Você está na página 1de 16

Kapata Arkeologi, 12(2), 147-162

ISSN (cetak): 1858-4101


ISSN (elektronik): 2503-0876
http://kapata-arkeologi.kemdikbud.go.id

POLA PERMUKIMAN TRADISIONAL KAJANG1


Traditional Settlement Patterns of Kajang

Erni Erawati
Universitas Gadjah Mada - Indonesia
Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Fakultas Ilmu Budaya UGM
erni_lewa@yahoo.com
Naskah diterima: 14/09/2016; direvisi: 23/11 - 06/12/2016; disetujui: 06/12/2016
Publikasi ejurnal: 30/12/2016

Abstract
One of traditional settlements in Indonesia is located in the residential area of Kajang,
Bulukumba, South Sulawesi Province. Settlement community in Kajang is classified into
two levels, the first is meso level consisted on spatial villaes, homes, and forest, and the
second is macro level consisted on the spatial region consisting of kamase-masea region,
and the region kuassayya. From the shape and function of artefacts and sites in Kajang
area, it can be mentioned that the Kajang district has the Megalithic sites and Islamic sites
which are still functioned until recently. The aim of this research is determining the pattern
of settlement in the area of the Kajang based on the location of the sites. The source of data
consist of two namely secondary data which is obtained from literary research, and
primary data obtained through field research by observation and survey. The pattern of
settlement in the Kajang area shows two characteristics; firstly, Settlement patterns and
placement of home in group, leading to the altitude, facing to the west; the sacred building
that is located at high altitude and surrounded by indigenous forest areas and settlers'
houses. Secondly, settlement patterns extend lengthwise in a row on both sides of a pathway
up to the foothills, and on riverbanks. Those houses are characterised by the location of
owner's social stratification. There is no specific orientation of houses to the wind
directions. Sacred building is placed in higher space surrounded by residents' houses.
Ammatoa as the spiritual leader, and a site that functions to inaugurate Karaeng as leaders
of the governance.
Keywords: Patterns, Settlement, Traditional, Function, Sites
Abstrak
Salah satu permukiman tradisional di Indonesia adalah permukiman di kawasan Kajang,
Kabupaten Bulukumba, Propinsi Sulawesi Selatan. Permukiman masyarakat di kawasan
Kajang terdiri atas dua tingkat, yaitu bersifat meso yang menyangkut tata ruang desa, rumah
tinggal, dan hutan adat, dan bersifat makro menyangkut tata ruang kawasan yang terdiri
atas kawasan kamase-masea dan kawasan kuassayyya. Dari bentuk dan fungsi situs-situs di
kawasan Kajang, dapat dikatakan bahwa kawasan Kajang memiliki situs Megalitik dan
situs Islam yang masih dipergunakan sampai sekarang. Penelitian bertujuan untuk
mengetahui pola permukiman di Kawasan Kajang berdasarkan letak situs-situs. Sumber
data penelitian ada dua, yaitu data sekunder yang diperoleh melalui penelitian pustaka, dan
data primer diperoleh melalui penelitian lapangan dengan cara observasi dan survei
permukaan.Pola permukiman di kawasan Kajang menampilkan dua ciri, yaitu: 1). Pola
permukiman dan penempatan rumah secara berkelompok mengarah pada ketinggian, arah
hadap rumah ke arah barat, bangunan sakral berada di tempat ketinggian dan dikelilingi
oleh kawasan hutan adat dan bangunan rumah penduduk, 2). Pola permukiman berbentuk
memanjang dan berderet disebelah menyebelah jalan, kaki bukit, dan pinggir sungai dan
pantai dengan ciri yang menunjukkan pelapisan sosial. Terdapat dua fungsi situs di
kawasan Kajang, yaitu: situs yang berfungsi sebagai tempat pelantikan Ammatoa sebagai
pemimpin di bidang spiritual, dan tempat pelantikan Karaeng yang dianggap pemimpin di
bidang pemerintahan.
Kata kunci: Pola, Permukiman, Tradisional, Fungsi, Situs

1Artikel ini merupakan bagian dari disertasi dengan judul “Tata Ruang Permukiman Tradisional To Kajang Di
Kabupaten Bulukumba Propinsi Sulawesi Selatan: Kajian Sistem Sosial dan Nilai Budaya”.

147
© Kapata Arkeologi – Balai Arkeologi Maluku. Bebas akses di bawah lisensi CC BY-NC-SA.
Nomor Akreditasi: (LIPI) 678/Akred/P2MI-LIPI/07/2015.
PENDAHULUAN dipraktekkan oleh sebagian penduduk, tetapi
Kawasan Kajang merupakan kawasan ajaran Islam masih belum mendalam, sehingga
tradisional yang berada di Kecamatan Kajang tidak seluruh rukun Islam dapat mereka hayati.
Kabupaten Bulukumba, Propinsi Sulawesi Dengan mempergunakan media peninggalan
Selatan. Pola permukiman ditandai dengan megalitik dan Islam, masyarakat melakukan
penduduk yang bertempat tinggal di suatu upacara ritual dan berusaha mengamalkan nilai-
wilayah yang berada di perbukitan pinggir nilai moral dan kerohanian berdasarkan ajaran
pantai Teluk Bone, berhadapan dengan Pulau “pasang” yang merupakan ajaran leluhur
Selayar, ±154 km² sebelah tenggara Kota mereka. Ajaran inilah yang jadi pedoman
Makassar. Luas Kecamatan Kajang 129,06 km² kedua kelompok masyarakat dan pemimpin di
terdiri atas perkampungan seluas 47 Ha, sawah Kajang dalam kehidupan sehari-hari.
1.746,48 Ha, ladang 6.028,91 Ha, dan lain-lain Sistem budaya masyarakat masa lalu
54 Ha, luas hutan seluruhnya berdasarkan data terdiri atas aktifitas yang dilakukan dalam
yang ada, ialah 275 Ha dengan perincian; hutan perjalanan hidup mereka sehari-hari. Sistem
Cangpakapuang 175 Ha, dan hutan adat 100 sosial meliputi pranata-pranata atau kelompok
Ha. Mata pencaharian penduduk adalah sosial yang diorganisasi untuk tujuan
pertanian, terutama menghasilkan jagung. penyelenggaraan berbagai aktifitas. Sistem
Jumlah penduduk Kajang ± 40% penganut ekologi terdiri atas adaptasi manusia terhadap
kepercayaan patuntung, dan sering disebut lingkungan dan penggunaan sumber daya alam
kelompok masyarakat pakaian hitam. Meskipun yang terdapat di suatu lokasi (Rouse, 1972: 95).
demikian, mereka mengaku beragama Islam. Nilai-nilai budaya masyarakat Kajang, salah
Istilah patuntung berasal dari kata tuntungi, satunya dapat dijelaskan berdasarkan pola
kata dalam bahasa Makassar yang jika pemukiman tradisional yang masih bertahan
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia hingga kini, yang diwariskan dari leluhur.
berarti “mencari sumber kebenaran”. Menurut Butzer (1982: 243), pola permukiman
Kepercayaan patuntung mengajarkan jika mengalami perkembangan sesuai dengan
manusia ingin mendapatkan sumber kebenaran, keadaan masyarakatnya. Permukiman
maka ia harus menyandarkan diri pada tiga pilar tradisional yang sederhana dan berukuran kecil
utama, yaitu menghormati Turie A’Ra’na kemudian berevolusi menjadi permukiman
(Tuhan Y.M.E), tanah yang diberikan Turie kerajaan yang semakin kompleks, luas dan
A’Ra’na, dan nenek moyang (Rossler, 1990). padat. Apalagi, jika permukiman tradisional
Kepercayaan dan penghormatan terhadap Turie telah menjadi perkotaan akan semakin
A’Ra’na merupakan keyakinan yang paling kompleks. Meskipun kehidupan perkotaan kini
mendasar dalam kepercayaan patuntung. semakin berkembang, namun ada pula sistem
Masyarakat Kajang percaya bahwa Turie permukiman tradisional yang masih bertahan.
A’Ra’na adalah pencipta segala sesuatu, Maha Ciri yang menonjol pada masyarakat tradisional
Kekal, Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan adalah adanya aspek yang dikeramatkan, baik
Maha Kuasa. berupa benda maupun tempat yang
Masyarakat Kajang terdiri atas dua menjembatani antara mereka dengan yang
kelompok yang secara adat masuk ke dalam dianggap suci dan keramat. Menurut Catanese
wilayah ipantarang embayya, dan wilayah dan Snyder, setiap kebudayaan tradisional
ilalang embayya, yaitu: 1) Kelompok selalu memperlihatkan suatu aturan suci, mulai
masyarakat kuassayya, yaitu meliputi Desa dari rumah sampai ke permukiman dan
Mattoanging, Desa Possi Tanah, Desa keseluruhan lingkungan. Dengan demikian,
Tambangan, Desa Lembanna, Desa maka upaya untuk memahami permukiman
Bontorannu, Desa Lembang, Kelurahan Tanah tradisional menuntut agar permukiman–
Jaya, dan 2) Kelompok masyarakat kamase- permukiman dipandang sebagai perwujudan
masea, berada di Desa Batu Nilamung, Desa ruang yang suci (Catanene dan Snyder,
Sapanang, Desa Pattiroang, Desa Malleleng, 1986:50).
dan Desa Tanah Toa. Kedua kelompok Dalam penelitian ini akan dilihat
masyarakat ini masih berpegang teguh pada bagaimana masyarakat yang masih hidup dalam
ajaran nenek moyang, meskipun ada usaha permukiman tradisional, dalam hal ini kawasan
penyesuaian dengan ajaran Islam sebagaimana Kajang, menjaga dirinya dari berbagai pengaruh

