Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Oleh:
Diokharisma Fianda (16/394731/SA/18257)
Farah Aida Ilmiatul Kulsum (16/399599/SA/18507)
Phadma Arum Shaffira (16/399621/SA/18529)
1
DAFTAR ISI
Halaman Cover……………………………………………………………………………….i
Daftar Isi…..………………………………………………………………………….............ii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………........................1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………………...1
1.2 Landasan Teori…………………………………………………………………………..2
1.2.1 Tourist Area Cycle Evolution…………………………………………………...2
1.2.2 Metode SWOT Mitigasi Bencana Gua ……………………………….………...2
1.2.3 Teori Quintuple Helix …………………………………………………………..3
1.2.4 Mitigasi Bencana Gua …………………………………………………..............3
1.2.5 Geowisata………………………………………………………………..............4
1.3 Gambaran Umum………………………………………………………………………..4
1.4 Metode Penelitian………………………………………………………………………...5
BAB II ANALISIS PENGEMBANGAN…………………………………………………...6
2.1 Analisis Wilayah/Lokasi Destinasi……………………………………………………....6
2.1.1 Potensi Taman Batu Gua Sikantong……………………………………………..6
2.1.2 Mitigasi Bencana dalam Gua dan Sekitar……………………………………...12
2.1.3 Analisis SWOT………………………………………………...........................14
2.2 Analisis Kelembagaan/Organisasi……………………………………………………..16
2.2.1 Inovasi……………………………………………………………………...…..17
2.2.2 Sistem Edukasi/Akademisi……………………………………………………..19
2.2.3 Education System/Academia…………………………………………………...19
2.2.4 Political System/Government…………………………………………………..19
2.2.5 Civil Sphere/Community……………………………………………………….20
2.2.6 International Sector…………………………………………………………….21
2.3 Analisis Pengembangan Geowisata Gua Sikantong…………………………………..22
BAB III KONSEP PENGEMBANGAN…………………………………………………..24
3.1 Konsep Pengembangan Destinasi Umum………………………………………….. 24
3.1.1 Konsep Pengembangan Wilayah/Destinasi………………………………....… 24
2
3.1.2 Konsep Pengembangan Kelembagaan/Organisasi……………………………. 25
BAB IV PENUTUP………………………………………………………………………...34
4.1 Kesimpulan…………………………………………………………………………........34
4.2 Saran…………………………………………………………………………………......34
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………....36
LAMAN PUSTAKA………………………………………………………………….........36
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
1.2 Landasan Teori
1.2.1 Tourist Area Cycle of Evolution Model Butler
Pola yang dikemukakan menurut teori Butler didasarkan pada konsep siklus produk, di
mana penjualan suatu produk berjalan lambat pada awalnya, lalu mengalami laju pertumbuhan
yang cepat, stabil, dan pada akhirnya akan mencapai tahap di mana mulai menurun; dengan kata
lain, sesuai dengan dasar kurva asimtotik. Pola yang ada adalah pengunjung dengan jumlah kecil
akan datang ke daerah dengan kapasitas daya tampung sedikit dengan dibatasi oleh kurangnya
akses, fasilitas, dan pengetahuan lokal. Lantas, adanya penyediaan fasilitas dengan kualitas
sesuai standar akan menumbuhkan kesadaran pengunjung untuk datang ke destinasi. Dengan
pemasaran, penyebaran informasi, dan penyediaan fasilitas lebih lanjut, popularitas daerah akan
tumbuh pesat.
Namun, pada akhirnya, tingkat peningkatan jumlah pengunjung akan menurun ketika
tingkat daya dukung tercapai. Ini dapat diidentifikasi dalam hal lingkungan faktor (misalnya
kelangkaan lahan, kualitas air, kualitas udara), dari fisik tanaman (misalnya transportasi,
akomodasi, layanan lainnya), atau faktor sosial (misalnya Crowding, kebencian oleh penduduk
setempat). Tanpa disadari, daya tarik suatu destinasi semakin menurun, akibat penggunaan
secara maksimal dan dampak dari keramaian pengunjung. Secara tidak langsung, jumlah
pengunjung pun menurun.
5
1.2.3 Teori Quintuple Helix
Quintuple Helix merupakan suatu model yang berkesinambungan dengan teori dan
praktik yang ditawarkan kepada masyarakat untuk memahami kaitan antara pengetahuan dan
inovasi, untuk mempromosikan pembangunan yang berkelanjutan (Praswati, 2018). Quintuple
Helix menekankan pada transisi sosio-ekologis yang diperlukan masyarakat dan ekonomi di abad
kedua puluh satu. Oleh karena itu, Quintuple Helix sensitif secara ekologis. Dalam kerangka
model inovasi Quintuple Helix, lingkungan alami masyarakat dan ekonomi juga harus dilihat
sebagai pendorong untuk produksi pengetahuan dan inovasi, sehingga menentukan peluang bagi
ekonomi pengetahuan. Komisi Eropa pada tahun 2009 mengidentifikasi transisi sosio-ekologis
sebagai tantangan besar bagi sebuah pembangunan di masa depan. Quintuple Helix mendukung
pembentukan situasi win-win antara ekologi, pengetahuan dan inovasi, menciptakan sinergi
antara ekonomi, masyarakat, dan demokrasi Carayannis et al 2012 ( via Praswati, 2018).
6
Dalam tulisan ini, akan digunakan dua pedoman mitigasi terhadap dua belah pihak yang
terlibat yakni guest-host (pengunjung-penyelenggara). Yang pertama adalah mitigasi yang
dilakukan oleh peserta kegiatan/pengunjung/penelusur gua dan yang kedua adalah mitigasi yang
dilakukan oleh pemerintah/swasta/pengelola destinasi/firma konsultan.
1.2.5 Geowisata
Menurut National Geographic sites (2017), Geowisata adalah suatu upaya manusia untuk
bertanggung jawab terhadap lingkungan dan berkomitmen dalam pelestarian sumber daya dan
pemeliharaan keanekaragaman hayati. Sekaligus adanya komitmen untuk menghormati kepekaan
lokal dan membangun warisan lokal. Serta mensinergikan semua elemen geografis untuk
menciptakan pengayaan pengalaman dan keilmuan.
Berdasarkan pengembangan TBGS sebagai geowisata, penulis mengacu pada kriteria
kualitas daya tarik wisata geologi yang diajukan oleh Damanik dan Weber (2006) via Hermawan
(2017), yang mena mencakup empat hal yakni harus ada keunikan, original atau keaslian,
otentisitas, dan keragaman atau diversitas produk. Selain itu, berdasarkan pendapat dari
Hermawan (2017), terdapat lima prinsip pengembangan geowisata yang harus dipenuhi, yaitu
berbasis geologi, berkelanjutan, bersifat informasi geologi, bermanfaat secara lokal, dan
kepuasan wisatawan.
1.3 Gambaran Umum
Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi dengan persebaran destinasi wisata
terluas dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia. Hal ini dikarenakan persebaran
destinasi wisatanya yang tersebar di 35 kabupaten/kota. Salah satu dari 35 kabupaten/kota di
Jawa Tengah yang kaya akan keragaman daya tarik wisata alamnya adalah Kabupaten
Purworejo. Saat ini, pemerintah Purworejo sedang gencar-gencarnya melakukan promosi wisata
diberbagai media, baik online maupun cetak. Sebagaimana yang dilakukan oleh staf dari Bidang
Pariwisata pada Dinas Koperasi Perindustrian Perdagangan dan Pariwisata Purworejo yang
menggandeng Pewarta Harian Cetap purworejo (PHCP) dengan menggelar farm trip ke beberapa
objek wisata yang ada di wilayah Bruno, Kaligesing dan Loano beberapa waktu lalu yang
dilansir oleh laman www.kebumenekspres.com. Kabupaten Purworejo sendiri memiliki objek
wisata alam yang cukup terkenal seperti Goa Seplawan, Hutan Pinus Kalilo, Curug Silangit, Goa
Anjani, Gunung Kunir dan masih banyak lagi.
