Você está na página 1de 32

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anak Mogok Sekolah seringkali menjadi permasalahan tersendiri,
harapan orang tua anaknya tidak mengalami kendala dalam berangkat
sekolah. Dalam kondisi tertentu anak kadang tidak mau berangkat sekolah
biasanya terjadi pada periode tertentu misalnya tahun ajaran baru, transisi
kenaikan kelas atau anak anak yang baru pindah sekolah.Untuk beberapa
orang tua kurang sabar dalam menghadapi anaknya yang mogok sekolah
karena seharusnya belajar bersama teman temannya disekolah malahan
dirumah melakukan aktivitas yang tidak jelas hanya menonton TV atau
bermain saja yang membuat orang tua marah marah.Seharusnya orang tua
harus berusaha mencari penyebabnya yang menyebabkan anaknya tidak mau
berangkat sekolah, penyebabnya harus ditelusuri jangan dihakimi dulu
sehingga disini dibutuhkan adalah komunikasi antara orang tua dan
anak.Dengan mengajak anak sharing masalah yang sedang dihadapi misalnya
ada kendala di sekolahan, ada hambatan dengan pelajaran tertentu, bisa juga
dengan gurunya yang menyampaikan terlalu cepat sehingga anak kurang bisa
mengikuti. Bisa juga karena tugas sekolah yang terlalu banyak yang belum
diselesaikan sehingga takut mau berangkat sekolah, penyebab lain bisa juga
tekanan dari teman sekolahnya atau karena terlalu pendiam tidak punya
teman kesepian merasa tidak nyaman di sekolahan. Menghadapi kenyataan
dan kondisi di atas, apa yang sebaiknya dilakukan orangtua agar kendali
pendidikan dan pengasuhan anak tetap berada di pundak mereka sehingga
tidak terjadi hal-hal negatif yang dapat merugikan perkembangan fisik dan
mental anak di masa yang akan datang. Dalam artikel ini saya mencoba untuk
mengulas apa yang dimaksud dengan fobia sekolah (mogok atau tidak mau ke
sekolah), apa faktor penyebabnya dan bagaimana orangtua harus menyiasati
kondisi ini.
Gagal sekolah school failure sudah menjadi Fenomena yang sering
terjadi dilingkungan kita. Di Negara Maju masalah ini sudah menjadi masalah
2

yang umum dibicarakan. Kesiapan sekolah yang tidak dipersiapkan dengan


matang dan faktor – faktor penyebab mogok sekolah school avoidance yang
jika tidak diantispasi akan menimbulkan gagal sekolah. Deteksi dini faktor –
faktor penyebab gagalnya sekolah perlu dilakukan oleh orangtua dan guru
sangat penting dan wajib hukumnya. Pendekatan multidisiplin dan
komprehensif dalam mengevaluasi dan mengintervensi hal ini sangat
diperlukan sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan dan penanganan secara
tepat.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian anak mogok sekolah dan gagal sekolah?
2. Apa saja gejala-gejala dari mogok sekolah?
3. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi fobia sekolah dan
kegagalan sekolah?
4. Apa penyebab dari fobia sekolah dan gagal sekolah?
5. Bagaimana proses terbentuknya fobia sekolah pada anak?
6. Apa saja jenis dan tingkatan dari penolakan terhadap sekolah?
7. Bagaimana mengatasi anak mogok sekolah dan gagal sekolah?
8. Bagaimana mencegah terjadinya gagal sekolah?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini antara lain :
1. Mendeskripsikan mengenai anak yang mengidap fobia
sekolah/mogok sekolah dan gagal sekolah.
2. Memahami gejala-gejala, faktor-faktor, penyebab dari fobia
sekolah / mogok sekolah dan gagal sekolah.
3. Memahami proses terbentuknya fobia sekolah dan gagal sekolah
pada anak.
4. Memahami jenis dan tingkatan dari penolakan terhadap sekolah.
5. Membantu menangani anak yang fobia terhadap sekolah dan gagal
sekolah.
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Fobia sekolah / Mogok sekolah


3

Fobia sekolah adalah suatu jenis gangguan kecemasan yang terlalu


berlebihan, irasional, terus menerus dan tidak realistis yang dialami anak
sekolah dalam menghadapi lingkungan sekolahnya.
Menurut Rafy (2004) fobia merupakan ketakutan yang berlebih-lebihan
terhadap benda-benda atau situasi-situasi tertentu yang seringkali tidak
beralasan dan tidak berdasarkan pada kenyataan. Fobia adalah rasa ketakutan
yang berlebihan pada sesuatu hal atau fenomena. Fobia bisa dikatakan dapat
menghambat kehidupan orang yang mengidapnya. Bagi sebagian orang,
perasaan takut seorang pengidap fobia sulit dimengerti. Itu sebabnya, pengidap
tersebut sering dijadikan bahan ejekan oleh teman sekitarnya. Ada perbedaan
bahasa antara pengamat fobia dengan seorang pengidap fobia. Pengamat fobia
menggunakan bahasa logika sementara seorang pengidap fobia biasanya
menggunakan bahasa rasa. (Astuti, 2006)
Fobia adalah ketakutan yang kuat dan abnormal seseorang terhadap
suatu objek ataupun situasi tertentu. Fobia dapat terbentuk oleh sugesti negatif
yang dipupuk, rentetan peristiwa yang sangat buruk, menakutkan ataupun
menyakitkan dimasa lalu. Semakin ekstrim intensitas peristiwanya, semakin
kuat potensi fobianya. Kebanyakan fobia terjadi pada masa kanak kanak
walaupun dapat juga terjadi saat dewasa. (Mahendratto, 2007)
Kearney dan Silverman (dalam Carpenter 2005) berpendapat bahwa
fobia sebagai ketakutan akibat pengalaman di masa lalu. Umumnya fobia
4

terjadi secara terus-menerus dan dalam waktu yang cukup lama. Fobia
biasanya tidak masuk akal dan dapat dikatakan ketakutan yang berlebihan
terhadap sesuatu hal.
Mogok Sekolah seringkali menjadi permasalahan tersendiri, harapan
orang tua anaknya tidak mengalami kendala dalam berangkat sekolah.Dalam
kondisi tertentu anak kadang tidak mau berangkat sekolah biasanya terjadi
pada periode tertentu misalnya tahun ajaran baru, transisi kenaikan kelas atau
anak anak yang baru pindah sekolah.Untuk beberapa orang tua kurang sabar
dalam menghadapi anaknya yang mogok sekolah karena seharusnya belajar
bersama teman temannya disekolah malahan dirumah melakukan aktivitas
yang tidak jelas hanya menonton TV atau bermain saja yang membuat orang
tua marah marah.Seharusnya orang tua harus berusaha mencari penyebabnya
yang menyebabkan anaknya tidak mau berangkat sekolah, penyebabnya harus
ditelusuri jangan dihakimi dulu sehingga disini dibutuhkan adalah komunikasi
antara orang tua dan anak. Anak sering memberi alasan yang tidak masuk akal
untuk tidak masuk sekolah maka orang tua harus mengajak diskusi agar anak
belajar bisa berfikir saling keterkaitan ada sebab akibat. Dan jika anak ada
masalah segera dibantu apabila anak tidak mampu menyelesaikan maka orang
tua untuk mengambil alih.Untuk berkomunikasi dengan anak anak memakai
teknik teknik tertentu bercerita yang muter muter dulu.Ada juga misalnya
memberikan pertanyaan yang sifatnya pancingan jawabnya ya dan tidak, ini
untuk menghadapi anak anak yang tidak bisa bercerita banyak. Cari waktu
yang santai sambil dirangkul agar si anak merasa nyaman sehingga pada saat
ngobrol si anak akan merasa enak. Apabila bermasalah dengan teman teman
sekolahnya untuk segera dilaporkan saja ke pihak sekolah atau guru wali
kelasnya.Agar gurunya dapat mendamaikan situasi di sekolah tersebut.
Sehingga anak mau berangkat sekolah kembali.Apabila permasalahan mogok
sekolah karena orang tua yang harus dibangun adalah membangun rasa percaya
diri sehingga ketika anak pergi keluar dari rumah menjadi sosok yang bisa
menyesuaikan diri dengan lingkungannya.Apabila permasalahan dari sekolah
lebih baik untuk membangun sesuatu jejaring yaitu mengembangkan parenting
5

sebagai suatu media untuk berkomunikasi antara orang tua dengan


sekolah.Selain itu yang terpenting ditanamkan kepada anak adalah bahwa
sekolah bukan hanya untuk belajar tetapi juga mempelajari hal hal diluar
pendidikan formal karena sekolah sebagai sarana belajar bersosialisasi, belajar
mengatasi konflik baik dengan guru maupun dengan teman lainnya sehingga
sekolah menjadi sangat menyenangkan.

