Você está na página 1de 14

INDEPENDENSI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) DARI ANGGOTA

PARTAI POLITIK

ANGGELLA HARIESTA DEWI


NOVIANDI HARAHAP
SANDRA TRESNAYADI

KOMPETISI DEBAT KONSTITUSI

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

MARET, 2019
DAFTAR ISI

PENDAHULUAN......................................................................................................................... 1
PEMBAHASAN
A. Purifikasi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Anggota Partai Politik sebagai
Upaya Pencegahan Distorsi Politik…………………….…………………………………3
B. Pemenuhan Hak Anggota parpol sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
dalam konsep HAM………………………………………………………………………6
PENUTUP......................................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA
PERNYATAAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa artikel dengan judul “INDEPENDENSI


ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) DARI ANGGOTA PARTAI
POLITIK” ini beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya penulis sendiri, dan penulis tidak
melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika
keilmuan. Atas pernyataan ini, penulis siap menanggung resiko atau sanksi yang dijatuhkan
kepada penulis apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam
artikel ini, atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya penulis ini.

Bandung, Maret 2019

Yang membuat pernyataan,

Anggella Hariesta Dewi Noviandi Harahap Sandra Tresnayadi


NIM. 1705990 NIM. 1705708 NIM. 1701097
PENDAHULUAN

Lembaga perwakilan dinilai penting dalam sebuah negara baik negara demokrasi atau
tidak, karena lembaga perwakilan atau biasa disebut parlemen lahir bukan karena ide demokrasi
itu sendiri tetapi lahir di atas dampak dari sistem feodal1. Eksistensi lembaga perwakilan di
tingkat pusat memiliki peranan yang amat penting, dikarenakan Indonesia merupakan negara
dengan wilayah yang luas dan tidak hanya memiliki rakyat di tingkat pusat saja, namun juga
tersebar di berbagai daerah tentunya.
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, merupakan
salah satu lembaga legislatif. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yaitu “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan
umum dan diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang”. Dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya, DPD harus murni membawa aspirasi kedaerahan serta bersifat original intent,
dan tidak diperkenankan berafiliasi dengan partai politik. Hal tersebut dapat berimplikasi pada
timbulnya benturan kepentingan antara aspirasi lokal dan kepentingan partai politik. Lord Acton,
guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris, yang hidup di abad ke 19 terkenal
dengan adagiumnya yang menyatakan "Power tends to corrupt, and absolute power corrupt
absolutely" (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup
secara absolut)2.
Pasal 22 C dan Pasal 22 D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 merupakan dasar yang melandasi keberadaan DPD sebagai lembaga perwakilan daerah.
Amanat konstitusi tersebut diejawantahkan dalam Pasal 246 dan Pasal 247 Undang-Undang No.
17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang menjelaskan bahwa DPD terdiri atas
wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum dan DPD merupakan lembaga
perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Dalam rangka mengoptimalkan
perananya serta dalam upaya pertanggungjawaban akuntabilitasnya terhadap publik, maka DPD

1
Hal ini dikemukakan oleh A.F Pollard dalam bukunya yang berjudul the evolution of parliament yang
menyatakan bahwa representation was not the off spring of democratic theory, but an incident of the feodal
system. Lihat Bintan R. Saragih, Sistem Pemerintahan dan Lembaga Perwakilan di Indonesia, Perintis Press, Jakarta
1985, hlm. 98.
2
Ermasjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK Edisi Kedua, Penerbit Sinar Grafika Jakarta 2010,
hlm. 1.

