Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PEMBAHASAN
1. Progressivisme
Menurut Mudyahardjo (2001:142) progressivisme adalah gerakan
pendidikan yang mengutamakan penyelenggaraan pendidikan di sekolah berpusat
pada anak (child centered), sebagai reaksi terhadap pelaksanaan pendidikan yang
masih berpusat pada guru (teacher centered) atau bahan pelajaran (subject
centered).
Tujuan utama sekolah, menurut pandangan progressivisme, adalah untuk
meningkatkan kecerdasan praktis, untuk membuat siswa lebih efektif dalam
memecahkan berbagai problema yang disajikan dalam konteks pengalaman pada
permulaan abad XX namun garis linear mundur kebelakangnya dapat ditarik
hingga pada zaman Yunani kuno, misalnya dengan tampilnya pemikiran
Heraelitos, Socrates dan Protagoras. Sementarasa tokoh-tokoh pelopornya yaitu
Benyamin Franklin, Thomas Paine dan Thomas Jefferson.
Progressivisme memercayai manusia sebagai subyek yang memiliki
kemampuan menghadapi dunia dan lingkungan hidupnya, mempunyai
kemampuan untuk mengatasi dan memecahkan masalah-masalah yang akan
mengancam manusia itu sendiri. Pendidikan dianggap mampu utnuk merubah dan
menyelamatkan manusia demi masa depan. Tujuan pendidikan selalu diartikan
sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus menerus dan bersifat progressif
(Indar dalam Triwiyanto, 2013:22).
Selanjutnya dikatakan bahwa progressivisme tidak menghendaki adanya
mata pelajaran yang terpisah, melainkan harus diusahakan menjadi satu unit dan
terintegrasi misalnya dalam bidang-bidang studi IPA, sejarah dan keterampilan
serta hal-hal yang bermanfaat dan dirasakan oleh masyarakat. Praktek kerja
laboratium, bengkel, kebun-kebun merupakan kegiatan-kegiatan yang dianjurkan
dalam rangka terlaksananya “learning by doing” atau belajar untuk bekerja.
2. Rekonstruksionalisme
Rekonstruksionalisme dipelopori oleh John Dewey, yang memandang
pendidikan sebagai rekonstruksi pengalaman-pengalaman yang berlangsung terus
dalam hidup. Sekolah yang menjadi tempat utama berlangsungnya pendidikan
haruslah merupakan gambaran kecil dari kehidupan sodial di masyarakat.
Perkembangan lebih lanjut dari Rekonstruksionisme Dewey adalah
Rekonstruksionalisme Radikal, yang memandang pendidikan sebagai alat untuk
membangun masyarakat masa depan (Mudyahardjo, 2001:151).
Rekonstruksionalisme berpandangan bahwa sekolah semestinya
“diabdikan kepada pencapaian tatanan demokratis yang mendunia. Aliran ini
percaya bahwa teori pada puncaknya tak terpisahkan dari latar belakang sosial
dalam suatu era kesejarahan tertentu. Pikiran, dengan begitu, adalah sebuah
keluaran atau produk dari kehidupan di sebuah masyarakat tertentu di suatu waktu
(O’neil dalam Triwiyanto, 2018:22). Filosofi dari pandangan ini beranggan bahwa
sekolah harus merintis jalan kearah usaha penciptaan sebuah tatanan sosial yang
lebih manusia, lebih memanusiakan, dan demokratis.
Aliran ini bercita-cita untuk mewujudkan suatu dunia di mana kedaulatan
nasional berada dalam pengayoman atau subordinate dari kedaulatan dan otorita
internasional. Dan aliran ini juga bercita-cita untuk mewujudkan dan
melaksanakan satu sinthesa, yaitu perpaduan ajaran agama (Kristen) dengan
demokrasi dan teknologi modern serta seni modern di dalam satu kebudayaan
yang dibina bersama-sama oleh bangsa-bangsa di dunia.
