Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Kelas 3D
Disusun Oleh :
YOGYAKARTA
2017
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.........................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................ii
KATA PENGANTAR.......................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................1
B. Tujuan...............................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Diagnosa Medis................................................................................5
1. Pengertian Penyakit.......................................................................5
2. Etiologi..........................................................................................5
3. Tanda dan Gejala...........................................................................5
4. Penatalaksanaan.............................................................................6
5. Patofisiologi...................................................................................7
B. Operasi Post Kolostomi...................................................................9
BAB III PEMBAHASAN
A. Kasus...............................................................................................15
B. Pengkajian.........................................................................................
C. Diagnosa............................................................................................
D. Intervensi...........................................................................................
E. Implementasi.....................................................................................
F. Evaluasi..............................................................................................
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.......................................................................................
B. Saran..................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis mengucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Berkat limpahan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah“Asuhan
Keperawatan pada An. E dengan Post Kolostomi Hisprung”
Penyusunan makalah ini bertujuan sebagai pemenuhan tugas dan
penunjang mata kuliah Keperawatan Perioperatif yang nantinya dapat digunakan
mahasiswa untuk menambah wawasan dan pengetahuan.
Di dalam pembuatan makalah banyak pihak yang telah membantu kami
dalam menyelesaikan makalah ini, sehingga dapat selesai tepat pada waktunya.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Maria Putri Sari Utami, S.Kep.,Ns.
selaku dosen pembimbing, karena atas bimbingan dan sarannya, kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap
pembaca.
Penyusun
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Hisprung adalah malformasi kongenital dimana terjadi obstruksi
mekanis yang disebabkan oleh ketidakadekuatan motilitas bagian usus, tidak
adanya ganglion pada usus bagian distal. (Hockenberry, 2007; Browne, et al.,
2008; Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelsein & Schwartz, 2009).
Insiden Hisprung adalah 1 pada 5000 kelahiran. Perbandingan laki-laki
dan perempuan 4:1 pada klien dengan segmen pendek aganglionosis dan 1:1
pada segmen panjang aganglionosis. Penyakit Hisprung merupakan kelainan
kongenital, dapat disebabkan oleh faktor genetik, faktor lingkungan seperti
paparan bahan kimia dan polusi udara serta interaksi keduanya (Effendi &
Indrasanto, 2006 dalam Kosim, Yunanto, Dewi, Sarosa & Usman, 2012).
Faktor lingkungan ini sangat mungkin terjadi pada kaum urban yang tinggal
di daerah perkotaan.
Penelitian yang dilakukan Rahman Z. dkk (2010) dari tahun 2005 sampai
2009, di rumah sakit Chittagong Bangladesh, mendapatkan pasien
Hirschsprung sebanyak 181 kasus. Penelitian yang dilakukan Henna N. dkk
(2011) dari maret 2009 –oktober 2009 diPakistan, menunjukkan proporsi
jumlah kasus penyakit Hirschsprung sebanyak 51 pasien. Penelitian yang
dilakukan Kartono (2004) di RS Cipto Mangunkusumo mencatat penderita
penyakit Hirschsprung sebanyak 175 orang. Penelitian Irwan B. (2003) dari
tahun 1997 – 2002 mencatat ada 163 kasus penyakit Hirschsprung dari 6
provinsi yang diteliti, yaitu Sumatra Utara, Aceh, Riau, Sumatra Barat, Jambi
dan Bengkulu. Pada penelitian ini selama kurun waktu 5 tahun, mendapatkan
jumlah penderita penyakit Hirschsprung sebanyak 45 orang. Angka kejadian
penyakit Hirschsprung di Amerika Serikat adalah 1 kasus diantara 5400 –
7200 kelahiran hidup. Penelitian yang dilakukan Russel MB. dkk (1994) di
Rumah Sakit Gentofte Denmark, menunjukkan insiden penyakit Hirschsprung
1 : 7165 kelahiran hidup. Di Indonesia berkisar di satu di antara 5000
1
kelahiran hidup. Jika angka kelahiran hidup di Sulawesi Utara pada tahun
2013 yaitu berjumlah 41.298, maka diperkirakan teradapat 8 pasien yang
menderita penyakit Hirschsprung pada tahun 2013. Namun pada penelitian ini
didapatkan jumlah pasien lebih banyak yaitu 11 pasien
McNamara (2008), Waluya (2007) dan Firmansyah (2008) menuliskan
bahwa masyarakat perkotaan disebut juga urban community, memiliki ciri
kehidupan antara lain padat penduduknya, lingkungan hidup tercemar polusi,
mata pencaharian sektor industri, perdagangan dan jasa, mobilitas tinggi, lalu
lintas padat, sulit mendapat pekerjaan, tidak punya pekerjaan yang tetap, stres,
tidak punya tempat tinggal yang tetap, kecenderungan perilaku kejahatan,
resiko penggunaan obat-obatan karena paparan media dari berbagai sumber
informasi, jaminan keamanan relatif rendah dan kriminalitas tinggi.