1
harus mampu mengakomodir serta menjadi wadah aspirasi dan kepentingan daerah. Amanah
Undang-Undang tersebut mengisyaratkan bahwa anggota DPD harus bersifat original intent dan
tidak memiliki kepentingan lain seperti adanya kepentingan dari partai politik yang melatar
belakanginya supaya tidak adanya distorsi politik.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik menyatakan bahwa
“Partai Politik merupakan organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga
negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk
memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarkat, bangsa dan negara, serta
memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Penjelasan Pasal tersebut, senada
dengan pernyataan Miriam Budiardjo yang menjelaskan bahwa partai politik adalah suatu
kelompok yang terorganisir di mana para anggotanya mempunyai orientasi, cita-cita dan nilai-
nilai yang sama. Tujuan kelompok ini yaitu memperoleh kekuasaan politik dan merebut
kedudukan politik dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijakannya3 .
Merujuk pada pengertian di atas, maka independensi anggota DPD dari anggota partai
politik merupakan hal yang perlu dilakukan. Hal tersebut akan menjaga marwah DPD sebagai
lembaga negara yang murni membawa aspirasi kedaerahan tanpa adanya campur tangan dari
kepentingan politik, sehingga dapat berimplikasi pada terjadinya benturan kepentingan yang
akan menyebabkan terjadinya distorsi politik.
Melihat begitu banyaknya implikasi yang akan ditimbulkan akibat anggota DPD yang
berafiliasi dengan partai politik, Muhammad Hafidz selaku anggota DPD periode 2014-2019
mengajukan judicial review Pasal 182 (i) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang
Pemilihan Umum, perihal syarat perseorangan yang ingin menjadi calon anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) kepada Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan pengajuan judicial review
tersebut Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-
XIV/2018 yang menyatakan bahwa anggota partai politik tidak boleh mencalonkan diri menjadi
anggota DPD. Tapi hal tersebut mengakibatkan pro kontra di masyarakat, karena putusan
tersebut dianggap mengandung unsur diskriminatif bagi anggota partai politik yang ingin
menjadi anggota DPD dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Padahal putusan tersebut pada
dasarnya bermaksud untuk menjaga marwah DPD sebagai refresentatif daerah.

3
Miriam Budiarjdo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2010, hlm. 140.

2
PEMBAHASAN

A. Purifikasi Dewan Perwakilan Daerah Dari Anggota Partai Politik Sebagai Upaya
Pencegahan Distrosi Politik
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) merupakan cerminan lembaga negara yang
diparadigmakan sebagai bagian dari lembaga legislatif yang berperan sebagai representasi daerah
(territorial representation) yang berfungsi untuk menampung aspirasi, penyambung aspirasi, dan
kepentingan masyarakat daerah untuk dibawa dan diperjuangkan dalam kerangka nasional.
Keberadaan DPD dapat dikatakan merupakan pertemuan dari dua gagasan, yaitu demokratisasi
dan upaya mengakomodasi kepentingan daerah demi terjaganya integrasi nasional.
Sri Sumantri Martosoewignjo dan Mochamad Isnaeni Ramdhan menyatakan bahwa
pembentukan DPD tidak terlepas dari dua hal, yaitu 1) adanya tuntutan demokratisasi pengisian
anggota lembaga agar selalu mengikutsertakan rakyat pemilih, yang meliputi keberadaan utusan
daerah dan utusan golongan dalam komposisi MPR digantikan dengan keberadaan DPD; dan 2)
adanya tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah yang jika tidak dikendalikan dengan baik akan
berujung pada tuntutan separatisme. DPD dibentuk sebagai representasi kepentingan rakyat di
daerah.4
Latar belakang pembentukan DPD tersebut adalah untuk mengakomodasikan
kepentingan daerah dalam kebijakan nasional demi menjaga integrasi nasional. Kecenderungan
sentralisasi kekuasaan pada masa Orde Baru telah melahirkan ketimpangan pusat dan daerah
yang banyak melahirkan kekecewaan dan ketidakadilan kepada daerah.5 Upaya lain untuk
menjaga integrasi nasional adalah dengan memberikan ruang kepada daerah untuk ikut serta
menentukan kebijakan nasional yang menyangkut masalah daerah melalui utusan daerah yang
disempurnakan menjadi lembaga tersendiri. Dalam hal ini DPD dapat dikatakan sebagai upaya
institusionalisasi representasi teritorial keterwakilan wilayah.6

4
Janedri M. Gaffar, Susunan dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan
Republik Indonesia, Sekretariat Jenderal MPR RI dan UNDP, Jakarta 2003, hlm. 32.
5
Ketetapan MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan, pada Bab II tentang
Identifikasi Masalah angka 9 menyebutkan sebagai berikut: “Pemerintahan yang sentralistis telah menimbulkan
kesenjangan dan ketidakadilan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sehingga timbul konflik vertikal dan
tuntutan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
6
Janedri M. Gaffar, Susunan dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan
Republik Indonesia, Sekretariat Jenderal MPR RI dan UNDP, Jakarta 2003, hlm. 54.

