Você está na página 1de 8

Agama yang Sempurna

Agama Islam adalah agama yang sempurna. Hal itu dapat dilihat dari bagaimana Islam
mengatur segala aspek dari yang terkecil sampai yang terbesar dalam kehidupan manusia
sehari-harinya dalam menjalani kehidupanya.Aturan-aturan yang Islam adakan bagi semua
umatnya sangatlah mendetail, sehingga tidak memungkinkan untuk semua umatnya untuk
terjadi kesalah pahaman, dan membuat umatnya berada di jalan yang diridhai oleh Allah
SWT.Sesungguhnya semua perintah dari Allah yang tertera di Al Quran tidak ada yang
merugikan, melainkan sangat membuat kita menjadi orang yang lebih baik dan mempertebal
keimanan kita yang sangat penting untuk kita semua di akhirat nanti.
Kita wajib meyakini yang ada di dalam Al Quran, karena Al Quran adalah Al Furqon
(pembeda), Al Huda (petunjuk), As Syifa (penawar), dan Adz Zikru (peringatan).
http://ekivalen770.blogspot.co.id/2013/05/pengertian-dan-karakteristik-agama-islam.html

upan manusia mulai dari muamalah, politik, hukum, aqidah, dan perdata. Semua
diatur dalam Islam tanpa terkecuali, bahkan jumlah kamar pun, cara berpakaian,
bergaul semua ada aturannya dalam Islam karena Islam agama yang sempurna dan
memang telah ditegaskan oleh Allah s.w.t.
Allah s.w.t berfirman

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku ridahi Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al- Ma’idah, 5:3)

Sangat jelas Allah telah menegaskan bahwa “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu
agamamu ...”yang menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Sehingga tidak
ada yang dapat menyangkal bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Dari pembahasan
pertama hingga ketiga telah cukup membuktikan bahwa Islam agama yang sempurna.
Disamping itu, kesempurnaan Islam dapat kita buktikan dengan kondisi atau keadaan zaman
sekarang ini. Meskipun zaman telah berganti tetapi Islam tetap dapat berdiri dan mampu
menyesuaikan dengan zaman. Akan tetapi disini, bukanlah Islam yang mengikuti peraturan
zaman namun aturan Islam mampu menyesuaikan dengan keadaan saat ini misal, pada zaman
Rasulullah dahulu tidak ada yang namanya teknologi seperti komputer, handphone, dan
laptop sedangkan sekarang zaman telah berganti zaman sudah semakin canggih dengan
berbagai teknologi dan pengetahuan yang lebih maju dibandingkan dahulu. Tetapi Islam tetap
mampu berdiri dan Islam memiliki aturan atas segala sesuatu yang terjadi saat ini. Dengan
semakin berkembangnya pengetahuan dan teknologi otomatis akan semakin bertambah
tingkat pergerakan, masalah, dan hal-hal yang perlu diatur, berbeda dengan agama lain.
Agama lain belum tentu memiliki aturan sesempurna Islam, mungkin mereka memiliki aturan
tapi tidak sesempurna aturan yang ada dalam Islam yang mencakup segala hal. Sebagai
contoh, belum pernah saya mendengar dalam agama nasrani yang mengatur tentang riba atau
muamalah. Dan Islam memiliki semua aturan serta solusi akan hal itu sehingga Islam disebut
agama sempurna.
Karakteristik setiap agama memang hal yang menjadi pembeda dari agama lain. Dan
memang telah terbukti dari pembahasan diatas sangat terlihat jelas karakteristik agama Islam
yang berbeda dari agama lain. Perlu diketahui, bahwa aturan Islam berdasarkan Al-quran dan
as-sunnah serta Allah s.w.t yang mengatur segala hal sehingga aturan dalam Islam bukannlah
semata-mata buatan manusia melainkan dari Allah s.w.t. Jadi agama Islam diturunkan
langsung oleh Allah s.w.t melalui para Nabi dan Rasul-Nya untuk mensejahterkan manusia.
Kita sebagai umat Islam harus menaati segala aturan dan perintah serta menjauhi larangan-
Nya.
http://pendidikan-college.blogspot.co.id/2013/04/karakteristik-agama-islam.html

