Você está na página 1de 12

RANGKUMAN FILSAFAT ILMU

1. MASALAH ETIKA DAN HUKUM KEDOKTERAN TERKINI

PERENUNGAN :
Sebagai seorang klinisi, kita harus mempertimbangkan kepentingan pasien dan juga
mempertimbangkan cost dan kualitas ( efisien ). Jika pasien dalam kondisi terminal stage, fikirkan
prognosis jangka panjang terhadap pasien dan gunakan sumber daya sesuai hak pasien.

KASUS :
Seorang laki – laki usia 90 tahun dirawat di ICU karena kanker paru yang sudah menyebar ke otak.
Pasien sudah tidak sadar selama 2 minggu dan terpasang ventilator. Keluarga sudah tidak memiliki
dana yang cukup untuk melanjutkan perawatan pasien. Salah satu anaknya memilih untuk
melakukan Do Not Resucitate (DNR), yaitu selang yang tersambung ke ventilator dilepas dan
terapi lainnya dihentikan. Namun, salah seorang anak yang lain memutuskan untuk melanjutkan
terapi dan tetap menggunakan ventilator untuk pasien.

SARAN :
Salah satu isu yang sering muncul pada perawatan kritis adalah penundaan dan penghentian
bantuan hidup atau yang sering disebut withholding and withdrawing life support. Kalangan
kesehatan harus tetap menyadari bahwa dalam menjalankan profesi kesehatan mereka tidak hanya
bertanggung jawab terhadap kesehatan pasien (professional responsibility), tetapi juga
bertanggung jawab di bidang hukum (legal responsibility), terhadap pelayanan yang diberikan.
Penentuan kematian seseorang berdasarkan Permenkes nomor 37 tahun 2014 dapat dilakukan
dengan menggunakan kriteria diagnosis kematian klinis/konvensional atau kriteria diagnosis
kematian mati batang otak. Berdasarkan Permenkes nomor 37 tahun 2014 pasal 8-13 yaitu Kriteria
diagnosa kematian klinis/konvensional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 didasarkan pada
telah berhentinya fungsi sistem jantung sirkulasi dan system pernafasan terbukti secara permanen.
Penentuan seseorang telah mati batang otak hanya dapat dilakukan oleh tim dokter yang terdiri
atas 3 (tiga) orang dokter yang kompeten dan diagnosis mati batang otak harus dibuat di ruang
rawat intensif (Intensive Care Unit) dan pemeriksaan yang dilakukan harus sesuai dengan prosedur
dan syarat untuk menentukan diagnosis mati batang otak. Berdasarkan pasal 13, setelah seseorang
ditetapkan mati batang otak, maka semua terapi bantuan hidup harus segera dihentikan.1

2. Filsafat ilmu dalam kepemimpinan profesi

PERENUNGAN :
Masalah yang dihadapi saat ini, yaitu ada masalah sosiologi di mana manusia masih sering
menggugat, maka dokter harus memiliki kemampuan supergeneralist (bisa menjadi pemimpin
untuk mengelola sumber daya manusia).
Untuk menghindari masalah sebaiknya dokter melakukan penanganan secara holistik, yaitu
mengutamakan kepentingan pasien (mencari prognosis) dan kepentingan dokter sendiri (mencari
diagnosis dan terapi). Struktur ilmu kedokteran terdiri dari struktur ilmu biomedik, ilmu
kedokteran klinis (merupakan ilmu yang tidak pasti maka dibutuhkan ilmu statis misalnya ilmu
fisika, kimia dan biologi) dan dibutuhkan pendidikan bioetika humaniora (ilmu sosial). Maka itu
dalam ilmu kedokteran merupakan ilmu campuran statis dan sosial.

KASUS :
Penanganan pasien di Indonesia kebanyakan tidak pernah didiskusikan oleh suatu tim yang
terdiri dari beberapa dokter spesialis atau subspesialis. Pasien kanker hati dengan metastase efusi
pleura biasanya ditangani oleh dokter spesialis penyakit dalam. Dokter penyakit dalam melakukan
pungsi asites dan melakukan pemasangan wsd tanpa dikonsulkan ke dokter spesialis paru. Jika
terjadi komplikasi selama pemasangan water sealed drainage, dokter penyakit dalam baru
melakukan konsultasi atau rawat Bersama dengan dokter spesialis paru. Hal ini tidak sesuai dengan
filsafat ilmu kedokteran yaitu Bioetika humaniora.