Sulitnya mendapatkan pekerjaan untuk kaum urban berpendidikan rendah
mengakibatkan banyak kaum urban berada pada tingkat ekonomi menengah
ke bawah. Tingkat ekonomi yang rendah memungkinkan kaum urban
memiliki pendidikan yang rendah dan nutrisi yang rendah bila dilihat dari segi
kualitas makanannya. Bobak, Lowdermilk, Jensen dan Perry (2005)
menuliskan nutrisi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil
akhir kehamilan. Sedangkan faktor yang menyebabkan nutrisi seorang wanita
berisiko antara lain kemiskinan, kurang pendidikan, lingkungan yang buruk,
kebiasaan makan yang tidak wajar dan kondisi kesehatan yang buruk. Hal
tersebut akan mempengaruhi status gizi dan perkembangan serta
perkembangan janin. Nutrisi yang tidak adekuat dapat menyebabkan defek
lahir dan menurunkan jumlah hasil konsepsi.
Selain tingkat ekonomi rendah yang menyebabkan nutrisi rendah,
pencemaran udara seperti polusi udara akibat rokok dapat mempengaruhi
kondisi kesehatan kaum urban. Polusi udara melalui asap rokok sering
dikaitkan dengan retardasi pertumbuhan janin dan peningkatan mortalitas
serta morbiditas bayi (Bobak, Lowdermilk, Jensen dan Perry, 2005).
Hockenberry dan Wilson (2007) menyampaikan manifestasi klinis
Hisprung ada beberapa macam, tergantung umur ketika gejala muncul,
2
panjang usus yang terkena, dan terjadinya komplikasi seperti enterokolitis.
Pada bayi baru lahir dapat ditemukan distensi abdomen, vomitus, konstipasi
dan kegagalan mengeluarkan mekonium dalam 48 jam pertama sejak lahir.
Sedangkan pada neonatus didapatkan distensi abdomen dan muntah bernoda
empedu, sementara itu pada bayi dan anak-anak dapat dijumpai konstipasi,
distensi abdomen, vomitus dan riwayat keterlambatan pengeluaran
mekonium.
Diagnosis Hisprung dapat ditegakkan dengan berbagai macam
pemeriksaan, antara lain pemeriksaan rektum, barium enema dan biopsi rektal
(Browne, et al., 2008). Setelah dipastikan diagnosis Hisprung maka diberikan
penatalaksanaan konservatif dan pembedahan dengan tindakan kolostomi.
Jika dilakukan tindakan pembedahan, maka perawat sangat berperan dalam
perawatan baik pre operatif maupun post operatif. Pada fase pre operatif,
asuhan keperawatan yang dapat dilakukan pada anak dengan enterokolitis
antara lain memonitor tanda vital untuk mengetahui tanda-tanda syok,
memonitor pemberian cairan dan elektrolit, plasma atau produk darah lain,
dan mengobservasi tanda perforasi usus seperti demam, peningkatan distensi
abdomen, vomitus, iritabilitas, dispnea dan sianosis. Sedangkan pada fase post
operatif asuhan keperawatan yang diberikan meliputi klien dipuasakan,
mengukur pemasukan dan pengeluaran, memonitor pemberian cairan dan
elektrolit, memonitor pengembalian bising usus dan pengeluaran feses untuk
menentukan pemberian masukan oral serta perawatan stoma. Pada perawatan
post operatif, perawat juga memberikan pendidikan kesehatan kepada
keluarga tentang fungsi tindakan invasif antara lain akses intravena,
pemasangan pipa nasogastrik dan kateter urin, serta orang tua membantu
memberikan kenyamanan untuk anaknya (Hockenberry & Wilson, 2007).
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Memberikan gambaran asuhan keperawatan pada klien dengan post
kolostomi karena Hisprung.
3
2. Tujuan Khusus
a. Mendapatkan data pengkajian yang dibutuhkan terkait dengan asuhan
keperawatan dengan post kolostomi karena Hisprung.
b. Mengidentifikasi masalah keperawatan dengan post kolostomi karena
Hisprung.
c. Membuat perencanaan asuhan keperawatan dengan post kolostomi
karena Hisprung.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Diagnosa Medis
1. Pengertian Penyakit
a. Hisprung/ megakolon
Hisprung atau megakolon adalah penyakit tidak adanya sel-sel
ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid colon. Akibat
ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya
peristaltic serta tidak adanya evakuasi usus spontan (Betz, Cecily &
Sowden, 2000).
Penyakit hisprung atau megakolon adalah kelainan bawaan
penyebab gangguan passase usus tersering pada neonates, dan
kebanyakan terjadi pada bayi aterm dengan berat lahir kurang dari 3
kg dan lebih banyak pada laki-laki dari pada perempuan (Arief
Mansjoer, 2000).
2. Etiologi
Faktor genetik dan lingkungan sering terjadi hisprung atau megakolon
pada anak dengan down syndrome, kegagalan sel neural pada masa embrio
dalam dinding usus, gagal eksistensi. Tidak adanya sel-sel ganglion dalam
rectum atau bagian rektosigmoid kolon, ketidakmampuan sfingter rectum
berelaksasi (Haryono, Rudi, 2012).
3. Tanda Gejala
Tanda – Tanda Hisprung
a. Anemia dan tanda-tanda malnutrisi
b. Perut membuncit (abdomen distention) karena retensi kotoran.
c. Terlihat gelombang peristaltic pada dinding abdomen
d. Pemeriksaan rectal touche (colok dubur) menunjukkan sfingter anal
yang padat/ketat, dan biasanya feses akan langsung menyemprot
keluar dengan bau feses dan gas yang busuk.