7
Berkenaan dengan objek wisata yang ada di Kabupaten Purworejo, salah satu objek
wisata minat khusus yang tergolong baru dan memiliki potensi yang cukup besar adalah Taman
Batu Goa Sikantong yang terletak di Desa Tlogoguwo, Dusun Sibentar. Taman Batu Goa
Sikantong merupakan objek wisata minat khusus yang lahir dari inisiasi masyarakat Desa
Tlogoguwo. Seperti namanya, daya tarik utama yang dimiliki TBGS adalah Gua. Gua tersebut
sering kali dimanfaatkan oleh mahasiswa pecinta alam sebagai objek studi untuk penelitian
mereka. Potensi lain yang dimiliki TBGS adalah sebagai destinasi minat khusus yang
menawarkan atraksi wisata susur gua, caving, camping, dan outbond dengan sajian pemandangan
perbukitan yang memanjakan mata. Pasar yang disasar dari TBGS sendiri adalah para siswa dan
mahasiswa pecinta alam atau pengunjung berkelompok yang ingin mencoba merasakan sensasi
wisata minat khusus. Keadaan pengembangan TBGS saat ini jika merujuk pada Evolusi
Hypothetical milik Butler, TBGS berada di tahap Exploration menuju Involvement. Adapun, beberapa
hal yang perlu diperhatikan untuk proyeksi pengembangan TBGS kedepannya adalah pengadaan
amenitas, aksesibilitas, serta amenitas yang memadai dan dipadukan dengan promosi branding
yang kuat serta dukungan pemerintah setempat akan menjadikan TBGS sebagai wisata minat
khusus unggulan yang ada di Kabupaten Purworejo.
1.4 Metode Penelitian
Penelitian yang kami lakukan adalah penelitian kualitatif. Penelitian ini dilakukan untuk
memahami perencanaan pariwisata di objek wisata TBGS dengan mencermati tindakan-tindakan
yang dilakukan para pemangku kepentingan dalam pengelolaan TBGS dengan tujuan menggali
lebih dalam pengetahuan dan penelitian yang sudah ada sebelumnya. Hasil penelitian akan
dijelaskan dalam tulisan ini secara deskriptif.
Jenis penelitian kami adalah studi kasus yang diambil dengan TBGS sebagai objek
penelitian. Pengambilan data berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh
dari survey lapangan dan wawancara yang dilakukan pada tanggal 6 Oktober 2018 dan 5
Desember 2018. Narasumber dalam penelitian berjumlah tiga orang, yaitu Darmadji (Anggota
Pokdarwis Tlogoguwo dan Kepala RT), Ringgo (Ketua GenPi Purworejo, Anggota Generasi
Romanas), dan Adib (Anggota GenPi Purworejo, anggota Generasi Romansa, dan Mahasiswa
Pecinta Alam UMP/Mapasuri). Data sekunder diperoleh dari beberapa literatur sebagai acuan.
8
BAB II
ANALISIS PENGEMBANGAN
9
Gambar 2. Bentukan ornamen gua aktif yang ditemukan di dalam Gua Sikantong
Gua Sikantong adalah salah satu dari puluhan gua di Purworejo yang kerap menjadi
lokasi kegiatan Mahasiswa Pecinta Alam Yogyakarta dan sekitarnya, dengan kegiatan utama
penelusuran dan pemetaan gua. Gua bertipe horizontal ini, secara tidak langsung menjadi subyek
destinasi dan memiliki target dan segmen utama para penelusur yang memiliki beragam latar
belakang. Waktu penelusuran gua yang aman adalah musim kemarau, di mana debit air telah
turun dan meminimalisir adanya korban akibat bencana banjir/kelalaian manusia.
10
Selain potensi gua, terdapat hutan pinus yang berada di sekitar TBGS di mana dapat
dijadikan lokasi perkemahan dan/atau pagelaran seni lokal – Tarian Dolalak. Tarian tersebut baru
satu kali dilaksanakan, yakni pada tahun baru 2017. Minimnya pendanaan dari pihak luar dan
kurangnya meditasi pemerintah dalam manajemen kegiatan bersama warga lokal, membuat
pengadaan kedua pagelaran seni masih belum terlaksana.
Jika dilihat dari kedua potensi secara umum TBGS di atas, berikut rincian potensi
destinasi yang penulis rangkum dalam tabel potensi secara vertikal.
11
Dampak Pembangunan berskala kecil seperti
Lingkungan jalan setapak menuju Gua dan taman
(Geologi) batu, serta penambahan dekorasi
(gazebo, jembatan dan kamar mandi di
luar gua) rupanya tidak berdampak
banyak bagi ekosistem gua/batukarst
dikarenakan gua/karst masih terjaga
keasriannya dan mampu menahan
beban bangunan di atasnya.
Kepentingan -
Regional/Nasion
al
Kepentingan -
Internasional
12
Gambar 3. Evolusi Hypothetical dari sebuah destinasi pariwisata, oleh Butler (1980) .
Tahap Exploration dapat digambarkan dengan jumlah wisatawan yang sedikit, berporos
pada atraksi wisata utama yang berkemungkinan wisata alam/budaya saja, tidak adanya atraksi
wisata sekunder, dan pariwisata belum berdampak secara signifikan pada perekonomian/sosial
masyarakat lokal. Tahap kedua, Involvement diawali dengan keterlibatan partisipasi masyarakat
lokal dalam pariwisata, munculnya kebutuhan fasilitas sekunder dalam penyediaan jasa/fasilitas
pariwisata seperti homestay, dan musim berlibur di mana wisatawan mulai datang secara
simultan berkembang pada tahap awal. Selanjutnya, seiring kurva yang mulai melengkung ke
atas fase development didefinisikan dengan tingginya jumlah pengunjung/wisatawan yang
mungkin melebihi populasi lokal selama periode puncak, investasi pada periklanan skala besar
akan menciptakan sebuah tren pasar wisata dengan baik, keterlibatan lokal dan kontrol
pariwisata menurun dengan cepat, organisasi eksternal akan menyediakan tempat wisata
sekunder, atraksi alam dan budaya akan dikembangkan dan dipasarkan secara optimal, dan
penduduk setempat mengalami perubahan fisik/tergusur ke area yang mungkin tidak mereka
setujui.
13
Seiring meningkatnya jumlah wisatawan dan memasuki tahap consolidation di mana
pariwisata berjalan perlahan tetapi jumlahnya telah melebihi populasi lokal dan perekonomian
daerah berpusat pada pariwisata dan telah menjadi distrik bisnis rekreasi. Lalu, di masa kritis atas
daya tampung selain tahap consolidation adalah tahap stagnation. Tahap ini berada pada titik
lengkung kurva tertinggi di mana jumlah wisatawan telah mencapai puncaknya, kapasitas daya
tampung telah tercapai atau terlampaui, pariwisata telah berdampak pada masalah ekonomi,
sosial dan ekonomi, resort pariwisata telah menjadi bagian yang berbeda dari geografi
lingkungan sekitarnya, atraksi wisata buatan menjadi atraksi unggulan, serta area/destinasi telah
terekspos sehingga tidak lagi “fashionable”/berkaitan dengan orisinalitas destinasi yang telah
hilang/menurun. Tahap final dari model Butler adalah akan adanya rejuvenation/penurunan
sebagai alternatif yang memungkinkan, di mana terdapat 5 skenario lainnya antara rejuvenation
atau sebaliknya - kematian destinasi.
Sejalan dengan Model Butler, perkembangan destinasi TBGS masuk dalam kategori
exploration. Saat penulis melakukan survei lapangan, ditemukan bahwa jumlah wisatawan
TBGS masih sangat sedikit dengan kurang lebih <30 orang per bulannya. Belum adanya atraksi
sekunder baik tangible/intangible yang dikemas dalam paket wisata dan diagendakan secara
rutin (Pagelaran Tari Dolalak, 2017), sehingga pengunjung TBGS (selain penelusur gua) hanya
menikmati wisata alam saja. Terakhir, pariwisata belum berdampak secara signifikan pada
perekonomian/sosial masyarakat lokal.
