Você está na página 1de 3

CARA ORANG BERIMAN MENGHADAPI UJIAN

Saifudin Zukhri

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah
beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-
orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar
dan Sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al Ankabut [29]: 2-3)

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-
orang yang sabar.” (Al Baqarah [2]: 155)

Tidak ada musibah yang akan kita terima sebagai umat Islam kecuali Allah menghapuskan
kesalahan dan dosa kita dengan perantaraan musibah yang kita terima. Meskipun musibah
yang kita terima sekedar tertusuk jarum.”

BAGAIMANA SIKAP SEORANG MUKMIN DALAM NEGHADAPI MUSIBAH ?


Masalah datang silih berganti, kita diberi kebebasan untuk menhadapinya dengan bijak sana atau kita
terlarut dalam kesedihan yang berkepanjangan. Maslah itu dihadapi, bukan hanya di pikirkan , dikeluhkan
dan disedihkan.

Pertama: Mengimani takdir ilahi


Setiap menghadapi cobaan hendaklah seseorang tahu bahwa setiap yang Allah takdirkan sejak 50.000
tahun sebelum penciptaan langit dan bumi pastilah terjadi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ‫سنَة‬ ََ ‫ضَبِخ َْم ِسينَََأ َ ْل‬
َ َ‫ف‬ ََ ‫تَ َواأل َ ْر‬
َِ ‫س َم َوا‬ َْ َ ‫لَأ‬
َ ‫نَيَ ْخلهقَََال‬ َِ ِ‫ِيرَ ْال َخالَئ‬
ََ ‫قَقَ ْب‬ ََ ‫ّللاهَ َمقَاد‬ ََ ‫َكت‬
ََ َ‫َب‬
“Allah telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan
bumi.”[1]
Beriman kepada takdir, inilah landasan kebaikan dan akan membuat seseorang semakin ridho dengan
setiap cobaan. Ibnul Qayyim mengatakan, “Landasan setiap kebaikan adalah jika engkau tahu bahwa
setiap yang Allah kehendaki pasti terjadi dan setiap yang tidak Allah kehendaki tidak akan terjadi.” [2]

Kedua: Yakinlah, ada hikmah di balik cobaan


Hendaklah setiap mukmin mengimani bahwa setiap yang Allah kehendaki pasti ada hikmah di balik itu
semua, baik hikmah tersebut kita ketahui atau tidak kita ketahui.[3] Allah Ta’ala berfirman,
َ ِ ‫لَ هه ََوَ َربََ ْالعَ ْر‬
َ‫ش‬ ََ ََ‫ّللاهَ ْال ََم ِلكهََ ْال َحق‬
ََ ِ‫لَإِلَ َهََإ‬ ََ َ‫عبَثًاَ َوأَنَ هك َْمَإِلَ ْينَا‬
ََ َ‫)َفَتَعَالَى‬115(َََ‫لَت ه ْر َجعهون‬ َ َ‫أَفَ َح ِس ْبت هَْمَأَنَ َماَ َخلَ ْقنَا هك َْم‬
)116(َ‫يم‬ َِ ‫ْال َك ِر‬
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja),
dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang
Sebenarnya; tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan (Yang mempunyai) ‘Arsy yang mulia.” (QS. Al Mu’minun:
115-116)
Allah Ta’ala juga berfirman,
“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan bermain-main.
Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan haq.” (QS. Ad Dukhan: 38-39)

Ketiga: Ingatlah bahwa musibah yang kita hadapi belum seberapa


Ingatlah bahwa Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mendapatkan cobaan sampai dicaci,
dicemooh dan disiksa oleh orang-orang musyrik dengan berbagai cara. Kalau kita mengingat musibah
yang menimpa beliau, maka tentu kita akan merasa ringan menghadapi musibah kita sendiri karena
musibah kita dibanding beliau tidaklah seberapa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫المص ْيبَ َةهَبي‬
ِ َ‫صائِبِ ِه َْم‬
َ ‫ِليَ ْع َِزَالم ْس ِل ِميْنَََفِيَ َم‬
“Musibah yang menimpaku sungguh akan menghibur kaum muslimin.”[4]
Dalam lafazh yang lain disebutkan,
ِ ‫علَ ْي َِهَ هم‬
‫ص ْيبَت ه َهه‬ َ‫ست َ َه َو ه‬
َ َ‫ن‬ ِ ‫ص ْيبَت ه َههَفَ ْليَ ْذ هك َْرَ هم‬
َ َ‫َفَإِنَ َها‬،‫ص ْيبَتِي‬ َ ‫ع‬
َْ ‫ظ َم‬
ِ ‫تَ هم‬ َْ ‫َم‬
َ َ‫ن‬
“Siapa saja yang terasa berat ketika menghapi musibah, maka ingatlah musibah yang menimpaku.
Ia tentu akan merasa ringan menghadapi musibah tersebut.”[5]