3
Maka dengan adanya keberadaan lembaga DPD sebagai representasi daerah dapat
mengakomodir kepentingan daerah dari setiap provinsi, dalam hal ini aspirasi setiap daerah dapat
tersalurkan dan terlaksana dengan baik namun tidak sejalan jika anggota DPD berasal dari
anggota partai politik yang akan menimbukan benturan kepentingan sehingga terjadi distorsi
politik. Berdasarkan hal tersebut maka perlu adanya purifikasi mengenai keanggotaan DPD dan
keanggotaan Partai Politik, karena DPD dan Partai Politik cenderung memiliki kepentingan yang
berbeda. DPD merupakan lembaga yang membawa kepentingan daerah sedangkan Partai Politik
merepresentatifkan kepentingan partainya. Jika anggota DPD merangkap sebagai anggota partai
politik maka tidak bisa menghindari terjadinya benturan kepentingan antara kepentingan partai
politik dengan kepentingan daerah. Anggota Partai Politik akan mementingkan kepentingan
(platform) partai politiknya dan dapat terindikasi terjadinya intervensi terhadap kebijakan DPD
jika anggota DPD merangkap sebagai anggota partai politik.
Ketika anggota DPD berafiliasi dengan pengurus partai politik sangat membuka lebar
peluang terjadinya distorsi politik berupa lahirnya perwakilan ganda (double representation).
Mochtar Pabotinggi berpendapat bahwa distorsi mengidentikkan kegiatan politik sebagai hak
istimewa sekelompok orang monopoli politik kelompok tertentu.7 Hal ini dapat merubah original
intent (makna asli dari perumus konstitusi) pembentukan DPD sebagai representasi daerah
menjadi representasi politik. Maka terkait dengan keanggotaan DPD yang terlibat aktif dalam
partai politik, akan menguatkan intervensi partai politik terhadap kebijakan DPD, baik secara
kelembagaan maupun secara personal.
Pada periode 2014-2019 setidaknya ada 70 anggota DPD berafiliasi dengan partai politik.
Bahkan, delapan anggota DPD selain berafiliasi dengan partai politik juga sebagai pengurus
parpol. Data menunjukan 78 dari 132 anggota DPD berafiliasi sebagai anggota partai politik.8
Potensi negatif yang terjadi dalam struktur kelembagaan DPD ini akan sangat mungkin dapat
merusak sistem yang ada di dalam kelembagaan anggota DPD, hilangnya indenpendesi sebuah
lembaga yang dilahirkan atas keresahan masyarakat terhadap kepentingan daerah yang tidak lagi
diperjuangankan perlahan akan hilang, ketika banyaknya anggota DPD yang terjun sebagai
anggota partai politik.

7
Mochtar Pabotinggi, Penelitian Wawasan Kebangsaan Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Politik dan Kewilayahan, Jakarta 1993.
8
http://ipc.or.id/katastrofi-dewan-perwakilan-daerah-parpolisasi-korupsi-dan-kemelut-konflik/ diakses 2
Maret 2019

