Você está na página 1de 32

MAKALAH REFERAT

PENATALKSANAAN ANESTESI PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN


GINJAL

PENYUSUN :
Desi Purnamsari Yanwar
030.14.047

PEMBIMBING :
dr. Tjangeta Liempy, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK
RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN UDARA DR.ESNAWAN
ANTARIKSA
PERIODE 4 JUNI – 281 JULI 2017
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

PERSETUJUAN

Referat

Judul:

PENATALKSANAAN ANESTESI PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN


GINJAL

Nama Koas:
Desi Purnamsari Yanwar / 030.14.047

Telah disetujui untuk dipresentasikan

Pada Hari , Tanggal 2018

i
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat-Nya yang begitu besar sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat yang berjudul “Katarak” tepat pada waktunya.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang
telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian referat ini, terutama kepada dr. Sri Harto,
Sp.M selaku pembimbing yang telah memberikan waktu dan bimbingannya sehingga referat
ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa dalam referat ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu,
segala kritik dan saran dari semua pihak yang membangun guna menyempurnakan referat ini
sangat penulis harapkan. Demikian yang penulis dapat sampaikan, semoga referat ini dapat
bermanfaat dalam bidang kedokteran, khususnya ilmu penyakit mata.

Jakarta, Agustus 2018

Desi Purnamasari Yanwar

ii
1 BAB I

PENDAHULUAN

Ginjal memerankan berbagai fungsi tubuh yang sangat penting bagi kehidupan, yakni
menyaring (filtrasi) sisa hasil metabolisme dan toksin dari darah serta mempertahankan
homeostatis cairan dan elektrolit yang kemudian dibuang melalui urine. Karena ginjal
memainkan peran kunci dalam homeostasis seluruh tubuh, peninjauan fungsi ginjal adalah
bagian penting dari bahkan penilaian perioperatif yang paling disingkat.
Gangguan fungsi ginjal menjadi relevan dengan kemajuan tahun (penurunan kreatinin
menurun seiring usia), dengan curah jantung yang rendah dan penurunan filtrasi glomerulus,
dan dengan penyakit ginjal. Eliminasi beberapa obat dapat dipengaruhi oleh penurunan fungsi
ginjal. . Sehingga modifikasi dosis harus dilakukan untuk mencegah akumulasi obat atau
metabolit aktif.
Banyak obat-obatan yang biasanya digunakan selama anestesia yang setidaknya
sebagian tergantung pada ekskresi ginjal untuk eliminasi. Dengan adanya kerusakan ginjal,
modifikasi dosis harus dilakukan untuk mencegah akumulasi obat atau metabolit aktif. Semua
obat anestetik baik abar (volatil) atau suntikan berpotensi mengganggu fungsi ginjal baik secara
langsung atau tidak langsung akibat perubahan tekanan darah sistemik, curah jantung, lepasan
hormon anti diuretik (ADH), jenis cairan infus yang sedang digunakan, gangguan sistem renin-
angiotensin-aldosteron.3
Referat ini akan mendiskusikan tentang pendekatan dan perhatian terhadap
penatalaksanaan anestesi umum pada pasien dengan gangguan ginjal.
.

iii
2 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ginjal
2.1.1 Anatomi Ginjal
Ginjal merupakan organ yang berada di rongga abdomen, berada di belakang
peritoneum, dan terletak di kanan kiri kolumna vertebralis sekitar vertebra T12 hingga L3.13
Ginjal pada orang dewasa berukuran panjang 11-12 cm, lebar 5-7 cm, tebal 2,3-3 cm, berbentuk
seperti biji kacang dengan lekukan mengahadap ke dalam, Dalam potongan frontal ginjal,
ditemukan dua lapisan ginjal di distal sinus renalis, yaitu korteks renalis (bagian luar) yang
berwarna coklat gelap dan medulla renalis(bagian dalam) yang berwarna coklat terang. Di
bagian sinus renalis terdapat bangunan berbentuk corong yang merupakan kelanjutan dari
ureter dan disebut pelvis renalis. Masing-masing pelvis renalis membentuk dua atau tiga
kaliks rmayor dan masing-masing kaliks mayor tersebut akan bercabang lagi menjadi dua atau
tiga kaliks minor.

Vaskularisasi ginjal berasal dari arteri renalis yang merupakan cabang dari aorta
abdominalis di distal arteri mesenterica superior. Arteri renalis masuk ke dalam hillus renalis
bersama dengan vena, ureter, pembuluh limfe, dan nervus kemudian bercabang menjadi arteri
interlobaris. Memasuki struktur yang lebih kecil, arteri interlobaris ini berubah menjadi arteri
interlobularis lalu akhirnya menjadi arteriola aferen yang menyusun glomerulus. Ginjal

4
mendapatkan persarafan melalui pleksus renalis yang seratnya berjalan bersama dengan arteri
renalis. Impuls sensorik dari ginjal berjalan menuju korda spinalis segmen T10-11 dan
memberikan sinyal sesuai dengan level dermatomnya. Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa
nyeri di daerah pinggang (flank) bisa merupakan nyeri alih dari ginjal.

2.1.2 Fisiologi Ginjal


Ginjal memerankan berbagai fungsi tubuh yang sangat penting bagi kehidupan, yakni
menyaring (filtrasi) sisa hasil metabolisme dan toksin dari darah serta mempertahankan
homeostatis cairan dan elektrolit yang kemudian dibuang melalui urine. Pembentukan urin
adalah fungsi ginjal yang paling esensial dalam mempertahankan homeostatis tubuh. Pada
orang dewasa sehat, kurang lebih 1200 ml darah, atau 25% cardiac output, mengalir ke kedua
ginjal. Pada keadaan tertentu, aliran darah ke ginjal dapat meningkat hingga 30% (pada saat
latihan fisik) dan menurun hingga 12% dari cardiac output.
Proses pembentukan urine yang pertama terjadi adalah filtrasi, yaitu penyaringan darah
yang mengalir melalui arteria aferen menuju kapiler glomerulus yang dibungkus kapsula
bowman untuk menjadi filtrat glomerulus yang berisi zat-zat ekskresi. Kapiler glomerulus
tersusun atas sel endotel, membrana basalis dan sel epitel. Kapiler glomeruli berdinding porous
(berlubang- lubang), yang memungkinkan terjadinya filtrasi cairan dalam jumlah besar (± 180
L/hari). Molekul yang berukuran kecil (air, elektrolit, dan sisa metabolism tubuh, di antaranya
kreatinin dan ureum) akan difiltrasi dari darah, sedangkan molekul berukuran lebih besar
(protein dan sel darah) tetap tertahan di dalam darah. Oleh karena itu, komposisi cairan filtrat
yang berada di kapsul Bowman, mirip dengan yang ada di dalam plasma, hanya saja cairan ini
tidak mengandung protein dan sel darah.
Volume cairan yang difiltrasi oleh glomerulus setiap satuan waktu disebut sebagai
rerata filtrasi glomerulus atau Glomerular Filtration Rate (GFR). Selanjutnya cairan filtrat akan
direabsorbsi dan beberapa elektrolit akan mengalami sekresi di tubulus ginjal, yang kemudian
menghasilkan urine yang akan disalurkan melalui duktus koligentes. Proses dari reabsorbsi
filtrat di tubulus proksimal, ansa henle, dan sekresi di tubulus distal terus berlangsung hingga
terbentuk filtrat tubuli yang dialirkan ke kalises hingga pelvis ginjal. Ginjal merupakan alat
tubuh yang strukturnya amat rumit, berperan penting dalam pengelolaan berbagai faal utama
tubuh. Beberapa fungsi ginjal:
a. Regulasi volume dan osmolalitas cairan tubuh
b. Regulasi keseimbangan elektrolit
c. Regulasi keseimbangan asam basa

5
d. Ekskresi produk metabolit dan substansi asing
e. Fungsi endokrin
• Partisipasi dalam eritropoiesis
• Pengatur tekanan arteri
f. Pengaturan produksi 1,25-dihidroksi vitamin D3
g. Sintesa glukosa