Keempat: Ketahuilah bahwa semakin kuat iman, memang akan semakin diuji
Dari Mush’ab bin Sa’id -seorang tabi’in- dari ayahnya, ia berkata,
َ‫اسََأ َشَدََبَالَ ًء‬
َ ِ َ‫ّللاَِأَىََالن‬
ََ َ‫ل‬ََ ‫سو‬
‫يَاَ َر ه‬
“Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab,
َْ ِ‫ص ْلبًاَا ْشت َََدَبَالَؤه َههَ َوإ‬
َ‫نَ َكانَََفِىَدِينِ َِه‬ َْ ِ ‫بَدِينِ َِهَفَإ‬
‫نَ َكانَََدِينه َههَ ه‬ َ ‫علَىَ َح‬
َِ ‫س‬ َ َ‫ل‬ َ َ‫لَفَيه ْبتَلَى‬
َ‫الر هج ه‬ َ‫لَفَاأل َ ْمث َ ه‬
َ‫«َاأل َ ْنبِيَا هَءَث هََمَاأل َ ْمث َ ه‬
ِ ‫علَ ْي َِهَخ‬
»ََ‫َطيئ َة‬ َ َ‫ضَ َما‬ َ ِ ‫علَىَاأل َ ْر‬ َ َ‫حَ ْالبَالَ هَءَبِ ْالعَ ْب َِدَ َحتَىَيَتْ هر َك َههَيَ ْم ِشى‬ َ‫بَدِينِ َِهَفَ َماَيَب َْر ه‬ َِ ‫س‬ َ ‫علَىَ َح‬ ََ ‫ِرقَةََا ْبت ه ِل‬
َ َ‫ى‬
“Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi
agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila
agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa
akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.”[6]

Kelima: Yakinlah, di balik kesulitan ada kemudahan


Dalam surat Alam Nasyroh, Allah Ta’ala berfirman,
َِ ‫نَ َم ََعَ ْالعهس‬
‫ْرَيهس ًْرا‬ ََ ِ ‫فَإ‬
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyroh: 5)
Ayat ini pun diulang setelah itu,
َِ ‫نَ َم ََعَ ْالعهس‬
‫ْرَيهس ًْرا‬ ََ ِ‫إ‬
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyroh: 6). Qotadah mengatakan,
“Diceritakan pada kami bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi kabar gembira
pada para sahabatnya dengan ayat di atas, lalu beliau mengatakan,
َ‫عسْرََيهس َْري ِْن‬
‫بَ ه‬ َْ َ‫ل‬
ََ ‫نَ َي ْغ ِل‬
“Satu kesulitan tidak mungkin mengalahkan dua kemudahan.”[7]

Keenam: Hadapilah cobaan dengan bersabar


‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
.‫ْرَلَهه‬ َ ََ‫ل‬
ََ ‫صب‬ َْ ‫لَإِ ْي َمانَََ ِل َم‬
َ َ‫ن‬ ََ ‫َ َو‬،ِ‫سد‬ َ ِ ْ‫الرأ‬
َ ‫سَ ِمنَََال َج‬ َ َ‫انَبِ َم ْن ِزلَ َِة‬
َِ ‫اإل ْي َم‬
ِ َََ‫ْرَ ِمن‬
َ‫صب ه‬
َ ‫ال‬
“Sabar dan iman adalah bagaikan kepala pada jasad manusia. Oleh karenanya, tidak beriman (dengan
iman yang sempurna), jika seseorang tidak memiliki kesabaran.”[8]
Yang dimaksud dengan bersabar adalah menahan hati dan lisan dari berkeluh kesah serta menahan
anggota badan dari perilaku emosional seperti menampar pipi dan merobek baju.[9]

Ketujuh: Bersabarlah di awal musibah


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ص ْد َم َِةَاألهولَى‬
َ ‫ْرَ ِع ْن ََدَال‬ َ ‫ِإنَ َماَال‬
َ‫صب ه‬
“Yang namanya sabar seharusnya dimulai ketika awal ditimpa musibah.”[10] Itulah sabar yang
sebenarnya. Sabar yang sebenarnya bukanlah ketika telah mengeluh lebih dulu di awal musibah.