4
Secara historis ditegaskan bahwa Peraturan Perundang-undangan terkait dengan
pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD yang pertama kali dinormakan dalam Pasal 63
huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 menyatakan bahwa syarat calon anggota DPD
salah satunya adalah tidak menjadi pengurus partai politik sekuranng-kurangnya empat tahun
yang dihitung dengan pengajuan calon. Seiring dengan berjalannya waktu perubahan Peraturan
Perundang-undangan terkait dengan pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD telah dirubah
menjadi Undang-Undang No 7 Tahun 2017 yang mengatur terkait pemilihan umum DPR, DPD,
DPRD.
Merujuk pada penjelasan diatas dalam hal ini purifikasi keanggotaan DPD dengan
keanggotaan partai politik dirasa sangat tepat, karena hal ini selaras dengan amar Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang menegaskan bahwa pengurus partai
politik tidak diperbolehkan menjadi calon anggota DPD sebagaimana mengejawantahkan frasa
‘pekerjaan lain’ dalam pasal 182 huruf I Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, DPRD. Mengingat putusan Mahkamah Konstitusi bersifat
final dan mengikat (final and binding). Maksud sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi,
yaitu putusan langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya
hukum yang dapat ditempuh terhadap putusan yang dikeluarkan. Sementara,
sifat mengikat bermakna putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya berlaku bagi para pihak
tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia.9
Putusan Mahkamah Konstitusi dan purifikasi keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah
dari keanggotaan partai politik dirasa dapat mengembalikan marwah DPD sebagai institusi
daerah, mencegah terjadinya distorsi politik dan mengembalikan original intens atau makna asli
perumusan pembentukan DPD yang diamanahkan konstitusi sebagai representatif daerah untuk
memperjuangkan kepentingan daerah di tataran nasional, dan sekaligus menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam konteks hubungan pemerintahan pusat dan daerah.
Dengan adanya purifikasi keanggotaan DPD dari partai politik jelas dapat
memfungsionalisasikan tugas wewenang DPD tanpa adanya benturan kepentingan dengan partai
politik.

9
Penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

5
B. Pemenuhan Hak Anggota parpol sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
dalam konsep HAM
Indonesia sebagai negara yang menganut teori kedaulatan rakyat memiliki konsekuensi
logis bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan membuka pintu seluas-luasnya kepada rakyat
untuk ikut serta dalam urusan pemerintahan. Hak tersebut telah mendapat jaminan dari
Konstitusi negara Indonesia yang termaktub dalam Pasal 28 D ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 yang menjelaskan bahwa seluruh warga Indonesia berhak
untuk ikut serta dalam pemerintahan. Amanat konstitusi tersebut tercermin dalam kegiaan
Pemilihan umum yang diikuti oleh seluruh rakyat Indonesia. Pemilu dijadikan sebagai sarana
sekaligus ukuran dilaksanakan atau tidaknya kedaulatan rakyat, hakikat pemilihan umum adalah
pengakuan atas keberadaan hak memilih dan hak untuk dipilih setiap warga negara.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 menyatakan
bahwa melarang anggota DPD berasal dari anggota partai politik. Hal ini menimbulkan
pembatasan hak konstitusional warga negara untuk maju sebagai wakil daerah di lembaga DPD
bagi mereka yang berasal dari anggota partai politik. Hak warga negara untuk ikut serta dalam
pemerintahan sejatinya juga telah dilindingi oleh dunia internasional melalui International
Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik) yang merupakan suatu perjanjian internasional yang isinya melindungi hak-hak warga
sipil dan politik serta memberikan aturan kepada negara untuk menghormati hak-hak warga
negaranya.
Kovenan tersebut telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights
(Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Dalam Pasal 25 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2005 tersebut dinyatakan bahwa hak warga negara untuk ikut serta dalam
pemerintahan tidak boleh untuk dibatasi oleh negara, begitu juga berlaku untuk warga negara
yang bergabung dalam partai politik tertentu masih memiliki hak untuk maju sebagai calon
anggota DPD.
Ketakutan sejumlah masyarakat terhadap netralitas anggota DPD yang berasal dari
keanggotaan partai politik telah membuat masyarakat lupa akan penghargaan terhadap hak-hak
sesama warga negara. Padahal, jika berkaca dari sistem demokrasi yang ada di Amerika Serikat,
dimana para senator yang ditunjuk untuk mewakili daerahnya sendiri didominasi oleh mereka