Keuntungan TBGS setelah adanya tiket dari pihak Perhutani adalah 70:30%, dengan
keuntungan terbesar dikembalikan kepada pengelola destinasi yang kini hanya 4 orang.
Sayangnya, realita di lapangan adalah pengelola jarang menggunakan tiket yang telah disediakan
dan masih menggunakan tarif “seikhlasnya” dari pengunjung/penelusur gua/taman batu.
Sehingga, berdasarkan wawancara dengan Mas Aji - salah seorang pengelola yang masih
bertahan, pendataan pengunjung tidak berjalan optimal dikarenakan minimnya usaha untuk
mendata berapa banyak tiket yang terjual dan pengeluaran lainnya.
14
2.1.2 Mitigasi Bencana dalam Gua Sikantong dan sekitar
Dampak yang tidak kalah penting adalah bagaimana pembangunan fisik pada gua akan
berdampak bagi lingkungan yang lain. Pemanfaatan gua beragam, mulai dari fungsi hidrologi,
arkeologi, geologi, geografi, ekonomi, hingga pariwisata. Dari segi pariwisata, gua dimanfaatkan
sebagai wadah edukasi dan hiburan. Dari berbagai manfaat, terdapat bahaya yang disebabkan
oleh alam seperti banjir, gempa, longsor/atap gua runtuh dan disebabkan oleh kelalaian manusia
seperti tergigit ular, menabrak batu/terantuk saat berjalan, terpeleset, jatuh ke dalam lubang, dan
tersesat di lorong gua. Adanya fasilitas dalam peningkatan akses di gua wisata, seringkali
didapati pada gua horizontal seperti tangga besi/semen dan jalanan semen, harus diperhitungkan
dengan baik dan bagaimana dampak terhadap ekosistem gua. Dengan penambahan lampu sorot
di lokasi ornament, kerap membuat kelelawar terusir dari habitatnya karena sinar lampu dapat
mengganggu penglihatan. Kelelawar adalah hewan nokturnal/mampu merasakan jumlah cahaya
meskipun sedikit dan hidup di zona gelap dalam gua. Hewan-hewan kecil seperti jangkrik gua
dan laba-laba pun akan tersingkir. Potensi hilangnya spesies khas gua terjadi mengingat banyak
spesies endemik sangat rentan dengan perubahan lingkungan atau gangguan terhadap habitat.
Dampak pembangunan di sekitar gua, tentu dapat menyebabkan kekeringan dan longsor
jika terdapat pembangunan bangunan bertonase besar, penambangan, konsumsi air berlebih dan
penebangan vegetasi. Vegetasi terutama pepohonan jati dan lainnya, berperan penting dalam
menyerap air dan media pengikisan alami bagi batugamping melalui akar-akar pohon.
Mitigasi dilakukan sebagai upaya preventif guna menanggulangi segala resiko dari
penelusuran gua dan aktivitas di atas gua. Mitigasi dibagi kedalam dua pokok bahasan, yakni;
mitigasi yang dilakukan oleh peserta kegiatan/pengunjung/penelusur gua dan mitigasi yang
dilakukan oleh pemerintah/swasta/pengelola destinasi/firma konsultan dan dilaksanakan oleh
pengelola destinasi selaku pelaksana utama pengelolaan destinasi.
A. Mitigasi yang dilakukan oleh peserta kegiatan/pengunjung/penelusur gua.
- Mengetahui kode etik dan SOP peralatan dan penelusuran
Terdapat tiga kode etik yang harus dipatuhi oleh penelusur saat berkegiatan, yakni jangan
membunuh sesuatu kecuali waktu, jangan meninggalkan apapun kecuali jejak kaki, dan jangan
mengambil sesuatu kecuali foto. Tiga kalimat tersebut, merupakan gambaran secara umum dari
berbagai etika yang harus dipahami dan dipatuhi oleh penelusur seperti dilarang menyentuh dan
15
merusak ornamen yang masih aktif, membunuh biota gua, melakukan vandalisme dan lain
sebagainya.
Adapun Standar Operasional (SOP) kegiatan penelusuran gua adalah peraturan yang
wajib ditaati demi keselamatan penelusur sehingga aman selama kegiatan berlangsung. Hingga
saat ini, belum ada standar resmi bagi penelusuran gua mengingat bentukan bentang alam karst
berciri khas dan cenderung berbeda-beda di tiap regional/Negara. Akan tetapi, terdapat beberapa
SOP yang telah dilakukan oleh destinasi Geowisata dan organisasi penelusur gua Indonesia (E.g.
UKM Mapagama UGM, ASC, Hikespi). SOP peralatan penelusuran wisata ( peralatan standar
Geowisata Kalisuci Cave Tubing) meliputi pemakaian helm, deker tangan dan kaki, ban/perahu
dayung dan jaket pelampung, (jika gua dialiri aliran sungai) dan membawa kotak P3K.
SOP penelusuran gua wisata cukup beragam, jika menimbang klasifikasi umum bentukan
gua yang telah dibuka untuk wisatawan umum/pecinta olahraga ekstrim gua tetapi bukan
penggiat, sehingga kami membaginya ke dalam enam bentukan lorong gua, yaitu horizontal
kering, horizontal dialiri air setinggi lutut hingga dada orang dewasa, horizontal dialiri aliran
sungai, vertikal kering, vertikal dan dialiri air setinggi lutut hingga dada orang dewasa, dan
vertikal dialiri aliran sungai. Dari klasifikasi yang ada, secara umum wisatawan harus memakai
safety tools yang terdiri dari pengaman pribadi, kotak P3K, makanan/snack, dan peralatan
penelusuran vertikal jika memasuki gua vertikal, serta mengetahui waktu maksimal penelusuran.
Contohnya, waktu efektif untuk menelusuri Gua Sikantong, Purworejo adalah 30 menit.
Sementara itu, penyediaan peralatan keamanan oleh pengelola TBGS hingga saat ini masih
terbatas pada penyediaan helm keamanan, P3K, dan asuransi keselamatan kegiatan wisata.
- Mengetahui jalur yang akan dilalui
Pemahaman jalur penting dipahami untuk meminimalisir resiko tersesat dan menjadi rute
alternatif untuk keluar jika terjadi banjir. Banyak penelusur melakukan orientasi medan sebelum
masuk salah satunya dengan memahami peta yang sudah ada sebelumnya.
- Mengetahui bagaimana cara mendokumentasikan kegiatan dengan benar dan bijak
Mendokumentasikan kegiatan di gua berbeda dengan dokumentasi di alam terbuka yang
notabene kaya sumber cahaya. Di gua, wisatawan diharuskan menyiapkan alat bantu cahaya dan
berhati-hati dalam membawa alat dokumentasi dikarenakan lantai gua terkadang licin dan
banyak tetesan air dari ornamen aktif. Resiko terjatuh saat memotret dapat diminimalisir dengan
mencari spot memotret yang kering/dari posisi yang aman. Posisi aman dalam gua horizontal
16
memiliki tempat yang cukup untuk kita berdiri dan mengambil gambar serta objek foto jelas
didapatkan. Posisi aman saat di gua horizontal dialiri air/aliran sungai adalah kamera telah
dilindungi wadah anti air atau anti air seperti sportcam. Dalam situasi medan yang sulit, maka
disarankan untuk tidak memotret guna meminimalisir kamera rusak/terjatuh.
B. Mitigasi yang dilakukan oleh pemerintah/swasta/pengelola destinasi/firma konsultan
dan dilaksanakan oleh pengelola destinasi selaku pelaksana utama pengelolaan destinasi.