3. Essensialisme
Menurut Mudyahardjo (2001:160) essensialisme modern dalam pendidikan
adalah gerakan pendidikan yang memprotes terhadap skeptisisme dan sinisme
normal dari gerakan progressivisme terhadap nilai-nilai yang tertanam dalam
warisan budaya/sosial. Menurut essensialisme, nilai-nilai yang tertanam dalam
warian budaya/sosial adalah nilai-nilai kemanusiaan yang terbentuk secara
berangsur-angsur dengan melalui kerja keras dan susah payah selama berates
tahun, dan didalamnya berakar gagasan-gagasan dan cita-cita yang telah teruji
dalam perjalanan waktu.
Essensialisme, di pihak lain, berpegang pada pernyatan utama bahwa
“alam semesta beserta segala unsurnya diatur oleh hukum yang mencakup
semuanya serta tatanan yang sudah mapan sebelumnya, karena itu tugas utama
manusia adalah untuk memahami hukum dan tatanan ini sehingga ia bisa
menghargai dan menyesuaikan diri dengannya”. Bagi seorang esensialis, sasaran
utama sekolah adalah untuk mengenalkan anak didik kepada karakter daar alam
semesta yang tertata itu, sengan cara mengenalkan mereka pada warisan budaya
(O’neil dalam Triwiyanto, 2013:21).
Tujuan umum aliran essensialisme adalah membentuk pribadi bahagia di
dunia dan akhirat. Oleh karena itu, isi pendidikannya ditetapkan berdasarkan
kepentingan efektifitas pembinaan kepribadian yang mencakup ilmu yang harus
dikuasai dalam kehidupan dan mampu menggerakaan keinginan manusia.
Karenanya kurikulum essensialisme dianggap semacam miniature dunia yang
dapat dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran dan kegunaan. Dengan
demikian peranan sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan menjadi lebih
berfungsi, berhasil guna dan berdaya guna sesuai dengan prinsip-prinsip dan
kenyataan social (Indar dalam Triwiyanto, 2013:21)
Barnadib (dalam Triwiyanto, 2013:21) menyebutkan beberapa tokoh
terkemuka yang bereperan dalam penyebaran aliran essenialisme, dan sekaligus
memberikan pola dasar pemikiran pendidikan mereka. Diantara tokoh-tokoh
tersebut yaitu Desiderius Erasmus, Johann Henrich Pestalozi dan William T Haris.
4. Perenialisme
Perenialisme adalah gerakan pendidikan yang memprotes terhadap gerakan
pendidikan progresivisme yang mengingkari supernatural. Perenialisme adalah
gerakan pendidikan yang mempertahankan bahwa nilai-nilai universal itu ada, dan
bahwa pendidikan hendaknya merupakan suatu pencarian dan penanaman
kebenaran-kebenaran dan nilai-nilai tersebut (Mudyahardjo, 2001:164).
Brameld (dalam Trwiyanto, 2013:20) menjelaskan bahwa pada dasarnya
perenialisme adalah sudut pandang di mana sasaran yang baik dicapai oleh
Pendidikan adalah “kepemilikan atas prinsip-prinsip tentang kenyataan,
kebenaran, dan nilai, yang abadi, tak terikat waktu, tak terikat ruang. Perenialisme
berakar pada tradisi filosofi yang bia dilacak kembali ke filosofi Plato, Aristoteles,
Thomas quinas, dan Robert M. Hutchins. Pernialisme mengajukan keberadaan
pola-pola yang tak bisa berubah dan bersifat universal, yang melatari dan
menentukan seluruh obyek serta peristiwa yang ada dalam kenyataan (obyek dan
peristiwa actual). Cara pandang-budaya menyeluruh perenialisme sangat bersifat
mundur (regresif); ia berusaha memulihkan tolok ukur-tolok ukur mutlak yang
mengatur dunia zaman kuno dan zaman pertengahan, dan mengandung sifat
menentang demokrasi yang murni.
Perenialisme berasal dari kata perennial diartikan sebagai abadi atau kekal
dan dapat berarti pula terus tiada akhir. Indar (dalam Triwiyanto, 2013:20)
menjelaskan bahwa esensi perenialisme ialah berpegang pada nilai-nilai atau
norma-norma yang bersifat kekal abadi. Aliran ini mengambil analogi realita
social budaya manusia seperti realita pohon yang berbunga yang terus
menerusmekar dari musim ke musim, datang dan pergi dan berubah warna secara
tetap sepanjang tahun dan masa dengan gejala yang terus ada dan sama. Jika
gejala dari musim ke musim itu dihbubungkan satu dengan yang lainnya seolah-
olh merupakan benang dengan corak warna yang khas, dan terus menerus sama.
