Você está na página 1de 30

Presentasi Kasus

Pterygium

Pembimbing
Dr.Michael.Sp.M

disusun oleh
Theo Ambra
11.2016.280

Kepaniteran Klinik Ilmu Penyakit Mata


Universitas Kristen Krida Wacana
Rumah Sakit Family Medical Center
Periode 18 Febuari -23 Maret 2019
KEPANITERAAN KLINIK

STATUS ILMU MATA

RUMAH SAKIT FMC ,BOGOR

Nama :Theo Ambra Tanda Tangan

NIM : 11 2016 280 .................

Dr Pembimbing / Penguji : dr. Michael Sp.M .................

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny LU Jenis Kelamin : Perempuan

Usia: 42 th Agama : Islam

Status Pernikahan : Sudah Menikah Pendidikan : SMA

Pekerjaan : ibu rumah tangga Tanggal masuk RS : 20/02/19

Alamat : Bogor

ANAMNESIS

Diambil dari : Autoanamnesis, Tanggal 20-02-2019

Keluhan Utama : Pasien datang dengan keluhan mata kanan merah dan terasa mengganjal sejak
12 tahunyang lalu

Keluhan Tambahan: Pasien mengatakan terdapat selaput dimata kanannya


Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien Ny LU berusia 42th datang dengan keluhan mata kanan merah dan mengganjal. Hal ini
sudah dirasakan sejak kurang lebih 12 tahun yang lalu. Pasien juga mengatakan bahwa terdapat
adanya selpaut yang makin lama semakin melebar pada mata kanannya. Rasa nyeri dan buram
pada mata kanan disangkal pasien. Pasien mengatakan sebelumnya pasien pernah mengalami hal
serupa pada mata kiri nya dan sudah dilakukan operasi pada 1 bulan yang lalu. Diketahui bahwa
pasien adalah seorang ibu rumah tangga dan menggunakan sepeda motor untuk berpergian
sehari-hari tanpa menggunakan kaca mata pelindung.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien pernah mengalami hal serupa pada mata kirinya dan sudah dilakukan operasi pada 1 bulan
yang lalu. Riwayat adanya diabetes militus, darah tinggi alergi obat atau makanan disangkal
pasien.
Riwayat Penyakit Keluarga

Ayah pasien memiliki keluhan serupa dengan pasien.

