Você está na página 1de 19

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Aliran Pendidikan


Aliran pendidikan adalah pemikiran-pemikiran yang membawa pembaruan
pendidikan. Pemikiran-pemikiran dalam pendidikan itu berlangsung seperti suatu
diskusi berkepanjangan yakni pemikiran-pemikiran terdahulu selalu ditanggapi
dengan pro dan kontra oleh pemikiran-pemikiran berikutnya, dan karena dialog
tersebut akan melahirkan lagi pemikiran-pemikian baru, dan demikian seterusnya.
Agar diskusi berkepanjangan itu dapat diikuti dan dipahami, maka berbagai aspek
dari aliran-aliran itu harus dipahami terlebih dahulu. Oleh karena itu, setiap calon
tenaga kependidikan, utamanya calon pakar pendidikan, harus memahami
berbagai aliran-aliran itu agar dapat menangkap makna setia gerak dinamika
pemikiran-pemikiran dalam pendidikan itu.

B. Aliran-aliran Klasik Pendidikan


Macam-macam aliran klasik pendidikan dibagi menjadi 4 yaitu empirisme,
nativisme, naturalisme, dan konvergensi (Triwiyanto, 2013:15).
1. Aliran Empirisme
Menurut Triwiyanto (2013:15) empirisme berasal dari kata empiri yang
berarti pengalaman. Tokoh empirisme ini yaitu John Locke (1632-1704), seorang
filosof berkebangsaan Inggris. Indar (dalam Triwiyanto, 2013:16) menjelaskan
bahwa Locke percaya bahwa anak lahir di dunia ini sebagai kertas kosong atau
sebagai meja berlapis lilin (tabula rasa) yang belum ada tulisan diatasnya sehingga
aliran ini disebut juga dengan nama aliran “tabula rasa”. Kertas kosong atau meja
berlapis lilin itu dapat ditulisi sekendak hati yang menulisnya. Menurut
pandangan ini bahwa kepribadian didasarkan pada lingkungan pendidikan yang
didapatnya atau perkembangan jiwa seseorang semata-mata tergantung pada
pendidikan. Pandangan ini juga berpendapat bahwa pendidik dapat berbuat
sekendak hati dalam pembentukan pribadi anak didik menjadi apa yang sesuai
yang diinginkan. Oleh karena itu aliran ini bersifat optimis terhadap hasil
pendidikan.
Pandangan empirisme lebih mementingkan stimulasi eksternal dalam
perkembangan manusia. Bahwa perkembangan anak tergantung pada lingkungan,
sedangkan pembawaan yang dibawanya dari semenjak lahir tidak diperhitungkan.
Lingkungan membawa dampak sangat besar bagi perkembangan dan
pertumbuhan manusia, maka ketergantungan terhadap lingkungan ini menjadi
manusia harus mampu mengelolanya dengan baik, sebab pengalaman kehidupan
didapatkan dari sana (Triwiyanto, 2013:16).
2. Aliran Nativisme
Menurut Trwiyanto (2013:17) aliran nativisme adalah penganut dari salah
satu ajaran filsafat idealisme. Tokoh nativisme yaitu Arthur Schopenhauer (1788-
1860) yang berpandangan bahwa faktor pembawaan yang bersifat kodrat dari
kelahiran dan tidak mendapatkan pengaruh dari alam sekitar pendidikan
sekalipun, dan itulah yang disebut kepribadian manusia. Nativisme berasal dari
bahasa latin yaitu nativs yang memiliki arti terlahir.
Aliran ini percaya bahwa potensi-potensi dari faktor pembawaan yang
bersifat kodrati sebagai pribadi seseorang, bukan hasil pendidikan. Tanpa potensi-
potensi hereditas yang baik, tidaklah mungkin seseorang mendapatkan taraf yang
dikehendaki, meskipun mendapatkan pendidikan yang maksimal (Indar dalam
Triwiyanto, 2013:17). Paham ini menentang paham empirisme yang dikemukakan
oleh John Locke.
Pandangan dari aliran ini sering disebut juga sebagai aliran pesimistis,
karena menerima kepribadian sebagaimana adanya dengan tidak memercayai
adanya nilai-nilai pendidikan untuk merubah kepribadian. Bahwa keberhasilan
pendidikan anak ditentukan oleh anak itu sendiri, bukan oleh pendidikan.
3. Naturalisme
Menurut Triwiyanto (2013:18) pandangan naturalisme hampir sama
dengan aliran nativisme, bahwa kecil kemungkinan manusia dapat dididik karena
faktor pembawaan yang bersifat kodrat dari kelahiran. Tokoh aliran ini yaitu Jean
Jacques Rousseau (1712-1778), seorang filosof bangsa Prancis yang
mengemukakan pendapatnya dalam bukunya “Emile”. Emile (1762) merupakan
novel tentang seorang anak yang diasuh secara terpisah dari anak-anak lainnya.
Rousseau mengemukakan bahwa semua adalah baik pada waktu datang dari
tangan Sang Pencipta, tetapi semua menjadi buruk di tangan manusia. Karyanya
The Social Contract (1763) memiliki sumbangsih sekaligus motor Revolusi
Prancis dengan kalimat pembukanya yang terkenal: “Manusia terlahir bebas,
tetapi diaman-mana ia terbelenggu”.
Aliran ini disebut juga aliran negativisme, karena berpandangan bahwa
pendidik hanya wajib membiarkan pertumbuhan anak didik saja dengan
sendirinya dan selanjutnya diserahkan pada alam. Jadi pendidikan tidak
diperlukan dan yang dilaksanakan adalah menyerahkan anak didik ke alam agar
pembawaan yang baik tadi tidak menjadi rusak oleh tangan manusia melalui
proses dan kegiatan pendidikan. Pandangan psikolog Austria yaitu Rohracjer,
mempunyai pandangan hampir sama dengan Jean Jacques Rousseau. Menurut
Rochracker bahwa manusia hanya hasil suatu proses alam menurut hukum
tertentu, atau manusia itu bertanggung jawab kepada dirinya tentang keadaan
dirinya sendiri. Ia tidak bertanggung jawab tentang bakatnya. Jadi manusia
hanyalah produk dari proses alamiah yang berlangsung sebelumnya, bukan
menurut keinginan dan buah dari pekerjaanya (Indar dalam Triwiyanto, 2013:18)
4. Konvergensi
Menurut Triwiyanto (2013:19) Aliran konvergensi merupakan sebuah
usaha untuk mengkompromikan dua macam aliran yang berbeda secara ekstrem,
yaitu aliran empirisme dan aliran nativisme. Tokoh aliran ini yaitu William Stern
(1871-1938), seorang ahli pendidikan bangsa Jerman. William Stern (dalam
Triwiyanto, 2013:19) berpendapat bahwa pembawaan dan lingkungan sama
pentingnya, keduanya berpengaruh terhadap perkembangan anak didik. Hasil
perkembangan dan pendidikan anak tergantung pada besar kecilnya pembawaan
serta situasi lingkungannya.
William Stern (dalam Triwiyanto, 2013:19) dijelaskan bahwa
pemahamannya tentang pentingnya pembawaan dan lingkungan itu dengan
perumpamaan dua garis yang menuju ke satu titik pertemuan. Oleh karena itu,
teorinya dikenal dengan sebutan konvergensi (konvergen berarti memusat ke satu
titik).
C. Aliran-aliran Modern Pendidikan
Menurut Mudyahardjo (2001:142) macam-macam aliran modern dalam
dunia pendidikan di Indonesia adalah sebagai berikut.

