Você está na página 1de 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sustainable Development Goals (SDGs) adalah sebuah program

pembangunan berkelanjutan dimana didalamnya terdapat 17 tujuan dengan 169

target yang terukur dengan tenggat waktu yang ditentukan. SDGs merupakan

tujuan pembangunan bersama sampai tahun 2030 yang disepakati oleh berbagai

negara dalam forum resolusi PBB. Dari 17 tujuan SDGs, tujuan ketiga adalah

Sistem Kesehatan Nasional dengan 2 target pertama yaitu mengenai AKI dan

AKB ; (1) Pada 2030 mengurangi angka kematian ibu hingga dibawah 70 per

100.000 kelahiran hidup, (2) Mengakhiri kematian bayi dan balita yang dapat

dicegah dengan seluruh negara berusaha menurunkan angka kematian neonatal

setidaknya hingga 12 per 1000 KH dan angka kematian balita hingga 25 per 1000

KH (SDGs, 2015).

Masalah Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) merupakan masalah nasional

yang perlu mendapat prioritas utama karena sangat menentukan kualitas Sumber

Daya Manusia (SDM) pada generasi mendatang. Tingginya Angka Kematian Ibu

(AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB), serta lambatnya penurunan kedua

angka tersebut, menunjukkan bahwa pelayanan KIA sangat mendesak untuk

ditingkatkan baik dari segi jangkauan maupun kualitas pelayanannya

(Rahmawati, 2014). Berdasarkan organisasi kesehatan dunia atau World Health

Organization (WHO) (2014) menyebutkan bahwa sekitar 23% seluruh kematian

1
neonatus disebabkan oleh asfiksia neonatorum dengan proporsi lahir mati yang

lebih besar (p.5).

Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia menduduki peringkat tertinggi

ketiga diantara Negara-negara ASEAN.Angka kematian bayi di Indonesia

sebanyak 55,8% terjadi pada periode neonatal (usia di bawah 1 bulan), sekitar

78,5 %-nya terjadi pada umur 0-6 hari (Riskesdas 2013, p.4). Setiap 5 menit

terdapat satu neonatus yang meninggal. Penyebab kematian neonatal di

Indonesia yaitu asfiksia sebesar (35,9%) (Depkes RI 2012, p.15).

SDKI tahun 2012 terlihat bahwa telah terjadi peningkatan derajat

kesehatan masyarakat yang bermakna pada tahun 2007. Hal ini dapat dilihat

dari angka kematian bayi menurun dari 46 per 1000 kelahiran hidup menjadi 34

per 1000 kelahiran hidup. Data Riskesdas 2007 menunjukkan sekitar 56 %

kematian bayi pada periode neonatal (0-28 hari). Sebagian besar (78,5 %) dari

kematian neonatal terjadi dalam satu minggu pertama (0-6 hari) kehidupan bayi

baru lahir. Di Sumatera barat tahun 2016 Angka Kematian Bayi yaitu 27 per

1000 kelahiran hidup (Profil kesehatan Sumbar 2017). Berdasarkan data

persalinan ibu di ruang kebidanan RSUD Dharmasraya, pada tiga tahun terakhir

terjadi peningkatan angka kejadian asfiksia yaitu 211 kejadian asfiksia pada tahun

2014, 2015 pada tahun 2016 dan 237 (Rekam Medis RSUD Dharmasraya, 2017).

Penyebab kematian neonatal terbanyak adalah BBLR, asfiksia dan

infeksi (Kemenkes 2014, p.1). Asfiksia adalah keadaan dimana bayi yang baru

dilahirkan tidak segera bernafas secara spontan dan teratur setelah dilahirkan.

Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam rahim yang berhubungan dengan

2
faktor–faktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan, dan setelah kelahiran

(Manuaba, 2010).

Menurut Saifuddin (2010) asfiksia berarti hipoksia yang progresif,

penimbunan CO2 dan asidosis. Bila proses ini berlangsung terlalu jauh dapat

mengakibatkan kerusakan otak atau kematian. Asfiksia juga dapat

mempengaruhi fungsi organ lainnya. Beberapa faktor tertentu diketahui bahwa

dapat menjadi penyebab terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir, diantaranya adalah

faktor partus lama, preeklamsi, persalinan preterm. Beberapa kondisi tertentu pada

ibu seperti preeklampsia dan eklampsia dapat menyebabkan gangguan sirkulasi

darah utero-plasenter sehingga pasokan oksigen ke bayi menjadi berkurang.

