Você está na página 1de 78

BAB II

DESKRIPSI OBJEK

Penelitian ini mengangkat Taman Sriwedari Solo secara keseluruhan sebagai

objek penelitian, dan Taman Hiburan Rakyat (THR) secara khusus yang berada dalam

area Taman Sriwedari Solo tersebut sebagai studi kasus strategi pesan dalam

komunikasi krisis atas krisis penutupan THR Sriwedari. Taman Sriwedari Solo terletak

di Jalan Brigjend Slamet Riyadi no 275, Sriwedari, Laweyan, Kota Surakarta, Jawa

Tengah. THR sendiri berada di dalam Taman Sriwedari tepatnya berlokasi di bagian

barat dalam area Taman Sriwedari dan merupakan tempat hiburan yang menghiasi

keseluruhan Taman Sriwedari. Dalam bab ini, peneliti akan mengurai objek penelitian

dalam dua bagian besar yaitu tentang Taman Sriwedari Solo yang terdiri dari sejarah

pembentukan Taman Sriwedari, pembagian area Taman Sriwedari Solo, pembentukan

THR, logo Taman Sriwedari Solo, dan struktur organisasi manajemen Taman Sriwedari

Solo. Yang kedua adalah kronologi krisis penutupan Taman Hiburan Rakyat (THR)

Sriwedari Solo sebagai kasus yang diangkat.

1. Tentang Taman Sriwedari Solo

Solo merupakan kota di Jawa Tengah yang penuh dengan budaya yang

majemuk beserta iringan potensi kesenian yang menjadikan jargon “Solo the Spirit

of Java” sangat relevan. Harapannya adalah kota ini menjadi pusat pelestarian dan

pengembangan kebudayaan Jawa dan menjadi barometer kebudayaan daerah-

daerah lain yang berada di bawah payung besar kebudayaan Jawa (Prasetyo, April

6, 2018). Pesona Kota Solo yang masih kental dengan kehidupan Keraton

Kasunanan Surakarta Hadiningrat menghasilkan berbagai macam produk budaya

yang menjadi ikon kota bertajuk “berseri” ini. Kota ini menjadi istimewa karena

36
memiliki sejumlah elemen yang memberi inspirasi tentang bagaimana menjadi

manusia yang menjadikan akar kebudayaan sebagai filosofi hidup (Tanjung, 2013,

hal. 160)

Salah satunya adalah Taman Sriwedari Solo merupakan pusat hiburan,

seni, dan budaya Kota Solo yang memiliki ikatan yang kuat dengan masyarakat

Solo sendiri (Prasetyo, April 6, 2018). Taman yang berkembang menjadi ruang

publik yang kental dengan nuansa Jawa ini didirikan karena Pakubowono X kala

itu terinspirasi dengan Kebon Raya Bogor di Jawa Barat ketika berkunjung disana.

Hari Rabu Wage 28 Maulud Dal 1831 atau 17 Juli 1901 saat Candra Sengkala

”Janma Guna Ngesti Gusti” diperingati sebagai hari berdirinya Taman Sriwedari

atau Kebon Raja (Tanjung, 2013, hal. 170). Pada mulanya, taman ini diciptakan

sebagai tempat rekresasi dan peristirahatan bagi keluarga kerajaan, bahkan secara

geografis pun taman ini merupakan bagian dari kompleks bernama Kebon Raja

atau Taman Raja (Wawancara Narasumber 3, 2018). Hal ini menjadikan Taman

Sriwedari sebagai tempat ekslusif bagi keluarga Keraton Kasunanan Surakarta

sehingga dihormati dan mendapat apresiasi tinggi hingga sekarang.

Gambar 2.1 Taman Sriwedari Tampak Depan (Dokumen Pribadi)

37
Pada perkembangannya, Kompleks Taman Raja berkembang beralih

fungsi menjadi kompleks rekreasi rakyat yang berisi berbagai fasilitas hiburan,

mulai dari restoran, gerai penjualan cendera mata, hingga panggung pertunjukan

(Tanjung, 2013, hal. 171). Perubahan ini dimulai ketika pemindahan salah satu area

hiburan yaitu kebun binatang dari area Taman Raja ke Taman Satwa Taru Jurug

(TSTJ) Solo yang sekarang pun sudah berkembang pesat menjadi Solo Zoo. Di

antara semua fasilitas yang disuguhkan oleh Taman Sriwedari, keberadaan Gedung

Wayang Orang Sriwedari merupakan salah satu yang tenar. Gedung Wayang Orang

yang dikelola Taman Sriwedari adalah satu-satunya tempat yang masih aktif

mempertontonkan pertunjukan wayang orang se-Jawa Tengah dengan lakon

Ramayan dan Mahabharata menjadi senjata utama dalam perhelatan wayang orang

di Taman Sriwedari (Tanjung, 2013, hal. 172)

Keistimewaan Taman Sriwedari di hati masyarakat Solo tercermin

melalui masih cukup tingginya animo masyarakat terhadap pelbagai kegiatan di

dalamnya. Tempat ini pun menjadi contoh bagaimana penguasa Kota Solo pada

masa itu telah memperhatikan kebutuhan masyarakat akan tempat hiburan dan

rekreasi (Tanjung, 2013, hal. 173). Literatur kebudayaan masyarakat yang tinggi

menyokong berdirinya taman ini hingga saat ini walaupun keberadaannya seakan

tergerus berbagai kemajuan infrastruktur dalam kota sekarang. Sebagai pusat

tontonan rakyat yang mampu menghibur penonton dari berbagai generasi

menyebabkan eksistensi Taman Sriwedari tentu saja mendapatkan atensi yang

mendalam oleh masyarakat.

38
1.1 Pembagian Area Taman Sriwedari Solo

Di balik semua histori Taman Sriwedari yang sangat besar dan panjang

itu, tanah Taman Sriwedari sendiri mengandung kontroversi yang pelik sehingga

menjadikannya tanah sengketa. Rebutan kepemilikan tanah antara Pemerintah Kota

Solo dan ahli waris Wirjodiningrat terus bergulir hingga sekarang ini. Pemkot Solo

baru-baru ini kembali menguasai tanah hak pakai Pemkot Nomor 40 dan 41 di lahan

seluas 10 hektar tersebut (Sunaryo, Oktober 13, 2017). Hal tersebut menjadikan

Pemkot Solo mempunyai empat sertifikat tanah di Taman Sriwedari yakni Stadion

Sriwedari, bekas Taman Hiburan Rakyat (THR), Kantor Dinas Pariwisata, dan

Museum Radya Pustaka.

Sengketa ini dimulai ketika R.M.T Wiryodiningrat yang adalah abdi

dalem Keraton Kasunana Surakarta Hadiningrat sebagai perantara jual beli tanah

Sriwedari membeli tanah eigendom (RVE) seluas 99.889 meter persegi di

Kelurahan Sriwedari dari Yohanes Van Buselar seharga 65.000 Gulden (Irfan,

Oktober 21, 2017). Pada tahun 1901, Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng

Susuhunan Paku Buwana X mempunyai ide untuk membangun Taman Sriwedari

yang kemudian dipakai untuk kepentingan umum menjadi Bon Raja dan Taman

Hiburan Remaja (THR). Setelah R.M.T. Wiryodningrat wafat pada tahun 1917, ahli

warisnya berusaha untuk mengurus kepemilikan tanah tetapi selalu tidak berhasil,

dan pengelolaan tanah dilanjutkan kepada Pemerintah Kota Solo pada tahun 1946

(Ricky, Januari 24, 2018)

Hal ini menyebabkan konflik yang menyebabkan tanah eigendom

tersebut dikonversi menjadi HGB (Hak Guna Bangunan) atas nama R.M.T.

Wiryodiningrat dan diwarisi Sumohartono tapi hanya selaus 34.250 meter persegi.

39
Akibatnya hingga sekarang pengelolaan tanah Taman Sriwedari menjadi terbagi-

bagi antara Pemerintah Kota Solo dan Keraton serta manajemen Taman Sriwedari

itu sendiri. Adapun isi Taman Sriwedari yang berkembang hingga sekarang adalah

Stadion R. Maladi (tempat PON 1 diselenggarakan), Museum Radyapustaka,

Gedung Wayang Orang, Segaran (kolam tempat rekreasi terbuka), Pendapa Joglo,

Restoran Boga dan Gedung Graha Wisata Niaga (Sunaryo, Oktober 13, 2017).

Bahkan yang terbaru diresmikan tahun 2017 lalu yaitu Museum Keris Nusantara

pun berdiri kokoh sebagai bagian dari Taman Sriwedari.

1.2 Pembentukan Taman Hiburan Rakyat (THR)

Taman Sriwedari pada mulanya ditumbuhi dengan berbagai macam

tumbuh-tumbuhan dan pepohonan yang rimbun sehingga mendapatkan label sebagai

Bon Raja. Salah satu area zoologi dan botani yang dikembangkan Pakubuwono X

adalah kebun binatang yang kini sudah dipindahkan ke Taman Jurug semenjak 1986

silam. Hal ini kemudian dialihfungsikan menjadi Taman Hiburan Rakyat (THR)

dengan beberapa wahana permainan mekanis. THR sudah berdiri semenjak 31

Maret 1985 pada saat kebun binatang dipindahkan ke Taman Jurug, pembangunan

THR sudah mulai digalakkan tahun itu (Tanjung, 2013, hal. 2).

Berumur tiga dekade lebih THR merupakan arena rekreasi keluarga yang

lengkap di Solo dengan 29 wahana permainan dan ketangkasan serta tempat-tempat

kuliner. Wahana yang disuguhkan diantaranya seperti Bom-Bom Car, Mini Jet

Coaster, Komedi Putar, Mini Water Park, Mini Out Bond, Kolam Renang Anak, dan

masih banyak lagi. Sebagai taman hiburan keluarga, taman ini tidak hanya

dikhususkan untuk anak-anak saja, namun juga terdapat panggung pertunjukkan

yang rutin dilaksanakan setiap malam bagi orang dewasa. Panggung ini

40
menggandeng berbagai komunitas musik berbagai genre mulai dari slow rock,

dangdut, hingga music Koes Plus menjadi daftar hiburan (Abrori, Oktober 13,

2017).

Hal ini tentu saja selain memiliki fungsi menghibur juga terdapat elemen

edukasi yang dapat menjadi bahan pembelajaran bagi anak-anak yang bermain

disana. THR Sriwedari merupakan objek dengan jumlah kunjungan tertinggi selama

empat tahun (2008-2011) yaitu sebanyak 1.440.447 pengunjung (Tanjung, 2013,

hal. 3-4). Suasana THR Sriwedari yang sejuk dan nyaman dengan dihiasi pepohonan

di sekitarnya serta didukung oleh lokasi yang berada di jantung Kota Solo

menjadikan tempat ini hiburan yang mudah diakses oleh masyarakat Solo dari

berbagai generasi. Apalagi ketika meninjau ulang sejarah panjang evolusi Taman

Sriwedari hingga menjadi seperti sekarang ini, maka tidak bisa dipungkiri betapa

melekatnya taman ini dengan masyarakat Solo.

1.3 Logo Taman Sriwedari Solo

Taman Sriwedari merupakan ruang publik yang menjunjung esensi seni

dan budaya di tengah Kota Solo yang bukan saja hanya sekedar tempat saja,

melainkan memiliki ekosistem tersendiri terkait kegiatan kesenian dan kebudayaan.

Suasana kehidupan di Taman Sriwedari terbuka bagi berbagai jenis kesenian dan

aktivitas budaya yang bukan hanya sebuah aktivitas yang bernilai komersial,

namun lebih cenderung membangun kebersamaan masyarakat Solo (Wawancara

Narasumber 2, 2018). Melalui logo tersebut, fungsi Taman Sriwedari yang sedari

dulu disematkan adalah sebagai taman kota, hal ini seperti yang dititahkan oleh

Paku Buwono X bahwa Taman Sriwedari adalah Bon Rojo (Wawancara

Narasumber 2, 2018). Fungsi taman kota tersebut terlihat dalam gambar pohon

41
yang berdiri dalam logo tersebut dan penggunaan warna hijau yang menunjukkan

nuansa “Kebon Raja”.