PEMERIKSAAN FISIK

STATUS GENERALIS

Kesadaran : Compos Mentis

Keadaan Umum : Tampak sakit ringan

Tensi : 110/70 mmHg

Pernafasan : 20 x/menit

Nadi : 82 x/menit

Suhu : 36,80C

Berat badan : 45 kg

Tinggi badan : 159 cm


Kepala : Normocephali

Leher : KGB tidak membesar

Jantung : tidak diperiksa

Paru : tidak diperiksa

Abdomen : tidak diperiksa

Ekstremitas : tidak ada edema dan akral hangat

STATUS OPHTALMOLOGI

Visus

KETERANGAN OD OS

1.0-1 1.0
Tajam penglihatan

Koreksi - -

Addisi - -

Kacamata lama - -

Kedudukan bola mata

KETERANGAN OD OS

Eksoftamus Tidak ada Tidak ada

Endoftalmus Tidak ada Tidak ada

Deviasi Tidak ada Tidak ada


Gerakan bola mata Baik ke segala arah Baik ke segala arah

Supra silia

KETERANGAN OD OS

Warna Hitam Hitam

Letak Simetris Simetris

Palpebra Superior dan Inferior

KETERANGAN OD OS

Edema Tidak ada Tidak ada

Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada

Ektropion Tidak ada Tidak ada

Entropion Tidak ada Tidak ada

Blefarospasme Tidak ada Tidak ada

Trikiasis Tidak ada Tidak ada

Sikatriks Tidak ada Tidak ada

Fissura palpebra 11 mm 11 mm

Ptosis Tidak ada Tidak ada

Hordeolum Tidak ada Tidak ada

Kalazion Tidak ada Tidak ada


Pseudoptosis Tidak ada Tidak ada

KonjungtivaTarsalis Superior dan Inferior

KETERANGAN OD OS

Hiperemis Tidak ada Tidak ada

Folikel Tidak ada Tidak ada

Papil Tidak ada Tidak ada

Sikatriks Tidak ada Tidak ada

Anemia Tidak ada Tidak ada

Kemosis Tidak ada Tidak ada

Konjungtiva bulbi

KETERANGAN OD OS

Injeksi konjungtiva Tidak ada Tidak ada

Injeksi Siliar Tidak ada Tidak ada

Perdarahan
Tidak ada Tidak ada
subkonjungtiva

Pterigium Ada Tidak ada

Pinguekula Tidak ada Tidak ada

Nevus Pigmentosus Tidak ada Tidak ada

Kista dermoid Tidak ada Tidak ada


Kemosis Tidak ada Tidak ada

Sistim lakrimalis

KETERANGAN OD OS

Punctum Lacrimal Terbuka Terbuka

Tes anel Tidak diperiksa Tidak diperiksa

Sklera

KETERANGAN OD OS

Warna Putih Putih

Ikterik Tidak ada Tidak ada

Kornea

KETERANGAN OD OS

Kejernihan Jernih Jernih

Permukaan Terdapat selaput Licin

Ukuran 12 mm 12 mm

Sensibilitas Tidak diperiksa Tidak diperiksa

Infiltrat dan Dendrit Tidak ada Tidak ada

Ulkus Tidak ada Tidak ada


Perforasi Tidak ada Tidak ada

Arkus senilis Ada Ada

Edema Tidak ada Tidak ada

Tes Placido Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Bilik Mata Depan

KETERANGAN OD OS

Kedalaman Dalam Dalam

Kejernihan Jernih Jernih

Hifema Tidak ada Tidak ada

Hipopion Tidak ada Tidak ada

Efek Tyndall Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Iris

KETERANGAN OD OS

Warna Hitam kecoklatan Hitam kecoklatan

Kriptae Jelas Jelas

Bentuk Bulat Bulat

Sinekia Tidak ada Tidak ada

Koloboma Tidak ada Tidak ada


Pupil

KETERANGAN OD OS

Letak Di tengah Di tengah

Bentuk Bulat Bulat

Ukuran 3 mm 3 mm

Refleks cahaya langsung Positif Positif

Refleks cahaya tidak langsung Positif Positif

Lensa

KETERANGAN OD OS

Kejernihan Jernih Jernih

Letak Di tengah Di tengah

Shadow Test Negatif Negatif

Badan kaca

KETERANGAN OD OS

Kejernihan Jernih Jernih

Fundus okuli

KETERANGAN OD OS
Reflex Fundus Positif Positif

Papil

- Bentuk Bulat Bulat

- Warna hitam Hitam

- Batas Tegas Tegas

Retina

- CD Ratio 0,3 0,3

- AV Ratio 1/3 1/3

- Perdarahan Tidak Ada Tidak Ada

- Exudat Tidak Ada Tidak Ada

- Sikatrik Tidak ada Tidak ada

Makula Lutea

- Reflex Fovea Tidak ternilai Tidak ternilai

- Edema Tidak ada Tidak Ada

- Eksudat Tidak Ada Tidak Ada

Palpasi

KETERANGAN OD OS

Nyeri Tekan Tidak ada Tidak ada

Massa Tumor Tidak ada Tidak ada


Tensi Okuli Dalam batas normal Dalam batas normal

Kampus visi

KETERANGAN OD OS

Tes Konfrotasi sama dengan pemeriksa sama dengan pemeriksa

Pemeriksaan Penunjang

Tidak dilakukan

Resume

Pasien Ny LU berusia 42th datang dengan keluhan mata kanan merah dan mengganjal. Hal ini
sudah dirasakan sejak kurang lebih 12 tahun yang lalu. Pasien juga mengatakan bahwa terdapat
adanya selpaut yang makin lama semakin melebar pada mata kanannya. Rasa nyeri dan buram
pada mata kanan disangkal pasien. Pasien mengatakan sebelumnya pasien pernah mengalami hal
serupa pada mata kiri nya dan sudah dilakukan operasi pada 1 bulan yang lalu. Diketahui bahwa
pasien adalah seorang ibu rumah tangga dan menggunakan sepeda motor untuk berpergian