2.2 Penyakit ginjal


Penyakit ginjal adalah keadaan dimana ginjal tidak bekerja sebagaimana mestinya
dengan berbagai sebab. Nefron adalah unit kerja fungsional ginjal. Setiap ginjal memiliki 1
juta nefron yang memiliki struktur dan fungsi yang sama. Dengan demikian, kerja ginjal dapat
dianggap sebagai jumlah total dari fungsi semua nefron tersebut. Kebanyakan penyakit ginjal
menyerang nefron dan mengakibatkan nefron kehilangan kapasitas penyaringannya.
Kerusakan nefron dapat terjadi secara cepat, namun sebagian besar penyakit ginjal merusak
nefron secara perlahan, tanpa gejala dan hanya setelah bertahun-tahun kerusakan terlihat jelas.
Berdasarkan lama perkembangannya, penyakit ginjal terbagi atas dua kategori yaitu, gagal
ginjal akut dan penyakit ginjal kronik.
Sejumlah istilah dari literatur mengacu pada tahapan yang berbeda dari berbagai
macam penyakit ginjal, sebagian karena nomenclatures berbeda yang digunakan di Amerika
Serikat dan Eropa. Penting untuk memahami tahapan untuk stratifikasi risiko perioperatif .
Berikut ini adalah definisi beberapa dari literatur:
• Renal Impairment: Blood urea nitrogen (BUN) atau kadar kreatinin serum meningkat >
50% sebelum menjalani pengobatan, untuk tingkat> 30 mg / dL atau 1,5 mg / dL
• Chronic Kidney Disease (CKD): Ditandai dengan adanya tanda kerusakan ginjal, seperti
proteinuria (rasio> 30 mg albumin 1 g kreatinin pada tes urin), atau filtrasi glomerulus rate
menurun (GFR) selama ≥ 3 bulan (GFR <60 mL/minute-1/1.73 m-2)
• Gagal ginjal akut (GGA): Penurunan fungsi ginjal tiba-tiba yang mengakibatkan retensi
nitrogen (urea dan kreatinin) dan produk limbah nonnitrogenous (untuk memenuhi syarat
untuk dimasukkan dalam kategori ini pasien harus memiliki output urin <0,5 mL/kg-1 /
jam-1) (2)
• Gagal ginjal kronis: GFR <15 mL/minute-1/1.73 m-2, biasanya disertai dengan tanda dan
gejala uremia, atau dibutuhkan untuk memulai terapi transplantasi ginjal untuk pengelolaan
komplikasi GFR yang menurun

6
• Stadium akhir penyakit ginjal (ESRD): Kehilangan fungsi ginjal selama> 3 bulan
Untuk menentukan kelainan pada fungsi ginjal, klinisis harus mengerti diagnosis banding
dari gangguan ginjal akut

2.2.1 Gagal Ginjal Akut (GGA)


Gagal ginjal akut (GGA) merupakan suatu sindrom klinik akibat adanya gangguan
fungsi ginjal yang terjadi secara mendadak, dalam hitungan jam hingga beberapa hari, yang
menyebabkan retensi sisa metabolisme nitrogen (urea-kreatinin) dan non-nitrogen, dengan atau
tanpa disertai oliguri.2 Laju filtrasi glomerulus yang menurun dengan cepat menyebabkan
kadar kreatinin serum meningkat sebanyak 0.5mg/dl/hari dan kadar nitrogen urea dalam darah
sebanyak 10mg/dL/hari dalam beberapa hari.1
2.2.1.1 Klasifikasi Gagal Ginjal Akut
Gagal ginjal akut dibagi menjadi 3 kategori, yaitu gagal ginjal pre-renal, gagal ginjal intrinsik
dan gagal ginjal post-renal.
a. Gagal ginjal pre-renal
Gagal ginjal prerenal merupakan gagal ginjal fungsional yang disebabkan oleh
hipoperfusi ginjal dimana belum terjadi kerusakan struktural dari ginjal. Hipoperfusi ginjal
dapat disebabkan oleh hipovalemia, penurunan volume efektif intravaskular seperti sepsis dan
gagal jantung serta disebabkan oleh gangguan hemodinamik intrarenal seperti pada pemakaian
obat anti inflamasi non-steroid, obat yang menghambat angiotensin dan pada sindrom
hepatorenal.
b. Gagal ginjal intrinsik
Pada gagal ginjal intrinsik telah terjadi kerusakan hingga ke parenkim dan biasanya
merupakan kelanjutan dari gagal ginjal prerenal. Penyebab dari gagal ginjal intrinsik adalah
kelainan vaskular seperti vaskulitis, hipertensi maligna, glomerulus nefritis akut, nefritis
interstitial akut. Pada tahap ini, waktu penyembuhan menjadi tertunda hingga 6 minggu.
c. Gagal ginjal post-renal
Pada gagal ginjal postrenal terjadi obstruksi aliran urin dari ginjal baik secara intra-
renal maupun ekstra-renal. Obstruksi intra-renal disebabkan oleh deposisi kristal (urat, oksalat,
alfonamid) dan protein (mioglobin, hemoglobulin). Obstruksi eksternal dapat terjadi pada
pelvis-ureter yang disebabkan oleh obstruksi instrinsik (tumor, batu, nekrosis papilla),
ekstrinsik (keganasan pada pelvis dan troperitonial, fibrosis) serta pada kandung kemih (batu,
tumor, hipertrofi/keganasan prostat) dan uretra (strikutura). Gagal ginjal postrenal terjadi bila
obstruksi akut pada uretra, buli-buli dan ureter bilateral atau obstruksi pada ureter unilateral

7
dimana ginjal satunya tidak berfungsi. Diperlukan pengobatan sesegera mungkin karena pada
dasarnya gagal ginjal akut bersifat reversibel.

2.2.2 Penyakit Ginjal Kronik (PGK)


Penyakit ginjal kronis merupakan proses patofisologis menurunnya fungsi ginjal secara
progresif dan lambat dengan etiologi yang beragam dan pada umumnya berakhir dengan gagal
ginjal. Hal ini ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel hingga pada akhirnya
tidak mampu lagi bekerja sebagai penyaring pembuangan elektrolit dan menjaga
keseimbangan cairan serta zat kimia tubuh. Penyakit ginjal kronik adalah suatu kondisi
kerusakan ginjal yang terjadi selama 3 - 10 bulan atau lebih berupa laju filtrasi glomerulus
(LFG) yang kurang dari 60mL/menit/1,73m2 dengan atau tanpa kerusakan ginjal
(PERMENKES RI No.812 Tahun 2010).
2.2.2.1 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik (PGK)
Berdasarkan Laju Filtrasi Glomerulus, Penyakit ginjal kronik terbagi atas 5 stadium.

8
Tabel 1. Klasifikasi gagal ginjal kronik berdasarkan laju filtrasi gromerulus.

2.3 EVALUASI FUNGSI GINJAL


Taksiran akurat pada fungsi ginjal tergantung pada determinasi laboratorium. Gangguan
renal (renal impairment) bisa mengarah pada disfungsi glomerulus, fungsi tubulus atau
obstruksi traktus urinarius. Karena abnormalitas fungsi glomerulus disebabkan adanya
gangguan yang hebat dan dapat dideteksi, tes laboratorium yang dapat digunakan adalah yang
berhubungan dengan GFR (glomerular filtration rate).
a. Laju Filtrasi Gromerulus (LFG)
Salah satu indeks fungsi ginjal yang terbaik adalah laju filtrasi glomerulus (LFG).
Terdapat banyak cara dalam mengukur LFG, salah satunya adalah uji bersihan inulin yang
dianggap merupakan cara paling teliti dalam mengukur LFG. Namun, uji ini jarang dilakukan
di klinik karena melibatkan proses infus intra vena dengan kecepatan yang konstan dan
pengumpulan urin pada saat-saat tertentu dengan kateter.
Cara lain yang lazim digunakan adalah menggunakan persamaan Modification of Diet
in Renal Disease (MDRD) dan persamaan Cockcroft-Gault. Persamaan-persamaan ini dapat
mempertimbangkan faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin dan etnis.19,27,28 Persamaan
Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) saat ini lebih sering digunakan dalam
mengukur LFG menggantikan persamaan Cockcroft-Gault. Persamaan ini dapat menyesuaikan
empat variabel sekaligus yaitu, luas area permukaan tubuh normal (1,73 m2 ), ras, jenis kelamin
dan usia sehingga dapat meminimalisir ketidakakuratan. 2,19,27,28 Persamaan MDRD.19
Normalnya, nilai LFG pada laki-laki muda normal adalah 125 ± 15 mL/menit/1,73m2
sedangkan pada perempuan muda normal adalah 110 ± 15 mL/menit/1,73m2 . Laju filtrasi

