Você está na página 1de 10

GAMBARAN UMUM TRADISI PENGUBURAN ZAMAN MEGALITIK DI SUMATERA

BAGIAN UTARA

Bagas Gifari Eko Saputra, Heny Intan Permatasari,


Moch Nizam Alfahmi, Novi Rani Winata

Abstract
Megalithic is a universal culture because its traces are found in various places in the world, such
as Europe, Asia, Africa, and even on small islands of Polynesia. Similarly found in Indonesia,
this culture is spread from Sabang to Merauke with various cultural degradation. One of the
results of megalithic culture is a burial tradition. This tradition is widely dispersed and found
throughout the Indonesian archipelago. The study of burial tradition has revealed many facts
about the human way in prehistoric times in an attempt to pay tribute to a deceased person.
Therefore it is important to examine more deeply how the process and ways of burial in the
megalithic era and the meaning of its usefulness.

Keywords: Burial Tradition, Megalithic,

Kepulauan Indonesia merupakan suatu rantai gugusan yang cocok bagi pemeliharaan
kelangsungan kehidupan prasejarah karena letak kepulauan yang terbentang dari sabang hingga
merauke. Kontak dengan budaya pendatang tidak merata dan memperlihatkan proses yang
sama sekali belum mengalami perubahan dan masih berada dalam keadaan tingkat kehidupan
masa prasejarah, misalnya beberapa bagian di Irian Jaya/Papua dan Nusa Tenggara. Di pihak
lain, ada beberapa daerah dengan kehidupan prasejarah yang berlangsung terus bersamaan
dengan cirri-ciri masa yang paling baru (Soejono, 2009:443). Hal ini menandakan ada semacam
dinamika kehidupan yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia pada zaman prasejarah
sampai sekarang di seluruh kepulauan Indonesia. Tidak ketinggalan pula tradisi megalitik yang
kemudian muncul setelah budaya bercocok tanam berkembang, tradisi megalitik terus-menerus
turut serta dalam menghayati setiap corak budaya yang masuk di Indonesia.
Salah satu kehidupan sangat sederhana yang erat hubungannya dengan tradisi megalitik
dan telah mengalami penelitian arkeologis maupun antropologis yang mendalam adalah daerah
Nias (Soejono R.P,2009:444). Dalam hal ini juga meliputi sebagian besar pulau Sumatra bagian
utara yang memang lebih banyak tertuju pada daerah Nias.

Tradisi megalitik di Sumatra bagian utara akan menjadi bahasan utama pada artikel ini
sebagaimana judul yang di usung diatas. Tradisi megalitik di Sumatra bagian utara tertuju atau
terpusat pada daerah Nias. Menurut Sukendar. H (1997:2) tradisi megalitik Nias mempunyai
ciri-ciri tersendiri yang tidak ditemukan di tempat lain. Ciri-ciri tersebut ditujuka oleh unsur-
unsur megalitik baru yang tampaknya dipengaruhi oleh sifat-sifat kedaerahan. Megalitik Nias
menunjukan percampuran antara megalitik tua dan megaitik muda. Hal ini dapat ditujukan
dengan ditemukannya unsur tua seperti menhir, teras, batu datar serta unsur-unsur baru yang
dapat dikelompokan dalam megalitik muda seperti arca manusia, binatang dan lain-lain.
Megalit dalam bentuk baru seperti neogadi, sitilubagi, neobehe dan lawolo merupakan unsure
baruyang dapat dihubungkan dengan megalitik muda.

Soejono (2009:444) menjelaskan bahwa di Pulau Nias tradisi megalitik masih kuat
karena oleh sarjana Pulau Nias dianggap sebagai tempat dengan tradisi megalitik yang
tergolong maju. Antara lain seperti Schroder,Schnitger,Suzuki.

