Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Prostatic Hyperplasia
Oleh :
Kartika Sari (717.6.2.0873)
Hidayatul arifin (717.6.2.0904)
Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha
Pemurah, karena berkat kemurahanNya makalah ini dapat kami selesaikan
sesuai yang diharapkan. Dalam makalah ini kami membahas tentang “Benigne
Prostat Hyperplasia”, suatu penyakit yang berhubungan dengan system
reproduksi.
Sumenep, 18 Maret
2019
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... 4
BAB I 6
PENDAHULUAN ................................................................................................ 6
1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 6
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................... 7
1.3. Tujuan ..................................................................................................... 7
BAB II 8
BAB III 21
PENDAHULUAN
Menurut Silva (2007), BPH dianggap menjadi bagian dari proses penuaan
yang normal. Walaupun demikian, jika menimbulkan gejala yang berat dan tidak
segera ditangani dapat menimbulkan komplikasi yang mungkin terjadi pada
penderita BPH yang dibiarkan tanpa pengobatan adalah pembentukan batu vesika
akibat selalu terdapat sisa urin setelah buang air kecil, sehingga terjadi
pengendapan batu. Bila tekanan intra vesika yang selalu tinggi tersebut diteruskan
ke ureter dan ginjal, akan terjadi hidroureter dan hidronefrosis yang akan
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal.
1.3. Tujuan
Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Benign
Prostatic Hyperplasia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Etiologi
Penyebab yang pasti dari terjadinya Benign Prostatic Hyperplasia sampai
sekarang belum diketahui secara pasti, tetapi hanya 2 faktor yang mempengaruhi
terjadinya Benign Prostatic Hyperplasia yaitu testis dan usia lanjut.
Karena etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang
diduga timbulnya Benigna Prostatic Hyperplasia antara lain :
1. Hipotesis Dihidrotestosteron (DHT)
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan
epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasia.
Gambaran Klinis
Gejala-gejala pembesaran prostat jinak dikenal sebagai Lower Urinary
Tract Symptoms (LUTS),yang dibedakan menjadi:
1. Gejala iritatif, yaitu sering miksi (frekuensi), terbangun pada malam hari untuk
miksi (nokturia),perasaan ingin miksi yang sangat mendesak (urgensi),dan
nyeri pada saat miksi (disuria).
2. Gejala obstruktif adalah pancaran melemah, rasa tidak puas setelah miksi, kalau
mau miksi harus menunggu lama, harus mengedan,kencing terputus-putus,dan
waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan inkontinen
karena overflow. (Anonim,FK UI,1995).
Tanda:
Faktor Resiko
Dalam penelitian terakhir, pengaruh makanan terhadap pembesaran prostat
telah menjadi kontroversi. Menurut sebuah studi yang menganalisis data dari
kelompok plasebo dalam Prostate Cancer Prevention Trial (PCPT), yang terdaftar
18.880 pria berusia lebih dari 50 tahun, tingginya konsumsi daging merah dan diet
tinggi lemak dapat meningkatkan risiko BPH, dan tingginya konsumsi sayuran
dikaitkan dengan penurunan risiko BPH. Lycopene dan suplemen dengan vitamin
D bisa menurunkan risiko pembesaran prostat, tetapi vitamin C, vitamin E, dan
selenium dilaporkan tidak ada hubungannya dengan BPH. Aktivitas fisik juga
terbukti mengurangi kemungkinan pembesaran prostat dan Lower Urinary Tract
Symptom (LUTS). Dalam meta-analisis yang terdaftar 43.083 pasien laki-laki,
intensitas latihan itu terkait dengan pengurangan risiko pembesaran prostat.
Sebuah korelasi negatif antara asupan alkohol dan pembesaran prostat telah
ditunjukkan dalam banyak studi penelitian (Yoo & Cho, 2012).
