Você está na página 1de 4

BAB X ( SISTEM POLITIK DAN DEMOKRASI DALAM ISLAM)

A. Pengertian Politik Islam

Perkataan politik berasal dari bahasa latin dan bahasa yunani “Politicus” dan “politicos”,
keduanya berarti sesuatu yang berhubungan dengan warga Negara atau warga kota. Kedua kata itu
berasal dari kata Polis maknanya Kota. (Muhammad Daud Ali, 1998). Dalam kamus besar bahasa
Indonesia (1989) pengertian politik sebagai kata benda ada tiga maknanya jika dikaitkan dengan
ilmu artinya :

1. Pengetahuan mengenai ketatangeraan atau kenegaraan (tentang sistem pemerintahan,


dasar-dasar pemerintahan)
2. Segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat dan sebagainya) mengenai
pemerintahan atau terhdap Negara lain
3. Kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau mengenai suatu masalah)

Pengertian politik menurut kamus di atas dapat disimpulkan bahwa politik adalah ilmu
tentang ketatanegaraan, kebijksanaan, siasat dan cara bertindak menghadapi sesuatu masalah.

Pengertian politik menurut ilmuwan adalah sebagai berikut :

a. Meriam Budiardjo (1993) mengatakan ada lima unsur sebagai konsep pokok dalam
politik, yaitu :
1. Negara
2. Kekuasaan
3. Pengambilan keputusan
4. Kebijaksanaan
5. Pembagian dan penjatahan nilai-nilai dalam masyarakat
Jadi, pengertian politik menurut beliau adalah bermacam-macam kegiatan
dalam suatu sistem politik (Negara) yang menyangkut proses menentukan
tujuan-tujuan itu.
b. Deliar Noer mengatakan bahwa politik menggunakan dua pendekatan:
1. Pendekatan nilai
2. Pendekatan perilaku
Jadi, politik adalah segala aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan
kekuasaan untuk mempengaruhi, dengan jalan mengubah atau
mempertahankan suatu macam bentuk susunan masyarakat.
c. Abd. Muin Salim (1994) memberikan pengertian politik: “Perilaku manusia baik
berupa aktivitas maupun sikap, yang bertujuan mempengaruhi atau
mempertahankan tatanan suatu masyarakat dengan mempergunakan kekuasaan.
B. Prinsip Dasar Politik Islam
Prinsip-prinsip dasar politik Islam tercantum dalam Al-Qur’an surat An-Nisaa’ ayat 58-59
(tugas, tulis ayat dan terjemahannya). Kandungan kedua ayat tersebut adalah:
1. Prinsip menunaikan amanah

Prinsip ini mengandung kewajiban setiap orang beriman baik ia sebagai pejabat
(berkuasa) maupun sebagai masyarakat biasa agar menunaikan amanah yang menjadi
tanggungjawabnya, meskipun amanah itu dari sesama manusia apalagi dari Allah. Di sisi
lain, ayat empat surat an-Nisa’ di atas memperkenalkan prinsip tanggungjawab
kekuasaan politik.