Hipoksia pada bayi di dalam rahim ditunjukkan dengan gawat janin yang dapat

berlanjut menjadi asfiksia bayi baru lahir. Kemudian faktor yang menyebabkan

penurunan sirkulasi utero-plasenter yang berakibat menurunnya pasokan oksigen ke

bayi sehingga dapat menyebabkan asfiksia bayi baru lahir. Dalam hal ini penolong

persalinan harus mengetahui faktor-faktor risiko yang berpotensi untuk

menimbulkan asfiksia (Manuaba, 2010)

Berdasarkan penelitian oleh Rahmi (2011) di RSUP DR. M. Djamil tentang

factor-faktor yang berhubungan dengan kejadian asfeksia menunjukan bahwa umur,

jenis persalinan, dan penyakit selama kehamilan berhubungan dengan kejadian

asfeksia neonatorum dimana nilai pvalue ≤ 0,05.

Berdasarkan latar belakang dan fenomena tersebut di atas peneliti tertarik

untuk meneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian asfiksia

di Ruang Perinatologi RSUD Dharmasraya Tahun 2018.

3
B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah “Faktor-faktor apa

saja yang berhubungan dengan kejadian asfiksia neonatorum di ruang

Perinatologi RSUD Dharmasraya tahun 2018”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian

asfiksia neonatorum di Ruang Perinatologi RSUD Dharmasraya tahun 2018.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahui distribusi frekuensi kejadian asfiksia neonatorum di Ruang

Perinatologi RSUD Dharmasraya tahun 2018

b. Diketahui distribusi frekuensi umur ibu melahirkan di Ruang Perinatologi

RSUD Dharmasraya tahun 2018

c. Diketahui distribusi frekuensi jenis persalinan di Ruang Perinatologi RSUD

Dharmasraya tahun 2018

d. Diketahui distribusi frekuensi penyakit selama kehamilan yang diderita ibu

melahirkan di Ruang Perinatologi RSUD Dharmasraya tahun 2018

e. Diketahui hubungan umur ibu dengan kejadian asfiksia neonatorum di Ruang

Perinatologi RSUD Dharmasraya tahun 2018

f. Diketahui hubungan jenis persalinan dengan kejadian asfiksia neonatorum di

Ruang Perinatologi RSUD Dharmasraya tahun 2018

g. Diketahui hubungan penyakit selama kehamilan yang diderita ibu dengan

kejadian asfiksia neonatorum di Ruang Perinatologi RSUD Dharmasraya

tahun 2018

4
D. Manfaat Penelitian

1. Bagi petugas kesehatan

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat lebih meningkatkan

pelayanan kesehatan pada ibu bersalin dan dapat menghindari terjadinya

Asfiksia pada bayi baru lahir dengan harapan dapat menmgurangi angka

kematian bayi baru lahir.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Dapat dijadikan sebagai sumber bacaan atau referensi serta menjadi

bahan atau data dasar bagi peneliti lanjut, khususnya mengenai bayi baru lahir

dengan Asfiksia.

3. Bagi Peneliti

Sebagai penerapan dalam mata kuliah metode penelitian dan menambah

pengetahuan serta pengalaman dalam penelitian.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Asfiksia

1. Definisi Asfiksia

Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernafas

secara spontan dan teratur (Rukiyah dan Yulianti, 2010). Dari sumber lain

menyebutkan asfiksia adalah keadaan bayi baru lahir tidak bernafas secara

spontan dan teratur, sering kali bayi yang sebelumnya mengalami gawat janin

akan mengalami asfiksia sesudah persalinan . Ada pula dari sumber lain

disebutkan bahwa asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi yang tidak dapat

bernafas spontan dan teratur, sehingga dapat menurunkan O2 dan makin

meningkatkan CO2yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih

lanjut (Manuaba, 2010). Asfiksia dapat terjadi karena kurangnya kemampuan

organ bayi dalam menjalankan fungsinya, seperti pengembangan paru (Alimul

Aziz : 2010)

2. Penyebab Asfiksia

Beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan

sirkulasi darah utero plasenter sehingga pasokan oksigen ke bayi menjadi

berkurang. Hipoksia bayi di dalam rahim ditunjukkan dengan gawat janin yang

dapat berlanjut menjadi asfiksia bayi baru lahir. Beberapa faktor tertentu

diketahui dapat menjadi penyebab terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir,

diantaranya adalah faktor ibu, tali pusat dan bayi berikut ini:

6
a. Faktor ibu:

1) Preeklamsia dan eklamsi

2) Perdarahan abnormal

3) Partus lama atau partus macet

4) Demam selama persalinan

5) Infeksi berat

6) Kehamilan lewat waktu (sesudah 42 minggu)

b. Faktor tali pusat

1) Lilitan tali pusat

2) Tali pusat pendek

3) Simpul tali pusat

4) Prolapsus tali pusat

Fungsi plasenta akan berkurang sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan

O2 dan nutrisi metabolisme janin serta menimbulkan anaerob dan akhirx

asidosis dengan pH darah turun.

c. Faktor bayi:

1) Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)

2) Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi

vakum, ekstraksi forsep)

3) Kelainan bawaan (kongenital)

4) Air ketuban bercampur mekonium

3. Gejala dan Tanda-Tanda Asfiksia

a. Tidak bernafas atau bernafas megap-megap

b. Warna kulit kebiruan

7
c. Kejang

d. Penurunan kesadaran

Dari sumber lain disebutkan faktor-faktor yang juga dapat

menyebabkan asfiksia. Faktor-faktor yang timbul dalam persalinan bersifat

lebih mendadak dan hampir selalu mengakibatkan anoksia atau hipoksia janin

dan berakhir dengan asfiksia bayi. Keadaan ini perlu dikenal, agar dapat

dilakukan persiapan yang sempurna pada saat bayi lahir. Faktor-faktor yang

mendadak terdiri atas:

1) Faktor-faktor dari pihak janin, seperti :


a) Gangguan aliran darah dalam tali pusat karena tekanan tali pusat,
b) Depresi pernapasan karena obat-obat anastesi/analgetik yang diberikan

pada ibu,perdarahan intrakranial, dan kelainan bawaan, hipoplasia paru-

paru dan lain-lain.


2) Faktor-faktor dari pihak ibu, seperti:
a) gangguan his, misalnya hipertoni dan tetani,
b) hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan misalnya pada plasenta

previa,
c) hipertensi pada eklamsia,
d) gangguan mendadak pada plasenta seperti solusio plasenta

(Prawirohardjo, 2010).
4. Patofisiologi

Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam dua

golongan :

a. Primer (akibat langsung dari asfiksia)

Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung

pada tipe dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan O2.

Bagian-bagian otak tertentu membutuhkan lebih banyak O2, dengan

8
demikian bagian tersebut lebih rentan terhadap kekurangan oksigen.

Perubahan yang karakteristik terlihat pada sel-sel serebrum, serebelum dan

ganglia basalis. Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan

glial, sehingga pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati,

ginjal dan yang lainnya perubahan akibat kekurangan O2 langsung atau

primer tidak jelas.

b. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh)

Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah

dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi.

Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja

jantung maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung dengan cepat.

Keadaan ini didapati pada :

1) Penutupan mulut dan hidung (pembekapan).

2) Obstruksi jalan nafasseperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan

korpus alienum dalam saluran nafas atau pada tenggelam karena cairan

menghalangi udara masuk ke paru-paru.

c) Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan (traumatic

asphyxia).

d) Penghentian primer dari pernafasanakibat kegagalan pada pusat

pernafasan, misalnya pada luka listrik dan beberapa bentuk keracunan

(Prawirohardjo, 2010).

5. Penilaian Asfiksia

Dengan peningkatan derajat asfiksia, bayi akan tampak biru dan

kemudian pucat, hipotonus, tidak berespon dan frekuensi jantung mulai

9
menurun. Ciri-ciri seperti warna, tonus, respon terhadap stimulasi,

pernafasan, dan frekuensi denyut jantung dikelompokkan dalam system skor

oleh seorang anestesi Amerika yaitu Dr.Virginia Apgar. Hal utama yang perlu

diperhatikan adalah usaha napas bayi, frekuensi, dan kekuatan nadi. Pada

bayi yang gagal bernafas dan menjadi asfiksia sebaiknya dilakukan resusitasi

aktif ketika frekuensi denyut jantung mulai menurun (David Hull, 2008).

Virginia Apgar mengatakan bahwa setiap bayi yang lahir dengan

menangis biasanya hidup, tetapi bayi lahir tidak menangis biasanya cepat

meninggal. Maka beliau membuat daftar penilaian dengan mengobservasi

pada menit pertama dan menit kelima setelah lahir. Adapun menit pertama

tujuannya adalah untuk menunjukkan beratnya asfiksia dan menentukan

kemungkinan hidup selanjutnya, sedangkan menit kelima untuk menentukan

gejala sisa (Jumiarti, 2010).

Tabel 2.1 Apgar Score

Nilai
Tanda Vital
0 1 2
Denyut Jantung Tidak terdengar Dibawah 100 x/i Diatas 100 x/i
Pernafasan Hilang Lambat/tidak Normal, bayi
teratur/lemah menangis
Tonus Otot Flasid Sedang Baik, gerakan aktif
Refleks Iritasi Tidak ada reaksi Reaksi berkurang Reaksi normal
Warna Kulit Biru / pucat Badan merah Seluruhnya merah
muda, ekstremitas muda
biru
(Luz Heller, 2007)

10
6. Klasifikasi Asfiksia

Klasifikasi asfiksia menurut skor Apgar :

a. Asfiksia Ringan (Apgar Skor 7-10)


b. Asfiksia Sedang (Apgar Skor 4-6)
c. Asfiksia Berat (Apgar Skor 0-3)

7. Sikap Bidan Menghadapi Asfiksia Neonatus

Bidan sebagai tenaga medis diharapkan peka terhadap pertolongan

persalinan sehingga dapat mencapai well born baby dan well health mother.

