Você está na página 1de 29

 

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Hiperbilirubinemia

2.1.1 Definisi

Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh

pewarnaan kuning pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin indirek yang

berlebih (Xiaong dkk., 2011). Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan

kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan

berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90 (Blackburn, 2007). Pada orang

dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin >2 mg/dl (>17µmol/L)

sedangkan pada neonatus baru tampak apabila serum bilirubin >5mg/dl

(86µmol/L) (Mishra dkk., 2007). Ikterus lebih mengacu pada gambaran klinis

berupa pewarnaan kuning pada kulit, sedangkan hiperbilirubinemia lebih

mengacu pada gambaran kadar bilirubin serum total (Abdellatief dkk., 2012).

2.1.2 Klasifikasi

Terdapat dua jenis ikterus, yaitu ikterus fisiologis dan ikterus patologis :

2.1.2.1 Ikterus Fisiologis

Ikterus fisiologi adalah tidak mempunyai dasar patologi atau tidak mempunyai

potensi menjadi kernikterus. Biasanya timbul pada hari ke dua dan ke tiga. Kadar

bilirubin serum total 6-8 mg/dL, bahkan hingga 12 mg/dL pada bayi cukup bulan,

masih dianggap fisiologis (Mishra dkk., 2007). Penurunan kadar bilirubin total

akan terjadi secara cepat dalam 2-3 hari, kemudian diikuti penurunan lambat

 
 

sebesar 1 mg/dL selama 1- 2 minggu. Pada bayi kurang bulan kadar bilirubin

serum total 10-12 mg/dL, bahkan dapat meningkat hingga 15 mg/dL dengan tanpa

adanya gangguan pada metabolism bilirubin (Mishra dkk., 2007). Kadar bilirubin

total yang aman untuk bayi kurang bulan sangat bergantung pada usia kehamilan.

2.1.2.2 Ikterus Patologis

Ikterus patologis biasanya terjadi sebelum umur 24 jam. Kadar bilirubin

serum total meningkat > 0,5 mg/dL/jam. Ikterus biasanya bertahan setelah 8 hari

pada bayi cukup bulan dan 14 hari pada bayi kurang bulan. Keadaan klinis bayi

tidak baik seperti muntah, letargis, malas menetek, penurunan berat badan yang

cepat, suhu tubuh yang tidak stabil, apnea (Martin dan Cloherty, 2004).

2.1.3 Etiologi

Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat

disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, penyebab ikterus neonatarum

dapat dibagi:

a. Produksi yang berlebihan

Pada ikterus fisiologis biasanya disebabkan karena volume eritrosit yang

meningkat, usia eritrosit yang menurun, meningkatnya siklus enterohepatik.

Pada ikterus patologis terjadi oleh karena hemolisis yang meningkat seperti

pada inkompatibilitas golongan darah sistem ABO, inkomptabilitias rhesus,

defek pada membran sel darah merah (Hereditary spherocytosis,

elliptocytosis, pyropoikilocytosis, stomatocytosis), defesiensi berbagai enzim

 
 

(defisiensi enzim Glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD), defesiensi

enzim piruvat kinase, dan lainnya), hemoglobinopati (pada talasemia).

Keadaan lain yang dapat meningkatkan produksi bilirubin adalah sepsis,

Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), ekstravasasi darah

(hematoma, perdarahan tertutup), polisitemia, makrosomia pada bayi dengan

ibu diabetes (Mishra dkk., 2007).

b. Gangguan pada proses uptake dan konjugasi hepar

Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat

untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia

dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (Sindrom

Criggler-Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang

berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar (Mishra dkk., 2007).

c. Gangguan pada transportasi

Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar.

Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya

salisilat, sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak

terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke

sel otak (Lauer dan Nancy, 2011).

d. Gangguan pada ekskresi

Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar.

Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi

dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain

(Mishra dkk., 2007; Lauer dan Nancy, 2011).

 
 

2.1.4 Patofisiologi

Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi

dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain

seperti mioglobin (Maisels, 2006). Pembentukan bilirubin dapat dilihat pada

Gambar 2.1. Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan

hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian

mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan

memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tetrapirol bilirubin, yang

disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air (bilirubin indirek, indirek)

(Maisels, 2006).

Bilirubin dalam plasma diikat oleh albumin sehingga dapat larut dalam air.

Zat ini kemudian beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati. Hepatosit

melepaskan bilirubin dari albumin dan mengubahnya menjadi bentuk isomerik

monoglucuronides dan diglucuronide (bentuk indirek) dengan bantuan enzim

uridinediphosphoglucuronosyltransferase 1A1 (UGT1A1) (Maisels dan

McDonagh, 2008).

Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk

ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus bilirubin

diuraikan oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah

menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen

direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik dan darah porta membawanya

kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya diekskresikan ke dalam

empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi

 
 

sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai senyawa larut air bersama

urin (Porter dan Dennis, 2002).

Gambar 2.1 Pembentukan Bilirubin (Maisels, 2006)

Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang

melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh

kegagalan hati (karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan

dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi

hati juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia (Lauer dan Nancy, 2011).