poin 4
Islam tidak mengakui hak mutlak dan kebebasan mutlak, tetapi mempunyai
batasan- batasan tertentu, termasuk dalam bidang hak milik. Hanya keadilan yang
dapat melindungi keseimbangan antara batasan- batasan yang ditetapkan dalam
sistem Islam untuk kepemilikan individu dan umum. Kegiatan ekonomi yang
dilakukan oleh seseorang untuk mensejahterakan dirinya, tidak boleh dilakukan
dengan mengabaikan dan mengorbankan kepentingan orang lain dan masyarakat
secara umum.

Maksud dan tujuan dari hukum Islam yang berupa kemaslahatan bagi manusia ini harusdipahami
secara luas. Dalam arti hukum Islam pada dasarnya hendak mewujudkankebaikan hidup yang
hakiki bagi manusia, baik secara individual maupun social.Di samping bertujuan untuk
membentuk pribadi yang baik, hukum islam juga bertujuanuntukk menegakkan kemaslahatan
dan keadilan sosial. Karena apabila hal tersebutdapat direalisasikan terhadap permasalahan-
permasalahan kehidupan yang kompleks,baik dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat,
politik, perdagangan birokrasi,maupun wilayah yang lain, niscaya keadilan sosial dan
kemaslahatan umat akanterwujud.Keadilan keputusan hukum atas permasalahan yang terjadi,
sudah seyogyanyadidasarkan pada nash atau dalil al-
Qur‟an, kitabullah yang telah diakui kebenarannya,
dan juga bersandar pada ketentuan-ketentuan Rasullullah yang disebut as-Sunnah.Selain
dilandasi kedua fondasi tersebut, islam juga mengenal penetapan hukum secara
aqliyyah, yang biasa dinamakan dengan metode ijtihad birra‟yi (dengan rasio), dan
salah satu metode tersebut dinamakan al-Mashlahah al-mursalah, yaitu menetapkansuatu
perbuatan yang tidak terdapat dasar penguat atau pembatalannya dalam al-
Qur‟an maupun Sunnah.

Definisi Mashlahah al-Mursalah


Dari segi bahasa (etimologi) terdiri dari dua kata, yakni mashlahah dan mursalah.Mashlahah
berarti suatu yang mendatangkan kebaikan. Lafadz mashlahah seperti

lafadz manfa
‟at, baik artinya maupun wazannyam yaitu kalimat
isim mashdar yangsama artinya dengan kalimat as-shalah, seperti halnya lafadz al-
manfa‟at sama artinya
dengan an-
naf‟u.
Sedangkan al-mursalah bermakna diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan).Mashlahah juga
dipahami sebagai manfaat, dari segi lafadz maupun makna baik secaralangsung maupun proses
seperti menghasilkan faedah ataupun pencegahan danpenjagaan seperti menjauhi
kemadharatan dan penyakit. Semisal dikatakan apabilaberbisnis itu suatu kemaslahatan, maka
hal tersebut berarti bahwa berbisnis itupenyebab diperolehnya manfaat lahir dan
bathin.Mashlahah al-mursalah menurut Abdul Wahab Khallaf ialah yang mutlak. Menurutistilah
Ahli Ushul, maslahah al mursalah diartikan kemaslahatan yang tidak disya
ri‟atkanoleh Syari‟ dalam wujud hukum, dalam rangka menciptakan kemaslahatan, di samping
tidak ada dalil yang membenarkan dan menyalahkan. Karenanya mashlahah mursalahitu disebut
mutlak lantaran tidak terdapat dalil yang menyatakan benar atau salah.Secara terminology al-
mashlahah al-mursalah berarti suatu kemaslahatan yang tidak
disinggung oleh syara‟ dan tidak pula terdapat dalil
-dalil yang menyuruh untukmengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan
mendatangkankebaikan yang besar atau kemaslahatan. Makna lain memaparkan bahwa
mashlahahmursalah berarti mashlahah yang tidak disebutkan dengan nash tertentu, akan
tetapisejalan dengan kehendak nash. Dengan kata lain jika terdapat suatu kejadian yang
tidak ada ketentuannya syara‟ dan tidak