1. Progressivisme
Menurut Mudyahardjo (2001:142) progressivisme adalah gerakan
pendidikan yang mengutamakan penyelenggaraan pendidikan di sekolah berpusat
pada anak (child centered), sebagai reaksi terhadap pelaksanaan pendidikan yang
masih berpusat pada guru (teacher centered) atau bahan pelajaran (subject
centered).
Tujuan utama sekolah, menurut pandangan progressivisme, adalah untuk
meningkatkan kecerdasan praktis, untuk membuat siswa lebih efektif dalam
memecahkan berbagai problema yang disajikan dalam konteks pengalaman pada
permulaan abad XX namun garis linear mundur kebelakangnya dapat ditarik
hingga pada zaman Yunani kuno, misalnya dengan tampilnya pemikiran
Heraelitos, Socrates dan Protagoras. Sementarasa tokoh-tokoh pelopornya yaitu
Benyamin Franklin, Thomas Paine dan Thomas Jefferson.
Progressivisme memercayai manusia sebagai subyek yang memiliki
kemampuan menghadapi dunia dan lingkungan hidupnya, mempunyai
kemampuan untuk mengatasi dan memecahkan masalah-masalah yang akan
mengancam manusia itu sendiri. Pendidikan dianggap mampu utnuk merubah dan
menyelamatkan manusia demi masa depan. Tujuan pendidikan selalu diartikan
sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus menerus dan bersifat progressif
(Indar dalam Triwiyanto, 2013:22).
Selanjutnya dikatakan bahwa progressivisme tidak menghendaki adanya
mata pelajaran yang terpisah, melainkan harus diusahakan menjadi satu unit dan
terintegrasi misalnya dalam bidang-bidang studi IPA, sejarah dan keterampilan
serta hal-hal yang bermanfaat dan dirasakan oleh masyarakat. Praktek kerja
laboratium, bengkel, kebun-kebun merupakan kegiatan-kegiatan yang dianjurkan
dalam rangka terlaksananya “learning by doing” atau belajar untuk bekerja.
2. Rekonstruksionalisme
Rekonstruksionalisme dipelopori oleh John Dewey, yang memandang
pendidikan sebagai rekonstruksi pengalaman-pengalaman yang berlangsung terus
dalam hidup. Sekolah yang menjadi tempat utama berlangsungnya pendidikan
haruslah merupakan gambaran kecil dari kehidupan sodial di masyarakat.
Perkembangan lebih lanjut dari Rekonstruksionisme Dewey adalah
Rekonstruksionalisme Radikal, yang memandang pendidikan sebagai alat untuk
membangun masyarakat masa depan (Mudyahardjo, 2001:151).
Rekonstruksionalisme berpandangan bahwa sekolah semestinya
“diabdikan kepada pencapaian tatanan demokratis yang mendunia. Aliran ini
percaya bahwa teori pada puncaknya tak terpisahkan dari latar belakang sosial
dalam suatu era kesejarahan tertentu. Pikiran, dengan begitu, adalah sebuah
keluaran atau produk dari kehidupan di sebuah masyarakat tertentu di suatu waktu
(O’neil dalam Triwiyanto, 2018:22). Filosofi dari pandangan ini beranggan bahwa
sekolah harus merintis jalan kearah usaha penciptaan sebuah tatanan sosial yang
lebih manusia, lebih memanusiakan, dan demokratis.
Aliran ini bercita-cita untuk mewujudkan suatu dunia di mana kedaulatan
nasional berada dalam pengayoman atau subordinate dari kedaulatan dan otorita
internasional. Dan aliran ini juga bercita-cita untuk mewujudkan dan
melaksanakan satu sinthesa, yaitu perpaduan ajaran agama (Kristen) dengan
demokrasi dan teknologi modern serta seni modern di dalam satu kebudayaan
yang dibina bersama-sama oleh bangsa-bangsa di dunia.
3. Essensialisme
Menurut Mudyahardjo (2001:160) essensialisme modern dalam pendidikan
adalah gerakan pendidikan yang memprotes terhadap skeptisisme dan sinisme
normal dari gerakan progressivisme terhadap nilai-nilai yang tertanam dalam
warisan budaya/sosial. Menurut essensialisme, nilai-nilai yang tertanam dalam
warian budaya/sosial adalah nilai-nilai kemanusiaan yang terbentuk secara
berangsur-angsur dengan melalui kerja keras dan susah payah selama berates
tahun, dan didalamnya berakar gagasan-gagasan dan cita-cita yang telah teruji