5
e. Tanda-tanda edema, bercak-bercak kemerahan khususnya di sekitar
umbilicus, punggung dan di sekitar genitalia ditemukan bila telah
terdapat komplikasi peritonitis (Kessman, 2008; Lakhsmi, 2008)
f. Bayi baru lahir tidak bisa mengeluarkan Meconium dalam 24-28 jam
pertama setelah lahir. Tampak malas mengkonsumsi cairan, muntah
bercampur dengan cairan empedu dan distensi abdomen (Nelson,
2002).
Gejala penyakit hisprung adalah obstruksi usus letak rendah, bayi
dengan penyakit hisprung dapat menunjukkan gejala klinis sebagai
berikut; obstruksi total kolon saat lahir disertai muntah, distensi abdomen
dan ketidakadaan evakuasi meconium. Keterlambatan evakuasi
meconium diikuti obstruksi konstipasi, muntah dan dehindrasi. Gejala
ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti
dengan obstruksi usus akut. Konstipasi ringan entrokolitis dengan diare,
distensi abdomen dan demam. Adanya feses yang menyemprot pada saat
colok dubur merupakan tanda yang khas. Bila telah timbul enterokolitis
nikrotiskans terjadi distensu abdomen hebat dan diare berbau busuk yang
dapat berdarah (Nelson, 2002). Biasanya tampak kurang nutrisi dan anemi
(Betz, Cecily & Sowden, 2002).
4. Penatalaksanaan
a. Medis
Penatalaksanaan operasi adalah untuk memperbaiki portion
aganglionik di usus besar untuk membebaskan dari obstruksi dan
mengembalikan motilitas usus besar sehingga normal dan juga fungsi
spinkter ani internal. Ada dua tahapan dalam penatalaksanaan medis
yaitu :
1) Temporary ostomy dibuat proksimal terhadap segmen
aganglionik untu melepaskan obstruksi dan secara normal
melemah dan terdilatasinya usus besar untuk mengembalikan
ukuran normalnya.
6
2) Pembedahan koreksi diselesaikan atau dilakukan lagi biasanya
saat berat anak mencapai sekitar 9 kg (20 pounds) atau sekitar 3
bulan setelah operasi pertama (Betz, Cecily & Sowden, 2002).
b. Keperawatan
Perawatan tergantung pada umur anak dan tipe
penatalaksanaannya. Bila anak telah terdiagnosa selama periode
neonatal, perhatian utama antara lain:
1) Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan
kongenital pada anak secara dini.
2) Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak.
3) Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis
(pembedahan).
4) Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah
rencana pulang (FKUI, 2000).
Pada perawatan preoperasi harus diperhatikan juga kondisi klinis
anak. Anak dengan malnutrisi tidak dapat bertahan dalam pembedahan
sampai status fisiknya meningkat. Hal ini sering kali melibatkan
pengobatan simptomatik seperti enema. Diperlukan juga adanya diet
rendah serat, tinggi kalori dan tinggi protein serta dapat digunakan Nutrisi
Parenteral Total (NPT).
5. Patofisiologi
Istilah congenital aganglionic Megakolon menggambarkan adanya
kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub
mukosa kolon distal. Segmen aganglionic hampir selalu ada dalam rectum
danbagian proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan
keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong (peristaltik)
dan tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat
berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal yang
menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna
bagian proksimal sampai pada bagian yan rusak pada Megakolon (Betz,
Cecily & Sowden, 2002).
7
Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul
didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proksimal
terhadap daerah itu karena terjadinya obstruksi dan menyebabkan di
bagian Colon tersebut melebar (Price, S & Wilson, 1995).
Pathway
Sel ganglion parasimpatik Peristaltik segmen kolon
dari pleksus di kolon tidak turun dan mengenai
ada rektum dan kolon
konginetal
8
terlalu sensitif terhadap sentuhan ataupun nyeri. Akan tetapi stoma kaya
akan pembuluh darah dan mungkin dapat berdarah jika dilakukan
pengusapan. Hal ini termasuk normal, hanya perlu diwaspadai jika darah
yang keluar terus menerus dan dalam jumlah banyak. Kolostomi
memungkinkan pasien dengan kanker kolorektal melakukan proses
eleminasi BAB dengan lancar. Akan tetapi, berbeda dengan proses
eliminasi normal, pasien tidak dapat mengontrol pengeluaran feses. Feses
yang keluar dari stoma akan ditampung pada kantung kolostomi yang
direkatkan pada abdomen. Pada awal pembedahan, konsistensi feses akan
nampak lebih cair, namun akan membaik secara bertahap hingga
mencapai konsistensi yang normal, sesuai dengan letak stoma pada kolon.
2. Jenis Kolostomi
a. Loop Stoma atau transversal
Loop stoma merupakan jenis kolostomi yang dibuat dengan
membuat mengangkat usus ke permukaan abdomen, kemudian
membuka dinding usus bagian anterior untuk memungkinkan jalan
keluarnya feses. Biasanya pada loop stoma selama 7 hingga 10 hari
pasca pembedahan disangga oleh semacam tangkai plastik agar
mencegah stoma masuk kembali ke dalam rongga abdomen.
Gambar 2.1 di bawah menunjukkan gambar dari loop stoma.
9
Gambar 2.2 menunjukkan gambar dari end stoma.