6
yang berasal dari anggota partai politik. Walaupun begitu, tidak terjadi ketimpangan antara
kepentingan partai politik dengan kepentingan daerah. Berlakunya aturan pelarangan tersebut
telah memunculkan diskriminasi dalam pemenuhan hak asasi warga negara khususnya terkait
kebebasan dalam ikut dalam pemerintahan.
Melihat hasil kinerja DPD saat ini yang dalam lembaganya terdapat anggota partai politik
menunjukkan hasil kinerja yang baik seperti lembaga paling bersih yang dibuktikan dengan
berhasilnya DPD mencapai prestasi puncak pengelolaan APBN, yaitu memperoleh opini Wajar
Tanpa Pengecualiaan (WTP). Prestasi tersebut diperoleh berdasarkan hasil pemeriksaan atas 87
Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga (LKKL) menunjukkan terdapat 74 LKKL
yang mendapat opini WTP, 8 LKKL mendapat opini Wajar Dengan Pengecualian dan 8 LKKL
mendapat opini Tidak Memberi Pendapat (TMP).10
Selain itu, DPD sebagai lembaga legislatif pun sudah memberikan kontribusi baik yang
dibuktikan dengan dihasilkannya 154 produk hukum dengan rinciannya, 10 usulan inisiatif
Rancangan Undang-Undang (RUU), 83 pandangan, pendapat, dan pertimbangan mengenai
berbagai RUU. Lalu, 38 produk hasil pengawasan dan 23 keputusan yang berkaitan dengan
APBN.11
Berdasarkan fakta di atas, telah membuktikan bahwa masuknya anggota anggota partai
politik sebagai anggota DPD tidak mempengaruhi hasil kerja dari DPD sebagai refrentatif daerah
dan distorsi politik hanyalah berupa kekhawatiran semata.
Selain itu, dengan masuknya anggota partai politik dalam keanggotaan DPD juga tidak
mempengaruhi proses check and balances terhadap anggota DPR yang merupakan refresentasi
politik dari aspirasi dan kepentingan politik partai-partai politik. Karena pada dasar nya DPD
merupakan lembaga refresentatif aspirasi daerah yang tidak terpengaruh oleh anggota DPD yang
berstatus sebagai anggota partai politik.
Dengan berlakunya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang telah
melarang anggota DPD berasal dari anggota partai politik tertentu, perlu kita perhatikan
beberapa implikasi yang akan terjadi. Pertama, dengan berlaku aturan tersebut para calon
anggota DPD yang berasal dari anggota partai harus memutuskan diantara dua pilihan, mundur
dari pencalonan angota DPD atau mundur dari keanggotaan partai politik. Padahal pilihan untuk

10
http://www.dpd.go.id/artikel-352-dpd-ri-raih-opini-wtp-11-kali-berturutturut- diakses 5 Maret 2019
11
https://www.jpnn.com/news/empat-tahun-dpd-hasilkan-154-produk-hukum diakses 5 Maret 2019

7
mundur dari keanggotaan partai politik bukanlah pilihan yang mudah, mengingat partai politik
merupakan sebuah wadah yang anggotanya diikat dengan ideologi yang sama.
Kedua, keluarnya seorang calon anggota DPD dari keanggotaan partai politik akan
berdampak pula pada kredibilitasnya di mata masyarakat, karena masyarakat Indonesia yang
mempunyai ciri sebagai masyarakat kolektif, memberikan reaksi terhadap perbedaan pendapat
yang terjadi. Jika apa yang mereka lihat tidak sesuai dengan pandangannya, maka hal itu akan di
cap buruk. Begitu juga dengan keluarnya seseorang dari partai politik untuk mengejar jabatan
tertentu akan dicap sebagai orang yang haus jabatan, tidak pantas untuk menjadi wakil daerah.
Implikasi seperti inilah yang perlu diperhatikan secara bersama ketika aturan pelarangan anggota
parpol maju sebagai calon anggota DPD berlaku, akan terjadi keuntungan sepihak bagi mereka
calon independen yang lepas dari anggapan negatif masyarakat.
Merujuk pada penjelasan di atas, dengan masuknya anggota partai politik dalam
keanggotaan DPD selaras dengan pemenuhan hak konstitusionalisme warga negara untuk bisa
dipilih dalam rangka ikut serta dalam pemerintahan. Hal tersebut sejatinya telah dilindungi oleh
konstitusi negara Indonesia yang juga diakui oleh dunia Internasional melalui Internasional
Convenant on Civil and Political Rights.