148
Kapata Arkeologi Volume 12 Nomor 2, November 2016: 147-162
atau intervensi dari luar. Salah satu caranya mengenai lingkungan tersebut (Ahimsa-Putra ,
adalah menjaga dan menerapkan “pesan dan 1995: 14). Bagi Rouse (1972: 96) pola
filosofi” dari nenek moyang mereka dalam permukiman adalah kajian tentang cara-cara
kehidupan keseharian, pesan dan filosofi itu distribusi aktivitas-aktivitas budaya manusia
tertuang didalam ajaran “pasang ri Kajang”. dan pranata-pranata sosialnya keseluruh
Artinya, “pasang” adalah pesan-pesan, wasiat kawasan. Pola semacam itu, dapat
atau amanat. “ri” merupakan kata perangkai mencerminkan sistem budaya, sistem sosial,
yang menunjukkan tempat atau “di”. Kata atau sistem ekologi, bahkan juga merupakan
Kajang adalah nama suatu komunitas, yang cerminan kaitan-kaitan antara ketiga sistem
sekarang juga dipakai untuk menamai wilayah tersebut. Didasarkan pada pengertian-
administrasi kecamatan, tempat sebagian besar pengertian di atas, secara lebih singkat dapat
komunitas itu hidup. Jadi secara harfiah dirangkum bahwa pola permukiman (settlement
ungkapan pasang ri Kajang berarti pesan-pesan patterns) merupakan wujud dari tata cara
di Kajang (Katu, 2008: 1). Bagi masyarakat manusia dalam mengatur diri untuk bertempat
Kajang, pesan-pesan dimaknai sebagai tuntutan tinggal dalam lingkungan tempat mereka hidup
atau amanah, renungan atau ramalan. Selain itu, (Willey, 1953: 11) yang di dalamnya terdapat
dapat berarti peringatan atau mengingat. Bagi unsur-unsur tempat tinggal dan relasinya
mereka, pasang menjadi kerangka acuan dalam dengan ekologi tertentu, termasuk kondisi
pola interaksi antar komunitas, baik pola geografi dan fisiografi, sistem pengetahuan
hubungan vertikal maupun horizontal. Bertolak maupun pranata sosial tertentu.
dari uraian tersebut di atas, maka permasalahan Kajian arkeologi permukiman dalam
yang ingin dikaji adalah “Bagaimana pola dekade terakhir mulai berkembang mengikuti
permukiman di kawasan Kajang berdasarkan paradigma baru dalam arkeologi pada
keletakan situs-situs?” Tujuan penelitian adalah umumnya yaitu lebih cenderung mengikuti cara
menggambarkan pola permukiman untuk dapat pikir pasca-prosesual (post-processual). Rob
merekonstruksi kebudayaan, struktur sosial, dan Wiseman (2016), misalnya, menyatakan bahwa
lingkungan dengan memandang masing-masing unsur-unsur permukiman seringkali dilihat
unsur tersebut sebagai satuan sistem yang tidak sebagai metafora dari sesuatu yang lain.
terpisahkan. Artinya, unsur-unsur permukiman itu
sebenarnya mewakili unsur budaya yang lain.
METODE Misalnya, metafora itu diungkapkan dalam
Penelitian yang penulis lakukan di pernyataan “jarak sosial adalah jarak fisik”
kawasan Kajang menggunakan daftar (social distance is physical distance). Dalam
desa/kelurahan yang dianggap bisa membantu permukiman hal itu diwujudkan dalam
pelacakan situs atas dasar nama desa/kelurahan, keletakan setiap tempat atau rumah, sehingga
yaitu yang diterbitkan oleh kantor statistik jarak rumah mencerminkan jarak hubungan
2010, dan peta rupa bumi tahun 1925 yang kekerabatan. Rumah kerabat dekat raja letaknya
diterbitkan oleh U.S Army. Situs-situs dalam akan lebih dekat ke kraton tempat raja tinggal
penelitian ini diberi nama sesuai dengan nama jika dibanding letak rumah kerabat jauh.
desa, dusun atau nama orang untuk situs Dengan kata lain, semakin dekat rumah
makam. Nama-nama “tempat” dalam kawasan seseorang dengan kraton, semakin dekat pula
Kajang yang disebutkan dalam pasang (tradisi hubungan kekerabatannya dengan raja.
lisan masyarakat Kajang) yang selanjutnya Metafora lain terkait unsur permukiman juga
disebut “situs” ada yang dapat dipakai sebagai ditunjukkan dari pernyataan seperti “kubur
pedoman untuk menemukan kembali lokasi adalah rumah” pada masyarakat menetap,
tempat-tempat tersebut, ada juga yang tidak “hutan adalah kehidupan” bagi masyarakat
dapat dipakai. pemburu-peramu, atau “bekal kubur adalah
Pola pemukiman dapat dianggap sebagai pribadi yang dikuburkan.” Dengan cara pikir
ekspresi dari konsepsi manusia mengenai ruang itu, Wiseman (2016: 2-4) meyakini bahwa
serta merupakan hasil dari upaya manusia untuk dengan memetakan bukti-bukti aktivitas atau
mengubah dan memanfaatkan lingkungan data arkeologi dalam permukiman akan dapat
fisiknya berdasarkan atas pandangan- terbaca juga jejaring hubungan sosial yang ada.
pandangan dan pengetahuan yang dimilikinya

149
Pola Permukiman Tradisional Kajang, Erni Erawati
berkaitan dengan Gunung Cerme (Soejono,
1993, Heekern, 1972), Megalitik Bali berkaitan
dengan Gunung Agung. Hal tersebut
merupakan sebuah bukti bahwa keletakan
dalam permukiman prasejarah merupakan
sesuatu yang terpola oleh gagasan dari
pendukung budaya tersebut yang didasarkan
pada kepercayaan yang dinyakini pada masa
itu.
Permukiman di kawasan Kajang terdiri
atas beberapa variabel permukiman yang
kesemuanya merupakan perwujudan dari
masyarakat yang taat pada ketetapan yang telah
digariskan oleh Tau Rie’ A’rana (Tuhan YME)
kepada mereka melalui pasang. Temuan yang
terdapat di situs-situs di kawasan Kajang
meliputi: rumah tradisional, pagar batu, sumur,
batu pannurungang, batu temu gelang, batu
pemujaan, batu datar, batu pelantikan, batu
bergores, batu berlubang, menhir, dolmen, batu
dakon, dan makam, hutan adat, dan sebaran
Gambar 1. Peta Kecamatan Kajang Kabupaten keramik. Potensi sumber daya lingkungan fisik
Bulukumba Sulawesi Selatan situs dapat dilihat seperti sungai, sumur sebagai
potensi penyediaan air untuk kehidupan
HASIL DAN PEMBAHASAN manusia, hutan sebagai potensi tempat
Berdasarkan data hasil penelitian, penyelenggaraan upacara, penampang topografi
permukiman dapat didefenisikan sebagai situs berupa bukit sebagai sarana penyaluran
sebuah hasil gagasan, dan tindakan manusia konsep ideologi masyarakat yang berkaitan
yang dirancang sedemikian rupa sehingga dengan latar belakang kepercayaannya.
mencerminkan keputusan, pilihan, dan cara Diantara semua yang disebutkan di atas,
manusia melakukan adaptasi secara spesifik. apabila ditinjau dari segi konteks dan
Nilai, norma, kriteria, dan asumsi tertentu asosiasinya, menunjukkan satu kesatuan
dipergunakan dalam menentukan pilihan fungsional yang berciri dan berorientasi religi,
terhadap hal-hal yang terkait dengan lebih khusus lagi pemujaaan. Di samping fungsi
permukiman. Pilihan-pilihan tersebut dapat dan peranan dalam konteks hubungan antar-
digambarkan dalam skema sederhana temuan, terlihat pula bahwa kecenderungan
(Rapoport, 1986: 44-45). penilaian itu didasarkan pada keletakan dan
Pola yang terdapat pada permukiman orientasinya. Gagasan utama yang diperlihatkan
tradisional yang berlangsung mulai pada masa disini adalah adanya kesengajaan menempatkan
prasejarah berhubungan dengan kepercayaan keseluruhan temuan pada suatu tempat
yang dianut oleh pendukungnya. Hal ini ketinggian (puncak bukit) dengan orientasi
didasari oleh kepercayaan berupa kepercayaan mengarah pada mata angin (orientasi kosmis),
animisme dan kepercayaan dinamisme yang yaitu ke arah barat, suatu konsepsi yang lazim
mendominasi kehidupan pendukungnya, dalam tradisi masyarakat megalitik oleh karena
sehingga segala sesuatu yang berhubungan salah satu kepercayaan pada tradisi ini adalah
dengan permukiman seperti upacara dan ritus bahwa roh nenek moyang atau dewa
yang ada mengikuti aturan dalam kepercayaan bersemayam di puncak gunung, yang bagi suatu
mereka. Hal ini bisa dilihat melalui hasil masyarakat yang memiliki gejala ini
penelitian dari beberapa arkeolog yang mempersonifikasikan gunung dalam bentuk
mengkaji keletakan beberapa situs permukiman, mikro berupa bangunan teras berundak.
diantaranya Situs Megalitik Pasemah (Sumatera Fungsi situs dapat diketahui berdasarkan
Selatan) berkaitan dengan Gunung Dempo fungsi jenis temuan yang terdapat di dalamnya
(Hoop, 1932), Megalitik Cirebon dan Kuningan (artefak dan fitur), serta perilaku masyarakat