10
area kulit peristomal banyak terjadi terutama pada lansia, disebabkan oleh
lapisan epitel dan lemak subkutan yang semakin tipis karena proses
penuaan sehingga kulit menjadi semakin mudah mengalami iritasi
(Smeltzer & Bare, 2002). Pada dasarnya, bahan pada kantong kolostomi
yang menempel pada permukaan kulit sudah didesain agar tidak
menyebabkan iritasi pada kulit (WOCN, 2008). Ostomate (individu yang
memiliki stoma) dengan kulit yang sensitif mungkin membutuhkan tes
skin patch jika mengeluhkan adanya beberapa reaksi terhadap
penempelan beberapa kantong kolostomi. Gambar 2.4 menunjukkan
gambar area kulit yang mengalami alergi terhadap pemasangan kantong
kolostomi.
11
Gambar 2.5 Infeksi Candida albicans
(Sumber: Eucomed, 2012)
Rasa gatal, panas dan seperti terbakar pada area penempelan
kantong kolostomi mengindikasikan adanya lecet, ruam ataupun infeksi
pada kulit (WOCN, 2008). Hal terpenting dalam pencegahan infeksi pada
kulit adalah dengan melakukan perawatan kulit peristomal dengan baik.
Pemasangan kantong kolostomi yang sesuai dengan stoma merupakan
pencegahan utama terjadinya iritasi dan infeksi pada kulit. Skin barrier
(dalam bentuk salep ataupun bedak) dapat diberikan pada area peristomal
30 detik sebelum kantong kolostomi ditempelkan pada kulit (Smeltzer &
Bare, 2002).
Masalah lain yang biasa dikeluhkan oleh ostomate adalah
pengeluaran gas dan bau dari stoma, konstipasi dan diare (Eucomed,
2012). Pengeluaran gas dan bau pada stoma menjadi masalah pada
ostomate karena berbeda dengan pengeluaran melalui anus,
pengeluarannya melalui stoma tidak dapat dikontrol. Gas yang terdapat
pada saluran pencernaan didapatkan dari beberapa jenis makanan seperti
makanan berpengawet, brokoli, kubis, jagung, timun, bawang, dan lobak.
Gas juga didapatkan dari menelan udara (secara tak sengaja) pada saat
berbicara, makan, merokok dan sebagainya (Eucomed, 2012). Oleh karena
itu ostomate dianjurkan untuk mengunyah makanan secara perlahan untuk
meminimalkan udara yang masuk. Bau pada gas atau feses yang
dikeluarkan juga dapat diakibatkan oleh beberapa makanan seperti telur,
keju, ikan, bawang, dan kubis (Canada Care Medical, n.d).
Konstipasi dapat terjadi pada ostomate akibat diet yang tidak
seimbang, serta intake makanan berserat ataupun cairan yang kurang
12
(Gutman, 2011). Apabila ostomate mengalami konstipasi maka perlu
peningkatan asupan makanan berserat seperti gandum, sayur dan buat,
serta asupan cairan. Hampton (2007) merekomendasikan minimal
konsumsi 8-10 gelas air per hari, atau 1,5 hingga 2 liter air per hari (dapat
termasuk teh, kopi ataupun jus). Melakukan aktivitas fisik ringan seperti
bersepeda, jogging juga dapat membantu meningkatkan pergerakan bowel
dan mengatasi konstipasi.
Diare merupakan bertambahnya kompisisi cairan pada feses
disertai dengan frekuensi BAB yang meningkat dari kebiasaan normal
individu (Eucomed, 2012). Akibat dari diare adalah hilangnya cairan dan
elektrolit pada tubuh indvidu. Diare umumnya terjadi pada pasien dengan
ileostomi namun dapat terjadi juga pada klien dengan kolostomi. Individu
dengan pembuatan stoma di kolon asenden dan transversal akan
mengalami perubahan konsistensi feses seperti diare, namun hal ini normal
karena penyerapan air pada kolon asenden dan transversal masih minimal.
Penatalaksanaan diare, seperti halnya konstipasi, meliputi manajemen diet.
Pada saat diare terjadi, individu akan beresiko kehilangan banyak kalium,
sehingga butuh asupan makanan mengandung kalium seperti pisang, jeruk,
tomat, ubi, kentang, dan gandum (Canada Care Medical, n.d).
4. Komplikasi Stoma
Komplikasi atau masalah pada stoma dapat muncul setelah
pembedahan kolostomi, di antaranya paling banyak terjadi pada tahun
pertama pasca pembedahan (Truven Health Analytics, 2012). Beberapa
komplikasi akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Retraksi Stoma
Retraksi merupakan kondisi dimana stoma tertarik ke dalam
abdomen. Retraksi dapat terjadi bila kolon tidak segera aktif pasca
pembedahan kolostomi. Bertambahnya berat badan juga
memungkinkan untuk terjadinya retraksi. Tipe kantong kolostoma
harus disesuaikan agar pas dengan bentuk stoma setelah terjadi
retraksi. Retraksi belum menjadi sebuah komplikasi berat dari stoma
13
jika retraksi stoma ke dalam abdomen < 5 cm dari batas permukaan
abdomen. Gambar berikut merupakan contoh dari retraksi stoma.
b. Hernia Peristomal
Hernia dapat terjadi bila ada bagian dari kolon di dalam abdomen
yang menekan atau menonjol di area sekitar stoma. Hernia akan
tampak semakin jelas ketika pasien sedang duduk, batuk ataupun
mendesak abdomen (peningkatan tekanan intra abdomen). Beberapa
pasien membutuhkan penggunaan sabuk khusus, ataupun
rekomendasi untuk operasi guna memperbaiki kondisi hernia tersebut.