Kedelapan: Yakinlah bahwa pahala sabar begitu besar


Ingatlah janji Allah,
َ‫ساب‬ َِ ‫صا ِب هرونَََأَجْ َر هه َْمَ ِبغَي‬
َ ‫ْرَ ِح‬ َ ‫ِإنَ َماَي َهوفَىَال‬
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”
(QS. Az Zumar: 10). Al Auza’i mengatakan, “Pahala bagi orang yang bersabar tidak bisa ditakar dan
ditimbang. Mereka benar-benar akan mendapatkan ketinggian derajat.” As Sudi mengatakan, “Balasan
orang yang bersabar adalah surga.”[11]

Kesembilan: Ucapkanlah “Inna lillahi wa inna ilaihi rooji’un …”


Ummu Salamah -salah satu istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata bahwa beliau pernah
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Siapa saja dari hamba yang tertimpa suatu musibah lalu ia mengucapkan: “Inna lillahi wa inna ilaihi
rooji’un. Allahumma’jurnii fii mushibatii wa akhlif lii khoiron minhaa [Segala sesuatu adalah milik
Allah dan akan kembali pada-Nya. Ya Allah, berilah ganjaran terhadap musibah ang menimpaku dan
berilah ganti dengan yang lebih baik]”, maka Allah akan memberinya ganjaran dalam musibahnya dan
menggantinya dengan yang lebih baik.” Ketika, Abu Salamah (suamiku) wafat, aku pun menyebut do’a
sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan padaku. Allah pun memberiku
suami yang lebih baik dari suamiku yang dulu yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[12]
Do’a yang disebutkan dalam hadits ini semestinya diucapkan oleh seorang muslim ketika ia ditimpa
musibah dan sudah seharusnya ia pahami. Insya Allah, dengan ini ia akan mendapatkan ganti yang lebih
baik.

Kesepuluh: Introspeksi diri


Musibah dan cobaan boleh jadi disebabkan dosa-dosa yang pernah kita perbuat baik itu kesyirikan,
bid’ah, dosa besar dan maksiat lainnya. Allah Ta’ala berfirman,
َ‫تَأ َ ْيدِي هك ْم‬ َ ‫صيبَةََفَ ِب َماَ َك‬
َْ َ‫سب‬ ِ ‫نَ هم‬ َ َ ‫َو َماَأ‬
َْ ‫صابَ هك َْمَ ِم‬
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu
sendiri.” (QS. Asy Syura: 30). Maksudnya adalah karena sebab dosa-dosa yang dulu pernah
diperbuat.[13] Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Akan disegerakan siksaan bagi orang-orang beriman di dunia
disebabkan dosa-dosa yang mereka perbuat, dan dengan itu mereka tidak disiksa (atau diperingan
siksanya) di akhirat.”[14]
Semoga kiat-kiat ini semakin meneguhkan kita dalam menghadapi setiap cobaan dan ujian dari Allah.

(1) HR. Muslim no. 2653, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash.
[2] Al Fawaid, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 94, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, tahun 1425 H.
[3] Lihat Syarh ‘Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, hal. 151-
153, Maktabah Ash Shofaa, cetakan pertama, tahun 1426 H.
[4] Shahih Al Jami’, 5459, dari Al Qosim bin Muhammad. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini shahih.
[5] Disebutkan dalam Bahjatul Majalis wa Ansul Majalis, Ibnu ‘Abdil Barr, hal. 249, Mawqi’ Al Waroq.
[6] HR. Tirmidzi no. 2398, Ibnu Majah no. 4024, Ad Darimi no. 2783, Ahmad (1/185). Syaikh Al Albani
dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 3402 mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[7] Dikeluarkan oleh Ibnu Jarir Ath Thobari dalam kitab tafsirnya. Lihat Tafsir Ath Thobari, 24/496, Dar
Hijr.
[8] Bahjatul Majalis wa Ansul Majalis, Ibnu ‘Abdil Barr, hal. 250, Mawqi’ Al Waroq.
[9] Lihat ‘Uddatush Shobirin wa Zakhirotusy Syakirin, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 10, Dar At Turots,
cetakan pertama, tahun 1410 H.
[10] HR. Bukhari no. 1283, dari Anas bin Malik.
[11] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 12/117, Muassasah Qurthubah.
[12] HR. Muslim no. 918.
[13] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 12/280, Muassasah Quthubah.
[14] Dikeluarkan oleh Ibnu Jarir Ath Thobari dalam kitab tafsirnya. Lihat Tafsir Ath Thobari, 20/514.

Você também pode gostar