2.2 Gejala-gejala Fobia Sekolah


Menurut Sumarti (dalam Soekresno, 2006) ada beberapa gejala yang
dapat dijadikan kriteria anak yang mengalami fobia sekolah. Antara lain :
1. Menolak untuk berangkat ke sekolah
2. Mau datang ke sekolah, tetapi tidak lama kemudian minta pulang,
3. Pergi ke sekolah dengan menangis, selalu menggandeng tangan
orangtuanya atau pengasuhnya, atau menunjukkan sikap yang berlebihan
seperti menjerit-jerit di kelas, agresif terhadap anak lainnya (memukul,
mencubit, menggigit, dan sebagainya) atau pun menunjukkan sikap-sikap
melawan atau menentang gurunya,
4. Menunjukkan ekspresi atau raut wajah sedemikian rupa untuk
meminta belas kasih guru agar diijinkan pulang. Hal ini berlangsung
selama periode tertentu,
5. Tidak masuk sekolah selama beberapa hari,
6. Keluhan fisik yang sering dijadikan alasan seperti sakit perut, sakit
kepala, mual, muntah, diare, gatal-gatal, keringatan, gemetaran atau
keluhan lainnya. Anak berharap dengan mengemukakan alasan sakit, maka
anak diperbolehkan tinggal di rumah,
7. Mengemukakan keluhan lain (di luar keluhan fisik) dengan tujuan
tidak perlu berangkat ke sekolah.
Menurut Ahmad (dalam Hawadi, 2001) ada empat gejala anak mengalami
fobia sekolah yaitu
1. Ketakutan atau kebimbangan yang tidak rasional
2. Perilaku mengelak dari objek atau situasi yang membuatnya takut
6

3. Tidak menerima penjelasan apapun yang bertujuan mengurangi


kadar rasa takutnya
4. Perubahan emosi yang signifikan seperti menjadi emosi dan
gelisah.

2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Fobia Sekolah


Menurut Hurlock (1996) ada dua faktor yang mempengaruhi terjadinya
fobia sekolah yaitu faktor internal dan eksternal.
1. Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor-faktor yang terdapat dalam diri anak yang
mempengaruhi terjadinya fobia sekolah. Faktor tersebut adalah
Intelegensi, Jenis Kelamin, Kondisi Fisik, Urutan Kelahiran, Kepribadian
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang terdapat diluar diri anak yang
mempengaruhi fobia sekolah. Faktor tersebut adalah Status Ekonomi
Sosial, Hubungan Sosial, Lingkungan, Pola Asuh Orangtua
Ada beberapa penyebab yang membuat anak seringkali menjadi
mogok sekolah. orangtua perlu bersikap hati-hati dan bijaksana dalam
menyikapi sikap pemogokan itu, agar dapat memberikan penanganan yang
benar-benar tepat. Alangkah baiknya, jika orangtua mau bersikap terbuka
dalam mempelajari dan mencari semua kemungkinan yang bisa terjadi.
Konsultasi dengan guru di sekolah, sharing dengan sesama orangtua murid,
diskusi dengan anak, konsultasi dengan konselor/psikolog, (kalau perlu)
memeriksakan anak ke paramedis/dokter sesuai keluhan yang
dikemukakannya, hingga introspeksi diri – adalah metode yang tepat untuk
mendapatkan gambaran penyebab dari fobia sekolah anak. Berhati-hatilah
untuk membuat diagnosa secara subyektif, didasarkan pada pendapat
pribadi diri sendiri atau keluhan anak semata. Di bawah ini ada beberapa
penyebab fobia sekolah dan school refusal :
1. Separation Anxiety
Separation anxiety pada umumnya dialami anak-anak kecil usia
balita (18 – 24 bulan). Kecemasan itu sebenarnya adalah fenomena yang
7

normal. Anak yang lebih besar pun (preschooler, TK hingga awal SD)
tidak luput dari separation anxiety. Bagi mereka, sekolah berarti pergi dari
rumah untuk jangka waktu yang cukup lama. Mereka tidak hanya akan
merasa rindu terhadap orangtua, rumah, atau pun mainannya – tapi mereka
pun cemas menghadapi tantangan, pengalaman baru dan tekanan-tekanan
yang dijumpai di luar rumah. Separation anxiety bisa saja dialami anak-
anak yang berasal dari keluarga harmonis, hangat dan akrab yang amat
dekat hubungannya dengan orangtua – singkat kata, tidak ada masalah
dengan orangtua. Orangtua mereka adalah orangtua yang baik dan peduli
pada anak, dan mempunyai kelekatan yang baik. Namun tetap saja anak
cemas pada saat sekolah tiba. Tanpa orangtua pahami, anak-anak sering
mencemaskan orangtuanya. Mereka takut kalau-kalau orangtua mereka
diculik, atau diserang monster atau mengalami kecelakaan sementara
mereka tidak berada di dekat orangtua. Ketakutan itu tidak dibuat-buat,
namun merupakan fenomena yang biasa hinggap pada anak-anak usia
batita dan balita. Oleh sebab itu, mereka tidak ingin berpisah dari orangtua
dan malah lengket-nempel terus pada mama-papanya. Peningkatan
kecemasan menimbulkan rasa tidak nyaman pada tubuh mereka, dan ini
lah yang sering dikeluhkan (perut sakit, mual, pusing, dsb). Sejalan
dengan perkembangan kognisi anak, ketakutan dan kecemasan yang
bersifat irrasional itu akan memudar dengan sendirinya karena anak mulai
bisa berpikir logis dan realistis. Separation anxiety bisa muncul kala anak
selesai menjalani masa liburan panjang atau pun mengalami sakit serius
hingga tidak bisa masuk sekolah dalam jangka waktu yang panjang.
Selama di rumah atau liburan, kuantitas kedekatan dan interaksi antara
orangtua dengan anak tentu saja lebih tinggi dari pada ketika masa
sekolah. Situasi demikian, sudah tentu membuat anak nyaman dan aman.
Pada waktu sekolah tiba, anak harus menghadapi ketidakpastian yang
menimbulkan rasa cemas dan takut. Namun, dengan berjalannya waktu,
anak yang memiliki rasa percaya diri, dapat perlahan-lahan beradaptasi
dengan situasi sekolah.
8

Peneliti berpendapat, anak yang mempunyai rasa percaya diri yang


rendah, berpotensi menjadi anak yang anxiety prone-children (anak yang
memiliki kecenderungan mudah cemas) dan cenderung mudah mengalami
depresi. Banyak orangtua yang tidak sadar bahwa sikap dan pola asuh
yang diterapkan pada anak ikut menyumbang terbentuknya dependency
(ketergantungan), rasa kurang percaya diri dan kekhawatiran yang
berlebihan. Contohnya, sikap orangtua yang overprotective terhadap anak
hingga tidak menumbuhkan rasa percaya diri keberanian dan kemandirian.
Anak tidak pernah diperbolehkan, dibiarkan atau didorong untuk berani
mandiri. Orangtua takut kalau-kalau anaknya kelelahan, terluka, jatuh,
tersesat, sakit, dan berbagai alasan lainnya. Anak selalu berada dalam
proteksi, pelayanan dan pengawalan melekat dari orangtua. Akibatnya,
anak akan tumbuh menjadi anak manja, selalu tergantung pada pelayanan
dan bantuan orangtua, penakut, cengeng, dan tidak mampu memecahkan
persoalannya sendiri. Banyak orangtua yang tanpa sadar membuat pola
ketergantungan ini berlangsung terus-menerus agar mereka merasa selalu
dibutuhkan (berarti, berguna) dan sekaligus menjadikan anak sebagai
teman “abadi”. Padahal, dibalik ketergantungan sang anak terhadap
orangtua, tersimpan kebutuhan dan ketergantungan orangtua pada
“pengakuan” sang anak. Akibatnya, keduanya tidak dapat memisahkan diri
saat anak harus mandiri dan sulit bertumbuh menjadi individu yang
dewasa.