Zaman Megalitik

Secara etimologi megalitik berasal dari kata mega dan lithos, mega berarti besar dan
lithos beraarti batu. Jadi pengertian megalitik adalah batu yang bentuknya besar. Ini menadakan
bahwa terdapat suatu budaya yang menghasilkan suatu bangunan dari batu besar yang dijadikan
sarana pemujaan dan juga benda benda lain dari batu yang berhubungan dengan bangunan-
bangunan makam (Mukhlis.P dkk,1995 : 24). Jadi dapat disimpulkan bahwa zaman megalitik
adalah zaman dimana manusia menciptakan atau mebuat bangunan-bangunan batu dengan
ukuran yang besar.
Akan tetapi Said.A.M (2013:93) menjelaskan bahwa megalitik bukanlah suatu zaman
yang berkembang sendiri melaikan suatu hasil budaya yang timbul pada zaman Neolitik dan
berkembang pesat pada zaman logam. Diamana pada zaman ini teknik hias umunya berupa
teknik pahat, gores dan lukis. Situs megalitik lawo misalnya adalah salah satu peninggalan
manusia purba pada zaman megalitik yang terletak di Kabupaten Soppeng, di situs ini terdapat
batu bergores yang terdiri dari dua gambar. Gambar pertama membentuk goresan lingkaran
roda (calra), sedang gambar kedua beberapa bidang yang mirip dengan petak-petak sawah.
Gambar-gambar tersebut mempunyai nilai magis karena selalu dikaitkan dengan kegiatan
penguburan, pemujaan, dan kegiatan upacara lainnya bahkan sampai pada aktivitas sehari-hari.
Sedangkan menurut Wiradyana.K (2010,42) megalitik merupakan suatu terminologi budaya
yang didasarkan atas teknologi peralatan batu.

Ada pula istilah lain yang berhubungan dengan megalitik, yakni tradisi megalitik.
Tradisi megalitik adalah suatu adat kebiasaan yang menghasilkan benda-benda atau bangunan
dari batu yang berhubungan dengan upacara atau penguburan (Sukendar. H, 1998:1).Akan
tetapi bukan berarti di dalam tradisi megalitik hanya terdapat bangunan batu besar saja yang
ditemukan, disisi lain juga ada peninggalan yang berukuran kecil yang juga dapat digolongkan
ke dalam tradisi megalitik. Seperti yang diungkapkan oleh Mukhlis.P dkk (1995, 24)
monumen yang kecil pun dapat digolongkan kedalam budaya megalitikum sepanjang monumen
itu ada hubungannya dengan pemujaan terhadap arwah leluhur. Hal ini dikarenakan inti dari
adanya tradisi megalitik adalah konsepsi kepercayaan terhadap roh nenek moyang.

Sukendar H (1998:1) menjelaskan bahwa pendukung tradisi megalitik percaya bahwa


arwah nenek moyang yang telah meninggal, masih hidup terus di dunia arwah. Mereka juga
percaya bahwa kehidupan mereka sangat dipengaruhi oleh nenek moyang. Keamanan,
kesehatan, kesuburan dan lain-lain sangat ditentukan oleh bagaimana perlakukan mereka
terhadap arwah nenek moyang yang sudah meninggal. Dengan perlakuan yang baik, mereka
mengharapkan perlindungan sehingga selalu terhindar dari ancaman bahaya.
Konsep-konsep inilah yang pada ujungnya mempengaruhi pola-pola kehidupan pada
kala itu. Menurut Mukhlis.P dkk (1995, 24) pola kehidupan pada masyarakat megalitik yang
menonjol adalah upacara penguburan, terutama sekali seseorang yang mempunyai kedudukan
tinggi dalam masyarakat. Selain yang dipaparkan oleh Mukhlis.P dkk, juga berkembang
berbagai bangunan dan peninggalan megalitik seperti menhir, dolmen, kalamba, sarkofagus,
lumping batu, waruga dan lain sebagainya.

ASAL MULA ZAMAN MEGALITIK

Ada yang mengatakan bahwa tradisi megaitik berasal dari daerah laut tengah, ada pula
yang mengatakan dari daerah mesir. Tersebarnya tradisi megalitik kedaerah timur dikarenakan
adanya kegiatan untuk mencari kerang (mutiara) dan emas. Teori tentang asal tradisi megalitik
yang diakui sekarang adalah teori Von Hiene Geldern, yang mengatakan bahwa tradisi
megalitik berasal dari Tiongkok Selatan dan disebarkan oleh bangsa Austronesia (Sukendar. H,
1998:1).Selain itu teori-teori Von Hiene Geldern juga menjadi dasar pendapat para ilmuan lain
mengenai beberapa masalah antara lain:

a. Fungsi megalitik ternyata lebih kompleks dari pada dugaan semula,

b. Penggolongan tradisi megalitik dalam dua tradisi besar, yaitu Megalitik tua yang
berusia kurang lebih 2500-1500 SM dan Megalitik Muda yang berusia kira-kira
millennium pertama SM (Soejono,2009:249).