ada illat yang keluar dari syara‟ yang


menentukan kejelasan hukum suatu kejadian tersebut, kemudian ditentukan sesuatu
yang sesuai dengan hukum syara‟ yang berdasarkan pemeliharaan kemadharatan atau
menyatakan suatu manfaat, maka kejadian tersebut dinamakan al-maslahah al-mursalah.
Sebagai contoh kemashlahatan tersebut seperti telah terjadi pada masasa
habat yang telah mensyari‟atkan pengadaan penjara, pencetakan mata uang,
penetapan tanah pertanian di tangan pemilik dan pemungutan pajak terhadap tanah itudi daerah
pertanian yang mereka taklukkan.

Sebagian Ulama Ushul juga memberikan macam-


macam ta‟arif
untuk mendefinisikanmashlahah al-mursalah, di antaranya ;1.
Imam al-Gazali memberikan penjelasan mashlahah mursalah pada dasarnya ialahmeraih
manfaat menolak kemadharatan, dalam rangka memelihara tujuan-
tujuan syara‟.

Tujuan syara‟ yang dimaksud, lanjut a


l-gazali ada lima bentuk, yaitu memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Apabila seseorang melakukan
suatu perbuatan yang
pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syara‟ tersebut, maka dinamakan
mashlahah. Di samping itu, upaya untuk menolak segala bentuk kemadharatan yang
berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara‟ di atas, juga dinamakan mashlahah.

2.
Imam ar-
Razi, menta‟rifkan mashlahah mursalah sebagai perbuatan yang bermanfaatyang telah
diperintahkan oleh musyarri‟ (allah) kepada hamb
a-Nya tentangpemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan harta bendanya.
3.
Muhammad Hasbi as-Shiddiqy menuliskan al-mashlahah al mursalah adalah
memelihara tujuan syara‟ dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusak makhluk.

Ta‟rif di atas
memberikan pengertian pada al-mashlahah al-mursalah, yaitu setiap manfaat yang
di dalamnya terdapat tujuan syara‟ secara umum, namun tidak terdapat dalil
yang secarakhusus menerima atau menolaknya.Manfaat itu adalah kenikmatan atas sesuatu
yang akan mengantarkan pada kenikmatan.Dengan kata lain tahsil al-
ibqa‟. Maksdu tahsil adalah penghimpunan kenikmatan secaralangsung, sedangkan yang
dimaksud ibqa‟ adalah penjagaan terhadap kenikmatan tersebut
dengan cara menjaganya dari kemadharan dan sebab-sebabnya.Dalam aplikasinya konsep al-
mashlahah al-mursalah dikatakan dengan istilah yang berbeda.Sebagian ulama menggunakan
istilah mashlahah mursalah itu dengan kata al-munasib mursal,ada juga yang menggunakan
istihlah dan sebagian lain lagi menyebutnya al-istidlal al-mursal.Perbedaan nama itu dipandang
dari tiga segi. Pertama, melihat mashlahah yang terdapat pada
kasus yang dipersoalkan. Kedua, melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara‟ yang
mengharuskan adanya sesuatu ketentuan hukum agar tercipta sesuatu kemashlahatan.
Ketiga,melihat proses penetapan hukum terhadap sesuatu mashlahah yang ditujukan oleh dalil
khusu.Yang terpenting dalam mendefinisikan al mashlahah al mursalah ini, yaitu berarti
penetapansuatu hukum yang bertujuan memberikan kemashlahatan bagi masyarakat umum,
tetapipenetapan tersebut tidak terdapat nash dan dalil yang menguatkan atau membatalkannya.