2.1.5 Diagnosis

Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah

dan sederhana adalah dengan penilaian menurut Kramer (Szabo dkk., 2001).

Lokasi penentuan derajat kuning berdasarkan Kramer dapat dlihat pada Gambar

2.2.

 
 

Derajat   Daerah  Ikterus   Perkiraan  Kadar  


Ikterus   Bilirubin  
1   Kepala  dan  leher   5,0  mg%  
2   Badan  atas   9,0  mg%  
3   Badan   bawah   hingga   11,4  mg%  
tungkai  
4   Lengan,   kaki   bawah,   12,4  mg%  
lutut  
5   Telapak   tangan   dan   16  mg%  
kaki  

 
Gambar 2.2 Hubungan antara derajat ikterus di kulit dan perkiraan kadar
bilirubin serum (Szabo dkk., 2001)

Pemeriksaan dilakukan dengan menekan jari telunjuk pada tempat-tempat yang

tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut dan lain-lain. Tempat yang

ditekan akan tampak pucat atau kuning (Szabo dkk., 2001).

Pemeriksaan serum bilirubin (direk dan indirek) harus dilakukan pada

neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau

bayi-bayi yang tergolong risiko tinggi mengalami hiperbilirubinemia berat.

Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan

penyebab ikterus antara lain adalah golongan darah dan Coombs test, darah

lengkap dan hapusan darah, hitung retikulosit, skrining Glucose-6-phosphate

dehydrogenase (G6PD) dan bilirubin direk (Mishra dkk., 2007).

Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung

usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga harus diukur

untuk menentukan pilihan terapi sinar atau transfusi tukar. Hiperbilirubinemia

dianggap patologis (Non Physiological Jaundice) apabila kadar serum bilirubin

terhadap usia neonatus >95% menurut Normogram Bhutani pada Gambar 2.3.

 
 

Gambar 2.3 Kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus menurut Normogram
Bhutani (American Academy of Pediatrics, 2004)

2.1.6 Komplikasi

Kadar bilirubin indirek yang sangat tinggi dapat menembus sawar otak dan

sel-sel otak, hal ini dapat menyebabkan terjadinya disfungsi saraf bahkan

kematian. Mekanisme dan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya disfungsi

saraf ini masih belum jelas. Bilirubin ensefalopati adalah manifestasi klinis yang

timbul akibat efek toksik bilirubin pada sistem saraf pusat yaitu basal ganglia dan

pada beberapa nuklei batang otak (Lauer dan Nancy, 2011). Kern ikterus adalah

perubahan neuropatologi yang ditandai oleh deposisi pigmen bilirubin pada

beberapa daerah di otak terutama di ganglia basalis, pons dan serebelum. Akut

bilirubin ensefalopati terdiri dari 3 fase yaitu:

a. Fase Inisial: ditandai dengan letargis, hipotonik, berkurangnya gerakan

bayi dan reflek hisap buruk.

 
 

b. Fase Intermediate: tanda-tanda kardinal fase ini adalah moderate stupor,

iritabilitas dan peningkatan tonus (retrocollis dan opisthotonus). Demam

muncul selama fase ini.

c. Fase Lanjut: ditandai dengan stupor yang dalam atau koma, peningkatan

tonus, tidak mampu makan, high-pitch cry dan kadang kejang.

Manifestasi klinis kernikterus: pada tahap kronis bilirubin ensefalopati, bayi yang

selamat biasanya menderita gejala sisa berupa bentuk athetoid cerebral palsy

yang berat, gangguan pendengaran, paralisis upward gaze dan displasia dental-

enamel (American Academy of Pediatrics, 2004).

2.2 Fototerapi Pada Hiperbilirubinemia

Fototerapi dilakukan pada hiperbilirubinemia yang memiliki kecenderungan

mengalami keadaan patologis. Panduan untuk dilakukannya fototerapi pada bayi

dengan usia kehamilan ≥ 35 minggu dapat dilihat pada Gambar 2.4.

 
 

Gambar 2.4 Panduan Fototerapi Pada Bayi Usia Kehamilan ≥ 35 minggu


(American Academy of Pediatrics, 2004)

Sebagai patokan yang digunakan adalah kadar bilirubin total. Fototerapi

intensif dilakukan apabila kadar bilirubin total berada di atas garis kelompok

risiko sesuai dengan usia kehamilan. Faktor risiko termasuk isoimmune hemolytic

disease, defesiensi G6PD, asfiksia, letargi, suhu tubuh yang tidak stabil, sepsis,

asidosis, kadar albumin < 3 gr/dL (American Academy of Pediatrics, 2004).