- Melakukan analisis studi kelayakan (lingkungan, bisnis, sosial)
Analisa studi lingkungan dan bisnis merupakan kajian yang seharusnya dilakukan saat
perencanaan pembangunan destinasi. Studi kelayakan menghasilkan dokumen yang berisikan
analisis kelayakan yang komprehensif dan spesifik, terutama melibatkan beragam komponen
analisis, seperti legalitas, situs, user-usage, design/layout, keuangan, administrasi, dan dampak
kegiatan. Komponen analisis studi kelayakan lingkungan secara garis besar menurut Kelsey &
Grey (1986) adalah surface dan subsurface, surface dan subsurface water, vegetasi, cuaca dan
iklim, alam bebas, utilitas, dan konsep tata guna lahan. Sedangkan komponen analisis studi
kelayakan bisnis meliputi perhitungan NPV, IRR, Net Gross, hingga PBE. Adapun kajian
kelayakan sosial mengacu kepada seberapa besar dampak baik langsung atau tidak kepada
masyarakat selaku host.
- Melakukan pembangunan tepat guna dan berkelanjutan
Setelah dilakukan studi kelayakan lingkungan dan bisnis dilakukan, pembangunan tepat
guna dan berkelanjutan, seperti membangun posko pengamatan cuaca di dekat destinasi Gua di
Tlogoguwo dan sekitarnya (meliputi beberapa gua yang ada disekitarnya). Hal itu dilakukan,
guna meminimalisir adanya resiko bangunan longsor ke bawah tanah akibat muka tanah tidak
mampu menahan bebas bangunan dan terserapnya air berlebih sehingga tanah memadat dan tidak
ada ruang respirasi. Upaya berkelanjutan, dapat dilakukan dengan pembinaan kepada masyarakat
lokal atas antisipasi dan treatment yang harus dikerjakan secara berkala. Poin keterlibatan
masyarakat tidak dapat dilakukan oleh satu dinas terkait saja, melainkan upaya bersama
pemerintah daerah selaku pemilik otonomi setempat.
2.1.3 Analisis SWOT
Analisis SWOT adalah metode yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan (strengths),
kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) dalam suatu proyek
atau suatu spekulasi bisnis. Keempat faktor itulah yang membentuk akronim SWOT (strengths,
17
weaknesses, opportunities, dan threats). SWOT seringkali ditampilkan dalam bentuk tabel,
sehingga dapat dianalisis dengan baik hubungan dari setiap aspek.
Proses ini melibatkan penentuan tujuan yang spesifik dari spekulasi bisnis atau proyek
dan mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang mendukung dan yang tidak dalam
mencapai tujuan tersebut. Analisis SWOT dapat diterapkan dengan cara menganalisis dan
memilih berbagai hal yang mempengaruhi keempat faktornya, kemudian menerapkannya dalam
gambar matrik SWOT, di mana aplikasinya adalah bagaimana kekuatan (strengths) mampu
mengambil keuntungan (advantage) dari peluang (opportunities) yang ada, bagaimana cara
mengatasi kelemahan (weaknesses) yang mencegah keuntungan (advantage) dari peluang
(opportunities) yang ada, selanjutnya bagaimana kekuatan (strengths) mampu menghadapi
ancaman (threats) yang ada, dan terakhir adalah bagaimana cara mengatasi kelemahan
(weaknesses) yang mampu membuat ancaman (threats) menjadi nyata atau menciptakan sebuah
ancaman baru. Berikut penempatan komponen SWOT dalam tabel.
18
berfluktuasi karena destinasi gua dikategorikan wisata alam minat khusus, sehingga tidak mudah
untuk menargetkan pengunjung dari generasi kekinian (berusia 10 - 17 tahun) yang cenderung
menggemari destinasi selfie, misalnya destinasi Hutan Pinus Kalilo Purworejo, juga menjadi
penyebab kinerja pengelola yang sebelumnya berjumlah belasan kini hanya tersisa 4 orang
dengan beragam latar belakang. Dinamika tersebut, secara tidak langsung telah menciptakan
peluang dan ancaman dalam penerapan aktivitas pariwisata.
Peluang TBGS adalah bagaimana pengelola mampu mengoptimalkan destinasi wisata
minat khusus gua dan hutan pinus dengan dibantu pihak ketiga selaku transfer ilmu manajemen
pariwisata minat khusus dan memberikan bantuan dana. Target besar adalah mampu menarik
minat peneliti/penelusur bukan hanya di Yogyakarta dan Jawa Tengah, melainkan nasional dan
mampu mengadakan/terlibat acara speleologi berskala internasional.
Selain peluang, ancaman yang perlu diwaspadai dalam tahap exploration di proses
perkembangan destinasi adalah bagaimana pengelola yang masih ada mampu bertahan dan
kreatif dalam mengemas kegiatan alam yang dapat/akan ditawarkan pada pengunjung.
Kemudian, seperti yang diketahui bersama jika kawasan Karst Gunung Sewu terbentang dari
Gunung Kidul hingga Pacitan dan melewati tiga provinsi; D.I.Y, Jawa Tengah dan Jawa Timur,
menyimpan ribuan gua baik bertipe vertikal atau horizontal dan tersebar di kawasan tersebut.
Contoh manajemen dan pengelolaan gua dan sekaligus menjadi acuan destinasi ekowisata minat
khusus gua adalah Gua Kalisuci. Banyaknya potensi gua serupa TBGS merupakan ancaman
yang kemudian dapat menjadi peluang emas apabila terdapat paket telusur gua dalam satu
hari/sebagai media transfer ilmu manajemen destinasi wisata minat khusus.
2.2 Analisis Organisasi/Kelembagaan
Analisis organisasi/kelembagaan dalam perencanaan pariwisata di TBGS kami tuangkan
dalam konsep Quintuple Helix. Dalam model perencanaan parwisata di TBGS, terdapat satu
komponen penting dalam pengembangan sebagai inovator dalam pendirian dan pengelolaan
objek wisata, serta lima komponen pendukung yaitu education system/academia, economic
system/industry, political system/government, civil sphere, dan social impact investment sector.
Masing-masing komponen tersebut akan dijelaskan perannya lebih rinci sebagai berikut.
19
Diagram 2.2 Konsep Quintuple Helix dalam Perencanaan Pariwisata TBGS
2.2.1 Inovasi
Taman Batu Gua Sikantong pengelolaannya dipegang oleh kelompok sadar wisata
(Pokdarwis) Desa Tlogoguwo. Berikut ini adalah struktur organisasi Pokdarwis Tlogoguwo.
20
Dalam pengelolaan TBGS, Pokdarwis Tlogoguwo bertanggung jawab dalam pengelolaan
wisata harian maupun temporal/event. Pokdarwis tersebut dikelola oleh empat orang, dengan
satu orang sebagai ketua. Minimnya jumlah anggota dari Pokdarwis menurut Darmadji (2018),
adalah akibat dari masyarakat setempat yang lebih sibuk dalam pekerjaan utamanya. Jumlah
anggota Pokdarwis yang sedikit membuat pengelolaan juga mengalami kendala dan terkesan
mengalami ‘matisuri’ (Darmadji, 2018). Hal ini berimbas misalnya pada ticketing yang kurang
jelas dan tidak resmi (mulanya sukarela dan tergantung yang menjaga, saat ini bekerja sama
dengan Perhutani dan mematok harga tiket Rp3.000,- per orang), tidak adanya data kunjungan
wisatawan, minimnya pengetahuan pemandu wisata telusur goa karena kurangnya pelatihan
resmi dari pemerintah, tidak dilanjutkannya program atraksi kelinci, dsb. Pelatihan-pelatihan
banyak diperoleh dari luar penyelenggaraan pemerintah. Dinas Pariwisata Purworejo hanya
pernah sekali mengundang perwakilan TBGS untuk kegiatan sosialisasi. Pelatihan lainnya
didapat dari belajar pada objek wisata lain misalnya Mangunan, Nglanggeran, dan Gunung
Gentong.