Selanjutnya, seperti diungkapkan diatas, perenialisme melihat bahwa
akibat atau ujung dari kehidupan zaman modern telah menimbulkan banyak krisi
di berbagai bidang kehidupan manusia. Untuk mengobati zaman yang sedang
sakit ini, maka aliran ini memberikan konsep kepada kebudayaan masa lampau
yang masih ideal.
1) Asas kemerdekaan harus diartikan disiplin pada diri sendiri oleh diri sendiri
atas dasar nilai hidup yang tinggi, baik hidup sebagai individu maupun
sebagai anggota masyarakat.
2) Asas kodrat alam berarti bahwa pada hakikatnya manusia itu sebagai
makhluk adalah satu dengan kodrat alam ini.
3) Asas kebudayaan Taman Siswa tidak berarti asal memelihara kebudayaan
kebangsaan itu kea rah kemajuan yang sesuai dengan kecerdasan zaman,
kemajuan dunia, dan kepentingan hidup rakyat lahir dan batin tiap-tiap
zaman keadaan.
4) Asas kebangsaan Taman Siswa tidak boleh bertentangan dengan
kemanusiaan, malahan harus menjadi bantuk dan fiil kemanusiaan yang nyata
dan oleh karena itu tidak mengandung arti permusuhan dengan bangsa lain.
5) Asas kemanusiaan menyatakan bahwa darma tiap-tiap manusia itu adalah
mewujudkan kemanusiaan, yang berarti kemajuan manusia lahir dan batin
yang setinggi-tingginya, dan juga bahwa kemajuan kemanusiaan yang tinggi
itu dapat dilihat pada kesucian hati orang dan adanya rasa-kasih terhadap
sesama manusia dan terhadap makhluk Tuhan seluruhnya.
Tujuan perguruan kebangsaan Taman Siswa dapat dibagi dua jenis yakni tujuan
yayasan atau keseluruhan perguruan dan tujuan pendidikan . Tujuan yang
pertama itu (Pasal 8) adalah:
1) Sebagai yang dinyatakan dalam keterangan “Asas Taman Siswa” tahun 1922
Pasal 1, tujuan Taman Siswa sebagai badan perjuangan kebudayaan dan
pembangunan masyarakat tertib dan damai.
2) Tertib yang sebenarnya tidak aka nada, jika tidak ada damai antara manusia.
Kesimpulan
Aliran pendidikan adalah pemikiran-pemikiran yang membawa pembaruan
pendidikan. Aliran-aliran pendidikan dikelompokkan menjadi 2, yaitu Aliran
Klasik dan Aliran Modern. Dalam aliran klasik terdapat 4 aliran yakni aliran
empirisme, nativisme, naturalisme, dan konvergensi. Empirisme juga disebut
dengan aliran “tabula rasa” menyebutkan bahwa anak baru lahir seperti kertas
putih yang yang dapat diisi sekehendak hati. Nativisme berpendapat bahwa
keberhasilan suatu pendidikan tergantung dari faktor pembawaan lahir seorang
manusia. Naturalisme disebut juga aliran negativisme, karena berpandangan
bahwa pendidik hanya wajib membiarkan pertumbuhan anak didik saja dengan
sendirinya dan selanjutnya diserahkan pada alam. Konvergensi merupakan
gabungan dari ketiga aliran sebelumnya. Jadi, menurut konvergensi pendidikan
dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor lingkungan dan faktor bawaan lahir.
Dalam aliran modern juga terdapat 4 aliran yakni aliran progressivisme,
rekonstruksionalisme, essensialisme dan perenialisme. Dua pokok aliran yang
dianut oleh Indonesia yaitu Perguruan Kebangsaan Taman Siswa dan Ruang
Pendidik INS Kayu Tanam. Perguruan Kebangsaan Taman Siswa dipelopori oleh
Ki Hajar Dewantara. Ruang Pendidik INS Kayu Tanam didirikan oleh
Muhammad Sjafei.