Ornamen yang terdapat di atas logo merupakan penggambaran dari nilai

seni dan budaya yang juga menjadi simpul dari Taman Sriwedari ini. Gambaran

sederhana dari Joglo Sriwedari sebagai elemen kebudayaan dan instrumen tari di

atasnya merupakan referensi dari elemen kesenian sehingga melengkapi Taman

Sriwedari sebagai pusat kesenian dan kebudayaan di tengah Kota Solo. Kegiatan

kesenian dan kebudayaan di Sriwedari membentuk wajah Sriwedari bukan saja

menjadi Bon Rojo yang dulu didefinisikan sebagai “kebon milik raja”, tetapi telah

berkembang menjadi pusat seni dan budaya Kota Solo yang melalui logo tersebut

juga menggambarkan semangat Kota Solo sebagai pengusung “Spirit of Java”

(Wawancara Narasumber 2, 2018).

Gambar 2.2 Logo Taman Sriwedari (Sumber: Dinas Pariwisata)

1.4 Struktur Organisasi Manajemen Taman Sriwedari Solo

Manajamen Taman Sriwedari yang tergabung dalam suatu Forum

Komunikasi Sriwedari atau disingkat dengan FOKSRI yang merupakan bentuk

paguyuban yang mengelola secara langsung Taman Sriwedari. FOKSRI bukanlah

pengelola tunggal dari keseluruhan aset dalam Taman Sriwedari, melainkan

42
mendapatkan pengawasan dari Pemerintah Kota Solo yang diwakilkan dalam Dinas

Pariwisata Kota Solo yang mengelola aset wisata dalam Taman Sriwedari dan Dinas

Kebudayaan Kota Solo yang mengelola aset budaya dalam Taman Sriwedari. Dinas

Pariwisata sendiri memilii wewenang aats Graha Wisata, Gedung Wayang Orang,

Joglo, dan termasuk THR yang sekarang sudah ditutup. Sedangkan Dinas

Kebudayaan memiliki wewenang atas Museum Radya Pusataka, Museum Keris

Nusantara, dan Area Segaran.

Taman Sriwedari merupakan area ruang publik yang luas dan dipenuhi

oleh banyak spektrum yang melengkapi keutuhan tempat ini. FOKSRI sendiri

membawahi berbagai paguyuban yang masing-masing terbagi dalam dua kategori

besar yaitu, dalam Taman Sriwedari dan luar Taman Sriwedari (Wawancara

Narasumber 1, 2018), yaitu:

a. Paguyuban Rukun Santoso, yaitu paguyuban pedagang yang mempunyai surat

izin penempatan (SIP) dalam Taman Sriwedari

b. Paguyuban Pedagang Kaki Lima Sriwedari (PKL Sriwedari), yaitu paguyuban

pedagang-pedagang kaki lima yang berada di dalam Taman Sriwedari

c. Paguyuban Pujasari (Pusat Jajanan Solo Sriwedari), yaitu paguyuban pemilik

tempat makan dan jajanan yang berada di dalam Taman Sriwedari

d. Paguyuban Seni Budaya Sriwedari, yaitu paguyuban yang memegang kendali

atas kegiatan seni dan budaya, seperti teater terbuka, Joglo, kegaitan tari anak-

anak dan Wayang Orang.

e. Paguyuban Jemparingan, yaitu paguyuban yang mengelola kegiatan

jemparingan atau panahan di dalam Taman Sriwedari

43
f. Paguyuban Pedagang Buku Sriwedari, yaitu paguyuban pedagang-pedagang

buku yang berlokasi di luar Taman Sriwedari atau lebih tepatnya di selatan

Taman Sriwedari.

g. Paguyuban Kios Stadion Sriwedari, yaitu paguyuban pemilik kios dan shelter

kuliner yang berada di sekitar Stadion R.Maladi di luar Taman Sriwedari

sebelah barat.

h. Paguyuban Seniman Lukis, yaitu paguyuban yang terdiri dari kumpulan

seniman lukis dan piguran yang terletak di sebelah timur luar Taman Sriwedari.

Dinas Pariwisata Dinas


Kebudayaan

FOKSRI (FORUM
KOMUNIKASI
SRIWEDARI)

PAGUYUBAN SENI PAGUYUBAN PAGUYUBAN


PAGUYUBAN PAGUYUBAN PKL PAGUYUBAN PAGUYUBAN PAGUYUBAN
BUDAYA PEDAGANG BUKU KIOS STADION
RUKUN SANTOSO SRIWEDARI PUJASARI JEMPARINGAN SENIMAN LUKIS
SRIWEDARI SRIWEDARI SRIWEDARI

Diagram 2.1 Struktur Organisasi Manajemen Taman Sriwedari Solo

2. Kronologi Krisis Penutupan Taman Hiburan Rakyat (THR) Sriwedari Solo

Taman Hiburan Rakyat (THR) Sriwedari ditutup pada akhir tahun 2017,

lebih tepatnya pada 4 Desember 2017 setelah berdiri selama 32 tahun menjadi

panggung hiburan bagi masyarakat Solo. Taman hiburan ini sudah sangat popular

semenjak tahun 80 hingga 90-an sebenarnya sudah gonjang-ganjing statusnya

semenjak 2016 lalu. Hal ini terkait keputusan Pemerintah Kota Solo yang tidak

44
memperpanjang kontrak THR tersebut. Taman yang ikonis ini harus ditutup karena

akan diadakan rekonstruksi dan tata ulang kawasan ini, yang pada akhirnya secara

resmi akan dibangun Masjid Raya Solo.

Gambar 2.3 Bagian Dalam Taman Sriwedari Sedang Dalam Tahap Revitalisasi

(Sumber: Dokumen Pribadi)

Direktur Utama THR Sriwedari, Sinyo Sujarkasi menyebutkan bahwa

penutupan dilakukan lantaran manajemen THR membatalkan rencana pindah

tempat yang ditawarkan Pemerintah Kota Solo (Saputra, Oktober 12, 2017). Pajak

dan nilai sewa yang tinggi menjadi alasan manajemen THR keberatan untuk

memperpanjang kontraknya di tempat yang baru. Penjelasannya tiket masuk THR

yang seharga Rp 15.000 dikenakan pajak sebesar 25 persen, sedangkan untuk tiket

permainan Rp 8.000 dikenakan pajak sebesar 35 persen. Selain itu, nilai sewa lahan

yang ditawarkan Pemkot Solo sebesar Rp 600 juta per bulan dengan hitungan Rp

1.000 meter persegi, sedagkan di Sriwedari hanya membayar Rp 38 juta per bulan

untuk kurang dari satu hektar (Sunaryo, Oktober 13, 2017).

Penutupan THR Sriwedari menjadi catatan kelam hilangnya salah satu

ruang terbuka hiburan dan bersejarah bagi warga Solo. Walaupun Wali Kota

45
Surakarta FX Hadi Rudyatmo mengatakan akan menata Sriwedari, namun esensi

budaya dan sejarah dari tempat tersebut yang akan mengalami depresi. Berbagai

wahana permainan dan panggung pun mangkir dan diletakkan di belakang area

taman menjadi saksi sejarah yang nyata. Hal ini dinilai merupakan efek dari

rebutan tanah antara Pemerintah Kota Solo dengan ahli waris yang menyebabkan

ketidakutuhan Taman Sriwedari ini sendiri.

Berhentinya operasi THR Sriwedari berdampak juga pada pemberhentian

ratusan karyawannya yang tercatat ada sebanyak 120 karyawan menjadi korban

PHK (Pradipha, Oktober 12, 2017). Kebingungan untuk mencari tempat baru dan

menghidupkan kembali suasana THR yang sudah kental di benak masyarakat

menjadi kendala bagi manajemen. Nasibnya hingga sekarang pun masih belum

dapat dipastikan, sedangkan di sisi lain pembangunan Masjid Raya Sriwedari Solo

pengisi lahan bekas THR akan memulai peletakan batu pertama pada Februari

(Pradipha, Oktober 12, 2017). Pembangunan Masjid Raya Taman Sriwedari sudah

dimulai bulan Juli ini yang ditargetkan selesai pada tahun 2020 dan mengharuskan

belasan kios PKL turut dibongkar.

Berikut adalah detail kronologi kasus penutupan Taman Hiburan Rakyat

(THR) Sriwedari:

a. Tahun 2016: Pemerintah Kota Solo mengajukan Peninjauan Kembali (PA) atas

putusan MA terkait konflik sengketa kepemilikan lahan yang terus bergulir

semenjak 1970 hingga 2015 lalu (Irfan, Oktober 21, 2017). Namun, MA

menolak PK yang diajukan Pemkot Solo dan perundingan gagal menghasilkan

solusi bagi ahli waris dan Pemkot. Pada akhirnya, konflik sengketa lahan tidak

menemui jalan keluar sehingga THR berencana tidak diperpanjang kontraknya.

46
b. Januari 2017: Sewa lahan THR di Sriwedari sudah habis kontraknya per Januari

2017 lalu tapi diperpanjang oleh Pemkot Solo hingga Desember 2017 dengan

pertimbangan pembongkaran alat dan wahana serta nasib karyawan THR.

Proses pemindahan ke kebun binatang Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) Solo

dilakukan secara bertahap.

c. Oktober 2017: Pihak manajemen THR Sriwedari tidak sepakat dengan

ketentuan Pemkot Solo yang hanya memberikan durasi kontrak sewa lahan di

TSTJ selama empat tahun saja dan biaya sewa serta pajak yang tinggi (Saputra,

Oktober 12, 2017). Karena keberatan, manajemen menolak untuk pindah ke

TSTJ dan terus melakukan pembongkaran untuk mengosongkan lokasi tersebut.

d. Desember 2017: Manajemen THR Sriwedari memilih menutup temapt hiburan

tersebut pada 4 Desember 2017 dan mengosongkan lahan tersebut dengan batas

pengosongan lahan di Sriwedari hingga 31 Desember. Pada bulan ini pun,

sekitar 120 karyawan THR dengan terpaksa mendapatkan pemutusan hubungan

kerja.

e. Januari 2018: Lahan Sriwedari sudah kosong dan Pemkot Solo mengantongi

empat sertifikat lahan Sriwedari (Sunaryo, Oktober 13, 2017) yakni HP 40

(Stadion Sriwedari), HP 41 (Bekas lahan Taman Hiburan Rakyat, Kantor Dinas

Pariwisata, dan Museum Radya Pustaka), HP 26 (Museum Keris Nusantara)

dan HGB 73 (Bank Solo).

f. Februari 2018: Mulai pembangunan Masjid Raya di bekas lahan THR

Sriwedari dan peletakan batu pertama pada 5 Februari 2018. Wahana

permainan yang sebelumnya ada di lahan THR Sriwedari disimpan di gedung

yang disewa manajemen THR di Solo Baru.

47
BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini peneliti akan memaparkan hasil dari wawancara mendalam yang

sudah dilakukan sebelumnya di Taman Sriwedari Solo, Dinas Pariwisata, dan Dinas

Kebudayaan. Temuan data akan dipaparkan ke dalam dua besar yaitu, krisis penutupan

Taman Hiburan Rakyat (THR) Sriwedari Solo dan Respon (Perencanaan dan eksekusi

kegiatan) terhadap krisis penutupan Taman Hiburan Rakyat (THR) Sriwedari Solo

tersebut yang dipahami juga sebagai manajemen krisis. Bagian pertama akan dijelaskan

terlebih dahulu mengenai pemahaman krisis dan kronologi krisis terkait penutupan

Taman Hiburan Rakyat (THR) di Taman Sriwedari Solo. Lalu, penjelasan akan

bergerak menuju upaya manajemen krisis yang diidentifikasi dengan perencanaan yang

dilakukan pihak manajemen Taman Sriwedari menghadapi situasi krisis. Kemudian,

rangkaian sajian data akan berujung pada pelaksanaan rangkaian kegiatan yang

dilakukan dalam Taman Sriwedari Solo dengan mengaplikasikan program dan pesan

komunikasi melalui strategi tertentu.

Hasil temuan data didapatkan dalam proses wawancara dengan tiga

narasumber, yaitu Narasumber 1 sebagai perwakilan dari FOKSRI (Forum Komunikasi

Sriwedari) dan selaku Ketua Paguyuban PKL Sriwedari, lalu narasumber 2 adalah Dinas

Pariwisata sebagai pengelola aset pariwisata di Taman Sriwedari Solo, dan narasumber

3 yaitu Dinas Kebudayaan Surakarta sebagai pengelola aset kebudayaan di Taman

Sriwedari Solo. Ketiga narasumber ini akan melengkapi hasil temuan data dalam

penelitian ini karena pengelolaannya terhadap Taman Sriwedari yang saling bersinergi

antara satu dengan yang lainnya.