9
glomerulus (LFG) dinyatakan dalam mL/menit/1,73m2 . LFG dapat berkurang seiring
bertambahnya usia dan hal ini dianggap normal.

b. BUN (Blood Urea Nitrogen)


Sumber utama urea dari tubuh adalah hati. Pada saat katabolisme protein, amonia
diproduksi dari deaminasi asam-asam amino. Konversi hati ke urea mencegah pembentukan
dari toksik amonia : 2NH3 + CO2 H2N – CO – NH2 + H2O
BUN adalah berhubungan langsung dengan katabolisme protein dan berhubungan
terbalik dengan GF. Hasilnya, BUN bukanlah indikator yang bisa digunakan untuk perhitungan
GFR kecuali katabolisme protein normal dan konstan. Lebih lagi, 40%-50% dari filtrat secara
normal di reabsorpsi secara pasif oleh tubulus renal; hipovolemi meningkatkan fraksi ini
(bawah)
Konsentrasi BUN normal adalah 10 – 20 mg/dl. Nilai yang lebih rendah bisa didapati
pada starvasi dengan penyakit hati. Peningkatan biasanya disebabkan oleh berkurangnya GFR
atau meningkatnya katabolisme protein. Selanjutnya mungkin berlanjut pada status
katabolisme tinggi (trauma atau sepsis), degradasi darah baik pada traktus digestif atau
hepatoma besar, atau diet tinggi protein. Konsentrasi BUN yang lebih besar dari 50 mg/dl
biasanya berhubungan dengan renal impairment.

c. SERUM KREATININ
Kreatinin adalah produk dari metabolisme otot yang tanpa enzim dikonversi ke
kreatinin. Produksi kreatinin pada sebagian besar orang adalah relatif konstan dan berhubungan
dengan massa otot, rata-rata 20-25 mg/kg pada pria dan 15-20 mg/kg pada wanita. Kreatinin
lalu difiltrasi (dan pada perpanjangan sekresi) tapi tidak di reabsorpsi di ginjal (lihat chapter
31). Konsentrasi kreatinin serum berhubungan langsung dengan massa otot tubuh tapi
berkebalikan dengan GF. Oleh karena massa otot tubuh biasanya konstan, pengukuran
kreatinin serum biasanya berdasarkan indeks GFR. Konsentrasi kreatinin serum normal adalah
0.8 – 1.3 Mg/dl pada pria dan 0.6-1 Mg/dl pada wanita. Pada setiap penggandaan pada kreatinin
serum menunjukkan penurunan GFR 50%. Makan daging dalam jumlah besar, terapi simetidin,
peningkatan asetoasetat (seperti pada ketoasidosis) bisa meningkatkan pengukuran pada
kreatinin serum tanpa perubahan di GFR. Daging meningkatkan muatan kreatinin dan
konsentrasi asetosetat tinggi yang mempengaruhi metode laboratorium yang biasa pada

10
pengukuran kreatinin. Simetidin tampak menginhibisi sekresi kreatinin oleh tubulus-tubulus
ginjal.
GFR menurun dengan meningkatnya umur pada sebagian besar orang (5% per dekade
setelah umur 20 tahun), tapi karena massa otot juga menurun, kreatinin serum tetap relatif
normal; produksi kreatinin bisa menurun sampai 10 mg/kg. Pada pasien yang tua, peningkatan
kecil dari kreatinin serum bisa menunjukkan perubahan besar pada GFR. Menggunakan usia
dan berat badan (dalam kg), GFR bisa diperkirakan dengan formula / rumus untuk pria.

[( 140 – umur ) x BB]


CrCl = ---------------------------
72 x kreatinin plasma
Untuk wanita, persamaan tadi dikali dengan 0,85 untuk mengkompensasi perbedaan
kecil pada massa otot.
Konsentrasi serum kreatinin memerlukan 48-72 jam untuk menyeimbangkan pada level
baru yang berhubungan dengan perubahan akut pada GFR.

d. BUN : RASIO KREATININ


Aliran yang rendah dari tubulus ginjal membantu reabsorpsi urea namun tidak
mempunyai efek pada ketetapan kreatinin. Sebagai hasil, rasio BUN terhadap kreatinin serum
meningkat diatas 10:1. Penurunan aliran tubulus bisa disebabkan oleh penurunan perfusi ginjal
atau obstruksi traktus urinari. BUN : kreatinin rasio lebih dari 15:1 dapat dilihat pada
kekurangan volume dan pada edema dengan gangguan yang berhubungan dengan
berkurangnya aliran tubular (seperti pada gagal jantung, sirosis, nefrotik sindrome) dan juga
pada obstruksi uropati. Peningkatan katabolisme protein bisa meningkatkan rasio ini.

e. CREATININ CLEARANCE
Pengukuran CrCl adalah metode yang paling akurat yang tersedia untuk menilai secara
klinik keseluruhan fungsi ginjal.Walaupun biasanya pengukuran setelah 24 jam, 2 jam adalah
akurat dan lebih mudah dilakukan. Mild renal impairment berdasarkan CrCl 40-60 mL/min.
Clearances antara 25 dan 40 mL/min membentuk disfungsi renal moderate dan hampir
biasanya menyebabkan simptom. CrCl kurang dari 25 mL/min merupakan indikasi dari gagal
ginjal.

11
Penyakit ginjal progresif mempertinggi sekresi kreatinin pada tubulus proksimal.
Sebagai hasil, dengan penurunan fungsi ginjal CrCl secara progresif melebihi perkiraan GFR
sebenarnya. Terlebih lagi, pemeliharaan relatif dari GFR bisa terjadi lebih awal penyakit ginjal
yang progresif akibat dari kompensasi hiperfiltrasi pada nefron-nefron dan peningkatan
tekanan filtrasi glomerulus. Oleh karena itu penting untuk melihat tanda-tanda lain dari
perburukan fungsi ginjal seperti hipertensi, proteinuria atau abnormalitas dari sedimen urin.

Kelompok pasien berdasarkan fungsi glomerulus


Creatinin Clearance (mL/mnt)
Normal 100-120
Penurunan cadangan ginjal 60-100
Kerusakan ginjal ringan 40-60
Insufisiensi ginjal sedang 25-40
Gagal ginjal < 25
Penyakit ginjal tingkat akhir < 10

f. URINALISIS
Selanjutnya urinalisis adalah tes rutin yang paling biasa dilakukan untuk evaluasi fungsi
renal. Walaupun penggunaan untuk tujuan itu dipertanyakan, urinalisis bisa membantu untuk
identifikasi beberapa gangguan pada disfungsi tubulus ginjal maupun beberapa gangguan
nonrenal. Urinalisis rutin termasuk pH,berat jenis(BJ), deteksi dan kuantitas glukosa, protein,
bilirubin dan pemeriksaan mikroskopik terhadap sedimen urin. PH urin membantu bila pH
arteri diketahui. Bila pH urin lebih dari 7,0 pada sistemik asidosis memberi kesan asidosis
tubulus renal. BJ (berat jenis) berhubungan dengan osmolalitas urin 1,010 biasanya
berhubungan dengan 290 mOsm/kg. BJ lebih dari 1,018 setelah puasa 1 malam merupakan
indikasi adekuatnya kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasi. BJ yang lebih rendah
memperlihatkan hiperosmolality dari plasma yang konsisten dengan diabetes insipidus.
Glikosuria adalah hasil dari ambang batas bawah glukosa pada tubulus rendah
( normal 180 mg/dl) atau hiperglikemia. Proteinuri dideteksi dengan urinalisis rutin yang
seharusnya dievaluasi pada pengumpulan urin 24 jam. Ekskresi protein urin lebih dari 150
mg/dl adalah signifikan. Peningkatan level bilirubin pada urin terlihat pada obstruksi biliari.
Analisa mikroskopik pada sedimen urin bisa mendeteksi adanya sel darah merah atau
sel darah putih, bakteri, cast, dan kristal.Sel darah merah mungkin mengindikasikan

12
perdarahan akibat tumor, batu, infeksi, koagulopati atau trauma. Sel putih dan bakteria
biasanya berhubungan dengan infeksi. Proses penyakit pada level nefron membentuk tubular
cast .Kristal mungkin mengindikasikan abnormalitas pada asam oksalat, asam urat atau
metabolisme kistin.