sehari-hari tanpa menggunakan kaca mata pelindung. Pasien mengatakan ayah pasien pernah
memiliki riwayat yang sama. . Dari hasil pemeriksaan didapatkan kesadaran compos mentis,
keadaan umum tampak sakit ringan, tekanan darah 110/70 mmHg, pernafasan 20 x/menit, nadi
82 x/menit, suhu 36,80C. Darihasil pemeriksaan fisik di dapatkan adanya selaput dimata sebelah
kanan menuju kearah hidung.

Diagnosis kerja

 Pterygium grade II OD
 Post peterektomi OS

Diagnosis Banding

 Pseudo pterygium
 Pinguekula

Dasar Diagnosis:

Ditemukannya selaput dari arah temporal menuju nasal padamata kanan


Ditemukan adanya riwayat pasien sering berpergian menggunakan motor tanpa
menggunakan kaca mata pelindung

Penatalaksanaan

 Farmakologi :
o Polidemisin sehari 4 kali 1 tetes.
o Cendo Lyteers sehari 4 kali 1 tetes
 Non-Farmakologi : Menggunakan kaca mata pelindung saat berkendara motor
 Bedah : Eksisi pterygium dengan autograf

Prognosis

Ad vitam: Bonam

Ad sanationam: Bonam

Ad fungsionam: Bonam
Tinjauan Pustaka
Anatomi
Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus
permukaan posterior kelopak mata (konjuntiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera
(konjungtiva bulbaris). Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva.
Konjungtiva ini mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel goblet.1 Konjungtiva
bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel
kornea di limbus.1
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :
- Konjungtiva palpebralis (konjungtiva tarsalis), melapisi permukaan posterior kelopak mata
dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke
posterior (pada forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi
konjungtiva bulbaris. Permukaan licin, di celah konjungtiva terdapat kelenjar Henle.
- Konjungtiva bulbaris, melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan melipat berkali-kali
adanya lipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan
konjungtiva sekretorik (duktus kelenjar lakrimal bermuara di forniks temporal superior).
Konjungtiva bulbaris melekat longgar pada kapsul Tenon dan sklera di bawahnya, kecuali di
limbus. Di dekat kantus internus, konjungtiva bulbi membentuk plika semilunaris yang
mengelilingi suatu pulau kecil terdiri dari kulit yang mengandung rambut dan kelenjar, yang
disebut “caruncle”.
- Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsalis dengan konjungtiva
bulbaris. Mengandung banyak pembuluh darah, sehingga pembengkakan mudah terjadi bila
terdapat peradangan di mata. Di bawah konjungtiva forniks superior terdapat glandula
lakrimal dari Kraus dan muara saluran air mata.
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya
sehingga bola mata mudah bergerak.1
Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri palpebralis. Kedua
arteri ini beranastomosis bebas bersama dengan banyak vena konjungtiva yang umumnya
mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali.
Pembuluh limfe konjungtiva tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan profundus dan
bersambung dengan pembuluh limfe palpebra hingga membentuk pleksus limfatikus yang
banyak.
Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan pertama (oftalmik) nervus
trigeminus. Saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri.
Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata, menyediakan kebutuhan oksigen
ke kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi mata dengan mekanisme pertahanan
nonspesifik yang berupa barier epitel, aktivitas lakrimasi, dan menyuplai darah. Selain itu,
terdapat pertahanan spesifik berupa mekanisme imunologis seperti sel mast, leukosit, adanya
jaringan limfoid pada mukosa tersebut dan antibodi dalam bentuk IgA.
Pada konjungtiva terdapat beberapa jenis kelenjar yang dibagi menjadi dua grup besar
yaitu :
1. Penghasil musin
a. Sel goblet; terletak dibawah epitel dan paling banyak ditemukan pada daerah
inferonasal.
b. Crypts of Henle; terletak sepanjang sepertiga atas dari konjungtiva tarsalis
superior dan sepanjang sepertiga bawah dari konjungtiva tarsalis inferior.
c. Kelenjar Manz; mengelilingi daerah limbus
2. Kelenjar asesoris lakrimalis.
Kelenjar asesoris ini termasuk kelenjar Kraus dan kelenjar Wolfring. Kedua kelenjar ini terletak
dalam dibawah substansi propria.