Pria yang mengkonsumsi alkohol secara sedang memiliki risiko 30% lebih
kecil kemungkinan terjadi gejala BPH, 40% lebih kecil kemungkinan untuk
mengalami transurethral resection prostate, dan 20% lebih kecil kemungkinan
mengalami gejala nokturia. Namun, dalam meta-analisis dari 19 studi terakhir,
menggabungkan 120.091 pasien, pria yang mengkonsumsi 35 gram atau lebih
alkohol per hari dapat menurunkan risiko BPH sebesar 35% tetapi peningkatan
risiko LUTS dibandingkan dengan pria yang tidak mengkonsumsi alkohol (Yoo &
Cho, 2012).
Klasifikasi
Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk
menentukan berat gangguan miksi yang disebut WHO Prostate Symptom Score
(PSS). Derajat ringan: skor 0−7, sedang: skor 8−19, dan berat: skor 20−35
(Sjamsuhidajat dkk, 2012). Selain itu, ada juga yang membaginya berdasarkan
gambaran klinis penyakit BPH. Derajat penyakit BPH disajikan pada tabel 1.
Patofisiologi
Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami
hiperplasia, jika prostat membesar akan meluas ke atas (bladder), di dalam
mempersempit saluran uretra prostatica dan menyumbat aliran urine. Keadaan ini
dapat meningkatkan tekanan intravesikal. Sebagai kompensasi terhadap tahanan
uretra prostatika, maka otot detrusor dan buli-buli berkontraksi lebih kuat untuk
dapat memompa urine keluar. Kontraksi yang terus-menerus menyebabkan
perubahan anatomi dari buli-buli berupa : hipertropi otot detrusor, trabekulasi,
terbentuknya selula, sekula dan difertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-
buli dirasakan klien sebagai keluhan pada saluran kencing bagian bawah atau
Lower Urinary Tract Symptom/LUTS.
Pada fase-fase awal dari Prostat Hyperplasia, kompensasi oleh muskulus
destrusor berhasil dengan sempurna. Artinya pola dan kualitas dari miksi tidak
banyak berubah. Pada fase ini disebut sebagai Prostat Hyperplasia Kompensata.
Lama kelamaan kemampuan kompensasi menjadi berkurang dan pola serta
kualitas miksi berubah, kekuatan serta lamanya kontraksi dari muskulus destrusor
menjadi tidak adekuat sehingga tersisalah urine di dalam buli-buli saat proses
miksi berakhir seringkali Prostat Hyperplasia menambah kompensasi ini dengan
jalan meningkatkan tekanan intra abdominal (mengejan) sehingga tidak jarang
disertai timbulnya hernia dan haemorhoid puncak dari kegagalan kompensasi
adalah tidak berhasilnya melakukan ekspulsi urine dan terjadinya retensi urine,
keadaan ini disebut sebagai Prostat Hyperplasia Dekompensata. Fase
Dekompensasi yang masih akut menimbulkan rasa nyeri dan dalam beberapa hari
menjadi kronis dan terjadilah inkontinensia urine secara berkala akan mengalir
sendiri tanpa dapat dikendalikan, sedangkan buli-buli tetap penuh. Ini terjadi oleh
karena buli-buli tidak sanggup menampung atau dilatasi lagi. Puncak dari
kegagalan kompensasi adalah ketidak mampuan otot detrusor memompa urine
dan menjadi retensi urine. Retensi urine yang kronis dapat mengakibatkan
kemunduran fungsi ginjal
Gejala Klinis
Gejala klinis hanya terjadi sekitar 10% pada laki-laki yang mengidap
kelainan ini. Hal ini dikarenakan BPH mengenai bagian dalam prostat,
manifestasinya yang tersering adalah gejala obstruksi saluran kemih bawah
(Kumar dkk., 2007).
Gejala klinis berkembang lambat karena hipertrofi detrusor kandung kemih
mengkompensasi untuk kompresi uretra. Seiring dengan osbtruksi berkembang,
kekuatan pancaran urin menurun, dan terjadi keragu-raguan dalam memulai
berkemih dan menetes diakhir berkemih. Disuria dan urgensi merupakan tanda
klinis iritasi kandung kemih (mungkin sebagai akibat peradangan atau tumor) dan
biasanya tidak terlihat pada hiperplasia prostat. Ketika residual pasca-miksi
bertambah, dapat timbul nokturia dan overflow incontinence (Saputra, 2009).