2.4 Perubahan Fungsi Ginjal dan Efeknya Terhadap Agen-Agen Anestesi


Banyak obat-obatan sebagian tergantung pada ekskresi renal untuk eliminasi. Sehingga
modifikasi dosis harus dilakukan untuk mencegah akumulasi obat atau metabolit aktif.
• Efek sistemik azotemia bisa menyebabkan potensiasi kerja farmakologikal dari agen-agen ini.
Observasi terakhir bisa disebabkan menurunnya ikatan protein dengan obat, penetrasi ke otak
lebih besar oleh karena perubahan pada blood brain barrier, atau efek sinergis dengan toxin
yang tertahan pada gagal ginjal.
a. Agen Intravena
➢ Propofol & Etomidate
o Secara Farmakokinetik tidak mempunyai efeknya secara signifikan pada gangguan fungsi
ginjal.
➢ Barbiturat
o Sering terjadi peningkatan sensitivitas terhadap barbiturat selama induksi. Mekanismenya
dengan peningkatan barbiturat bebas yang bersirkulasi karena ikatan dengan protein yang
berkurang.
o Asidosis menyebabkan agen ini lebih cepat masuknya ke otak dengan meningkatkan fraksi
non ion pada obat.
➢ Ketamin
o Farmakokinetik ketamin berubah sedikit karena penyakit ginjal. Beberapa metabolit yang
aktif di hati tergantung pada ekskresi ginjal dan bisa terjadi potensial akumulasi pada gagal
ginjal. Hipertensi sekunder akibat efek ketamin bisa tidak diinginkan pada pasien-pasien
hipertensi ginjal.
➢ Benzodiazepin
o Benzodiazepin menyebabkan metabolisme hati dan konjugasi karena eliminasi di urin.
Karena banyak yang terikat kuat dengan protein, peningkatan sensitivitas bisa terlihat pada
pasien-pasien hipoalbuminemia.
o Diazepam seharusnya digunakan berhati-hati pada gangguan ginjal karena potensi
akumulasi metabolit aktifnya.
➢ Opioid

13
o Opioid (morfin, meperidin, fentanil, sufentanil dan alfentanil) di inaktifasi oleh hati,
beberapa metabolitnya nantinya diekskresi di urin. Farmakokinetik remifentanil tidak
terpengaruh oleh fungsi ginjal karena hidrolisis ester yang cepat di dalam darah.
o Kecuali morfin dan meferidin, Akumulasi morfin (morfin-6-glucuronide) dan metabolit
meperidine pernah dilaporkan memperpanjang depresi pernafasan pada beberapa pasien
dengan gagal ginjal. Peningkatan level normeperidine, metabolit meperidine, dihubungkan
dengan kejang-kejang.
o Agonis-antagonis opioid (butorphanol nalbuphine dan buprenorphine) tidak terpengaruh
oleh gagal ginjal.
➢ Agen-Agen Antikolinergik
o Atropin dan glycopyrolate dalam dosis premedikasi, biasanya aman karena lebih dari 50%
dari obat-obat ini dan metabolit aktifnya di ekskresi normal di urin, potensi akumulasi
terjadi bila dosis diulang.
o Scopolamine kurang tergantung pada ekskresi ginjal, tapi efek sistem syaraf pusat bisa
dipertinggi oleh azotemia.
➢ Phenothiazines, H2 Blockers Dan Agen-Agen Yang Berhubungan.
o Phenothiazines, seperti promethazine bisa terjadi berpotensiasi dari depresi pusat oleh
azotemia. Kerja antiemetiknya bisa berguna untuk penanganan mual preoperatif.
Droperidol sebagian bergantung pada ekskresi ginjal. Akumulasi bisa dilihat pada dosis
besar pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal, biasanya droperidol digunakan pada
dosis kecil (< 2,5 mg)
o Semua H2 reseptor bloker sangat tergantung pada ekskresi ginjal. Metoclopramide
sebagian diekskresinya tidak berubah di urin dan akan diakumulasikan juga pada gagal
ginjal.

b.Agen-agen Inhalasi
• Agen-agen volatile
• Agen anastetik volatile hampir ideal untuk pasien dengan disfungsi renal karena tidak
tergantungnya pada eliminasi ginjal, kemampuan untuk mengkontrol tekanan darah dan
biasanya mempunyai efek langsung minimal pada aliran darah ginjal.
• Percepatan induksi dan timbulnya bisa dilihat pada anemis berat (Hb <5 g/dL) dengan
GGK; observasi ini bisa dijelaskan oleh turunnya blood gas portion coefficient atau
kurangnya MAC.
• Enflurane dan sevoflurane (dengan aliran gas <2 L/min) tidak disarankan untuk pasien-
pasien dengan penyakit ginjal pada prosedur lama karena potensi akumulasi fluoride.

14
Nitrous Oxide
• Banyak klinisi tidak menggunakan atau membatasi penggunaan NO2 sampai 50% dengan
tujuan untuk meningkatkan penggunaan O2 arteri pada keadaan anemia.

c. Pelumpuh Otot
Succinyl choline
• SC bisa digunakan secara aman pada gagal ginjal, dengan konsentrasi serum kalium kurang
dari 5 mEq/L pada saat induksi. Bila K serum lebih tinggi, pelumpuh otot nondepol sebaiknya
digunaka

Cisatracurium, atracurium & Mivacurium


• Mivacurium tergantung pada eliminasi ginjal secara minimal. Cisatracurium &
atracurium didegradasi di plasma oleh eliminasi hidrolisis ester enzymatik & nonenzymatik
hofman. Agen-agen ini mungkin merupakan obat pilihan untuk pelumpuh otot pada pasien-
pasien dengan gagal ginjal.

Vecuronium & Rucoronium


• Eliminasi dari vecuronium secara primer ada di hati, tapi lebih dari 20% dari obat dieliminasi
di urine.
• Efek dari dosis besar vecuronium (> 0,1 mg/kg) hanya memanjang sedikit pada pasien renal
insufisiensi. Perpanjangan kerja pada penyakit ginjal berat pernah dilaporkan.

Curare
• Eliminasi dari curare tergantung baik pada ginjal maupun ekskresi empedu; 40-60% dosis
curare secara normal dieksresi di dalam urin. Dosis lebih rendah dan perpanjangan interval
pemberian dosis diperlukan untuk rumatan agar pelumpuh otot optimal

Pancuronium, Pipecuronium, Alcuronium, & Doxacurium


• Obat-obat ini tergantung terutama pada ekskresi renal (60-90%). Walaupun pancuronium di
meta- bolisme di hati menjadi metabolit intermediate yang kurang aktif, eliminasi paruh
waktunya masih tergantung pada ekskresi ginjal (60-80%). Fungsi neuromuscular harus
dimonitor ketat jika obat-obat ini digunakan pada fungsi ginjal abnormal.

Metocurine, Gallamine & Decamethonium


• Obat-obat ini hampir sepenuhnya tergantung pada ekskresi ginjal untuk eliminasi dan harus
dihindari peng gunaannya dari pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

15
Obat-obat Reversal
• Ekskresi ginjal adalah rute utama eliminasi bagi edrophonium, neostigmine & pyridostigmine.
Waktu paruh dari obat-obat ini pada pasien dengan gangguan gagal ginjal memanjang
setidaknya sama dengan pelumpuh otot sebelumnya diatas.

2.5 Anestesi Pada Pasien dengan Gagal Ginjal Pertimbangan Pre Operasi
a. Gagal Ginjal Akut
• Gagal ginjal akut adalah penurunan fungsi ginjal secara cepat yang menghasilkan penumpukan
dari sampah nitrogen (azotemia). Zat ini sebagian besar bersifat racun, dihasilkan oleh
metabolisme protein dan asam amino. Termasuk urea, senyawa guanidine (termasuk creatin
dan creatinin), asam urat, asam amino alifatik, berbagai jenis peptida dan metabolisme dari
asam amino aromatik.
• Azotemia dapat dibagi menjadi beberapa tipe berdasarkan penyebabnya yaitu prerenal, renal,
dan postrenal.