Pada sakus konjungtiva tidak pernah bebas dari mikroorganisme namun karena suhunya
yang cukup rendah, evaporasi dari cairan lakrimal dan suplai darah yang rendah menyebabkan
bakteri kurang mampu berkembang biak. Selain itu, air mata bukan merupakan medium yang
baik.
Anatomi Kornea
Kornea merupakan dinding depan bola mata, berupa jaringan transparan dan avaskular.
Faktor-faktor yang menyebabkan kejernihan kornea adalah letak epitel kornea yang tertata
sangat rapi, letak serabut kolagen yang tertata sangat rapi dan padat, kadar air yang konstan, dan
tidak adanya pembuluh darah. Kornea merupakan pembiasan sinar terkuat dimana 40 dioptri dari
50 dioptri pembiasan sinar masuk ke kornea.1 Kornea melanjutkan diri sebagai sklera ke arah
belakang dan perbatasan antara kornea dan sklera ini disebut limbus.
Kornea terdiri dari enam lapis, yaitu :
1. Epitel
Tebalnya 550 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang
tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel,
dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi
sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depanya
melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan
glukosa yang merupakan barrier. Epitel berasal dari ektoderm permukaan.
2. Membran Bowman
Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun
tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapis ini tidak mempunyai
daya regenerasi.
3. Stroma
Merupakan lapisan paling tebal, terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang
sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian
perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu yang
lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang
merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan
dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
4. Lapisan Dua
Lapisan Dua terletak di bagian belakang kornea antara stroma kornea dan membran
Descement. Berukuran tebal 15 μm. cukup kuat untuk dapat menahan satu setengah sampai
dua bar tekanan.10

5. Membran Descement
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan
sel endotel dan merupakan membran basalnya. Bersifat sangat elastik dan berkembang terus
seumur hidup, mempunyai tebal 40µm.

6. Endotel
Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40µm. endotel
melekat pada membrane descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden.

Epitel dan endotel kornea memiliki fungsi untuk menjaga agar cairan pada stroma kornea
tetap dalam keadaan stabil. Sel- sel pada kedua lapisan ini kaya akan lipid dan bersifat hidrofobik
(sedangkan stroma bersifat hidrofilik) sehingga solubilitas garam menjadi rendah. Sel epitel
memiliki junction complexes yang mencegah masuknya air mata kedalam kornea atau keluarnya
cairan dalam kornea ke film prekorneal. Sel endotel juga memiliki junction complexes namun
influks dari cairan akueus dapat terjadi dengan adanya mekanisme transpor aktif Na-K ATPase.
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus,
saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma
kornea, menembus membrane bowman melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel
dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi
dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus
terjadi dalam waktu 3 bulan.1
Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan sistem pompa endotel
terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel tidak mempunyai
daya regenerasi.1
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di sebelah
depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri
pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.1
Kornea yang sehat adalah avaskular dan tidak memiliki saluran limfatik. Nutrisi sel
kornea didapat melalui difusi dari cairan akueus, kapiler pada limbus, dan oksigen yang terlarut
dalam film prekorneal. Metabolisme kornea cenderung aerobik dan mampu berfungsi baik secara
anaerobik selama enam sampai tujuh jam. Sel yang bermetabolisme secara aktif adalah endotel,
epitel dan sel keratosit stroma. Oksigen yang menyuplai kornea kebanyakan berasal dari film
prekorneal dengan kontribusi sedikit dari kapiler di limbus dan gradien oksigen. Suplai glukosa
pada kornea 90% berasal dari cairan akueus dan 10% dari kapiler limbus.