8
PENUTUP

Dewan Perwakilan Daerah sebagai representatif daerah merupakan lembaga yang


berwenang mengakomodir aspiasi kedaerahan ke pusat. Hal ini berimplikasi bahwa DPD harus
bersifat bersih dan netral dari kepentingan partai politik untuk menjaga marwah pembentukan
DPD sebagaimana amanat konstitusi. Anggota DPD yang berafiliasi dengan anggota partai
politik akan menimbulkan benturan kepentingan sehingga mengakibatkan terjadinya distorsi
politik. Hal ini tentu akan mencederai original intent DPD sebagai wakil daerah yang
memperjuangkan kepentingan daerah dalam lingkup nasional.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang menyatakan bahwa tidak
diperbolehkannya anggota partai politik untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) pada dasarnya bertujuan untuk menjaga segala bentuk benturan kepentingan yang akan
terjadi apabila anggota DPD berafiliasi dengan anggota partai politik. Namun, putusan tersebut
berdampak kepada adanya pembatasan hak kepada anggota partai politik yang ingin
mencalonkan diri sebagai anggota DPD hal ini dianggap cenderung diskriminatif dalam
pemenuhan hak asasi manusia. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka diperlukan solusi
alternatif yang dapat mengakomodir dan menjadi alternatif penyelesaian masalah tersebut. Hal
ini dapat dilaksanakan dengan Grand Desain berikut ini:
1) Revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 terkait dengan penegasan prasyarat calon
anggota DPD dengan menegaskan tidak diperkenankan berasal dari partai politik. Hal ini
sebagai bentuk pengejawantahan dari Putusan Mahkamah Konstitusi No.30/PUU-
XIV/2018.
2) Revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik dengan
menambahkan pasal pelarangan terhadap anggota partai politik untuk tidak mencalonkan
diri menjadi anggota DPD.
3) Revisi Kode Etik DPD RI dengan melakukan penambahan Pasal yang menyatakan
secara eksplisit bahwa anggota partai politik dilarang mencalonkan diri menjadi anggota
DPD. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari multitafsir dikalangan publik dan salah
satu bentuk kepastian hukum berkenaan dengan anggota DPD yang berasal dari partai
politik.

9
4) Revisi AD/ART partai politik terkait status keanggotaan dan mengatur mekanisme
penonaktifan status keanggotaan tersebut ketika anggota partai politik mejabat sebagai
anggota DPD, serta mengatur mekanisme memperoleh status keanggotaan bagi anggota
partai politik setelah selesai melaksanakan amanahnya sebagai anggota DPD dan kembali
menjadi anggota partai politik. Solusi tersebut dimaksudkan untuk menjalankan amanah
konstitusi dan bentuk dari revisi Undang-Undang tersebut agar sejalan dengan Undang-
Undang Negara Republik Indonesia tahun 1945 agar tidak bertentangan dan tidak adanya
kecenderungan diskriminasi hak konstitusional warga negara.
5) Penonaktifan status keanggotaan bagi anggota partai politik ketika menjabat sebagai
anggota Dewan Perwailan Daerah (DPD). Hal ini bertujuan sebagai bentuk pemenuhan
Hak Asasi Manusia bagi anggota partai politik yang ingin mencalonkan sebagai anggota
DPD maka harus di nonaktifkan terlebih dulu status keanggotaannya dalam partai politik.
6) Peran aktif masyarakat dalam mengawasi kinerja DPD sebagai upaya social control.

10
DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, Miriam. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Djaja, Ermasjah. 2010. Memberantas Korupsi Bersama KPK Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit
Sinar Grafika
Gaffar, M. Janedjri. 2003. Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI dan UNDP
Pabotinggi, Mochtar. 1993. Penelitian Wawasan Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Politik dan Kewilayahan.
Saragih, Bintan R. 1985. Sistem Pemerintahan dan Lembaga Perwakilan di Indonesia. Jakarta:
Perintis Press.

Sumber Peraturan Perundang-Undangan


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Ketetapan MPR Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil
and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XIV/2018

Sumber Lain
http://www.dpd.go.id/artikel-352-dpd-ri-raih-opini-wtp-11-kali-berturutturut
https://www.jpnn.com/news/empat-tahun-dpd-hasilkan-154-produk-hukum
http://ipc.or.id/katastrofi-dewan-perwakilan-daerah-parpolisasi-korupsi-dan-kemelut-konflik/

11

Você também pode gostar