Gambar berikut merupakan contoh hernia peristomal.
14
berulang dapat direkomendasikan untuk pembedahan ulang. Gambar
stoma yang mengalami prolaps akan ditampilkan pada gambar 2.8.
15
Gambar 2.10 Stenosis pada Stoma
(Sumber: Eucomed, 2012)
A. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Kolostomi
1. Perawatan Kolostomi
Kolostomi akan mulai berfungsi optimal sekitar 3-6 hari pasca
pembedahan (Smeltzer & Bare, 2002). Perawatan kolostomi yang rutin
akan dilakukan oleh pasien ataupun care giver baik di rumah sakit
ataupun di rumah ialah mengganti kantong kolostomi dan
membersihkan stoma. Kantong kolostomi adalah wadah untuk
menampung feses yang keluar dari stoma. Kantong kolostomi dibuat
dari material disposable atau digunakan hanya sekali, lalu dibuang.
Jenis kantong kolostomi saat ini cukup beragam. Kantong kolostomi
yang biasa digunakan ialah kantong kolostomi one-piece tertutup yang
jika terisi harus segera dibuang dan diganti. Kantong kolostomi one-
piece drainable memungkinkan pasien untuk membuang feses yang
ada dalam kantong dengan membuka lubang yang ada di bawah
kantong, seperti yang terlihat pada gambar 2.11 berikut.
16
Gambar 2.11 Kantong Kolostomi
(keterangan gambar dari kiri ke kanan: kantong one-piece
drainable,kantong one piece tertutup, drainable pouch untuk sistem
two-pieces, flange untuk sistem two-pieces)
(Sumber: Gutman, 2011)
Perawatan kolostomi yang pertama ialah cara mengganti kantong
kolostomi dan membersihkan area stoma. Kantong kolostomi
sebaiknya dikosongkan atau diganti ketika kantong sudah terisi 1/3
bagian agar pasien tetap nyaman dengan kantong kolostominya.
Kantong kolostomi yang dapat dikosongkan, dibersihkan dan
digunakan kembali adalah jenis kantong kolostomi two-piece system
atau kantong yang memiliki lubang drainase di bawahnya. Truven
Health Analytics Inc. (2012) memaparkan, kantong kolostomi harus
dikosongkan jika sudah 1/3 atau 1/2 penuh. Kantong kolostomi yang
penuh akan menjadi berat dan dapat merusak perlengketan kantong
kolostomi dengan kulit abdomen, selain itu kantong akan beresiko
untuk robek atau rusak karena beban dalam kantong meningkat.
Kantong kolostomi yang penuh juga akan membuat benjolan di balik
17
pakaian dan dapat mengganggu penampilan. Kantong kolostomi
drainable dapat dikosongkan dengan menekan bagian bawah kantong,
kemudian mengeluarkan feses langsung ke dalam toilet. Kemudian
kantong dapat dibersihkan atau dibilas meskipun Truven Health
Analytics Inc (2012) mengatakan hal ini tidak begitu penting untuk
dilakukan. Gambar 2.12 menunjukkan cara mengosongkan kantong
kolostomi.
18
Perawatan kolostomi erat kaitannya dengan perawatan kulit. Perawatan
kulit di sekitar stoma dilakukan bersamaan dengan penggantian
kantong kolostomi. Beberapa orang menggunakan air hangat saat
melepaskan kantong stoma dari kulit abdomen, agar lebih mudah dan
nyaman pada kulit. Terkadang kulit akan terlihat kemerahan atau lebih
gelap segera setelah perekat kantong kolostomi dilepaskan, namun
akan segera normal beberapa menit (WOCN Society, 2008). Hal ini
dimungkinkan karena terjadi penekanan pada area kulit selama
kantong terpasang, atau kantong kolostomi dilepaskan secara cepat
dari kulit abdomen.
Pasien ataupun care giver dapat sekaligus mengobservasi stoma setiap
mengganti kantong kolostomi. Stoma yang normal akan terlihat merah
atau pink terang, lembap, tidak mengerut dan tampak seperti membran
mukosa oral (Borwell, 2011). Stoma normal akan memiliki produksi
feses, tidak ada sumbatan serta tidak ada nyeri. Stoma yang tidak sehat
atau mengalami nekrosis ditunjukkan dengan warna hitam atau biru
kehitaman. Permukaan stoma yang tidak sehat akan tampak kering,
terdapat darah yang terus keluar, stoma menonjol atau masuk ke dalam
sebanyak 5 cm, ujung stoma mengerut, sedikit atau tidak ada produksi
feses dan terdapat nyeri pada area stoma.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam perawatan kolostomi ialah
terkait perubahan eliminasi BAB. Pasien dengan kolostomi tidak dapat
mengontrol BAB sehingga akan beresiko mengalami gangguan
eliminasi BAB. Tindakan perawatan yang dapat dilakukan adalah
irigasi kolostomi. Irigasi kolostomi merupakan suatu cara untuk
mengeluarkan isi kolon (feses), yang dilakukan secara terjadwal
dengan memasukkan sejumlah air dengan suhu yang sama dengan
tubuh (hangat) (Putri, 2011). Irigasi memungkinkan pasien untuk
menjadwalkan pengeluaran feses dari stomanya. Pergerakan bowel
baiknya dalam keadaan regular dan bebas dari masalah saat akan
dilakukan irigasi kolostomi. Irigasi kolostomi tidak dapat dilakukan
bila pasien mengalami iritasi pada ususnya, prolaps stoma, hernia
19
peristomal ataupun komplikasi stoma lainnya (Putri, 2011). Irigasi
stoma juga tidak dapat dilakukan pada stoma yang terdapat pada kolon
asenden dan tranversal.