150
Kapata Arkeologi Volume 12 Nomor 2, November 2016: 147-162
pengguna temuan tersebut. Berdasarkan fungsi yang masih dapat diamati sampai sekarang,
dari artefak dan fitur sebagai data arkeologi menunjukkan bahwa keterkaitan manusia
dapat dikategorikan atas tiga yakni: 1). dengan gejala alam merupakan sesuatu yang
Teknofak, 2). Sosiofak, dan 3). Ideofak (Sharer terintegralistik dan tidak dapat dipisahkan satu
dan Ashmore, 1979: 59). Menurut Brian sama lain. Tinggalan yang berciri pemujaan
M.Fagan, bahwa berdasarkan fungsinya, maka pada situs megalitik di kawasan Kajang dapat
situs dapat dikategorikan sebagai situs dilihat dalam dua konteks, yaitu dalam konteks
pemukiman, situs pembantaian, situs perilaku (konteks sistem) dan konteks
penguburan, situs upacara keagamaan, situs arkeologi. Konteks perilaku, yaitu adanya
perdagangan, situs pertambangan, dan lain-lain kenyataan masih digunakannya beberapa media
(Fagan, 1985: 78). Berdasarkan hasil analisis artefak sebagai sarana upacara dan pemujaan
fungsi terhadap masing-masing jenis temuan sebagai aktualisasi diri bagi masyarakat yang
yang terdapat pada masing-masing situs di atas, masih mempercayai keampuhan dan
maka fungsi situs dapat diketahui. Bentuk atau keberkahan benda tersebut. Dalam hal ini media
karakter yang nampak di situs-situs di kawasan tersebut dijadikan sebagai tempat pemberian
Kajang dicirikan oleh tradisi Megalitik dan sesajian dan tempat upacara pelantikan. Elemen
Islam. situs yang berperan dalam hal ini adalah batu
Situs megalitik di kawasan Kajang datar, dolmen, batu pannurungang 2 , dan batu
memiliki ciri umum sebagai berikut: 1). Tata pelantikan. Konteks arkeologi, yaitu adanya
letak menempati area ketinggian, 2). Setiap kenyataan bahwa sebagian dari elemen tersebut
komponennya merupakan satu kesatuan tidak digunakan lagi yaitu batu bergores, dan
fungsional, dan 3). Berkaitan dengan menhir.
keletakannya, dapat dipastikan bahwa objek Perlakuan bernafaskan religi dan
digunakan dalam rangka aktivitas pemujaan pemujaan yang berlangsung pada situs-situs di
atau penghormatan kepada oknum tertentu, kawasan ini dalam bentuk pemberian sesaji
dalam hal ini tradisi megalitik yang muncul yang diletakkan di atas tumpukan batu/dolmen
setelah tradisi bercocok tanam mulai meluas, (altar) dengan harapan dapat terpenuhinya
tak ketinggalan terus menerus ikut menghayati maksud dan hasrat mereka. Sesaji adalah
corak budaya yang masuk ke Indonesia. Tradisi bentuk perilaku tertua yang masih dapat
megalitik meluas di Indonesia tidak lain disaksikan sampai sekarang. Maknanya adalah
disebabkan oleh adanya suatu proses migrasi sebagai simbol dan pernyataan tunduk dan
dan difusi budaya yang telah berlangsung patuh kepada “sesuatu” yang dipuja atau
sangat lama dan intensif. Menurut Soejono disembah yang wujudnya dapat berupa arwah
(1977: 278), dibeberapa tempat di Indonesia leluhur atau nenek moyang atau bahkan dewa.
masih dijumpai sebagian masyarakat Pada sebagian besar masyarakat Bugis-
menjalankan aktivitas prasejarah, hal ini Makassar, pernyataan taat dan tunduk pada
disebabkan letak pulau-pulau berserakan. Di individu-individu ini dapat dilihat sebagai
pihak lain ada beberapa daerah di mana hidup bagian dari sistem religi leluhur mereka yang
kepurbaan berlangsung terus bersamaan dengan disebut attoriolong (Bugis)/ pattauriolong
ciri-ciri masa yang paling baru, seperti tampak (Makassar). Masyarakat Bugis-Makassar masa
di kawasan Kajang saat ini. lampau juga percaya pada kekuatan gaib yang
Sisa-sisa tradisi megalitik di Indonesia datang dari dewa yang meliputi Dewa Langi’,
mempunyai daerah persebaran yang sangat luas Dewa MallinoE, dan Dewata SeuwaE sebagai
seperti di daerah Nias, Toraja, dan Flores dewa utama. Di samping itu, masih ada pula
khususnya Indonesia Timur (Geldern, 1945: kepercayaan masyarakat akan animisme dan
129). Pendapat ini diperkuat oleh Van Heekeren dinamisme. Menurut teori mengenai bersaji,
yang menyebutkan bahwa di beberapa tempat bahwa pada upacara seperti itu, manusia
di Indonesia tradisi megalitik masih menyajikan sebagian dari seekor binatang
berlangsung dan berkembang dengan baik terutama darahnya kepada dewa, kemudian
sampai sekarang (Heekeren, 1958: 73). Situs- memakan sendiri sisa daging dan darahnya,
situs megalitik di kawasan Kajang
menunjukkan adanya pergeseran fungsi dari 2Pannurungang=tempat turun. Oleh masyarakat setempat Batu
konteks masa lalu ke masa sekarang. Perilaku Pannurungang dianggap sebagai tempat turunnya Ammatoa 1.

151
Pola Permukiman Tradisional Kajang, Erni Erawati
oleh Robertson Smith dianggap sebagai suatu kamase-masea dan kawasan kuassayya. Jenis
aktifitas untuk mendorong rasa solidaritas situs dan fungsi dari masing-masing artefak di
dengan dewa. Dalam hal itu dewa atau para kawasan Kajang dijelaskan sebagai berikut :
dewa dipandang juga sebagai warga komunitas,
walaupun sebagai warga yang istimewa. Dalam Fungsi Situs di Kawasan Kamase-masea
contoh-contoh etnografis yang diajukan sebagai (Kajang Dalam)
ilustrasi dari gagasannya, Robertson Smith Di kawasan kamase-masea hanya
menggambarkan upacara bersaji sebagai suatu terdapat satu situs yakni Situs Tanah Toa. Kata
upacara yang gembira dan meriah tetapi juga “Tanah Toa” berarti “tanah tua” atau “tanah
keramat, dan tidak sebagai suatu upacara yang yang tertua.” Fungsi sakral adalah berkaitan
hikmad dan keramat (dalam Koentjaraningrat, dengan adanya temuan yang dipergunakan
1987:68). Berdasarkan pendapat tersebut, maka sebagai media pemujaan kepada Tau Rie
dapat disimpulkan bahwa upacara bersaji A’ra’na, seperti susunan batu temu gelang, batu
bukanlah dominasi bagi sekelompok etnik dan pannurungang, kompleks makam dan ku’buru
kawasan tetapi gejalanaya meluas di berbagai tunggalaka (makam tunggal). Sementara fungsi
kawasan dunia. profan merefleksikan fungsi situs sebagai
Perilaku yang memperlihatkan tanda- tempat berlangsungnya aktivitas keseharian
tanda religi di Indonesia telah ada pada masa dalam suatu permukiman atau situs habitasi.
prasejarah, yaitu masa mesolitik dengan Bukti-bukti sebagai situs permukiman adalah
konsepsi politeisme dan mencapai adanya kelompok rumah berbentuk seragam,
perkembangannya di masa neolitik dan logam pagar batu, sumur sebagai sarana pendukung
(perundagian) yang bersamaan dengan aktivitas rumah tangga, fragmen gerabah yang
tumbuhnya satu corak budaya yang religius berfungsi sebagai sarana aktivitas keseharian,
yaitu megalitik (pemujaan arwah leluhur) dan pembagian ruang atas petak-petak yang
(Soejono, 1976: 16). Jejak-jejak itu masih dapat mengindikasikan sebagai tempat untuk
disaksikan sampai sekarang di berbagai daerah membangun rumah, dan adanya pembagian
di Indonesia. Perubahan fungsi dan peranan kawasan hutan adat berdasarkan fungsinya.
bagi objek-objek pemujaan yang diperlihatkan Berdasarkan keragaman jenis dan fungsi
situs-situs megalitik yang terdapat di kawasan temuan menunjukkan bahwa Situs Tanah Toa
Kajang dasarnya bersumber dari kenyataan mempunyai empat fungsi yaitu: 1) Sebagai situs
bahwa tidak ada satu pun kebudayaan di dunia pemujaan atau situs upacara, 2) Situs pelantikan
yang terbebas intervensi dari luar lingkunganya, pemimpin di bidang spiritual, 3) Situs
seketat apapun pranata itu dipelihara dan permukiman yang di dalamnya berlangsung
diawasi. Jadi adanya pergeseran fungsi harus berbagai aktivitas kehidupan baik yang bersifat
dilihat sebagai suatu konsekuensi logis, profan maupun sakral, dan 4) Situs makam.
meskipun pada substansinya tetap ada yaitu Bahkan fungsi situs sebagai tempat
penggunaan media sebagai sarana aktualisasi bermukimnya masyarakat yang masih
diri dalam berhubungan dengan oknum yang menjalankan secara ketat ajaran pasang yang
disembah atau dipuja. diwariskan nenek moyang mereka, sebagai
Situs Islam di kawasan Kajang memiliki tempat bermukimnya Ammatoa yang berperan
ciri umum sebagai berikut: 1) Berada pada sebagai pemimpin keagamaan, sumber
tempat ketinggian, 2) Terdapat keberlanjutan ketentuan adat, dan adanya pembagian fungsi
dan perpaduan budaya, 3) Setiap komponennya ruang kawasan hutan adat, yaitu ruang yang
merupakan satu kesatuan, 4) Berkaitan dengan berfungsi sosial dan befungsi sakral. Fungsi
keletakannya, dapat dipastikan bahwa objek sosial sebagai simbol pemersatu masyarakat
ditujukan untuk penghormatan kepada oknum atau kesatuan adat, dan fungsi sakral sebagai
tertentu, 5) Terdapat dua orientasi makam tempat pelantikan Ammatoa dan pelaksanaan
dalam satu kompleks makam, 6) Pada nisan upacara adat berfungsi sebagai pusat
umumnya tidak terdapat tulisan sebagai pelaksanaan segala macam upacara ritual,
penanda siapa yang dimakamkan. menyebabkan masyarakatnya memandangnya
Fungsi dan kedudukan situs-situs di sebagai suatu tempat yang sakral. Dengan
kawasan Kajang akan dijelaskan berdasarkan demikian dalam kehidupan masyarakat, nampak
pembagian kawasan adat, yakni kawasan dengan jelas batas antara ruang yang sakral dan