Prinsip penatalaksanaan hiperbilirubinemia dengan fototerapi adalah untuk

mengurangi kadar bilirubin dan mencegah peningkatannya. Fototerapi

menggunakan sinar untuk mengubah bentuk dan struktur bilirubin menjadi

molekul yang dapat diekskresikan walaupun ada gangguan konjugasi (Stokowski,

2011). Metabolisme bilirubin selama fototerapi dapat dilihat pada Gambar 2.5

 
 

Gambar 2.5 Metabolisme bilirubin selama fototerapi (Stokowski, 2011)

Ketika bilirubin menyerap sinar maka terjadi dua reaksi yaitu perubahan 4Z,

15Z-bilirubin menjadi bentuk isomerik yang berbeda, yaitu 4Z,15E bilirubin

(photobilirubin) dan lumirubin. Photobilirubin dapat diekskresikan melalui hepar

tanpa konjugasi, namun prosesnya lambat dan bersifat reversibel. Photobilirubin

dapat berubah kembali menjadi bilirubin di dalam saluran cerna (jauh dari

paparan sinar). Lumirubin tidak bersifat reversible, sehingga walaupun

pembentukan lumirubin lebih sedikit jika dibandingkan dengan photobilirubin,

namun lebih cepat dihilangkan dari serum. Pembentukan lumirubin dianggap

berperan penting pada penurunan kadar bilirubin selama fototerapi (Stokowski,

2011).

 
 

Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan dilakukannya fototerapi

dapat dilihat pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Faktor Yang Mempengaruhi Fototerapi


(Maisels dan MsDonagh, 2008)

1. Kualitas spektrum dari sinar yang digunakan.

Sumber sinar yang paling efektif untuk mendegradasi bilrubin adalah sinar

dengan panjang gelombang 400 – 520 nm, dengan gelombang terbaik 460

nm (Stokowski, 2011). Pada panjang gelombang ini sinar menembus kulit

paling baik dan paling maksimal diserap oleh bilirubin. Sinar biru, hijau

dan turkois (antara biru dan hijau) merupakan sinar yang paling efektif.

Banyak pendapat yang salah yang menyatakan bahwa fototerapi

menggunakan sinar ultraviolet (panjang gelombang < 400 nm) (Maisels

dan MsDonagh, 2008; Stokowski, 2011).

 
 

2. Intensitas Sinar (Irradiance)

Intensitas sinar yang dimaksud adalah jumlah photon yang disalurkan per

sentimeter kuadrat permukaan tubuh yang terpapar. Semakin tinggi

intensitas sinar maka semakin cepat penurunan kadar bilirubin. Fototerapi

standar biasanya menggunakan intensitas sinar 10 µW/cm2/nm, sedangkan

fototerapi intensif ≥ 30 µW/cm2/nm (Stokowski, 2011; Maisels dan

McDonagh, 2008).

3. Jarak antara bayi dan sinar

Intensitas cahaya berbanding lurus dengan jarak antara bayi dan sinar,

semakin dekat jarak antara bayi dan sinar semakin tinggi intensitas sinar

yang didapat. Jarak yang dianggap cukup aman adalah sekitar 15-20 cm

(Porter dan Dennis, 2002).

4. Area permukaan tubuh yang terpapar sinar

Semakin luas area permukaan tubuh yang terpapar sinar maka makin

efektif fototerapi yang dilakukan. Merubah posisi bayi secara berulang

selama fototerapi tidak meningkatkan kecepatan penurunan kadar bilirubin

(Stokowski, 2011). Dianjurkan memposisikan bayi dengan posisi supine.

Untuk mendapatkan hasil yang maksimal maka selama fototerapi bayi

dibiarkan telanjang. Pemakaian diaper masih kontroversi, beberapa

penelitian menyatakan penggunaan diaper selama fototerapi tidak

mempengaruhi penurunan kadar bilirubin. Selama fototerapi diharuskan

menggunakan penutup mata untuk mengurangi risiko kerusakan retina

bayi yang masih imatur (Stokowski, 2011).

 
 

Jenis sumber sinar yang digunakan juga memperngaruhi kecepatan penurunan

kadar bilirubin. Berbagai inovasi dilakukan untuk meningkatkan efektivitas sinar

yang dihasilkan. Selain sumber sinar konvensional yang digunakan, saat ini telah

ada sumber sinar Light-Emitting Diodes (LED), fiberoptic, sinar halogen, dan

lain-lain. Masing-masing memiliki keuntungan dan kerugiannya. Sinar LED

memiliki keuntungan intensitas cahaya yang tinggi, namun tidak meningkatkan

panas yang dihasilkan, lebih hemat dan bertahan lebih lama (Vreman dkk., 2004).

Penurunan kadar bilirubin yang paling cepat terjadi pada 4-6 jam pertama

dilakukannya fototerapi. Pada fototerapi tunggal (menggunakan 1 alat) diharapkan

menurunkan kadar bilirubin hingga 22% dalam 24 jam pertama. Pada fototerapi

ganda (menggunakan 2 alat) penurunan kadar bilirubin hingga 29% dalam 24 jam

pertama. Sedangkan pada fototerapi intensif kadar bilirubin harus turun 1-2

mg/dL (17-34 µmol/L) dalam 4-6 jam pertama dan 5 mgdL dalam 24 jam pertama

(Stokowski, 2011).

