Você está na página 1de 11

PERBEDAAN LAMA WAKTU TERCAPAINYA STABILITAS VISUS KOREKSI

PASIEN KATARAK SENILIS PASCA OPERASI ANTARA METODE


FAKOEMULSIFIKASI DAN SICS DI RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO

Lutfi Maulana1, Wahid Heru Widodo2, Joko Mulyanto1


1
Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Indonesia
2
Bagian Ilmu Penyakit Mata RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo, Purwokerto, Indonesia
Email: dr.lutfi.maulana@gmail.com

ABSTRAK

Katarak merupakan salah satu penyebab kebutaan terbesar di dunia, termasuk di Indonesia.
Satu-satunya penatalaksanaan definitif katarak hanyalah operasi katarak. Terdapat dua
metode yang sekarang lazim digunakan yaitu Fakoemulsifikasi dan Small Incision Cataract
Surgery(SICS). Pasca operasi pasien biasanya mendapatkan kacamata dalam waktu 2 – 3
bulan menunggu visus menjadi stabil. Tujuan penelitian ini adalah untuk meneliti perbedaan
lama waktu tercapainya stabilitas visus koreksi pasien katarak senilis pasca operasi antara
metode Fakoemulsifikasi dan SICS di RSUD Margono Soekarjo. Desain penelitian ini adalah
observasional analitik dengan pendekatan kohort prospektif. Sampel penelitian adalah pasien
katarak senilis imatur yang datang ke Klinik Mata RSUD Margono Soekarjo untuk dioperasi
selama bulan Juni 2015. Metode sampling yang digunakan adalah total sampling. Jumlah
sampel yang didapatkan 24 mata dengan 13 di kelompok Fakoemulsifikasi dan 11 di
kelompok SICS. Analisis bivariat dengan uji nonparametrik Mann Whitney. Terdapat
perbedaan rerata lama waktu tercapainya stabilitas visus koreksi pasien katarak senilis pasca
operasi yang signifikan (p<0,05) antara kelompok Fakoemulsifikasi dan SICS dengan P =
0,019. Dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan rerata yang bermakna pada pasien
katarak senilis pasca operasi antara metode Fakoemulsifikasi dan SICS.
Kata Kunci : Stabilitas visus koreksi, Fakoemulsifikasi, SICS, katarak.