48
Sesuai dengan model alir Miles dan Hubberman (1984, dalam Yusuf, 2016, hal.

407), analisis terhadap data temuan yang akan diaplikasikan adalah reduksi data,

penyajian data, dan verifikasi. Data yang telah peneliti dapatkan melalui wawancara

akan direduksi berdasarkan pada pedoman wawancara yang sudah dibuat dan pola dari

data tersebut. Dalam hal ini, pola tersebut akan dikerucutkan menjadi beberapa kata

kunci dan kategori beserta sub-kategorinya yang saling berhubungan satu sama lain.

Kemudian, setelah itu data akan disajikan berdasarkan kategori yang sudah dipaparkan

mengikuti kata kunci sebagai pedoman dan disajikan dalam bentuk narasi. Tahap yang

terakhir adalah penarikan kesimpulan dengan menggabungkan antara sajian data

tersebut dengan teori yang digunakan dalam penelitian ini.

1. Hasil Temuan Data

Dalam deskripsi temuan data ini peneliti akan memaparkan dan

menarasikan temuan data yang diperoleh selama penelitian dilakukan di Taman

Sriwedari Solo. Data hasil wawancara mendalam ini akan dipaparkan ke dalam dua

kata kunci besar yaitu krisis dan respon terhadap krisis tersebut. Masing-masing dari

kata kunci tersebut sudah merupakan kategori tersendiri yang memiliki sub-kategori

di dalamnya yang saling melengkapi satu sama lain. Dalam kategori krisis terdapat

pemaparan mengenai pemahaman mengenai krisis dan kronologi penutupan THR

Sriwedari yang disertai dengan krisis yang terjadi. Kedua, pemaparan respon

terhadap krisis penutupan THR akan terbagi dalam dua bagian yaitu upaya

perencanaan dan ekseskusi kegiatan. Upaya perencanaan dijelaskan lagi dalam

respon yang dilakukan manajemen terhadap krisis dan perencanaan kegiatan

kebudayaan dan pesan komunikasinya beserta pihak-pihak yang digandeng dalam

merencanakan program manajemen krisis.

49
Bagian yang kedua dari respon terhadap krisis yaitu eksekusi kegiatan

merupakan ujung dari perencanaan yang sudah dilakukan oleh manajemen Taman

Sriwedari beserta dengan pesan-pesan yang akan dibawa ke dalamnya. Dalam

kategori ini akan dipaparkan mengenai penyampaian pesan komunikasi yang sudah

dirancang sebelumnya dalam kegiatan-kegiatan kebudayaan dan pelaksanaan

kegiatan kebudayaan tersebut beserta dengan maintenance kegiatan yang rutin

dilakukan dalam Taman Sriwedari. Berikut adalah pemaparannya:

1.1 Krisis Penutupan Taman Hiburan Rakyat (THR) di Taman Sriwedari Solo

Berdasarkan hasil wawancara yang telah peneliti lakukan, terdapat

perbedaaan di antara tiga narasumber tersebut mengenai krisis. Hal ini dikarenakan

referensi yang berbeda antara narasumber 1 yang notabene merupakan bagian dari

kelompok budayawan yang tergabung dalam Forum Komunikasi Sriwedari, dan

dua narasumber lainnya yaitu Dinas Pariwisata dan Dinas Kebudayaan yang

keduanya merupakan perwakilan dari pihak Pemerintah Kota Solo yang menaungi

Taman Sriwedari. Perbedaan tersebut justru melahirkan tiga kata kunci yang

dimaknai sebagai keadaaan krisis, terutama ketika terjadi penutupan THR tersebut,

yang dapat dikerucutkan sebagai tendensi negatif, tuntutan tindakan responsif, dan

perubahan. Berikut adalah pemaparan mengenai krisis menurut ketiga narasumber

tersebut:

a. Tendensi negatif

Kondisi krisis dipahami secara umum sebagai keadaan yang

menimbulkan dampak baik itu dampak besar ataupun kecil yang menyerang

organisasi dan publiknya. Keberlanjutan dari dampak krisis tersebut membawa

organisasi menuju suatu kondisi yang tidak terkendali dan menyebabkan

50
kerusakan-kerusakan tertentu. Hal ini juga menjadi poin penting yang dipahami

oleh manajamn Taman Sriwedari sebagai pengelola langsung Taman Sriweadri

terhadap kejadian krisis, yang lebih mengarah pada adanya tendensi negatif

akibat krisis tersebut. Berikut adalah pernyataan narasumber 1 mengenai krisis:

“Kalau buat saya, krisis itu ya kejadian yang berbahaya, yang


bisa membuat perubahan tertentu di suatu tempat, bisa jadi lebih
baik atau lebih buruk, tapi tetap lebih banyak buruknya, karena
untuk menjadi lebih baik biasanya ada pengorbanan yang
dilakukan…” (Narasumber 1, 8 Agustus 2018).

Pernyataan dari Narasumber 1 tersebut menekankan pada adanya

kejadian yang berbahaya dan keadaan yang buruk. Hal tersebut

mengindikasikan bahwa manajemen Taman Sriwedari memaknai krisis tersebut

sebagai sesuatu hal yang memiliki tendensi negatif sehingga menyebabkan

dampak-dampak negatif, melalui pengorbanan tertentu dan perubahan yang

terjadi dalam organisasi tersebut.

b. Tuntutan Tindakan Responsif

Pemahaman yang sedikit berbeda mengenai krisis dijawab oleh

Narasumber 2, yang lebih berfokus pada respon yang harus dilakukan

organisasi ketika terjadi krisis itu sendiri. Narasumber 2 yang membawahi

Taman Sriwedari memaknai krisis sebagai keadaan yang harus segera direspon

dan diatasi sehingga krisis tidak semakin menyebar dan berkembang. Hal ini

dipaparkan pada kutipan wawancara dibawah ini:

“Krisis itu adalah keadaan yang harus segera ditindak dan


dihadapi serta dilaksanakan sesuatu dengan koordinasi yang baik

51
dan perencanaan matang. Dalam krisis pasti ada sesuatu yang
berubah, bisa secara yang dilihat orang atau dari dalamnya, tapi
yang pasti harus segera ditindak” (Narasumber 2. 10 Agustus
2018).

Pemahaman tersebut mengarah pada bahwasannya krisis merupakan

kejadian yang memerlukan tindakan yang responsif dan memiliki unsur segera

atau mendesak, dalam hal ini dimaknai juga bahwa krisis adalah keadaan yang

mendesak. Terminologi mendesak dipahami dalam kutipan wawancara tersebut

sebagai keadaan yang harus segera ditindak dan dihadapi melalui koordinasi

dan perencanaan yang matang.

c. Perubahan

Pemahaman mengenai krisis dalam konteks adanya perubahan lebih

ditekankan oleh narasumber 3 melalai pernyataannya yang langsung menjurus

ke dalam krisis yang terjadi di Taman Sriwedari. Penuturannya lebih runtut

mulai dari yang dahulu pernah terjadi hingga sekarang ini Taman Sriwedari

menjadi asset budaya dan pariwisata Kota Solo. Berikut adalah pernyataannya:

“Jadi begini, krisis itu kan bermacam-macam, beda tempat beda


kejadian, beda kejadian beda solusi juga. Nah untuk tempat
sebesar dan senilai Taman Sriwedari, krisis yang terjadi itu jauh
lebih rumit. Krisis yang bersinggungan dengan nilai-nilai budaya
untuk bagaimana menanganinya juga lebih detail. Kita harus bisa
lebih jeli kalau untuk krisis yang seperti ini, krisis pun menjadi
momok juga yang dapat menyebabkan suatu tempat menjadi
berbeda” (Narasumber 3, 13 Agustus 2018)

Pernyataan dari ketiga narasumber mengenai krisis itu memang berbeda

penjelasannya dan cara penyampainnya, namun dapat digarisbawahi bahwa

52
pemahaman mengenai krisis menemui titik tengah yang bisa dibilang seragam.

Kata-kata perubahan menjadi hal yang diutamakan dalam memahami krisis,

pemahaman ketiga nrasumber tersebut menyatakan bahwa krisis menyebabkan

terjadi suatu perubahan. Krisis yang dialami oleh Taman Sriwedari Solo adalah

mengenai penutupan Taman Hiburan Rakyat (THR) sebagai salah satu asset

hiburan dalam taman tersebut. Kejadian ini pun ditanggapi dengan sudut

pandang yang berbeda oleh Narasumber 1, berikut adalah kutipannya:

“Taman Sriwedari itu kan awalnya Bon Rojo yang dulu dititahkan
oleh Ratu untuk dibentuk sebuah ruang publik bagi kerajaan dan
masyarakat, yang mana maksud dari tempat ini adalah pusat seni
dan budaya di Kota Surakarta. Sriwedari itu kazanah seni dan
budaya yang perlu dilestarikan yang banyak sekali aktivitas-
aktivitas di dalamnya … Dengan penutupan THR Sriwedari itu
sendiri sebenarnya kan kita manut atau mengikuti kebijakan
pemerintah, ya selama itu menjadikan tempat ini lebih baik.
Untuk disajikan sebagai objek pariwisata Kota Solo dan seni
budaya kami rasa kurang layak pakai THR itu” (Narasumber 1, 8
Agustus 2018).

1.1.1 Pandangan terhadap Taman Hiburan Rakyat (THR) sebagai Aset Taman

Sriwedari Solo

Taman Hiburan Rakyat (THR) sebagai objek yang diangkat dalam

Taman Sriwedari sebagai studi kasus dalam penelitian ini dipandang beragam

oleh narasumber yang terintegrasi dalam organisasi besar Taman Sriwedari Solo

ini. Narasumber 1 menjelaskan seberapa penting THR sebagai aset hiburan

dalam Taman Sriwedari ini yang sekaligus merupakan aset pendukung dari

keseluruhan area Taman Sriwedari, dan keberadaanya sangat berpengaruh

terhadap kegiatan di dalam taman ini, berikut adalah pernyataannya:

53
“THR itu sebenarnya merupakan kebijakan dari Pemerintah Kota
Solo periode yang dahulu sekali yang membuat Taman Sriwedari
menjadi lebih bernilai dan menjadi pusat hiburan juga bagi warga
Solo. THR dulu itu didirikan dengan menarik investor untuk sewa
lahan disini. Dampaknya itu menjadi sumber kehidupan juga bagi
PKL dan SIP Taman Sriwedari, sehingga semakin hidup tempat
ini” (Narasumber 1, 8 Agustus 2018)

Pandangan terhadap THR juga berbeda dituturkan oleh Dinas Pariwisata

sebagai yang lebih mengutamakan elemen histori dan ikonik dalam

mendefinisikan THR yang sudah ditutup tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa

Dinas Pariwisata memandang THR sebagai bagian dari sejarah panjang

berdirinya Taman Sriwedari, dan sekaligus sudah tertanam sebagai salah satu

bagian ikonik dari Taman Sriwedari yang tertanam dalam benak masyarakat.

Hal ini ditunjukkan dalam hasil wawancara berikut:

“Untuk saya, THR itu ya tempat hiburan yang sangat diminati


masyarakat dan dulu itu orang kalau ingin liburan ya datangnya
ke THR, karena itu memang sudah ter-mindset oleh masyarakat
Solo sebagai tempat hiburan murah dan tidak perlu jauh-jauh. Dia
itu sudah berdiri sangat lama sekali sekitar 32 tahun, dan dengan
ditutupnya THR itu memang sangat meledak kasusnya”
(Narasumber 2, 11 Agustus 2018)

Pandangan lebih lanjut ditunjukkan oleh Dinas Kebudayaan yang

memiliki sudut pandang berbeda mengenai THR tersebut, yang memang dapat

digarisbawahi bahwa THR tetap merupakan bagian penting yang tidak bisa

dipisahkan dari Taman Sriwedari. Narasumber 3 tersebut lebih condong

terhadap nilai-nilai yang sudah membudidaya dalam Taman Sriwedari dan

54
masyarakat Solo terhadap THR itu sendiri, yang keberadaannya semakin

menjadikan Taman Sriwedari lengkap sebagai public space di Kota Solo.