Pada bayi yang diberikan Air Susu Ibu (ASI) penurunan kadar bilirubin lebih

lambat jika dibandingkan bayi yang diberikan susu formula, sekitar 2-3 mg/dL per

hari (Maisels dan McDonagh, 2008). Fototerapi dapat dihentikan apabila

mencapai kadar 15 mg/dL. Setelah fototerapi kadar bilirubin dapat kembali

meningkat, keadaan ini disebut rebound bilirubin, namun kondisi ini biasanya

hanya rata-rata 1 mg/dL sehingga bayi setelah fototerapi tidak perlu menunggu

dipulangkan untuk observasi rebound bilirubin. Jika setelah dilakukan fototerapi

tidak terjadi penurunan kadar bilirubin yang diinginkan maka dipertimbangkan

untuk melakukan tranfusi tukar (Maisels dan McDonagh, 2008).

 
 

2.3 Stres Oksidatif

Pembentukan oksidan atau radikal bebas secara fisiologis diikuti dengan

eleminasinya oleh tubuh. Stres oksidatif adalah suatu keadaan terjadinya

ketidakseimbangan antara kadar oksidan dan antioksidan, dalam hal ini kadar

oksidan atau radikal bebas lebih tinggi dibandingkan dengan antioksidan (Block

dkk., 2002; Yoshikawa dan Naito, 2002).

Radikal bebas mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan,

sehingga akan cenderung mengambil elektron dari molekul non radikal

disekitarnya (Yoshikawa dan Naito, 2002). Secara garis besar ada dua mekanisme

pembentukan radikal bebas yaitu melalui reaksi transfer elektron dan reaksi

transfer energi. Salah satu contoh radikal bebas yang terjadi melalui transfer

elektron dapat dilihat pada perubahan oksigen (O2) menjadi air (H2O) (Knuppel

dkk., 2012).

Gambar 2.7 Perubahan oksigen (O2) menjadi air (H2O) (Knuppel dkk, 2012)

Perubahan tersebut menghasikan bentuk perantara yaitu superoxide anion radical

(O2-), hydrogen peroxide (H2O2), hydroxyl radical (HO-). Bentuk perantara ini

 
 

merupakan radikal bebas yang mengandung unsur oksigen sehingga sering

disebut sebagai reactive oxygen species (ROS) (Knuppel dkk., 2012).

Mekanisme lainnya adalah mekanisme transfer energi, dimana energi

ditransfer melalui sensitizer ke molekul oksigen yang dikenal dengan istilah

photosensitization. Sensitizer (S) akan menyerap energi dari radiasi atau sinar dan

mentransfer energinya ke molekul oksigen (O2) sehingga terbentuklah oksigen

singlet (1O2). Proses ini dapat diilustrasikan sebagai berikut :

S + hv à S*

S* + O2 à 1O2

Beberapa contoh sensitizer adalah methylene blue, rose bengal, acridine orange,

dan beberapa molekul biologis seperti riboflavin, bilirubin, retinal, porphyrins,

chlorophylls, dan lain-lain. Oksigen singlet ini dalam perjalanannya dapat berubah

menjadi bentuk triplet yang lebih reaktif (Gathwala dan Sharma, 2000).

Oksigen singlet dapat bereaksi dengan berbagai molekul, terutama dengan:

vitamin E, vitamin C, DNA, asam lemak tak jenuh pada membran, kolesterol, dan

beberapa asam lemak lainnya. Reaktifitas kimia oksigen singlet bersifat spesifik,

dapat dilihat pada Gambar 2.8. Apabila terjadi interaksi antara asam lemak tak

jenuh (RH) dengan oksigen singlet maka akan terbentuk hidroperoksida lipid

(ROOH). Dioxetanes terbentuk ketika singlet oksigen telah menambahkan seluruh

ikatan rangkap (yang juga penting dalam proses oksidasi asam lemak) (Kunwar

dan Priyadarsini, 2011; Sodergren, 2000).

 
 

Gambar 2.8 Reaksi Kimia Oksigen Singlet (Sodergren, 2000)

Secara fisiologis, ROS pada kadar yang rendah memiliki peran dalam

metabolisme di dalam tubuh. Reactive oxygen species berperan pada ekspersi gen,

pertumbuhan sel dan pertahanan menghadapi infeksi. Reactive oxygen species

melalui proses oksidasinya memiliki efek pada aktivasi faktor transkripsi seperti

nuclear factor-kappa B (NF-kB) dan activator protein-1 (AP-1), yang berperan

pada ekspresi gen dan pertumbuhan sel. Selain itu ROS juga berperan dalam

biosintesis beberapa molekul seperti tiroksin dan prostaglandin. Reactive oxygen

species juga berperan dalam sistem imun, yaitu pada proliferasi sel T melalui

aktivasi NF-kB, aktivasi makrofag dan neutrofil yang berperan pada proses

fagositosis (Kunwar dan Priyadarsini, 2011).