Al-Maraghy (1974: 70) dalam tafsirnya “Tafsir al-Maraghy” mengklarifikasi


amanah sebagai berikut:
1. Tanggungjawab manusia kepada Tuhan.
2. Tanggungjawab manusia kepada sesamanya.
3. Tanggungjawab manusia kepada dirinya sendiri.
2. Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan ini, menurut Islam berlaku kepada semua makhluk di bumi ini,
baik manusia secara individu maupun secara berkelompok, beriman atau tidak
beriman, kaya atau miskin, anak-anak atau orang dewasa. Prinsip keadilan ini
mutlak diberlakukan dalam semua lini kehidupan.
Dalam Al-Qur’an, istilah yang dipakai untuk makna keadilan adalah ‘Adl, al-qisth, al-
mizan, dan dengan menafikan kezaliman, walaupun pengertian keadilan tidak selalu
menjadi antonim kezaliman (Liberani dan Hidayat, 2003: 178)
M. Quraisy Syihab (1996: 112-113) dalam bukunya “Wawasan Al-Qur’an”
mengatakan “Islam memandang kepemimpinan sebagai perjanjian Ilahi yang
melahirkan tanggungjawabmenentang kezaliman dan menegakkan keadilan.
Kepemimpinan dalam pandangan Islam tidak hanya merupakan hubungan dengan
sesama manusia, tetapi juga menjadi hubungan atau perjanjian antara Allah dan
sang pemimpin untuk mempertanggungjawabkannya dengan berbuat keadilan.
3. Prinsip ketaatan kepada Allah, Rasul, dan Ulil Amri
Abd. Muin Salim (1994: 231) memberikan pengertian kalimat “Ulil Amri” dengan
makna “Pemilik Pemerintahan”, menjalankan roda pemerintahan dan kekuasaan.
Karena itu, makna tersebut mencakup setiap pribadi yang memegang kendali
urusan kehidupan baik urusan keluarga, tetangga, masyarakat dan Negara.
Prinsip ketiga ini mengandung unsur kesadaran untuk menaati perintah, baik
perintah itu sumbernya dari Allah yang tercantum dalam al-Qur’an dan sunnah
Rasul-Nya maupun dari orang yang diberi kekuasaan memerintah, selama yang
diperintahkan manusia tidak menyalahi syariat Islam.
4. Prinsip merujuk kepada Allah dan Rasul jika terjadi perselisihan.
Perselisihan apapun yang terjadi di antara manusia hendaklah diselesaikan
dengan cara mengembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya (Al-Qur’an dan
Sunnah) sekiranya masalahnya tidak dapat diselesaikan dengan cara
musyawarah dan mufakat. Di samping itu, cara penyelesaian masalah
berdasarkan wahyu menjauhkan orang dari pertengkaran dan perkelahian.
Iberani dan M. Hidayat (2003: 180) mengatakan bahwa musyawarah
adalah pemberian kesempatan kepada anggota masyarakat yang memiliki
kemampuan dan hak untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan yang
mengikat, baik dalam bentuk aturan-aturan hukum maupun kebijakan-kebijakan
politik.
C. Demokrasi dan Musyawarah
Iberani dan Hidayat (2003) memberikan pengertian “Demokrasi”, yaitu terdiri
atas kata “Demos” yang berarti rakyat dan “cratia” yang berarti pemerintahan. Jadi
demokrasi artinya pemerintahan di tangan rakyat atau kekuasaan ada di tangan rakyat.
Pendek kata, rakyat yang berkuasa, menentukan roda pemerintahan dengan sistem
perwakilan.
Ibnu zakaria (1972) dalam bukunya “Mu’Jam Maqaayis lughat” jilid III,
menjelaskan makna “Musyawarah”, yaitu merupakan bentuk Mashdar (kata kerja yang
dibendakan) yang berarti menampakkan dan menawarkan atau mengambil sesuatu.
Agak berbeda pengertian musyawarah menurut Quraisy Syihab (1996) dalam bukunya
“Wawasan al-Qur’an”, mengeluarkan madu dari sarang lebah. Di samping itu,
musyawarah juga berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu.
Secara etimologi, musyawarah mempunyai arti nasehat, konsultasi,
perundingan, pikiran atau konsideran permufakatan secara terminology, musyawarah
adalah majelis yang dibentuk untuk mendengarkan saran atau ide, bagaimana mestinya
dan terorganisir dalam urusan Negara (Ibnu Mandzur, 1968). Misalnya: Majelis
Permusyawaratan rakyat (MPR) , Majelis Syura Muhammadiyah, Lembaga Musyawarah
Desa, Musyawarah Alim ‘ulama, Musyawarah Kerukunan Umat Beragama dan
sebagainya.
Dalam melaksanakan musyawarah, ada empat unsur penting diperhatikan :
1. Mustasyir, adalah orang yang menghendaki adanya musyawarah dan
menginginkan suatu pendapat yang benar atau mendekati kebenaran.
2. Mustasyar, adalah orang yang diajak bermusyawarah.
3. Mustasyar Fih adalah permasalahan yang akan dikaji atau dijadikan objek
musyawarah.
4. Ra’yu adalah pendapat bebas yang argumentatif, mencermati esensi syari’at
dan terlepas dari perasaan nafsu.

Dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, bernegara musyawarah


merupakan sarana untuk menyatukan hati, mensucikan jiwa dan menghargai
pendapat orang lain selama empat unsur diatas dipenuhi.

Ayat –ayat yang berkaitan langsung dengan musyawarah, antara lain: Q.S. Al-
baqarah ayat 233; Q.S. Ali-Imran ayat 159 dan Asy-Syura ayat 38.
Ketika ayat tersebut menjadi petunjuk bagi manusia untuk menyelesaikan
problem keluarga, masyarakat dan negaranya (tugas anda, tulis dan
terjemahkan ayat tersebut).

D. Kontribusi Umat Islam dalam Perpolitikan Nasional


Dlam perjalnan sejarah, pembangunan bangsa, dari repelita ke repelita umat
Islam banyak memberikan sumbangsi terhadap perpolitikan di Indonesia (Liberani dan
Hidayat, 2003: 198) dalam bukunya “Mengenal Islam” mengatakan sejak tahun 1930-an
sampai akhir 1960, bahkan sampai sekarang umat Islam tetap memberi warna dan
perpolitikan bangsa, meskipun di antara mereka ada yang tidak murni untuk
perpolitikan Islam yang dijalankan, tetapi masih banyak yang lain tetap konsisten dalam
menegakkan politik Islam, misalnya seorang politikus sekaligus cendekiawan muslim
dewasa ini adalah Hidayat Nur Wahid bersama dengan kelompoknya, Nurchalis Majid,
rector Universitas Paramadina dan lain-lain.

Você também pode gostar