Berikut adalah kutipan wawancaranya:

“THR itu kan sudah berdiri lama di Taman Sriwedari, kita tidak
bisa memisahkan dia dari Taman Sriwedari, karena mereka itu
seperti satu kesatuan walaupun tidak mengusung nilai budayanya,
karena THR kan isinya wahana permainan buat anak-anak. Tapi
keberadaannya kan menarik masyarakat Solo, terutama anak-
anak sehingga mau datang bermain, yang mau tidak mau kalau
sudah masuk ke THR pasti lihat-lihat sekitarnya” (Narasumber 3,
13 Agustus 2018)

1.1.2 Kronologi Krisis Penutupan Taman Hiburan Rakyat (THR) di Taman

Sriwedari Solo

Kasus penutupan THR Sriwedari memang menyita banyak perhatian

publik di penghujung tahun 2017 tersebut, yang tentunya berita ini

menggemparkan masyarakat. Hal ini karena penutupan ini diikuti oleh

dimenangkannya kasus sengketa tanah antara ahli waris K.M.R.T Wiryo dan

Pemerintah Kota Solo dan rencana pembangunan Masjid Taman Sriwedari

Surakarta (MTSS) di bekas lahan THR tersebut. Pernyataan berikutnya

dijabarkan oleh Dinas Pariwisata sebagai narasumber 2 yang menyatakan bahwa

kasus ini merupakan rangkaian program besar revitalisasi Taman Sriwedari.

Pernyataan beliau seraya dengan penjelasan mengenai revitalisasi besar Taman

Sriwedari yang masih bertahap prosesnya. Narasumber 1 menjelaskan dengan

gamblang isu yang berkembang sampai penutupan THR Sriwedari:

55
“Isu yang mengawali dulu itu ya mulai dari rebutan tanah yang
dulu diklaim oleh ahli waris Mas Wiryo, yang akhirnya
dimenangkan oleh Pemerintah Kota Solo dengan bukti sertifikat
tanah. Lalu Pemerintah menaikkan sewa lahan di THR itu yang
memang kontraknya sudah habis dua tahun lalu, karena sewa
lahan naik sehingga investor itu tidak memperpanjang
kontraknya. Seiringan dengan itu pemerintah mempunyai rencana
besar untuk menata ulang Taman Sriwedari. (Narasumber 1, 8
Agustus 2018)

THR Sriwedari dan kasusnya yang menjadi bahan pembicaraan

dan diskusi di berbagai forum menjadikan penutupannya menimbulkan

berbagai opini di masyarakat. Narasumber 1 kembali menyatakan bahwa

banyak sekali pendapat masyarakat yang berkembang, hal ini mengikuti THR

sebagai salah satu asset yang historis bagi masyarakat Kota Solo.

“Kalau pro dan kontra itu wajar, dan itu memang banyak terjadi
sampai sekarang. Tapi seiring berjalannya waktu, warga sendiri
juga mau menerima begitu juga dengan keseluruhan paguyuban
yang ada disini walaupun itu butuh proses. THR ini kan memang
sudah lama berdiri di Taman Sriwedari, tapi keberadannya
sebagai pendukung ruang public disini, yang kami tekankan
adalah bahwa THR bisa dibilang sudah kalah dengan fasiltias
bermain yang lain yang menggunakan teknologi” (Narasumber 1,
8 Agustus 2018).

Tanggapan mengenai kasus penutupan THR juga dilengkapi oleh

Narasumber 3 yang turut menjelaskan mengenai THR sebagai bagian dari

sejarah panjang berkembangnya Taman Sriwedari sampai pada kasus

penutupan tersebut. Berikut adalah pernyataannya dalam kutipan wawancara:

“THR itu sudah lama sekali berdiri disana dan banyak sekali
sejarahnya itu dan terus menghibur masyarakat Solo yang sangat

56
antusias kala itu dengan keberadaan hiburan tersebut. Ya karena
istilahnya, masyarakat dulu itu sangat percaya kalau THR dan
Taman Sriwedari itu memiliki jiwanya orang Solo, liburannya
anak-anak dulu itu ya ke Sriwedari. Penutupan kemaren itu ya
karena memang sudah tidak diperpanjang lagi, jadi ya mau
bagaimana lagi. (Narasumber 3, 13 Agustus 2018)

THR dan Taman Sriwedari merupakan suatu kesatuan yang

melengkapi sejarah panjang Kota Solo, hal ini yang membuat kasus penutupan

THR itu menjadi bahan pembicaraan di berbagai kalangan. Bukan saja

masyarakat, tetapi juga perkumpulan paguyuban dalam Taman Sriwedari itu

sendiri. Hal ini membuat terjadinya krisis yang menyerang Taman Sriwedari

dikarenakan penutupan THR itu yang kini bekas lahannya diperdayakan lagi

untuk dibangun Masjid Taman Sriwedari Solo yang akan dibarengi dengan

penataan ulang (revitalisasi) keseluruhan Taman Sriwedari. Pernyataan ini

dituturkan juga dalam kutipan wawancara berikut:

“Penutupan THR Sriwedari itu bukan lain sebagai titik awal


programnya pemerintah untuk menata ulang dan membangun
kembali Taman Sriwedari secaara keseluruhan. Nantinya bukan
THR saja, tetapi masih banyak area lain yang akan dibenahi.
Hanya kan THR itu ada investornya, dan tahun lalu juga tidak
diperpanjang kontraknya, jadi lah kami gunakan lahan itu untuk
membangun Masjid Taman Sriwedari Solo atau MTSS.”
(Narasumber 2, 11 Agustus 2018)

Pernyataan mengenai perjalanan panjang penutupan THR di

Taman Sriwedari itu juga didukung dengan pernyataan dari Narasumber 3 yang

menjelaskan rencana perpindahan THR dari Taman Sriwedari ke tempat baru.

Berikut adalah kutipan wawancaranya:

57
“…Setelah penutupan THR tersebut, pemerintah menawarkan
tempat baru di Jurug, tetapi menurut investornya sewanya masih
terlalu tinggi dan jauh dari pusat kota jadi kemungkinan
potensinya kurang. Akhirnya THR pun ditutup per Desember
2017 lalu, dan sudah harus dikosongkan seluruh wahananya
hingga akhir bulan Desember. Intinya, mereka keberatan dengan
tawaran pemerintah yang sewa lahannya terlalu tinggi dan
pajaknya juga terlalu tinggi untuk wahananya. (Narasumber 3, 13
Agustus 2018)

Narasumber 3 juga memberikan penjelasan penutupan THR di

Taman Sriwedari dengan menyuguhkan gambaran mengenai pembangunan

masif keseluruhan taman. Hal ini seiring dengan rencana besar pemerintah

untuk menata ulang kembali Taman Sriwedari agar kembali menjadi pusat seni

dan budaya Kota Solo.

“THR itu akhirnya ditutup juga akan diganti nantinya dengan


Masjid Taman Sriwedari Surakarta, yang akan disertai dengan
Menara yang tinggi. Selain itu juga pembangunan bukan hanya
berhenti disitu, tetapi juga akan dibangun di area-area lainnya
seperti rencana pemindahan Joglo ke dekat Segaran itu dan kita
tata ulang keseluruhan kios dan PKL itu. Jadinya Taman Sriwedari
jauh lebih baik dan tertata untuk dijadikan objek wisata Kota
Solo” (Narasumber 2, 11 Agustus 2018).

58
Gambar 3.1 Bekas Lahan THR Sriwedari yang sedang dalam Pembangunan

Masjid Taman Sriwedari Surakarta (Sumber: Dokumen Pribadi)

Narasumber 1 melengkapi pernyataan mengenai kasus penutupan

THR Sriwedari dengan menjelaskan esensi dan nilai dari Taman Sriwedari ini

sendiri yang ingin disuguhkan kepada publik. Pusat seni dan budaya adalah

intisari yang berusaha dari tahun ke tahun diusung oleh pegiat Taman Sriwedari

agar seluruh aset-aset seni dan kebudayaan dapat dinikmati oleh masyarakat

Solo. Berikut adalah pemaparannya mengenai citra Taman Sriwedari:

“Maksud dan tujuan dibentuknya Taman Sriwedari ini adalah


sebagai pusat seni dan budaya di Kota Surakarta. Bisa terlihat
dari aktivitas-aktivitas yang sampai sekarang masih ada, ya
seperti di Joglo ini sering diadakan kegiatan tari anak-anak pada
sore hari dan gedung wayang orang yang di belakang, serta
Museum Radya Pustaka yang menyimpan banyak budaya.
Melalui ditutupnya THR tersebut, malah sebenarnya memiliki
tujuan yang baik juga karena akan semakin meningkatkan nilai
seni dan budaya Sriwedari”, (Narasumber 1, 8 Agustus 2018)

Pernyataan ini juga didukung oleh Narasumber 2 yang

menyatakan pembangunan salah satu asset Sriwedari terbaru yaitu Museum

Keris merupakan salah satu perwujudan nilai seni dan budaya tersebut. Berikut

adalah kutipan wawancaranya:

“Nah, Museum Keris yang baru diresmikan itu salah satu bentuk
asset budaya yang dimiliki Taman Sriwedari, karena memang
dari awalnya tempat ini adalah pusat seni dan budaya. Jadi kami
terus tumbuhkembangkan seluruh fasilitas dan potensi
kebudayaan Kota Solo disini. Selain itu juga kami kerahkan
banyak kegiatan budaya juga disana, yang nantinya itu akan

59
diadakan semacam workshop keris perayaan ulang tahun
Museum Keris itu.” (Narasumber 2, 11 Agustus 2018)

Krisis penutupan THR tersebut memiliki satu siklus yang

menunjukkan perjalanan krisis tersebut dari awal bermulanya isu sampai

resolusi dari krisis tersebut. Penutupan tersebut dimulai ketika isu mulai

berkembang yang kemudian menyebabkan keputusan final pengelola THR dan

Taman Sriwedari untuk menutup THR dan kemudian secara responsif

mengatasi kejadian tersebut dengan menghadirkan resolusi atas krisis. Berikut

adalah diagram siklus krisis penutupan THR tersebut dengan mengacu pada

berbagai kutipan wawancara mengenai kronologi krisis:

Isu rebutan tanah yang diklaim ahli waris Pengelola THR kemudian menutup THR
Mas Wiryo dengan Pemkot Solo per Desember 2017 lalu, karena kontrak
berakhir dengan menangnya Pemkot sudah habis dan tidak diperpanjang lagi,
Solo (2016), kemudian menaikkan sewa bahkan di tempat baru yang ditawarkan
lahan di THR dan ada isu pengelola THR pemerintah juga pengelola keberatan
tidak ingin memperpanjang kontrak pada sehingga ditutup untuk selamanya
2017 (Narasumber 1, 8 Agustus 2018) (Narasumber 3, 13 Agustus 2018)

Krisis berujung pada esensi dan nilai dari


THR tersebut ditutup akan diganti dengan
Taman Sriwedari yang ingin disuguhkan
Masjid Taman Sriwedari Surakarta (MTSS)
kepada publik yaitu pusat seni dan
dan pembangunan akan berlanjut sebagai
budaya Kota Solo. Nilai tersebut diikuti
bentuk revitalisasi ulang atau tata ulang
dengan aktivitas-aktivitas di dalam
kembali. Hal ini adalah program pemerintah
Taman Sriwedari seperti di Joglo,
yang ditawarkan per awal Januari 2018 lalu
kegiatan tari anak-anak, Wayang Orang,
dan diikuti oleh manajemen Taman
Museum Radya Pustaka dan Keris
Sriwedari (Narasumber 2, 11 Agustus 2018)
(Narasumber 1, 8 Agustus 2018)

Diagram 3.1 Siklus Kronologi Krisis Penutupan THR Sriwedari Surakarta berdasarkan

wawancara

60
1.2 Respon terhadap Krisis Penutupan Taman Hiburan Rakyat (THR) Sriwedari

Solo

Identifikasi terhadap krisis dan kronologinya menjadi dasar pijakan bagi

organisasi untuk menentukan respon yang tepat terhadap krisis itu sendiri, yang

berdasarkan hasil wawancara respon tersebut memiliki dua kata kunci besar yaitu

perencanaan dan eksekusi kegiatan. Dalam hal ini, dua kata kunci tersebut

merupakan hal yang dilakukan manajemen Taman Sriwedari untuk mengatasi krisis

penutupan THR Sriwedari Solo yang telah memberikan dampak-dampak terhadap

berjalannya roda organisasi dan kegiatan normal yang sebelumnya telah berjalan.

Istilah “manajemen krisis” dan “strategi pesan” tidak disebutkan dalam wawancara

dengan narasumber karena memang referensi yang berbeda tetapi respon yang

dilakukan tersebut merupakan bagain dari strategi pesan dalam komunikasi krisis

tersebut.