ABSTRACT

Cataract is the leading cause of blindness worldwide, including in Indonesia. The only
definitive cure for cataract is cataract surgery.There were two methods that used the most,
Phacoemulsification and Small Incision Cataract Surgery (SICS). Post operation, patient
usually given glassess two to three months after surgery after they had achieved visual
stabilization. The aim of this study was to analyze difference in time reached of post
operation senile cataract patient visual correction stability between phacoemulsification and
SICS method in RSUD Margono Soekarjo. This was an analytical observational study with
prospective cohort approach. The samples were senile cataract patients that underwent
cataract surgery in Eye Clinic in RSUD Margono Soekarjo in June 2015. Sampling method
used was total sampling. The number of samples obtained were 24 eyes which 13 in
Phacoemulsification group and 11 in SICS group. Bivariate analysis used was Mann Whitney
nonparametric test. There was a significant mean difference (p<0,05) in time reached of
senile cataract patient visual correction stability between phacoemulsification group and
SICS group with p = 0,019. It can be concluded that there is a significant mean difference in
time reached of post operation senile cataract patient visual correction stability between
Phacoemulsification and SICS surgery method.
Keywords : Visual correction stability, Phacoemulsification, SICS, cataract.
Latar Belakang
Katarak merupakan penyakit mata akibat kekeruhan lensa dan
merupakan penyebab kehilangan penglihatan paling umum. Penderita katarak
di estimasikan berjumlah 20 juta orang di seluruh dunia dengan prevalensi
terbesar berada pada orang dengan usia diatas 50 tahun. (WHO, 2010). Katarak
masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Berdasarkan hasil riset
kesehatan daerah pada tahun 2013, prevalensi katarak di Indonesia adalah
sebesar 1,8% dari total penduduk dan prevalensi kebutaan sebesar 0,4% dari
total jumlah penduduk. Prevalensi katarak tertinggi berada di Sulawesi Utara
yaitu sebesar 3,7%, lalu diikuti oleh Jambi 2,8%, dan Bali 2,7% sedangkan
prevalensi katarak terendah ada di DKI Jakarta yaitu sebesar 0,9%. Jawa
tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang masih memiliki
permasalahan dengan katarak dan memiliki prevalensi katarak yang cukup
tinggi yaitu 2,4% dari total prevalensi katarak di seluruh Indonesia (Riskesdas,
2013)
Hasil riset kesehatan daerah provinsi Jawa Tengah tahun 2013
menunjukkan prevalensi katarak di Banyumas sebesar 1,2% dari total penderita
katarak di Jawa tengah. Prevalensi katarak tersebut didapat dari responden
yang didiagnosis menderita katarak oleh tenaga kesehatan dalam 12 bulan
terakhir (Riskesdas Jawa Tengah, 2013). Penatalaksanaan definitif katarak
dilakukan dengan tindakan operatif. Sampai saat ini ada empat metode operatif
dalam penatalaksanaan katarak yaitu ekstraksi katarak intra kapsular (EKIK),
ekstraksi katarak ekstra kapsular tanpa fakoemulsifikasi (EKEK), ekstraksi
katarak ekstra kapsular dengan fakoemulsifikasi (Fakoemulsifikasi) dan Small
Incision Cataract Surgery (SICS) (Riordan, 2010).
Metode Fakoemulsifikasi dapat dikatakan sebagai modifikasi dari metode
EKEK. Perbedaan mendasar kedua teknik ini adalah
Fakoemulsifikasimenggunakan insisi yang lebih kecil untuk kemudian
memasukkan alat ultrasonik frekuensi tinggi untuk mengemulsifikasi lensa lalu
diaspirasi dan memasukkan lensa intraokular yang dapat dilipat sehingga
mampu melewati celah sempit hasil insisi. Metode ini lebih diminati karena