Pterigium
Definisi
Pterigium adalah suatu penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk segitiga, mirip
daging yang menjalar ke kornea, pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif.1
Menurut kamus kedokteran Dorland, Pterigium adalah bangunan mirip sayap, khususnya
untuk lipatan selaput berbentuk segitiga yang abnormal dalam fisura interpalpebralis, yang
membentang dari konjungtiva ke kornea, bagian puncak (apeks) lipatan ini menyatu dengan
kornea sehingga tidak dapat digerakkan sementara bagian tengahnya melekat erat pada sclera,
dan kemudian bagian dasarnya menyatu dengan konjungtiva. 2
Menurut American Academy of Ophthalmology, Pterigium adalah poliferasi jaringan
subkonjungtiva berupa granulasi fibrovaskular dari (sebelah) nasal konjuntiva bulbar yang
berkembang menuju kornea hingga akhirnya menutupi permukaannya. 3
Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal maupun temporal
konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di
bagian sentral atau di daerah kornea. Asal kata Pterigium dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang
artinya wing atau sayap. Hal ini mengacu pada pertumbuhan pterigium yang berbentuk sayap
pada konjungtiva bulbi.

Epidemiologi
Kasus pterigium yang tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi, tergantung pada lokasi
geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Faktor yang sering
mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator. Prevalensi juga tinggi pada daerah berdebu dan
kering.
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi
geografisnya. Di daratan Amerika serikat, prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk daerah di
atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36o. Sebuah hubungan
terdapat antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi
di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas dan
peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah.4
Di Indonesia yang melintas di bawah garis khatuliswa, kasus-kasus pterigium cukup
sering didapati. Apalagi karena faktor risikonya adalah paparan sinar matahari (UVA & UVB),
dan bisa dipengaruhi juga oleh paparan alergen, iritasi berulang (misal karena debu atau
kekeringan).
Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterigium. Prevalensi pterigium meningkat
dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3 dari kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20
dan 49. Kejadian berulang (rekuren) lebih sering pada umur muda daripada umur tua. Laki-laki 4
kali lebih resiko dari perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah, riwayat
terpapar lingkungan di luar rumah.4

Etiologi
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Penyakit ini lebih sering pada orang yang
tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang paling diterima tentang hal tersebut
adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap sinar ultraviolet dari
matahari, daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya.
Diduga perbagai faktor risiko tersebut menyebabkan terjadinya degenerasi elastis jaringan
kolagen dan proliferasi fibrovaskular. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang
disebabkan kelainan tear film menimbulkan pertumbuhan fibroplastik baru merupakan salah satu
teori. Progresivitasnya diduga merupakan hasil dari kelainan lapisan Bowman kornea.1 Beberapa
studi menunjukkan adanya predisposisi genetik untuk kondisi ini. Tingginya insiden pterigium
pada daerah dingin, iklim kering mendukung teori ini.

Faktor Risiko

Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni radiasi ultraviolet
sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter.
1. Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya pterigium adalah terpapar
sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva menghasilkan kerusakan
sel dan proliferasi sel. Letak lintang, lama waktu di luar rumah, penggunaan kacamata dan
topi juga merupakan faktor penting.
2. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterigium dan berdasarkan
penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan pterigium, kemungkinan
diturunkan autosom dominan.
3. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea merupakan
pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini
merupakan teori baru patogenesis dari pterigium.