2. Pengalaman Negatif di Sekolah atau Lingkungan

Mungkin saja anak menolak ke sekolah karena dirinya kesal,


takut dan malu setelah mendapat cemoohan, ejekan atau pun
di”ganggu” teman-temannya di sekolah. Atau anak merasa malu karena
tidak cantik, tidak kaya, gendut, kurus, hitam, atau takut gagal dan
9

mendapat nilai buruk di sekolah. Di samping itu, persepsi terhadap


keberadaan guru yang galak, pilih kasih, atau “seram” membuat anak
jadi takut dan cemas menghadapi guru dan mata pelajarannya. Atau,
ada hal lain yang membuatnya cemas, seperti mobil jemputan yang
tidak nyaman karena ngebut, perjalanan yang panjang dan melelahkan,
takut pergi sendiri ke sekolah, takut sekolah setelah mendengar cerita
seram di sekolah, takut menyeberang jalan, takut bertemu seseorang
yang “menyeramkan” di perjalanan, takut diperas oleh kawanan anak
nakal, atau takut melewati jalan yang sepi. Para ahli mengatakan,
bahwa masalah-masalah tersebut sudah dapat menimbulkan stress dan
kecemasan yang membuat anak menjadi moody, tegang, resah, dan
mulai merengek tidak mau sekolah, ketika mulai mendekati waktu
keberangkatan. Masalahnya, tidak semua anak bisa menceritakan
ketakutannya itu karena mereka sendiri terkadang masih sulit
memahami, mengekspresikan dan memformulasikan perasaannya.
Belum lagi jika mereka takut dimarahi orangtua karena dianggap
alasannya itu mengada-ada dan tidak masuk akal. Dengan sibuknya
orangtua, sementara anak-anak lebih banyak diurus oleh baby sitter
atau mbak, makin membuat anak sulit menyalurkan perasaannya; dan
akhirnya yang tampak adalah mogok sekolah, agresif, pemurung,
kehilangan nafsu makan, keluhan-keluhan fisik, dan tanda-tanda lain
seperti yang telah disebutkan di atas

3. Problem Dalam Keluarga

Penolakan terhadap sekolah bisa disebabkan oleh problem yang


sedang dialami oleh orangtua atau pun keluarga secara keseluruhan.
Misalnya, anak sering mendengar atau bahkan melihat pertengkaran yang
terjadi antara papa-mamanya, tentu menimbulkan tekanan emosional yang
mengganggu konsentrasi belajar. Anak merasa ikut bertanggung jawab
atas kesedihan yang dialami orangtuanya, dan ingin melindungi, entah
mamanya – atau papanya. Sakitnya salah seorang anggota keluarga, entah
10

orangtua atau kakak/adik, juga dapat membuat anak enggan pergi ke


sekolah. Anak takut jika terjadi sesuatu dengan keluarganya yang sakit
ketika ia tidak ada di rumah.

2.4 Penyebab Fobia Sekolah


Menurut Handayani (2006) ada beberapa penyebab yang membuat anak
seringkali menjadi fobia sekolah. Antara lain Separation anxiety (kecemasan
untuk berpisah), Pengalaman negatif di sekolah atau lingkungan, Problem
dalam keluarga
Menurut Darsono (2008) Fobia sekolah bukanlah bawaan anak sejak
lahir, juga bukanlah penyakit keturunan. Fobia biasanya disebabkan oleh
adanya pengalaman traumatik. Fobia merupakan tanggapan terkondisi terhadap
pengalaman yang sifatnya traumatis. Selain itu fobia juga merupakan produk
dari pola pengasuhan orangtua terhadap anak. Yang menjadi penyebab
terjadinya fobia sekolah adalah pola hubungan orangtua dan anak yang tidak
sehat, Sistem keluarga yang sering bertengkar, Pengalaman negatif di sekolah,
dan Pengalaman abusive

2.5 Proses Terbentuknya Fobia Sekolah


Menurut Mahendratto (2007), fobia sekolah dapat terbentuk oleh
sugesti negatif yang terjadi di sekolah, adanya serangkaian peristiwa yang
sangat buruk, menakutkan ataupun menyakitkan dimasa lalu. Semakin ekstrim
intensitas peristiwanya, semakin kuat potensi fobianya. Kebanyakan fobia
terjadi pada masa kanak kanak walaupun dapat juga terjadi saat dewasa. Ciri-
ciri psikis antara lain muncul rasa cemas atau takut, tetapi tanpa dasar yang
jelas dan cenderung panik. Ciri fisik antara lain gemetar, nafas menjadi cepat
dan jantung berdebar debar.
Saat seseorang mengalami serangkaian peristiwa buruk (traumatis)
ataupun ekstrim, timbul ketegangan luar biasa. Karena tubuh manusia tidak
mungkin terus menerus tegang, upaya peredaan ketegangan biasanya
dilakukan manusia secara tanpa sadar melalui mekanisme pertahanan diri
11

dengan cara penekanan (repression) gangguan tersebut ke bawah sadar.


(Mahendratto, 2007)
Jika seseorang tidak mampu mengatasi peristiwa traumatis tersebut,
praktis pertumbuhan normal mentalnya mengalami penurunan (degradasi)
ataupun terhenti (fiksasi). Pada peristiwa fiksasi tersebut, mental kita
membentuk konfigurasi mental tertentu dan relatif permanen. Dikemudian
hari jika terdapat stimulan yang sama atau mirip, maka pola respon yang akan
dipakai adalah pola respon yang terakhir dikenal atau biasa disebut regresi.
Pada kebanyakan orang, fobia dianggap tidak penting ataupun mengganggu
dirinya. Sesungguhnya Fobia sangat merugikan pertumbuhan normal mental
seseorang dan biasanya kerugian tersebut baru disadari saat semuanya sudah
sangat terlambat (kehilangan waktu, kesempatan dan kehidupan sosial).
(Mahendratto, 2007)

2.6 Tingkatan dan Jenis Penolakan Terhadap Sekolah


Menurut Rini (2006) Ada beberapa tingkatan school refusal, mulai dari
yang ringan hingga yang berat (fobia), yaitu
1. Initial school refusal behavior,
adalah sikap menolak sekolah yang berlangsung dalam waktu yang sangat
singkat (seketika/tiba-tiba) yang berakhir dengan sendirinya tanpa perlu
penanganan.
2. Substantial school refusal behavior,
adalah sikap penolakan yang berlangsung selama minimal 2 minggu.
3. Acute school refusal behavior
adalah sikap penolakan yang bisa berlangsung 2 minggu hingga 1 tahun,
dan selama itu anak mengalami masalah setiap kali hendak berangkat
sekolah
4. Chronic school refusal behavior
adalah sikap penolakan yang berlangsung lebih dari setahun, bahkan
selama anak tersebut bersekolah di tempat itu.
12

Hasil penelitian Rini (2006) di tiga sekolah dasar yang berada di


Surakarta, anak-anak yang ingin memasuki usia sekolah lebih banyak
mengalami substantial school refusal behavior (sikap penolakan sekolah yang
berlangsung selama minimal 2 minggu) yang berkisar sekitar 65%. (anak
perempuan 40% dan anak laki-laki 25%). Anak yang mengalami Acute school
refusal behavior (sikap penolakan sekolah yang bisa berlangsung 2 minggu
hingga 1 tahun, dan selama itu anak mengalami masalah setiap kali hendak
berangkat sekolah) berkisar sekitar 35%. (anak perempuan 17,5% dan anak
laki-laki 17,5%). School refusal behavior adalah perilaku penolakan sekolah
yang terjadi pada anak saat waktu sekolah tiba.
Menurut Arjana (2006) penolakan sekolah dapat dibedakan dalam
beberapa jenis, yaitu tipe ringan (tak masuk sekolah dalam kurun waktu
beberapa hari), tipe sedang (tak masuk sekolah dalam waktu satu minggu), dan
tipe berat (hampir setiap hari tak sekolah dalam kurun waktu tiga minggu).