152
Kapata Arkeologi Volume 12 Nomor 2, November 2016: 147-162
ruang profan sangat jelas. Jenis upacara yang (rapat sawah) untuk menentukan giliran
dilaksanakan berkaitan dengan keagamaan berikutnya dalam pengolahan sawah,
Patuntung seperti apparuntu’ pangnganro merupakan upacara pertemuan yang selalu
(upacara doa) atau mange ri tau salama’ ---- dilakukan menjelang musim tanam berikutnya;
ku’buru tunggalaka (pergi atau ziarah ke orang 3) Upacara addingigngi yaitu upacara doa
yang selamat). Upacara tersebut dilangsungkan bersama di hutan suci untuk mendinginkan atau
sekali tiga atau tujuh tahun dan biasanya sebelum ada musibah. Upacara yang dilakukan
dilakukan bagi mereka yang telah berusia 40 meskipun secara besar-besaran tetapi tidak
tahun ke atas. Tempat dilakukan upacara ialah melibatkan banyak orang, sehingga tidak
di hutan suci Tombolo yang disebut borong membutuhkan ruang yang luas untuk dapat
ilau’ atau pa’rasangang ilau (hutan atau tempat menampung peserta upacara, dan terjangkau
di timur) di mana terdapat rumah mula (akapo oleh banyak orang. Oleh karena itu, dicari
atau batu pannurungang), kuburan sajang tempat disekitar permukiman yang
(ku’buru tunggalaka) atau tau salamaka atau memungkinkan untuk hal tersebut. Adanya
tempat Bohe Amma (Ammatoa I menghilang), aturan adat yang menentukan dimana upacara
dan sebuah sumur suci. Upacara ini dipimpin pelantikan Ammatoa dan upacara a’nganro
langsung oleh Ammatoa. pa’ransangang ilau harus diadakan, karena
Berdasarkan hasil wawancara dan kawasan Tanah Toa dianggap sama dengan
perbandingan dengan data etnografi, yaitu struktur perkampungan yaitu sebagai
berupa pola perkampungan tradisional yang perkampungan kecil (mikrokosmos) ketika
masih berlangsung dalam masyarakat di berlangsungnya suatu upacara di tempat
sekitarnya, nampak bahwa letak bangunan tersebut. Fungsi upacara di tempat tersebut,
sakral di dalam kawasan kamase-masea adalah: salah satu syarat agar arwah para
posisinya berada di tempat ketinggian, pemimpin dapat “selamat” dan diterima oleh
dikelilingi oleh kawasan hutan adat dan Tau Rie’a A’ra’na, serta keselamatan dan
bangunan perumahan penduduk pada kesejahteraan bagi masyarakat, sebagai simbol
umumnya. Kawasan Situs Tanah Toa berfungsi ketentuan adat dan legitimasi kekuasaan bagi
sebagai pusat pemerintahan adat, dan juga pimpinan adat tertinggi (Ammatoa), sebagai
sebagai tempat pelaksanaan upacara adat dan sarana untuk mempererat persaudaraan, sarana
sebagai simbol pemersatu keluarga dan komunikasi antara pemimpin dengan Tau Rie
kesatuan adat. A’ra’na, dan sebagai simbol kebersamaan
Adanya batu pannurungang yang dalam bentuk gotong royong.
dianggap sebagai tempat turunnya manusia I Menurut orang Kajang, hutan adat tidak
(Bohe Amma/Ammatoa I) di Kajang, dan bisa diganggu gugat, karena merupakan amanah
ku’buru tunggalaka (makam tunggal) sebagai dan pusaka leluhur mereka. Hutan menurut
tempat menghilangnya Bohe Amma/Ammatoa pasang digolongkan menjadi tiga kategori,
I, di dalam kawasan hutan adat menjadikan yaitu: 1) Hutan keramat (borong karama’ ),
kawasan hutan adat ini diartikan sebagai tempat hutan ini tidak boleh dimanfaatkan dengan
yang suci dan sakral/keramat pada Situs Tanah alasan apapun karena dianggap keramat, 2)
Toa dan di kawasan Kajang. Jenis upacara yang Hutan produksi terbatas (borong battasayya),
dilakukan pada situs ini ialah: 1) upacara- merupakan hutan yang isinya dapat
upacara yang berkenaan dengan kepemimpinan dimanfaatkan secara terbatas untuk upacara-
masyarakat adat seperti pengukuhan Ammatoa, upacara adat saja, dan 3) Hutan tebangan
2) Upacara-upacara yang berkenaan dengan (borong tattakang), merupakan hutan milik atau
tanaman, terutama tanaman jagung dan padi: hutan yang pengelolaannya diserahkan kepada
tatacara upacara berkenaan dengan bibit sampai masyarakat, tetapi tetap dikontrol oleh
penanaman dan penyimpanannya. Apabila padi pemangku adat Kajang atas suruhan Ammatoa.
sakit (garring) karena di makan tikus, maka Sistem tata ruang hutan (fores mapping) di
Ammatoa memimpin suatu upacara doa yang kawasan Kajang disesuaikan dengan aturan
disebut akaharu di hutan suci. Untuk mengusir yang terdapat dalam pasang, yang berbunyi
penyakit hewan diadakan sesajian di atas sebagai berikut:
tompong (tonggak bambu yang di atasnya Iyamintu boronga riada’a tabbage ruwai,
berbentuk sangkar). Upacara a’borong galung borong tattakang nakulle niera nitabbang

153
Pola Permukiman Tradisional Kajang, Erni Erawati
kajunna, naborong karama’ nilaranga stone), batu pemujaan, batu berlubang, dolmen,
nitabbang sambarang. batu pelantikan, batu bergores, menhir, batu
Artinya: dakon dan makam Rangka’na dan Bannenna
Sesungguhnya hutan secara adat terbagi sebagai makam pra-Islam. Sedangkan situs
dua: hutan tebangan yang bisa ditebang dan Islam terdapat di Desa Lembang Lohe (Situs
hutan keramat yang dilarang untuk ditebang Tonteng Daeng Mattarang), Kelurahan Tanah
sembarangan kayunya. Jaya (Situs Dea Daeng Lita, Situs Karaeng Cidu
Dengan dasar aturan pasang ini, Daeng Mattarang, Situs Boto Daeng Pabeta,
pembagian wilayah hutan di Kajang meliputi: Situs Tobo Daeng Marappo), Desa Lembanna
1). Hutan di sebelah timur (borong ilau), terdiri (Situs Lembanna, Situs Janggo Tujarra, Situs
atas Hutan Tombolo (Tanatoa II), Hutan Mattu Daeng Pahakang), Desa Tanah Eja (Situs
Karanjang (Tanatoa III), dan Hutan Tode To Salama’ Rijallayya), Desa Lembang (Situs
(Tanatoa IV), 2). Hutan di sebelah barat Kambangtia), Desa Lembang Lohe (Situs
(borong iraja) terdiri atas Hutan Puang Liong), dan di Desa Bonto Biraeng
Tupolo/Balannipa dan Parukku, Pa’lengkerang (Situs Karaeng Sangkala Lombok).
Uhea dan Pa’kombengan Doang (Tanatoa I), Situs Possi Tana merupakan situs
3). Hutan produksi terbatas (borong batasayya), Megalitik, mempunyai fungsi sebagai: 1).
masih termasuk hutan Tanatoa I. III, dan IV, tempat pelantikan karaeng yang dianggap
dan 4). Hutan tebangan (borong tattakang) di sebagai unsur pemerintah, 2). tempat melepas
luar dari kedua bentuk hutan di atas. nasar dan 3). tempat melakukan upacara
Dari uraian di atas, fungsi dari masing- agnganro ri sapo (doa di rumah). Upacara ini
masing artefak yang terdapat di Situs Tanah diadakan bila terjadi musibah yang menyeluruh
Toa, maka Situs Tanah Toa dapat dikatakan di bidang pertanian, demikian juga bila segala
sebagai situs Megalitik sekaligus situs Islam usaha di bidang pertanian mendatangkan hasil
yang berlanjut dan digunakan hingga saat ini. yang memuaskan maka diadakan pesta panen di
Sebagai situs Megalitik, ditandai dengan sapo. Temuan berfungsi sebagai sarana dalam
adanya batu pannurungang, batu temu gelang, pelaksanaan upacara yang khusus ditujukan
dan ku’buru’ tunggalaka (makam tunggal) yang kepada Tau Rie’a A’ra’na dan Pu’Tamparang.
terletak didalam hutan keramat. Sebagai situs Upacara yang dilakukan di Situs Possi Tana ini
Islam ditandai dengan adanya kompleks makam dipimpin oleh anrong. Berdasarkan
dengan tidak menjadikan orientasi makam perbandingan dengan pola perkampungan yang
utara-selatan sebagai “penanda” makam Islam, berada di luar kawasan Kajang , nampak bahwa
sebab dari informasi yang diperoleh, dan letak bangunan sakral posisinya selalu berada di
kenyataan di lokasi penelitian memperlihatkan tempat ketinggian dan dikelilingi oleh
bahwa selain orientasi makam utara-selatan bangunan rumah penduduk. Letak Situs Possi
juga di terdapat makam dengan orientasi timur- Tana berada di sebelah timur Kawasan Kajang
barat didalam kompleks makam yang sama. dan lebih tinggi dari situs-situs lain, seperti
Menguburkan mayat dengan orientasi makam Situs Anrong Guru Lagoppo, Situs Dea Daeng
timur-barat masih dilakukan hingga saat ini, Lita, Situs Mattutu Daeng Pahakang dll. Hal ini
meskipun yang di makamkan sudah menganut sesuai dengan ketentuan ajaran pasang bahwa
agama Islam. tempat berlangsungnya upacara berkaitan
dengan upacara a’nganro pa’rasangang ilau
Fungsi Situs di Kawasan Kuassayya (Kajang harus selalu berada di sebelah timur. Sedangkan
Luar) ketinggian selalu berkaitan dengan adanya
Berdasarkan fungsi jenis temuan yang anggapan bahwa tempat tersebut lebih sakral,
terdapat di setiap situs di kawasan kuassayya, terutama karena digunakan untuk jenis upacara
maka penulis mengkategorikan situs di kawasan penyembahan kepada Tau Rie’ A’ra’na yang
kuassayya sebagai situs Megalitik dan situs kedudukannya paling tinggi dalam rangkaian
Islam. Situs Megalitik terdapat di Desa upacara.
Mattonging (Situs Possi Tana), dan di Desa Nama “Possi Tana” berasal dari kata
Bonto Biraeng (Situs Anrong Guru Lagoppo). “possi” artinya pusat dan “tana” artinya
Di kedua situs Megalitik tersebut terdapat tanah/tempat. Dengan demikian, penamaan
artefak berupa batu temu gelang, batu datar (flat Possi Tana yang berarti pusat tanah atau pusat