Klasifikasi

Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu : body, apex (head) dan cap. Bagian segitiga
yang meninggi pada pterigium dengan dasarnya kearah kantus disebut body, sedangkan bagian
atasnya disebut apex dan ke belakang disebut cap. A subepithelial cap atau halo timbul pada
tengah apex dan membentuk batas pinggir pterigium.1
Pembagian Pterigium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2 tipe, yaitu :
- Progresif Pterigium : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di depan kepala Pterigium
(disebut cap Pterigium).
- Regresif Pterigium : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi membentuk membran
tetapi tidak pernah hilang.
Pembagian lain Pterigium yaitu :
a. Tipe I
Meluas kurang 2 mm dari kornea. Stoker's line atau deposit besi dapat dijumpai pada
epitel kornea dan kepala Pterigium.1 Lesi sering asimptomatis meskipun sering
mengalami inflamasi ringan. Pasien dengan pemakaian lensa kontak dapat mengalami
keluhan lebih cepat.
b. Type II
Menutupi kornea sampai 4 mm, bias primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh
dengan tear film dan menimbulkan astigmatisma.
c. Type III
Mengenai kornea lebih 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas terutama yang
rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke fornik dan
biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata.
Pterigium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat yaitu5 :
a. Derajat 1 : jika Pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.
b. Derajat 2 : jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari
2 mm melewati kornea.
c. Derajat 3 : sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran
pupil mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 – 4
mm)
d. Derajat 4 : Pertumbuhan Pterigium melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.

Patogenesis dan Patofisiologi


Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada limbal basal stem cell.
Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi dalam jumlah berlebihan dan
meningkatkan proses kolagenase sehingga sel-sel bermigrasi dan terjadi angiogenesis. Akibatnya
terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Pada
jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoik dan proliferasi jaringan vaskular bawah
epithelium yang kemudian menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan
membran Bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular yang sering disertai dengan
inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.1
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal
stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada permukaan kornea. Gejala dari
defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis,
kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada
pterigium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterigium merupakan
manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet
terjadi kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra.1
Pemisahan fibroblast dari jaringan pterigium menunjukkan perubahan phenotype, yaitu
lapisan fibroblast mengalami proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblast pterigium
menunjukkan matriks metalloproteinase, yaitu matriks ekstraselular yang berfungsi untuk
memperbaiki jaringan yang rusak, penyembuhan luka, dan mengubah bentuk. Hal ini
menjelaskan penyebab pterigium cenderung terus tumbuh dan berinvasi ke stroma kornea
sehingga terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi.
Patofisiologi Pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan proliferasi
fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium, Histopatologi kolagen abnormal
pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin.
Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastik akan tetapi bukan jaringan elastik
yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.
Histologi, pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi subepitel yang
basofilik dengan karakteristik keabu-abuan di pewarnaan H & E . Berbentuk ulat atau degenerasi
elastotic dengan penampilan seperti cacing bergelombang dari jaringan yang degenerasi.
Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya
normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering
menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.6
Gejala Klinis

Pada fase awal pterigium tanpa gejala, hanya keluhan kosmetik. Gangguan terjadi ketika
pterigium mencapai daerah pupil atau menyebabkan astigatisme karena pertumbuhan fibrosis
pada tahap regresi.
Pterigium lebih sering dijumpai pada laki-laki yang bekerja di luar rumah. Bisa unilateral
atau bilateral. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal. Pterigium yang terletak di nasal dan
temporal dapat terjadi secara bersamaan walaupun pterigium di daerah temporal jarang
ditemukan. Perluasan pterigium dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi
sumbu penglihatan, menyebabkan penglihatan kabur.
Keluhan subjektif pada pterigium adalah rasa panas, gatal, mata lekas lelah, berair dan
merasa mengganjal.1
Pemeriksaan dan Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Menanyakan pasien tentang keluhan yang diderita, durasi keluhan, faktor
risiko seperti pekerjaan, paparan sinar matahari dan lain-lain.
2. Pemeriksaan Fisik
Melihat kedua mata pasien untuk morfologi pterigium, serta memeriksa
visus pasien. Pterigium yang meradang akan berwarna merah. Bagian puncak pterigium
dini terlihat bercak kelabu (Pulau-pulau Funchs) Pterigium dapat disertai dengan keratitis
pungtata dan dellen (penipisan pada kornea akibat kering), dan garis besi (iron line dari
strocker) yang terlihat di ujung pterigium. Diagnosa dapat didirikan tanpa pemeriksaan
lanjut. Anamnesa positif terhadap faktor risiko dan paparan serta pemeriksaan fisik yang
menunjang anamnesa cukup untuk membuat suatu diagnosa pterigium.
3. Pemeriksaan Slit Lamp
Pemeriksaan Slit Lamp untuk memastikan bahwa lesi adalah pterigium dan untuk
menyingkirkannya dari diagnosa banding lain. Pemeriksaan slit lamp dilakukan dengan
menggunakan alat yang terdiri dari lensa pembesar dan lampu sehingga pemeriksa dapat
melihat bagian luar bola mata dengan magnifikasi dan pantulan cahaya memungkinkan
seluruh bagian luar untuk terlihat dengan jelas. 7
Diagnosa Banding Pterigium
Pseudopterigium
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat. Sering
pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea, sehingga konjungtiva
menutupi kornea. Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang
cacat. Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea, sehingga
konjungtiva menutupi kornea. Pseudopterigium juga sering dilaporkan sebagai dampak sekunder
penyakit peradangan pada kornea. Pseudopterigium dapat ditemukan dibagian apapun pada
kornea dan biasanya berbentuk oblieq. Sedangkan pterigium ditemukan secara horizontal pada
posisi jam 3 atau jam 9.7

