Você está na página 1de 3

KITA TENGAH MENUJU SENJAKALA SASTRA?

Oleh: Indra Tjahyadi*)

Suatu hari, seorang kawan yang berprofesi sebagai Kritikus Sastra berkomentar bahwa sudah
saatnya dilakukan kaderisasi dalam dunia kritik sastra. Kaderisasi?
Setiap kali saya bertemu kata “kaderisasi” selalu yang muncul dalam benak saya adalah
nostalgia zaman Orde Baru. Ketika itu kata “kaderisasi” tak ubahnya hantu yang muncul setiap
pukul 7 (tujuh) malam, 9 (sembilan) malam, dan 12 (dua belas) malam (ketika berita terakhir).
Padahal. apabila ditilik melalui kacamata ketatabahasaan, kata “kaderisasi” adalah
bentukan kata yang salah kaprah, yang sesuai dengan aturan baku adalah “pengkaderan”. Kata
dasar dari bentukan kata “kaderisasi” adalah kata “kader”, dan apabila kita ingin bersikukuh dan
taat asas pada sistem ketatabahasaan yang telah kita pilih dan putuskan, maka yang benar adalah
bukanlah “kaderisasi” melainkan “pengkaderan”, sebab di dalam sistem ketatabahasaan bahasa
Indonesia yang baku kita tidaklah mengenal akhiran –sasi. Akan tetapi, sudahlah, lupakan saja,
sebab bukankah bangsa kita yang kita cintai ini adalah bangsa yang memang begitu senang
melakukan penyalahkaprahan?
Kembali kepada ingatan saya tentang nostalgia kata “kaderisasi”. Ketika itu kata
“kaderisasi” selalu berkonotasi usaha peremajaan anggota dari suatu partai atau golongan
tertentu yang disertai pengindoktrinan ideologi partai atau golongan tertentu tersebut secara
ketat, komprehensif dan terpadu. Bagi mereka yang dikenai “kaderisasi” tak ada satu pun daya
tawar atau kemungkinan untuk melakukan penolakan ataupun perlawanan atas mereka yang
mengenakan “kaderisasi. Pendeknya ada semacam kepatuhan mutlak dari mereka “yang
dikenakan kader” atas mereka “yang mengenakan kader”. Oleh sebab itu untuk masalah kata
“kaderisasi” saya lebih suka menggantinya dengan kata “regenerasi”.
Kata “regenerasi” masih menyisakan sedikit ruang kebebasan, tidak seperti halnya kata
“kaderisasi”, yang merujuk pada suatu tindakan indoktrinisasi dan pengungkungan terhadap
semangat independensi dan daya kritis. Mekipun di satu sisi kata “regenerasi” ini juga tidak
menutup kemungkinan untuk tetap membawa beban doktrin-doktrin baku para pendahulunya,
akan tetapi dalam kata “regenerasi” tersebut sebuah ruang tawar masih disisakan. Bukankah
sastra adalah seonggok organisme yang memuja kebebasan, meskipun di satu sisi, oleh para
pelakuknya, kebebasan tersebut haruslah tetap mengikuti aturan “kebebasan yang bertanggung
jawab”.
Apabila kita berpikir—atau bahkan berkeyakinan—bahwa sastra adalah sebuah entitas
yang lahir dan berada karena tradisi, jawabannya bisa jadi adalah perlu. Ini disebabkan karena
sebagai sebuah entitas yang lahir dan berada karena tradisi, sastra membutuhkan para
penjaganya, para pewarisnya, tanpa hal tersebut tradisi tidak akan berjalan dan dengan sendirinya
akan lenyap atau raib secara ikhlas.
Sebuah tradisi lahir dan tetap berada karena adanya kontinuitas peremajaan atasnya yang
dilakukan oleh mereka yang hidup dalam wilayah kelembagaan tradisi tersebut. Kesinambungan
pewarisan yang terus turun-menurun antara satu generasi pedahulunya ke generasi berikutnya,
dan berikutnya, dan berikutnya, dan berikutnya lagi, dapatlah dikatakan sebagai sebuah tindakan
ataupun usaha yang dapat menjaga keberadaan suatu tradisi tersebut. Tanpa hal itu, sangatlah
tidak mungkin suatu tradisi akan terus berkelanjutan.
Mungkin sebagai contoh guna melihat betapa regenerasi dalam suatu wilayah tradisi
sangat diperlukan untuk menjaga sebuah atau suatu tradisi agar tetap hidup dan berada dapatlah
dilihat, salah satunya, pada kisah Luth ketika hanya ia beserta kedua anak perempuannya saja