insisi yang dibuat lebih kecil sehingga mempercepat durasi operasi dan masa
penyembuhan (Penny et al, 2005).
SICS adalah salah satu teknik operasi katarak yang tidak membutuhkan
peralatan yang mahal dan kompleks. Biaya yang dikeluarkan tidak sebanyak
metode Fakoemulsifikasidan tidak membutuhkan proses pembelajaran yang
cukup lama untuk bisa menguasai teknik SICS. Teknik ini menggunakan insisi
yang lebih kecil sehingga mempercepat masa penyembuhan. SICS memiliki
hasil visus koreksi dan durasi penyembuhan yang setara dengan
Fakoemulsifikasidan dengan durasi operasi yang lebih singkat dari EKEK dan
EKIK. Metode ini direkomendasikan untuk digunakan di daerah yang
membutuhkan operasi katarak dengan volume yang tinggi (Ahmad, 2005).
Pasca operasi pasien bisa diberikan koreksi maksimal dengan kacamata
untuk memaksimalkan ketajaman visus pasien. Penelitian yang dilakukan oleh
Lei, menunjukkan bahwa visus koreksi terbaik pada pasien katarak pasca
operasi dengan metode Fakoemulsifikasi diraih antara hari pertama sampai 1
minggu setelah operasi (Lei, 1997). Perbaikan visus koreksi pada pasien
katarak dengan metode SICS dapat dicapai dalam waktu 3 minggu pasca
operasi dengan visus 6/12 atau lebih baik (Ahmad, 2005). Visus dapat
dikatakan stabil setelah 8 minggu pasca operasi katarak (Sulistyowati, 2001).
Umumnya pemberian kacamata dapat dilakukan ataupun tidak bagi pasien
setelah operasi katarak dengan penanaman lensa intra okuler, namun
diperlukan waktu antara satu sampai tiga bulan lamanya untuk pasien
mendapat kacamata (American Academy of Opthalmology, 2011-2012). Oleh
karena itu perlu diketahui perbedaan lama tercapainya stabilitas visus koreksi
pasca operasi katarak antara metode fakoemulsifikasi dan SICS.
Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah studi analitik dengan pendekatan cohort
prospektif untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan lama waktu
tercapainya stabilitas visus koreksi pada pasien katarak senilis pasca operasi
antara metode SICS dan Fakoemulsifikasi. Sampel penelitian adalah semua
pasien katarak senilis imatur yang memenuhi kriteria eksklusi dan inklusi
serta berusia diatas 50 tahun yang datang ke Klinik Mata Prof. dr. Margono
Soekarjo Purwokerto (RSMS Purwokerto) untuk dilakukan operasi katarak
selama bulan Juni 2015. Operasi katarak dilakukan oleh satu dokter spesialis
mata di RSMS Purwokerto. Pasien yang diteliti adalah pasien yang dilakukan
tindakan operasi fakoemulsifikasi dan SICS serta tidak menderita Diabetes
Mellitus. Pasien yang tidak bisa dikoreksi visusnya pasca operasi akibat
komplikasi saat maupun pasca operasi akan di eksklusi dari penelitian ini.
Variabel bebas data adalah jenis operasi dan variabel terikatnya adalah lama
waktu tercapainya stabilitas visus koreksi.
Analisis statistik yang digunakan pertama adalah analisis univariat
karakterisitik responden meliputi usia, jenis kelamin, pekerjaan dan
pendidikan pasien. Setelah itu dilakukan uji normalitas menggunakan Saphiro
Wilk, setelah diuji ternyata hasilnya tidak normal (p<0,05) maka dilakukan
transformasi data dan kembali dilakukan uji normalitas namun hasilnya tetap
tidak normal, maka uji bivariat yang digunakan adalah uji nonparametrik
yaitu uji Mann Whitney.
Hasil
Total sebanyak 54 pasien yang masuk kriteria inklusi untuk
dilakukan pengamatan. Setelah dilakukan pengamatan, sebanyak 24
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yaitu 13 pasien katarak
dilakukan tindakan fakoemulsifikasi dan 11 pasien dilakukan tindakan
SICS.
Pasien datang ke
Klinik Mata RSMS

Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Fakoemulsifikasi SICS
n = 30 n = 24

Pengamatan Drop Out


(n=30)

Fakoemulsifikasi SICS
n = 13 n = 11
Tabel 1.1 memperlihatkan karakteristik subjek penelitian.
Pasien pada kelompok fakoemulsifikasi memiliki rerata umur
63,85±6,88 tahun dan rerata umur pasien pada kelompok SIC adalah
66,82±8,52. Jenis kelamin laki-laki ditemukan lebih banyak
dibandingkan perempuan pada kedua kelompok yaitu 69,23% pada
kelompok fakoemulsifikasi dan 54,55% pada kelompok SICS. Status
pendidikan SD ditemukan paling banyak yaitu sebesar 53,85% pada
kelompok fakoemulsifikasi dan 54,55% pada kelompok SICS. Swasta
merupakan pekerjaan terbanyak yaitu 46,15% pada kelompok
fakoemulsifikasi, sedangkan petani adalah jenis pekerjaan terbanyak
yaitu 45,45% pada kelompok SICS.

Tabel 1.1 Data Karakteristik Responden


Tindakan Operasi
Karakter Fakoemulsifikasi SICS
n= 13 n= 11
Usia (Tahun) 63,85±6,88 66,82±8,52
(Rerata±SD)
Jenis Kelamin {n (%)}
Laki-laki 9 (69,23) 6 (54,55)
Perempuan 4 (30,77) 5 (45,45)
Pendidikan {n (%) }
SD 7 (53,85) 6 (54,55)
SMP 2 (15,38) 3 (27,27)
SMA 3 (21,43) 1 (9,1)
Perguruan Tinggi 1 (7,69) 1 (9,1)
Pekerjaan {n (%) }
Petani 3 (21,43) 5 (45,45)
Ibu rumah tangga 3 (21,43) 2 (18,18)
Swasta 6 (46,15) 3 (27,27)
PNS/Pensiunan 1 (7,69) 1 (9,1)