Perbedaan pseudopterigium dengan pterigium adalah


Tabel 1. Perbedaan Pterigium Dengan Pseudopterigium

Perbedaan Pterigium dan Pseudopterigium

Pterigium Pseudopterigium

Etiologi Proses degenerasi Proses inflamasi

Umur Sering terjadi pada orang tua Terjadi pada semua umur

Lokasi Pada konjungtiva nasal atau Dapat terjadi pada semua sisi dari
temporal konjungtiva

Stadium Progresif, regresif atau stationer Biasanya stasioner

Pinguekula
Pinguekula merupakan penebalan pada konjungtiva bulbi berbentuk segitiga dengan
puncak di perifer dasar di limbus kornea, berwarna kuning keabu-abuan dan terletak di celah
kelopak mata. Timbul akibat iritasi oleh angin, debu dan sinar matahari yang berlebihan.
Biasanya pada orang dewasa yang berumur kurang lebih 20 tahun. Yang membedakan pterigium
dengan pinguekula adalah bentuk nodul, terdiri atas jaringan hyaline dan jaringan elastik kuning,
jarang bertumbuh besar, tetapi sering meradang.1

Secara histopatologik ditemukan epitel tipis dan gepeng, sering terdapat hanya dua lapis
sel. Lapisan subepitel tipis. Serat-serat kolagen stroma berdegenerasi hialin yang amorf kadang-
kadang terdapat penimbunan serat-serat yang terputus-putus. Dapat terlihat penimbunan kalsium
pada lapisan permukaan. Pembuluh darah tidak masuk ke dalam Pinguekula akan tetapi bila
meradang atau terjadi iritasi, maka sekitar bercak degenerasi ini akan terlihat pembuluh darah
yang melebar. Tidak ada pengobatan yang khas, tetapi bila terdapat gangguan kosmetik dapat
dilakukan pembedahan pengangkatan.1

Penatalaksanaan Pterigium
1. Non Farmakologi
Secara teoritis, memperkecil terpapar radiasi ultraviolet untuk mengurangi resiko
berkembangnya pterygia pada individu yang mempunyai resiko lebih tinggi. Pasien di
sarankan untuk menggunakan topi yang memiliki pinggiran, sebagai tambahan terhadap
radiasi ultraviolet sebaiknya menggunakan kacamata pelindung dari cahaya matahari.
Tindakan pencegahan ini bahkan lebih penting untuk pasien yang tinggal di daerah
subtropis atau tropis, atau pada pasien yang memiliki aktifitas di luar, dengan suatu
resiko tinggi terhadap cahaya ultraviolet (misalnya, memancing, ski, berkebun, pekerja
bangunan). Untuk mencegah berulangnya pterigium, sebaiknya para pekerja lapangan
menggunakan kacamata atau topi pelindung.
2. Farmakologi
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang
mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan
steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid
tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami
kelainan pada kornea.
3. Bedah
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium.
Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium
tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian
superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium
yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal
mngkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya
hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC
juga cukup berat.
1. Indikasi Operasi
 Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
 Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
 Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena
astigmatismus
 Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.8
2. Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan,
dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik
bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena
tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi
pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih
memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang
mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut
yang minimal dan halus dari permukaan kornea.1
 Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan
sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89
persen, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.1
 Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40
persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan
autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas
sclera yang telah di eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan
untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati
jaringan Tenon's dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal
jaringan dan orientasi akurat dari grafttersebut. Lawrence W. Hirst, MBBS, dari
Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterygium
dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.1