Penyebab oliguria
Pre renal Renal Post Renal
Hypovolemia Hypoxia Bladder neck
Hypotension From pre renal causes obstruction
Poor cardiac output Renal vein thrombosis Blocked drainage
Renal Nephrotoxins system system
Pre existing renal Amphotericin Pelvis surgery
damage Chemotherapeutic Prostatic enlargement
Renal vascular agents Raised intra-
disease NSAIDS abdominalpressure
Renal Contrast media Renal or ureteric
vasoconstriction (beware Renal or in Calculi
Sepsis diabetes and multiple Clots
myeloma) Necrotic papillae
Tissue injury Haemoglobinuria
Haemoglobinuria
Myoglobinuria

16
Uric Acid (tumour
lysis)
Inflammatory
nephritides
Glomerulonephritis
Interstitial nephritis
Polyarteritis
Myeloma

• Azotemia renal dan postrenal bersifat reversible pada tahap inisial namun jika dibiarkan terus
menerus akan menyebabkan azotemia renal. Kebanyakan pasien dewasa dengan gagal ginjal
akan terjadi oliguria.
• Pasien yang nonoliguri (yaitu pasien dengan urin output >400mL/hari) terus menerus
membentuk urin yang secara kualitatif miskin, pada pasien ini cenderung memiliki
pemeliharaan yang cukup baik dari GFR. Walaupun filtrasi glomerulus dan fungsi tubulus
terganggu, kelainannya untuk cenderung buruk lebih sedikit pada gagal ginjal nonoliguri.
• Pembahasan mengenai gagal ginjal akut bervariasi, namun pada tipe oliguria bertahan sampai
2 minggu dan diikuti oleh fase diuretik yang ditandai dengan adanya peningkatan yang
progresif pada urin output. Fase diuretik ini sering menghasilkan sangat banyaknya urin output
dan biasanya tidak ditemui pada gagal ginjal yang non oligurik. Fungsi urinari semakin baik
dalam beberapa minggu namun bisa tetap bertahan tidak kembali normal sampai 1 tahun.

b. Gagal Ginjal Kronis


• Sindroma ini dikarakteristikkan oleh adanya penurunan fungsi ginjal yang progresif dan
irreversibel dalam waktu 3-6 bulan. Penyebab utamanya adalah hipertensi nefrosklerosis,
diabetik nefropati, glomerulonefritis kronis, dan penyakit ginjal polikistik.
• Manifestasi penuh dari sindrom ini sering dikenal dengan uremia yang akan terlihat setelah
GFR menurun dibawah 25 mL/menit. Pasien dengan klirens dibawah 10 mL/menit (sering
disebut dengan end stage renal disease) akan bergantung kepada dialisis untuk bertahan sampai
dilakukan transplantasi. Dialisis dapat berbentuk intermittent hemodialysis melalui
arteriovenous fistula atau dialisis terus menerus melalui kateter yang diimplantasikan.
Manisfestasi of Uremia

17
Neurological Cardiovascular
Peripheral neuropathy Fluid overload
Autonomic neuropathy Congestive heart failure
Muscle twitching Hypertension
Encephalopathy Pericarditis
Asterixis Arrhythmia
Myoclonus Conduction blocks
Lethargy Vascular calcification
Confusion Accelerated atherosclerosis
Seizures Metabolic
Coma Metabolic acidosis
Pulmonary Hyperkalemia
Hyperventilation Hyponatremia
Interstitial edema Hypermagnesemia
Alveolar edema Hyperphosphatemia
Pleural effusion Hypocalcemia
Gastrointestinal Hyperuricemia
Anorexia Hypoalbuminemia
Nausea and vomiting Hematological
Delayed gastric emptying Anemia
Hyperacidity Platelet dysfunction
Mucosal ulcerations Leukocyte dysfunction
Hemorrhage Skin
Adynamic ileus Hyperpigmentation
Endocrine Ecchymosis
Glucose intolerance Pruritus
Secondary hyperparathyroidism Skeletal
Hypertriglyceridemia Osteodystrophy
Periarticular calcification

• Efek yang meluas dari uremia biasanya dapat dikontrol dengan dialisis. Banyak pasien yang
menjalani dialisis setiap hari dengan normal dan mungkin tidak terjadi discoloration yang
terkait dengan end stage renal disease dan dialisis.

18
• Mayoritas pasien di dialisis 3 kali perminggu. Sayangnya, semakin lama biasanya komplikasi
uremia sukar disembuhkan. Lebih lagi, beberapa komplikasi berhubungan langsung dengan
proses dialisis tersebut.
• Hipotensi, neutropenia, hipoksemia, sindroma disequilibrium bersifat sementara dan hilang
beberapa jam setelah dialisis. Beberapa faktor yang menyebabkan hipotensi selama dialisis
termasuk efek vasodilatasi dari larutan asetat dialisat, neuropati otonom dan pergerakan yang
cepat dari cairan. Interaksi antara sel darah putih dengan membran derivat dialisis cellophane
akan mengakibatkan neutropenia dan leukocyte-mediated pulmonary disfunction menyebabkan
hipoksemia. Sindroma disequilibrium dikarakteristikkan oleh gejala neurologis sementara
yang berhubungan dengan penurunan dengan cepat osmolaritas ekstraselular dari osmolaritas
intraselular.

Manifestasi dari Gagal Ginjal


A. Metabolik
• Pasien dengan gagal ginjal dapat berkembang dengan abnormalitas dari metabolik yang
multipel termasuk hiperkalemia, hiperphospatemia, hipokalemia, hipermagnesemia,
hiperuricemia, dan hipoalbuminemia.
• Retensi air dan natrium akan mengakibatkan pemburukan dari hiponatremia dan cairan ekstra
seluler yang berlebihan.
• Kegagalan untuk mengekskresikan produksi asam yang non folatil mengakibatkan asidosis
metabolik dengan anion gap yang tinggi.
• Hipernatremia dan hipokalemia adalah komplikasi yang jarang.
• Hiperkalemia adalah abnormalitas yang paling mematikan karena memiliki efek pada jantung.
Hal ini biasanya ditemukan pada pasien dengan kreatinin klirens < 5 mL/menit, namun dapat
berkembang secara cepat pada pasien dengan klirens yang lebih tinggi oleh karena dengan
masukan kalium yang besar (trauma, hemolisis, infeksi atau konsumsi kalium).
• Hipermagnesia biasanya ringan kecuali masukan magnesium meningkat (umumnya dari
antasida yang mengandung magnesium).
• Hipokalsemia terjadi dengan sebab yang tidak diketahui. Mekanisme yang diakibatkan oleh
deposit kalsium ke tulang secara sekunder oleh karena hiperphospatemia, resistensi dari
hormon paratiroid dan penurunan absorbsi usus halus secara sekunder menurunkan sintesa
renal dari 1,25-dihidroksi kolekalsiferol.Gejala dari hipokalsemia jarang berkembang kecuali
pasien dalam kondisi alkalosis.

19
• Pasien dengan gagal ginjal juga secara cepat kehilangan protein jaringan sehingga
menyebabkan hipoalbuminemia. Anoreksia, restriksi protein dan dialisis (terutama dialisis
peritonium) juga berperan.

B. Hematologik
• Anemia biasanya muncul jika kreatinin klirens dibawah 30 ml/menit. Konsentrasi hemoglobin
umumnya 6-8 gram/dl. Penurunan produksi eritropoetin menurunkan produksi sel darah
merah, dan menurunkan pertahanan sel. Faktor tambahan termasuk perdarahan saluran cerna,
hemodilusi, dan penekanan sumsum tulang dari infeksi sebelumnya. Walaupun dengan
transfusi, konsentrasi hemoglobin meningkat sampai 9 gram/dl sangat sulit untuk
dipertahankan. Pemberian eritropoetin biasanya dapat mengoreksi anemia. Peningkatan dari
2,3-difosfogliserat bertanggung jawab dalam penurunan kapasitas pembawa oksigen. 2,3-DPG
memfasilitasi pelepasan oksigen dari hemoglobin. Asidosis metabolik juga mengakibatkan
pergeseran ke kanan pada kurva oksigen-hemoglobin dissosiasi.
• Fungsi platelet dan sel darah putih terganggu pada pasien dengan gagal ginjal. Secara klinis,
hal ini dimanifestasikan sebagai pemanjangan waktu perdarahan dan gampang terkena infeksi.
Pada pasien dengan penurunan aktivitas platelet faktor III, dan juga penurunan ikatan dan
agregrasi platelet. Pasien yang dihemodialisa juga memiliki efek sisa antikoagulan dari
heparin.