1
yang berhasil selamat dari bencana pembrangusan kota Sodom. Konon demi untuk tetap menjaga
keberadaan dan kesinambungan tradisi keluarganya yang ada, kedua anak perempuan Luth
memutuskan untuk secara bergantian melakukan hubungan intim dengan Luth, sang ayah.
Pertimbangan mereka adalah tanpa melakukan hal itu, akan sangat tidak mungkinlah regenerasi
akan terjadi. Dan apabila regenerasi tidak terjadi, maka tradisi yang ada dalam peradaban
kehidupan kelembagaan mereka akan lenyap. Dan demi untuk menjadikan adanya regenerasi,
mereka sampai hati melakukan hal itu.
Akan tetapi, hal ini bukanlah berarti bahwa sebuah tradisi tidak memungkinkan adanya
perkembangan-perkembangan atau perlawanan-perlawanan dalam diri tradisi itu sendiri yang
dimunculkan oleh mereka yang hidup di dalamnya. Perkembangan ataupun perlawanan dalam
sebuah tradisi yang dimunculkan oleh tradisi tersebut adalah konsekuensi yang tak dapat
dielakkan. Dengan adanya regenerasi, hal itu bukanlah suatu surprise.
Karena setiap generasi mengemban zeitgeistsnya masing-masing, maka perkembangan
suatu tradisi adalah lumrah. Semangat zaman (zeitgeists) sebuah generasi adalah sesuatu yang
khas yang dimiliki oleh generasi tersebut. Hanya saja, meskipun khas miliki generasi dari zaman
tersebut, semangat zaman tetap mengandaikan adanya hubungan atau benang merah yang
menghubungkan antara satu generasi dengan generasi pendahulunya. Inilah mengapa suatu
generasi dapat dilihat perbedaan atau persamaannya dengan generasi sebelumnya.
Ketekunan dalam menjaga suatu tradisi, di satu sisi, dapat menimbulkan efek negatif bagi
mereka yang hidup dalam ruang lingkup dalam tradisi tersebut. Dalam filmnya yang berjudul
“The Village” sang sutradara, M. Night Shyalaman, berusaha memperlihat bagaimana suatu
usaha atau tindakan untuk menjaga tradisi secara tekun dan teguh hanya akan membawa “para
yang dikenakan tradisi” pada keterkungkungan dan keterpencilan, dan akhirnya mermbuat tradisi
itu sendiri tidak dapat berkembang.
Usaha untuk mengalienasi atau memencilkan suatu geografi peradaban sebuah tradisi,
dalam filmnya tersebut, M. Night Shyalaman memperlihatkannya dengan usaha para pemimpin
komunitas tersebut dengan terus-menerus berusaha untuk menjaga jarak dengan dunia luar, yakni
dengan cara membangun suatu lahan alang-alang dan memberikan mitos yang mengerikan
terhadap lahan alang-alang tersebut. Usaha para pemimpin komunitas tersebut menghasilkan
suatu efek, yakni pengucilan dan keterpencilan dari dunia luar. Akan tetapi, hal tersebut tidaklah
berlangsung lama. Ketika mitos tentang lahan alang-alang tersebut tumbang, tumbang pulalah
usaha untuk tetap menjaga “keasrian” nilai-nilai tradisi.
Perubahan, entah dalam bentuk perkembangan atau penolakan secara mutlak, adalah hal
yang tak dapat dielakkan dalam kehidupan sejarah peradaban manusia. cepat atau lambat hal
tersebut akan tetap terjadi. Begitu juga bagi dan dalam tradisi. Segala perubahan, baik yang
berbentuk pengembangan ataupun penolakan, adalah hal yang tak dapat dielakkan. Sebab
bukankah—seperti yang telah kita semua sama ketahui—bahwa yang kekal adalah perubahan?
Apabila ada yang mengatakan atau menyatakan bahwa sastra kita adalah sastra yang
terpencil, mungkin penyebabnya adalah ketekunan kita yang terlalu dalam menjaga nilai-nilai
tradisi. Sebuah ketekunan yang menjauhkan sastra kita dari pergaulan sehari-hari dengan the
other, dunia di luar sastra kita.
Kesadaran akan suatu kebutuhan akan dekonstruksi ataupun rekonstruksi atas nilai-nilai
tradisi sastra kita seakan-akan muncul dengan semarak. Berbagai cara dilakukan oleh generasi
sastra kita kini untuk meraih pergaulan dengan the other. Misalnya dengan cara menyelami
kembali nilai-nilai tradisi sastra kita yang telah ada dan memasukkan wacana-wacana sastra luar
atau disiplin ilmu lain ke dalam “idea” tradisi sastra kita. Tindakan atau usaha semacam ini