Oleh karena itu, bekal utama sebagai bidan adalah:

a. Melakukan pengawasan hamil, sehingga kehamilan dengan risiko tinggi

segera melakukan rujukan medis.


b. Melakukan pertolongan hamil risiko rendah dengan memanfaatkan partograf.
c. Melakukan perawatan ibu dan janin baru lahir

Untuk dapat mencapai tingkatan yang diharapkan perlu dilakukan usaha

menghilangkan faktor risiko pada kehamilan sehingga memperkecil terjadinya

asfiksia neonatorum. Dalam menghadapi persalinan normal diharapkan bidan

sudah mengatahui langkah pertolongan neonatus sebagai berikut:

1) Tindakan pertolongan umum neonatus:


a) Kepala bayi diletak pada posisi yang lebih rendah
b) Bersihkan jalan nafas dari lendir, mulut dan tenggorokan, saluran

nafas bagian atas.


c) Mengurangi kehilangan panas badan bayi dengan membungkus dan

memandikan dengan air hangat.


d) Memberikan rangsangan menangis, memukul telapak kai atau

menekan tendon pada tumit bayi.


e) Dalam ruang gawat darurat bayi selalu tersedia: penghisap lendir bayi

dan O2 dengan maskernya.


2) Tindakan khusus asfiksia neonates

11
Menghadapi asfiksia neonatus memang di perlukan tindakan

spesialis, sehingga diharapkan bidan dapat segera melakukan rujukan

medis ke rumah sakit. Melakukan pertolongan persalinan dengan risiko

rendah di daerah pedesaan sebagian besar berlangsung dengan aman dan

baik. Penilaian bayi baru lahir dilakukan dengan mempergunakan sistem

apgar score (Manuaba, 2010).

8. Langkah-langkah resusitasi

a. Langkah awal:

1) Jaga bayi tetap hangat


2) Atur posisi bayi
3) Isap lendir
4) Keringkan dan rangsang taktil
5) Reposisi
6) Penilaian apakah bayi menangis atau bernafas spontan dan teratur, bila

tidak lakukan tindakan ventilasi.


b. Ventilasi:
1) Pasang sungkup, perhatikan pelekatan
2) Ventilasi 2 kali dengan tekanan 30 cm air, amati gerakan dada bayi
3) Bila dada bayi mengembang, lakukan ventilasi 20 kali dengan tekanan

20 cm air dalam 30 detik.


4) Penilaian apakah bayi menangis atau bernafas spontan dan teratur. Bila

tidak lanjutkan ventilasi tiap 30 detik. Perhatikan lagi apakah bayi

bernafas spontan dan teratur. Bila tidak siapkan rujukan, bila bayi tidak

bisa dirujuk dan tidak bisa bernafas spontan setelah 20 menit,

pertimbangkan untuk menghentikan tindakan resusitasi.

B. Faktor – faktor yang berhubungan dengan kejadian asfiksia

1. Umur Ibu

12
Menurut National Center for Health Statistic (Smith,dkk, 2009),

sekitar 13% persalinan terjadi pada wanita berusia antara 15-19 tahun.

Remaja memiliki kemungkinan lebih besar mengalami anemia dan beresiko

lebih tinggi memiliki janin yang pertumbuhannnya terhambat, persalinan

premature, dan angka kematian bayi yang lebih tinggi (Fraser dkk,2005).

Karena tidak direncanakan, sebagian besar kehamilan remaja jarang

mendapatkan konseling prekonsepsi. Konseling pada kehamilan tahap awal

masih mungkin bermanfaat.

Sekitar 10% kehamilan terjadi pada usia ini. Penelitian-penelitian

awal mengisyaratkan bahwa wanita berusia lebih dari 35 tahun beresiko lebih

tinggi menglami penyulit obstetric serta morbiditas dan mortalitas perinatal.

Untuk antisipasi kehamilan beresiko ibu harus melakukan check up

kehamilan lebih sering, dan telah diwajibkan untuk menjalani

serangkaian tes, konseling genetik dan skrining kendala-kendala yang

mungkin terjadi pada wanita hamil usia 30an. Pilihan proses melahirkan juga

biasanya lebih terbatas. Ibu disarankan untuk melahirkan di bidan atau rumah

bersalin, karena resiko melahirkan lebih besar sehingga akan diminta

melahirkan di rumah sakit besar atau rumah bersalin besar. Namun, dengan

melakukan perawatan prenatal yang baik, ibu bias mengurangi komplikasi

yang berhubungan dengan usia persalinan secara signifikan, sehingga angka

kematian dan kesakitan bayi menurun.