154
Kapata Arkeologi Volume 12 Nomor 2, November 2016: 147-162
jagad merupakan penjelmaan penghormatan guru” merupakan gelar yang diberikan kepada
manusia terhadap bumi sebagai sumber segala salah satu pemangku adat dalam ada’ limayya
kehidupan. Hal ini sesuai dengan salah satu karaeng tallua. Adanya perubahan kata anrong
fungsi temuan yang ada di tempat tersebut yaitu menjadi onrong, dapat dimengerti oleh karena
pagar batu yang oleh penduduk disebut Possi daerah Bonto Biraeng tempat beradanya Situs
Tanayya. Jenis upacara yang dilakukan di Anrong Guru Lagoppo merupakan daerah
tempat ini adalah upacara yang berkaitan peralihan penggunaan bahasa Makassar dialek
dengan kesuburan dan kesejahteraan Konjo dengan bahasa Bugis.
masyarakat yang melibatkan unsur pemerintah. Dari riwayat penamaan situs dapat
Dahulu upacara dilakukan secara besar-besaran diketahui bahwa Situs Anrong Guru Lagoppo
dengan melibatkan banyak orang sehingga bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan akan
membutuhkan tempat yang dapat menampung religi. Dari segi fungsi, maka Situs Anrong
dan terjangkau oleh banyak orang. Oleh karena Guru Lagoppo berperanan dalam memediasi
itu, dicari tempat di sekitar permukiman yang kebutuhan religi masyarakatnya, yaitu sebagai
memungkinkan untuk kebutuhan tersebut. wahana perantara antara komunitas manusia
Fungsi upacara yang dilakukan di tempat dengan roh atau dewa yang disembah. Hal ini
tersebut, adalah sebagai simbol kesejahteraan sangat beralasan oleh karena pada masa itu
dan keselamatan bagi keturunan, salah satu masyarakat belum menganut agama Islam.
syarat bagi pimpinan adat limaya karaeng tallua Dalam perkembangan selanjutnya, fungsi dan
untuk dilantik di Possi Tana, sebagai simbol peranan obyek ini bergeser, ketika agama Islam
status sosial dan legitimasi kekuasaan, sebagai masuk di daerah tersebut. Masuknya agama ini
sarana untuk mempererat tali persaudaraan, tidak secara langsung membawa perubahan,
sarana komunikasi antara pemimpin dengan terutama sekali dari segi perilaku atau
rakyatnya, dan sebagai simbol kebersamaan kebiasaan-kebiasaan dari masa sebelumnya.
dalam bentuk gotong royong. Dengan demikian Pergeseran fungsi terlihat pada opini dan
Situs Possi Tana selain tempat melaksanakan asumsi masyarakat bahwa benda yang terdapat
upacara pemujaan sebagai tanda ucapan syukur pada tempat (situs) itu memiliki kekuatan
kepada para dewa yang telah memberikan sehingga dianggap sebagai benda yang keramat,
kesejahteraan dan keselamatan hidup, juga dan secara psikologis dapat mempengaruhi
berfungsi sebagai tempat pelantikan karaeng manusia. Pada tingkat inilah obyek tersebut
yang dianggap sebagai unsur pemerintah. mengalami perubahan sebagai obyek atau
Situs Anrong Guru Lagoppo dapat sarana untuk memohon dan meminta sesuatu
dikategorikan hanya sebagai tempat untuk yang berlangsung sampai sekarang, meskipun
melaksanakan upacara pemujaan. Jenis upacara bagi mereka menganggap bahwa media tersebut
yang dilakukan pada situs ini adalah upacara hanya sebagai perantara.
yang bentuknya sederhana pada waktu-waktu Keberadaan situs Islam di kawasan
tertentu seperti sehabis panen atau waktu-waktu kuassayya ditandai dengan adanya makam-
luang lainnya dengan membawa sesajian untuk makam kuno yang terdapat di 13 kompleks
dipersembahkan kepada Tau Rie’a A’Ra’na. makam. Keberadaan makam-makam kuno
Tujuan upacara yang dilakukan adalah tersebut memperlihatkan akan adanya aspek
penyampaian rasa syukur kepada Tau Rie’a sosial, aspek politik, aspek ideologi dan aspek
A’Ra’Na yang telah memberikan kesejahteraan teknologi yang telah berkembang dalam waktu
dan keselamatan hidup, keberhasilan panen, dan yang cukup lama di kawasan kuassayya dan
terhindar dari bahaya wabah penyakit. Kata melahirkan kelompok masyarakat yang amat
Anrong Guru Lagoppo berasal dari kata kompleks. Dari bentuk makam dan nisan
“anrong” (bahasa Makassar) berarti induk atau terlihat adanya kesinambungan budaya antara
sumber. Namun ada pula yang mengartikan budaya pra-Islam dengan budaya Islam di
bahwa kata anrong berasal dari kata “onrong” wilayah kuassayya ini. Tradisi lokal yang masih
(bahasa Bugis) yang berarti tempat. Apabila dipegang teguh oleh masyarakat masih
kata anrong (onrong) ditambahkan kata “guru” berlangsung hingga sekarang. Hal tersebut tak
(pemberi amalan), maka akan berarti tempat bisa dipungkiri karena proses Islamisasi pada
orang meminta dan memohon sesuatu. daerah Bulukumba mendapat kelonggaran oleh
Pengertian ini dapat diterima karena “anrong Datuk ri Tiro sehingga siklus hidup pra-Islam