2.7 Cara Penanganan Fobia Sekolah


Menurut Setyorini (2006) Ada beberapa cara yang dapat dilakukan
orangtua dalam menangani masalah fobia sekolah, yaitu
1. Menekankan pentingnya bersekolah,
Para ahli pendidikan dan psikolog berpendapat bahwa terapi terbaik untuk
anak yang mengalami fobia sekolah adalah dengan mengharuskannya
tetap bersekolah setiap hari (the best therapy for school phobia is to be in
school every day). Karena rasa takut harus diatasi dengan cara
menghadapinya secara langsung. Menurut para ahli tersebut, keharusan
untuk mau tidak mau setiap hari masuk sekolah, malah menjadi obat yang
paling cepat mengatasi masalah fobia sekolah, karena lambat laun
keluhannya akan makin berkurang hari demi hari. Makin lama dia
“diijinkan” tidak masuk sekolah, akan makin sulit mengembalikannya lagi
ke sekolah, dan bahkan keluhannya akan makin intens dan meningkat.
Selain itu, dengan mengijinkannya absen dari sekolah, anak akan makin
ketinggalan pelajaran, serta makin sulit menyesuaikan diri dengan teman-
13

temannya. Kemungkinan besar anak akan coba-coba bernegosiasi dengan


orangtua, untuk menguji ketegasan dan konsistensi orangtua. Jika ternyata
pada suatu hari orangtua akhirnya “luluh”, maka keesokkan harinya anak
akan mengulang pola yang sama. Tetaplah bersikap hangat, penuh
pengertian, namun tegas dan bijaksana sambil menenangkan anak bahwa
semua akan lebih baik setibanya dia di sekolah.
2. Berusaha untuk tidak menuruti keinginan anak untuk tidak sekolah.
Entah karena pusing mendengar suara anak atau karena amat
mengkhawatirkan kesehatan anak, orangtua seringkali meluluskan
permintaan anak. Tindakan ini tentu tidak sepenuhnya benar. Jika ketika
bangun pagi anak segar bugar dan bisa berlari-lari keliling rumah atau pun
sarapan pagi dengan baik, namun pada saat mau berangkat sekolah, tiba-
tiba mogok – maka sebaiknya orangtua tidak melayani sikap “negosiasi”
anak dan langsung mengantarnya ke sekolah. Satu hal penting untuk
diingat adalah hindari sikap menjanjikan hadiah jika anak mau berangkat
ke sekolah, karena hal ini akan menjadi pola kebiasaan yang tidak baik
(hanya mau sekolah jika diberi hadiah). Anak tidak akan mempunyai
kesadaran sendiri kenapa dirinya harus sekolah dan terbiasa memanipulasi
orangtua/lingkungannya. Anak jadi tahu bagaimana taktik atau strategi
yang jitu dalam mengupayakan agar keinginannya terlaksana. Jika sampai
terlambat, anak tetap harus berangkat ke sekolah – kalau perlu ditemani/
diantar orangtua. Demikian juga jika sesampai di sekolah anak minta
pulang, maka orangtua harus tegas dan bekerja sama dengan pihak guru
untuk menenangkan anak agar akhirnya anak merasa nyaman kembali.
Jika anak menjerit, menangis, ngamuk, marah-marah atau bertingkah laku
aneh-aneh lainnya, orangtua hendaknya sabar. Ajaklah anak ke tempat
yang tenang dan bicaralah baik-baik hingga kecemasan dan ketakutannya
berkurang/hilang; dan sesudah itu bawalah anak kembali ke kelasnya.
Situasi ini dialami secara berbeda antara satu orang dengan yang lain,
tergantung dari kemampuan orangtua menenangkan dan mendekatkan diri
pada anak. Namun jika orangtua mengalami kesulitan dalam menghadapi
14

sikap anaknya, mintalah bantuan pada guru atau sesama orangtua murid
lainnya yang dikenal cukup dekat oleh anak. Terkadang, keberadaan
mereka justru membuat anak lebih bisa mengendalikan diri.
3. Konsultasikan masalah kesehatan anak pada dokter,
Jika orangtua tidak yakin akan kesehatan anak, bawalah segera ke dokter
untuk mendapatkan kepastian tentang ada/tidaknya problem kesehatan
anak. orangtua tentu lebih peka terhadap keadaan anaknya setiap hari;
perubahan sekecil apapun biasanya akan mudah dideteksi orangtua. Jadi,
ketika anak mengeluhkan sesuatu pada tubuhnya (pusing, mual, dsb),
orangtua dapat membawanya ke dokter yang buka praktek di pagi hari
agar setelah itu anak tetap dapat kembali ke sekolah. Selain itu, dokter
pun dapat membantu orangtua memberikan diagnosa, apakah keluhan anak
merupakan pertanda dari adanya stress terhadap sekolah, atau kah karena
penyakit lainnya yang perlu ditangani secara seksama
4. Bekerjasama dengan guru kelas atau asisten lain di sekolah,
Pada umumnya para guru sudah biasa menangani masalah fobia sekolah
atau pun school refusal (terutama guru-guru preschool hingga TK).
Hampir setiap musim sekolah tiba, ada saja murid yang mogok sekolah
atau menangis terus tidak mau ditinggal orangtuanya atau bahkan minta
pulang. Orangtua bisa minta bantuan pihak guru atau pun school assistant
untuk menenangkan anak dengan cara-cara seperti membawanya ke
perpustakaan, mengajak anak beristirahat sejenak di tempat yang tenang,
atau pada anak yang lebih besar, guru dapat mendiskusikan masalah yang
sedang memberati anak. Guru yang bijaksana, tentu bersedia memberikan
perhatian ekstra terhadap anak yang mogok untuk mengembalikan
kestabilan emosi sambil membantu anak mengatasi persoalan yang
dihadapi – yang membuatnya cemas, gelisah dan takut. Selain itu,
berdiskusi dengan guru untuk meneliti faktor penyebab di sekolah
(misalnya diejek teman, dipukul, dsb) adalah langkah yang bermanfaat
dalam upaya memahami situasi yang biasa dihadapi anak setiap hari.
5. Luangkan waktu untuk berdiskusi atau berbicara dengan anak ,
15