Untuk itu ibu muda yang berusia kurang dari 20 tahun, dibutuhkan

kemantapan psikologi dalam menghadapi kehamilan, dibutuhkan suami yang

SIAGA (siap antar jaga) agar ibu dan bayi sehat dan selamat. Dan dianjurkan

13
untuk ibu memakai KB setelah persalinannya nanti. Selain itu kunjungan

ANC ibu harus terstruktur dan terprogram, imunisasi lengkap dan status gizi

harus seimbang agar nutrisi ibu dan janin terpenuhi.

Pengamatan di Parkland Hospital (Cunningham dan Leveni, 2009)

terhadap hamper 900 wanita berusia lebih dari 35 tahun memperlihatkan

peningkatan bermakna dalam insiden hipertensi, diabetes, solusio plasenta,

persalinan premature, lahir mati dan plasenta previa (Cunningham, 2010).

Persalinan preterm ditandai dengan irama kontraksi uterus yang

menyebabkan perubahan servikal antar kehamilan 26-37 minggu. Persalinan

seperti itu ditangani sebagai kedaruratan obstetric. Factor-faktor yang

menyertai persalinan preterm adalah infeksi, bayi lebih dari satu, hidramnion,

hipertensi pada kehamilan, operasi abdomen atau trauma kematian janin,

perdarahan uterus atau abnormalitas, inkompeten serviks dan KPD. Faktor-

faktor internal lainnya meliputi status ekonomi, usia kurang 18 tahun atau

lebih dari 40 tahun, merokok lebih dari 10 batang sehari, dan kelahiran

prematr terdahulu. Persalinan preterm mendapatkan perhatian khusu karena

masa kehamilan belum 37 minggu, mortalitas janin meningkat terutama

karena imaturitas system pernafasan (Hamilton, 2010).

Rahmi (2011) dalam penelitiannya menemukan adanya hubungan

antara umur ibu dengan kejadian asfiksia dengan nilai p = 0,006. Untuk

mengurangi kejadian asfiksia yang disebabkan oleh factor umur ibu yang

beresiko maka diperlukan konseling prakonsepsi untuk mengurangi dampak

buruk pada kehamilan. Dan ibu yang mempunyai usia beresiko harus

meningkatkan kewaspadaan terhadap kehamilannya dan melakukan deteksi

14
dini terhadap penyulit kehamilan. Sehingga ibu dapat menentukan langkah

yang tepat pada pemilihan persalinan nantinya.

2. Jenis Persalinan

Persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam. Biasanya persalinan

kala I lebih lama, fase aktif dan laten menjadi lebih lama dan terjadi

kegagalan dilatasi serviks dalam waktu yang dapat diterima.

Penyulit persalinan yang lama meliputi keletihan maternal, infeksi dan

perdarahan karena atonia uteri, rupture uteri atau laserasi jalan lahir. Distress

janin mungkin terjadi karenan gangguan suplai darah dan berkurangnya

oksigen, menyebabkan asfiksia janin, KPD, meningkatkan resiko infeksi dan

prolaps tali pusat bila bagian presentasi gagal untuk turun. (Hamilton, 2010).

Ekstraksi vakum adalah suatu persalinan buatan ketika janin

dilahirkan dengan ekstraksi tenaga negative (penyedotan atau vakum) dari

bagian kepalanya. Persalinan vakum ini biasanya terjadi pada ibu yang

menderita gangguan jantung dan paru-paru. Oleh sebab itu, pada saat

persalinan berlangsung, sebelum ada aba-aba ibu tidak boleh mengedan,

karena kondisi jantung dan parunya lemah. Resiko vakum bagi ibu adalah

perdarahan dan trauma atau luka jalan lahir. Sedangkan pada janin adalah

cedera tulang kepala dan lecet pada kulit kepala.

Ekstraksi forsep atau ekstraksi cunam adalah suatu persalinan buatan

dimana janin dilahirkan dengan tarikan cunamyang dipasang dikepala janin.

Ekstraksi forsep dilakukan pada ibu-ibu dengan keadaan pre-eklamsi,

eklamsi, atau ibu-ibu dengan penyakit jantung, paru, partus kasep. Indikasi

pada janin yaitu pada gawat janiin dan indikasi waktuyaitu pada kala II

15
memanjang. Komplikasi yang terjadi pada ibu adalah perdarahan, trauma

jalan lahir, infeksi. Sedangkan pada janin adalah fraktur tulang kepala, cedera

cervical, lecet pada muka, asfiksia (Emir, 2009)

Seksio sesaria adalah melahirkan janin melalui insisi pada dinding

abdomen (laparatomi) dinding uterus (histrektomi) (Cunningnam, 1995)

tindakan seksio sesaria dilakukan bilamana diyakini bahwa penundaan

persalinan yang lebih lama akan menimbulkan bahaya yang serius bagi ibu,

janin atau keduanya. Sedangkan eprsalinan pervaginam tidak mungkin

dilakukan dengan aman. Rahmi (2011) dalam penelitiannya menemukan

adanya hubungan antara jenis persalinan ibu dengan kejadian asfiksia dengan

nilai p = 0,023. Sementara Kartiningsih (2009) mengemukakan bahwa tidak

ada hubungan antara jenis persalinan dengan kejadian asfiksia.