1.2.1 Upaya Perencanaan sebagai Respon terhadap Krisis

Perencanaan dan kegiatan kebudayaan menjadi satu hal yang

terus digunakan sebagai jawaban dalam hasil wawancara, terutama pihak

Narasumber 1 yang menyebut “kegiatan kebudayaan” mulai dari perencanaan

sampai pelaksanaannya. Dalam konteks ini memang kebudayaan menjadi esensi

dan memegang peranan penting dalam keberlangsungan pemulihan citra Taman

Sriwedari sebagaimana nilai dari taman itu sendiri. Sebelum rangkaian program

dilaksanakan tentu saja terlebih dahulu dilakukan perencanaan secara matang

yang terintegrasi dengan pihak-pihak terkait. Dalam pemaparan temuan data ini,

terdapat dua kata kunci yang menjadi poin penting dalam perencanaan untuk

merespon krisis tersebut, yaitu respon baik terhadap internal maupun eksternal,

61
memelihara komunikasi dan perencanaan kegiatan kebudayaan dan pesan

komunikasi yang di dalamnya termasuk kerjasama dengan pemerintah dan

komunitas.

a. Respon terhadap internal dan eksternal

Respon yang tepat harus dilakukan terlebih dahulu ketika krisis

datang untuk mencegah agar krisis tidak semakin melebar dan menyebabkan

berbagai kerusakan yang berlebih. Dalam hal ini, manajemen melakukan

respon awal bahkan ketika isu mulai berkembang sampai ketika krisis mulai

terjadi. Respon tersebut diutamakan kepada pihak internal, berikut adalah

yang dikatakan Narasumber 1 dalam kutipan wawancara:

“Yang kami prioritaskan ketika penutupan THR lalu itu tentu saja
paguyuban-paguyuban yang berada di bawah naungan FOKSRI
ini, terutama paguyuban PKL dan SIP yang terkena langsung
dampak dari penutupan THR. Selain itu, kami juga memberi
perhatian sesuai kebijakan dari Pak Sinyo terhadap 120 karyawan
THR itu, yang lalu itu sempat diberikan pesangon per Desember
2017 dan gajinya dipertahankan sampai akhir tahun lalu”
(Narasumber 1, 8 Agustus 2018)

Pemberian respon yang tepat adalah dengan memperhatikan

publik internal baru setelah itu merespon publik eksternal, hal tersebut

adalah pernyataan dari Narasumber 2 yang turut mendukung argumen ini.

Menurutnya, banyaknya pihak-pihak internal seperti pedagang PKL dan SIP

yang berjualan di dalam Sriwedari yang harus diperhatikan kesejahteraan

hidupnya. Hal ini sesuai dengan penuturannya dalam kutipan wawancara

berikut:

62
“Banyak sekali yang menggantungkan hidupnya di dalam Taman
Sriwedari ini, mulai dari pedagang yang di luar sampai yang di
dalam terutama PKL dan SIP itu, dengan ditutupnya THR
Sriwedari, kami sudah berkoordinasi dengan Pak Agus selaku
Ketua Paguyuban PKL Sriwedari untuk melakukan upaya
komunikasi dan sosialisasi mengenai rencana ke depan. Hal ini
dilakukan karena yang terkena dampaknya secara langsung ya
memang para PKL itu, kalau karyawan THR sudah terlebih
dahulu kami beri treatment khusus” (Narasumber 2, 11 Agustus
2018)

Respon awal merupakan hal yang penting dilakukan ketika terjadi

krisis, setelah itu baru dirancang bagaimana upaya untuk menangani krisis

tersebut. Komunikasi dan forum diskusi merupakan hal yang terus dilakukan

oleh manajemen Taman Sriwedari, karena menurutnya upaya ini adalah yang

terbaik untuk memberikan pemahaman dan pengertian kepada internal

maupun eksternal Taman Sriwedari. Berikut adalah penuturannya:

”Perencanaan untuk menghadapi ini ya kami melakukan banyak


komunikasi dulu supaya mengerti yang diharapkan itu apa,
setelah itu ide-ide kami tamping lalu kami sampaikan ke
pemerintah. Kami juga berkoordinasi dengan pemerintah terkait
bagaimana kelanjutan dair revitalisasi Taman Sriwedari ini,
sehingga kami bisa menjawab pertanyaan baik dari internal
maupun eskternal dengan hati-hati dan bijak” (Narasumber 1, 8
Agustus 2018).

Selain pihak internal, upaya untuk menangani pihak eksternal

juga dilakukan oleh manajemen, upaya komunikasi menjadi senjata utama

yang terus dilakukan. Pemilihan juru bicara ketika terdapat wawancara

dengan pihak eksternal dan forum terbuka juga penting, karena kredibilitas

63
dan kuasa yang dimiliki sehingga dapat lebih dimengerti dan dipahami oleh

masyarakat. Hal ini juga terdapat dalam kutipan wawancara berikut:

“Paling kalau ada orang yang bertanya atau wawancara kami


selalu arahkan ke Bapak Kusumo selaku ketua FOKSRI atau
dahulu itu kami arahkan langsung ke Direktur Utama THR
Sriwedari Pak Sinyo Sujarkasi. Kami bicara secara terbuka saja
apa yang direncanakan pemerintah soal penggunaan lahan bekas
THR itu untuk pembangunan Masjid. Kami selalu buat forum
terbuka yang ditekankan adalah bahwa Sriwedari nanti jadi bisa
lebih baik lagi setelah penataan ulang” (Narasumber 1, 8 Agutsus
2018)

b. Perencanaan kegiatan kebudayaan dan pesan komunikasi

Taman Sriwedari merupakan ruang publik yang paling besar di

Kota Solo dan letaknya yang berada di jantung kota membuatnya menjadi

sangat strategis sebagai aset pariwisata yang besar. Pengelolaan terhadap

Taman Sriwedari beserta seluruh area di dalamnya pun melibatkan pihak-

pihak luar yang mulai dari komunitas-komunitas sampai kepada Pemerintah

Kota. Penutupan THR yang membuat Taman Sriwedari tergoncang

karenanya, membuat manajemen harus menggaet pihak-pihak tersebut untuk

tetap dapat berdiri, berikut adalah penjelasannya:

“Yang terlibat di dalam penutupan THR ini ya investornya THR,


FOKSRI, dan Pemerintah Kota Solo terutama Dinas Pariwisata
dan Dinas Kebudayaan, terkadang dibantu Dinas Perdagangan.
Kami juga terus berkomunikasi dengan komunitas-komunitas
seperti Komunitas Seni Budaya Surakarta dan Soercarta Heritage
Society (SHS) dan komunitas musik pengisi panggung THR
dulu” (Narasumber 1, 8 Agustus 2018).

64
Kerjasama merupakan hal yang penting dalam konteks ini Taman

Sriwedari merupakan tempat yang dikelola secara kolektif dan sarat dengan

nilai-nilai seni dan budaya yang telah menyatu dengan masyarakat Solo.

Komunikasi ditata dengan baik antara Taman Sriwedari dengan Pemerintah

Kota Solo yang notabene memiliki hak penuh atas tanah dan hak guna

bangunana di area Taman Sriwedari. Hal ini terdapat dalam kutipan

wawancara berikut:

“Dengan ditutupnya THR itu kan lalu masuk program pemerintah


untuk revitalisasi dan pembangunan Masjid, agar hal tersebut bisa
terwujud maka perlu adanya komunikasi yang baik dengan
FOKSRI sehingga kami menjadi semakin bersinergi satu sama
lain dan membangun lagi Taman Sriwedari menjadi semakin baik
lagi, bukan hanya sebagai aset wisata saja, tetapi juga sebagai
aset budaya yang dikenang oleh masyarakat Solo” (Narasumber
2, 11 Agustus 2018).

Perencanaan yang dilakukan oleh manajemen terbilang matang

dan visioner, karena selain merencanakan berbagai program dan kebijakan

secara internal maupun kegiatan eksternal, tetapi di satu sisi juga

menjalankan program pemerintah (upaya revitalisasi) sebagai bentuk

eksekusi produksi pesan. Sebagai sebuah aset pariwisata yang besar di Kota

Solo, tentu saja Taman Sriwedari bersinergi dengan berbagai pihak seperti

pemerintah, komunitas, dan paguyuban yang mendukung keberlangsungan

Taman Sriwedari ini sendiri. Hal ini pun dijelaskan dalam kutipan

wawancara berikut:

65
“Kami utamakan memberikan perhatian kepada internal dulu,
kami akan buat tempat yang terpusat seperti Rest Area yang
isinya nanti banyak SIP dan PKL juga. Setelah itu selesai, kami
komunikasi dengan pemerintah dan paguyuban serta FOKSRI itu
sendiri terus dijalin, lalu melakukan kegiatan-kegiatan
kebudayaan dengan mengundang mulai dari komunitas lokal
sampai internasional” (Narasumber 1, 8 Agustus 2018)

Dalam menghadapi situasi krisis, manajemen Taman Sriwedari

bertumpu pada kegiatan-kegiatan komunikasi dan kebudayaan yang akan

dilaksanakan dengan melibatkan banyak pihak. Kegiatan kebudayaan banyak

dilakukan dan digiatkan untuk mengisi Taman Sriwedari selama proses

revitalisasi, hal ini juga dibarengi dengan perencanaan dengan paguyuban

mengenai pemusatan ataupun pendayaan lahan untuk wadah berjualan.

Berikut adalah penuturan dalam kutipan wawancara:

“Dalam tahun ini (2018) kami rencananya akan menggiatkan lagi


Sarasehan Lintas Paguyuban Sriwedari atau Pekan Silaturahmi
untuk membahas kemana Sriwedari akan dibawa. Lalu kita juga
merayakan 108 tahun Wayang Orang Sriwedari dengan judul
Langkahmu Lakuku dan mendayagunakan terus gedung wayang
orang di belakang itu. Kami juga akan mengadakan kegiatan
berskala nasional sampai internasional di Museum Keris sebagai
asset pariwisata yang baru di Taman Sriwedari” (Narasumber 1, 8
Agustus 2018)

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa kegiatan

komunikasi merupakan yang utama dalam rangkaian rencana kegiatan untuk

mengatasi krisis ini. Komunikasi berdasarkan pada pernyataan yang

diberikan ketika proses wawancara merupakan semacam senjata yang baik

66
dan efektif untuk memberitahukan kepada publik mengenai apa yang terjadi

dan bagaimana keadaan Sriwedari untuk ke depan.

“Ya, komunikasi merupakan hal yang penting karena dengan itu


semuanya menjadi jelas dan tidak ada yang bingung dengan
perencanaan di Sriwedari ini. Kita banyak mengadakan forum
terbuka mulai dari sosialisasi dengan Dinas Pariwisata dan upaya
komunikasi serta pemberitahuan kepada warga sekitar dan
paguyuban yang ada disini. Soialisasi itu mulai dari sebelum
penutupan THR sampai sekarang ini hanya kita bungkus dengan
kegiatan Sarasehan itu” (Narasumber 1, 8 Agustus 2018).

Gambar 3.2 Pekan Silaturahmi atau Sarasehan Lintas Paguyuban Taman

Sriwedari (Sumber: Dokumen Pribadi)

Selain komunikasi, kegiatan kebudayaan juga menjadi poros

dalam rangkaian upaya manajemen krisis yang dilakukan dalam Taman

Sriwedari. Narasumber 1 menuturkan bahwa dengan menghidupkan kembali

kegiatan di dalam Taman Sriwedari dengan beragam rangkaian kebudayaan

dan aktivitas yang positif dapat menjadi cara untuk mengatasi krisis

penutupan THR di area Taman Sriwedari tersebut. Berikut adalah kutipan

wawancaranya:

“Kami punya pemikiran selama tahun 2018 itu kami harus


mengadakan banyak acara disini, terutama kebudayaan, supaya

67
nilai-nilai budaya tetap melekat di Sriwedari. Kami mengundang
komunitas-komunitas untuk datang ke pertunjukan Wayang
Orang jadinya agar selalu ada aktivitas positif di Taman
Sriwedari, hal ini menunjukkan bahwa dengan ditutupnya THR
kami tidak mati malah semakin menghidupkan esensi dari taman
ini yaitu pusat seni dan budaya Kota Solo” (Narasumber 1, 8
Agustus 2018)

Dalam perencanaan kegiatan tersebut juga dibarengi dengan

upaya untuk memulihkan kembali esensi dari Taman Sriwedari itu sendiri.

Hal ini digaungkan selalu oleh manajemen untuk meningkatkan dan

menghidupkan kembali nilai seni dan budaya di Taman Sriwedari ini sendiri.