SARAN :
Setiap dokter spesialis dalam menangani pasien harus memikirkan prognosis pasien, karena itu
yang sangat penting dibandingkan mencari diagnosis dan terapi pada pasien. Karena kedua hal
tersebut merupakan kepentingan dokter semata.2
3. Peradaban ilmu kedokteran

PERENUNGAN :
 Manusia pengasuh ilmu
Ilmu kedokteran masuk ke Indonesia dibawa saat zaman penjajahan Belanda.
 Humaniora kedokteran dan kualitas manusia
Sesuai dengan 5 prinsip yang membuat ilmu kedokteran maju sampai sekarang, yaitu kemampuan
berfikir kritis, flexibility of perspectives, non dogmatism, discement of value (menghargai hal – hal
yang di sekitar, misal agama, politik, budaya), empathy dan mengenal diri sendiri.
 Infomedik vs Biomedik
Dalam perkembangannya sejak Hipoccrates, ilmu kedokteran berkembang mengalami dua
revolusi, yaitu yang pertama bahwa penyakit itu sifatnya dari fisik. Lalu berkembang menjadi
revolusi kedua, yaitu from Biomedicine to infomedicine , bahwa penyakit itu bisa disebabkan dari
banyak hal selain fisik.
 Literal Arts Education
 Tradisi – peradaban – kemanusiaan
 Kecenderungan perkembangan ilmu kedokteran
Kedokteran barat dan kedokteran timur berbeda jalur dalam mengembangkan keilmuannya. Dalam
kedokteran barat lebih mementingkan anatomis, sedangkan kedokteran timur mementingkan
keutuhan tubuh (satu jiwa), tanpa merusak keutuhannya.

KASUS :
Rumah sakit di Indonesia saat ini dihadapkan pada era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN),
sehingga terjadi persaingan dalam meraup keuntungan lebih banyak di antara RS, terutama RS
swasta. Sehingga, kualitas tiap dokter di RS tidak difikirkan lagi dibandingkan dengan keuntungan
yang akan diraih. Alasan RS tersebut kebanyakan karena harus membayar mahal untuk tiap hal
yang membuat dokter lebih berkualitas (misalnya seminar kesehatan dan pelatihan). Padahal,
keuntungan RS bisa dicapai tinggi bila kualitas tiap dokter bagus. Untuk mencapai kualitas tenaga
kesehatan yang baik, maka tiap tenaga kesehatan harus senantiasa memperbaharui ilmu setiap saat
karena ilmu kedokteran bukan merupakan ilmu yang baku namun fleksibel.
SARAN :
Maka, RS jangan hanya memikirkan keuntungan untuk pihaknya sendiri tanpa memikirkan
kualitas dari dokter di dalam RS tersebut.

4. Ilmu Filsafat dan Terapan di Ilmu Kedokteran

PERENUNGAN :
Unsur matrelialistik bertentangan dengan paradigma sosial dalam praktek sehari – hari
antara hubungan dokter dan pasien.
Unsur – unsur yang terlibat :
 Unsur subyek pada sosial cenderung melayani tanpa batas, sedangkan unsur
matrelialistik cenderung dibatasi oleh materi.
 Unsur tujuan pada sosial cenderung tidak mengharapkan apa – apa, unsur matrelialistik
cenderung mengharapkan imbalan.
 Unsur pelayanan sosial cenderung mengoptimalkan yang ada, unsur matrelialistik
cenderung disesuaikan dengan ketersediaan dana.
 Unsur skill sosial cenderung lebih bagus karena banyak melakukan improvisasi, unsur
skill matrelialistis dibatasi dalam mengerjakan sesuatu.
 Unsur risk management sosial ada informed consent, relationship dokter – pasien yang
baik, potensi konflik kecil. Unsur matrelialistik cenderung tidak baik relationship
dokter – pasien dan potensi konflik tinggi.