http://www.academia.edu/9834281/Maksud_dan_tujuan_dari_hukum_Islam_yan
g_berupa_kemaslahatan_bagi_manusia_ini_harus_dipahami_secara_luas

Poin 7

Ajaran Islam Tidak Berubah karena Waktu dan Tempat

Perbedaan Ideologi Islam dan Barat

Karakteristik ajaran Islam sangat berbeda


dengan ideologi dunia yang lainnya. Hukum Islam dibangun atas dasar nas-nas syariat yang
tetap. Dalam Islam, nas-nas syariat merupakan sumber hukum yang kemudian menghukumi
realitas. Sebaliknya, dalam Idelogi Barat, misalnya, realitaslah (kondisi) yang menjadi
pijakan hukum yang kemudian menghasilkan produk-produk hukum yang sesuai dengan
(mengakomodasi) realitas. Akibatnya, hukum produk ini berubah-ubah dari waktu ke waktu
dan berbeda-beda antara satu tempat dan tempat lainnya. Ini adalah konsekuensi dijadikannya
realitas —yang terus berubah dan berkembang— sebagai pijakan hukum.
Perubahan Waktu dan Tempat Tidak Ada Pengaruh[1]
Sebagaimana telah dijelaskan, produk hukum Islam digali dari nas-nas syariat. Sementara itu,
pada saat yang sama, nas-nas tersebut tetap dan tidak pernah mengalami perubahan. Karena
itu, produk hukum tersebut harus selalu terikat dengan nas dan tunduk pada segala hal yang
dinyatakan oleh dalâlah-nya(penunjukan). Pertimbangan atas dasar ‘perubahan zaman’ dan
perbedaan tempat tidak mempunyai nilai sama sekali di sini, sebagaimana pertimbangan atas
dasar kemaslahatan atau kemadaratan.

Perbedaan kultur, kebiasaan, dan adat istiadat masyarakat juga tidak boleh mempengaruhi
ajaran Islam. Alasannya, kultur, kebiasaan, dan adat-istiadat bukanlah ‘illat (motif
diberlakukannya hukum) dan bukanlah sumber hukum. Bahkan, kultur, kebiasaan, dan adat-
istiadat acapkali banyak yang bertentangan dengan syariat. Apalagi kultur, kebiasaan, dan
adat-istiadat yang ada pada masa sekarang pada dasarnya merupakan kristalisasi pemikiran
dan hukum-hukum yang bersumber dari sistem sekuler yang telah terbukti mengakibatkan
kerusakan masyarakat. Namun, jika kultur, kebiasaan, dan adat-istiadat tersebut tidak
bertentangan dengan hukum dan ajaran Islam, ia diperbolehkan (mubah). Akan tetapi,
kebolehannya itu bukan karena pertimbangan apa-apa, kecuali karena memang dibolehkan
oleh nas-nas syariat.

Syariah Islam Itu Tetap

Sebagaimana dipahami, syariat Islam adalah ‘yang itu-itu juga’; tidak pernah berubah. Yang
halal akan tetap halal dan yang haram akan tetap haram. Selamanya begitu hingga Hari
Kiamat karena wahyu Allah telah terputus dan syariat Islam telah sempurna. Karena itu,
khamar, misalnya, tidak akan pernah haram pada satu waktu, kemudian berubah menjadi
halal pada waktu lain. Demikian pula keharaman riba, memata-matai orang Islam, menipu,
meminta bantuan kepada orang kafir, suap, korupsi, zina dan sebagainya. Statemen bahwa
hukum harus berubah karena faktor perubahan waktu dan tempat tentu merupakan pendapat
yang tidak tepat. Allah Swt. berfirman:

َ ‫ّللا ا ْل َكذ‬
َ‫ِب ال‬ َ ‫ّللا ْال َكذ‬
ِ َ ‫ِب إِ َن الَذِينَ يَ ْفت َُرونَ َعلَى‬ َ ‫ف أ َ ْل ِسنَت ُ ُك ُم ْال َكذ‬
ِ َ ‫ِب َهذَا َحالَ ٌل َو َهذَا َح َرا ٌم ِلت َ ْفت َ ُروا َعلَى‬ ِ ‫َوالَ تَقُولُوا ِل َما ت‬
ُ ‫َص‬
َ‫يُ ْف ِلحُون‬

Janganlah kalian berdusta dengan sebab apa yang disifatkan oleh lidah kalian, “Ini halal
dan ini haram,” untuk mengada-adakan sesuatu yang dusta terhadap Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang berdusta terhadap Allah tidak akan berhasil. (QS an-Nahl [16]: 116).

Apabila hukum Islam berubah karena faktor waktu dan tempat, berarti akan ada satu fakta
atau kasus yang memiliki dua hukum sekaligus –halal dan haram— meskipun dalam wilayah
dan rentang waktu yang tidak sama. Hal Ini jelas mustahil, karena Allah tidak mungkin
menurunkan dua hukum yang berlawanan untuk kasus yang sama. Hal ini juga sangat
kontradiktif dengan karakter kesempurnaan syariat Islam.
Studi Proporsional Antara Syariah dan Objek Hukum

Memang, realitas yang menjadi objek hukum bisa


jadi mengalami perubahan, tetapi hukum atas realitas itu sendiri tentu saja tidak berubah.
Dalam istilah para ahli fikih (fuqahâ’), objek hukum biasa disebut manâth al-hukm.[2] Dalam
al-Quran dan as-Sunah, misalnya, khamar sampai kapan pun dan di mana pun tetap haram.
Akan tetapi, ketika esensi khamar berubah menjadi cuka, maka ia menjadi halal. Dalam dua
keadaan ini, sebetulnya, tidak dapat dikatakan telah terjadi perubahan hukum. Yang terjadi
adalah perubahan manâth al-hukm yang memungkinkan dihasilkannya dua hukum yang
berbeda: khamar tetap khamar dengan keharamannya; cuka tetaplah cuka dengan
kehalalannya. Sebab, keduanya memiliki esensi dan manâth al-hukm yang berbeda.
Demikianlah, setiap hukum syariat mempunyai manâth al-hukm. Setiap terjadi
perubahan manâth, pasti ada hukum lain untuk manâth yang baru tersebut. Manâth, menurut
al-Ghazâli, tidak sama dengan ‘illat(latar belakang/motif diberlakukannya
hukum).[3] Alasannya, tidak semua hukum mempunyai ‘illat, tetapi ia pasti
mempunyai manâth. Karena itu, menurut as-Syâtibi, penentuan hukum atas manâth al-
hukm harus tepat, dan hanya berlaku untuk manâth tersebut, tidak untuk yang lain.[4]
Misal lain, orang sakit yang tidak mampu berdiri, boleh menunaikan shalat sambil duduk atau
berbaring. Perubahan posisi dari sebelumnya wajib berdiri menjadi boleh duduk tidak dapat
dikatakan sebagai perubahan hukum karena kondisi berbeda, tetapi karena memang adanya
perbedaan hukum yang didasarkan pada dua manâth al-hukm yang memang berbeda, yaitu
orang sehat tidak sama dengan orang sakit. Karena itu, orang sehat tetap wajib menunaikan
shalat sambil berdiri, sedangkan orang sakit dibolehkan melaksanakan shalat sambil duduk
atau berbaring. Jika hukum untuk orang sehat diberlakukan juga pada orang sakit, jelas
keliru, karena masing-masing mempunyai manâth al-hukm yang berbeda. Demikian
seterusnya.
Di samping itu, syariat atau ajaran Islam diberlakukan atas manusia dalam kapasitasnya
sebagai manusia; bukan karena faktor suku, etnik, geografis, ataupun karena faktor Arab atau
non-Arabnya. Di mana pun dan kapan pun, manusia, baik Arab atau non-Arab, esensinya
sama; sama-sama mempunyai kebutuhan jasmaniah dan naluriah yang sama.[5] Kondisi ini
tidak pernah berubah. Karena itu, gagasan bahwa hukum harus berubah karena faktor waktu
dan tempat, sebenarnya, bukanlah merupakan keniscayaan hidup manusia. Sebab, esensi
kemanusiaan pada diri manusia tidak pernah mengalami perubahan. Yang berubah hanyalah
sarana fisik dan wujud materi yang berada disekitarnya. Dengan demikian, dinamisasi,
perkembangan, dan perubahan tersebut sebenarnya hanya menyangkut bentuk-bentuk materi
atau sarana-sarana fisik yang dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan
jasmaniah dan naluriahnya. Sebaliknya, kebutuhan-kebutuhan manusia, baik untuk
memenuhi tuntutan jasmaniah maupun naluriahnya, tidak pernah berubah. Contoh, manusia
memerlukan makanan, minuman, pakaian, tidur, dan beristirahat. Semua itu diperlukan oleh
manusia pada zaman mana pun dan di mana pun, meskipun boleh jadi alat pemuas dan
kualitasnya berbeda-beda. Alat pemuas dan kualitas kebutuhan manusia zaman purba,
misalnya, tentu berbeda dengan alat pemuas dan kualitas yang dibutuhkan manusia pada
zaman modern, sekalipun kebutuhan mereka untuk makan, minum, berpakaian, tidur, dan
istirahat tidak pernah berubah.
Karena itulah, berkaitan dengan benda-benda sebagai alat pemuas kebutuhan manusia, Islam
telah menggariskan kaidah hukum yang sama yang berlaku untuk segala tempat dan segala
zaman, yakni:

‫اإلبَا َحةُ َمالَ ْم يَ ِر ْد َد ِل ْي ُل التَحْ ِري ِْم‬


ِ ‫اء‬ِ ِ‫ص ُل فِي اْأل َ ْشي‬
ْ َ ‫اَأل‬

Hukum asal benda (barang) adalah mubah selama tidak ada dalil yang
mengharamkannya.[6]
Sebaliknya, berkaitan dengan perbuatan yang ditujukan untuk memenuhi berbagai kebutuhan
jasmaniah ataupun naluriah —yang tidak pernah berubah itu— Islam menggariskan kaidah
syariah berikut:

َ ‫ال التَقَيُ ُد بِاْألَحْ ك َِام ال‬


‫ش ْر ِعيَ ِة‬ ْ َ‫ص ُل فِي اْأل َ ْفع‬
ْ َ ‫اَأل‬

Hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum syariat.[7]


Walhasil, pemikiran, propaganda dan gagasan bahwa hukum Islam harus berubah karena
waktu dan tempat tidak mempunyai pijakan syariat yang jelas dalam Islam.[8]
[Yan S. Prasetiadi, M.Ag]

[1] Selama beberapa tahun penulis mengikuti perkuliahan di beberapa Universitas, mulai dari
level sarjana hingga pascasarjana, menemukan umumnya beberapa kalangan akademis
berpendapat bahwa penafsiran ajaran Islam ini laksana karet yang elastis, sehingga hukum
Islam itu bisa berubah karena faktor waktu dan tempat (kondisi). Namun hal ini belum
memuaskan dahaga intelektual penulis, sehingga akhirnya penulis menemukan jawaban
fundamental terkait wacana ‘perubahan hukum’ ini, jawaban tersebut ada pada kitab
bernama al-Fikr al-Islami, karya M. Muhammad Ismail pada bab La Yajuz An Tataghayyar
al-Ahkam Bi Taghayyur az-Zaman wal Makan.
Kaidah “Lâ yunkaru taghayyur al-ahkâm bi taghayyur az-zamân wa al-makân (Tidak
diingkari perubahan hukum karena perubahan waktu & tempat),” merupakan kaidah yg
keliru, yg dirumuskan ketika umat Islam mengalami kemerosotan pemikiran paling parah
pada abad ke-19. [KH. Shiddiq al-Jawie]