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun
keluhan di luar saluran kemih, yaitu:
a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS) terdiri atas gejala
voiding, storage, dan pasca-miksi. Untuk menilai tingkat keparahan dari
keluhan pada saluran kemih bagian bawah, beberapa ahli dan organisasi
urologi membuat sistem penilaian yang secara subjektif dapat diisi dan
dihitung sendiri oleh pasien. Sistem penilaian yang dianjurkan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) adalah Skor Internasional Gejala Prostat atau
International Prostatic Symptom Score (IPSS) (Purnomo, 2012).
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
urinalisa untuk melihat adanya infeksi, hematuria
Ureum, creatinin, elektrolit untuk melihat gambaran fungsi ginjal
Pengukuran derajat berat obstruksi
Menentukan jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan (normal sisa
urin kososng dan batas intervensi sisa urin lebih dari 100 cc)
Pancaran urin (uroflowmetri)
Syarat: jumlah urin dalam vesika 125 s/d 150 ml. Angka normal rata-
rata 10 s/d 12 ml/detik, obstruksi ringan 6-8 ml/detik.
Pemeriksaan lain
BNO/IVP untuk menentukan adanya divertikel,penebalan bladder
USG dengan Transuretral ultrasonografi prostat (TRUS P) untuk
menentukan volume prostat
Trans-abdominal USG : untuk mendeteksi bagian prostat yang menonjol
ke buli-buli yang dapat dipkai untuk meramalkan derajat berat obstruksi
apabila adabatu dalam vesika.
Cystoscopy untuk melihat adanya penebalan pada dididing bladder
Penatalaksanaan
1. Terapi medikamentosa
1. Prostatektomi
b. Prostatektomi Perineal.
c. Prostatektomi retropubik.
Pengelolaan Pasien
1. Pre operasi
2. Post operasi
Komplikasi
1. Perdarahan.
2. Pembentukan bekuan
3. Obstruksi kateter
4. Disfungsi seksual tergantung dari jenis pembedahan.
Kebanyakan prostatektomi tidak menyebabkan impotensi meskipun aktifitas
seksual dapat dilakukan kembali setelah 6-8 minggu karena fossa prostatik
sudah sembuh.
5. Komplikasi yang lain yaitu perubahan anatomis pada uretra posterior
menyebabkan ejakulasi retrogard yaitu setelah ejakulasi cairan seminal
mengalir kedalam kandung kemih dan diekskresikan bersama urin. Selain itu
vasektomi mungkin dilakukan untuk mencegah penyebaran infeksi dari uretra
prostatik melalui vas deference dan ke dalam epidedemis. Setelah
prostatektomi total ( biasanya untuk kanker ) hampir selalu terjadi impotensi.
Bagi pasien yang tak mau kehilangan aktifitas seksualnya, implant prostetik
penis mungkin digunakan untuk membuat penis menjadi kaku guna keperluan
hubungan seksual.
6. Infeksi
BAB III
ASKEP TEORI
2. Post - Operasi
a. Data Subyektif
- Klien mengatakan nyeri pada luka post operasi
- Klien mengatakan tidak tahu tentang diet dan pengobatan setelah operas
b. Data Obyektif
- Ekspresi tampak menahan nyeri
- Ada luka post operasi tertutup balutan
- Tampak lemah
- Terpasang selang irigasi, kateter, infus
4. Pengkajian fisik
a. Gangguan dalam berkemih seperti
- Sering berkemih
- Terbangun pada malam hari untuk berkemih
- Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak
- Nyeri pada saat miksi, pancaran urin melemah
- Rasa tidak puas sehabis miksi
- Jumlah air kencing menurun dan harus mengedan saat berkemih
- Aliran urin tidak lancar/terputus-putus, urin terus menetes setelah
berkemih.
- Nyeri saat berkemih
- Ada darah dalam urin
- Kandung kemih terasa penuh
- Nyeri di pinggang, punggung, rasa tidak nyaman di perut.