C. Kardiovaskuler
• Cardiac Output dapat meningkat pada gagal ginjal untuk menjaga oksigen delivery pada
penurunan kapasitas pembawa oksigen.
• Retensi natrium dan abnormalitas pada sistem renin angiotensin berakibat pada hipertensi
sistemik arteri. Left ventrikuler hipertropi umum dijumpai pada gagal ginjal kronis. Cairan
ekstraseluler yang berlebihan oleh karena retensi natrium bersamaan dengan peningkatan
kebutuhan yang terganggu oleh karena anemia dan hipertensi mengakibatkan pasien gagal
jantung dan edema pulmonum. Peningkatan permeabilitas dari membran kapiler alveoli dapat
menjadi faktor predisposisi.
• Blok konduksi sering ditemukan mungkin diakibatkan oleh deposit kalsium dari sistem
konduksi.
• Aritmia sering ditemukan dan mungkin berhubungan pada kelainan metabolik.
• Perikarditis uremia dapat ditemukan pada beberapa pasien, pasien bisa asimptomatis , yang
ditandai dengan adanya nyeri dada atau terbentuknya tamponade jantung.

20
• Pasien dengan gagal ginjal kronis juga dikarakteristikan dengan peningkatan pembuluh darah
perifer dan penyakit arteri koroner.
• Depresi volume intravaskuler dapat muncul pada fase diuretik pada gagal ginjal akut jika
replacement cairan tidak adekuat. Hipovolemi juga muncul jika terlalu banyak cairan yang
terlalu banyak dikeluarkan ketika dialisis.

D. Pulmonary
• Tanpa dialisis atau terapi bikarbonat, pasien bergantung pada peningkatan ventilasi permenit
untuk mengkompensasikan asidosis metabolik.
• Cairan ekstravaskular pulmonum biasanya meningkat dalam bentuk interstitial edema,
mengakibatkan perluasan gradien alveolar ke arterial oksigen yang menyebabkan terjadinya
hipoksemia. Peningkatan permeabilitas dari kapiler alveolar pada beberapa pasien
menyebabkan edema paru walaupun dengan tekanan kapiler paru yang normal, karakteristik
pada foto toraks menyerupai ”butterfly wings”.

E. Endokrin
• Toleransi glukosa yang abnormal ditandai dengan adanya gagal ginjal akut dari resistensi
perifer pada insulin, pasien mempunyai glukosa dalam darah dengan jumlah besar dan jarang
menggunakannya.
• Hiperparatiroidisme yang sekunder pada pasien dengan gagal ginjal kronis dapat
mengakibatkan penyakit tulang metabolik, yang dapat menyebabkan fraktur.
• Kelainan metabolisme lemak sering mengakibatkan hipertrigliseridemia dan kemungkinan
berperan dalam atherosklerosis.
• Peningkatan dari tingkat protein dan polipeptida yang biasanya segera didegradasikan di ginjal
sering terlihat, hal ini berhubungan dengan hormon para- tiroid, insulin, glukagon, growth
hormon, luteinizing hormone, dan prolaktin.

F. Gastrointestinal
• Anoreksia, nausea, vomiting dan ileus adinamik umumnya berhubungan dengan azotemia.
• Hipersekresi dari asam lambung meningkatkan insiden dari tukak peptik dan perdarahan
saluran pencernaan, yang muncul pada 10-30% dari pasien.
• Penundaan pengosongan lambung secara sekunder pada neuropati autonom dapat mencetuskan
adanya aspirasi perioperatif.

21
• Pasien dengan gagal ginjal kronis juga memiliki koinsiden terhadap virus hepatitis (tipe B dan
C), sering diikuti oleh disfungsi hepatik.

G. Neurologis
• Tubuh kurus, letargi, confussion, kejang, dan koma adalah manifestasi dari uremik
encephalopathy. Gejala pada umumnya berhubungan dengan derajat azotemia.
• Neuropati autonom dan perifer umumnya dijumpai pada pasien dengan gagal ginjal kronis.
Neuropati perifer bersifat sensoris dan melibatkan ekstremitas distal bagian bawah.

2.6 Evaluasi Preoperatif


Gagal ginjalnya berhubungan dengan komplikasi post operatif atau trauma. ratif yang
optimal tergantung dari dialisis preoperatif. Pasien dengan gagal ginjal kronis yang menjalani
operasi elektif harus menerima dialisis perawatan sehari sebelum operasi. Pasien dengan gagal
ginjal akut juga mempercepat pemecahan protein. Manajemen periope yang direncanakan
untuk mengoptimalkan elektrolit, metabolisme, dan status volume. Adalah tepat untuk
meminimalkan pemberian cairan intravena dalam hal ini populasi pasien untuk operasi minor.
Pentingnya menjaga euvolemia selama operasi besar tidak dapat dilebih-lebihkan untuk
mempertahankan pramuat yang memadai, sehingga menghindarinya hipotensi dan hipoperfusi
organ potensial. Hemodialisis lebih efektif dari pada peritoneal dialisis dan dapat dilakukan
melalui internal jugular yang temporer, dialisis dengan kateter subklavia atau femoral.
Kebutuhan dialisis pada pasien nonoligurik dapat disesuaikan dengan kebutuhan individual.
Indikasi Untuk Dialisis
Overload Cairan
Hiperkalemi
Asidosis Berat
Enselopaty Metabolik
Perikarditis
Koogulopati
Refraktory
GastrointestinalSymtom
Toksisitas Obat
• Pasien dengan gagal ginjal kronis semua manifestasi yang reversibel dari uremia harus
dikontrol. Dialisis pre operatif pada hari pembedahan atau hari sebelumnya dibutuhkan.

22
• Evaluasi fisik dan laboratorium harus di fokuskan pada fungsi jantung dan pernafasan. Tanda–
tanda kelebihan cairan atau hipovolemia harus dapat diketahui. Kekurangan volume
intravaskuler sering disebabkan oleh dialisis yang berlebihan. Perbandingan berat pasien
sebelum dan sesudah dialisis mungkin membantu.
• Data hemodinamik, jika tersedia dan foto dada sangat bermakna dalam kesan klinis.
• Analisa gas darah juga berguna dalam mendeteksi hipoksemia dan mengevaluasi status asam-
basa pada pasien dengan keluhan sesak nafas.
• EKG harus diperiksa secara hati-hati sebagai tanda-tanda dari hiperkalimia atau hipokalimia
seperti pada iskemia, blok konduksi, dan ventrikular hipertropi.
• Echocardiography sangat bermakna dalam mengevaluasi fungsi jantung pada pasien dibawah
prosedur pembedahan mayor karena hal ini dapat mengevaluasi ejeksi fraksi dari ventrikel,
seperti halnya mendeteksi dan kuantitatif hipertropi, pergerakan abnormal pembuluh darah,
dan cairan perikard adanya gesekan bisa tidak terdengar pada auskultasi pada pasien dengan
efusi perikard.
• Transfusi pre operatif sel darah merah harusnya diberikan pada pasien dengan anemia berat
(hemoglobin <6-7 g/dL) atau ketika kehilangan darah sewaktu operasi diperkirakan.
• Waktu perdarahan dan pembekuan dianjurkan, khususnya jika ada pertimbangan regional
anestesi. Serum elektrolit, BUN, dan pengukuran kreatinin dapat menentukan keadekuatan
dialisis.
• Pengukuran glukosa dibutuhkan dalam mengevaluasi kebutuhan potensial untuk terapi insulin
perioperatif.
• Perlambatan pengosongan lambung akibat sekunder dari neuropati otonom pada beberapa
pasien bisa mempengaruhi pasien-pasien GGK untuk terjadinya aspirasi pada perioperatif
• Terapi obat preoperatif diberikan secara hati-hati pada obat yang dieliminasi di ginjal.
Penyesuaian dosis dan pengukuran kadar darah (jika memungkinkan) dibutuhkan untuk
mencegah toksisitas obat.