Di bawah Pokdarwis Tlogoguwo, terdapat Karang Taruna Desa Tlogoguwo yang
membantu dalam pengelolaan. Tugas dari pemuda-pemudi karang taruna misalnya membantu
pelaksanaan event temporal (sebagai penanggung jawab rombongan, penanggung jawab area,
dokumentasi dan publikasi, dll.) serta pemegang admin media sosial Instagram. Menurut
Darmadji (2018), akun resmi Instagram @tbg_tamanbatugoasikantong belum di-update
semenjak awal tahun 2018. Meskipun demikian, promosi wisata melalui media sosial tetap
dilakukan dan dibantu oleh akun resmi @tbgssunrisecamp yang dikelola oleh Generasi Romansa
sebagai pegiat wisata di bawah naungan Generasi Pariwisata (GenPi) Purworejo. Namun begitu,
yang menjadi permasalah yang cukup krusial dalam promosi wisata melalui media online adalah
susahnya sinyal di sekitar destinasi. Padahal, pada awalnya pembentukan objek wisata bermisi
mengedepankan TBGS sebagai top selfie spot. Selain karena masalah keterbatasan sinyal,
program top selfie spot juga membutuhkan inovasi dalam ketersediaan spot-spotnya. Padahal,
selain terganjal oleh masalah pendanaan, minimnya jumlah pengelola juga menjadi problema.
Namun, melihat arah perkembangan objek wisata ini, pada akhirnya TBGS ditetapkan sebagai
tempat wisata minat khusus. Sementara itu, top selfie spot lebih ditekankan pada objek wisata
lain dalam satu desa yang sama, yakni Hutan Pinus Slamet.
2.2.2 Sistem Edukasi/Akademisi
21
Berdirinya objek wisata TBGS adalah berkat dukungan dari akademisi seperti dosen,
peneliti, dan mahasiswa. Para akademisi berperan dalam membuat dan menyediakan data-data
temuan dari hasil penelitiannya. Beberapa instansi akademis yang terlibat misalnya Universitas
Muhammadiyah Purworejo, Universitas Atmajaya, Institut Sains dan Teknologi AKPRIND,
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, UPV Veteran Yogyakarta, dll. Perguruan Tinggi Tersebut
melalui Unit Kegiatan Mahasiswa Pecinta Alamnya beserta dosen pembimbing, atau mahasiswa
jurusan tertentu misalnya Teknik Geologi, mengirim beberapa perwakilan untuk melakukan studi
lapangan dan menghasilkan output untuk pengembangan wisata misalnya Peta Mitigasi Bencana,
Peta Jalur Penelusuran, Analisis Potensi Wisata, dsb.
Selama ini bentuk dukungan dari pihak akademisi masih belum dalam bentuk dukungan
pengabdian lapangan secara langsung. Namun, pengelola mengatakan jika kedatangan Mapala-
Mapala ke TBGS sangat membantu khususnya dalam berbagi informasi dan wawasan mengenai
goa. Ringgo (2018) mengatakan apabila Desa Tlogoguwo sangat terbuka bagi mahasiswa di
perguruan tinggi yang akan melakukan kegiatan pengabdian masyarakat misalnya KKN. TBGS
akan sangat terbantu, khususnya dalam pengembangan dan perbaikan infrastruktur TBGS yang
masih membutuhkan banyak perhatian.
2.2.3 Sistem Ekonomi/Industri
Jenis industri yang terlibat secara langsung dalam mendukung eksistensi TBGS misalnya
usaha masyarakat kecil dan menengah (UMKM) di sekitar objek wisata. Usaha tersebut antara
lain berupa toko kelontong dan warung makanan. Selain itu, belum terdapat jenis usaha lain yang
lebih besar. Jumlah UMKM itu pun masih terlampau sedikit. Dengan jarak kurang lebih 100
meter dari objek, hanya terdapat sekitar lima usaha masyarakat setempat, itu pun jaraknya cukup
berjauhan dan tidak dibuka dengan rutin. Kurangnya industri pendukung di sekitar objek cukup
menjadi kendala bagi wisatawan yang berkunjung dalam memenuhi kebutuhannya selama di
sana. Sejauh ini, karena pengelolaan TBGS dipegang oleh Pokdarwis Tlogoguwo, maka
industri-industri besar belum terlibat, kecuali media partner yang bekerja sama ketika ada event
besar misalnya saat Pesta Rontek kemarin.
2.2.4 Sistem Politik/Pemerintahan
Pada Desember 2017, Pemerintah melalui Dinas Pariwisata Purworejo mengadakan
pelatihan untuk pengelola destinasi wisata, termasuk perwakilan TBGS. Namun, sayangnya pada
saat itu perwakilan dari TBGS bukanlah anggota pengelola atau pegiat wisata di sana sehingga
22
materi yang didapat kurang tersampaikan. Selain itu, materi yang diperoleh dari satu-satunya
pelatihan yang pernah didapat dari pemerintah itu adalah tentang dasar-dasar pengelolaan wisata
seperti pemasaran wisata, pengemasan kegiatan wisata, dan saran pengembangan wisata top
selfie spot karena pada saat itu sedang booming atraksi wisata seperti itu.
Pemerintah Desa Tlogoguwo, dari tahun 2017 telah mendukung berdirinya TBGS
khususnya dalam pemberian bantuan finansial. Di akhir tahun 2018 ini Pemerintah desa
berencana untuk membantu pembiayaan perbaikan dan pembangunan jalan dari loket masuk
menuju mulut gua (dengan material semen dan kerikil, sejauh kurang lebih 50 meter).
Selain itu, pengelola TBGS telah melakukan MoU dengan Perhutani mengenai sistem
bagi hasil dari ticketing. Sejak Oktober 2018, harga tiket masuk ke TBGS per orangnya ditarik
Rp3.000,- dan setiap bulan akan dibagi hasilnya sejumlah 70% untuk Pokdarwis Tlogoguwo
melalui Desa Tlogoguwo, sisa 30%-nya untuk Perhutani. Satu desa terdapat tiga objek wisata
yakni Taman Batu Gua Sikantong, Hutan Slamet, dan Hutan Pinus Kalilo I dan II.
2.2.5 Sipil/Komunitas
Masyarakat setempat turut berpartisipasi dalam pengelolaan TBGS di bawah arahan
Pokdarwis Tlogoguwo. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan masyarakat setempat seperti kerja
bakti perbaikan jalur menuju gua, keikutsertaan pemuda-pemudi Karang Taruna Desa
Tlogoguwo dalam penyelenggaran event seperti Pesta Rontek dan Fun Camp and Cave, promosi
wisata melalui media sosial, dll.
23
Dalam kegiatan Pesta Rontek di pergantian tahun 2017 ke 2018, masyarakat juga terlibat
dalam kegiatan kebudayaan yakni pagelaran Tari Ndolalak. Tarian tersebut ditarikan oleh
belasan remaja wanita beserta laki-laki sebagai pengiring musiknya. Selain itu, masyarakat
setempat juga andil dalam hal penyedian kebutuhan wisatawan melalui usaha-usaha di sekitar
objek wisata yang turut mendukung kegiatan wisata (toko kelontong, warung makanan, tambal
ban, dsb.).
Untuk menyelenggarakan Fun Camp and Cave, Pokdarwis dibantu juga oleh pengurus
Generasi Pariwisata (GenPi) Purworejo dan Generasi Romansa (Akun media sosial Purworejo
untuk promosi wisata). GenPi Purworejo dan Generasi Romansa membantu mengerahkan
anggota-anggotanya dalam mengemas paket wisata minat khusus camping dan telusur gua,
mempromosikan paket tersebut ke khalayak umum melalui berbagai media (mulut ke mulut,
media partner, dan akun resmi Instagram), serta mengkoordinir jalannya wisata pada hari
pelaksanaan.
f. Sektor Internasional dan nasional
British Cave Research Association (BCRA) merupakan sebuah badan penelitian melalui
organisasi speleologis di Inggris. Tujuannya adalah untuk mempromosikan studi gua dan
fenomena terkait, dan mendukung penelitian gua dan karst, mendorong eksplorasi gua (baik di
Inggris dan pada ekspedisi ke luar negeri), mengumpulkan dan mempublikasikan informasi
speleologis, memelihara informasi tersebut dan mensebarkannnya melalui pendidikan
formal/informal, konferensi, dan pertemuan ilmiah. BCRA adalah badan amal terdaftar di
Inggris, dan badan konstituen British Caving Association (BCRA), yang melakukan kegiatan
amal atas nama BCA.