3. Penyakit pada ibu sewaktu hamil

Seorang wanita dapat mengidap tekanan darah tinggi sebelum dirinya

hamil atau muncul ketika hamil. Artinya kehamilan dapat menyebabkan

tekanan darah tinggi seperti preeklamsi yang disertai dengan gejala edema

(bengkak) dan keruhnya urine karena mengandung protein cukup banyak.

Penyebab utama tekanan darah tinggi saat hamil adalah tekanan darah tinggi

esensial dan penyakit ginjal.

Kehamilan dan penyakit jantung akan saling mempengaruhi pada

individu yang bersangkutan. Kehamilan akan memberatkan penyakit jantung.

Sebaliknya penyakit jantung akan mempengaruhi pertumbuhan dan

perkembangan janin dalam kandungan. Umumnya penyakit paru-paru tidak

mempengaruhi kehamilan, persalinan dan setelah persalinan, kecuali jika

16
penyakit yang diderita tidak terkontrol, tambah berat, dan disertai dengan

sesak nafas. Selama kehamilan fungsi paru-paru sangat penting untuk

pertumbuhan dan perkembangan janin. Dalam hal ini akan terjadi proses

pertukaran CO2 dan O2 antara ibu dan janinnya. Gangguan fungsi paru-paru

yang cukup berat mengakibatkan gangguan pada pertumbuhan janin.

Wanita hamil dikatakan mengidap penyakit anemia jika kadar

hemoglobin (Hb) kurang dari 10 gr%. Umumnya penyebab anemia adalah

kurang gizi (malnutrisi), kurang zat besi dalam makanan yang dikonsumsi,

penyerapan yang kurang baik (malabsorpsi), kehilangan darah yang banyak

(pada haid-haid sebelumnya), serta penyakit kronik. Jika seorang wanita

mengidap anemia, kemungkinan terjadinya keguguran (abortus), lahir

premature, proses persalinan lama, dan lemasnya kondisi sang ibu dapat

terjadi. Setelah lahir, penyakit ini dapat menyebabkan perdarahan dan shock

akibat dari lemahnya kontraksi rahim.

Rahmi (2011) dalam penelitiannya menemukan tidak adanya

hubungan antara penyakit yang diderita ibu dengan kejadian asfiksia dengan

nilai p = 0,296. Hasil penelitian ini tidak sama dengan hasil penelitian

Kartiningsih (2009) yang mengemukakan bahwa terdapat hubungan penyakit

ibu dengan kejadian asfiksia.

4. Faktor plasenta

a. Plasenta previa

Suatu keadaan dimana plasenta terletak pada segemen bawah uterus.

Karena uterus berkontraksi dan berdilatasi pada minggu-minggu terakhir

pada masa kehamilan, vili plasenta robek pada dinding uterus, membuka

17
sinus-sinus uterus dan menyebabkan perdarahan. Jumlah perdarahan

tergantung pada besarnya sinus-sinus yang terbuka. Plasenta

previadigambarkan sebagai lengkap ( seluruh plasenta menutup ostium

internal), parsial (sebagian kecil plasenta menutup ostium internal), marginal

( tepi plasenta melekat dekat ostium internal, tapi tidak menutup ostium

internal)

b. Abrupsio plasenta

Yaitu pelepasan premature plasenta dari dinding uterus.

5. Faktor janin itu sendiri

a. Insersio velamentosa

Pada keadaan ini pembuluh tali pusat membuat jarak sebelum

mencapai plasenta. Karena mereke tidak terlindung, pembuluh darah ini

dapat robek atau prolap selama persalinan, menyebabkan perdarahan janin

atau asfiksia. Semua tanda-tanda distress janin diperiksa dengan segera dan

dilakukan tindakan yang sesuai.(Hamilton,1995)

b. Prolaps tali pusat

Ketika tali pusat keluar dari uterus mendahului presentasi. Ketika

hal ini terjadi, tali pusat tertekan antara pelvic maternal dan bagian

presentasi pada setiap kontraksi. Sebagai akibat, sirkulasi janin sangat

terganggu dan berkembang menjadi distress dengan mortalitas 20-30%

(Hamilton, 2010)

6. Tinjauan tentang umur kehamilan ibu saat bayi dilahirkan

a. Cukup bulan (aterm)

18
Umur kehamilan atau umur gestasi dimulai sejak terjadinya

konsepsi hingga lahirnya janin, yang dimaksud dengan umur kehamilan

aterm yaitu apabila umur kehamilan antara 38 minggu sampai 42 minggu

atau bayi dengan berat badan 2.500 gram atau lebih (Prawirohardjo, 2007).