Frick.H (1997:31) menyebutkan bahwa zaman megalitik mencakup masa antara 1500
SM sampai dengan 200 SM. Frick juga menjelaskan bahwa Indonesia merupakan jembatan
antara benua asia dan Australia maka imigran neomelayu masuk ke dalam negeri melalui utara.
Tampaknya hanya kelompok kecil yang beraangkat sekaligus, namun bila hal ini berlangsung
selama 1000 tahun dapat merupakan perpindahan bangsa yang besar-besaran.
(Sumber :Frick.H, 1997:32)

Sukendar. H (1998:1) menjelaskan berdasarkan bentuk peninggalannya, tradisi


megalitik dapat dibedakan menjadi dua yaitu : megalitik tua (older megalithic) dan megalitik
muda (younger megalithic). Megalitik tua biasanya ditandai dengan bentuk menhir, dolmen,
teras berundak dan batu datar. Sedangkan megalitik muda ditandai dengan bentuk arda,
sarkofagus, keranda batu, kubur peti batu dan lai-lain.

Sedangkan menurut masanya tradisi megalitikdibedakan menjadi dua, yaitu tradisi


megalitik yang berasal dari masa prasejarah (prehistorical megalithic) yang bisa merupakan
monumen yang tidak dipakai lagi (dead monuments) dan tradisi megalitik yang masih beranjut
(living megalithic tradition). Di Indonesia megalitik yang berasal dari masa prasejarah ada di
daerah pasemah (Sumatra Selatan), Gunung Kidul (Yogyakarta), Matesih (Surakarta),
Bondowoso (Jawa Timur) dan lain-lain. Sedangkan tradisi megalitik yang masih terus berlanjut
dapat kita temukan seperti contohnya di daerah Nias, Toraja, Sumba, Sabu, Flores dan Timor.

Di daerah ini tradisi yang seperti pada zama megalitik masih terus berlanjut meskipun
juga sudah mengalami berbagai perubahan dan perkembangan, namun tetap pada konsep yang
sama yakni penghormatan terhadap roh nenek moyang. Akan tetapi di dalam artikel ini yang
menjadi titik fokus utama adalah zaman megalitik yang ada pada zaman prasejarah atau secara
lebih spesifik yang berlangsung selama masa neolitik.

PENINGGALAN

Sama seperti zaman-zaman sebelumnya, zaman megalitik juga menghasilkan


kebudayaan tersendiri yang sangat khas dan tidak dapat dijumpai pada masa-masa sebelumnya.
Peninggalan zaman megalitik kebanyakan merupakan produk dari adanya tradisi penghormatan
atau pemujaan terhadap roh nenek moyang. Jadi benda-benda yang diemukan lebih banyak
yang bersifat sakral serta dianggap mempunyai nilai magis didalamnya.

Soejono (2009:248) menjelaskan tradisi pendirian bangunan-bangunan megalitik selalu


berdasarkan kepercayaan akan adanya hubungan antara yang hidup dan yang mati, terutama
keprcayaan akan adanya pengaruh kuat dari yang telah mati terhap kesejahteraan masyarakat
dan kesuburan tanaman. Jasa seorang kerabat yang telah mati diabadikan dengan mendirikan
bangunan batu besar. Bangunan ini kemudian menjadi medium penghormatan, tempat singgah,
dan sekaligus menjadi lambang si mati.

Namun menurut Sukendar. H (1998:2) dari hasil penelitian, dapat diketahui bahwa
peninggalan megalitik tidak hanya berkaitan dengan kebutuhan yang bersifat sakral.
Peninggalan-peninggalan yang berhubungan dengan kebutuhan sehari-hari pun dapat disebut
sebagai peninggalan megalitik. Misalnya batu tegak yang digunakan sebagai pembatas
kampung, susunan batu besar untuk persawahan, lumping batu untuk menumbuk biji-bijian
dan lain-lain. Menandakan bahwa sebenarnya tradisi dan budaya yang ada serta berkembang
pada zaman megalitik begitu kompleks dan bermacam-macam.
Saat ini peninggalan tradisi megalitik sebagian sudah musnah dan ada yang
berlangsung. Sisa-sisa bangunan dari tradisi yang sudah musnah terdapat di daerah-daerah
Laos, Indonesia, dan Pasifik sampai Poinesia. Adapun tradisi megalitik yang masih hidup
hingga kini antara lain di Assam, Myanmar (suku Naga, Khasi, dan Isehim), dan beberapa
daerah di Indonesia seperti yang kita bahas sekarang ini. Seperti di Nias, flores dan Sumba.