dalam perjalanan waktu.
Essensialisme, di pihak lain, berpegang pada pernyatan utama bahwa
“alam semesta beserta segala unsurnya diatur oleh hukum yang mencakup
semuanya serta tatanan yang sudah mapan sebelumnya, karena itu tugas utama
manusia adalah untuk memahami hukum dan tatanan ini sehingga ia bisa
menghargai dan menyesuaikan diri dengannya”. Bagi seorang esensialis, sasaran
utama sekolah adalah untuk mengenalkan anak didik kepada karakter daar alam
semesta yang tertata itu, sengan cara mengenalkan mereka pada warisan budaya
(O’neil dalam Triwiyanto, 2013:21).
Tujuan umum aliran essensialisme adalah membentuk pribadi bahagia di
dunia dan akhirat. Oleh karena itu, isi pendidikannya ditetapkan berdasarkan
kepentingan efektifitas pembinaan kepribadian yang mencakup ilmu yang harus
dikuasai dalam kehidupan dan mampu menggerakaan keinginan manusia.
Karenanya kurikulum essensialisme dianggap semacam miniature dunia yang
dapat dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran dan kegunaan. Dengan
demikian peranan sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan menjadi lebih
berfungsi, berhasil guna dan berdaya guna sesuai dengan prinsip-prinsip dan
kenyataan social (Indar dalam Triwiyanto, 2013:21)
Barnadib (dalam Triwiyanto, 2013:21) menyebutkan beberapa tokoh
terkemuka yang bereperan dalam penyebaran aliran essenialisme, dan sekaligus
memberikan pola dasar pemikiran pendidikan mereka. Diantara tokoh-tokoh
tersebut yaitu Desiderius Erasmus, Johann Henrich Pestalozi dan William T Haris.
4. Perenialisme
Perenialisme adalah gerakan pendidikan yang memprotes terhadap gerakan
pendidikan progresivisme yang mengingkari supernatural. Perenialisme adalah
gerakan pendidikan yang mempertahankan bahwa nilai-nilai universal itu ada, dan
bahwa pendidikan hendaknya merupakan suatu pencarian dan penanaman
kebenaran-kebenaran dan nilai-nilai tersebut (Mudyahardjo, 2001:164).
Brameld (dalam Trwiyanto, 2013:20) menjelaskan bahwa pada dasarnya
perenialisme adalah sudut pandang di mana sasaran yang baik dicapai oleh
Pendidikan adalah “kepemilikan atas prinsip-prinsip tentang kenyataan,
kebenaran, dan nilai, yang abadi, tak terikat waktu, tak terikat ruang. Perenialisme
berakar pada tradisi filosofi yang bia dilacak kembali ke filosofi Plato, Aristoteles,
Thomas quinas, dan Robert M. Hutchins. Pernialisme mengajukan keberadaan
pola-pola yang tak bisa berubah dan bersifat universal, yang melatari dan
menentukan seluruh obyek serta peristiwa yang ada dalam kenyataan (obyek dan
peristiwa actual). Cara pandang-budaya menyeluruh perenialisme sangat bersifat
mundur (regresif); ia berusaha memulihkan tolok ukur-tolok ukur mutlak yang
mengatur dunia zaman kuno dan zaman pertengahan, dan mengandung sifat
menentang demokrasi yang murni.
Perenialisme berasal dari kata perennial diartikan sebagai abadi atau kekal
dan dapat berarti pula terus tiada akhir. Indar (dalam Triwiyanto, 2013:20)
menjelaskan bahwa esensi perenialisme ialah berpegang pada nilai-nilai atau
norma-norma yang bersifat kekal abadi. Aliran ini mengambil analogi realita
social budaya manusia seperti realita pohon yang berbunga yang terus
menerusmekar dari musim ke musim, datang dan pergi dan berubah warna secara
tetap sepanjang tahun dan masa dengan gejala yang terus ada dan sama. Jika
gejala dari musim ke musim itu dihbubungkan satu dengan yang lainnya seolah-
olh merupakan benang dengan corak warna yang khas, dan terus menerus sama.
Selanjutnya, seperti diungkapkan diatas, perenialisme melihat bahwa
akibat atau ujung dari kehidupan zaman modern telah menimbulkan banyak krisi
di berbagai bidang kehidupan manusia. Untuk mengobati zaman yang sedang
sakit ini, maka aliran ini memberikan konsep kepada kebudayaan masa lampau
yang masih ideal.