155
Pola Permukiman Tradisional Kajang, Erni Erawati
masih berlangsung (Sewang, 2005: 97). Unsur lokal yang dimaksud adalah
Keberlanjutan budaya antara budaya Megalitik penggunaan menhir sebagai nisan yang
dengan budaya Islam di kawasan kuassayya diadopsi dari kebudayaan sebelum Islam.
dapat dilihat antara lain pada prosesi Adanya peranan menhir yang meliputi kurun
pemakaman, orientasi makam, bentuk nisan dan waktu cukup lama, sehingga tidak
jirat makam. Keberlanjutan budaya Megalitik mengherankan jika terjadi perkembangan pada
ke budaya Islam nampaknya lebih condong ke bentuk dan fungsi menhir itu sendiri (Sukendar
budaya lokal yang telah berkembang di Kajang. dalam Wiyana, 2008: 311). Fungsi menhir
Pemberian tanda berupa menhir pada masa sebelum adanya Islam adalah sebagai petanda,
prasejarah dan nisan pada masa Islam, secara sedangkan pemberian tanda pada penguburan
prinsip mempunyai kesamaan, yaitu sebagai Islam merupakan salah satu sunnah.
tanda adanya penguburan. Adanya kesamaan Sebagaimana hadits yang diriwayatkan
ini menimbulkan suatu pemanfaatan fungsi, Akhmad dan Muslim, "disunahkan memberi
terutama dari fungsi bentuk sebagai tanda kubur tanda kubur dengan batu atau tanda lain pada
pada masa Islam (Wiyana, 2008: 311). bagian kepala." Pemberian tanda berupa
Sehingga hal tersebut menghasilkan suatu menhir pada masa prasejarah dan nisan pada
dinamika budaya pada daerah Kajang. Menurut masa Islam secara prinsip mempunyai
Rosmawati (2013) bahwa tampilan makam kesamaan, yaitu sebagai tanda adanya
berkaitan erat dengan budaya setempat, penguburan (Wiyana, 2008: 311). Adanya
terutama aspek sosial. Aspek-aspek sosial yang kesamaan ini menimbulkan suatu pemanfaatan
mempengaruhi wujud makam adalah status fungsi, yaitu sebagai tanda kubur meskipun
sosial, peranan semasa hidup, jenis kelamin dan mengalami perubahan bentuk, awalnya
umur. sederhana pada masa prasejarah kemudian
Kebudayaan Islam di Sulawesi Selatan diperhalus pada masa Islam.
telah mengalami perkembangan dari masa ke Dalam perjalanannya, fenomena
masa. Pada awal Islamisasi abad 16 Masehi, kebudayaan Islam telah mengalami perubahan
tampilan makam dipengaruhi oleh budaya dan perkembangan. Oleh karena itu, setiap
Melayu yang menekankan kesederhanaan kebudayaan di suatu daerah berbeda-beda dari
sesuai dengan ajaran Islam. Kemudian abad 17 zaman ke zaman. Perubahan tersebut terjadi
Masehi muncul budaya lokal yang telah karena adanya kontak dengan kebudayaan lain.
berakulturasi dengan budaya Islam Melayu. Hubungan tersebut mengakibatkan terjadinya
Abad 18 Masehi budaya lokal semakin kuat akulturasi antara kebudayaan pra-Islam dengan
dalam proses Islamisasi dengan menonjolkan Islam (Rosmawati, 2013: 475). Tinggalan
unsur-unsur budayanya, dan abad 19 Masehi arkeologi Islam telah banyak terjadi
budaya lokal telah menjadi kebudayaan Islam percampuran budaya, baik budaya lama
di kawasan tersebut dengan menggunakan maupun budaya baru. Pada masa prasejarah
unsur-unsur budaya Megalitik yang kuat terdapat tinggalan tradisi megalitik berupa
(Rosmawati, 2013: 469). menhir yang kemudian pada masa Islam
Proses masuknya Islam di Sulawesi mempengaruhi tinggalan arkeologi Islam.
Selatan mempengaruhi bentuk makam, orientasi Menhir yang digunakan sebagai medium untuk
makam, penggunaan nisan dan jirat serta hiasan memperingati orang yang telah mati, kemudian
pada makam. Seperti yang kita ketahui bahwa dijadikan sebagai petanda (nisan) bagi orang
sebelum adanya agama Islam, telah ada yang telah mati di masa Islam. Penggunaan
kepercayaan-kepercayaan leluhur yang menjadi menhir sebagai nisan tidak terlepas dari
pegangan hidup masyarakat pada waktu itu. kebudayaan pra-Islam. Dalam prespektif
Begitu pula dengan kepercayaan yang kebudayaan, sebelum Islam masuk ke suatu
melatarbelakangi penggunaan nisan dengan daerah, telah lahir berbagai bentuk kepercayaan
memiliki unsur lokal yang kuat. Unsur lokal yang dalam praktek (Wiyana, 2008: 311).
berkembang pesat sebelum adanya agama Islam ritualnya memiliki perbedaan antara satu daerah
sehingga ketika Islam telah ada, masih terdapat dengan daerah lainnya. Pemahaman masyarakat
budaya lokal yang berpadu dengan budaya terhadap suatu zat yang diyakini memelihara
Islam. dan melindungi umat manusia juga tercermin
melalui peristilahan seperti Dewata. Hal itu

156
Kapata Arkeologi Volume 12 Nomor 2, November 2016: 147-162
dimungkinkan karena ketika itu, pemahaman berkembang sebelumnya yakni pra Islam,
masyarakat tentang alam dan penciptanya sehingga nampak adanya dinamisasi budaya.
sebatas pengetahuan dari pengalaman hidupnya Dinamisasi budaya di kawasan Kajang nampak
dalam mengabdikan diri dengan alam. Tradisi dengan adanya bentuk makam Islam denngan
pendirian bangunan megalitik selalu tradisi pra Islam ditonjolkan, antara lain dapat
berdasarkan pada kepercayaan akan adanya dilihat pada bentuk nisan, orientasi makam,
hubungan antara yang hidup dengan yang mati, serta perilaku masyarakat terhadap makam.
terutama kepercayaan akan adanya pengaruh Data makam kuno yang terdapat di situs-
kuat dari yang telah mati terhadap situs di kawasan Kajang dalam pelaksanaannya,
kesejahteraan masyarakat dan kesuburan terlihat akan adanya wujud pengaruh konsepsi
tanaman (Soejono, 1993: 205). Dengan kata pra Islam yang berkembang dan berlanjut
lain, pada tradisi megalitik mereka percaya sampai sekarang, seperti yang nampak pada
akan adanya pengaruh dari orang yang telah empat situs di kawasan Kajang yakni di Situs
mati terhadap yang masih hidup. Hal tersebut Ammatoa, Situs Possi Tana, Situs Tonteng
tidak jauh berbeda didalam pasang yang dianut Daeng Mattarang, dan di Situs Karaeng
oleh komunitas Ammatoa. Mereka percaya Sangkala Lombok. Di Situs Ammatoa, Situs
bahwa dengan melakukan amalan pasang di Tonteng Daeng Mattarang, dan di Situs
dunia maka ketika diakhirat akan mendapat Karaeng Sangkala Lombok terdapat dua
sesuai dengan yang dilakukan. Sikap terhadap orientasi makam dalam kompleks makam,
alam kehidupan sesudah mati yang yakni orientasi utara selatan dan timur barat,
mempercayai bahwa roh seseorang tidak lenyap sedangkan makam di Situs Possi Tana
begitu saja saat orang meninggal, melainkan berorentasi timur barat. Lokasi keberadaan
mempunyai kehidupan di alamnya tersendiri makam di empat situs tersebut terletak pada
sesudah meninggal. tempat ketinggian. Penempatan makam pada
Berdasarkan orientasi makam yang tempat ketinggian cenderung dipengaruhi oleh
terdapat pada setiap situs di kawasan konsepsi yang berkembang sebelum datangnya
kuassayya, maka dibuat dua kategori situs pengaruh Islam. Konsep kepercayaan yang
makam yaitu; situs makam pra-Islam dan situs menganggap tempat yang lebih tinggi dari
makam Islam. Keberadaan makam kuno dalam lokasi bermukim, selain sebagai tempat
jumlah banyak memperlihatkan akan adanya bersemayam arwah leluhur juga memudahkan
aspek sosial, aspek politik, aspek ideologi, dan roh si mati dalam memantau anak cucu mereka.
aspek teknologi yang telah berkembang dalam Nampaknya dasar kepercayaan tersebut yang
waktu yang cukup lama. Selain itu, makam- melatar belakangi penempatan bangunan
makam kuno yang terdapat di kawasan Kajang makam pada tempat ketinggian sehingga
memberikan gambaran terciptanya kelompok nampak adanya penyesuaian konsep pra Islam
masyarakat yang amat kompleks. dan konsep Islam. Perkembangan tradisi pra
Pada dasarnya penguburan merupakan Islam di Indonesia dan Pasifik menunjukkan
salah satu wujud aktivitas manusia dalam adanya kontinuitas dalam perkembangan serta
merawat mayat segera setelah kematian terjadi. mengadakan penyesuaian dengan arus budaya
Dapat pula dikatakan merupakan salah satu yang berkembang kemudian (Soejono, 1989:
kegiatan sosial manusia dalam memindahkan 227).
mayat dari lingkungan orang yang masih hidup Dijadikannya kuburan sebagai kuburan
ke lingkungan di mana mayat akan keramat, dan pada waktu tertentu diadakan
dimakamkan. Pelaksanaannya dilakukan secara upacara ritual pada makam tersebut, secara
terpola sesuai dengan pranata kelakuan tertentu tidak langsung mencerminkan adanya sistem
serta didasarkan pada kebudayaan masyarakat organisasi politik. Orang yang dikubur
pendukungnya, misalnya pada masyarakat yang dianggap telah berjasa pada masyarakat semasa
berkebudayaan Islam dalam sistem perilaku hidupnya, sehingga cara untuk mengenang jasa
penguburannya, tentunya mengikuti konsep dan mereka dengan cara melakukan upacara ritual
tata cara penguburan Islam yang dicirikan oleh pada tempat penguburannya. Aktivitas
bentuk makam dengan orientasi utara selatan. semacam ini masih sering terjadi pada makam
Akan tetapi tidak jarang pula bentuk makam tunggal (ku’buru’ tunggalaka) di Situs
masih banyak diwarnai oleh konsep tradisi yang Ammatoa, makam Rangka’na dan makam