(a) Pterygium
(b) Pterygium diangkat
(c) daerah yang diangkat
(d) Konjungtiva di daerah yang tidak
terkena sinar UV (misal dibawah palpebra
superior) diangkat
(e) konjungtiva tersebut ditransplant

 Cangkok Membran Amnion


Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah
kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran
amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa
itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan
dan fibrosis dan epithelialisai.Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam
pada studi yang ada, diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterygia primer
dan setinggi 37,5 persen untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari
teknik ini selama autograft konjungtiva adalah pelestarian bulbar
konjungtiva. Membran Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera , dengan
membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah. Beberapa
studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk membantu
cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral dibawahnya. Lem fibrin
juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.1

4. Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi masalah, dan
terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan
pterigium. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan
penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari terapi tersebut.1
MMC (Mitomycin C) telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena
kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi
beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC
saat ini digunakan: aplikasi intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi
pterygium, dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa
penelitian sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk
mengurangi toksisitas.1
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena
menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak ada data
yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari radiasi
termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini telah
mendorong dokter untuk tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.1
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan
pemberian:
1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari,
bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian
tappering off sampai 6 minggu.
2. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan
bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam
selama 6 minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik Chloramphenicol,
dan steroid selama 1 minggu.7
Komplikasi Pterigium
1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:
- Gangguan penglihatan
- Mata kemerahan
- Iritasi
- Gangguan pergerakan bola mata.
- Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea
- Dry Eye sindrom 6
2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:
- Infeksi
- Ulkus kornea
- Graft konjungtiva yang terbuka
- Diplopia
- Adanya jaringan parut di kornea 6

Pencegahan dan Prognosa Pterigium


Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan, petani yang
banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai kacamata pelindung sinar
matahari.6
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa tidak nyaman pada hari
pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 48 jam post operasi dapat
beraktivitas kembali. 6
Rekurensi pterygium setelah operasi masih merupakan suatu masalah sehingga untuk
mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan dengan antimetabolit atau
antineoplasia ataupun transplantasi dengan konjungtiva. Pasien dengan rekuren pterygium dapat
dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran
amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3 – 6 bulan pertama setelah operasi. 6
Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti riwayat keluarga atau karena
terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata, sunblock dan mengurangi
terpapar sinar matahari.
Kesimpulan
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal
ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Beberapa keluhan yang sering
dialami pasien antara lain rasa perih, terganjal, sensasi benda asing, silau, berair, gangguan
visus, serta masalah kosmetik.
Daftar Pustaka
1. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007. hal:2-6, 116 –
117.
2. Anderson, Dauglas M., et all. 2000. Dorland’s Illistrated Medical Dictionary. 29th.
Philadelphia: W.B. Saunders Company
3. T H Tan Donald et All. 2005. Pterigium.Clinical Ophthalmology. An Asian Perspective
Chapter 3.2. Saunder Elsevier.Singapore. p: 207-214
4. Vaughan G, Daniel et al. Konjungtiva dalam Opthalmologi Umum ed 14. Widya Medika.
Jakarta. 2000;hal 120-25.
5. American Academy Of Ophthalmology. 2005-2006. Base and Clinical Science Course
,section 8, External Disease and Corne. p:344,403.
6. Gazzard G, Pterygium in Indonesia : prevalence, severity and risk factors. Br. J
Ophtalmol. 2002 ; 86 : 1341-46.
7. Khurana A.K. 2007. Community Ophthalmology in Comprehensive Ophthalmology.
Fourth Edition. Chapter 20. New Delhi. New Age international Limited Publisher.p: 443-

Você também pode gostar