D. Gerakan Baru Pendidikan dan Pengaruhnya Terhadap Penyelenggaraan


Pendidikan di Indonesia
Pendidikan sebagai suatu kegiatan yang kompleks menuntut penanganan
untuk meningkatkan kualitasnya, baik yang bersifat menyeluruh maupun pada
beberapa komponen tertentu saja. Gerakan-gerakan baru dalam pendidikan pada
umumnya termasuk upaya peningkatan mutu pendidikan pada beberapa
komponen saja yang mana komponen satu mempengaruhi komponen lainnya.
Bebarapa dari gerakan-gerakan baru tersebut memusatkan diri pada
perbaikan dan peningkatan kualitas kegiatan belajar mengajar pada system
persekolahan, seperti pengajaran alam sekitar, pengajaran pusat perhatian, sekolah
kerja, pengajaran proyek, dan sebagainya (Suparlan ; Soejono dalam
Tirtarahardja&La Sulo, 2012:192). Gerakan-gerakan baru telah memberi
kontribusi secara bervariasi terhadap penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar
di sekolah sekarang ini.
1. Pengajaran Alam Sekitar
Menurut Tirtarahardja dan La Sulo (2012:201) gerakan pendidikan yang
mendekatkan anak dengan sekitarnya melalui gerakan pengajaran alam sekitar,
perintir gerakan ini antara lain: Fr. A. Finger (1808-1888) di Jerman dengan
heimatkunde (pengajaran alam sekitar), dan J. Lingthart (1859-1916) di Belanda
dengan Het Volle-Leven (kehidupan senyatanya). Beberapa prinsip gerakan
Heimatkunde adalah:
a. Dengan pengajaran alam sekitar itu guru dapat meragakan secara langsung
b. Pengajaran alam sekitar memberikan kesempatan sebanyak-banyaknya agar
anak aktif atau giat tidak hanya duduk, dengar, dan mencatat.
c. Pengajaran alam sekitar memungkinkan untuk memberikan pengajaran
totalitas, yaitu suatu bentuk pengajaran dengan ciri-ciri dalam garis besarnya
sebagai berikut:
1) Suatu pengajaran yang tidak mengenai pembagian mata pengajaran
dalam daftar pengajaran, tetapi guru memahami tujuan pengajaran dan
mengarahkan usahanya untuk mencapai tujuan.
2) Suatu pengajaran yang menarik minat, karena segala sesuatu dipusatkan
atas suatu bahan pengajaran yang menarik perhatian anak dan diambil
dari alam sekitarnya.
3) Suatu pengajaran yang memungkinkan segala bahan pengajaran itu
berhubung-hubungan satu sama lain seerat-eratnya secara teratur.
4) Pengajaran alam sekitar memberi kepada anak bahan apersepsi
intelektual yang kukuh dan tidak verbalistis. Yang dimaksud dengan
apersepsi intelektual ialah segala sesuatu yang baru dan masuk di dalam
intelek anak, harus dapat luluh menjadi satu dengan kekayaan
pengetahuan yang sudah dimiliki anak. Harus terjadi proses asimilasi
antara pengetahuan lama dengan pengetahuan baru.
5) Pengajaran alam sekitar memberikan apersepsi emosional, karena alam
sekitar mempunyai ikatan emosional dengan anak.
Sedangkan J. Lingthart mengemukakan pegangan dalam Het Volle Leven
sebagai berikut:
a) Anak harus mengetahui barangnya terlebih dahulu sebelum
mendengar namanya, tidak kebalikannya, sebab kata itu hanya suatu
tanda dari pengertian tentang barangnya itu.
b) Pengajaran sesungguhnya harus mendasarkan pada pengajaran
selanjutnya atau mata pengajaran yang lain harus di pusatkan atas
pengajaran itu.
c) Haruslah diadakan perjalanan memasuki hidup senyatanya kesemua
jurusan, agar murid paham akan hubungan antara bermacam-macam
lapangan dalam hidupnya (pengajaran alam sekitar).
Dengan memanfaatkan alam sekitar sebagai sumber belajar, anak akan
lebih menghargai, mencintai, dan melestarikan lingkungannya.
2. Pengajaran Pusat Perhatian
Pengajaran pusat perhatian dirintis oleh Ovideminat Decroly (1871-1932)
dari Belgia dengan pengajaran melalui pusat-pusat minat (Centres d’interet), di
samping pendapatnya tentang pengajaran global. Pendidikan menurut Decroly
berdasar pada semboyan: Ecole pour la vie, par la vie (sekolah untuk hidup dan
oleh hidup).
Anak dididik untuk dapat hidup dalam masyarakat dan dipersiapkan dalam
masyarakat, anak harus di arahkan kepada pembentukan individu dan anggota
masyarakat. Oleh karena itu anak harus mempunyai pengetahuan atas diri sendiri
dan lingkungannya. Decroly menyumbang dua pendapat yang sangat berguna bagi
pendidikan dan pengajaran, yaitu:
1) Metode Global (keseluruhan). Dari hasil yang didapat dari observasi dan tes,
dapatlah ia menetapkan, bahwa anak-anak mengamati dan mengingat secara
global (keseluruhan). Mengingat keseluruhan lebih dulu dari pada bagian-
bagiannya.
2) Centre d’interet (pusat-pusat minat). Dari penyelidikan psikologik, ia
menetapkan bahwa anak-anak mempunyai minat yang spontan. Anak
mempunyai minat spontan terhadap diri sendiri yang dapat di bedakan
menjadi beberapa yaitu:
a) Dorongan mempertahankan diri
b) Dorongan mencari makan dan minum
c) Dorongan memelihara diri
Sedangkan minat anak terhadap masyarakat (biososial) ialah:
a) Dorongan sibuk bermain ke rumah-rumah tetangga
b) Dorongan meniru, membantu orang di lingkungan masyarakatnya
Gerakan pengajaran pusat perhatian tersebut telah mendorong berbagai
upaya agar dalam kegiatan belajar mengajar diadakan berbagai variasi agar
perhatian siswa terpusat pada bahan ajaran (Tirtarahardja&La Sulo, 2012:203-
204).
3. Sekolah Kerja
Menurut Tirtarahardja dan La Sulo (2012:204-206) gerakan sekolah kerja
dapat di pandang sebagai titik kulminasi dari pandangan-pandangan yang
mementingkan pendidikan keterampilan dalam pendidikan. J. A. Comenius
(1592-1670) menekankan agar pendidikan mengembangkan pikiran, ingatan,
bahasa, dan tangan (keterampilan, kerja tangan). Perlu dikemukakan bahwa
sekolah kerja tidak hanya demi kepentingan individu tetapi juga demi kepentingan
masyarakat. Dengan kata lain, sekolah berkewajiban menyiapkan warga negara