157
Pola Permukiman Tradisional Kajang, Erni Erawati
Bannenna di Situs Possi Tana, makam Karaeng makam ditemukan pada delapan tempat yang
Tonteng Daeng Mattarang, makam Tosalama berbeda, yaitu terletak di bagian selatan, timur,
Rijallayya, makam Sugi Daeng Manontong dan dan barat permukiman. Makam yang terdapat di
pada makam Karaeng Sangkala Lombok. bagian selatan (kawasan kuassayya) disebut
Kematian merupakan suatu keadaan yang sebagai kompleks makam para bangsawan,
tidak merubah kedudukan sosial seseorang begitu juga dengan keberadaan makam dibagian
dalam proses peralihan dari dunia nyata ke selatan disebut sebagai makam Rangka’na dan
dunia arwah. Nampaknya konsep ini masih Bannenna (kawasan kuassayya). Sedangkan
tetap dipertahankan pada bentuk makam. makam yang terdapat dibagian barat disebut
Bentuk makam masih memperlihatkan adanya kompleks makam Tanah Toa dan makam
variasi tipe yang menonjol. Sebagian makam tunggalaka (makam tunggal) (kawasan kamase-
dibuat dari susunan papan batu andesit dengan masea). Ketiga lokasi makam di kawasan
bentuk nisan tertata, sebagian dilengkapi Kajang ini merupakan representasi dari
hiasan. Sementara bentuk makam lainnya hanya pembagian perkampungan yang terdapat di
dibuat dari batu-batu panjang dan ujungnya kawasan Kajang berdasarkan pasang.
ditanam dalam bentuk sederhana. Meskipun Pembagian tersebut tercipta berdasarkan dari
dalam konsep Islam penguburan seperti ini kebiasaan memakamkan seseorang disekitar
tidak dianjurkan tetapi konsep dasar yang huniannya.
berkembang yakni konsep pra Islam merupakan Berdasarkan letak dari ketiga makam
unsur pokok dan tetap berpengaruh dalam tersebut dan informasi yang diperoleh dari
prosesi pemakaman. Jadi telah terjadi sistem beberapa masyarakat bahwa di kawasan Kajang
stratifikasi sosial yang sangat ketat dimana terdapat 3 penamaan tempat atau toponim
manusia dalam hidupnya memiliki derajat yang hunian yang berbeda yaitu: Tanah Toa
tinggi, maka bentuk makam mereka setelah (Benteng), Possi Tana (Bongki), dan Tanah
mati harus pula mencerminkan derajatnya Lohea.
sewaktu masih hidup. Hal seperti ini masih
tetap berlanjut sampai sekarang dan bahkan 1. Tanah Toa (Benteng)
masih terdapat makam di kawasan Kajang Tanah Toa terletak ditengah-tengah
dijadikan sebagai tempat pelaksanaan upacara kawasan Kajang, yang dikelilingi oleh desa-
ritual oleh masyarakat setempat. desa yang masih berada dalam wilayah
Kecamatan Kajang yakni bagian utara
Ruang dalam Permukiman di Kawasan berbatasan dengan Desa Batunilamung, bagian
Kajang selatan berbatasan dengan Desa Bontobaji, di
Berdasarkan letak temuan di setiap bagian barat berbatasan dengan Desa Pattiroang
situs di kawasan Kajang, dan fungsi masing- serta pada bagian timur berbatasan dengan Desa
masing temuan dari setiap situs, maka Malleleng. Selain itu, Desa Tanah Toa juga
pembagian ruang permukiman di kawasan dibatasi oleh empat sungai kecil yang dijadikan
Kajang dapat dibagi sebagai berikut: batas alam untuk memisahkan kawasan adat
berdasarkan fungsi dan hierarkinya. Keempat
Ruang Hunian sungai tersebut yaitu; Sungai Limba di bagian
Ruang hunian pada permukiman di timur, Sungai Doro di bagian barat, Sungai Tuli
kawasan Kajang terdapat di dua wilayah adat di bagian utara dan Sungai Sangkala di bagian
yakni di kawasan kamase-masea dan kawasan barat. Keempat sungai inilah yang dijadikan
kuassayya. Ruang hunian di kedua kawasan pembatas kawasan adat yakni: kawasan
adat tersebut ditandai dengan adanya temuan kamase-masea disebut juga dengan istilah
pagar batu, sumur, dan keramik (keramik lokal ilalang embayya dan kawasan kuassayya
(gerabah) dan keramik asing), kompleks disebut juga dengan istilah ipantarang
makam. Pagar batu berfungsi sebagai batas embayya. Kedua istilah ini digunakan oleh
halaman rumah dengan jalan. Sebaran fragmen masyarakat untuk mendefenisikan keberadaan
gerabah dapat dijumpai disetiap halaman rumah ekositemnya dengan segala karakteristik khas
yang terdapat di dalam pagar batu (Situs yang mereka miliki.
Ammatoa), di Situs Possi Tanah. Kompleks

158
Kapata Arkeologi Volume 12 Nomor 2, November 2016: 147-162
Kawasan kamase-masea terutama di
Dusun Benteng Desa Tanah Toa merupakan 2. Possi Tana (Bongki)
hunian masyarakat yang menganggap dirinya Possi Tana (Bongki) merupakan sebutan
masih turunan tau kentarang (turunan perkampungan yang berada pada bagian timur
Ammatoa). Umumnya masyarakat masih kawasan Kajang. Sebutan “Bongki” digunakan
menganut ajaran patuntung, dan masih oleh masyarakat merujuk kepada artefak yang
mengikuti ajaran pasang secara ketat. Di Tanah terkonsentrasi di atas bukit Bongki (lihat
Toa (Dusun Benteng) ini terdapat temuan lampiran peta estimasi situs). Daerah
dengan fungsi sakral dan profan. Temuan yang permukiman/ hunian masyarakat berada dikaki
berfungsi sakral adalah batu pannurungang, bukit Bongki. Masyarakat yang menghuninya
makam (ku’buru’ tunggalaka dan kompleks adalah masyarakat yang mengangap dirinya
makam), sumur (sumur tomanurung dan sumur turunan gallarang (lihat lampiran struktur
jodoh), kawasan hutan. Temuan yang berfungsi geneologis orang Kajang), mereka pada
profan adalah pagar batu, kelompok rumah umumnya pejabat yang bertugas untuk
dengan ciri tersendiri, fragmen keramik lokal membantu Ammatoa dalam berhubungan
(gerabah), kawasan hutan , dan sumur (sumur dengan masyarakat di luar wilayah kamase-
tunikeke, dan sumur bersebelahan). Sebaran masea. Bukti keberadaan hunian ditandai
fragmen gerabah ditemukan didalam pagar dengan temuan yang berfungsi sakral dan
batu, sedangkan makam terdapat di dua lokasi profan. Temuan berfungsi sakral ditandai
yakni didalam hutan keramat yang berada dengan adanya makam Rangka’na dan
dibagian barat permukiman (makam tunggal/ Bannenna yang dianggap sebagai turunan
ku’buru’ tunggalaka), dan di bagian selatan bangsawan dari Luwu, batu temu gelang,
permukiman warga Dusun Benteng (Kompleks dolmen, batu dakon dan batu bergores, batu
makam Tanah Toa). Makam tunggal (ku’buru’ datar, batu pelantikan, sumur yang digunakan
tunggalaka) merupakan makam Ammatoa 1 oleh masyarakat untuk keperluan ritual, dan
yang disebut Bohe Amma, sedang kompleks keramik (gerabah dan keramik asing).
makam Tanah Toa merupakan kompleks Keberadaan keramik asing di kawasan
makam masyarakat Dusun Benteng. Sumur kuassayya menunjukkan bahwa masyarakat
terdapat di dua lokasi yakni dibagian barat sekitarnya sudah mengadakan hubungan
didalam hutan keramat, dan dibagian utara dengan masyarakat luar.
sebelum permukiman warga.

Gambar 2. Distribusi Situs Kawasan Kajang


(Sumber: Peta Bapeda Kab. Bulumba dimodifikasi oleh Penulis, 2016)

159
Pola Permukiman Tradisional Kajang, Erni Erawati
3. Tanah Lohea 1) Ruang pelantikan pemimpin adat di bidang
Sebutan Tanah Lohea digunakan untuk spritual (pelantikan Ammatoa)
menyebut kawasan kuassayya terutama 2) Ruang pelantikan pemangku adat di bidang
perkampungan yang terletak dibagian timur dan pemerintahan sekaligus sebagai ruang
selatan kawasan Kajang. Masyarakat yang upacara pemujaan.
berdiam disini menganggap dirinya sebagai 3) Ruang pemujaan bagi masyarakat Kajang
turunan bangsawan. Para bangsawan, dan dan sekitarnya.
turunannya dimakamkan disekitar huniannya.
Kompleks makam terletak dibagian selatan KESIMPULAN
kawasan Kajang, dan terdiri dari 11 komplek Kawasan adat di Kajang terdiri dari
makam. Selain sebagai tempat hunian kawasan kamase-masea dan kawasan
bangsawan, Tanah Lohea ini juga dianggap kuassayya. Kedua kawasan adat tersebut
sebagai tempat hunian pembawa agama Islam dibatasi dengan hutan adat. Kedua status
di kawasan Kajang. Sebaran keramik asing tersebut juga dapat dibedakan dari pola
ditemukan di empat lokasi situs. Data keramik permukiman masyarakatnya. Di kawasan
asing dianggap sebagai salah satu indikasi kamase-masea, aturan pasang diikuti secara
bahwa suatu permukiman sudah melakukan ketat, pola permukimannya berkelompok
interaksi dan kerjasama dengan dunia luar. (cluster pattern) dengan bentuk rumah yang
seragam dan teratur. Penempatan rumah secara
Ruang Keagamaan berkelompok mengarah pada ketinggian, arah
Ruang keagamaan di kawasan Kajang, hadap rumah menghadap ke arah barat,
berada di tiga lokasi (Tanah Toa, Possi Tana, bangunan sakral berada pada tempat ketinggian
dan Anrong Guru Lagoppo) yakni: yang dikelilingi oleh kawasan hutan adat, dan
1. Ruang keagamaan di Situs Tanah Toa bangunan rumah penduduk, masyarakat tidak
berada di bagian barat, terletak di dalam memperlihatkan pelapisan sosial. Di kawasan
kawasan hutan keramat. Pada area ini kuassayya, aturan pasang mulai tidak ditaati
terdapat beberapa temuan arkeologi yang sepenuhnya, pola permukiman mulai menyebar
diperuntukkan untuk upacara pelantikan mengikuti arah jalan, berbentuk memanjang
Ammatoa, yakni : batu pannurungang, batu dan berderet di sebelah menyebelah jalan, kaki
temu gelang, dan ku’buru’ tunggalaka bukit, dan dipinggir pantai dengan ciri-ciri
(makam tunggal), yang dianggap sebagai masyarakat yang menunjukkan pelapisan sosial.
makam Ammatoa 1 (Bohe Amma). Tidak ada orientasi khusus ke salah satu mata
2. Ruang keagamaan di Situs Possi Tana angin. Bangunan sakral berada di tempat
(Bongki) berada pada bagian timur. Pada ketinggian yang dikelilingi oleh bangunan
area ini terdapat beberapa temuan arkeologi rumah penduduk.
yang difungsikan untuk upacara pelantikan Apabila didasarkan pada hasil penafsiran
pemangku adat yang dianggap sebagai unsur bentuk dan fungsi budaya materinya, di
pemerintah, dan upacara pemujaan seperti: Kawasan Kajang setidaknya dapat dibedakan
batu pemujaan, batu bergores, batu temu antara ruang hunian dengan ruang keagamaan.
gelang, batu pelantikan, batu datar, batu 1. Ruang hunian yang terdiri atas tiga bagian
berdiri dan makam Rangka’na dan dengan penamaan tempat yang berbeda yaitu
Bannenna. Tanah Toa (Benteng), Possi Tana (Bongki),
3. Ruang keagamaan di Situs Anrong Guru dan Tanah Lohea. Tanah Toa merupakan
Lagoppo berada pada bagian barat. Pada hunian masyarakat yang menganggap
area ini terdapat temuan arkeologi yang dirinya turunan tau kentarang (turunan
digunakan untuk upacara pemujaan seperti: Ammatoa), menganut patuntung, dan masih
menhir, dolmen, batu datar, dan batu mengikuti ajaran pasang secara ketat. Possi
bergores. Tana (Bongki), merupakan sebutan bagi
Dari uraian di atas, nampak bahwa di permukiman yang berada pada bagian timur
kawasan Kajang, terdapat tiga ruang kawasan Kajang. Masyarakat yang
keagamaan yang difungsikan sebagai tempat menghuninya adalah masyarakat yang
pelantikan dan tempat upacara. Ruang menganggap dirinya sebagai turunan
keagamaan ini terdiri dari : gallarang, mereka pada umumnya adalah