Sebagai badan asosiasi caving ternama, BCRA menjadi kiblat sebagian besar studi
literatur dan metode penelusuran gua di Indonesia. Salah satu organisasi nasional adalah
Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesia (HIKESPI). HIKESPI saat ini diketuai oleh Dr. Pindi
Setiawan. M.Si, Dosen Desain Komunikasi Visual di Institut Teknologi Bandung. HIKESPI
berperan aktif dalam pemetaan gua sekaligus pihak ketiga dalam pendampingan masyarakat
sadar wisata gua. Gua-gua yang telah diinisiasi dan dikelola bersama pemerintah daerah adalah
Gua Kalisuci Gunungkidul, Gua Kiskendo Kulonprogo, dan gua lainnya yang banyak tersebar di
Gunungkidul. Adapun pemetaan gua potensial di Purworejo, sebagian besar telah dipetakan oleh
PALAWA dan HIKESPI dalam naungan ketua HIKESPI periode 2009-2016, Cahyo Alkantana.
24
Keterkaitan antara organisasi tidak lepas dari potensi gua yang ada di Purworejo dan
sekitarnya. Pengembangan destinasi pun bertahap dan membutuhkan banyak SDM ahli. Gua
Sikantong, hingga saat ini masih berada dalam tahap riset oleh para peneliti, penelusur gua, dan
civitas akademik. Dibuktikan dengan keberadaan data sekunder berupa literatur yang ditulis oleh
ketiga stakeholder di atas.
2.3 Analisis Pengembangan Geowisata Goa Sikantong
Sebelum menganalisis unsur Geowisata Goa Sikantong, dalam pengembangan daya tarik
wisata (DTW) geologi terdapat beberapa kriteria, yang diajukan Damanik dan Weber (2006)
dalam Hermawan dan Brahmanto (2017), yakni keunikan (kombinasi antara kelangkaan dan
daya tarik khas yang melekat pada suatu obyek), original, otentisitas (derajat keotentikan atau
eksotisme budaya sebagai DTW), keragaman atau diversitas produk (pilihan produk dan jasa
yang secara kualitas berbeda-beda).
Keunikan Keunikan khas TBGS adalah adanya potensi geologi, yakni Taman
Batu dan Gua Sikantong.
Original Belum adanya pembangunan masif dan kedatangan mass tourism pada
industri pariwisata minat khusus gua berperan besar dalam menjaga sisi
original dari lingkungan alam sekitar, terutama endokarst dan eksokarst
tetap alami.
Otentisitas Kegiatan susur gua yang hanya aktif saat musim kemarau, serta hanya
dimasuki oleh mereka yang berpengalaman/didampingi guide menjadi
faktor autentik lingkungan gua terjaga asri.
Keragaman/Diversitas Selain Gua, potensi geologi lainnya adalah taman batu yang berada di
Produk eksokarst Goa Sikantong. Meskipun, secara garis besar potensi taman
batu belum belum mampu menjadi primadona produk selain Gua.
Tabel 3. Faktor Evaluasi DTW TBGS
Selain kriteria DTW, terdapat lima prinsip geowisata menurut Hermawan dan Brahmanto
(2017), yakni: DTW berbasis geologi, berkelanjutan, bersifat informasi geologi, dapat
bermanfaat secara lokal dan kepuasan pengunjung.
Berdasarkan prinsip pertama, DTW berbasis geologi meliputi ciri-ciri aspek fisik seperti
kondisi tanah, kandungan mineral dan lainnya seperti yang telah dijelaskan pada bab tiga bagian
25
aspek geologi. Berdasarkan aspek ini, karakteristik geologi yang ada di TBGS telah memenuhi
kriteria. Prinsip kedua, adalah konsep berkelanjutan. Berkelanjutan dapat dilihat dari tiga
perspektif; sisi ekonomi, ekologi, dan sosial budaya masyarakat. Aspek ekonomi dapat dilihat
dari adanya pembatasan jumlah kunjungan dan lebih mengedepankan kegiatan wisata lestari
sehingga kebermanfaatan ekonomi tetap dapat berlangsung hingga berpuluh tahun kedepan. Sisi
ekologis mengedepankan pada keharmonisan antar spasial, kapasitas asimilasi antar faktor yang
ada di lapangan, dan pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan antar spasial terbagi lagi
menjadi tiga sub sub variabel zona; preservasi, konservasi dan pemanfaatan (utilisasi), serta
lindung (preservasi dan konservasi). Dilihat dari sisi sosial budaya masyarakat, keberadaan
destinasi telah mengangkat kebudayaan setempat (Kesenian Dolalak), mempererat kekeluargaan
warga lokal melalui gotong royong berbagai kegiatan, dan menambah wawasan dan skill
pengelola serta warga lokal yang andil dalam pengelolaan wisata.
Prinsip ketiga, bersifat informasi geologi berarti suatu destinasi telah memberikan
informasi yang dikemas melalui tur edukasi, yang meliputi sejarah terbentuknya bentukan
geologi gua atau lainnya. Yang keempat, bermanfaat secara lokal lebih mengedepankan asas
pariwisata berbasis kerakyatan atau community based tourism (CBT). Dimulai dari adanya tiga
prinsip dasar; inisiasi, pengembangan, dan keuntungan. Sistem bagi hasil TBGS dengan
penghasilan yang tidak menentu (berdasarkan analisis potensi wilayah bab 2) hanya cukup untuk
masuk ke dalam kas pengelola destinasi yang hingga saat ini pun masih dikelola secara swadaya.
Yang terakhir, kepuasan pengunjung dapat dianalisis dari hasil pengelolaan. Selang tiga tahun
berdiri, belum ditemukan indikasi pengunjung umum, selain segmen penelusur gua
ahli/akademisi terkait keilmuan geologi/lainnya yang datang kembali untuk berkegiatan di TBGS
(repetting customers).
Berdasarkan pengamatan langsung, studi literatur, survei dan penelusuran gua, serta olah
data kelayakan destinasi berprinsip geowisata, TBGS teridentifikasi memiliki potensi geologi
yang khas, original, otentik, dan mampu dikembangkan menjadi destinasi wisata secara optimal
melalui pengembangan destinasi berkelanjutan yang akan dijelaskan pada strategi jangka pendek
dan panjang. Akan tetapi, minimnya minat warga lokal untuk berpartisipasi dalam tim
manajemen destinasi dikarenakan belum mendapatkan manfaat secara nyata - yang kerap
dikaitkan dengan uang dan peningkatan martabat - membuat pengelolaan sumber daya gua,
taman batu dan lahan pinus berpotensi ekonomi belum optimal.
26
27
BAB III
KONSEP PENGEMBANGAN
28
Pengembangan jasa transportasi dan biro perjalanan dalam mengemas kegiatan wisata di
TBGS perlu lebih ditingkatkan. Melihat lokasi TBGS yang tidak terlalu populer dan familiar
bagi masyarakat awam dapat dijadikan momen untuk pengembangan kegiatan ini. Adanya biro
perjalanan dapat memudahkan wisatawan yang akan melakukan perjalanan ke TBGS, dari sarana
informasi dan promosi, serta dalam penyediaan transportasi, pemandu wisata, dan paket yang
menarik tentunya.
Industri yang tidak kalah penting keberadaannya adalah penyedia jasa boga (restoran)
dan cinderamata. Keberadaan restoran akan memudahkan wisatawan untuk melepas lapar dan
dahaga sehingga tidak perlu membawa perbekalan pokok ke objek wisata. Wisatawan juga
membutuhkan sesuatu yang dapat dibawa pulang sebagai kenang-kenangan mengingat jenis-
jenis motivasi wisatawan yang berbeda-beda. Masyarakat lokal TBGS dapat mendirikan usaha
cinderamata dan oleh-oleh baik berupa benda (gantungan kunci, gelang) maupun makanan
(keripik khas, minuman khas).