Secara garis besar ROS akan bereaksi dengan lipid, protein dan DNA

menghasilkan berbagai produk sekunder seperti radikal lipid, radikal yang

berbasis basa dan gula, radikal asam lemak, dan jenis radikal lainnya. Produk

radikal ini bila bereaksi dengan oksigen akan menghasilkan radikal peroxyl, yang

berkontribusi pada kerusakan oksidatif. Bila ROS bereaksi dengan membran lipid

 
 

akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid yang menghasilkan pembentukan

lipid hydroperoxide (LOOH) yang akan didekomposisi menjadi bentuk aldehyde

seperti malondaldehid, 4-hydroxy nonenal (4-HNE) atau bentuk cyclic endoperox-

ide, isoprotan, dan hidrokarbon. Akibat adanya peroksidasi lipid akan terjadi

kerusakan membran protein, perubahan formasi lipid-protein dan lipid-DNA

(Sodergren, 2000).

Protein dapat mengalami kerusakan langsung dan tidak langsung mengikuti

interaksi dengan ROS sehingga terjadi peroksidasi, perubahan dalam struktur

tersier, degradasi proteolitik dan fragmentasi. Rantai samping dari semua asam

amino dari protein, khususnya di triptofan, sistein dan residu metionin rentan

terhadap oksidasi oleh ROS. Produk oksidasi protein biasanya berupa karbonil

seperti aldehida dan keton (Gathwala dan Sharma, 2000; Sodergren, 2000).

Meskipun DNA adalah stabil, molekul yang dilindungi, ROS dapat

berinteraksi dengan itu dan menyebabkan beberapa jenis kerusakan seperti

modifikasi basa DNA, putusnya untai DNA tunggal dan ganda, hilangnya purin,

kerusakan gula deoksiribosa dan kerusakan pada sistem perbaikan DNA. Radikal

OH adalah salah satu induser potensi kerusakan DNA. Tidak semua ROS dapat

menyebabkan kerusakan DNA dan radikal OH ini salah satu yang dapat

menyebabkan kerusakan DNA. Radikal OH dapat menyerang purin dan pirimidin

dasar. Radikal bebas juga dapat menyerang bagian gula, yang dapat menghasilkan

gula radikal peroksil dan menginduksi putusnya untaian DNA. Kerusakan DNA

ini mengakibatkan kematian sel, mutagenesis, karsinogenesis dan penuaan

(Kunwar dan Priyadarsini, 2011).

 
 

Perkembangan yang tidak terkontrol dari ROS dapat menyebabkan akumulasi

yang menyebabkan stres oksidatif dalam sel. Oleh karena itu, sel-sel telah

mengembangkan mekanisme pertahanan untuk perlindungan terhadap kerusakan

oksidatif dimediasi ROS. Ini termasuk pertahanan antioksidan untuk menjaga

perkembangan ROS (Knuppel dkk., 2012). Hubungan antara oksidan/radikal

bebas dan antioksidan dapat dilihat pada Gambar 2.9.

Gambar 2.9 Oksidan dan Antioksidan (Knuppel dkk., 2012)

Antioksidan adalah zat yang ada pada konsentrasi rendah dan secara

signifikan menunda atau mencegah oksidasi. Antioksidan efektif karena mereka

dapat menyumbangkan elektron mereka sendiri untuk ROS dan dengan demikian

menetralkan efek buruk yang dapat terjadi nantinya . Secara umum, antioksidan

dalam tubuh dapat bekerja pada tiga tingkatan yang berbeda, yaitu: (a)

 
 

Pencegahan: menjaga bentuk reaktif seminimal misalnya desferioksamin (b)

Intersepsi: merusak spesies reaktif baik dengan menggunakan molekul katalitik

dan non-katalitik misalnya asam askorbat, alfa-tokoferol dan (c) Perbaikan:

perbaikan molekul target yang rusak misalnya glutathione (Monroy dan Mejia,

2013).

Sistem antioksidan diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar, yaitu

antioksidan enzimatik dan antioksidan non enzimatik. Sebagian kecil oksigen

yang dikonsumsi untuk proses aerobik akan dikonversi menjadi superoksida anion

yang harus dikonversi menjadi molekul yang kurang reaktif (Monroy dan Mejia,

2013). Enzim utama yang mengatur proses ini adalah Superoksida Dismutase

(SOD), Glutathione Peroxidase (GSH-Px) dan katalase (Gambar 2.10).

Gambar 2.10 Pertahanan Antioksidan pada Manusia (Monroy dan Mejia, 2013)

 
 

Superoksida Dismutase (SOD) dianggap sebagai pertahanan lini pertama

terhadap ROS. Enzim ini hadir di hampir semua sel, dan mengkonversi •O2-

menjadi H2O2. Mitokondria dan SOD bakteri mengandung Mn, sementara SOD

sitosol adalah dimer yang mengandung Cu dan Zn. Sebagai H2O2 mungkin masih

bereaksi dengan ROS lainnya, maka perlu terdegradasi oleh salah satu dari dua

enzim antioksidan lainnya, GSH-Px atau katalase. Gluthathione (GSH)

peroksidase terletak di mitokondria. Ini mengkatalisis degradasi H2O2 dengan

reduksi, di mana dua molekul Gluthathione (GSH) yang teroksidasi menjadi

Glutation Disulfida (GSSG) (Kunwar dan Priyadarsini, 2011).

