Você está na página 1de 7

Palsukan Laporan Keuangan, Toshiba akan Dihukum Pemerintah

Aditya Panji, CNN Indonesia | Senin, 20/07/2015 10:11 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Pengawas keuangan Jepang berencana memberi hukuman kepada
perusahaan teknologi Toshiba Corp., karena diduga memalsukan laporan keuangan.

Sumber-sumber yang dekat dengan lingkungan pemerintah mengatakan kepada harian bisnis
Nikkei, bahwa Securities and Exchange Commission Surveillance (SESC) berencana
memberlakukan denda terhadap Toshiba pada September mendatang.

Regulator setempat sedang memelajari kasus ini dan menimbang hukuman potensial setelah
komite independen mengumumkan temuannya dalam waktu dekat ini, termasuk soal dugaan
kesengajaan melebih-lebihkan pendapatan perusahaan yang dilakukan para petinggi.

Komite independen mengatakan Toshiba membutuhkan perbaikan tata kelola perusahaan.


Skandal akuntansi Toshiba diperkirakan mencapai lebih dari US$ 1 miliar per Maret 2014.

Akibat peristiwa ini, publik mempertanyakan kinerja manajemen perusahaan. CEO Toshiba Corp.,
Hisao Tanaka akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri pada September bersama dengan
anggota dewan lain termasuk Vice Chairman Norio Sasaki karena dinilai bertanggungjawab atas
penyimpanganakuntansi.

Di tahun 2014-2015, Toshiba memproyeksi laba bersih sebesar 120 miliar yen atau sekitar 1 miliar
dollar AS. (adt)