Luangkan waktu yang intensif dan tidak tergesa-gesa untuk dapat


mendiskusikan apa yang membuat anak takut, cemas atau enggan pergi ke
sekolah. Hindarkan sikap mendesak atau bahkan tidak mempercayai kata-
kata anak. Cara ini hanya akan membuat anak makin tertutup pada
orangtua hingga masalahnya tidak bisa terbuka dan tuntas. Orangtua perlu
menyatakan kesediaan untuk mendampingi dan membantu anak mengatasi
kecemasannya terhadap sesuatu, termasuk jika masalah bersumber dari
dalam rumah tangga sendiri. Orangtua perlu introspeksi diri dan kalau
perlu merubah sikap demi memperbaiki keadaan dalam rumah tangga.
Orangtua pun dapat mengajarkan cara-cara atau strategi yang bisa anak
gunakan dalam menghadapi situasi yang menakutkannya. Lebih baik
membekali anak dengan strategi pemecahan masalah daripada
mendorongnya untuk menghindari problem, karena anak akan makin
tergantung pada orangtua, makin tidak percaya diri, makin penakut, dan
tidak termotivasi untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.
6. Lepaskan anak secara bertahap,
Pengalaman pertama bersekolah tentu mendatangkan kecemasan bagi
anak, terlebih karena ia harus berada di lingkungan baru yang masih asing
baginya dan tidak dapat ia kendalikan sebagaimana di rumah. Tidak heran
banyak anak menangis sampai menjerit-jerit ketika diantar mamanya ke
sekolah. Pada kasus seperti ini, orangtua perlu memberikan kesempatan
pada anak menyesuaikan diri dengan lingkungan baru-nya. Pada beberapa
sekolah, orangtua/pengasuh diperbolehkan berada di dalam kelas hingga
1-2 minggu atau sampai batas waktu yang telah ditentukan pihak sekolah.
Lepaskan anak secara bertahap, misalnya pada hari-hari pertama, orangtua
berada di dalam kelas dan lama kelamaan bergeser sedikit-demi sedikit di
luar kelas namun masih dalam jangkauan penglihatan anak. Jika anak
sudah bisa merasa nyaman dengan lingkungan baru dan tampak “happy”
dengan teman-temannya – maka sudah waktunya bagi orangtua untuk
meninggalkannya di kelas dan sudah waktunya pula bagi orangtua untuk
16

tidak lagi bersikap overprotective, demi menumbuhkan rasa percaya diri


pada anak dan kemandirian
7. Konsultasi pada psikolog atau konselor jika masalah terjadi
Jika anak tidak dapat mengatasi fobia sekolahnya hingga jangka waktu
yang panjang, hal ini menandakan adanya problem psikologis yang perlu
ditangani secara proporsional oleh ahlinya. Apalagi, jika fobia sekolah ini
sampai mengakibatkan anak ketinggalan pelajaran, prestasinya menurun
dan hambatan penyesuaian diri yang serius – maka secepat mungkin
persoalan ini segera dituntaskan. Psikolog/konselor akan membantu
menemukan pokok persoalan yang mendasari ketakutan, kecemasan anak,
sekaligus menemukan elemen lain yang tidak terpikirkan oleh keluarga –
namun justru timbul dari dalam keluarga sendiri (misalnya takut dapat
nilai jelek karena takut dimarahi oleh papanya). Untuk itulah
konselor/psikolog umumnya menghendaki keterlibatan secara aktif dari
pihak orangtua dalam menangani masalah yang dihadapi anaknya. Jadi,
orangtua pun harus belajar mengenali siapa dirinya dan menilai bagaimana
perannya sebagai orangtua melalui masalah-masalah yang timbul dalam
diri anak.

2.8 Pengertian kegagalan dalam sekolah


17

Gagal sekolah didefinisikan sebagai gagal atau tidak berhasilnya seseorang


mencapai tujuan proses pembelajaran disekolah, berupa tidak tercapainya
standar nilai minimal yang ditetapkan sekolah, tidak naik kelas dan berujung
pada dikeluarkannya seseorang dari sekolah. Sangat sulit menentukan kapan
gagal sekolah itu terjadi, karena proses pembelajaran berjalan secara
perlahan. Gagal sekolah baru dapat dinilai pada akhir proses belajar dalam
bentuk ujian dan kenaikan kelas yang merupakan gambaran hasil dari proses
pembelajaran yang telah dilalui. Perkembangan seorang anak atau remaja
disekolah dipengaruhi oleh berbagai factor, antara lain factor biologi,
psikologi maupun social yang jika mengalami gangguan akan bermuara pada
suatu problem psikososial di bidang akademik, yaitu gagal sekolah (Indriyani
dan Soetjiningsih, 2015 : 289).
2.9 Faktor kegagalan dalam sekolah.
Ada menurut Indriyani dan Soetjiningsih (2015: 290-291), ada beberapa
faktor kenapa anak gagal meraih prestasi di sekolah diantaranya sebagai
berikut :
a. Memiliki keyakinan yang salah
Faktor yang cukup berpengaruh kenapa orang gagal meraih prestasi
adalah keyakinan yang salah atau memiliki keyakinan yang negatif tentang
orang berprestasi. Sebagai contoh misalnya si A berpendapat, ”Percuma
18

jadi orang pintar, akhirnya jadi koruptor”. Mungkin si A sering melihat


banyak orang pintar terjerat kasus koruptor. Sudah bergelar Doktor atau
Profesor tapi masuk penjara karena kasus korupsi. Si A menyakini bahwa
perbuatan korupsi itu tidak baik, jahat dan memalukan. Karena
keyakinannya begitu kuat dan bulat bahwa percuma jadi orang pintar,
maka segala upaya yang dilakukan untuk menjadi pintar akan bertabrakan
dengan keyakinannya. Apabila seseorang mempunyai keyakinan seperti itu
membuat orang tersebut sulit mempunyai prestasi yang baik di sekolah,
walaupun ia berusaha keras mewujudkannya.
Keyakinan salah lainnya misalnya,” Orang pintar belum tentu sukses
dan kaya”. Memang benar ada orang pernah tinggal kelas dan drop out
sekolah bisa sukses dan kaya. Tetapi apabila seseorang memiliki
keyakinan kuat dan bulat bahwa :” Orang pintar belum tentu sukses dan
kaya”, orang tersebut dipastikan tidak mempunyai semangat juang yang
tinggi untuk menjadi pintar dan berprestasi. Dengan demikian orang
tersebut hanya memiliki prestasi yang biasa saja.
b. Tujuan yang tidak jelas
Alasan selanjutnya kenapa banyak orang yang gagal atau tidak
memiliki prestasi tinggi di sekolah karena tujuannya tidak jelas. Memiliki
tujuan yang tidak menyebabkan hidup kita tanpa arah. Sebagai contoh
tujuan yang tidak jelas misalnya, setelah lulus SMP tidak menentukan
secara tepat ke sekolah mana akan melanjutkan. Bahkan ditanya apakah
mau masuk SMA atau SMK saja dia tidak dapat menentukan. Penting
dalam hidup kita memiliki tujuan yang jelas. Tanpa tujuan yang jelas,
setiap kegiatan yang kita lakukan menjadi tanpa arah. Bayangkan ketika
kita di stasiun atau bandara hendak memesan tiket, kita akan ditanya
kemana tujuan. Besar kemungkinan kita akan ditolak apabila tidak
memiliki tujuan yang pasti. Tujuan yang tidak jelas menyebabkan kita
mudah merubah tujuan. Selanjutnya jika kita mudah merubah tujuan
menyebabkan kesulitan mengejar tujuan kita. Banyak orang yang secara
sadar atau tidak sadar mengganti tujuannya. Sebentar dia mengatakan akan
19

masuk SMA, tetapi pada kesempatan lain dia menayatakan akan masuk
SMK. Kita mengatakan akan gmenjadi dokter, tetapi pada kesempatan lain
akan menjadi pengacara. Kalau tujuan kita sering berubah sebelum
tercapai, maka kita tidak akan mencapai apa yang kita inginkan.
c. Tidak ada keyakinan untuk berhasil
Banyak orang menetapkan tujuan, tapi tidak yakin bahwa tujuannya
tersebut dapat tercapai. Orang lain boleh tidak yakin atau menganggap
mustahil terhadap tujuan kita, tetapi diri kita sendiri harus merasa yakin
terhadap apa yang sudah menjadi tujuan kita. Tetapi apabila kita tidak
yakin akan berhasil, maka hilanglah semua peluang dan kemungkinan
untuk berhasil. Ketika kita menganggap tujuan kita tidak mungkin
berhasil, maka kita tidak melakukan apapun untuk mencapai tujuan kita.
Apabila kita melakukan tindakan, maka tindakan yang dilakukan hanya
asal-asalan atau sekedar menggugurkan kewajiban saja. Misalnya kita
tetap sekolah dan belajar, tapi dilakukan tanpa kesungguhan. Dengan
demikian hasilnya tidak akan memuaskan.
d. Tidak memiliki strategi yang tepat
Banyak orang yang gagal atau kurang mempunyai prestasi yang
maksimal karena tidak memiliki strategi belajar yang tepat. Untuk
mencapai keberhasilan dalam bidang pendidikan memerlukan perencanaan
strategi yang tepat. Orang yang tidak mempunyai strategi yang tepat maka
tindakan yang dilakukan menjadi kurang tepat. Seperti kalau kita hendak
melakukan perjalanan dari Jakarta ke Bandung. Kita harus menentukan
apakah akan menggunakan Kereta Api, Bis atau Kendaraan Pribadi.
Apabila kita mau pergi menggunakan Kereta Api, maka kita harus
memesan tiket sesuai tujuan dan jam yang tepat. Pada saat berangkat harus
pasti tiket tidak tertinggal. Kita harus sampai di stasiun paling lambat tiga
puluh menit sebelum jadwal keberangkatan. Kita harus memastikan naik
kereta dengan jurusan yang tepat, (bukan naik jurusan Surabaya misalnya).
Dapat dibayangkan kalau kita mau pergi naik kereta, kemana kita
memesan tiket saja kita tidak mengetahui.
20