Peninggalan tradisi megalitik mempunyai bentuk yang sangat beraekaragam. Demikian


pula ukurannya, Sukendar. H (1997:2) menjelaskan ada yang pendek dan ada pula yang sangat
tinggi (mencapai 7-8 m). Sedangkan bentuk peninggalan tradisi megalitik di Indonesia antara
lain terdiri dari :

1. Kubur batu : wadah penguburan mayat yang dibuat dari batu. Bentuknya antara lain
kubur peti batu, dolmen, sarkofagus, kalamba, waruga dan pandusa.

2. Menhir : biasa disebut sebagi batu tegak, batu alam yang telah dibentuk tangan
manusia untuk keperluan pemujaan atau untuk tanda penguburan.

3. Kalamba : Kubur peti batu brbentuk silinder.

4. Pandusa : kubur batu yang ditopang oleh batu-batu kecil lain sebagai dinding
kubur.

5. Sarkofagus : kubur batu yang terdiri dari wadah dan tutup yang pada ujungnya biasa
terdapat tonjolan.

6. Lumpang batu : batu berlubang untuk menumbuk biji-bijian atau segala sesuatu yang
perlu di tumbuk

7. Batu berlubang: batu yang permukaannya berlubang-lubang. Biasa digunakan untuk


upacara.

8. Batu bergores : batu yang permukaannya terdapat goresan-goresan. Biasannya juga


digunakan untuk upacara.

Serta masih banyak lagi benda-benda peninggalan tradisi megalitik yang ada.
TRADISI PENGUBURAN

Pada sub judul ini kita tiba pada pembahasan utama mengenai tradisi penguburan yang
muncul dan berkembang pada zaman megalitik. Sebagaimana hasil dari paparan paran diatas kita
dapat melihat bahwasanya intisari dari zaman megalitik adalah pemujaan terhadap roh nenek
moyang. Roh atau arwah nenek moyang dianggap sebagai sesuatu yang dapat mendatangkan
pengaruh atau dampak bagi kehidupan, baik itu positif maupun negatif. Maka dari itu pendukung
tradisi megalitik menganggap bahwa terwujudnya kehidupan masyarakat megalitik yang baik
akan tergantung oleh bagaimana cara mereka dalam memperlakukan arwah nenek moyang.
Masyarakat pada zaman megalitik percaya bahwa akan ada kehidupan lain setelah seseorang
meninggal dunia. Kepercayaan bahwa roh seseorang tidak akan lenyap pada saat orang
meninggal,sangat mempengaruhi manusia.

Banyak usaha-usaha yang dilakukan dalam rangka melaksanakan penghormatan atu


pemujaan terhadap arwah nenek moyang yang berupa pelaksanaan ritual-ritual khusus dan
pembuatan monument-monumen atau bangunan tertentu. Salah satu pokok utama dalam kegiatan
ini adalah upacara penguburan atau yang lazim disebut sebagai tradisi penguburan. Bisa di bilang
tradisi penguburan ini merupakan upacara yang paling penting dan memiliki tingkat kesakralan
yang tinggi. Hal ini mengakibatkan upacara penguburan menjadi salah satu upacara yang sangat
mencolok, terutama bagi mereka orang-orang yang berpengaruh dalam tatanan sosial atau yang
mempunyai kedudukan tinggi.

Jika kita meninjau dari urutannya, maka tradisi penguburan adalah upacara pertama yang
akan dilaksanakan setelah seseorang meninggal, sebagai bentuk penghormatan paling awal bagi
leluhur. Selain itu dari sisi peralatan yang digunakan tradisi penguburan memiliki banyak sekali
ragamnya. Dilihat dari peninggalan-peninggalan yang ada, selain wadah kubur yang dapat
berupa sarkofagus dan lain sebagainya, terkadang juga ada pendirian bangunan-bangunan atau
monumen yang tidak lain tujuannya adalah untuk sebagai penghormatan terhadap orang yang
telah meninggal, penguburan juga bapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara pimer
(langsung) atau pun sekunder (tidak langsung).