2.11. Obat yang berpotensial berakumulasi secara signifikan pada pada pasien dengan
gangguan ginjal
• Muscle relaxants : Metocurine, Gallamine, Decamethonium, Pancuronium, Pipecurium,
Doxacurium, Alcuronium
• Anticholinergics : Atropine, Glycopyrrolate
• Metoclopramide
• H2 reseptor antagonists : Cimetidine, Ranitidine

23
• Digitalis
• Diuretics
• Calcium Channel antagonis : Nifedipine, Diltiazem
• β – Adrenergic blockers : Propanolol, Nadolol, Pindolol, Atenolol
• Anti Hipertensi : Clonidine, Methyldopa, Captporil, Enalapril, Lisinopril, Hydralazine,
Nitroprusside (Thiocyanate)
• Antiarrhytmics : Procainamide, Disopyramide, Bretylium, Tocainide, Encainide (Genetically
determined)
• Bronchodilators : Terbutalline
• Psychiatric : Lithium
• Antibiotics : Penicillins, Cephalosporin, Aminoglycosid, Tetracycline, Vancomycin
• Anticonvulsants : Carbamazepine, Ethosuximide, Primidone

Premedikasi
• Pada pasien yang relatif stabil dan sadar dapat diberikan pengurangan dosis dari opioid atau
benzodiazepin.
• Profilaksis untuk aspirasi diberikan H2 blocker diindikasikan pada pasien mual, muntah
atau perdarahan saluran cerna.
• Metoclopramide, 10 mg secara oral atau tetes lambat intra vena juga berguna dalam
mempercepat pengosongan lambung, mencegah mual dan menurunkan resiko aspirasi.
• Pengobatan preoperatif terutama obat anti hipertensi harus dilanjutkan sampai pada saat
pembedahan.

Pertimbangan Intraoperatif
➢ Monitoring
• Prosedur pembedahan membutuhkan perhatian pada kondisi medis secara menyeluruh.
Karena bahaya dari adanya oklusi, tekanan darah sebaiknya tidak diukur dari cuff pada
lengan dengan fistula arteriovena.
• Intra-arterial, vena sentral, dan arteri paru membutuhkan perhatian, terutama pada
pasien dibawah prosedur dengan pergeseran cairan yang luas, volume intravaskuler
sering sulit disesuaikan hanya dari tanda klinis.
• Monitoring tekanan darah intra-arteri secara langsung diindikasikan pada pasien yang
hipertensinya tidak terkontrol.

24
• Monitoring invasif yang agresif diindikasikan khususnya pada pasien diabetes dengan
penyakit ginjal berat yang sedang menjalani pembedahan mayor, pasien jenis ini
mungkin memiliki tingkat morbiditas 10 kali lebih banyak pada pasien diabetes tanpa
penyakit ginjal. Yang terakhir ini menunjukkan insiden yang tinggi pada komplikasi
kardiovaskular pada grup pertama.
➢ Induksi
• Pasien dengan mual, muntah atau perdarahan saluran cerna harus menjalani induksi
cepat dengan tekanan krikoid.
• Dosis dari zat induksi harus dikurangi untuk pasien yang sangat sakit. Thiopental 2-3
mg/kg atau propofol 1-2 mg/kg sering digunakan. Etomidate, 0,2-0,4 mg/kg dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil.
• Opioid, beta-bloker (esmolol), atau lidokain bisa digunakan untuk mengurangi respon
hipertensi pada intubasi.
• Succinylcholine, 1,5 mg/kg, bisa digunakan untuk intubasi endotrakeal jika kadar
kalium darah kurang dari 5 meq/L. Rocuronium (0,6mg/kg),cisatracurium (0,15
mg/kg), atracurium (0,4 mg/kg) atau mivacurium (0,15 mg/kg) dapat digunakan untuk
mengintubasi pasien dengan hiperkalemia. Atracurium pada dosis ini umumnya
mengakibatkan pelepasan histamin. Vecuronium, 0,1 mg/kg tepat digunakan sebagai
alternatif, namun efeknya harus diperhatikan.
➢ Pemeliharaan
• Tehnik pemeliharaan yang ideal harus dapat mengkontrol hipertensi dengan efek
minimal pada cardiac output, karena peningkatan cardiac output merupakan
kompensasi yang prinsipil dalam mekanisme anemia.
• Anestesi volatil, nitrous oxide, fentanyl, sufentanil, alfentanil, dan morfin dianggap
sebagai agen pemeliharaan yang memuaskan.
• Isoflurane dan desflurane merupakan zat yang mudah menguap pilihan karena mereka
memiliki efek yang sedikit pada cardiac output.
• Nitrous oxide harus digunakan secara hati-hati pada pasien dengan fungsi ventrikel
yang lemah dan jangan digunakan pada pasien dengan konsentrasi hemoglobin yang
sangat rendah (< 7g/dL) untuk pemberian 100% oksigen.
• Meperidine bukan pilihan yang bagus oleh karena akumulasi dari normeperidine.
Morfin boleh digunakan, namun efek kelanjutannya perlu diperhatikan.
• Ventilasi terkontrol adalah metode teraman pada pasien dengan gagal ginjal. Ventilasi
spontan dibawah pengaruh anestesi yang tidak mencukupi dapat menyebabkan

25
asidosis respiratorik yang mungkin mengeksaserbasi acidemia yang telah ada, yang
dapat menyebabkan depresi pernafasan yang berat dan peningkatan konsentrasi kalium
di darah yang berbahaya. Alkalosis respiratorik dapat merusak karena mengeser kurva
disosiasi hemoglobin ke kiri, dan mengeksaserbasi hipokalemia yang telah ada, dan
menurunkan aliran darah otak.
➢ Terapi Cairan
• Operasi superfisial melibatkan trauma jaringan yang minimal memerlukan penggantian
cairan dengan 5 % dekstrosa dalam air. Prosedur ini berhubungan dengan kehilangan
cairan yang banyak atau pergeseran yang membutuhkan kristalloid yang isotonik,
koloid, atau keduanya.
• Ringer laktat sebaiknya dihindari pada pasien hiperkalemia yang membutuhkan banyak
cairan, karena kandungan kalium (4 meq/L), normal saline dapat digunakan. Cairan
bebas glukosa digunakan karena intoleransi glukosa yang berhubungan dengan uremia.
• Kehilangan darah diganti dengan packed red blood cells.

2.12. Anestesi Pada Pasien dengan Gangguang Ginjal Ringan sampai Sedang
Pertimbangan Preoperatif
• Ginjal biasanya menunjukkan fungsi yang besar. GFR, yang dapat diketahui dengan
kreatinin klirens, dapat menurun dari 120 ke 60 mL/ menit tanpa adanya perubahan
klinis pada fungsi ginjal. Walaupun pada pasien dengan kreatinin klirens 40 -60
mL/menit umumnya asimtomatik. Pasien ini hanya memiliki gangguan ginjal ringan
namun harus dipertimbangkan sebagai gangguan ginjal.
• Ketika kreatinin klirens mencapai 25 – 40 mL/menit gangguan ginjal sedang dan pasien
bisa disebut memiliki renal insufisiensi. Azotemia yang signifikan selalu muncul, dan
hipertensi maupun anemia secara bersamaan. Manajemen anestesi yang tepat pada
pasien ini sama pentingnya pada pasien gagal ginjal yang berat. Yang terakhir ini
terutama selama prosedur yang berkaitan dengan insiden yang relatif tinggi dari gagal
ginjal postoperatif, seperti pembedahan konstruktif dari jantung dan aorta.
• Kehilangan volume intravaskular, sepsis, obstruktif jaundice, kecelakaan, injeksi
kontras dan aminoglikosid, angiotensin converting enzim inhibitor, atau obat-obat
terapi seperti NSAID sebagai resiko utama pada perburukan akut pada fungsi ginjal.
• Hipovolemia muncul khususnya sebagai faktor yang penting pada gagal ginjal akut
postoperatif. Penekanan manajemen pada pasien ini adalah pencegahan, karena angka
kematian dari gagal ginjal post operatif sebesar 50%–60%.