Nilai seni dan budaya menjadi esensi dari Taman Sriwedari ini seraya

dengan penataan ulang yang mampu menjadikan nilai tersebut semakin

nyata. Berikut adalah kutipan wawancaranya:

“Kami terangkan bahwa upaya penataan ulang ini adalah untuk


menjadikan Taman Sriwedari menjadi tempat wisata yang layak,
dan menjadi pusatnya seni dan budaya yang tinggi. Pembangunan
masjid disana itu nantinya juga bercorak budaya, dan tidak akan
dipasangi pagar jadinya akan menjadi tempat terbuka juga. Justru
dengan pembangunan ini menghadirkan kembali esensi Taman
Sriwedari yaitu seni dan budaya yang kembali seperti sejak awal
pembangunan Bon Rojo disini” (Narasumber 1, 8 Agustus 2018)

Dalam melakukan manajemen krisis, manajemen Taman

Sriwedari yang terlihat seperti hanya mengikuti program pemerintah, justru

secara cerdas menggunakan strategi tersebut untk menghidupkan kembali

Taman Sriwedari setelah ditutupnya THR tersebut. Dengan menjalankan

kebijakan pemerintah dan dengan terpaksa merelakan THR untuk ditutup

68
selamanya, Taman Sriwedari akan dibentuk kembali sebagai pusat seni dan

budaya. Pernyataan ini terlihat dalam kutipan wawancara berikut:

“Untuk mengembalikan nilai dari Taman Sriwedari ini ya dengan


mendukung kebijakan pemerintah yang akan membangun ulang
Taman Sriwedari, karena dengan ini justru akan kembali menjadi
pusat seni dan budaya yang seutuhnya, bukan profit oriented tapi
ya murni budaya.” (Narasumber 1, 8 Agustus 18)

1.2.2 Eksekusi Kegiatan Manajemen Taman Sriwedari dalam Merespon Krisis

Setelah perencanaan kegiatan dan pesan dilakukan, kemudian

temuan data berujung pada eksekusi kegiatan yang dilakukan manajemen Taman

Sriwedari berdasarkan pada perencanaan tersebut. Dalam hal ini, eksekusi

kegiatan dilakukan berdasarkan pada perencanaan terutama pesan yang akan

diangkat yaitu nilai seni budaya. Pesan tersebut menjadi dasar segala kegiatan

kebudayaan yang dilakukan oleh manajemen dan sekaligus sebagai respon

terhadap krisis penutupan THR Sriwedari yang menyerang organisasi. Dalam

eksekusi kegiatan yang dilakukan manajemen Taman Sriwedari, terdapat tiga

kata kunci yang mengacu pada kronologi respon terhadap krisis, yaitu

penyampaian pesan pusat seni dan budaya, pemberian treatment terhadap

internal, dan pelaksanaan kegiatan eksternal

a. Penyampaian pesan pusat seni dan budaya

Dalam upaya melakukan manajemen krisis, manajamen Taman

Sriwedari menyisipkan pesan kepada publik yang dalam konteks ini adalah

masyarakat Solo bahwa dengan ditutupnya THR Sriwedari, nilai kebudayaan

semakin kuat dan kembali pada citra awal tempat tersebut, yaitu pusat seni

69
dan budaya. Bahkan, komitmen ini digaungkan dalam wawancara dengan

Narasumber 1 yang menyebutkan bahwa kegiatan budaya akan diadakan

secara intens di Taman Sriwedari. Berikut adalah penuturannya:

“Dengan mengikuti program pemerintah ini justru Taman


Sriwedari akan kembali menjadi pusat seni dan budaya yang
seutuhnya. Selain itu juga dengan banyak melakukan kegiatan
budaya disini, seperti menghidupkan lagi kegiatan teater,
mengadakan acara internasional keris itu, dan menggiatkan terus
Gedung Wayang Orang” (Narasumber 1, 8 Agustus 2018)

Kondisi Taman Sriwedari memang sempat terguncang dengan

ditutupnya Taman Hiburan Rakyat yang sudah melekat di benak publik selama

32 tahun, tetapi justru manajemen memanfaatkan momentum ini untuk

meningkatkan kembali nilai budaya tempat tersebut. Pesan tersebut

disampaikan melalui kegiatan kebudayaan yang dilaksanakan di dalam Taman

Sriwedari tersebut, dalam hal ini program kegiatan kebudayaan yang dieksekusi

oleh Taman Sriwedari merupakan hasil sisipan pesan “nilai dan budaya” yang

sudah terlebih dahulu dijalankan. Hal tersebut dapat dilihat melalui jenis

kegiatan yang dijalankan yang sarat dengan nilai-nilai budaya dengan

membawa misi untuk melahirkan kembali nilai seni dan budaya melalui

kegiatan tersebut. Berikut adalah penuturannya dalam kutipan wawancara:

“Kegiatan budaya yang dijalanakan itu ada perayaan 108 tahun


Wayang Orang Sriwedari dengan judul Langkahmu Lakuku
“SPIRIT OF HISTORY”, lalu juga dengan mengadakan kegiatan
di Museum Keris MANGAYUBAGYA 1 TAHUN MUSEUM
KERIS NUSANTARA “LUHURING PUSAKA MEKARING

70
BUDAYA” yang mengundang banyak media dan komunitas juga.
Ini supaya orang lain sadar kalau Taman Sriwedari itu masih
hidup dan malah semakin menunjukkan nilai budaya Solo”
(Narasumber 1, 8 Agustus 2018)

Gambar 3.3 dan 3.4 Perayaan 108 tahun Wayang Orang “Langkahmu Lakuku” Spirit of History

(Sumber: Dokumen Manajemen Taman Sriwedari dan Pribadi)

Gambar 3.5 dan 3.6 Perayaan 1 tahun Mangayubagya 1 tahun Museum Keris Nusantara

“Luhuring Pusaka Mekaring Budaya” (Sumber: Manajemen Taman Sriwedari dan Dokumen

Pribadi)

b. Pelaksanaan kegiatan kebudayaan

Eksekusi kegiatan adalah momen krusial di tengah berbagai

dinamika organisasi, terutama dengan ditutupnya THR Sriwedari dan pro-

kontra terkait pembangunan Masjid Taman Sriwedari Solo di bekas lahan

THR tersebut. Hal ini menjadi penting untuk diperhatikan, karena berbagai

kegiatan yang dilakukan tersebut adalah upaya produksi pesan yang

dibungkus dengan matang dalam manajemen krisis. Berbagai program dan

71
kebijakan internal dan rangkaian kegiatan kebudayaan yang dibarengi

dengan pelaksanaan revitalisasi menjadi rangkaian panjang eksekusi

kegiatan pasca krisis penutupan THR.

“Eksekusinya sudah berjalan cukup lama, diawali dengan


banyaknya forum terbuka (Sarasehan) dan upaya komunikasi
(sosialisasi) serta pemberitahuan kepada warga sekitar dan
masayrakat Solo mengenai penataan ulang Sriwedari, lalu ada
kegiatan mulai dari perayaan 108 tahun Wayang Orang, kegiatan
pameran-workshop dan bursa keris Mangayubagya 1 Tahun
Museum Keris Nusantara” (Narasumber 1, 8 Agustus 2018)

Taman Sriwedari Solo yang sarat dengan nilai-nilai kebudayaan

dan esensinya sebagai pusat seni dan budaya, juga tidak menutup mata

dengan perkembangan kehidupan sosial di era modern ini. Pengikutsertaan

dan keterlibatan dalam berbagai aktivitas modern juga menjadi upaya untuk

menarik minat masyarkat yang tergolong masih muda agar tidak melupakan

budayanya sendiri. Berikut adalah kutipan dalam wawancaranya:

“Ketika ada film Filosofi Kopi the series kami undang agar
shooting disini, ya tujuannya supaya bisa menjadi promosi untuk
anak-anak muda. Kami juga kerjasama dengan Starbuck
Indonesia dengan tagline Ayo Ke Museum, yaitu dengan
menggunakan kartu Starbuck pada hari kamis untuk transaksi
apapun akan mendapatkan 2 tiket gratis kunjungan ke Museum
Radyapustaka dan Museum Keris” (Narasumber 1, 8 Agustus
2018)

Tolak ukur keberhasilan atas segala rangkaian kegiatan pasca

krisis tersebut, menurut narasumber 1 belum bisa diukur. Efektivitas dan

dampak dari kegiatan yang telah dilakukan menanggapi penutupan THR


72
Sriwedari tersebut masih terlalu dini untuk dinilai keberhasilannya. Masih

panjang perjalanan program revitalisasi dari pemerintah, begitu juga dengan

kegiatan yang rencanya akan terus dipertahankan dan ditingkatkan nilai-nilai

kebudayaannya. Berikut adalah penuturannya:

“Kami terus terang belum bisa menjawab secara pasti apakah


berhasil atau tidak karena kan pembangunan belum selesai dan
kegiatan masih banyak yang harus dilaksanakan. Kami bisa
katakan kalau pada akhirnya masyarakat dan paguyuban di
Taman Sriwedari ini setuju dengan revitalisasi ini. Tapi kita
belum bisa santai karena perjalanan revitalisasi ini masih panjang
dan masih banyak sekali rencana pembangunan dan penataan
ulang di Sriwedari” (Narasumber 1, 8 Agustus 2018)

Dengan mengacu pada rangkaian besar temuan data respon

terhadap krisis penutupan THR Sriwedari yang terdiri dari perencanaan dan

eksekusi kegiatannya, maka terdapat suatu gambaran kronologi respon tersebut.

Berikut adalah diagram yang peneliti buat berdasarkan pada temuan data

perencanaan dan eksekusi kegiatan sebagai respon terhadap krisis:

Respon sudah dimulai ketika isu Merencanakan kegiatan kebudayaan dan


berkembang dengan memperpanjang pesan komunikasi untuk merespon krisis
kontrak 120 karyawan sampai Desember, dengan melibatkan pemerintahan (melalui
lalu melakukan komunikasi dan sosialisasi program revitalisasi) dan komunitas
terhadap paguyuban dan internal terkait kebudayaan serta petinggi FOKSRI sehingga
informasi krisis. Saat krisis terjadi respon melahirkan pesan seni dan budaya
dilakukan dengan memberikan treatment (Narasumber 1, 8 Agustus 2018)
terlebih dahulu terhadap internal
(Narasumber 2, 11 Agustus 2018)
Melaksanakan kegiatan kebudayaan dengan
Kegiatan besar telah selesai dilakukan, menyampaikan nilai seni dan budaya dalam
tetapi kegiatan rutin kebudayaan terus kegiatannya, yaitu perayaan 108 tahun
dijalankan dengan mendayagunakan Wayang Orang “Langkahmu Lakuku –
Gedung Wayang Orang, Joglo, dan SPIRIT OF HISTORY” dan perayaan 1 tahu
Museum Radya Pustaka serta Museum Museum Keris LUHURING PUSAKA
Keris (Narasumber 1, 8 Agustus 2018) MEKARING BUDAYA (Narasumber 1, 8
Agustus 2018)

Diagram 3.2 Tahapan Respon terhadap Krisis (Perencanaan dan Eksekusi Kegiatan)

73
2. Analisis Hasil Temuan Data

Penelitian ini mengambil topik secara umum yaitu manajemen krisis

yang secara spesifik mengulas strategi pesan dalam manajemen krisis penutupan

Taman Hiburan Rakyat (THR) dalam Taman Sriwedari Solo. Penelitian ini

memiliki tiga tujuan utama, yaitu tujuan pertama adalah untuk mendeskripsikan

keadaan krisis yang menyerang Taman Sriwedari Surakarta terkait penutupan THR

Sriwedari. Kedua, mendeskripsikan proses manajemen krisis yang dijalankan oleh

manajemen Taman Sriwedari Surakarta. Dan ketiga, mendeskripsikan strategi

pesan yang digunakan dalam manajemen krisis oleh manajemen Taman Sriwedari

Surakarta untuk merespon keadaan krisis.

Untuk menjelaskan tujuan tersebut, secara lebih detail penjelasan dalam

penelitian ini akan memiliki alur yang rinci yaitu dimulai menjelaskan mengenai

keadaan krisis penutupan THR tersebut karena kasus itu lah yang menjadi

permulaan dari penelitian ini. Kedua, penjelasan akan beranjak pada manajemen

krisis yang mengulas bagaimana respon manajemen terhadap krisis tersebut dan

rangkaian perencanaan hingga eksekusi kegiatannya tersebut. Ketiga, secara

spesifik dalam manajemen krisis, strategi produksi pesan akan diidentifikasi mulai

dari proses pembuatan pesan sampai kepada penyampaian pesan terhadap publik

melalui program manajemen krisis yang dijalankan.