2
nantinya akan menghasilkan beberapa revisi terhadap “idea” tradisi sastra kita, dan pada
akhirnya juga menghasilkan revisi atas nilai-nilai tradisi sastra kita.
Untuk menjaga kebersemangatan ini tetap ada diperlukan instrumen lain selain sang
sastrawan. Kritikus adalah instrumen penting untuk menjaga tetap gayengnya iklim
kebersemangat akan perubahan tersebut. Sebagai pembaca yang kritis, seorang kritikus,
tentunya, diharapkan mampu berperan untuk memberikan stimulan yang signifikan bagi
sastrawan dan karya sastra. Dengan begitu sebuah ruang dialektika akan tetap terjadi, yang
nantinya—diharapkan—mampu memberikan semacam progress terhadap keberadaan sastra kita
secara lengkap.
Ada kasak-kusuk dalam kesusastraan kita saat ini bahwa melimpahnya karya tidak diikuti
dengan melimpahnya daya kualitas yang mumpuni. Mungkin kasak-kusuk ini ada benarnya, tapi
mungkin juga tidak ada benarnya. Sebab untuk mengatakan atau menyatakan tinggi ataupun
rendahnya kulitas sastra kita butuh masukan juga dari kritikus sastra dengan kritiknya, dan
dengan minimnya kritik sastra dan kritikus sastra kasak-kusuk semacam itu tak lebih dari
umpatan sambil lalu penuh emosi seorang sopir angkot pada seorang tukang becak yang
menghalangi atau memotong jalan.
Berbeda dengan seorang sastrawan yang menghadapi sastra sebagai sebuah tindak
kreatif, seorang kritikus menghadapi sastra sebagai tindak sains, ilmu pengetahuan. Karena
beban sains, sudah sepantasnyalah, maka minimnya keberadaan kritikus dan kritik sastra
dipertanggungjawabkan pada kewibawaan institusi pendidikan formal yang berkonstrasi pada
masalah keilmuan sastra.
Rendahnya mutu keilmuan sastra pada lembaga pendidikan formal sastra, dapatlah
dikatakan, menjadi penyebab yang signifikan rendahnya kemampun kritik dan kritikus sastra
dalam menghadapi suatu fenomena sastra. Akibatnya seorang sastrawan, ataupun penulis sastra
kreatif, tidak dapat menemukan kawan berdialog yang signifikan, yang dapat memperkaya
pengetahuannya, yang pada akhirnya memperkaya wacananya ketika ia menciptakan suatu
karya. Apabila kondisi ini terus dibiarkan terjadi, berarti kita tidak hanya tengah menuju
senjakala sastra, akan tetapi kita memang benar-benar sudah sampai pada senjakala sastra. Di
mana kita hanya akan bertemu sastra tanpa tindak dialektika yang bermanfaat bagi sastra, apalagi
bagi dunia di luar sastra itu sendiri.

*) penulis adalah penyair, esais, pengajar di Fakultas Sastra & Filsafat Universitas Panca
Marga Probolinggo.

Keterangan: Tulisan ini dibawakan sebagai makalah pada seminar “Temu Muka Sastrawan” di
Fakultas Sastra Universitas Airlangga, tanggal 31 Mei 2005, pk. 14.00 – 16.00.

Você também pode gostar