Alat yang dapat digunakan untuk proses irigasi kolostomi meliputi
kontainer atau wadah air, tube (selang untuk mengalirkan cairan), cone
dan plastic sleeve (Burch, 2013). Plastic sleeve berguna untuk
mengalirkan keluaran feses dan cairan irigasi ke dalam toilet.
20
8) Tutup kantong atau ganti kantong dengan kantong kolostomi biasa
dan bereskan alat.
21
c. Menambah makanan yang mengandung potassium seperti pisang,
daging (non lemak), jeruk, tomat, kentang jika mengalami diare.
Kurangi konsumsi keju, selai kacang, dan susu.
d. Mengatasi konstipasi (jika terjadi) dengan menambah makanan
tinggi serat
e. Makan tiga kali sehari penting untuk meningkatkan aktivitas usus
dan mencegah produksi gas
f. Gangguan pada pencernaan dapat juga berasal dari tekanan
emosional, stress, atau kurangnya aktivitas fisik
3. Toleransi Aktivitas
Individu dengan kolostomi dapat beraktivitas sebagaimana individu
lainnya. Hanya saja dalam pemilihan jenis olahraga, hindari olahraga
yang membutuhkan kontak fisik yang keras yang mungkin dapat
menyebabkan cedera pada abdomen (khususnya stoma). Ostomate juga
dapat melakukan olahraga renang dengan memilih desain baju renang
yang menutupi kantong kolostomi yang terpasang pada abdomen, serta
desain baju yang sedikit ketat agar lebih nyaman saat berenang.
Kantong kolostomi harus tetap terpasang saat berenang untuk menjaga
kebersihan stoma. Perekat waterproof dapat ditambahkan untuk lebih
merekatkan kantong kolostomi pada kulit abdomen, jika dibutuhkan.
Kantong kolostomi baiknya dikosongkan sesaat sebelum berenang,
kemudian hindari makan berat atau banyak sebelum melakukan
olahraga renang.
Ostomate dapat melakukan traveling, tentunya dengan persiapan
penggantian kantong kolostomi yang cukup. Bagi ostomate yang
melakukan irigasi secara rutin, tetap harus berhati-hati dalam
penggunaan air untuk irigasi. Apabila air yang ada di lokasi travelling
mungkin dinyatakan tidak aman untuk dikonsumsi, maka jika ingin
digunakan untuk kolostomi, air tersebut harus direbus terlebih dahulu,
kemudian di diamkan dalam temperature ruangan dan dapat digunakan
untuk irigasi (Canada Care Medical, n.d).
4. Support Sosial
22
Individu yang baru memiliki stoma biasanya akan ragu dan bertanya,
bagaimana mereka dapat hidup dengan stoma pada tubuhnya, apakah
mereka masih dapat menjalin hubungan dengan keluarga, relasi
ataupun partner kerja, serta apa yang akan terjadi bila tiba-tiba kantong
kolostomi yang sedang terpasang robek (Burch, 2013). Ketidakyakinan
ini dapat diantisipasi dengan adanya kehadiran perawat spesialis
ataupun support group (Ferrer et al, 2010 dalam Burch, 2013). Berbagi
pada orang yang dipercaya, teman, keluarga, perawat, guru spiritual,
serta orang lain yang juga memiliki stoma dapat mengurangi
ketidaknyamanan tersebut. Selain support sosial, ostomate juga harus
memiliki pandangan positif terhadap hidupnya, kesabaran dan sensasi
humor untuk menghadapi setiap situasi sosial yang dirasakan terkait
kolostominya.
23
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kasus
Riwayat kehamilan dan kelahiran klien antara lain pada masa prenatal ibu
klien rutin kontrol ke bidan setiap 1 bulan sekali, ibu klien mengatakan
selama hamil tidak menderita penyakit tertentu dan tidak mengalami muntah
berulang, masa intranatal klien dilahirkan spontan dibidan dengan berat lahir
3800 gram langsung menangis ,sedangkan pada masa post natal klien
mendapatkan ASI dan mempunyai riwayat BAB 2-4 hari sekali.