2.1 Krisis

Krisis dalam penelitian ini merupakan studi kasus yang digunakan

sebagai dasar dari lahirnya penelitian ini, karena melalui penutupan Taman Hiburan

Rakyat (THR) Sriwedari, peneliti dapat menganalisis upaya strategi pesan dalam

manajemen krisis tersebut. Krisis ini sendiri pun dipahami keberadaannya oleh

74
manajemen Taman Sriwedari sebagai pihak yang menjadi kunci dalam pengelolaan

tempat ini. Penuturannya mengenai krisis memang tidak spesifik sesuai dengan

konsep yang peneliti gunakan mengenai krisis dengan mengacu pada pemaparan

kerangka teori. Tetapi, kata kunci yang diucapkan ketika menjelaskan mengenai

krisis tersebut dapat membuktikan adanya konsep krisis yang terjadi dalam Taman

Sriwedari Solo.

Berdasarkan temuan data, Manajemen Taman Sriwedari mampu

mengidentifikasi suatu keadaan krisis dengan referensi perubahan, yang

mengandung arti bahwa dari sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Krisis juga

dimaknai sebagai suatu kejadian yang berbahaya, dan apabila dipahami konteksnya

mengandung konotasi negatif. Pemahaman manajemen Taman Sriwedari mengenai

krisis dapat dipahami dengan adanya perubahan dan konotasi negatif (Wawancara

Narasumber 1 2018). Hal ini sesuai dengan definisi yang dimiliki oleh Coombs dan

Holladay (2012, hal. 14), bahwa krisis adalah suatu ketidaknormalan dari

konsekuensi negatif yang mengganggu operasi sehari-hari sebuah organisasi.

Keadaan krisis secara teoritis dipahami sebagai sesuatu yang mengganggu alur

normal organisasi, sehingga ketika terjadi sesuatu yang menyebabkan perubahan

dalam tubuh organisasi, yang dalam konteks ini adalah hilang dan bergantinya salah

satu asset pariwisata dalam Taman Sriwedari, maka keadaan krisis sudah terjadi.

Dinas Pariwisata sebagai pihak yang bersinergi langsung dengan

Manajemen Taman Sriwedari yang dalam penelitian berperan sebagai Narasumber

2, juga turut menuturkan keadaan krisis ini. Dalam hasil temuan data, krisis juga

dipahami sebagai keadaan yang harus segera ditindak dan dihadapi dengan

perencanaan yang matang (Wawancara Narasumber 2, 2018). Kata kunci yang sama

75
juga dipakai dalam penjelasannya mengenai krisis, yaitu adanya sesuatu yang

berubah, dengan tambahan pemahaman seperti adanya tindakan. Hal ini serupa

dengan pemahaman yang dipaparkan oleh Heath dan Vasquez (2004, hal. 484) yang

menjelaskan bahwa organisasi sebaiknya berhati-hati untuk menghadapi situasi

krisis, karena hal ini akan menjadi konsumsi public dengan eksploitasi berbagai

fakta yang sedang terjadi.

Keserupaan juga diungkapkan oleh Narasumber 3 yaitu Dinas

Kebudayaan yang turut menjelaskan bahwa krisis menyebabkan suatu tempat

menjadi berbeda dan bersinggungan dengan nilai-nilai organisasi (Wawancara

Narasumber 3, 2018). Dalam hal ini, senada dengan kerangka krisis Banks (2010,

hal. 2-3) yang menjelaskan bahwa krisis selalu menganggu transaksi normal sebuah

organisasi, yang menybebakan perubahan emosi dan pemikiran nenjadi tidak

seutuhnya berfungsi. Pernyataan ketiga narasumber tersebut dapat diidentifikasi

dengan tiga kata kunci yang saling melengkapi yaitu adanya perubahan, konotasi

negatif, dan keharusan adanya tindakan atau perencanaan untuk menghadapi krisis

tersebut.

Taman Sriwedari merupakan ruang publik yang terletak di jantung Kota

Solo dan esensi yang dikembangkan di tempat ini adalah pusat seni dan budaya di

Kota Solo. Pernyataan ini dilanturkan oleh Manajemen Taman Sriwedari yang

menyebutkan bahwa Sriwedari adalah kazanah seni dan budaya yang perlu

dilestarikan (Wawancara Narasumber 1, 2018). Ketika berbicara mengenai krisis,

maka tendensinya adalah ke arah negatif bagi organisasi dan menyebabkan suatu

perubahan baik nilai-nilai ataupun fisik organisasi tersebut. Dalam penelitian ini,

Taman Sriwedari memiliki citra sebagai pusat seni dan budaya yang sudah dibentuk

76
sampai sekarang ini dan melekat sudah melekat di benak masyarakat Solo (publik

organisasi). Ketika krisis menyerang, maka kejadian yang dapat terjadi adalah

menurunnya reputasi perusahaan dan menyerang keberlangsungan organisasi yang

sudah berjalan baik sebelum hal ini terjadi (Coombs dan Holladay, 2012, hal. 20-

21).

Taman Hiburan Rakyat (THR) sendiri sebagai bagian dari Taman

Sriwedari merupakan aset hiburan yang dimiliki oleh tempat ini, yang walaupun

memiliki perbedaan fungsi tetapi melengkapi kegaitan dalam Taman Sriwedari.

Taman Sriwedari sendiri sudah dipaparkan di atas merupakan pusat seni dan

budaya, sedangkan keberadaan THR adalah kebijakan dari Pemerintah Kota periode

30 tahun yang lalu untuk menjadi fasilitas hiburan dalam Taman Sriwedari

(Wawancara Narasumber 1, 2018). Peneliti menganalisis bahwa keberadaan THR

dalam Taman Sriwedari tidak sejalan dengan esensi yang sudah dibentuk, tetapi

walaupun begitu eksistensinya dalam taman ini sangat berpengaruh terhadap

kegiatan yang dilakukan dalam tempat ini. Konsep yang dipaparkan oleh Coombs

(dalam Kriyantono, 2012 hal. 192) bahwa kondisi krisis dapat mengancam reputasi

karena berpotensi memunculkan persepsi negatif pada diri publik terhadap

perusahaan. Dalam konteks ini, salah satu nilai dalam reputasi organisasi yang

berubah adalah hilangnya unsur hiburan dalam Taman Sriwedari.

Identifikasi terhadap krisis dengan mengaplikasikan model empat

tahapan krisis yang digagas oleh Fink (dalam Nejati, Nejati, dan Shafaei, 2008, hal.

531-532) diawali dengan adnaya peringatan (warning stage) sampai pada upaya

penyelesaian krisis yaitu manajemen krisis itu sendiri. Isu krisis yang dialam oleh

Taman Sriwedari sendiri dimulai dengan isu yang mengawali terlebih dahulu yaitu

77
permasalahan rebutan tanah antara ahli waris KRMT Wirjodiningrat dengan

Pemerintah Kota Solo (Wawancara Narasumber 1, 2018). Sengketa tanah tersebut

berakhir pada tahun 2016 lalu dengan kemenangan di pihak Pemerintah Kota Solo

dengan memegang bukti sertifikat tanah, lalu isu berkembang lagi setelah di akhir

tahun 2017 sampai awal tahun 2018 pemerintah menaikkan sewa lahan di THR yang

menyebabkan investor THR undur untuk memperpanjang kontraknya (Wawancara

Narasumber 3, 2018). Tahap awal berkembangnya isu semenjak 2016 tersebut dapat

diidentifikasi sebagai tahap prodromal yaitu merupakan warning stage dengan

indikasi muncul gejala-gejala krisis (Fink, 1986, dalam Nejati, Nejati, dan Shafaei,

2008, hal. 532). Dalam temuan data, tahap prodromal ditemukan bermula ketika isu

sengketa tanah sampai pada penaikkan sewa lahan THR tersebut yang berujung

pada undurnya pengelola THR untuk memperpanjang kontraknya.

Kasus penutupan THR Sriwedari kemudian berlanjut pada babak baru

yaitu saat keputusan pengelola THR dan manajemen Taman Sriwedari untuk

menutup THR Sriwedari sudah dipastikan. Taman Hiburan Rakyat sebagai asset

dalam Taman Sriwedari tersebut akhirnya ditutup pada 4 Desember 2017 dan segala

wahana serta fasilitas THR sudah harus dikosongkan sampai akhir Desember lalu

(Wawancara Narasumber 1, 2018). Krisis sebenarnya sudah hampir menemui titik

terang dimana pemerintah menawarkan lahan baru untuk THR agar dapat tetap

beroperasi yaitu dengan memindahkan lokasi ke Jurug, tetapi sewa lahannya yang

masih terlalu tinggi dan potensi yang kurang menyebabkan harapan untuk mencari

solusi menjadi hilang (Wawancara Narasumber 3, 2018). Analisis peneliti terhadap

proses awal krisis ini adalah sebenarnya terdapat upaya yang cepat dan tanggap dari

pihak manajemen Taman Sriwedari dan pengelola THR untuk mengatasi gejala

78
krisis tidak diperpanjangnya kontrak dengan memindahkan ke lokasi yang baru.

Tetapi upaya pra-krisis ini tidak menemui solusi yang baik sehingga menyebabkan

krisis benar-benar terjadi dan memasuki tahap akut.

Tahap ketika keputusan final untuk menutup THR Sriwedari adalah

ketika krisis benar-benar terjadi dan menyebabkan pengaruh yang serius bahkan

kemudian merambah menuju aspek-aspek yang lain (Fink, 2012, hal. 237). Krisis

yang sudah terjadi tersebut menyebabkan secara internal berpengaruh pada

keberlangsungan hidup pubik internalnya yaitu paguyuban PKL dan paguyuban SIP

Taman Sriwedari yang menyambung hidupnya dengan menjajakan barang untuk

dijual. Menurut penuturan Manajemen Taman Sriwedari, keberadaan THR menjadi

sumber kehidupan bagi PKL dan SIP Taman Sriwedari, sehingga semakin

menghidupkan suasana disana (Wawancara Narasumber 1, 2018). Tahapan akut

menyebabkan akumulasi dampak yang serius sehingga krisis seakan “erupsi”

sehingga manajemen organisasi menjadi kurang efektif saat itu (Fink, 2012, hal.

238). Dalam tahapan ini, manajemen Taman Sriwedari mencapai proses tersebut dan

berada di puncak krisis dengan ditutupnya THR Sriwedari, isu yang menyebar di

berbagai media, dan disertai dengan terkenanya dampak kepada para pedagang PKL

dan SIP yang harus berpindah lokasi.

Setelah berbagai guncangan yang menyerang Taman Sriwedari yang

menyebabkan gesekan terhadap reputasinya dan sekaligus merugikan publik internal

akibat penutupan THR Sriwedari tersebut, proses krisis mulai disadari penuh oleh

organisasi dan mulai melakukan Analisa yang mendalam terhadapnya.

Ketidakjelasan bekas lahan THR tersebut sedikit terjawab di awal tahun 2018

dengan adanya upaya untuk mengelola bekas lahan tersebut menjadi Masjid Taman

79
Sriwedari Surakarta (MTTS) yang bekerjasama dengan program Pemerintah Kota

Solo (Wawancara Narasumber 1, 8 Agustus 2018). Pada tahapan ini, Taman

Sriwedari mencapai tahap kronik yang menunjukkan suatu fase bahwa dampak-

dampak dari krisis menjadi semacam momentum untuk menyadari krisis dan mulai

melakukan sesuatu terhadapnya (Coombs dan Holladay, 2012, hal. 23). Pihak

manajemen Taman Sriwedari dengan lugas menjawab krisis ini akan dibawa menuju

revitalisasi keseluruhan Taman Sriwedari, yang notabene sudah disadari penuh

dengan terpaksa ditutupnya THR dan membuka diri kepada publik yang dimulai

dengan berbagai upaya komunikasi baik kepada internal (seluruh paguyuban Taman

Sriwedari) maupun eksternal (media, pemerintah Kota Solo, dan komunitas).

Fase krisis berujung pada tahap resolusi yang identik dengan akhir dari

krisis dan sebagai bentuk konklusi dari rangkaian krisis yang panjang tersebut.