Selain itu, pengembangan pemasaran juga perlu lebih digencarkan sebagai pemantauan,
pengendalian usaha-usaha yang telah terjadi, dan pemunculan inovasi-inovasi baru. Penentuan
segmentasi pasar dan target pasar perlu lebih diperinci guna mengetahui proses promosi yang
tepat. Target pasar disesuaikan dengan kriteria-kriteria yang dimungkinkan dapat mengikuti
serangkaian kegiatan yang ada di TBGS. Branding wisata dan positioning perlu lebih dipertegas,
agar menimbulkan kesan terhadap wisatawan sehingga memungkinkan adanya kunjungan
kembali.
3.1.2 Konsep Pengembangan Organisasi/Kelembagaan
Melihat minimnya jumlah pengurus Pokdarwis yang bertanggung jawab dalam
pengelolaan TBGS, kedepannya sangat dibutuhkan penambahan sumber daya manusia dari segi
kuantitas. Diperlukan adanya stimulan-stimulan agar masyarakat tetap ingin berkontribusi lebih
lanjut. Pola pikir masyarakat untuk terus memajukan TBGS harus digenjot agar masyarakat ikut
andil dalam pengelolaan. Partisipasi masyarakat Desa Tlogoguwo dapat dikerahkan melalui
petinggi/pejabat seperti apa yang diharapkan pengelola saat ini, sehingga masyarakat lebih
tertarik dan berniat untuk bergabung dalam keanggotaan Pokdarwis. Penambahan anggota tetap
juga bisa direkrut melalui Karang Taruna Desa Tlogoguwo yang terdiri atas pemuda-pemudi
desa. Lewat adanya sosialisasi dan upgrading merupakan cara yang baik dilakukan namun tetap
menggunakan cara-cara kekeluargaan yang sesuai di daerah setempat.
29
Selain dari segi kuantitas SDM, kualitas SDM juga sangat penting untuk diperhatikan.
Khususnya pemandu gua, mereka bukan hanya sekadar pemandu jalan, melainkan harus
memiliki wawasan dan kemampuan terkait gua agar dapat memandu kinerja tour. Pemerintah
telah sepatutnya memfasilitasi para pengelola dengan pelatihan dan sosialisasi. Sebagaimana
yang dilakukan pengelola objek-objek wisata di Provinsi sebelah, Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY). Kabupaten Kulon Progo lebih tepatnya. Potensi bentang alam sebagai objek wisata di
Kulon Progo dan Purworejo hampir sama, tetapi sangat timpang dalam hal dukungan
pemerintahnya. Maka dari itu, pelatihan dan sosialisasi dari pemerintah sangat perlu untuk sering
dilaksanakan kedepannya. Sebagaimana diketahui bahwa selama ini pengelola TBGS hanya
berguru pada objek-objek percontohan lain khususnya di DIY.
Di samping itu, peran dan tanggung jawab pengelola juga penting untuk lebih
diperhatikan. Perbaikan pengelolaan dari segi administrasi juga sangat penting untuk dilakukan.
Pendataan jumlah kunjungan perlu dibuat, misalnya dengan pembuatan buku kunjungan
sehingga nantinya apabila Dinas Pariwisata Purworejo meminta jumlah kunjungan, pengelola
tidak perlu khawatir. Administrasi perlu untuk dibenahi dan melihat data statistik lebih rinci pada
saat seperti apa jumlah kunjungan meningkat/menurun, bagaimana karakteristik wisatawan,
sehingga dapat mempelajari kondisi kunjungan guna mengambil langkah pengembangan. Selain
itu, sistem pertiketan yang sudah dibuat tarif resminya juga harus rutin dan cermat dalam
pelaksanaannya.
3.1.3 Konsep Pengembangan Gua Sikantong sebagai Geo-wisata
Konsep umum pengembangan Geo-wisata yang bisa diterapkan di TBGS adalah
bagaimana situs destinasi mampu mengelola sumber daya geologi yang berpotensi sebagai
atraksi wisata utama. Gua Sikantong menjadi salah satu destinasi geologi yang ada di Dusun
Sibentar, dan sejenisnya banyak tersebar di Purworejo dan sekitarnya. Secara spesifik, penerapan
keseluruhan konsep dan prinsip geowisata sebaiknya dilakukan dengan bimbingan dengan staf
ahli pemerintah daerah/pemilik usaha minat khusus serupa. Pembentukan Geowisata Goa
Sikantong membutuhkan konsolidasi antara beberapa pihak seperti pengelola situs, pemerintah
daerah, relawan, dan/atau mediator lainnya. Dengan adanya satu lini pemahaman pengembangan
destinasi berasaskan geowisata antara pihak-pihak di atas, perencanaan destinasi dapat dimulai
dengan adanya analisis kesesuaian poin kebutuhan geowisata. Setelah selesai, maka dapat
direncanakan pembangunan dengan tata guna lahan yang sesuai dengan kebutuhan destinasi dan
30
studi kelayakan akhir TBGS. Uji kelayakan perlu dilakukan, guna meminimalisir salah
pembangunan di atas batukarst yang rawan longsor. Contoh pembangunan dengan kesalahan
konstruksi awal adalah Museum Karst yang terletak di Pracimantoro, Wonogiri, Jawa Tengah.
Pada tahun 2017, bagian tengah museum ambles dikarenakan batuan tidak lagi dapat menahan
beban bangunan dan ciri khas batu gamping yang rapuh/mudah larut menjadi faktor utama rawan
tanah ambles/longsor. Pembangunan yang tepat guna harus menjadi prioritas, bukan nomor
sekian setelah dana. Dana juga menjadi pertimbangan utama, tetapi apabila dana minim
sedangkan standar yang dibangun tinggi alangkah lebih baik bila TBGS mampu membangun
sesuai dengan dana yang ada. Bukan memaksakan pembangunan dan pengembangan massif,
tetapi bertahap dan berkelanjutan dengan diiringi perencanaan berkelanjutan hingga proyek
geowisata dikatakan/dinilai tuntas.
3.2 Road Map Geowisata
3.2.1 Target Capaian
31
4 Tercapai 85% melalui terciptanya suasana wisata di
Dusun Sibentar, mulai dari peningkatan dan penjagaan
kualitas lingkungan, pemanfaatan jenis pohon
komersial unggulan potensial, konsepsi penerimaan
wisatawan dan pembakuan informasi wisata Desa
Piliana.
32
5 Tercapai 95% di mana para pemandu gua memiliki
asosiasi pemandu gua wisata Purworejo dan
mengadakan Forum Diskusi tingkat Jawa Tengah.
34
manajemen destinasi untuk mempertahankan keberlangsungan destinasi. Penambahan atraksi
wisata seperti selfie deck, outbound, susur sungai, gardu pandang dan lainnya sebagai penambah
daya tarik wisata selain wisata utama gua.
- Interpreter dan/atau Pemandu Gua
Target tahun pertama adalah tercapai 55% di dengan penguasaan dasar keilmuan pemandu
gua/interpreter sesuai SOP. Pelatihan Interpreter pemandu gua dilakukan oleh para penelusur gua ahli dan
berkala setiap 2 minggu dalam sebulan, dan diadakan uji kompetensi setiap 3 bulan sekali oleh pelatih
yang dikoordinir tim penilai pemandu gua Hikespi/lainnya hingga mencapai target 65%. Pada tahun
ketiga, tercapai 75% di mana para pemandu yang sudah belajar keilmuan speleologi dasar bagi interpreter
minimal 2 orang telah bersertifikat pemandu gua yang kemudian dilanjutkan hingga tahun keempat
tercapai 85% melalui tercapainya minimal 5 orang memiliki sertifikat pemandu gua wisata dan keahlian
teknis. Tahun terakhir, para pemandu gua dari Pokdarwis TBGS bergabung dalam asosiasi pemandu gua
wisata Purworejo dan mengadakan forum diskusi se-Jawa Tengah.