- Urin tertahan di kandung kencing, terjadi distensi kandung kemih
b. Gejala umum seperti keletihan, tidak nafsu makan, mual muntah, dan rasa
tidak nyaman pada epigastrik
c. Kaji status emosi : cemas, takut
d. Kaji urin : jumlah, warna, kejernihan, bau
e. Kaji tanda vital
Analgesic
Administration
Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas,
dan derajat nyeri
sebelum pemberian obat
Cek instruksi dokter
tentang jenis obat, dosis,
dan frekuensi
Cek riwayat alergi
Pilih analgesik yang
diperlukan atau
kombinasi dari analgesik
ketika pemberian lebih
dari satu
Tentukan pilihan
analgesik tergantung tipe
dan beratnya nyeri
Tentukan analgesik
pilihan, rute pemberian,
dan dosis optimal
Pilih rute pemberian
secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri secara
teratur
Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali
Berikan analgesik tepat
waktu terutama saat
nyeri hebat
Evaluasi efektivitas
analgesik, tanda dan
gejala (efek samping)
Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas,
dan derajat nyeri
sebelum pemberian obat
Cek instruksi dokter
tentang jenis obat, dosis,
dan frekuensi
Cek riwayat alergi
Pilih analgesik yang
diperlukan atau
kombinasi dari analgesik
ketika pemberian lebih
dari satu
Tentukan pilihan
analgesik tergantung tipe
dan beratnya nyeri
Tentukan analgesik
pilihan, rute pemberian,
dan dosis optimal
Pilih rute pemberian
secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri secara
teratur
Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali
Berikan analgesik tepat
waktu terutama saat
nyeri hebat
Evaluasi efektivitas
analgesik, tanda dan
gejala (efek samping)
Balance cairan
Bladder Irrigation :
selama 24 jam
Tentukan apakah irigasi
Urin dapat keluar
akan dilakukan secara
tanpa kesakitan
berkelanjutan atau hanya
sementara
pembedahan, lain
Klien bebas dari
catheter, iritasi Pertahankan teknik
tanda dan gejala
kandung kemih isolasi
infeksi
serta trauma Menunjukkan Batasi pengunjung bila
insisi bedah. kemampuan perlu
normal berkunjung
Infection Protection
(proteksi terhadap infeksi)
peningkatan Hb/> 10 gr AT
% kolaborasi untuk tranfusi
bila terjadi perdarahan (hb <
10 gr%)
Kolaborasi dengan
dokter untuk terapinya
A. PENGKAJIAN
1. Pengumpulan Data
a. Identitas pasien
Nama : Tn “S”
Umur : 73 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku : Melayu
Pendidikan : Sekolah Dasar (SD)
Alamat : Desa Batu Mak Jage Kec. Tebas
Pekerjaan : Petani
Tanggal masuk : 10 Juli 2014
Tanggal pengkajian : 14 Juli 2014
Diagnosa medis : Benigna Prostat Hyperplasia (BPH)
Dokter penanggung jawab : dr. Eka S. Sp.B
b. Identitas penanggung jawab
Nama : Tn “M”
Jenis kelamin : Laki-laki
Hubungan dengan pasien : Cucu
2. Riwayat Penyakit
a. Alasan masuk rumah sakit sakit
Klien mengeluh susah BAK ± 1 tahun. Pasien berobat ke Puskesmas
lalu dirujuk ke RSUD Sambas.
b. Keluhan saat dikaji
Pasien mengatakan nyeri pada bagian bekas luka operasi. Pasien
meringis kesakitan.
P : saat ditekan dan beraktivitas
Q : seperti ditusuk jarum
R : dibagian abdomen bawah (kandung kemih) luka operasi
S : 5-6
T : intermitten
c. Riwayat penyakit dahulu
Pasien tidak pernah mengalami penyakit kronis sebelumnya.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang menderita BPH.
3. Genogram
Keterangan :
: Laki-laki
: Laki-laki meninggal
: Perempuan
: Perempuan meninggal
: Pasien
Aktifitas 0 1 2 3 4
Mandi √
Berpakaian √
Eliminasi √
Pindah √
Keterangan : 0 = mandiri
1 = dibantu sebagian
2 = perlu bantuan orang lain
3 = perlu bantuan orang lain dan alat
4 = tergantung orang lain tidak mandiri
5. Data Sosial
a. Hubungan dengan keluarga
Baik.
b. Hubungan dengan tetangga
Baik.
c. Hubungan dengan pasien sekitar
Baik.
d. Hubungan dengan keluarga pasien lain
Baik.