yang baik, yakni:
1) Tiap orang adalah pekerja dalam salah satu lapangan jabatan
2) Tiap orang wajib menyumbangkan tenaganya untuk kepentingan negara
Menurut G. Kerschensteiner tujuan sekolah adalah:
1) Menambah pengetahuan anak, yaitu pengetahuan yang di dapat dari buku
atau orang lain, dan yang di dapat dari pengalaman sendiri.
2) Agar anak dapat memiliki kemampuan dan kemahiran tertentu.
3) Agar anak dapat memiliki pekerjaan sebagai persiapan jabatan dalam
mengabdi negara.
Kerschensteiner (dalam Tirtarahardja&La Sulo, 2012:205) berpendapat
bahwa kewajiban utama sekolah adalah mempersiapkan anak-anak untuk bekerja.
Oleh karena banyaknya macam pekerjaan yang menjadi pusat pelajaran, maka
sekolah kerja di bagi menjadi tiga golongan besar:
1) Sekolah-sekolah perindustrian (antara lain tukang cukur, tukang cetak, tukang
kayu, tukang daging, masinis).
2) Sekolah-sekolah perdagangan (antara lain makananan, pakaian, bank,
asuransi, pemegang buku, porselin, pisau, dan gunting).
3) Sekolah-sekolah rumah tangga, bertujuan mendidik para calon ibu yang di
harapkan akan menghasilkan warga negara yang baik.
Pengikut G. Kerschensteiner antar lain ialah Leo de Paeuw. Leo de Paeuw
adalah direktur jenderal pengajaran normal di Belgia, yang mendirikan sekolah
kerja seperti Kerschensteiner di negaranya. Ia membuka lima macam sekolah
kerja yaitu:
1) Sekolah teknik kerajinan
2) Sekolah dagang
3) Sekolah pertanian
4) Sekolah rumah tangga kota
5) Sekolah rumah tangga desa
Gagasan sekolah kerja sangat mendorong berkembangnya sekolah
kejuruan di setiap negara, termasuk di Indonesia. Pendidikan keterampilan itu
sangat di perlukan oleh setiap orang yang akan memasuki lapangan kerja. Oleh
karena itu, dalam rangka wajib belajar 9 tahun di Indonesia akan di kembangkan
pula paket program yang memberi peluang lulusya untuk memasuki lapangan
pekerjaan, dengan tidak mengabaikan pendidikan umum yang akan melanjutkan
ke SMTA. Di samping pengaruh sekolah kerja di program pendidikan jalur
sekolah, pengaruh terbesar gagasan ini adalah pada jalur pendidikan luar sekolah
(seperti kursus-kursusu, balai latihan kerja).
4. Pengajaran Proyek
Dasar filosofis dan pedagogis dari pengajaran-pengajaran diletakkan oleh
John Dewey (1859-1952). Dewey menegaskan bahwa sekolah haruslah sebagai
mikrokosmos dari masyarakat (becomes microcosm of society); oleh karena itu
pendidikan adalah suatu proses kehidupan itu sendiri dan bukannya penyiapan
untuk kehidupan di masa depan (education is a process of living and not a
preparation for future living) (Ulich dalam Tirtarahardja&La Sulo, 2012:206).
Dalam bidang pengajaran, Dawey menegaskan pengajaran proyek, yang di
lanjutkan oleh Kilpatrick dan kawan-kawannya. Dalam pengajaran proyek anak
bebas menentukan pilihannya (terhadap pekerjaan), merancang, serta
memimpinnya. Proyek yang ditentukan oleh anak, mendorong mencari jalan
pemecahan bila ia menemui kesukaan. Anak dengan sendirinya giat dan aktif
karena sesuai dengan apa yang diinginkannya. Dalam pengajaran proyek,
pekerjaan-pekerjaan di kerjakan secara berkelompok untuk menghidupkan rasa
gotong-royong. Juga dalam bekerja sama itu akan lahir sifat-sifat baik pada diri
anak seperti bersaing secara sportif, bebas menyatakan pendapat, dan disiplin.
Sifat-sifat tersebut sangat diperlukan dalam masyarakat luas yang kapitalis dan
demokartik.
Yang perlu ditekankan bahwa pengajaran proyek akan menumbuhkan
kemampuan untuk memandang dan memcahkan persoalan secara
komprehensif;dengan kata lain, menumbuhkan kemampuan pemecahan masalah
secara multidisiplin. Pendekatan multidisiplin tersebut makin lama makin penting,
utamanya dalam masyarakat yang maju.
Gerakan baru dalam pendidikan berkaitan dengan kegiatan belajar
mengajar di sekolah, namun dasar-dasar pikirannya tentulah menjangkau semua
segi dari pendidikan, baik aspek konseptual maupun operasional. Sebagai contoh
yang telah di kemukakan pada setiap paparan tentang gerakan baru, untuk
Indonesia, seperti muatan local dalam kurikulum untuk mendekatkan peserta didik
dengan lingkungannya, berkembangnya sekolah kejuruan, pemupukan semangat
kerja sama multidisiplin dalam menghadapi masalah.
Perlu di tekankan lagi bahwa kajian tentang pemikiran-pemikiran
pendidikan pada masa lalu akan sangat bermanfaat untuk memperluas pemahaman
tentang seluk- beluk pendidikan, serta memupuk wawasan historis dari setiap
tenaga kependidikan. Kedua hal itu sangat penting karena setiap keputusan dan
tindakan di bidang pendidikan, termasuk di bidang pembelajaran, akan membawa
dampak bukan hanya pada masa kini tetapi juga masa depan. Oleh karena itu,
setiap keputusan dan tindakan itu harus dapat di pertanggungjawabkan secara
professional (Tirtarahardja&La Sulo, 2012:206-207).
E. Dua Aliran Pokok Pendidikan Indonesia
Dua “aliran” pokok pendidikan di Indonesia itu di maksudkan adalah
Perguruan Kebangsaan Taman Siswa dan Ruang Pendidikan INS Kayu Tanam.
Kedua aliran ini di pandang sebagai suatu tonggak pemikiran tentang pendidikan
di Indonesia. Namun. Perlu dikemukakan bahwa prakarsa dan upaya di bidang
pendidikan tidak terbatas hanya oleh Taman Siswa dan INS itu saja. Secara
historis, pendidikan yang melembaga telah dikenal sebelumnya Belanda menjajah
Indonesia, seperti padepokan, pesantren, dan sebagainya. Setelah Belanda
memperkenalkan system persekolahan di Indonesia, timbul pula berbagai upaya
untuk mendirikan sekolah RA Kartini (1879-1904) dan berhasil. Dan terjadinya
pengembangan terhadap lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia yang telah ada
seperti madrasah, seminari, pesantren modern dan sebagainya.