26
• Peningkatan resiko perioperatif berhubungan dengan kombinasi penyakit ginjal lanjut
dan diabetes.
• Profilaksis untuk gagal ginjal dengan cairan diuresis efektif dan diindikasikan pada
pasien dengan resiko tinggi, rekonstruksi aorta mayor, dan kemungkinan prosedur
pembedahan lainnya.
• Mannitol (0,5 g/kg) sering digunakan dan diberikan sebagai perioritas pada induksi.
• Cairan intravena diberikan untuk mencegah kehilangan intra vaskular. Infus intravena
dengan fenoldopam atau dopamin dosis rendah memberikan peningkatan aliran darah
ginjal melalui aktivasi dari vasodilator reseptor dopamin pada pembuluh darah ginjal.
• Loop diuretik juga dibutuhkan untuk menjaga pengeluaran urin dan mencegah
kelebihan cairan.

Pertimbangan Intraoperatif
➢ Monitoring
• Monitor standard yang digunakan untuk prosedur termasuk kehilangan cairan yang
minimal. Untuk operasi yang banyak kehilangan cairan atau darah, pemantauan urin
output dan volume intravaskular sangat penting.
• Walaupun dengan urin output yang cukup tidak memastikan fungsi ginjal baik, namun
selalu diusahakan pencapaian urin output lebih besar dari 0,5 mL/kgBB/jam.
• Pemantauan tekanan intra arterial juga dilakukan jika terjadi perubahan tekanan darah
yang cepat, misalnya pada pasien dengan hipertensi tidak terkontrol atau sedang dalam
pengobatan yang berhubungan dengan perubahan yang mendadak pada preload
maupun afterload jantung.
➢ Induksi
• Pemilihan zat induksi tidak sepenting dalam memastikan volume intravaskular yang
cukup terlebih dahulu. Anestesi induksi pada pasien dengan Renal Insuffisiensi
biasanya menghasilkan hipotensi jika terjadi hipovolemia. Kecuali jika diberikan
vasopressor, hipotensi biasanya muncul setelah intubasi atau rangsangan pembedahan.
Perfusi ginjal, yang dipengaruhi oleh hipovolemia semakin buruk sebagai hasil
pertama adalah hipotensi dan kemudian secara simpatis atau farmakologis diperantarai
oleh vasokonstriksi ginjal. Jika berlanjut, penurunan perfusi ginjal pengakibatkan
kerusakan ginjal postoperatif. Hidrasi preoperatif biasanya digunakan untuk mencegah
hal ini.
➢ Pemeliharaan

27
• Semua zat pemeliharaan dapat diberikan kecuali Methoxyflurane dan Sevoflurane.
Walau enflurane bisa digunakan secara aman pada prosedur singkat, namun lebih baik
dihindari pada pasien dengan insuffisiensi ginjal karena masih ada pilihan obat lain
yang memuaskan. Pemburukan fungsi ginjal selama periode ini dapat menghasilkan
efek hemodinamik lebih lanjut dari pembedahan (perdarahan) atau anestesi (depresi
jantung atau hipotensi).
• Efek hormon tidak langsung (aktifasi simpatoadrenal atau sekresi ADH), atau ventilasi
tekanan positif. Efek ini biasanya reversibel ketika diberikan cairan intravena yang
cukup untuk mempertahankan volume intravaskuler yang normal atau meluas.
• Pemberian utama dari vasopresor α – adrenergik (phenyleprine dan norepineprine) juga
dapat mengganggu. Dosis kecil intermitten atau infus singkat mungkin bisa berguna
untuk mempertahankan aliran darah ginjal sebelum pemberian yang lain (seperti
transfusi) dapat mengatasi hipotensi. Jika mean tekanan darah arteri, cardiac output dan
cairan intravaskuler cukup, infus dopamin dosis rendah (2-5 mikrogram/kg/menit)
dapat diberikan dengan batasan urin output untuk mempertahankan aliran darah ginjal
dan fungsi ginjal.”Dosis dopamin untuk ginjal”telah juga dapat menunjukkan
setidaknya sebagian membalikkan vasokonstriksi arteri ginjal selama infus dengan
vasopresor α–adrenergik (norepinephrine). Fenoldopam juga mempunyai efek yang
sama.
➢ Terapi Cairan
• Perhatikan jika ditemukan pemberian cairan yang berlebihan, namun masalah biasanya
jarang dengan pasien yang urin outputnya cukup. Maka perlu dilakukan pemantauan
pada urin outputnya, jika cairan yang berlebihan diberikan maka akan menyebabkan
edema atau kongestif paru yang lebih mudah ditangani daripada gagal ginjal akut.

2.6.4. POSTOPERATIF

Tujuan management postoperative adalah pemeliharaan normovolemia,


kestabilan sistem kardiovaskular, oksigen tambahan untuk mengimbangi kadar
hemoglobin yang rendah, dan analgesik yang tepat.6 Operasi terbuka biasanya
berhubungan secara signifikan dengan nyeri postoperatif.10 Nyeri postoperatif
biasanya ringan sampai sedang.7 Analgesi yang bagus penting untuk mobilisasi awal
dan mengurangi insidensi komplikasi respirasi sesudah operasi. Infus dengan

28
campuran dosis rendah anastesi lokal dan opioid memberikan pengurangan nyeri yang
terbaik, meskipun pemberian secara bolus dapat juga dilakukan. Fentanyl merupakan
obat yang cocok untuk pasien dengan gagal ginjal dimana fentanyl dimetabolisme di
hepar. Morfin dapat dipakai dengan hati-hari, pengurangan pada dosis dan interval
waktu diantara dua dosis harus dibuat pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
(biasanya 0,5 mg bolus dengan interval waktu 10 menit). NSAIDs harus dihindari
pada pasien ini disebabkan potensial renal toxicity dan erosi traktus gastrointestinal.10

29
BAB III
KESIMPULAN

Tinjauan fungsi ginjal adalah komponen penting dalam penilaian pra operasi

untuk pasien kandidat bedah. Untuk mengelola pasien dengan baik, dokter harus akrab dengan

respons ginjal terhadap stres hemodinamik dan gangguan homeostatik lainnya, dan dengan

keadaan normal yang memengaruhi fungsi ginjal, seperti kehamilan, pematangan, dan

penuaan. Pertimbangan khusus diperlukan dalam merawat pasien bedah dengan penyakit

ginjal, dan konsekuensi dari cedera ginjal dan disfungsi ginjal pasca operasi berperan penting

dalam perawatan pasien sakit kritis. Pada pasien dengan penyakit ginjal, harus diperhatikan

secara tepat tanda-tanda vital dan output cairan pada saat pre operatif, intra operatif dan

pemeliharaan bagi memastikan keadaan umum dan tanda-tanda vital pasien dapat

dipertahankan secara baik dan mencegah komplikasi akibat penggunaan obat-obat anestesi

yang tertentu pada pasien ginjal.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical anesthesiology. 4th ed. USA: McGraw Hill,

2006; p. 730-54.

2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anestesiologi. 2 nd ed. Bagian

anstesiologi dan terapi intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2001;

h. 19-21.

3. Sloane E. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Penerbit Buku Kedokteran ECG; 2004. H.

318-21.

4. Davey P. At a Glance Medicine. Blackwell Science. 2006; p.

5. Aitkenhead AR, Smith G. Principles of Pharmacology. In : textbook of Anesthesia. 3 rd ed.

Churchill Livingstone New York 1996; 107-19.

6. Alonso MB, Gajate ML, García SJ, Martín MA, Moreno BR, Arribas PP et al.

Retrospective comparative study between sevoflurane and propofol in maintaining

anaesthesia during liver transplant: Effects on kidney and liver function. Rev Esp

Anestesiol Reanim. May 2012.

7. Gonano C, Leitgeb U, Sitzwohl C, Ihra G, Weinstabl C, Kettner SC. Spinal versus general

anesthesia for orthopedic surgery: Anesthesia drug and supply costs. Anesth Analg.

2006;102(2):524-9.

31

Você também pode gostar