KASUS :
Dalam praktek sehari – hari, setiap dokter spesialis saat ini terlihat lebih
mementingkan keuntungan pribadi (matrealistis/ positivistic) dibandingkan membangun
hubungan yang baik terhadap pasien. Terlihat jika dokter spesialis tersebut membuka poli
praktek di suatu Rumah Sakit, maka ada antrian pasien yang banyak dan pasien cenderung
menunggu lama. Namun saat pasien tersebut dipanggil namanya untuk kemudian diperiksa
dalam ruangan oleh dokter, dokter hanya menanyakan langsung ke penyakitnya dan focus
untuk menterapi pasien. Sehingga, pasien hanya bisa berkonsultasi sebentar tapi tidak
secara holistic. Padahal untuk seorang pasien yang terpenting untuk kesembuhannya selain
obat dari dokter adalah membangun kepercayaan tinggi terhadap dokter dengan cara
membangun komunikasi yang baik.
SARAN :
Dalam ilmu kedokteran memiliki 2 unsur, yaitu unsur ilmu dan unsur kemanusiaan.
Jika dokter tersebut pintar secara ilmu namun tidak bisa memasukkan unsur kemanusiaan
dalam praktek sehari – hari, maka pasien dari dokter tersebut kemungkinan besar tidak
ingin kembali lagi karena merasa dokter tersebut tidak bisa membangun hubungan social
yang baik (paradigma social). Secara filosofi, seorang dokter harus mengutamakan
kepentingan pasien, rumah sakit dan kepentingan diri sendiri sebagai dokter. Dengan
begitu, akan timbul dalam diri bahwa dokter juga merupakan manusia yang hidup sebagai
makhluk social.

5. Etika Kedokteran Indonesia

PERENUNGAN :
Perkembangan jaman maka menimbulkan perkembangan di ilmu kedokteran, maka
memunculkan batasan – batasan dalam praktik ilmu kedokteran yaitu kode etik umum dan
kode etik tenaga kesehatan. Kode etik merupakan kewajiban profesi dokter, hal tersebut
dibuat agar membuat dokter menjadi berintegritas (tipe ideal dan menjadi panutan). Hal
kecil yang merupakan pelanggaran etik kedokteran dan bisa menjadi berkelanjutan jika
tidak ditindaklanjuti yaitu, penggunaan obat yang sudah tidak rasional di masyarakat
Indonesia. Dokter yang memberikan resep obat tersebut sudah tidak lagi berpegang pada
salah satu kode etik yang mengatur bioetika – humaniora.

KASUS :
Resistensi antibiotik saat ini tinggi di Indonesia, salah satu penyebabnya karena
dokter – dokter di Indonesia selalu meresepkan antibiotik ke tiap pasien yang datang
berobat. Bisa jadi hal tersebut hanya menguntungkan pihak dokter saja karena dia terikat
dengan beberapa pabrik obat. Namun untuk pasien, saat pasien menderita sakit berat yang
memang dibutuhkan golongan antibiotik tinggi, pasien menjadi resisten karena
sebelumnya selalu diberikan antibiotik walaupun tidak dibutuhkan.
SARAN :
Hal ini tidak sesuai dengan pasal 3 kode etik kedokteran Indonesia, yaitu dalam
melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu
yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi. Dalam kasus ini
seorang dokter terikat oleh farmasi obat demi mendapatkan keuntungan pribadinya,
padahal hal ini sudah melanggar kode etik. Seharusnya sesuai dengan filosofi dokter,
bahwa dokter harus mengutamakan kepentingan pasien.

6. Kaidah Dasar Bioetik dan Prinsip Prima Facie


PERENUNGAN :
Kaidah Dasar Bioetik :
1. Beneficance
2. Non Maleficence
3. Autonomy
4. Justice
Praktik kedokteran Indonesia mengacu kepada 4 kaidah dasar moral yaitu :
a) Menghormati martabat manusia (respect for person). Menghormati martabat
manusia. Pertama, setiap individu (pasien) harus diperlakukan sebagai manusia yang
memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasib diri sendiri), dan kedua, setiap manusia
yang otonominya berkurang atau hilang perlu mendapatkan perlindungan.
b) Berbuat baik (beneficence).
Selain menghormati martabat manusia, dokter juga harus mengusahakan agar pasien yang
dirawatnya terjaga keadaan kesehatannya (patient welfare). Pengertian ”berbuat baik”
diartikan bersikap ramah atau menolong, lebih dari sekedar memenuhi kewajiban.
c) Tidak berbuat yang merugikan (non-maleficence). Praktik Kedokteran haruslah
memilih pengobatan yang paling kecil risikonya dan paling besar manfaatnya. Pernyataan
kuno: first, do no harm, tetap berlaku dan harus diikuti.
d) Keadilan (justice).
Perbedaan kedudukan sosial, tingkat ekonomi, pandangan politik, agama dan faham
kepercayaan, kebangsaan dan kewarganegaraan, status perkawinan, serta perbedaan jender
tidak boleh dan tidak dapat mengubah sikap dokter terhadap pasiennya. Tidak ada
pertimbangan lain selain kesehatan pasien yang menjadi perhatian utama dokter. Prinsip
dasar ini juga mengakui adanya kepentingan masyarakat sekitar pasien yang harus
dipertimbangkan.