Setelah kemerdekaan, telah diupayakan mengembangkan satu sistem


pendidikan nasional sesuai ketetapan Ayat 2 pasal 31 dari UUD 1945. Seperti
telah dikemukakan bahwa menjelang PJP II telah diletakkan landasan yuridis
untuk penataan Sisdiknas dengan ditetapkannya UU RI No. 2 Tahun 1989 beserta
peraturan pelaksanaannya. Sebagai satu Sisdiknas , seluruh upaya dan lembaga
pendidikan di Indonesia seyogianya berada dan sesuai dengan aturan Sisdiknas
tersebut termasuk gagasan atau aliran pendidikan yang di kembangkan di
Indonesia. Dalam ketetapan itu dengan tegas dinyatakan “satu” dan bukannya
“suatu” Sisdiknas itu. Oleh karena itu, kajian terhadap dua aliran pokok tersebut
(Taman Siswa dan INS) seyogianya dalam latar Sisdiknas tersebut.

1. Perguruan Kebangsaan Taman Siswa

Perguruan Kebangsaan Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara


(lahir 2 Mei 1889 dengan nama Suwardi Suryaningrat) pada tanggal 3 Juli 1932 di
Yogyakarta, yakni dalam bentuk yayasan, selanjtnya mulai didirikan Taman
Indria (Taman Kanak-Kanak) dan Kursus Guru, selanjutnya Taman Muda (SD),
disusul Taman Dewasa merangkap Taman Guru (Mulo-Kweekschool).
a. Asas dan Tujuan Taman Siswa

Perguruan Kebangsaan Taman Siswa mempunyai tujuh asas perjuangan


untuk menghadapi pemerintah kolonial Belanda serta sekaligus untuk
mempertahankan kelangsungan hidup bersifat nasional, dan demokrasi. Menurut
Tirtarahardja&La Sulo (2012:209-2011) ketujuh asas tersebut yang secara singkat
disebut “asas 1922” adalah sebagai berikut:

1) Bahwa setiap orang mempunyai hak mengatur dirinya sendiri (zelf


beschikkingsrecht) dengan mengingat terbitnya persatuan dalam peri
kehidupan umum.
2) Bahwa pengajaran harus memberi pengetahuan yang berfaedah yang dalam
arti lahir dan batin dapat memerdekakan diri.
3) Bahwa pengajaran harus berdasar pada kebudayaan dan kebangsaan sendiri.
4) Bahwa pengajaran harus tersebar luas sampai dapat menjangkau kepada
seluruh rakyat.
5) Bahwa untuk mengejar kemerdekaan hidup yang sepenuhnya lahir maupun
batin hendaknya diusahakan dengan kekuatan sendiri, dan menolak bantuan
apapun dan dari siapapun yang mengikat, baik berupa ikatan lahir maupun
ikatan batin.
6) Bahwa konsekuensi hidup dengan kekuatan sendiri maka mutlak harus
membelanjai sendiri segala usaha yang dilakukan (zelfbegrotings-system).
7) Bahwa dalam mendidik anak-anak perlu adanya keikhlasan lahir dan batin
untuk mengorbankan segala kepentingan pribadi demi keselamatan dan
kebahagiaan anak-anak.

Dalam perkembangan selanjutnya Taman Siswa melengkapi “Asas 1922”


tersebut dengan “Dasar-Dasar 1947” yang disebut pula “Panca Dharma”. Kelima
dasar Taman Siswa tersebut (Ki Mangunsarkoro dalam Tirtarahardja&La Sulo,
2012:214) adalah:

1) Asas kemerdekaan harus diartikan disiplin pada diri sendiri oleh diri sendiri
atas dasar nilai hidup yang tinggi, baik hidup sebagai individu maupun
sebagai anggota masyarakat.
2) Asas kodrat alam berarti bahwa pada hakikatnya manusia itu sebagai
makhluk adalah satu dengan kodrat alam ini.
3) Asas kebudayaan Taman Siswa tidak berarti asal memelihara kebudayaan
kebangsaan itu kea rah kemajuan yang sesuai dengan kecerdasan zaman,
kemajuan dunia, dan kepentingan hidup rakyat lahir dan batin tiap-tiap
zaman keadaan.
4) Asas kebangsaan Taman Siswa tidak boleh bertentangan dengan
kemanusiaan, malahan harus menjadi bantuk dan fiil kemanusiaan yang nyata
dan oleh karena itu tidak mengandung arti permusuhan dengan bangsa lain.
5) Asas kemanusiaan menyatakan bahwa darma tiap-tiap manusia itu adalah
mewujudkan kemanusiaan, yang berarti kemajuan manusia lahir dan batin
yang setinggi-tingginya, dan juga bahwa kemajuan kemanusiaan yang tinggi
itu dapat dilihat pada kesucian hati orang dan adanya rasa-kasih terhadap
sesama manusia dan terhadap makhluk Tuhan seluruhnya.

Tujuan perguruan kebangsaan Taman Siswa dapat dibagi dua jenis yakni tujuan
yayasan atau keseluruhan perguruan dan tujuan pendidikan . Tujuan yang
pertama itu (Pasal 8) adalah:

1) Sebagai yang dinyatakan dalam keterangan “Asas Taman Siswa” tahun 1922
Pasal 1, tujuan Taman Siswa sebagai badan perjuangan kebudayaan dan
pembangunan masyarakat tertib dan damai.
2) Tertib yang sebenarnya tidak aka nada, jika tidak ada damai antara manusia.

b. Upaya-Upaya Pendidikan yang Dilakukan Taman Siswa

Peraturan Dasar Persatuan Taman Siswa menetapkan berbagai upaya yang


dilakukan Taman Siswa, baik di lingkungan perguruan maupun di luar lingkungan
perguruan itu (Tirtarahardja&La Sulo, 2012:215-216).

1) Menyelenggarakan tugas pendidikan dalam bentuk perguruan dari tingkat


dasar hingga tingkat tinggi, baik bersifat umum maupun yang bersifat
kejuruan.
2) Mengikuti, mempelajari perkembangan dunia di luar Taman Siswa yang ada
hubungannya dengan bidang-bidang kegiatan-kegiatan Taman Siswa, untuk
diambil faedah sebaik-baiknya.
3) Menumbuhkan dan memasakkan lingkungan hidup keluarga Taman Siswa,
sehingga dapat tampak benar wujud masyarakat Taman Siswa yang dicita-
citakan.
4) Meluaskan kehidupan ke-Taman Siswa di luar lingkungan masyarakat
perguruan, sehingga dapat terbentuk wadah yang nyata bagi jiwa Taman
Siswa, agar dengan demikian ada pengaruh timbal balik antara
perguruan/keluarga dan masyarakat sekitarnya pada khususnya, dan
masyarakat luas pada umumnya.

Di samping upaya-upaya dalam lingkungan perguruan, untuk mencapai


tujuan Taman Siswa (seperti pada Pasal 8), Taman Siswa berusaha di luar
lingkungan perguruan dengan jalan (pasal 10) sebagai berikut:

1) Menjalankan kerja pendidikan untuk masyarakat umum dengan dasar-dasar


dan hidup Taman Siswa
2) Menyelenggarakan usaha-usaha kemasyarakatan dalam masyarakat dalam
bentuk-bentuk badan sosial ekonomi yang dapat memberi bimbingan dan
dorongan kegiatan masyarakat dalam perjuangannya menuju masyarakat
bahagia tertib-damai.
3) Bersama-sama dengan instansi-instansi pemerintahan menyelenggarakan
usaha-usaha pembentukan kesatuan hidup kekeluargaan sebagai pola
masyarakat bari Indonesia.
4) Menyelenggarakan usaha pendidikan kader pembangunan yang tenaganya
dapat disumbangkan kepada masyarakat untuk pembangunan.
5) Mengusahakan terbentuknya pusat-pusat kegiatan kemasyarakatan dalam
berbagai bidang kehidupan dan penghidupan masyarakat dengan inti-inti
kejiwaan Taman Siswa.
c. Hasil-Hasil yang Dicapai