Dalam konteks ini, Imam Ibnu Hazm menegaskan: “Jika terdapat nash al-Quran & as-Sunnah
yg telah tetap dalam urusan tertentu yg hukumnya tertentu pula, maka yg benar adalah, nash
itu tidak terpengaruh oleh pergantian tempat maupun perubahan keadaan. Sesungguhnya apa
yg telah tetap itu akan tetap selama-lamanya, untuk setiap waktu, setiap tempat, & setiap
keadaan sampai ada nash lain yg datang menggesernya, sebagai hukum pada waktu yg lain,
tempat yg lain, & keadaan yg lain pula.” (Ibnu Hazm, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, 5/771).
[2] Lihat: Rawwâs Qal’ah Ji, Mu’jam Lughât al-Fuqahâ’, Dâr an-Nafâ’is – Beirut, cet. I,
1996, hlm. 431; Al-Ghazâli, al-Mustashfâ fi ‘ilm al-Ushûl, Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah –
Beirut, cet. I, 2000, hlm. 319; As-Syâtibi,al-Muwâfaqât, ed. Abdullâh Darâz, Dâr al-Kutub
al-Ilmiyyah – Beirut, t.t., juz IV, hlm. 65
[3] Al-Ghazâli, al-Mustashfâ, hlm. 304
[4] As-Syâtibi, al-Muwâfaqât, juz III, hlm. 62
[5] Kajian tentang kebutuhan jasmani dan naluri manusia, akan dibahas pada artikel lain
[6] M. Muhammad Ismâ’îl, al-Fikr, hlm. 35-37; As-Suyûthi, al-Asybâh wa an-Nadhâ’ir, Dâr
al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, t.t., hlm. 60
[7] M. Muhammad Ismâ’îl, ibid, hlm. 32-35; Athâ’ bin Khalîl, Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl,
Dâr al-Ummah, Beirut, cet. IV, 2000, hlm. 13-15.
[8] Sebenarnya jika ditelaah ulang, para penyeru gagasan ‘perubahan hukum’ tidak mampu
menghadirkan dalil yang logis dan bisa diterima untuk membenarkan argumentasi mereka.
Misalnya, justifikasi bahwa Imam asy-Syafi’i (w. 204 H) mengubah fikih beliau hanya
karena pindah dari Irak ke Mesir, adalah simplikasi berlebihan terhadap fakta yang
sesungguhnya terjadi. Salah besar jika berasumsi Imam asy-Syafi’i mengubah fikihnya hanya
karena beliau pindah tempat tinggal dari Irak ke Mesir.
Alasan sebenarnya adalah, sang Imam besar itu mengubah metodologinya karena beliau
bertemu dengan sejumlah mujtahid dari mazhab yang berbeda-beda dari Irak dan Mesir, yang
masing-masing membawa metodologi penggalian hukum dan cara pandang terhadap nash
yang berbeda dari dirinya. Hal ini menimbulkan kematangan dan kristalisasi pemikiran beliau
dalam kaitannya dengan proses ijtihad. Suatu ketika Imam Ahmad bin Hanbal diminta oleh
Muhammad bin Muslim ar-Razi untuk memberitahunya tentang buku-buku karya Imam
Syafi’i yang harus dibacanya. Imam Ahmad menjawab, “Pilihlah buku-buku yang ditulis di
Mesir. Buku-buku yang ditulis di Irak tidak terlalu bagus. Lalu, beliau pergi ke Mesir. Di
sanalah beliau menghasilkan buku-buku yang jauh lebih bagus.” (Lihat: Dr. Muhammad
Baltaaji, Manahij at-Tasyri al-Islami fi al-Qarn ats-Tsani al-Hijri. Jilid 1. hlm. 31)

https://studipemikiranislam.wordpress.com/2013/09/26/ajaran-islam-tidak-berubah-karena-
waktu-dan-tempat/comment-page-1/

Você também pode gostar