Kehamilan dengan cukup bulan dapat meminimalkan persalinan dengan

risiko yang dapat terjadi. Hal tersebut karena sudah terjadi kematangan

bentuk fisik janin dan hal merupakan yang mempunyai dampak potensial

meningkatkan kematian bayi dapat dikurangi.

b. Kurang bulan (Preterm)

Umur kehamilan kurang dari 37 minggu termasuk dalam kategori

risiko tinggi karena bayi akan lahir dalam keadaan BBLR sehingga sering

menimbulkan gangguan pernafasan. Bayi yang lahir dari ibu dengan umur

kehamilan yang kurang bulan adalah bayi yang lahir dengaan umur

kehamilan antara 28 minggu sampai 36 minggu (Prawirohardjo, 2010).

Kesulitan utama dalam persalinan kurang bulan adalah perawatan

bayi preterm yang semakin muda usia kehamilan semakin besar morbiditas

dan mortalitas, karena disamping harapan hidup perlu dipikirkan pula

kualitas bayi tersebut (Saifuddin, 2010). Persalinan kurang bulan

menimbulkan resiko neonatal seperti gangguan pernapasan dan suhu tubuh

yang tidak stabil. (Varney, 2010). Hal tersebut merupakan hal yang

berbahaya karena mempunyai dampak potensial meningkatkan kematian

bayi.

Melihat dampak negatif persalinan kurang bulan tidak saja

terhadap kematian perinatal tetapi juga terhadap morbiditas, potensi

19
generasi akan datang, kelainan mental dan beban ekonomi bagi keluarga

dan bangsa. Maka Indonesia harus bertekad untuk menurunkan angka

kejadian persalinan kurang bulan, yang bila berhasil akan mempengaruhi

angka kematian bayi.

a. Lewat bulan (Posterm/serotinus)

Kehamilan lewat waktu berlangsung 40 minggu atau 280 hari

dari hari pertama haid terakhir. Kehamilan yang melewati 294 hari atau

lebih dari 42 minggu lengkap disebut sebagai post term atau kehamilan

lewat waktu. Angka kejadian kehamilan lewat waktu kira-kira 10%;

bervariasi antara 3,5-14%. Perbedaan yang lebar disebabkan perbedaan

dalam menentukan usia kehamilan. Fungsi placenta mencapai

puncaknya pada kehamilan 38 minggu dan kemudian mulai menurun

terutama setelah 42 minggu, hal ini dapat dibuktikan dengan penurunan

kadar estriol dan placental lactogen. Rendahnya fungsi placenta

berkaitan dengan peningkatan kejadian gawat janin dengan resiko 3 kali

(Winkjosastro, 2010).

20
C. Kerangka Teori

Faktor Ibu :
 Usia
 Penyakit yang menyertai
kehamilan (Pre eklamsi,
eklamsi, hipertensi, gangguan
atau penyakit paru)
o Riwayat obstetric buruk
o Usia kehamilan

Asfiksia
Faktor Janin dan plasenta : Neonatorum
o Kelainan tali pusat (tali pusat
menumbung atau melilit pada
leher)
o Kompresi tali pusat

Faktor persalinan
 partus lama atau partus dengan
tindakan.
(Sumber : Alimul Aziz, 2010)

Keterangan :

 Diteliti
o Tidak diteliti

21
Gambar 2.1 Kerangka Teori Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan

Kejadian Asfiksia Neonatorum.

22
BAB III

Kerangka Konsep

A. Kerangka Konsep

Variable Independen Variabel Dependen

Umur

Kejadian Asfiksia
Jenis persalinan
Neonatorum

Penyakit Selama Kehamilan

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Faktor – Faktor Yang Berhubungan

Dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum

B. Defenisi Operasional

Defenisi Skala
No Variabel Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur
Operasional Ukur
1 Umur Ibu Umur ibu pada Format Studi Ordinal 1.Tidak
saat melahirkan Pengumpulan dokumentasi beresiko
dan dinilai dalam Data Usia ibu 20-
tahun. 35 tahun
Dilakukan 2.Beresiko
pembulatan jika Umur ibu
umur > 6 bulan <20 tahun
dibulatkan atau >35
keatas dan < 6 tahun
bulan dibulatkan
kebawah
2 Jenis Suatu Format Studi Ordinal 1.Tidak
Persalinan pengkategorian Pengumpulan dokumentasi beresiko
jenis persalinan Data Partus
yang dialami ibu spontan
pada saat 2.Beresiko
kelahiran bayi Partus
dengan