(sumber: https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20150720101106-185-67228/palsukan-
laporan-keuangan-toshiba-akan-dihukum-pemerintah)
Dalam kasus Toshiba 2015 ini Target yang terlalu tinggi, dan tekanan atas pencapaian target
tersebutlah yang menyebabkan skandal ini terjadi. Dalam akuntansi manajemen, hal ini disebut
dengan akuntansi pertanggungjawaban, yaitu bagaimana kepala unit bisnis melaporkan
pencapaian kinerjanya atas tanggung jawab yang diberikan manajemen puncak perusahaan
kepdanya. Tidak ada yang salah sebenarnya dalam praktik akuntansi pertanggungjawaban ini,
malah dianjurkan untuk menciptakan kinerja yang lebih baik, namun kesalahannya terletak pada
3 tumpuan penilaian kinerja semata-mata hanya pada sisi kinerja keuangan. Meskipun kita
mengenal ada empat perspektif kinerja dalam balance score card (keuangan, pelanggan, proses
bisnis internal dan pertumbuhan dan pembelajaran), namun dalam kenyataannya tetap perspektif
keuangan selalu yang didewakan.
Tidak hanya di Jepang, Amerika atau negara barat lainnya, di Indonesia pun praktik manajemen
berbasis kinerja ini sering banyak disalahgunakan. Praktik sederhananya adalah manajemen
puncak memberikan target yang luar biasa tinggi kepada unit bisnis dibawahnya, sebenarnya
manajemen puncak mengetahui bahwa target itu sangat tidak realistis, namun sengaja ia berikan
agar memacu unit bisnis menghasilkan yang lebih banyak lagi melebihi target normal, agar target
yang dibebankan kepadanya bisa dicapai. Atau contoh sederhananya begini: dewan komisaris
(BOC) memberikan target pertumbuhan 10% kepada dewan direksi (BOD) perusahaan,
selanjutnya BOD memberikan target 12% kepada setiap unit bisnis dibawahnya, untuk
mengamankan agar pencapaiannya yang 10% itu dapat dengan mudah dipenuhi, selanjutnya
kepala unit bisnis memberikan target yang lebih tinggi lagi misal sebesar 15% kepada manajer
divisi dibawahnya lagi, demikian seterusnya.
Praktik ini sebenarnya normal terjadi, namun tekanan dan punishment dari atasan agar target
tercapai itulah yang membuat unit bisnis mengakali laporannya. Cara gampangnya adalah dengan
memberikan laporan yang salah alias laporan ABS (Asal Bapak Senang) seperti pada kasus
Toshiba ini.
Cara Baru Pengawasan
Kasus akuntansi Toshiba ini tidak akan mungkin muncul ke permukaan, jika komisaris (Chairman)
Toshiba tidak melakukan inistiatif membentuk panel independen ini, artinya jika dengan
pengawasan biasa saja (internal audit atau komite audit), hal ini pasti tidak terdeteksi.
Demikian juga peran OJK nya Jepang yang tidak mampu mendeteksi kasus ini, dengan
beranekaragam regulasi yang dikeluarkan OJK ternyata masih belum mampu mencegah 4
terjadinya praktik kecurangan akuntansi pada perusahaan terdaftar di bursa, ini juga patut
dipertanyakan.
Hal yang sama terjadi juga pada eksternal auditor Toshiba yang juga tidak mampu menemukan
kecurangan akuntansi ini. Audit independen saja tidak mampu menemukannya bagaimana dengan
internal audit atau OJK?
Perlu dipikirkan cara baru pengawasan untuk mencegah hal ini terulang lagi, mungkin semacam
inspeksi dari komisaris perusahaan atau dari regulator (jika perusahaan terbuka). Inpeksi atau
pemeriksaan khusus bisa dilakukan kapan saja dengan waktu yang tidak tentu. Pemeriksaan khusus
(inpeksi) ini harus dituangkan dalam peraturan resmi (peraturan OJK atau peraturan pemerintah)
agar semua perusahaan melakukannya secara bersama, termasuk didalamnya siapa yang
menanggung biaya inspeksi ini. Dengan penerapan pengawasan berlapis ini tentunya akan tercipta
laporan keuangan yang lebih accountable, good corporate governance, dan tentunya kepercayaan
para stake holder (termasuk didalamnya investor) akan semakin tinggi.
Perilaku Etika Dalam Bisnis
Perilaku etika bisnis pada kasus skandal akuntansi thosiba yang dilakukan CEO dan presiden
tanaka tahun 2015 dengan penyimpangan pencatatan keuntungan perusahaan mencerminkan
perilaku yang kurang baik. Dilihat dari etika pada kasus ini adanya tindakan kecurangan dalam
pembuatan laporan keuangan dengan begitu mudahnya mereka menaikan laba operasional. Hal ini
karena adanya keinginan tanaka untuk membuat perusahaan seakan-akan sudah memenuhi
performance unit yang sesuai dengan target dan seakan - akan tidak terlihat bahwa ada target yang
tidak tercapai. Seharusnya Tanaka memikirkan kembali apa yang dilakukannya salah atau benar
karena akibatnya membuat banyak pihak yang kecewa bahkan dirinya sendiri akan mendapatkan
kerugian.
Dalam menciptakan etika bisnis yang baik dikasus ini ada hal-hal yang perlu diperhatikan antara
lain:
1. Pengendalian Diri