- Interpreter Pemandu Jalur Tracking Hutan Pinus dan Taman Batu
Pada tahun pertama, diharapkan tercapai 50% pemandu gua dapat menguasai kompetensi
secara baik sesuai SOP yang telah ditetapkan. Operasional kegiatan dibuat untuk kenyamanan
dan keamanan selama kegiatan wisata yang dipandu oleh pemandu. Dengan pahamnya pemandu
terhadap SOP yang berlaku dapat meminimalisir terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
Tahun selanjutnya, strategi pada tahun kedua diharapkan tercapai 45% pelatihan bagi
interpreter telusur hutan dan taman batu. Perlunya pemahaman kinerja dan tanggung jawab
sebagai pemandu wisata. Dengan adanya pelatihan baik dasar maupun sudah mendalam dapat
mempengaruhi citra TBGS sebagai wisata minat khusus yang profesional dan edukatif. Pelatihan
dapat diperoleh dari pihak pemerintah sebagai penyedia sosialisasi massal maupun dari
akademisi yang telah paham dengan kondisi dan dunia kerja interpreter.
Pada tahun ketiga, Tercapai 65% pemandu tracking memiliki sertifikat minimal 2 orang.
Perlunya lisensi resmi dan sertifikat bagi interpreter adalah bukti kuat bahwa mereka
berkompeten, memiliki kemampuan yang mumpuni dan profesional pada profesinya. Sehingga
menjadikan TBGS sebagai salah satu destinasi wisata minat khusus yang memang diperhatikan
kualitasnya
Tahun keempat, tercapai 70% fasilitas ruang/pusat informasi wisata TBGS. pusat informasi
perlu ada keberadaannya pada suatu destinasi. Tujuannya adalah sebagai informan wisata khusus
pada suatu objek wisata. Di TBGS, pusat informasi dapat dibangun khusus maupun
35
memanfaatkan rumah warga atau pengurus. Tentunya dengan adanya pusat informasi, wisata
TBGS menjadi terarah dan jelas.
Strategi pada jangka waktu tahun kelima, tercapai 100% semua pemandu memiliki sertifikat.
Melanjutkan pencapaian dari tahun ketiga, pada tahun ini diharapkannya adanya penambahan
beberapa pemandu. Jumlah pemandu disesuaikan dengan perkiraan wisatawan yang datang. Dari
semua pemandu tersebut baik pemandu gua maupun pemandu hutan, telah tersertifikasi dari
badan otoritas sebagai pemandu yang telah terlatih dan profesional.
Dari 4 target capaian utama yang sudah dijabarkan diatas, setiap destinasi membutuhkan
arah rencana strategis jangka panjang selain adanya strategi jangka pendek untuk setiap sektor
kepariwisataan yang memiliki jangka waktu untuk 5 (lima) tahun dan lebih.
Para ahli manajemen, pemasaran dan pariwisata juga memberi pengaruh besar terhadap
perencanaan kepariwisataan khususnya pada bidang manajemen strategis perencanaan
pariwisata. Tidak ketinggalan juga peran dari NGO sebagai perencana-perencana juga memberi
pengaruh kepada perencanaan pariwisata. Fokus utama pada proses ini adalah bagaimana
melibatkan seluruh komunitas untuk mendiskusikan perencanaan ke depan. Sehingga pengaruh
tersebut juga meningkatkan kontribusi masyarakat lokal (host community) sebagai individu
maupun kelompok untuk mendukung adanya pariwisata berkelanjutan yang dapat diterima oleh
masyarakat itu sendiri.
Perencanaan jangka panjang dibuat guna meminimalisir terjadinya dampak-dampak
negatif yang muncul akibat keberadaan pariwisata. Pariwisata selain mendatangkan devisa harus
juga memikirkan strategi yang baik, yaitu dengan memperhatikan dampak pada lingkungan.
Banyak kasus di daerah lain yang menjadi destinasi massal sehingga berpengaruh pada kondisi
lingkungan, lingkungan pun menjadi terganggu.
TBGS sebagai wisata minat khusus dan wisata yang mengedepankan sumber daya alam
tentunya harus mengedepankan pariwisata berkelanjutan yang ramah lingkungan. Jangan sampai
datangnya wisatawan dan tidak ada pengawasan yang memadai, wisata itu sendiri menjadi rusak.
Karakteristik wisatawan yang berbeda-beda perlu diperhatikan guna mencegah terjadinya
kerusakan alam seperti vandalisme, kebakaran hutan, perusakan situs goa, sampah yang
berserakan dan longsor.
Penataan tata ruang atraksi seperti penempatan fasilitas parkir dan toilet serta pengelolaan
jalur/trek wisatawan di kawasan TBGS perlu dilakukan perencanaan agar tourist flow dapat
36
dikelola dengan komprehensif sehingga dampak negatif yang mungkin terjadi dapat
diminimalisir.
37
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Perencanaan adalah suatu cara bagaimana mencapai tujuan sebaik-baiknya dengan
sumber daya yang ada supaya lebih efektif dan efisien. Pada hakikatnya perencanaan merupakan
penentuan suatu tujuan utama beserta cara dan proses untuk menentukan tujuan tersebut. Tidak
terkecuali pada pariwisata juga membutuhkan perencanaan untuk mengembangkan suatu objek
wisata. Sebab dalam kepariwisataan perencanaan tidak lepas dengan segala aspek yang berkaitan
dengan pariwisata, perencanaan harus menyeluruh dan mencakup semua jaringan yaitu
pemerintah, stakeholder dan masyarakat.
Objek wisata TBGS tersendiri juga harus memiliki perencanaan dan strategi berjangka
pada proses penyelenggaraannya. Pentingnya perencanaan karena digunakan sebagai pedoman
penyelenggara pariwisata salah satunya TBGS dalam pengambilan keputusan dan kebijakan serta
memprediksikan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi sehingga dapat mencapai tujuan
utamanya, mewujudkan TBGS berjalan secara efektif dan efisien serta alat ukur tingkat
keberhasilan sebagai upaya pengawasan dan evaluasi untuk pariwisata ini sendiri kedepannya.
Tidak dipungkiri lagi bahwa setiap objek wisata perlu perencanaan kepariwisataan jangka
panjang, sebab belum semua destinasi memiliki perencanaan ini. Pengelola memerlukan jangka
waktu dan anggaran dalam proses perencanaan. Maka dari itu, pengelola harus dapat
mengartikulasikan manfaat-manfaat jangka pendek maupun jangka panjang dari perencanaan
kepariwisataan
4.2 Saran
Konsep pengembangan yang dapat dilakukan dan dijalankan oleh TBGS pada bagian
industri adalah dengan melengkapi keberadaan unsur-unsur industri pariwisata itu sendiri yang
dapat dilakukan dengan melibatkan seluruh komunitas dan masyarakat untuk berpartisipasi
dalam pengadaan unsur tersebut.
Dari aspek kelembagaan/organisasi, disarankan bagi TBGS untuk upgrading sistemnya.
Baik dari segi kuantitas maupun kualitas dalam pemberdayaan masyarakat lokal sebagai
masyarakat sadar wisata sepatutnya lebih ditingkatkan.
38
Kami berharap adanya tulisan ini dapat membantu penelitian dengan tema serupa atau
dengan objek penelitian yang sama kedepannya. Besar harapan kami, penelitian tersebut dapat
menyempurnakan hasil penelitian ini. Selain itu, harapan dari kami dengan adanya tulisan ini
semoga dapat menjadi saran dan rekomendasi bagi objek wisata TBGS untuk pembangunan baik
jangka pendek maupun jangka panjang.
39
DAFTAR PUSTAKA
Campbell, David F. J. 2010. Triple Helix, Quadruple Helix and Quintuple Helix and How Do
Knowledge, Innovation and the Environment Relate To Each Other? International
Journal of Social Ecology and Sustainable Development,1(1), 41-69. Austria: University
of Klagenfurt
Coburn, A.W.dkk. 1994. Modul Mitigasi Bencana Edisi Kedua. Jakarta: Departemen Urusan
Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Praswati, Aflit. 2017. Perkembangan Model Helix dalam Peningkatan Inovasi. Surakarta:
Seminar Nasional Riset Manajemen dan Bisnis.
LAMAN PUSTAKA
http://amazingpurworejo.blogspot.com/2018/01/fun-adventure-di-taman-batu-gua.html Diakses
pada Minggu, 16 Desember 2018 pukul 21.03 WIB
40
41