KRITIK :
Seorang dokter paru telah lama bertugas di suatu desa terpencil yang sangat jauh
dari kota dengan populasi kasus TBC yang tinggi. Sehari-harinya ia bertugas di sebuah
puskesmas yang hanya ditemani oleh seorang mantri, hal ini merupakan pekerjaan yang
cukup melelahkan karena setiap harinya banyak warga desa yang datang berobat karena
puskesmas tersebut merupakan satu-satunya sarana kesehatan yang ada. Dokter tersebut
bertugas dari pagi hari sampai sore hari tetapi tidak menutup kemungkinan ia harus
mengobati pasien dimalam hari bila ada warga desa yang membutuhkan pertolongannya.
Sedangkan dokter spesialis paru terdistribusi lebih banyak di pertengahan kota yang bisa
ditempuh dengan kendaraan selama kurang lebih 1 jam, namun dokter tersebut tidak
bersedia dipindahkan ke desa tersebut, padahal angka kejadian TBC lebih banyak di desa
dibandingkan di kota. Dokter di kota tersebut lebih mementingkan keuntungan yang
didapatkan dibandingkan pelayanan yang maksimal ke pasien.

SARAN :
Dalam melakukan segala tindakan terhadap pasien, maka seorang dokter harus
mengutamakan kepentingan pasien, keselamatan pasien, hak – hak pasien dan keadilan
baik untuk pasien maupun keluarga pasien sesuai dengan kaidah moral.
1. Dalam arti bahwa seorang dokter berbuat baik, menghormati martabat manusia,
dokter tersebut harus berusaha maksimal agar pasiennya tetap dalam kondisi sehat.
Perlakuan terbaik kepada pasien merupakan poin utama dalam kaidah ini. Kaidah
beneficence menegaskan peran dokter untuk menyediakan kemudahan dan kesenangan
kepada pasien mengambil langkah positif untuk memaksimalisasi akibat baik daripada
hal yang buruk.
2. Non-maleficence adalah suatu prinsip yang mana seorang dokter tidak melakukan
perbuatan yang memperburuk pasien dan memilih pengobatan yang paling kecil
resikonya bagi pasien yang dirawat atau diobati olehnya.
3. Dalam kaidah ini, seorang dokter wajib menghormati martabat dan hak manusia.
Setiap individu harus diperlakukan sebagai manusia yang mempunyai hak menentukan
nasib sendiri. Dalam hal ini pasien diberi hak untuk berfikir secara logis dan membuat
keputusan sendiri. Autonomi bermaksud menghendaki, menyetujui, membenarkan,
membela, dan membiarkan pasien demi dirinya sendiri.
4. Keadilan atau Justice adalah suatu prinsip dimana seorang
dokter wajib memberikan perlakuan sama rata serta adil untuk kebahagiaan dan
kenyamanan pasien tersebut. Perbedaan tingkat ekonomi, pandangan politik, agama,
kebangsaan, perbedaan kedudukan sosial, kebangsaan, dan kewarganegaraan
tidak boleh mengubah sikapdan pelayanan dokter terhadap pasiennya.

7. POHON ILMU KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN TRADISIONAL


INDONESIA
PERENUNGAN :
Landasan untuk menyusun Pohon Penelitian :
1. Landasan filosofis
2. Landasan sosiologis
3. Landasan budaya
4. Landasan substantif
penyakit dalam seseorang adalah karena ketidakseimbangan Bio – Spirito – Sosio
– Kultural (BPSSK).
Untuk menilai pasien berdasarkan Wellness index, yaitu :
1. Emotional
2. Physical
3. Social
4. Occupational
5. Environmental
6. Intellectual
7. Spiritual
KASUS :
Dalam suatu Rumah Sakit seorang dokter yang menangani pasien yang ditanggung
oleh asuransi, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) pasti penanganannya terbatas pada tanggungan pasien. Misalnya seorang
pasien BPJS datang dengan keluhan sesak nafas, tampak kuning dengan riwayat merokok
lama, lalu pasien hanya dirawat sampai gejala sesak nafasnya hilang. Namun selama
dirawat pasien hanya diberikan obat penghilang gejala sesak nafas dan dilakukan rontgen
thorax. Pasien dicurigai ada tumor paru dengan keganasan yang sudah menyebar ke hati.
Tiga hari kemudian pasien diizinkan rawat jalan karena gejala sudah membaik, dokter
penanggungjawab pasien mengetahui bahwa pasien tersebut harus dilakukan ct scan thorax
dan dioperasi untuk ambil biopsy, namun karena biaya terbatas dari asuransi pemeriksaan
tersebut tidak dilakukan. Saat pasien pulang, pasien hanya diinformasikan bahwa untuk
selanjutnya pasien disarankan ke Rumah Sakit rujukan tipe A.
SARAN :
Pada kasus ini dokter tidak menerapkan prinsip Wellness, yaitu keputusan klinik
tentang keadaan individu, keluarga atau masyarakat dalam transisi dari tingkat sejahtera
tertentu ketingkat sejahtera yang lebih tinggi. Seorang dokter harus mengetahui latar
belakang pasien untuk pemberian penanganannya Di sini dokter tidak bersikap sesuai
dengan 5 Star WHO, yaitu :
1. Dokter sebagai care provider
2. Dokter sebagai decision maker
3. Dokter sebagai communicator
4. Dokter sebagai community leader
5. Dokter sebagai manager