160
Kapata Arkeologi Volume 12 Nomor 2, November 2016: 147-162
pejabat yang bertugas membantu Ammatoa seringnya interaksi orang Kajang dengan
dalam hal berhubungan dengan masyarakat orang luar, salah satu motivasi mereka
di luar Dusun Benteng. Tanah Lohea, yang adalah modernisasi. Untuk itu, perlu kiranya
penghuninya menganggap dirinya turunan diteliti sejauh mana modernisasi
bangsawan. Di sini juga tempat hunian para mempengaruhi perilaku mereka. Bagaimana
pembawa agama Islam di kawasan Kajang. menerima modernisasi tanpa meninggalkan
2. Ruang keagamaan, berada di tiga lokasi ajaran pasang. Kemungkinan di masa datang
situs, yakni di Situs Tanah Toa, Situs Possi kawasan Kajang terutama di wilayah
Tana (Bongki), dan Situs Anrong Guru kamase-masea sulit untuk bertahan. Penulis
Lagoppo. Ruang keagamaan terdiri dari berharap tumbuhnya kesadaran untuk
ruang pelantikan pemimpin adat dibidang mengembangkan kawasan Kajang sebagai
spritual (pelantikan Ammatoa), ruang kawasan arkeologi. Kebenaran asumsi perlu
pelantikan pemimpin di bidang diteliti tentang pertanggalan, dan mendapat
pemerintahan sekaligus sebagai ruang perhatian lebih lanjut dari instansi yang
upacara pemujaan, dan ruang pemujaan bagi terkait.
masyarakat Kajang dan sekitarnya.
Ucapan Terima Kasih
Saran Ucapan terima kasih penulis sampaikan
1. Penelitian tentang kawasan Kajang kepada Pembimbing Utama penulis Prof. Dr.
diharapkan dapat menambah wawasan Sumijati Atmosudiro dan Pembimbing
tentang kawasan permukiman tradisional Pendamping DR. Daud Aris Tanudirjo, M.A.
yang tetap mempertahankan budaya mereka. atas bantuannya selama penyusunan disertasi
Tradisi-tradisi yang mereka warisi dari berjudul ‘Tata Ruang Permukiman Tradisional
leluhur mereka sangat kaya dan menarik, To Kajang Di Kabupaten Bulukumba Propinsi
terlebih setelah terjadi akulturasi dengan Sulawesi Selatan: Kajian Sistem Sosial dan
kebudayaan dan kepercayaan setempat, Nilai Budaya.’
sehingga apa yang didengar adalah sesuatu
yang unik dan menarik. Sehubungan dengan *****
itu penulis menyarankan agar dilakukan
penelitian tentang beragam tradisi yang DAFTAR PUSTAKA
masih dilakukan oleh masyarakat setempat, Ahimsa-Putra, Heddy Shri. (1995). “Arkeologi
namun hingga kini tradisi tersebut belum Pemukiman, Titik Strategis dan beberapa
banyak terekam. Modernisasi yang terus paradigma”. Berkala Arkeologi Tahun XV.
berlangsung di kawasan itu dikawatirkan Edisi Khusus balai Arkeologi Yogyakarta.
Butzer, Karl W. (1982). Archaeology as Human
akan segera menghilangkan tradisi dan
Ecology: Method and Theory for Contextual
kearifan lokal yang ada di sana. Padahal Aproach. Cambridge: Cambridge University
tradisi dan kearifan lokal tersebut pasti akan Press.
sangat berguna bagi kajian tentang Catanese, Anthony J and James C. Snyder. (1986).
kebudayaan. Pengantar Perencanaan Kota. Alih Bahasa:
Susongko. Jakarta: Erlangga.
2. Di kawasan Kajang terdapat banyak Erawati, Erni. (2016). “Tata Ruang Permukiman
tinggalan budaya materi, hal ini dapat Tradisional To Kajang di Kabupaten
memberi informasi terkait dengan tinggalan- Bulukumba Propinsi Sulawesi Selatan: Kajian
tinggalan budaya pada masa lampau, baik Sistem Sosial dan Nilai Budaya.” Disertasi.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
dilihat dari bentuk bangunan, pola tata ruang
Fagan, M. Brian. (1985). In The Beginning An
kawasan, dan variasi pada makam. Introduction To Archaeology. Boston: Brow
Berkembangnya zaman tidak membuat and Company.
pengaturan tata ruang kawasan mengalami Geldern, R. von Heine. (1945). “Prehistoric
perubahan, terutama di wilayah adat Research in the Netherland Indies”. Science
kamase-masea. Hal ini dapat dilihat pada and Scientist in the Netherlands Indies. New
bentuk pola permukiman mereka yang masih York: Board for the Netherland Indies,
mengikuti konsep yang berasal dari tradisi Surinam and Curaçao.
lisan mereka yakni pasang. Dengan semakin

161
Pola Permukiman Tradisional Kajang, Erni Erawati
Heekeren, H.R. van. (1972). The Stone Age of Heekeren, H.R. van. (1972). The Stone Age of
Indonesia. The Haque-Martinus Nijhoff. Indonesia. The Haque- Martinus Nijhoff.
Katu, Mas Alim. (2008). Kearifan Manusia Kajang. Willey, Gordon R. (1953). Prehistoric Settlement
Pustaka Refleksi: Makassar. Patterns in the Viru Valley. Bulletin 155.
Koentjaraningrat. (1987). Sejarah Teori Antropologi Washigton: Bureau of American Ethnology.
1. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Wiseman. Rob. (2016). “Social Distance in Settled
Rapoport, Amos. (1986). “Asal Usul Budaya Comminities the Conceptual Metaphor, Social
Pemukiman.” Pengantar Perencanaan Kota. Distance is Physical Distance, in Action.
Terj. Susongko. Jakarta: Erlangga. Journal of Archaeological Method and Theory.
Renfrew, Colin & Paul Bahn. (1996). Archaeology, Springer Verlag.
Theories, Method and Practice. Second Wiyana, Budi. (2008). “Dari Menhir Ke Nisan,
Edition. R.R. Donnelley and Sons company: Suatu Dinamika Budaya”. Dalam Pertemuan
United States of America. Ilmiah Arkeologi ke IX. Jakarta: Ikatan Ahli
Rouse, Irving. (1972). “Settlement Patterns in Arkeologi Indonesia.
Archaeology”, dalam P.J. Ucko, Ruth
Tringham dan G.W. Dimbleby. Man,
Settlement and Urbanism: pp. 95-107.
England: Duckworth.
Rosmawati. (2013). “Perkembangan Tamadun Islam
di Sulawesi Selatan, Indonesia: Dari Perspektif
Arkeologi dan Sejarah.” Disertasi. Pulau
Penang: University Sains Malaysia.
Rossler, M. (1990). “Striving for modesty;
Fundamentals of the religion and social
organization of the Makassarese Patuntung. In:
Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde 146 (1990), no: 2/3, Leiden, 289-
324.
Sewang, Ahmad. (2005). Islamisasi Kerajaan Gowa
(Abad XVI sampai Abad XVII). Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Sharer, Robert J. dan Wendy Ashmore. (1979).
Fundamentals of Archaeology. California:
Benjamin/ Cummings Publishing Company,
Inc.
Soejono, R.P. (1976). “Tinjauan Tentang
Pengkerangkaan Prasejarah Indonesia.” Aspek-
aspek Arkeologi Indonesia No.5. Jakarta: P4N.
Soejono, R.P. (1977). “Sistem-Sistem Penguburan
pada Akhir Masa Prasejarah di Bali.” Disertasi.
Jakarta: Universitas Indonesia.
Soejono, R.P. (ed). (1993). Sejarah Nasional
Indonesia 1. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Thomas, D.H. dan R.L. Bettinqer. (1979).
“Prehistoric Pinon Ecotone Settlements of The
Upper Reese River Valley, Central Nevada”.
Antrhropological Papers of The American
Museum of Natural History 53: pp. 263-366.
Hoop, van Der. (1932). Megalithic Remains in South
Sumatera. Translated by W. Shirlaw, Zutphen.
W.J. Thieme & Cie.
Heekeren, H.R. van. (1958). The Bronze-Iron Age of
Indonesia. Verhandelingen van Het Koninklijk
Institut voor Taal-Landen Volkendunde. Dell
XXII. S, Gravenhage.

162
Kapata Arkeologi Volume 12 Nomor 2, November 2016: 147-162

Você também pode gostar