Tabel 1.2 memperlihatkan perbedaan rerata lama waktu


tercapainya stabilitas visus koreksi antara kelompok fakoemulsifikasi dan
SICS. Rerata lama waktu tercapainya stabilitas visus koreksi pada
kelompok fakoemulsifikasi lebih rendah dari kelompok SICS. Rerata lama
waktu tercapainya stabilitas visus koreksi adalah 5±1,83minggu pada
kelompok fakoemulsifikasi dan 6,63±0,81minggu pada kelompok SICS.
Hasil ini menunjukkan, rerata lama waktu tercapainya stabilitas visus
koreksi pada SICS lebih tinggi 1,63 minggu daripada kelompok
fakoemulsifikasi dan perbedaan ini bermakna secara statistik (p<0,05).

Tabel 1.2 Lama waktu tercapainya stabilitas visus koreksi.


Tindakan Operasi Beda
Variabel Nilai p
Fakoemulsifikasi SICS Rerata
Lama waktu
tercapainya
stabilitas visus
koreksi 5±1,83 6,63±0,81 1,63 0.019*
(Minggu)
(Rerata±SD)
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan lamawaktu tercapainya stabilitas
visus koreksi pada pasien dengan metode operasi fakoemulsifikasi lebih
cepat yaitu 5±1,83 minggu daripada metode SICS yaitu 6,63±0,81 minggu
(P=0,019). Hal tersebut menunjukkan bahwa metode operasi
fakoemulsifikasi secara statistik signifikan menghasilkan lama waktu
tercapainya stabilitas visus koreksi yang lebih cepat dibandingkan metode
operasi SICS. Pada metode Fakoemulsifikasi dan SICS terdapat perbedaan
lebar insisi, dimana insisi pada Fakoemulsifikasi adalah 2,75 mm dan
dilebarkan menjadi 5,5 mm saat memasukkan lensa tanam intra okuler
(non-foldable intra ocular lens).
Penelitian Tetsuro et al (1995) menunjukkan bahwa kestabilan
visus berkaitan dengan lebar insisi, operasi katarak dengan insisi 3,2 mm
mencapai stabilitas visus dalam waktu dua minggu dan dalam waktu 4
minggu pada insisi 5,5 mm dengan teknik operasi
fakoemulsifikasi(Tetsuro et al, 1995). Penelitian Tetsuro et al (1995)
menunjukkan perbedaan lama tercapainya waktu stabilitas visus dengan
penelitian ini dimana rerata stabilitas visus yang dicapai pada kelompok
fakoemulsifikasi adalah 5±1,83 minggu dan 6,63±0,81 minggu untuk
kelompok SICS, perbedaan hasil ini menunjukkan bahwa pada operasi
katarak lebar insisi berpengaruh terhadap lama waktu tercapainya stabilitas
visus koreksi. Lebar insisi dipengaruhi oleh jenis lensa tanam yang
digunakan, pada foldable intra ocular lens (IOL), lebar insisi yang
digunakan minimal adalah 2,75 mm sedangkan pada lensa tanam non-
foldable IOL lebar insisi yang digunakan minimal 5,5 mm (Istiantoro et al,
2004).
Penelitian Samuel et al (1996) menunjukkan bahwa stabilitas
kelengkungan kornea tercapai dalam waktu dua minggu dengan insisi
temporal dan lebar 3.0 mm (Samuel et al, 1996). Proses remodelling
kornea akan berjalan terus sampai kelengkungan kornea sampai mencapai
nilai normalnya. Proses remodelling yang terus menerus akibat perubahan
kelengkungan kornea akan menyebabkan berubahnya nilai visus koreksi
secara terus menerus. Penelitian Samuel et al (1996) menunjukkan hal
yang sama dengan penelitian Rahmi (2001) yaitu derajat astigmatisme
mempengaruhi lama penyembuhan dan waktu tercapainya ketajaman visus
maksimal. Kelengkungan kurvatura kornea pasca operasi katarak relatif
stabil mulai minggu ke delapan pasca operasi dengan lebar insisi
11,12±0,87 mm. Selama delapan minggu kornea akan terus mengalami
remodelling sehingga kornea akan terus menerus mengalami perubahan
yang mengakibatkan perubahan visus secara berkala (Rahmi, 2001).
Penelitian ini sebanding dengan penelitian sebelumnya dimana
fakoemulsifikasi memiliki waktu penyembuhan yang lebih cepat
dibanding SICS karena induksi astigmatisme SICS yang lebih besar
dibanding fakoemulsifikasi dengan rerata induksi astigmatisma pasca
operasi sebesar 1,77 D untuk EKEK, 1,17 D untuk SICS dan 0,77 D untuk
fakoemulsifikasi dengan p = 0,001(Ronnie et al, 2005).
Penelitian Bhaskar et al. (2008) juga menunjukkan adanya
perbedaan rerata derajat astigmatisme antara metode SICS dengan insisi
temporal dan fakoemulsifikasi dengan insisi kornea masing-masing
1,57±0,24 D dan 1,08±0,36 D (Bhaskar et al, 2007).
Kornea merupakan salah satu media refrakta. Cahaya melewati
kornea dalam perjalanannya menuju retina. Untuk memenuhi fungsi
tersebut kelengkungan kornea harus sesuai agar cahaya jatuh tepat