e. Tidak memiliki program belajar


Setinggi apapun keinginan kita untuk meraih prestasi belajar, tidak
akan tercapai bila tidak memiliki program belajar. Tidak memiliki program
belajar berarti kita tidak memiliki pedoman atau langkah-langkah yang
harus dilakukan untuk mencapai tujuan. Tidak memiliki program belajar
menyebabkan kita sulit mengevaluasi terhadap hasil atau persiapan yang
kita lakukan.
f. Tidak melakukan tindakan sesuai program
Kesalahan lainnya kenapa orang tidak meraih prestasi puncak dalam
belajar adalah dalam prosesnya sering tidak melakukan tindakan sesuai
program. Tidak melakukan tindakan sesuai program dapat diakibatkan
tidak fokus dan tidak mempunyai komitmen terhadap program yang
disusun. Pelaksanaan program hanya berjalan satu minggu saja, hari
berikutnya disiplin mulai melemah bahkan tidak melaksanakan program
sama sekali.
g. Tidak melakukan evaluasi
Kesalahan berikutnya adalah tidak melakukan evaluasi terhadap
proses dan hasil yang dilakukan, apakah melakukan ke arah tujuan atau
tidak. Terkadang kita tidak melakukan evaluasi atau mengukur sampai
seberapa jauh kesiapannya untuk mencapai tujuannya tersebut. Tidak ada
evaluasi menyebabkan kita tidak memperoleh masukan tentang upaya
yang sudah dilakukan.
h. Menyalahkan orang lain dan situasi
Penyebab kegagalan belajar lainnya adalah menyalahkan orang lain
atau situasi. Banyak orang menyalahkan pihak lain, situasi atau kondisi
untuk menutupi kelemahannya dan menjadikan alasan kenapa dia tidak
berhasil. Sebagai contoh pantas saja saya tidak berhasil karena tidak
mendapat dukungan keluarga. Pantas saja saya tidak mencapai prestasi
tinggi di sekolah karena orang tua saya miskin. Pada umumnya orang yang
sering menyalahkan orang lain dan situasi hampir tidak mau berjuang
secara maksimal untuk mencapai tujuannya.
21

i. Mencari alasan
Banyak orang mencari alasan untuk menutupi kegagalan atau
kemalasannya dalam mengejar prestasi belajar. Ketika seseorang mencari
alasan, misalnya saya tidak berbakat, saya berasal dari keluarga miskin dan
alasan lainnya umumnya orang tersebut tidak melakukan tindakan secara
serius untuk meraih tujuannya
j. Melakukan pembenaran
Banyak orang yang melakukan pembenaran terhadap keberhasilan
orang lain, dengan maksud untuk menutupi kelemahan dan kemalasannya.
Misalnya terang saja teman saya itu semangat belajar karena mendapat
dukungan orang tuanya. Terang saja dia juara karena kedua orang tuanya
sarjana. Kalimat yang menyatakan sudah sepantasnya orang lain berhasil
karena faktor ini dan itu sesuai alasan yang kita buat sebenarnya hanya
alasan saja. Orang seperti ini tidak berbuat dan berjuang maksimal untuk
meraih prestasi belajar, sehingga tidak dapat mencapai tujuannya.
k. Mudah menyerah
Orang yang mudah menyerah adalah orang yang mundur dari
perjuangan untuk meraih tujuannya sebelum tujuannya tercapai. Biasanya
orang mudah menyerah karena adanya kesulitan atau kegagalan-kegagalan
kecil sebelum ujian yang sebenarnya terjadi. Bila baru memulai sedikit
atau sedikit usaha kita memutuskan untuk menyerah dapat dipastikan kita
tidak sampai atau tidak dapat meraih tujuan kita.
l. Sering menunda
Sering menunda merupakan kebiasaan buruk yang menyebabkan kita
gagal meraih prestasi maksimal. Bila kita sering menunda program belajar
atau menunda mengerjakan tugas sekolah (PR) berarti menghilangkan
peluang untuk meraih prestasi maksimal. Kebiasaan menunda
menyebabkan kita tidak melakukan apa-apa atau melakukan hanya sedikit
upaya, karena waktu sudah berlalu. Sebagai contoh ketika waktu ujian
masih lama, kita berpendapat nanti saja belajarnya kalau sudah dekat ujian.
Ketika sudah dekat ujian atau beberapa hari saja, nanti saja satu hari
22

sebelum ujian. Menjelang ujian kita katakan nanti malam belajarnya.


Waktu malam kita terserang sudah mengantuk, jadi belajarnya nanti pagi
saja. Pagi hari, tidak belajar apa-apa karena bangunnya saja sudah
kesiangan.
m. Terpengaruh pesimisme orang lain
Secara sadar atau tidak disadari bahwa pesimisme orang lain dapat
menjerumuskan kita kejurang kegagalan. Misalnya teman-teman dan guru-
guru kita memiliki keyakinan,” Tidak pernah terjadi dalam sejarah lulusan
SD kita ini masuk SMP 1 yang favorit itu”. Kalau keyakinan itu begitu
kuat dan membekas kedalam keyakinan kita, maka akan menimbulkan
pertentangan dengan antara kepercayaan dan upaya yang dilakukan.
Hampir dapat dipastikan orang yang terpengaruh dengan pesimisme orang
lain akan menjadi bagian dari orang yang pesimis tersebut.
2.10 Penyebab gagal sekolah
Menurut Indriyani dan Soetjiningsih (2015: 291), penyebab dari gagal
sekolah bersifat multifaktorial. Karena itu, meskipun telah ditemukan satu
faktor penyebab, identifikasi faktor-faktor penyebab yang lainnya harus
tetap dilanjutkan seperti :
1. Faktor endogen (Sumber : By RS. Pediatrics in review 2005;
26(7):233-243 :
a. Penyakit Kronik (Anemia, asma, lupus dll)
b. Kondisi yang menyebabkan tidak masuk sekolah (absen)
c. Gangguan sensori (penglihatan, pendengaran)
d. Kondisi perinatal (premature, paparan obat intrauterin, kondisi ibu
ketika hamil seperti : Kejang, depresi, merokok, minum alcohol,
fenilketonuria, hiporteroid)
e. Gangguan neurologis (Gangguan Otak : meningitis, trauma
cederan otak, Radiasi. Gangguan Tic : Kejang, keracunan timbal,
gangguan belajar, sulit menulis, membaca dan Matematika).
f. Kesulitan Belajar (gangguan perkembangan bahasa, gangguan
belajar)
23