24
Saat dilakukan pengkajian pada tanggal 23 September 2017 orang tua
mengatakan takut memegang dan membersihkan kantong stoma, belum tahu
bagaimana perawatan stoma. Orang tua mengatakan bahwa ingin tahu berat
badan anaknya setelah dioperasai, BAB anaknya cair warna coklat. Berat
badan klien pada saat masuk rumah sakit 5400 gram, saat ini 4500 gram,
panjang badan 56cm, dengan menggunakan chart grow didapatkan z-score
BB/TB-2SD. Status cairan klien baik dibuktikan dengan turgor elastis, CRT
kurang dari 3 detik dan mukosa bibir lembab. Tidak ada pembesaran kelenjar
tiroid, arteri karotis teraba berdenyut teratur dan kuat, dan trachea berada
digaris tengah. Klien mendapatkan obat-obatan antara lain IVFD Kaen 3B 10
tetes/menit (makro), cefotaxime 2x175mg intravena dan Farmadol 3x55 mg
intravena. Hasil pemeriksaan pada tanggal 12 Septmeber 2017 diperoleh Hb
14,5 g/dl Ht 45% leukosit 20,4 ribu/ul dan trombosit 426 ribu/ul. Hasil
pemeriksaan secara umum menunjukkan bahwa klien tidak tampak rewel,
aktif, kesadaran compos metis, Nadi 124x/menit, suhu 36,7°C, frekuensi nafas
28x/menit. Tinggi badan saat ini 56cm, berat badan 4,5 kg, lingkar kepala 38
cm, lingkar lengan atas 10cm, lingkar dada 34cm. Dari hasil pemeriksaan
fisik head to toe diperoleh data bahwa kepala dalam batas normal tidak
ditemukan jejas sutura sudah menutup tidak teraba benjolan. Septum hidung
utuh tidak ada sekret, tidak ada pernafasan cuping hidung. Sklera tidak
ikhterik, konjungtiva tidak anemis, reflek cahaya positif, bibir tampak
kemerahan, tidak sianosis, gigi belum tumbuh, tidak tampak jamur. Telinga
bersih tidak tampak sekret dan tidak tampak perdarahan, tidak teraba
pembesaran kelenjar di area leher. Dada simetris, tidak tampak retraksi dadal,
irama jantung reguler tidak terdengar suara abnormal, suara nafas vesikuler
tidak terdapat suara abnormal. Tidak ada distensi abdomen, bising usus
6x/mnt, tidak teraba benjolan atau massa. Stoma berwarna kemerahan,
tampak lemak, tinggi 4cm, lebar 4cm, produksi cair warna kecoklatan
bercampur darah, bau khas, daerah sekitar stoma tidak kemerahan, tidak ada
tanda-tanda iritasi periostoma. Genitalia bersih, jamur tidak tampak, tidak
25
lecet, BAK 3x dengan pampers, warna kuning jernih. Ekstermitas tidak
tampak edema, tidak sianosis , akral hangat, CRT kurang dari 3 detik
B. Pengkajian
1. DATA DEMOGRAFI
2. Riwayat Penyakit
26
hanya berobat ke puskesmas tetapi orangtua tidak tahu jenis obat yang
dikonsumsi, pasien belum pernah dilakukan tindakan operasi, tidak
pernah mengalami kecelakaan, tidak mempunyai alergi, pasien belum
mendapat imunisasi BCG ketika klien berusia 1 minggu.
3) Riwayat Kehamilan
a) Pemeriksaan rutin : rutin kontrol ke bidan setiap 1 bulan sekali
b) Penyakit yang diderita selama hamil : tidak pernah
c) Keluhan saat hamil : tidak ada
d) Obat/ vitamin yang dikonsumsi : tidak pernah
e) Riwayat minum jamu : tidak pernah
f) Riwayat dipijat : tidak pernah
4) Riwayat Persalinan
a) Cara persalinan : spontan
b) Tempat : polides
c) Penolong : bidan
d) Kondisi ketuban : warna jernih
e) Letak : bujur
f) BB/TB/LK/LD : 3800 gram/ TB 56 cm/ TB LK 38 cm/ LD 34cm
5) Riwayat Post Natal
Pasien langsung menangis, mendapatkan ASI dan pasien mempunyai
riwayat BAB 2-4 hari sekali.
6) Diagnosa medik pada saat MRS, pemeriksaan penunjang dan tindakan
yang telah di lakukan, mulai dari pasien MRS (UGD/Poli), sampai
diambil kasus kelolaan.
Masalah atau Dx medis pada saat MRS : Colostomi Hisprung
Tindakan yang telah dilakukan di Poliklinik atau UGD
Pasien datang ke rumah sakit dianter orangtua telah dilakukan tanda-
tanda vital (nadi, pernafasan, dan suhu), pemeriksaan fisik,
pemeriksaan USG, dan foto polos abdomen.
b. Catatan Penanganan Kasus (Dimulai saat pasien di rawat di
ruang rawat sampai pengambilan kasus kelolaan)
1) Tanggal 11 September 2017
Telah dilakukan pemeriksaan USG dan foto polos abdomen.
2) Tanggal 12 September 2017
Diperoleh Hb 14,5 g/dl Ht 45% leukosit 20,4 ribu/ul dan
trombosit 426 ribu/ul.
3) Tanggal 15 September 2017
Diperoleh hasil hemoglobin (Hb) 8,4 g/dl hematokrit 26%
leukosit dalam batas normal, trombosit 570 ribu/ul sehingga klien
mendapatkan transfusi PRC sejumlah 2x50 cc dengan cara
27
pemberian serial selama 2 hari dan Hb post transfusi 12,1 g/dl dan
pasien juga dilakukan pemeriksaan barium enema.
3. RIWAYAT IMUNISASI
Pasien belum mendapat imunisasi BCG ketika pasien berusia 1 minggu.
4. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
(Bandingkan kondisi saat klien di rumah /sebelum masuk RS dan saat
klien dirawat di RS)
b. Pola nutrisi
Bentuk atau jenis nutrisi yang diberikan : cair (ASI)
c. Pola Eliminasi
1) Buang air besar
SMRS : BAB 4 hari sekali
28
Makan/minum √
Mandi √
Toileting √
Berpakaian √
Mobilitas di tempat tidur √
Berpindah √
Ambulasi/ROM √
0: mandiri, 1: alat Bantu, 2: dibantu orang lain, 3: dibantu orang lain
dan alat, 4: tergantung total
f. Pola perceptual
(penglihatan, pendengaran, pengecap, sensasi) : -
29
(pandangan klien tentang agama, kegiatan keagamaan, dll)
i. Thorak/ paru
I : Dada simetris
30
P : tidak tampak retraksi dadal
P : suara sonor
j. Abdomen
I : Tidak ada distensi abdomen
P : suara tympani
6. DATA PENUNJANG
a. Tanggal 11 September 2017
Telah dilakukan pemeriksaan USG dan foto polos abdomen.
b. Tanggal 12 September 2017
Diperoleh Hb 14,5 g/dl Ht 45% leukosit 20,4 ribu/ul dan trombosit
426 ribu/ul.
c. Tanggal 15 September 2017
Diperoleh hasil hemoglobin (Hb) 8,4 g/dl hematokrit 26% leukosit
dalam batas normal, trombosit 570 ribu/ul sehingga klien
mendapatkan transfusi PRC sejumlah 2x50 cc dengan cara pemberian
serial selama 2 hari dan Hb post transfusi 12,1 g/dl dan pasien juga
dilakukan pemeriksaan barium enema.
31
7. TERAPI SAAT INI
32
sendi, dan infeksi
system syaraf
pusat.
3 Farmadol 3x55 mg Sakit kepala, Insufisiensi Reaksi hemat
(intravena) demam, nyeri otot, hepatoselular berat. kulit, dan aler
dan sakit gigi. lainnya. Tidak
Untuk pengobatan badan, reaksi
jangka pendek hiperrsensitiv
nyeri sedang hipotensi, pen
(terutama sesudah kadar enzim h
op) dan demam. trombositopen
Jika pemberian leukopenia,
secara IV sangat neutropenia.
diperlukan secara
klinis untuk
mengobati nyeri,
hipertermia.
33
8. PENGELOMPOKAN DATA SENJANG
3.
34
9. ANALISA DATA
P : terdapat luka
operasi di abdomen
kanan
Q : pasien terus
menangis
R : pasien
menangis ketika
luka operasi
tersentuh
S : dilihat dari
wajah ada di skala
4
T : dirasakan tiba –
tiba
Do :
- pasien tampak
rewel dan
menangis
- wajah pucat
ketika nyeri
muncul
Ds : -
35
Do : Prosedur invasif Resiko Infeksi
- tampak
terdapat
kantong
stoma
- adanya luka
kolostomi
di abdomen
Ds : keluarga
pasien mengatakan
Faktor mekanik Kerusakan
terdapat luka
integritas kulit
operasi dibagian
perut kanan
Do : tampak
terpasang kantong
C. Diagnosa
36
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kolostomi adalah pembuatan stoma atau lubang pada kolon atau usus
besar (Smeltzer & Bare, 2002). Melville & Baker (2010) mengatakan
kolostomi merupakan tindakan pembedahan untuk membuka jalan usus besar
ke dinding abdomen anterior. Akhir atau ujung dari usus besar yang
dikeluarkan pada abdomen disebut sebagai stoma. Stoma itu sendiri berasal
dari bahasa Yunani yang berarti mulut. Stoma bersifat basah, mengkilat dan
permukaannya berwarna merah, seperti membrane mukosa pada oral. Stoma
tidak memiliki ujung syaraf sehingga tidak terlalu sensitif terhadap sentuhan
ataupun nyeri. Akan tetapi stoma kaya akan pembuluh darah dan mungkin
dapat berdarah jika dilakukan pengusapan. Hal ini termasuk normal, hanya
perlu diwaspadai jika darah yang keluar terus menerus dan dalam jumlah
banyak. Kolostomi memungkinkan pasien dengan kanker kolorektal
melakukan proses eleminasi BAB dengan lancar. Akan tetapi, berbeda dengan
proses eliminasi normal, pasien tidak dapat mengontrol pengeluaran feses.
Feses yang keluar dari stoma akan ditampung pada kantung kolostomi yang
direkatkan pada abdomen. Pada awal pembedahan, konsistensi feses akan
37
nampak lebih cair, namun akan membaik secara bertahap hingga mencapai
konsistensi yang normal, sesuai dengan letak stoma pada kolon.
B. Saran
38
DAFTAR PUSTAKA
Bobak, I.M.; Lowdermilk, D.L; Jensen, M.D; & Perry, S.E. (2005). Buku ajar
keperawatan maternitas. Edisi 4. (Wijayarini & Anugerah, alih bahasa).
Jakarta: EGC
Browne, N.T. et al. (2008). Pocket guide to pediatric surgical nursing. Canada:
American Pediatric Surgical Nurse Association
Hockenberry, M.J. & Wilson, D. (2007). Wong’s nursing care of infants and
children. 8th ed. Canada: Mosby Elsevier
Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 2.
Jakarta: Media Aesculapius
39
Pillitteri, A. (2011). Maternal & child health nursing: Care of the childbearing &
childrearing family. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
Wong, D.L., Hockenberry-Eaton, M., Wilson, D., Winkelsein M.L., & Schwartz,
P. (2009). Buku ajar keperawatan pediatrik Wong. Edisi 6. Volume 2. (Hartono,
A., Kurnianingsih, S., & Setiawan alih bahasa). Jakarta: EGC
40