dibelakang retina. Jumlah sinar yang dibelokkan pada permukaan optik
tergantung pada dua faktor yaitu kurvatura permukaan optik dan densitas
media yang dilewatinya. Kurvatura kornea berubah sesuai dengan umur
(Amrecian Academy of Ophtalmology, 2011-2012).
Penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Sulistyowati (2001)
dimana stabilitas visus koreksi pasca operasi katarak didapatkan dalam
waktu delapan minggu dengan kriteria stabilitas visus yang sama yaitu
pada dua kali pengamatan kontrol beturut-turut. Hal ini berbeda karena
pada penelitian tersebut metode operasi yang digunakan berbeda yaitu
EKEK dan EKIK. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa permberian
kacamata dapat diberikan delapan minggu pasca operasi setelah visus
koreksi stabil (Sulistyowati, 2001). Pemberian kacamata pada pasien pasca
operasi ekstra kapsuler dapat diberikan dalam waktu 6-8 minggu namun
dengan berkembangnya prosedur waktu tersebut dapat diperpendek
(American Academy of Ophthalmology, 2011-2012). Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pasien pada kelompok fakoemulsifikasi memperoleh
stabilitas visus yang lebih cepat dibanding metode SICS, hal ini
dikarenakan pada SICS insisi lebih lebar sehingga mempengaruhi
kelengkungan kurvatura kornea yang menyebabkan astigmatisma dan
proses remodelling kornea membuat stabilitas visus koreksi membutuhkan
waktu lebih lama untuk mencapai stabilitasnya. Peneliti belum
menemukan jurnal lain yang membahas tentang stabilitas visus koreksi
pada pasien pasca operasi katarak terutama yang membandingkan metode
operasi fakoemulsifikasi dan SICS.
Masih ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi stabilitas visus
koreksi pada pasien pasca operasi katarak seperti jumlah jahitan, lokasi
jahitan, lokasi insisi, kekencangan jahitan, derajat kerusakan jaringan
mata, astigmatisme pasca operasi, edema kornea pasca operasi dan
inflamasi mata pasca operasi yang berpengaruh pada stabilitas visus
koreksi pasca operasi katarak. Terdapat bias dalam pengukuran visus
koreksi karena ada lebih dari satu operator yang melakukan pengukuran
menggunakan trial lens dan trial frame. Jumlah subjek penelitian yang
sedikit, disini subjek penelitian berjumlah 24 mata karena banyaknya
pasien yang drop out karena tidak datang kontrol pada waktu yang telah
ditentukan, pada penelitian-penelitian sebelumnya jumlah sampel mata
lebih dari 50 mata.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada pasien pasca
operasi katarak di RSUD Margono Soekarjo Purwokerto, maka dapat
disimpulkan bahwa
1. Rerata lama waktu tercapainya stabilitas visus koreksi pada pasien
katarak senilis imatur pasca operasi katarak pada kelompok
fakoemulsifikasi adalah 5+1,83minggu
2. Rerata lama waktu tercapainya stabilitas visus koreksi pada pasien
katarak senilis imatur pasca operasi katarak pada kelompok SICS
adalah 6,63+0,81 minggu
3. Terdapat perbedaan yang signifikan pada nilai rerata lama waktu
tercapainya stabilitas visus koreksi pada pasien katarak senilis imatur
pasca operasi katarak metode fakoemulsifikasi dibandingkan dengan
metode SICS di RSUD Margono Soekarjo Purwokerto(p<0,05).
Saran
1. Melakukan penelitian yang sama dengan menambah jumlah sampel
penelitian. Penelitian ini bisa menjadi landasan untuk menghitung
jumlah sampel yang adekuat untuk penelitian selanjutnya
2. Melakukan penelitian dengan membandingkan derajat astigmatisme
dengan lama waktu tercapainya stabilitas visus koreksi pada kedua
teknik operasi baik SICS dan fakoemulsifikasi
3. Menghilangkan bias dalam pengukuran variabel penelitian dengan satu
orang operator saja saat melakukan pengukuran variabel penelitian.
4. Melakukan edukasi pada pasien untuk rutin melakukan kontrol pasca
operasi katarak agar pasien dapat memperoleh kacamata.
Daftar Pustaka
Ahmad Imtiyaz, Wahab Abdul, Sajjad Sheikh, Reyaz A Untoo. 2005. Visual
Rehabilitation Following Manual Small Incision Cataract Surgery. JK
Science Vol. 7 No. 3, July-September 2005.
American Academy of Ophtalmology. 2011-2012. Basic Clinical Science
Course Section 11. San Fransisco : American Academy of Ophtalmology
Bhaskar Reddy, Amit Raj, Virendar Pratap Singh. 2007. Site of Incision and