8. PROFESIONALISME DAN MUTU PELAYANAN KESEHATAN :


PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
PERENUNGAN :
Dua komponen utama professionalisme
1. Aspek afektif
Perilaku : duty of care, empathy (harus peduli terhadap masyarakat)
Peduli mencegah risiko yang akan menimpa pasien = duty of due care
2. Aspek kognitif
Kompetensi/ kecakapan
Dalam sistem profesionalisme kedokteran, menganut “theory of bad apple”, dalam
penafsirannya yaitu tenaga kesehatan yang melakukan tindakan pelanggaran kode etik akan
langsung dicabut izinnya sehingga tidak bisa melakukan tindakan di bidang medis lagi.
Di Indonesia sudah beberapa tenaga kesehatan yang melakukan pelanggaran kode etik
sehingga Surat Tanda Registrasi (STR) dicabut oleh institusi yang bersangkutan.

KASUS :
Seorang pria datang dengan keluhan nyeri dada di kiri saat batuk, namun setelah
diberikan obat, keluhan pasien tidak kunjung sembuh.. Pasien tersebut konsultasi dengan
dokter Spesialis Paru di RS lain atas saran dari seorang teman karena melihat opini
masyarakat dari internet bahwa dokter tersebut selalu banyak pasiennya. Dari dokter
tersebut dinyatakan terdapat pertumbuhan kelenjar abnormal yang dicurigai tumor di paru
kiri dengan pemeriksaan CT Scan thorax. Lalu pada pasien dilakukan pengambilan paru
kiri karena saat di meja operasi dokter tersebut curiga adanya keganasan. Setelah beberapa
bulan, pasien masih dengan keluhan sama dan ditambah ada penurunan berat badan. Saat
pasien konsultasi dengan dokter Spesialis Paru di RS Singapore, ternyata pasien hanya
didiagnosa TBC saat dilakukan anamnesa ulang oleh dokter di Singapore karena pembantu
pasien saat dilakukan pemeriksaan dahak, positif TBC. Akhirnya pasien menuntut dokter
yang melakukan operasi pengambilan paru kirinya karena dinyatakan ada dugaan
malpraktek.

SARAN :
Di Indonesia, masyarakat mulai mengkritisi dan memberikan perhatian serius
terhada prilaku dan tindakan profesional tenaga kesehatan. Banyak masyarakat meningkat
kesadarannya akan hak-hak nya sebagai pasien saat mendapatkan pelayanan kesehatan.
Khususnya sejak dikeluarkannya Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran. Secara umum apa yang dipahami masyarakat sebagai malpraktek kedokteran
sesuai dengan pandangan ilmu etika kedokteran, yaitu perilaku yang bertentangan dengan
prinsip kemanfaatan/tidak memperburuk keadaan, intergritas, menghormati hak-hak
pasien, dan keadilan.3
DAFTAR PUSTAKA

1. Suryadi T. ASPEK BIOETIKA-MEDIKOLEGAL PENUNDAAN DAN


PENGHENTIAN TERAPI BANTUAN HIDUP PADA PERAWATAN KRITIS Taufik. J
Kedokt Syiah Kuala. 2017;17:60–4.
2. Desmedt M, Michel H. Palliative home care: Improving co-operation between the
specialist team and the family doctor. Support Care Cancer. 2002;10(4):343–8.
3. Anestesiologi B, Kedokteran BP, Kedokteran F, Andalas U. Opini masyarakat tentang
malpraktek kedokteran. 2010;73–86.

Você também pode gostar