2. Pengembangan Tanggung Jawab Sosial (Sosial Responsibility)


3. Mempertahankan Jati Diri Tidak Mudah Untuk Terombang-Ambing Oleh Pesatnya
Perkembangan Informasi dan Teknologi.

4. Menerapkan Konsep “Pembangunan Berkelanjutan”

5. Menghindari Sifat 5K (kata belece, kongkalikong, koneksi, kolusi dan komisi)

6. Mampu Menyatakan Yang Benar Itu Benar

7. Konsekuen dan Konsisten Dengan Aturan Main Yang Telah Disepakati Bersama.

8. Menumbuhkan Kesadaran dan Rasa Memiliki Terhadap Apa Yang Disepakati

9. Perlu adanya sebagian Etika Bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa
peraturan perundang-undangan.

Laporan Audit
Pada kasus ini laporan keuangan yang dihasil pihak manajemen tidak sesuai dengan pernyataan
hal ini terbukti saat investigasi independen sebenarnya menemukan bahwa pihak manajemen
berbohong mengenai jumlah keuntungan yang mereka dapatkan selama lebih dari 6 tahun
dikarenakan ingin memenuhi target internal perusahaan setelah terjadi krisis finansial tujuh tahun
lalu. Namun adanya kelihaian pihak manajemen dalam memanipulasi laporan keuangan membuat
pihak auditor sulit menemukan adanya kecurangan pada laporan keuangan tersebut sehingga butuh
waktu cukup lama untuk mengindentifikasi kasus ini dikarenakan ketidaktelitian auditornya.
Aturan Etika Profesi Akuntansi
Tujuan profesi akuntansi adalah memenuhi tanggung jawabnya dengan standar profesionalisme
tertinggi, untuk mencapai tujuannya dapat dilihat 4 kebutuhan dasar yang harus dipenuhi :
- - Kreabilitas
Pada kasus hisao tanaka ini tidak memenuhi kreadibilitas dengan baik karena telah membuat
laporan keuangan agar terlihat adanya keuntungan di dalam perusahaan.
- - Profesionalisme 6
Pada kasus ini presiden sekaligus CEO tidak menjalankan tugasnya dengan baik atau secara
profesionalisme bahkan melakukan perbuatan yang menguntungkan saja dengan cara
menambahkan laba pada laporan keuangan.
- - Kualitas Jasa
Kuranganya pelayanan dan jasa pada bagian pengawasan auditor pada laporan keuangan.
- - Kepercayaan
Hisao Tanaka pada dasarnya di toshiba sudah mendaptkan kepercayaan dari caranya bekerja dan
telah memiliki reputasi diperusahan dengan baik, akan tetapi dikarenakan pada tahun tertentu ia
harus mencapai target dan ternyata kurangnya target yang diharapkan sangatlah besar maka dari
itu ia melakukan penambahan laba pada laporan keuangan dan tidak lagi dipercayai seegingga ia
bertanggung jawab atas kasus ini dan mengundurkan diri.
Prinsip Pertama – Tangggung Jawab Profesi
Dalam kasus ini pihak auditor yang kurang berhati-hati saat mengaudit laporannya dan pihak
direksi seharusnya lebih bisa berhati-hati lagi untuk tidak melakukan kecurangan menutupi
kerugian karena tindakan tersebut merugikan banyak pihak seperti hilangnya kepercayaan
masyarakat terhadap perusahaan maupun profesinya sendiri.
Prinsip Kedua – Kepentingan Publik
Pada kasus hisao tanaka kurangnya pelayanan publik dan tidak adanya komitmen pada profesi
yang menunjukkan sikap profesionalisme, untuk menjaga sikap profesionalisme yang baik seorang
CEO dan presiden seharusnya mempunyai sikap yang bertanggung jawab dan jujur, dan sebagai
auditor harus lebih bisa teliti agar tercipta laporan keuangan yang lebih accountable, good
corporate govermance, dan akan mendapatkan kepercayaan para stake holder.
Prinsip Ketiga – Integritas
Integritas mengharuskan para pihak untuk bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus
mengorbankan rahasia penerima jasa. Tidak adanya kejujuran pada kasus ini walaupun niatnya
baik untuk melindungi perusahaan dari kerugiaan namun cara presiden itu salah. 7
Prinsip Kelima – Kompetensi Dan Kehati-Hatian Profesional
Pada kasus ini penyajian laporan keuangan seharusnya mempunyai sikap kehati-hatian dalam
menyajikan laporan keuangan.
Prinsip Ketujuh – Perilaku Profesional
Sebagai presiden dan CEO hisao hataka seharusnya berprilaku konsisen sesuai reputasi profesinya
dengan baik dan menjauhi tindakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan, namun pada kasus ini
hataka bertanggung jawab dengan mengundurkan diri dikarenakan kesalahannya.

Jadi dapat disimpukan bahwa kasus Toshiba ini bermula karena kinerja keuangan Toshiba yang
tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pemegang saham dan pemangku kepentingan,

Você também pode gostar