Corneal Astigmatism in Conventional SICS Versus Phacoemulsification.
Annals of Ophtalmology Vol. 39 Issue 3.
Cataract, National Eye Institute U.S. 2010, diunduh di
https://www.nei.nih.gov/EYEDATA/cataract#top pada tanggal 12
november 2014.
Dupps J. William, Wilson E. Steven. 2006. Biomechanics and Wound Healing
in the Cornea. Elsevier, Experimental Eye Research vol 83
Ehrlich, Joshua. 2014. Manual Small Incision Cataract Surgery. American
Academy of Ophthalmology diunduh di
http://eyewiki.aao.org/Manual_Small_Incision_Cataract_Surgery pada
tanggal 8 April 2015
Fine I. Howard, Fichmann A. Richard, Grabow B. Harry. Clear-Corneal
Cataract Surgery and Topical Anasthesia. New York : McGraw-Hill, Inc.
Fraenkel, J. & Wallen, N. (1993). How to Design and evaluate research in
education. (2nd ed). New York: McGraw-Hill Inc.
Ilyas, S. 2013. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.
Istiantoro Soekardi, Hutauruk A. Johan. 2004. Transisi Menuju
Fakoemulsifikasi : Langkah-langkah menguasai teknik dan menghindari
komplikasi. Jakarta : Granit
James, B. 2006. Lecture Notes Of Ophthalmology. Massachussetts : Blackwell
Publishing.
Jester V. James, Petroll Mathew W, Cavanagh Dwight H. 1999. Corneal
Stromal Wound Healing in Refractive Surgery: The Role of
Myofibroblast. Progress in Retinal and Eye Research Vol 18 No 3,
Elsevier Science: Great Britain.
Khurana A.K. 2007. Comprehensive Ophtalmology fourth edition. New Delhi
: New Age International (Ltd) Publisher
Lei Zheng, John C. Merriam, Marco Zaider. 1997. Astigmatism and visual
recovery after large inscision extracapsular cataract surgery and small
incisions for phakoemulsification. Tr. Am. Ophth. SOC. Vol. XCV
Penny A. Asbell, Ivo Dualan, Joel Mindel, Dan Brocks, Mehdi Ahmad, Seth
Epstein. 2005. Age related cataract. Lancet;365:599-609. U.S.
Rahmi Fifin Luthfia, 2001. Perubahan Kurvatura Kornea Pasca Operasi
Katarak. SMF Ilmu Penyakit Mata FK UNDIP/RSUD Kariadi:Semarang.
Reim Martin, Kottek Alexander, Schrage Norbert. 1997. The Cornea Surface
and Wound Healing. Progress in Retinal Eye Research Vol 16 No 2,
Elsevier Science: Great Britain.
Riordan Eva, Paul John P. Whitcer. 2010. Vaughan and Asbury. Oftalmologi
Umum. Jakarta:EGC
Riskesdas. 2013. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan, kementerian
kesehatan republik indonesia, diunduh di
http://terbitan.litbang.depkes.go.id/penerbitan/index.php/blp/catalog/book/
64 pada tanggal 12 november 2014.
Riskesdas Jawa Tengah. 2013. Badan penelitian dan pengembangan
kesehatan, kementerian kesehatan republik indonesia, diunduh di
http://terbitan.litbang.depkes.go.id/penerbitan/index.php/blp/catalog/book/
64 pada tanggal 12 november 2014.
Ronnie George, Pankaj Rupauliha, A. V. Sripiya, p. S. Rajesh, P. Vishnu
vahan, Smita Praveen. 2005. Comparison of Endothelial Cell Loss and
Surgically Induced Astigmatism following Conventional Extracapsular
Cataract Surgery, Manual Small-Incision Surgery and
Phacoemulsification. Ophtalmic Epidemiology Vol 12 Issue 5.
Ruit Sanduk, Tabin Geoff, Gurung Reeta, Paudyal Govinda, Feilmeier
Michael. 2006. Standart Operation Procedure Manual for: Modern Small
Incision Cataract Surgery. Tilganga Eye Center: Kathmandu, Nepal.
Samuel Masket, Debra Gayle Tennen. 1996. Astigmatic Stabilization of 3.0
mm Temporal Clear Corneal Cataract Incisions. Journal of Cataract and
Refractive Surgery Vol. 22 Issue 10.
Sherwood Lauralee, 2010. Fisiologi Manusia : dari sel ke sistem. Jakarta :
EGC
Snell S. Richard, 2012. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta : EGC
Spencer, William. 1985. Ophthalmic Pathology. An Atlas and Textbook. Vol
1.W.B Saunders Company: Philadelphia
Sulistyowati Anni, 2001. Stabilitas visus koreksi pasca operasi katarak senilis
secara masal (pengamatan selama 8 minggu). SMF Penyakit Mata FK
Undip/RSUP Kariadi:Semarang
Tetsuro Oshika, Shunji Tsuboi. 1995. Astigmatic and Refractive Stabilization
After Cataract Surgery. Ophtalmic Surgery Vol 26 Issue 4.
WHO. 2010. Visual Impairment and blindess diunduh di
http://www.who.int/blindness/data_maps/en/ pada tanggal 12 November
2014.
Vinay Kumar, Ramzi S. Cotran, Stanley R. Robbins. 2007. Buku Ajar
Patologi Robbins Edisi 7 Volume 1. Jakarta : EGC