23
tindakan
3 Penyakit Suatu Format Studi Ordinal 1.Tidak
selama pengkategorian Pengumpulan dokumentasi beresiko
kehamilan berdasarkan Data Tidak adanya
penyakit yang penyakit
diderita ibu pada selama
saat kehamilan kehamilan
yang bersifat 2.Beresiko
kronis seperti : Ada penyakit
hipertensi, selama
anemia, jantung, kehamilan
penyakit paru, seperti
serta gangguan hipertensi,
kontraksi uterus anemia,
jantung dan
penyakit paru
gangguan
kontraksi
uterus
4 Kejadian Suatu Format Studi Ordinal 1.Tidak asfiksia
asfiksia pengkategorian Pengumpulan dokumentasi , jika bayi
berdasarkan Data menangis
kejadian asfiksia segera setelah
bayi setelah lahir
dilahirkan 2.Asfiksia
, jika bayi
tidak
menangis
segera setelah
lahir

C. Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara penelitian atau dalil sementara yang

kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian.

Ha :Adanya hubungan yang berarti antara umur ibu dengan kejadian asfiksia

Ha :Adanya hubungan yang berarti antara jenis persalinan ibu dengan kejadian

asfiksia

Ha :Adanya hubungan yang berarti antara penyakit selama kehamilan dengan

kejadian asfiksia

24
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif analitik

dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini bertujuan untuk melihat

hubungan antara variable independen dan variable dependen yang dikumpulkan

dalam waktu bersamaan dalam suatu sampel dan populasi (Notoatmojo, 2012).

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Mei 2018. Penelitian

dilaksanakan di ruang Perinatologi Dharmasraya tahun 2018.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti.

(Notoatmodjo, 2012) Populasi dalam penelitian ini adalah ibu bersalin dengan

bayi hidup dengan partus spontan maupun dengan partus buatan di Ruang

Perinatologi Dharmasraya pada Januari – Maret 2018 tercatat 237 ibu

melahirkan.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian populasi yang akan diteliti. Sampel dalam

penelitian ini adalah ibu yang melahirkan di ruang kebidanan yang tercatat

25
dalam buku register (medical record) di Rumah Sakit Umum Dharmasraya

tahun 2017 sebanyak 69 orang.

Sampel diambil dengan menggunakan teknik simple random sampling,

dimana jumlah sampel dihitung dengan menggunakan rumus :

Keterangan :

n = besaran sampel

N = besar populasi

= nilai sebaran baku, besarnya tergantung tingkat kepercayaan

(95% = 1,96)

P = proporsi kejadian (0,5)

d = tingkat keprcayaan yang diinginkan (0,1)

D. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan adalah data sekunder yaitu data yang dikumpulkan

dari studi dokumentasi rekam medic tentang umur ibu, jenis persalinan ibu,

penyakit selama kehamilan yang diderita ibu dan Apgar Skor bayi yang dirawat

di Ruang Perinatologi Dharmasraya tahun 2018.

26
E. Pengolahan dan Penyajian Data

1. Pengolahan Data

Agar diketahui hasil data yang diteliti. Adapun pengolahan data dilakukan

dalam beberapa tahap sebagai berikut :

a. Editing (penyusunan atau pemeriksaan data)

Memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh atau dikumpulkan.

b. Coding (Pengkodean Data)

Member kode pada setiap jawaban dengan angka / huruf agar lebih dan

sederhana, untuk pengolahan data dilakukan pengkodean

c. Entry

Memisahkan kode jawaban kedalam master table kemudian diolah secara

manual.

d. Cleaning

Data yang telah diolah dicek kembali untuk memastikan data tersebut telah

bersih dari kesalahan.

e. Tabulating

Menyusun data dalam bentuk table distribusi dan table silang 2 variabel.

F. Analisis Data

1. Analisis Univariat

Analisis ini digunakan untuk mendapatkan gambaran dari masing-masing

variable yaitu umur ibu, jenis persalinan ibu, penyakit selama kehamilan dan asfiksia

dengan menganalisis distribusi frekuensi dan persentase dengan rumus :

27
Keterangan :

P : nilai persentase

f : frekuensi

n : jumlah responden

2. Analisis Bivariat

Setelah data secara univariat diperoleh maka analisis dilanjutkan ke tingkat

bivariat. Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara 2 variabel

dengan menggunakan uji statistic chi square untuk uji hipotesis dengan derajat

kepercayaan 95%.

Apabila nilai p ≤ 0,05maka secara statistic terdapat hubungan yang bermakna

, sedangkan jika p > 0,005 maka secara statistik tidak terdapat hubungan yang

bermakna antara 2 variable, sehingga Ha ditolak

28

Você também pode gostar