Regenerasi GSH oleh GSH-reductase, memerlukan NADPH, yang teroksidasi

menjadi NADP+. Katalase, di sisi lain, terlokalisir terutama dalam peroksisom

sehingga mendetoksifikasi H2O2 yang berdifusi dari mitokondria ke sitosol,

mengubahnya menjadi air dan molekul oksigen. Ada juga mekanisme antioksidan

nonenzimatik, yang sebagian besar membantu regenerasi GSSG

kembali ke GSH. Vitamin antioksidan seperti A, C, E dan asam alphalipoic antara

mekanisme ini (Kunwar dan Priyadarsini, 2011).

2.4 Stres Oksidatif Pada Fototerapi

Ketika komponen dari sistem (fotosensitizer) menyerap energi radiasi,

terutama sinar, proses tersebut disebut photosensitization. Proses ini dapat

menyebabkan terjadinya perubahan kimia pada molekul target dan respons

biologis pada organisme. Ada dua jalur utama terjadinya photosensitization pada

hiperbilirubinemia yang mendapat fototerapi, yaitu Tipe I dan Tipe II seperti yang

dapat dilihat pada Gambar 2.11 :

 
 

Gambar 2.11 Proses Fotosensitisasi pada Hiperbilirubinemia (Buettner, 2011)

Bilirubin dalam proses ini bersifat sebagai sensitizer. Bilirubin yang terpapar

oleh sinar fototerapi (hv) akan menyerap energi tersebut dan berubah menjadi

bentuk triplet (3bilirubin*). Bentuk triplet ini sangat berenergi. Pada tipe I,

apabaila 3bilirubin* bereaksi dengan suatu komponen/susbtrat (X) dalam tubuh

maka 3bilirubin* akan mengambil elektron dari komponen tersebut. Proses ini

menghasilkan photosensitizer radikal (bilirubin -) dan komponen radikal (X +).


• •

Jika terdapat oksigen (3O2), maka bilirubin - dapat mentransfer elektron yang baru

diperoleh dan membentuk radikal superoksida (O2 -), sedangkan bilirubin -


• •

kembali ke bentuk dasar. Dengan demikian , dalam Tipe I reaksi perubahan kimia

terjadi dan produk baru terbentuk (misalnya X + dan O2 -). Pada reaksi tipe II
• •

3
bilirubin* langsung bereaksi dengan oksigen menghasilkan oksigen singlet (1O2).

Oksigen singlet ini dapat bereaksi dengan asam lemak tak jenuh dan

menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid (Buettner, 2011).

 
 

Proses oksidasi tersebut dapat terjadi lebih mudah pada membran sel darah

merah neonatus. Membran sel darah merah neonatus berbeda dengan orang

dewasa, baik secara komposisi biokemikal dan biofisikal (Bracii dan Buonocore,

1998). Komposisi kelompok membran sulfidrilnya lebih rendah dan mengandung

lebih banyak residual hemoglobin, kandungan oksigennya lebih tinggi. Semakin

banyak oksigen yang bereaksi dengan bentuk triplet bilirubin (bilirubin*)

sehingga semakin banyak pula oksigen singlet dan hidrogen peroksidase yang

terbentuk. Peningkatan hidrogen peroksidase ini juga mungkin disebabkan oleh

karena autooksidasi hemoglobin, dimana rata-rata hemoglobin neonatus lebih

tinggi dibandingkan dengan hemoglobin orang dewasa. Membran sel darah merah

neonatus juga mengandung banyak asam lemak tak jenuh/polyunsaturated fatty

acid (PUFA). Reaksi antara radikal bebas dan asam lemak tak jenuh inilah yang

akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid (Greer dkk., 2013).

Selama perkembangan fetus, secara umum mekanisme pertahanan

antioksidan pada bayi kurang bulan kurang aktif jika dibandingkan dengan bayi

cukup bulan. Pada bayi kurang bulan dan bayi cukup bulan didapatkan adanya

defesiensi vitamin E, yang disebabkan oleh rendahnya transfer vitamin E melalui

plasenta. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ripalda dan Rudol tentang

sistem pertahanan antioksidan pada perkembangan fetus, didapatkan bahwa

eritrosit katalase, glutation peroksidase dan kadar vitamin E plasma memiliki

korelasi positif dengan penambahan berat badan fetus dan umur kehamilan, pada

bayi kurang bulan kadarnya lebih rendah daripada bayi cukup bulan. Bila

dibandingkan dengan orang dewasa, sistem pertahanan antioksidan pada bayi

 
 

lebih rendah. Oleh karena rendahnya pertahanan antioksidan ini menyebabkan

neonatus lebih cenderung mengalami keadaan oksidatif (Gathwala dan Sharma,

2000).