Você também pode gostar

  • Referat Lutfi & Deddy
    Referat Lutfi & Deddy
    Documento16 páginas
    Referat Lutfi & Deddy
    creedlutfi
    Ainda não há avaliações
  • Cha Hipertensi
    Cha Hipertensi
    Documento95 páginas
    Cha Hipertensi
    creedlutfi
    Ainda não há avaliações
  • Sejarah Bem KBMK Unsoed
    Sejarah Bem KBMK Unsoed
    Documento37 páginas
    Sejarah Bem KBMK Unsoed
    creedlutfi
    100% (1)
  • F1 Lutfi
    F1 Lutfi
    Documento7 páginas
    F1 Lutfi
    creedlutfi
    Ainda não há avaliações
  • BS
    BS
    Documento3 páginas
    BS
    creedlutfi
    Ainda não há avaliações
  • PBL 3 Lutfi
    PBL 3 Lutfi
    Documento3 páginas
    PBL 3 Lutfi
    creedlutfi
    Ainda não há avaliações
  • Untitled 1jhk
    Untitled 1jhk
    Documento3 páginas
    Untitled 1jhk
    creedlutfi
    Ainda não há avaliações
  • Abses Cerebri2
    Abses Cerebri2
    Documento7 páginas
    Abses Cerebri2
    creedlutfi
    Ainda não há avaliações
  • Soal Antialergi SP Dms 2013
    Soal Antialergi SP Dms 2013
    Documento3 páginas
    Soal Antialergi SP Dms 2013
    creedlutfi
    Ainda não há avaliações
  • Jurding Radiologi Gabung Fix
    Jurding Radiologi Gabung Fix
    Documento13 páginas
    Jurding Radiologi Gabung Fix
    creedlutfi
    Ainda não há avaliações
  • Asistensi YLPP Dan Poltekkes Semarang 2013
    Asistensi YLPP Dan Poltekkes Semarang 2013
    Documento8 páginas
    Asistensi YLPP Dan Poltekkes Semarang 2013
    creedlutfi
    Ainda não há avaliações
  • Badan Eksekutif Eventorganizer Mahasiswa
    Badan Eksekutif Eventorganizer Mahasiswa
    Documento3 páginas
    Badan Eksekutif Eventorganizer Mahasiswa
    creedlutfi
    Ainda não há avaliações
  • Soal DR Nasyid
    Soal DR Nasyid
    Documento1 página
    Soal DR Nasyid
    creedlutfi
    Ainda não há avaliações
  • Biokimia Digestif
    Biokimia Digestif
    Documento2 páginas
    Biokimia Digestif
    creedlutfi
    Ainda não há avaliações
  • Lutfi PBL 2
    Lutfi PBL 2
    Documento4 páginas
    Lutfi PBL 2
    creedlutfi
    Ainda não há avaliações
  • Anestesi Lokal
    Anestesi Lokal
    Documento5 páginas
    Anestesi Lokal
    creedlutfi
    Ainda não há avaliações
  • Catetan Kuliah
    Catetan Kuliah
    Documento1 página
    Catetan Kuliah
    creedlutfi
    Ainda não há avaliações
  • Referat Lutfi
    Referat Lutfi
    Documento2 páginas
    Referat Lutfi
    creedlutfi
    Ainda não há avaliações
  • Injeksi BHL 2
    Injeksi BHL 2
    Documento6 páginas
    Injeksi BHL 2
    creedlutfi
    Ainda não há avaliações
  • DK 1
    DK 1
    Documento2 páginas
    DK 1
    creedlutfi
    Ainda não há avaliações
  • PBL 1 Cardio
    PBL 1 Cardio
    Documento4 páginas
    PBL 1 Cardio
    creedlutfi
    Ainda não há avaliações
  • Capros Musma 8 Des 2012
    Capros Musma 8 Des 2012
    Documento9 páginas
    Capros Musma 8 Des 2012
    creedlutfi
    Ainda não há avaliações
  • Catetan Kuliah
    Catetan Kuliah
    Documento1 página
    Catetan Kuliah
    creedlutfi
    Ainda não há avaliações
  • DK 2 Lutfi
    DK 2 Lutfi
    Documento3 páginas
    DK 2 Lutfi
    creedlutfi
    Ainda não há avaliações
  • DIAGNOSIS
    DIAGNOSIS
    Documento13 páginas
    DIAGNOSIS
    creedlutfi
    Ainda não há avaliações
  • Selamat Hari Anti Korupsi SeDunia
    Selamat Hari Anti Korupsi SeDunia
    Documento2 páginas
    Selamat Hari Anti Korupsi SeDunia
    creedlutfi
    Ainda não há avaliações
  • Referat Lutfi
    Referat Lutfi
    Documento2 páginas
    Referat Lutfi
    creedlutfi
    Ainda não há avaliações
  • Skillab PF Jantung
    Skillab PF Jantung
    Documento2 páginas
    Skillab PF Jantung
    creedlutfi
    Ainda não há avaliações
  • UKT Sarasehan
    UKT Sarasehan
    Documento14 páginas
    UKT Sarasehan
    creedlutfi
    Ainda não há avaliações