Gangguan perkembangan lainya (Retardasi Mental, gangguan


komunikasi, ADHD, Autistik)
g. Penyakit Genetik
h. Gangguan Endrogin
i. Gangguan Psikiatri (Gangguan mood, gangguan tidur, gangguan
perilaku)
j. Gangguan cemas (fobia, panic, cemas akibat perpisahan)
k. Penyahgunaan obat
2. Faktor eksogen (Sumber : By RS. Pediatrics in review 2005;
26(7):233-243)
a. Keluarga (Perceraian, kemiskinan, sering pindah rumah,
penyalahgunaan obat, depresi, sarana belajar tidak memadai,
dukungan keluarga yang kurang, penelantaran, penganiayaan).
b. Lingkungan (Tetangga, TV, Komputer berlebihan, Game, Gadget,
Smartphone). Orang tua harus bijak memberikan fasilitas untuk anak
jangan sampai gara – gara fasilitas mewah malah anak sendiri menjadi
korban gagal sekolah.
c. Teman Sejawat (Rendah diri diantara temen sebaya,
penyalahgunaan obat).
d. Prioritas (social, pekerjaan, olahraga).
e. Sekolah (Miskomunikasi dengan Guru, harapan yang tidak
realistik, lingkungan sekolah yang tidak adekuat).
f. Transisis (Kelas tiga, peralihan SD ke SMP).
g. Peningkatan standar ujian tanpa diikuti peningkatan dukungan
belajar.
h. Ujian yang terlalu berat.
2.11 Diagnosis gagal sekolah
Diagnosis gagal sekolah biasanya dibuat berdasarkan anamnesis, tes
perkembangan, skrining penglihatan dan pendengaran, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, serta pemeriksaan penunjang lainnya. Gagal
sekolah memang agak sulit ditegakkan karena tidak semua gejala dapat
24

ditemukan dari pemeriksaan yang dilakukan.Diagnosis Gagal sekolah


melakukan pendekatan biologi, psikologi dan social. Berdasarkan
penyebabnya penyebab gagal sekolah dapat diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok, yaitu kelompok medik/neurologik, kelompok gangguan perilaku
biologik, dan kelompok gangguan perilaku emosional.
Klasifikasi Diagnosis Gagal Sekolah :
Medik / Neurologik : Paparan Obat dan alcohol pranatal, paparan toksin
(termasuk timbal), Gangguan Sensori (Pendengaran / Penglihatan), penyakit
kronis, kejang, penyakit neurodegeneratif, gangguan pascatrauma,
perubahan kognitif yang diinduksi oleh obat, penyalahgunaan obat,
kehamilan remaja.
Gangguan Perilaku Biologik : Gangguan pemusatan perhatian dan
hiperaktivitas (GPPH), Kesulitan belajar, retadasi mental, gangguan
perkembangan pervasif.
Gangguan Perilaku Emosional : Gangguan perilaku eksternal dan Gangguan
perilaku internal.
2.12 Pengobatan
Pengobatan yang dilakukan bersifat Spesifik untuk tiap masing – masing
anak atau remaja yang mengalami gagal sekolah karena semuanya kembali
kepada penyebab dan faktor – faktor resiko apa saja yang menyertainya.
Karena gagal sekolah bersifat multifaktorial karena itu memerlukan suatu
pendekatan yang bersifat komperhensif dan multidisipilin.
Kasus Gagal Sekolah seharusnya di Rujuk kepada dokter spesialis anak
atau Pediatrics. Selanjtnya akan dikonsultasikan ke berbagai disiplin ilmu
lain untuk mendapatkan pengobatan yang sesuai. Kesulitan belajar, retadasi
mental ringan dan penyebab gagal sekolah lainya lebih memerlukan
intervensi di bidang pendidikan.
25

2.13 Pencegahan

Pada Kasus Gagal Sekolah ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan
dalam mencegah gagal sekolah adalalah :
Nilai ujian yang rendah saat awal masuk sekolah, Nilai yang rendah akan
memicu hilangnya semangat untuk berkompitisi lagi apa lagi jika anak
disalahkan oleh orangtuanya tanpa memberikan kesempatan anak
memperbaiki dan menyemangatinya. Kadang anak malah di katakan anak
yang dedel, goblok dan bodoh jadi hal tersebut sudah terekam oleh anak itu.
Jenis kelamin laki – laki, kasus gagal sekolah banyak terjadi pada laki –
laki apa lagi ketika benjak remaja. Rendahnya partispasi orangtua dalam
pendidikan anaknya termasuk orang tua yang sibuk bekerja tanpa melihat
perkembangan sekolah anaknya dan memberikan semangat untuk sekolah.
Termasuk didalamnya orangtua yang hanya memberikan dukungan fasilitas
belajar tetapi tidak pernah memberikan motivasi dan dukungan psikologis
kepada anak. Sering pindah sekolah, seorang anak yang sering pindah
sekolah akan sulit fokus, sulit beradaptasi kepada teman – temanya dan
mengembangkan diri, apalagi kalau hal ini terjadi kepada anak yang Introvet
akan menambah beban kepada anak ini. Gangguan aktivitas dan perilaku
yang berat, Pencegahan yang dapat dilakukan berupa penyuluhan dan
konseling tentang pentingnya persiapan sekolah untuk anak dan remaja pada
saat berkunjung ke klinik kesehatan atau dokter spesialis anak,
mengevaluasi kekuatan dan kelemahan anak, mengevaluasi perkembangan
26

pendidikan, melakukan penanganan masalah sesegera mungkin sebelum


terjadi gagal sekolah dan mengevaluasi teman – teman sebaya, aktivitas,
kesehatan yang dapat menyebabkan perubahan perilaku.
27

BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Secara umum, fobia sekolah yang terjadi pada anak adalah jenis gangguan
kecemasan yang terlalu berlebihan yang dialami anak sekolah menghadapi
lingkungan sekolahnya. Terdapat gejala-gejala, faktor-faktor, penyebab dan
fobia sekolah seperti salah satunya tidak mau berangkat sekolah dan lain-lain.
Faktor yang mempengaruhi fobia sekolah dari faktor internal dan faktor
eksternal. Fobia sekolah disebabkan dari adanya pengalaman traumatik. Cara
penanganan fobia sekolah adalah dengan menekankan pentingnya bersekolah,
berusaha untuk tidak menuruti keinginan anak untuk tidak bersekolah,
konsultasi masalah kesehatan anak pada dokter, bekerja dengan guru
kelas/asisten atau lain sebagainya.
3.2 Saran
Hendaknya orangtua bersikap hati-hati dan bijaksana dalam menyikapi
sikap pemogokan anak. Alangkah baiknya, orang tua mau bersikap terbuka
dalam mempelajari dan mencari semua kemungkinan yang bisa terjadi.
Konsultasi dengan guru di sekolah, sharing dengan sesama orang tua murid,
diskusi dengan anak, konsultasi dengan konselor/psikolog, (kalau perlu)
memeriksakan anak ke paramedis/dokter sesuai keluhan yang
dikemukakannya, hingga intropeksi diri. Berhati-hatilah dalam membuat
diagnosa secara subjektif, didasarkan pada pendapat pribadi diri sendiri atau
keluhan anak semata.
Konselor memberikan layanan terhadap siswa dan melibatkan kedua orang
tuanya, konselor mengarahkan bahwa situasi saat ini sudah terjadi dan jangan
perlu di sesali dan permasalahan ini jadikan sebuah pelajaran yang sangat
berharga dan jangan pernah di ulangin lagi kedepannya, dan dari sisi orang
tuanya konselor memberikan untuk selalu memperhatikan anaknya dan
jangan jadikan rumah adalah neraka bagi anak, dan orang tua selalu
memantau pergaulan diluar dari sekolahan atau rumah.
DAFTAR PUSTAKA
28

Aqsyaluddin, M. (2004). Mengenalkan anak pada sekolah. Jakarta : P.T. Grasindo

Arjana, B. (2006). Memberanikan anak pergi sekolah. Jakarta : Puspa Swara

Astuti, D. (2006). Psikologi anak. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Byrd RS. “School Failure: Assessment, Intervention anda Prevention in Primary


Pediatric Care”. Pediatrics in review 2005;26(7):233-243.