Beberapa penelitian menganggap bilirubin sebagai bagian dari suatu bentuk

antioksidan, walaupun penelitian untuk memastikannya masih terus dilakukan.

Bilirubin ketika terikat dengan albumin mengurangi kadar asam linoleat dan

peroksi radikal akibat oksidasi secara in-vitro. Pada tekanan parsial rendah

oksigen, bilirubin adalah inhibitor peroksidasi lipid yang lebih baik daripada

vitamin E (Gathwala dan Sharma, 2000). Pada awal tahun 1950-an, bilirubin

dilaporkan memiliki efek melindungi terhadap oksidasi lipid seperti asam linoleat

dan vitamin A serta pada akhir 1980-an, efek antioksidan dari bilirubin melebihi

vitamin E terhadap peroksidasi lipid (Sedlak dan Snyder, 2004).

Produksi radikal bebas akibat fototerapi diikuti dengan pertahanan

antioksidan pada neonatus yang rendah menyebabkan terjadinya stres oksidatif.  

Stres oksidatif telah dicurigai sebagai penyebab berbagai penyakit pada neonatus

seperti displasia bronkopulmonalis, retinopati prematuritas, necrotizing

enterocolitis, perdarahan intrakranial, hipoksia-iskemik ensefalopati dan paten

duktus arteriosus. Reaksi oksidatif ini juga diyakini memiliki peranan dalam

terjadinya berbagai penyakit alergi (asma, rinitis alergi, konjungtivitis) pada saat

anak-anak (Xiaong dkk., 2011).

 
 

2.5 Peroksidasi Lipid Pada Fototerapi

Peroksidasi lipid merupakan proses yang terjadi ketika radikal bebas

berinteraksi dengan polyunsaturated fatty acids (PUFA) pada membran sel dan

lipoprotein pada plasma. Peningkatan produksi radikal bebas akan menyebabkan

peningkatan peroksidasi lipid. Proses ini dapat berlangsung secara terus-menerus,

menyebabkan terbentuknya serangkaian oksidasi lipid (Soderdren, 2000). Secara

garis besar proses peroksidasi lipid terjadi melalui tiga tahapan yaitu; tahap

inisiasi, tahap propagasi, dan tahap terminasi (Dotan dkk., 2004; El-Beltagi dan

Mohamed, 2013). Tahapan terjadinya peroksidasi lipid akibat fototerapi dapat

dilihat pada Gambar 2.12:

Gambar 2.12 Peroksidasi Lipid (Dotan dkk., 2004)

1. Tahap Inisiasi

Reactive Oxygen Species (ROS) dalam bentuk oksigen singlet (1O2) dan OH •

bereaksi dengan asam lemak tak jenuh (LH) akan menghasilkan

hidroperoksida lipid (LOOH). Hidroperoksida Lipid (LOOH) ini akan

 
 

kehilangan satu elektronnya dimediasi oleh besi dan mengalami oksigenasi

menjadi radikal peroksil epoxyallylic (OLOO ) yang kemudian akan


membentuk radikal lipid (L ) (Dotan dkk., 2004).


2. Tahap Propagasi

Radikal lipid (L ) yang dihasilkan pada tahap inisiasi merupakan molekul yang

sangat tidak stabil, sehingga mudah bereaksi dengan oksigen menciptakan dan

radikal lipid peroksil (LOO ). Radikal lipid peroksil ini juga merupakan

molekul yang tidak stabil. Apabila bereaksi dengan asam lemak bebas lainnya

maka akan kembali membentuk hidroperosida lipid (LOOH). Siklus ini akan

terus terjadi berulang-ulang (Dotan dkk., 2004).

3. Tahap Terminasi

Ketika molekul radikal bereaksi dengan molekul non-radikal selalu

menghasilkan molekul radikal yang lain, itulah sebabnya mengapa proses ini

disebut mekanisme reaksi berantai. Reaksi radikal berhenti ketika dua radikal

bereaksi dan menghasilkan spesies non-radikal. Hal ini terjadi hanya jika

konsentrasi spesies radikal cukup tinggi untuk itu sehingga kemungkinan

reaksi antara dua radikal cukup tinggi. Organisme hidup memiliki molekuk

antioksidan yang mempercepat tahap terminasi ini (Dotan dkk., 2004).

Produk yang paling sering digunakan untuk menilai stres oksidatif

adalah produk peroksidasi lipid, terutama asam lemak tak jenuh, yang

rentan terhadap serangan radikal bebas. Produk awal peroksidasi lipid

hidroperoksida. Zat aktif ini terurai baik ke berbagai aldehida

atau, jika berasal asam lemaknya berasal dari asam arakidonat, menjadi

 
 

isoprostanes, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.13. Semua produk yang

berasal dari degradasi dan dekomposisi ini dapat digunakan dalam menilai stres

oksidatif termasuk hidroperoksida (LOOH). Produk akhir yang banyak digunakan

sebagai penanda stres oksidatif adalah (MDA) dan F2-isoprostanes (F2I).

Berbagai pertimbangan dilakukan untuk menentukan produk mana yang akan

digunakan sebagai penanda stres oksidatif. Masing-masing produk memiliki

keuntungan dan kerugian (Dotan dkk., 2004).