Yayasan Perguruan Kebangsaan Taman Siswa yang didirikan Suwardi


Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta
sampai kini telah mencapai berbagai hal seperti: gagasan/pemikiran tentang
pendidikan nasional, lembaga-lembaga pendidikan dari Taman Indria sampai
dengan Sarjana Wiyata, dan sejumlah besar alumni perguruan banyak yang
menjadi tokoh nasional. Ketiga pencapaian itu merupakan pencapaian sebgai
suatu yayasan pendidikan, yang juga mengkin di capai oleh yayasan pendidikan
lainnya.

2. Ruang Pendidik INS Kayu Tanam

Ruang Penidik INS (Indonesia Nederlandsche School) didirikan oleh


Muhammad Sjafei (lahir di Matan, Kalbar tahun 1895) pada 31 Oktober 1926 di
Kayu Tanam (Sumatra Barat). INS pada mulanya dipimpin oleh bapaknya,
kemudian diambil alih oleh Moh.Sjafei dimulai dengan 75 murid, dibagi dalam
dua kelas, serta masuk sekolah bergantian karena gurunya hanya satu, yakni
Moh.Sjafei sendiri.

a. Asas dan Tujuan Ruang Pendidik INS Kayu Taman


1) Berpikir logis dan rasional
2) Keaktifan atau kegiatan
3) Pendidikan masyarakat
4) Memperhatikan pembawaan anak
5) Menentang intelektualisme
6) Sejak didirikan, tujuan Ruang Pendidik INS Kayu Taman meliputi:
7) Mendidik rakyat ke arah kemerdekaan
8) Memberi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat
9) Mendidik para pemuda agar berguna untuk masyarakat
10) Menanamkan kepercayaan terhadp diri sendiri dan berani bertanggung
jawab
11) Mengusahakan mandiri dalam pembiayaan
b. Usaha-Usaha Ruang Pendidik INS Kayu Tanam

Beberapa usaha yang dilakukan antara lain menyelenggarakan berbagai


jenjang pendidikan. Progam pendidikan INS sangat pendidikan keterampilan-
kerajinan, dengan mengutamakan menggambar, pekerjaan tangan dan sejenisnya
menurut Syafei (dalam Tirtarahardja&La Sulo, 2012:220). Terdapat pula program
khusus untuk menjadi guru, yakni tambahan satu tahun setelah ruang dewasa
untuk pembekalan kemampuan mengajar dan praktek mengajar (Said dalam
Tirtarahardja&La Sulo, 2012:220)

c. Hasil-Hasil yang Dicapai Ruang Pendidikan INS Kayu Taman

Beberapa orang alumni telah berhasil menerbitkan salah satu tulisan


Moh.Syafei yakni Dasar-Dasar Pendidikan (1976), yang ditulis pada tahun 1968
(cetakan kedua tahun 1979). Seperti harapan pada taman siswa, ruang pendidik
INS Kayu Taman juga diharapkan melakukan penyegarandan dinamisasi,
seiringdengan perkembangan masyarakat dan iptek. Disamping itu upaya-upaya
pengembangan Ruang Pendidik INS tersebut seyogyanya dilakukan dalam
kerangka pengembangan Sisdiknas, sebagai bagian dari usaha mewujudkan cita-
cita Ruang Pendidik INS Kayu Taman, yakni mencerdaskan rakyat Indonesia
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Aliran pendidikan adalah pemikiran-pemikiran yang membawa pembaruan
pendidikan. Aliran-aliran pendidikan dikelompokkan menjadi 2, yaitu Aliran
Klasik dan Aliran Modern. Dalam aliran klasik terdapat 4 aliran yakni aliran
empirisme, nativisme, naturalisme, dan konvergensi. Empirisme juga disebut
dengan aliran “tabula rasa” menyebutkan bahwa anak baru lahir seperti kertas
putih yang yang dapat diisi sekehendak hati. Nativisme berpendapat bahwa
keberhasilan suatu pendidikan tergantung dari faktor pembawaan lahir seorang
manusia. Naturalisme disebut juga aliran negativisme, karena berpandangan
bahwa pendidik hanya wajib membiarkan pertumbuhan anak didik saja dengan
sendirinya dan selanjutnya diserahkan pada alam. Konvergensi merupakan
gabungan dari ketiga aliran sebelumnya. Jadi, menurut konvergensi pendidikan
dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor lingkungan dan faktor bawaan lahir.
Dalam aliran modern juga terdapat 4 aliran yakni aliran progressivisme,
rekonstruksionalisme, essensialisme dan perenialisme. Dua pokok aliran yang
dianut oleh Indonesia yaitu Perguruan Kebangsaan Taman Siswa dan Ruang
Pendidik INS Kayu Tanam. Perguruan Kebangsaan Taman Siswa dipelopori oleh
Ki Hajar Dewantara. Ruang Pendidik INS Kayu Tanam didirikan oleh
Muhammad Sjafei.

Você também pode gostar