Menurut Hadiwinoto.S (2008) tradisi menciptakan megalitik di Nias atau dalam hal ini
Sumatra Bagian Utara, tercatan sudah ada sejak zaman batu muda.Tradisi penguburan pada masa
megalitik masih dilakukan dengan langsung dan tidak langsung,menggunakan wadah atau tanpa
wadah. Wadah yang diperguakan dapat dibuat dari bahan kayu atau kayu utuh yang dilubangi:
batu tempayan, kubur silindris, batu besar yang dilubangi, dolmen, peti kubur dan sebaginya;
disimpan didalam ceruk, goa, batu besar yang dibuat ceruk dan sebagainya (Soejono2010:449).
Hal ini berlaku juga dengan tradisi penguburan yang ada di Sumatra Utara seperti yang ada di
Pulau Nias, Pulau Samosir dan situs situs lain yang ada di Sumatra Utara. Tradisi penguburan
sangat berkaitan erat dengan kepercayaan pada nenek moyang atau para leluhur.

Soejono (2009:247) menjelaskan si mati biasanya dibekali bermacam macam barang


keperluan sehari-hari, seperti perhiasan dan yang dikubur bersama-sama. Dengan maksud agar
perjalanan si mati kedunia arwah dan kehidupan selanjutnya akan terjamin sebaik-baiknya. Jika
tempat-tempat tersebut terlalu jauh atau sukar dicapai, si mati cukup dikuburkan di suatu tempat
dengan meletakkan mayat yang diarahkan ke suatu tempat yang dimaksud. Tujuanya adalah agar
roh si mati tidak tersesat dalam perjalanan menuju ketempat arwah roh nenek moyang atau
tempat asal mereka. Dalam hal ini mengindikasikan bahwa sebuah kematian tidak mengubah
esensi dalam kedudukan, status, keadaan dan sifat seseorang atau dengan kata lain seseorang
yang mememiliki kedudukan tinggi maka akan mendapat kedudukan yang tinggi pula di akherat.
Namun di pihak lain jasa dan amal perbuatan seseorang dapat di peroleh dengan megadakan
pesta-pesta tertentu yang pada puncaknya akan didirikan sebuah bangunan batu besar.

Penutup

Megalitik selain diartikan sebagai sebuah zaman dapat diartikan pula sebagai suatu
kebudayaan tertentu. Megalitik mempunyai ciri khusus yang menonjol yakni, tentang
bagaimana kehidupan spiritual berkembang begitu pesat dang luas, yang mana mempengaruhi
seluruh sendi kehidupan. Sebagai salah satu pokok kebudayaan yang paling menonjol, tradisi
penguburan menjadi hal yang perlu dicermati dengan seksama. Jadi secara garis besar dapat
disimpulkan bahwa tradisi penguburan merupakan suatu kegiatan penting pada masyarakat
zaman megalitik di Sumatra bagian utara khusunya dan seluruh kepulauan nusantara pada
umumnya dalam usahanya untuk menghormati atau memuja arwah nenek moyang.

DAFTAR RUJUKAN

Wiradnyana, Ketut.2011. Prasejarah:Sumatera Bagian Utara Kontribusinya pada


Kebudayaan Kini. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Wiradnyana, Ketut.2010,Legitimasi Kekuasaan Pada Budaya Nias: Panduan Penelitian


Arkeologi dan AntropologiJakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Soejono.2010. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Balai Pustaka

Hadiwinoto.S,2008,Nias, dari masa lalu ke masa depan, Badan Pelestarian Pusaka


Indonesia

Sukendar.H, 1998,Album Tradisi Megalitik di Indonesia, Direktorat Jenderal


Kebudayaan

Mukhlis P, dkk, 1995 Sejarah Kebudayaan Sulawesi, Direktorat Jenderal Kebudayaan

Heinz Frick. H, 1997, Pola struktural dan teknik bangunan di Indonesia Kanisius

Said.A.M, 2013 Refleksi 100 Tahun Lembaga Purbakala Makassar 1913-2013:


Pengelolaan Pelestarian Cagar Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Jan 1, 2013

Você também pode gostar