6. Data Psikologis
a. Status emosi
Pasien dapat mengendalikan emosi dengan baik.
b. Peran diri
Pasien tidak dapat mejalankan peran seagai kepala keluarga yang baik
karena dirawat di rumah sakit.
c. Gaya komunikasi
Pola Koping
7. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : Lemah
Kesadaran : E4M6V5 (GCS = 15)
Compos Mentis
TTV : TD = 120/80 mmHg
N = 80 x/menit
RR = 16 x/menit
S = 36,5 ºC
b. Kepala
Inspeksi : Bentuk kepala simetris, beruban, kulit kepala kering,
tidak ada ketombe.
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan.
c. Mata
Inspeksi : Sklera putih, dapat melihat dengan jelas, bola mata
simetris, konjungtiva merah muda, ada reaksi
terhadap cahaya (miosis) tidak mengguakan alat bantu
penglihatan, fungsi penglihatan normal.
Palpasi : Tidak nyeri tekan.
d. Hidung
Inspeksi : bentuk simetris, tidak ada polip, tidak ada sekret.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan dan
pembengkakan.
e. Telinga
Inspeksi : Bentuk simetris, tidak ada kelainan dikedua telinga,
tidak ada lesi dan serumen.
Palpasi : Tidak ada benjolan, tidak ada nyeri tekan.
f. Mulut
Inspeksi : Gigi tampak hitam, lidah bersih, mukosa mulut
lembab, bibir lembab.
Palpasi : Otot rahang kuat.
g. Leher
Inspeksi : Tidak ada pembesaran kelenjar limfe.
Palpasi : Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar tyroid, tidak
ada nyeri tekan.
h. Thoraks (paru-paru)
Inspeksi : Dada simetris, tidak ada lesi, respirasi 16 x/m, ada
batuk sedikit.
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan.
Auskultasi : Bunyi napas vesikuler.
Perkusi : Sonor.
i. Thoraks (jantung)
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi : ictus cordis tidak teraba.
Auskultasi : S1 dan S2 reguler.
Perkusi : Batas jantung normal.
j. Abdomen
Inspeksi : Simetris, tidak ada lesi, terdapat luka insisi bedah
tanggal 11-07-2014 di abdomen inguinalis kanan
dengan karakteristik panjang luka 8-10 cm jumlah
hecting 7 jahitan tidak ada tanda-tanda infeksi (rubor,
dolor, kalor, tumor). Terpasang drain dengan produksi
± 50 cc warna merah muda.
Palpasi : ada nyeri tekan di sekitar luka post operatif di
abdomen inguinalis kanan, skala 5-6 (nyeri sedang),
teraba hangat di daerah sekitar luka.
Perkusi : timpani.
Auskultasi : bising usus 6 x/menit.
k. Genetalia
(pasien menolak untuk dikaji).
l. Ekstremitas
Kanan 5 5 5 5 5 5 5 5 Kiri
5 5 5 5 5 5 5 5
RONTGEN
Pengobatan
Tramadol 2 x 100 ml (IV)
Ranitidine 2 x 50 ml (IV)
As. Tranexamat 3 x 500 mg (IV)
Cefoprazone 2 x 1 gr (IV).
NaCl/RL 20 Tpm.
B. ANALISA DATA
Proses pembedahan
1. DS: Nyeri akut
S : 5-6
T : intermitten
Nyeri
DO:
DO:
- Terpasang drain
TTV
RR : 16x/menit
N : 80x/menit
S : 36,7oC
DO:
- Ps tampak lemah.
melakukan aktivitas.
DITEMUKAN TERATASI
14 Juli 2014
1. Nyeri akut b/d luka post operasi.
DS:
S : 5-6
T : intermitten
DO:
DS:
DO:
- Terpasang drain
TTV
TD : 120/80 mmHg
RR : 16x/menit
N : 80x/menit
S : 36,7oC
- Leukosit 6.600mm3/drh
14 Juli 2014
3. Intoleran aktivitas b/d nyeri akibat
luka bekas operasi.