Gambar 2.13 Alur Pembentukan Produk Peroksidasi Lipid (Dotan dkk., 2004)

Hingga saat ini, MDA maupun Isoprostan telah ditemukan hampir di seluruh

cairan biologis, termasuk pada plasma, urin, cairan persendian, cairan

bronkoalveolar, cairan empedu, cairan getah bening, cairan mikrodialisis dari

 
 

berbagai organ, cairan amnion, cairan perikardial dan cairan seminal. Namun

plasma dan urin merupakan sampel yang paling umum digunakan karena paling

mudah didapatkan dan paling tidak invasif (Dotan dkk., 2004).

2.6 Malondialdehid

Malondialdehid merupakan produk sekunder atau pembusukan peroksidasi

lipid yang berupa aldehid reaktif, dan merupakan salah satu dari banyak spesies

elektrofil reaktif yang menyebabkan stres toksik pada sel, dan membentuk produk

protein kovalen yang dikenal dengan sebutan advance lipoxidation end products

(ALE). Malondialdehid (MDA) merupakan aldehid terbesar, dengan kisaran 82%

berasal dari peroksidasi asam lemak tak jenuh. Bila dibandingkan dengan HNE

kadar MDA dalam cairan tubuh mencapai 10 kali jika dibandingkan dengan HNE

(Winarsih, 2011). Malondialdehid (MDA) adalah produk yang paling sering

dipelajari dari peroksidasi asam lemak tak jenuh. Sejak tahun 1960 beberapa

metoda telah dikembangkan untuk menilai molekul ini untuk mengukur tingkat

stres oksidatif secara vivo dan in vitro (Delrio dkk., 2005).

Analisis MDA merupakan analisis radikal bebas secara tidak langsung dan

merupakan analisis yang cukup mudah untuk menentukan jumlah radikal bebas

yang terbentuk. Analisis radikal bebas secara langsung sangat sulit dilakukan,

karena radikal ini sangat tidak stabil dan cenderung untuk merebut elektron

senyawa lain agar lebih stabil. Reaksi ini berlangsung sangat cepat sehingga

pengukurannya sangat sulit bila dalam bentuk senyawa radikal bebas (Delrio dkk.,

2005; Zhang dkk., 2002).

 
 

Malondialdehid dibentuk sebagai bahan dikarbonil (C3H4O2) (Gambar 2.14)

dengan berat molekul rendah (berat formula = 72,07), rantai pendek, dan bersifat

volatil asam lemah (pKa = 4,46). Hingga saat ini, MDA telah ditemukan hampir di

seluruh cairan biologis, termasuk pada plasma, urin, cairan persendian, cairan

bronkoalveolar, cairan empedu, cairan getah bening, cairan mikrodialisis dari

pelbagai organ, cairan amnion, cairan perikardial dan cairan seminal. Namun

plasma dan urin merupakan sampel yang paling umum digunakan karena paling

mudah didapatkan dan paling tidak invasif. Data yang tersedia hingga saat ini juga

menunjukkan pengukuran kadar MDA baik dari plasma maupun urin memberikan

hasil yang sama akurat dan presisi dari indeks stres oksidatif (Jetawattana, 2005).

Gambar 2.14 Struktur Kimia Malondialdehid (Jetawattana, 2005)

Salah satu metoda yang pertama dan masih yang paling banyak digunakan

untuk mendeteksi MDA adalah bahwa dikembangkan oleh Yagi, yaitu reaksi

antara darah lipid dan endapan protein pada suhu 95OC dalam kondisi asam.

Berdasarkan metode ini, hasilnya sering dilaporkan sebagai ‘‘TBA reacting

substances’’ (TBARS) bukannya MDA. Pada proses ini MDA melakukan reaksi

 
 

pertambahan nukleofilik (nucleophillic addiction reaction) dengan asam

tiobarbiturat (TBA) membentuk senyawa MDA-TBA, yang berwarna merah

jambu, yang dapat diukur intensitasnya menggunakan spektrofotometer pada

panjang gelombang 532 nm. Inilah yang merupakan dasar analisis metode dengan

metode TBA (Delrio dkk., 2005).

Malondialdehid sangat cocok sebagai biomarker untuk stres oksidatif karena

beberapa alasan, yaitu: (1) Pembentukan MDA meningkat sesuai dengan stres

oksidatif, (2) kadarnya dapat diukur secara akurat dengan pelbagai metode yang

telah tersedia, (3) bersifat stabil dalam sampel cairan tubuh yang diisolasi, (4)

pengukurannya tidak dipengaruhi oleh variasi diurnal dan tidak dipengaruhi oleh

kandungan lemak dalam diet, (5) merupakan produk spesifik dari peroksidasi

lemak, (6) terdapat dalam jumlah yang dapat dideteksi pada semua jaringan tubuh

dan cairan biologis, sehingga memungkinkan untuk menentukan referensi interval

(Llurba dkk., 2004).

Você também pode gostar