Carpenter, A.J. (2005). Emotional bonding (Membangkitkan potensi anak di usia


6-9 tahun). Alih bahasa : Abdullah mahfuddin. Jakarta : Prestasi
Pustakaraya.

Darsono, P. (2004). Mendampingi anak menghadapi rasa takut. Bandung :


Pustaka Setia.

Handayani, Y. (2005). Mempersiapkan dan mengenalkan sekolah pada anak.


Jakarta : Prestasi Pustakaraya.

Hawadi. (2001). Psikologi perkembangan anak (mengenal sifat, bakat dan


kemampuan anak). Jakarta : P.T . Grasindo.

Hurlock, E.B. (1996). Perkembangan anak. Alih bahasa : Meitasari Tjandrasa dan
Muslichah Zarkasih. Jakarta : Erlangga.

Indriyani SAK, Soetjiningsih. Gagal Sekolah dalam Tumbuh Kembang Anak


Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC.Denpasar:2015:289-302.

Mahendratto, B. (2007). Cara orangtua mengatasi anak saat mogok sekolah.


Jakarta : P.T. Grasindo.

Rafy, A.Y. (2004). Kamus ungkapan psikologi. Jakarta : Restu Agung.

Rini. (2006). Panduan untuk orangtua tentang pengenalan sekolah pada anak.
Jakarta : P.T. Grasindo

DAFTAR PERTANYAAN DARI AUDIENCE

1. Bagaimana meningkatkan kepercayaan diri pada anak ?


29

2. Menjelaskan faktor faktor internal dan ekternal ?


3. Bagaimana peran orang tua dan guru dalam mengahadapi anak yang
kurang percaya diri?
4. Sepration excity yang di alami biasanya pada anak ?
5. Bagaimana contoh pengalam negatif yang di alami anak di sekolah atau
lingkungan ?

Jawaban :

1. Biarakan berekplorasi, dukungan dari orang tua, berikan kepercayaan pada


anak, memunculkan keberanian dari dalam dari anak, jangan memarahi anak
saat anak tidak berani melakukan sesuatu.
2. Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor-faktor yang terdapat dalam diri anak yang
mempengaruhi terjadinya fobia sekolah. Faktor tersebut adalah Intelegensi,
Jenis Kelamin, Kondisi Fisik, Urutan Kelahiran, Kepribadian
Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang terdapat diluar diri anak yang
mempengaruhi fobia sekolah. Faktor tersebut adalah Status Ekonomi Sosial,
Hubungan Sosial, Lingkungan, Pola Asuh Orangtua
3. Sebenarnya peran orang tua dan guru hampir sama yaitu ketika anak
meminta bantuan kepada guru ataupun orang tua yang anak tersebut
mengagap tidak bisa melakukannya senri maka di situlah peran orang tua atau
guruharus tetap menyakinkan kepada anak atau memebri suport kepada anak
tentang apa yang di anggap anak tersebut tidak dapat di lakukan agar anak
tersebut mempunyai motivasi untuk mencoba kembali sampai keiinginan
anak tersebut dapat tercapai.
4. Mereka tidak ingin berpisah dari orangtua dan malah lengket-nempel terus
pada mama-papanya. Peningkatan kecemasan menimbulkan rasa tidak
nyaman pada tubuh mereka, dan ini lah yang sering dikeluhkan (perut sakit,
mual, pusing, dsb). Sejalan dengan perkembangan kognisi anak, ketakutan
dan kecemasan yang bersifat irrasional itu akan memudar dengan sendirinya
karena anak mulai bisa berpikir logis dan realistis
5. Anak menolak ke sekolah karena dirinya kesal, takut dan malu setelah
mendapat cemoohan, ejekan atau pun di”ganggu” teman-temannya di
30

sekolah. Atau anak merasa malu karena tidak cantik, tidak kaya, gendut,
kurus, hitam, atau takut gagal dan mendapat nilai buruk di sekolah. Di
samping itu, persepsi terhadap keberadaan guru yang galak, pilih kasih, atau
“seram” membuat anak jadi takut dan cemas menghadapi guru dan mata
pelajarannya. Atau, ada hal lain yang membuatnya cemas, seperti mobil
jemputan yang tidak nyaman karena ngebut, perjalanan yang panjang dan
melelahkan, takut pergi sendiri ke sekolah, takut sekolah setelah mendengar
cerita seram di sekolah, takut menyeberang jalan, takut bertemu seseorang
yang “menyeramkan” di perjalanan, takut diperas oleh kawanan anak nakal,
atau takut melewati jalan yang sepi.

DAFTAR PERTANYAAN KELOMPOK 3:

1. Menurut Sumanti (dalam Soekresno, 2006) ada beberapa gejala yang dapat
dijadikan kriteria anak mengalami fobia sekolah, kecuali : Jawaban E
A. Menolak untuk berangkat ke sekolah.
B. Mau datang ke sekolah, tetapi tidak lama kemudian minta pulang.
31

C. Tidak masuk sekolah selama beberapa hari.


D. Keluhan fisik yang sering dijadikan alasan seperti sakit perut, sakit
kepala, mual, muntah, diare, gatal-gatal, keringatan, gemetaran atau
keluhan lainnya.
E. Menunjukan ekspresi atau raut wajah bahagia dan senang ketika
berangkat kesekolah.
2. Gejala apa saja yang menyatakan anak fobia sekolah, kecuali? Jawabannya
B
A. Ketakutan atau kebimbangan yang tidak rasional.
B. Ketakuan atau kebimbangan yang rasional.
C. Perilaku mengelak dari objek atau situasi yang membuatnya tajut.
D. Tidak menerima penjelasan apapun yang bertujuan mengurangi
kadar rasa takutnya.
E. Perubahan emosi yang signifikan seperti menjadi emosi dan
gelisah.
3. Menurut Hurlock tahun 1996 ada dua faktor yang mempengaruhi
terjadinya fobia sekolah yaitu terdapat faktor internal dan eksternal. Faktor
internalnya meliputi apa saja? Jawaban A.
A. Intelegensi, Jenis Kelamin, Kondisi Fisik, Urutan Kelahiran,
Kepribadian
B. Status ekonomi sosial. Lingkungan.
C. Pola asuh orang tua
D. Lingkungan, pola asuh orang tua/pengasuh.
E. Status ekonomi sosial, lingkungan, hubungan sosial.
4. Menurut Hurlock tahun 1996 ada dua faktor yang mempengaruhi
terjadinya fobia sekolah yaitu terdapat faktor internal dan eksternal. Faktor
eksternalnya meliputi apa saja? Jawaban E
A. Intelegensi, Jenis Kelamin, Kondisi Fisik, Urutan Kelahiran,
Kepribadian
B. Status ekonomi sosial. Lingkungan.
C. Pola asuh orang tua
D. Lingkungan, pola asuh orang tua/pengasuh.
E. Status ekonomi sosial, hubungan sosial, lingkungan, pola asuh
orangtua.
5. Penyebab gagal sekolah dari faktor eksogen berikit adalah jawaban ujian
yang terlalu berat

A. Penyakit Genetik
32

B. Gangguan Endrogin
C. Ujian yang terlalu berat
D. Gangguan cemas (fobia, panic, cemas akibat perpisahan)
E. Penyahgunaan obat
6. Cara Penanganan Fobia Sekolah adalah kecuali jawaban D biarkan ikuti
kemauan anak
A. Menekankan pentingnya bersekolah,
B. Konsultasikan masalah kesehatan anak pada dokter
C. Lepaskan anak secara bertahap
D. Biarkan ikuti kemauan anak
E. Konsultasi pada psikolog atau konselor jika masalah terjadi
7. Apa saja Faktor kegagalan dalam sekolah., kecuali E. Kerajinan anak
bersekolah
A. Memiliki keyakinan yang salah
B. Tujuan yang tidak jelas
C. Tidak ada keyakinan untuk berhasil
D. Tidak memiliki strategi yang tepat
E. Kerajinan anak bersekolah

Você também pode gostar