perkreditan dan penyuluhan serta
kelembagaan transfer teknologi. Perubahan peran lembaga perbankan dari
chaneling menjadi executing dalam pemberian pinjaman modal ke petani padi,
ternyata berpengaruh cukup besar dalam menunjang kemampuan permodalan
petani padi. Akibat perubahan peran perbankan tersebut, maka semua resiko atas
pemberian kredit ada pada bank yang bersangkutan, sehingga pihak perbankan
akan lebih selektif dalam memberikan kredit kepada petani. Akibatnya bagi petani
yang tidak mempunyai agunan yang cukup tidak dapat memperoleh pinjaman
modal untuk kegiatan usahatani padi. Saat ini KUD sebagai lembaga penyalur
saprodi sekaligus sebagai agen transfer teknologi melalui pengembangan skema
kredit paket KUT tidak banyak berfungsi. Akibatnya petani tidak mampu untuk
menerapkan teknologi secara optimal. Liberalisasi perdagangan pupuk yang
berimplikasi pada perubahan sistem penyaluran pupuk telah mengganggu
penyediaan pupuk di tingkat petani. Selain penyediaan pupuk di tingkat petani
terganggu, harga dan kualitasnyapun tidak dapat dijamin. Akibatnya petani tidak
26
mampu menerapkan penggunaan pupuk sesuai dengan kondisi tanamannya
(berimbang). Perubahan struktur pemerintahan daerah yang berimplikasi pada
reorganisasi beberapa instansi pemerintah yang menangani masalah teknis
pertanian seperti lembaga penyuluhan dan Dinas Pertanian telah menurunkan
efisiensi dan efektifitas kerja lembaga tersebut yang berakibat rendahnya intensitas
dan kualitas pembinaan terhadap petani. Perpaduan faktor-faktor tersebut diduga
menyebabkan pelandaian produksi pertanian.

Receiving System. Selain teknologi dan modal, kemampuan kelompok


petani juga sangat menentukan keberlanjutan produktivitas padi. Karakteristik
usahatani berlahan sempit dan bersifat part time farmer karena kontribusi
pendapatannya terhadap pendapatan total rumah tangga relatif kecil, maka
peranan kelompok tani sangat penting, utamanya dalam memanfaatkan skala
ekonomi dan harmonisasi kegiatan serta dalam mensukseskan program pemerintah
mengenai peningkatan produksi padi. Saat ini intensitas dan kualitas pembinaan
terhadap kelompok tani berkurang karena belum jelasnya beberapa status lembaga
yang berkaitan dengan pembinaan kelompok tani seperti lembaga penyuluhan.
Diduga pelandaian produksi pertanian berkaitan dengan melemahnya kekuatan
kelompok tani dalam membangkitkan partisipasi masyarakat dalam penerapan
teknologi pertanian.
Berkaitan dengan hal di atas, maka diperlukan pengembangan organisasi
petani yang mampu menciptakan Receiving System yang mampu memanfaatkan
skala ekonomi sistem dan usaha agribisnis.

(8) Pengembangan Pusat Pusat Pertumbuhan Agribisnis Daerah


Pengembangan sistem dan usaha agribisnis diorganisasi dalam bentuk
pusat-pusat pertumbuhan agrbisnis di daerah sesuai dengan keunggulan masing-
masing daearah. Pusat-pusat agribisnis harus dikaitkan dengan ekonomi regional
sehingga secara bertahap agrbisnis daerah yang bersangkutan mampu berintegrasi
dengan perekonomian nasional dan dunia.
Pengembangan kawasan terpadu seperti Kawasan Pertumbuhan Ekonomi
Perpadu (KAPET), Kawasan Agroindustri Terpadu (KAT), Sentra produksi Agribisnis
Komoditas Unggulan (SPAKU), Kawasan Andalan (KADAL) dan Kawasan Industri
Masyarakat perkebunan (KIMBUN) perlu dikembangkan didasarkan pada
keunggulan daerah dan dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat
(ekonomi kerakyatan) yang terintegrasi dengan ekonomi rakyat daerah.
27
PENUTUP

Sebagian besar penduduk Indonesia berada di wilayah pedesaan dan


sebagian besar dari mereka hidupnya tergantung pada sektor pertanian serta
sebagian besar dari mereka masih berada dalam cengkraman kemiskinan. Dengan
demikian, pembangunan sektor pertanian amat strategis dalam mengentaskan
kemiskinan di pedesaan, meningkatkan taraf hidup sebagaian besar penduduk
pedesaan, dan penyediaan pangan bagi seluruh penduduk Indonesia. Dengan
kata lain, pembangunan sektor pertanian dapat dipandang sebagai pembangunan
ekonomi berbasis kerakyatan.
Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan sektor pertanian adalah
terbatasnya sektor pertanian dalam menyediakan lapangan kerja dan peningkatan
pendapatan bagi petani karena terbatasnya akses petani terhadap sumberdaya
pertanian, utamanya akses pada sumberdaya lahan, kredit, teknologi dan pasar
bagi hasil usaha primernya.
Oleh karena itu, maka pembangunan pertanian harus diikuti oleh
pengembangan sektor komplemen (agroindustri, penyediaan kredit, teknologi
melalui penyuluhan, pasar bagi hasilnya), sehingga diperoleh sumber nilai tambah
di luar lahan. Dengan pemikiran yang demikian, maka strategi pembagunan
pertanian harus diletakkan dalam perspektif pembangunan pedesaan secara utuh
meliputi sektor primer, sektor sekunder (sektor komplemen) dan sektor tersier (jasa).
Inilah sebenarnya makna hakiki dari strategi pembangunan sektor pertanian dengan
pendekatan sistem dan usaha agribissnis.
Dengan pendekatan Sistem dan Usaha Agribisnis tersebut, maka
pembangunan pertanian jelas berbasis pada kerakyatan dan dijamin
keberlanjutannya karena pengembangannya berbasis pada sumberdaya lokal.
Sehingga konsep pembangunan yang berasal dari rakyat dilaksanakan oleh rakyat
dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk seluruh rakyat Indonesia bukan
keniscayaan tetapi justru merupakan peluang yang mungkin dapat dikerjakan.

28

Você também pode gostar