DS:
DO:
- Ps tampak lemah.
Nyeri akut b/d luka post operasi, Setalah dilakukan tindakan Guidance :
1.
ditandai dengan: keperawatan 3x24 jam diharapkan
- Kaji skala nyeri 1. Mengetahui skala nyeri
nyeri dapat berkurang atau hilang
DS: - Kaji TTV setiap 4 jam
dengan kriteria hasil :
Support :
- Ps mengatakan nyeri dibagian 2. Mengetahui keadaan
- Ds : pasien mengatakan nyeri
bekas luka - Berikan posisi yang nyaman umum pasien.
berkurang dengan skala 1-3
untuk klien.
P : saat ditekan dan beraktivitas - Do : pasien tampak tenang,
Teaching : 3. Memberikan rasa
Q : seperti ditusuk jarum TTV dalam batas normal
nyamann bagi pasien.
- Ajarkan manajemen nyeri (teknik
R : dibagian abdomen bawah relaksasi napas dalam dan teknik
(kandung kemih) luka operasi. distraksi). 4. Mengalihkan perhatian
08.20 T : intermitten
3. Megajarkan teknik relaksasi napas dalam.
08.30 R/ Pasien mengikuti dengan baik.
4. Memberi terapi injeksi sesuai instruksi dokter.
R/ Tramadol 1 amp IV.
DX 2. 14 Juli 2014 1. Mengkaji tanda-tanda infeksi.
S : Pasien mengatakan tidak ada rasa gatal,
09.00 H/ Tidak ada tanda-tanda infeksi (rubor, dolor,
panas, dan sakit.
kalor, tumor.
10.00
2. Memberikan penkes kepada pasien dalam O : Tidak tampak adanya tanda-tanda
menjaga kebersihan luka bekas operasi.
infeksi.Pasien terlihat tenang
R/ pasien dan keluarga mendengarkan dengan
baik. A : Masalah masih resiko.
11.00 3. Memberikan terapi injeksi .
P : Intervensi 1 dan 3 dilanjutkan.
R/ Cifrofloxacin 500 mg IV.
DX 3. 14 Juli 2014 1. Mengkaji tingkat aktifitas pasien. S : Pasien mengatakan belum bisa
13.00 H/ pasien hanya beraktifitas di tempat tidur. beraktifitas secara mandiri.
2. Mengajarkan latihan fisik aktif dan pasif.
O : Pasien tampak lemah.
R/ pasien mengikuti dengan baik.
13.30 A : Masalah belum teratasi .
DX 2. 15 Juli 2014 1. Memberikan terapi injeksi . S : Pasien mengatakan tidak ada rasa gatal,
09.00 R/ Cifrofloxacin 500 mg IV. panas dan sakit.
11.00 2. Melakukan perawatan luka dengan teknik aseptik
O : Tidak ada tanda-tanda infeksi.
dan steril.
08.00 H/ perban tambak bersih, tidak terdapat tanda- A : Masalah masih resiko.
tanda infeksi. P : Intervensi 1,2 dan 3 dilanjutkan.
DX 3. 15 Juli 2014 1. Mengkaji tingkat aktifitas pasien. S : Pasien mengatakan sebagian aktifitas
13.00 H/ sebagian aktifitas pasien sudah dapat sudah bisa dilakukan sendiri.
dilakukan sendiri
2. Mengajarkan latihan fisik aktif dan pasif. O : Pasien tampak lebih bersemangat
R/ pasien mengikuti dengan baik. dalam melakukan aktifitas.
13.30
A : Masalah teratasi sebagian .
DX 3. 16 Juli 2014 1. Mengkaji tingkat aktifitas pasien. S : Pasien mengatakan sebagian aktifitas
09.00 H/ sebagian aktifitas pasien sudah bisa dilakukan sudah bisa dilakukan sendiri.
secara mandiri.
2. Mengajarkan latihan fisik aktif dan pasif. O : Pasien tampak lebih bersemangat
R/ pasien mengikuti dengan baik. dalam melakukan aktifitas.
13.30
A : Masalah teratasi sebagian.
P : Intervensi 1 dilanjutkan.