Dalam temuan data, fase ini ditemukan ketika manajemen Taman Sriwedari

melakukan berbagai upaya komunikasi dan forum terbuka yang menunjukkan

keputusannya untuk menjalankan program pemerintah untuk revitalisasi

keseluruhan Taman Sriwedari sehingga paguyuban-paguyuban yang ada dan

masyarakat memahami dan menyetujui keputusan tersebut. Pro dan kontra terhadap

keputusan ini sebelumnya bergaung cukup besar, tetapi setelah berbagai upaya

komunikasi dan perencanaan kegiatan kebudayaan di Taman Sriwedari, masyarakat

akhirnya dapat menerima dan sekarang mulai berjalan kembali dengan berbagai

penataan baru (Wawancara Narasumber 1, 2018). Dalam tahapan ini, proses yang

dijalani oleh Taman Sriwedari memasuki tahap resolusi yang ditandai dengan

keinginan organisasi untuk meninggalkan fase krisis dan beraktivitas kembali secara

80
normal dengan memperbaiki kepercayaan dari publik sehingga kegiatan normal

berjalan kembali (Banks, 2010, hal. 8).

Tabel 3.1
Identifikasi Krisis menggunakan Model Empat Tahapan Krisis Fink terkait
Kasus Penutupan THR Sriwedari
Model Empat Tahapan Krisis Tahapan Krisis Penutupan THR
Fink Sriwedari

TAHAP PRODROMAL Isu berkembang dimulai dari sengketa


tanah yang berujung pada
dimenangkannya Taman Sriwedari oleh
Pemerintah Kota Solo. Lalu berujung
pada dinaikkannya sewa lahan THR
Sriwedari dan keberatan pengelola THR
dengan tingginya harga sewa dan pajak.

TAHAP AKUT Krisis mulai menyerang Taman Sriwedari


dengan ditutupnya THR untuk selamanya
pada 4 Desember 2017 yang
menyebabkan ancaman terhadap reputasi
organisasi, terancamnya keberadaan
publik internal (paguyuban PKL dan SIP
Taman Sriwedari), dan berita krisis yang
berkembang luas.

TAHAP KRONIK Taman Sriwedari mulai menyadari


keadaan krisis dan melakukan analisa
terhadapnya, keputusan manajemen
untuk menjalankan program pemerintah
yaitu revitalisasi Taman Sriwedari

81
dengan berbagai upaya komunikasi
dilakukan.

TAHAP RESOLUSI Krisis menemukan titik terang yang mana


dampak-dampak mulai berkurang,
terlihat dari seluruh paguyuban dan
masyarakat mau menerima dan
memahami rencana manajemen Taman
Sriwedari dan dengan mengadakan
berbagai kegiatan sehingga kegiatan
berjalan kembali secara normal.

Sumber: Analisa Peneliti terhadap Kasus Penutupan THR Sriwedari dengan Menggunakan

Model Empat Tahapan Krisis.

2.2 Manajemen Krisis

Krisis yang terjadi di tubuh organisasi Taman Sriwedari identik dengan

kejadian tidak rutin atau tidak biasa dalam fungsional organisasi dan menciptakan

ketidakpastian serta ancaman bagi keberlangsungan organisasi, hal ini sesuai dengan

pemaparan Coombs dan Holladay (2012, hal. 20). Tendensi negatif akibat krisis

harus segera ditanggapi dengan benar dan efektif yaitu melalui manajemen krisis.

Dalam temuan data, manajemen Taman Sriwedari juga melakukan upaya

manajemen krisis walaupun tidak secara terminologi disebutkan dalam hasil

wawancara. Upayanya melakukan manajemen krisis tercermin dalam respon ketika

krisis mulai terjadi, perencanaan untuk mengatasi krisis, dan eksekusi kegiatan

untuk mengembalikan keadaan seperti semula. Hal ini serupa dengan kerangka

berfikir Smith (1990, dalam Coombs dan Holladay, 2012, hal. 22-23) mengenai tiga

82
tahap manajemen krisis yaitu crisis of management, operational crisis, dan crisis of

legitimation.

Isu yang mengikuti akan ditutupnya THR Sriwedari sudah mulai

digaungkan ketika rebutan tanah mencapai puncaknya pada tahun 2016 dan

dimenangkan oleh Pemerintah Kota Solo. Berikutnya, karena sudah dipegang secara

penuh seluruh lahan Sriwedari, pemerintah menaikkan sewa lahan untuk THR

Sriwedari karena memang kontraknya akan sudah habis pada awal 2017

(Wawancara Narausmber 1, 2018). Tahap crisis of management disebut sebagai pra-

krisis yang diidentifikasi dengan tindakan deteksi gejala krisis, pencegahan, dan

persiapan (Coombs dan Holladay, 2012, hal. 22). Temuan data menunjukkan

manajemen sudah mendeteksi akan terjadinya krisis semenjak 2016 lalu ketika

kasus sengketa tanah memuncak dan dimenangkan oleh Pemerintah Kota Solo, hal

ini pun kemudian dibarengi dengan keputusan untuk menaikkan sewa lahan yang

kontrak Taman Sriwedari sudah seharusnya berakhir awal tahun 2017 lalu.

Pencegahan dilakukan dengan upaya komunikasi dan diskusi untuk memperpanjang

kontrak sampai Desember untuk melakukan berbagai persiapan dan tindakan bagi

orang-orang yang menggantungkan hidupnya di THR Sriwedari, termasuk para PKL

dan SIP (Wawancara Narasumber 1, 2018).

Karyawan tetap dipertahankan untuk bekerja yang semuanya berjumlah

120 karyawan sampai Desember walaupun keadaan THR sudah berkurang

fungsional dan operasionalnya sepanjang 2017 lalu (Wawancara Narasumber 1).

Sosialisasi dan forum terbuka juga beberapa kali diselenggarakan terkait semakin

membesarnya isu akan ditutup THR pada akhir tahun 2017, terutama untuk

membahas dengan paguyuban sebagai publik internal Taman Sriwedari mengenai

83
perencanaan penataan Taman Sriwedari tersebut. Analisa peneliti terhadap proses

ini adalah ketika isu sudah mulai berkembang dan terdapat kebijakan dari

pemerintah serta pengelola THR yang semakin menguatkan isu tersebut, manajemen

Taman Sriwedari bekerjasama dengan pengelola THR berupaya untuk menangani

hal tersebut. Walaupun dalam proses ini isu belum membesar, atau dalam tahap

pertama yaitu crisis management dengan indikasi krisis masih dalam proses

“mengeram” (Coombs dan Holladay, 2012, hal. 22), sudah terdapat tindakan awal

untuk menghadapi krisis tersebut.

Isu telah semakin membesar dan menimbulkan pertanyaan di benak

publik dan media pada pertengahan 2017 lalu, menyebabakn pihak manajemen

Taman Sriwedari mengeluarkan keputusan pada bulan Oktober 2017 untuk secara

resmi akan menutup THR pada 4 Desember 2017 (Wwancara Narasumber 1, 2018).

Manajemen sudah menyadari akan peristiwa ditutupnya THR tersebut akan

menggegerkan publik Solo dan media sehingga diperlukan respon yang tepat.

Dalam temuan data, menanggapi isu bahwa sewa lahan yang tinggi dan tidak

diperpanjangnya lagi kontrak, membuat karyawan dan paguyuban dalam Taman

Sriwedari terguncang keadaannya, hal ini membuat manajemen Taman Sriwedari

dan pengelola THR memberikan treatment terlebih dahulu terhadap publik

internalnya (Wawancara Narasumber 1, 2018).

Tahap manajemen krisis yang kedua ini diidentifikasikan dengan adanya

peristiwa yang menyebabkan krisis dan respon dari organisasi terhadap krisis

tersebut (Coombs dan Holladay, 20120, hal. 23). Manajemen krisis sebagai bentuk

respon terhadap suatu keadaan yang mengancam keberadaan organisasi dilakukan

oleh Taman Sriwedari menanggapi ditutupnya THR Sriwedari tersebut. Dalam

84
temuan data, manajemen menyebutkan bahwa prioritas dalam upaya manajemen

krisis ini adalah paguyuban-paguyuban yang berada di bawah naungan FOKSRI

tersebut, terutama PKL dan SIP yang terkena dampak langsung, serta 120 karyawan

THR (Wawancara Narasumber 1, 2018). Upaya sosialisasi dan forum terbuka terus

dilakukan secara rutin dengan paguyuban-paguyuban Taman Sriwedari melalui

Pekan Silaturahmi Lintas Paguyuban Sriwedari untuk memberikan sosialisasi dan

komunikasi secara intens. Selain itu, pengelola THR juga memberikan pesangon dan

mempertahankan gaji karyawannya sampai Desember dalam kondisi THR yang

sudah tidak stabil keadaannya.

Manajemen Taman Sriwedari juga mengelola media yang akan

melakukan wawancara terkait kasus tersebut dengan menunjuk spokesperson yang

kredibel yaitu Bapak Kusumo selaku ketua FOKSRI (Forum Komunikasi Sriwedari)

dan Direktur Utama THR Sriwedari yaitu Pak Sinyo Sujarkasi (Wawancara

Narasumber 1, 2018). Pihak manajemen juga sudah mulai merancang berbagai

kegiatan kebudayaan untuk menggiatkan kembali Taman Sriwedari seperti pada

normalnya melalui seperti perayaan 108 tahun Wayang Orang Sriweadri dan

pengaktifan kegiatan di Museum Keris dan Museum Radyapustaka. Analisa peneliti

melihat kebijakan manajemen krisis ini merupakan suatu langkah yang sangat

proaktif dari manajemen dalam memberikan respon terhadap krisis itu sendiri

(Coombs dan Holladay, 2012, hal. 26). Organisasi telah mampu mengkaji persitiwa

krisis tersebut dan menggunakannya sebagai titik lompatan untuk menggiatkan

banyak kegiatan kebudayaan, dengan tanpa melupakan treatment terhadap publik

internal dari Taman Sriwedari tersebut.

85
Proses manajemen krisis berlanjut pada pasca krisis yang ditandai

dengan operasional organisasi yang mulai kembali menuju normal dan melakukan

kegiatan follow-up terhadap pihak-pihak yang terkena pengaruh krisis ini (Coombs

dan Holladay, 2012, hal. 22). Manajemen Taman Sriwedari dalam tahapan ini mulai

mengikuti proses revitalisasi yang dilakukan Pemerintah Kota Solo setelah

penutupan THR dengan terus menyalurkan aspirasi dari paguyuban yang ada

terhadap pemerintah. Respon komunikatif terbentuk dalam proses forum terbuka

yang diadakan oleh manajemen Taman Sriwedari dengan mengundang seluruh

paguyuban dan masyarakat dalam acara Sarasehan, dalam hal ini untuk memberikan

perhatian lebih terhadap publik internal (Wawancara Narasumber 1, 2018). Kegiatan

ini dibarengi dengan berbagai acara bernuansa budaya yang dilaksanakan secara

berkala dan puncaknya pada perayaan 108 tahun Wayang Orang Sriwedari dengan

tajuk Langkahmu Lakuku dan perayaan 1 tahun Museum Keris Nusantara dengan

tajuk Luhuring Pusaka Mekaring Budaya (Wawancara Narasumber 1, 2018).

Seiring dengan berjalannya kegiatan tersebut, keadaan Taman Sriwedari

sudah berangsur-ansgur kembali normal dengan berbagai macam kegiatan

kebudayaan yang rutin dilakukan. Walaupun penataan kembali paguyuban PKL dan

SIP masih terus dioptimalkan, tetapi sudah ada kejelasan mengenai bagaimana

rencana ke depannya terhadap publik tersebut, yaitu akan dipusatkan dalam satu

area yang berkonsep sebagai rest area. Upaya manajemen krisis ini juga dilakukan

dengan menggandeng pihak-pihak lain yang memiliki pengaruh dalam

keberlangsungan. Dalam temuan data, manajemen Taman Sriwedari terus

mengupayakan komunikasi intens dengan pemerintah terutama Dinas Pariwisata

terkait upaya revitalisais Taman Sriwedari Solo dan bekerjasama dengan komunitas-

86
komunitas seperti Komunitas Seni Budaya Surakarta dan Soeracarta Heritage

Society (SHS) serta komunitas musik pengisi panggung THR dahulu. Fase Crisis of

legitimaztion juga identik dengan upaya komunikasi dengan media dan pemerintah

sehingga menjadi tertarik dan bekerjasam dengan stakeholder sehingga dapat belajar

dari krisis (Coombs, 2012, hal. 22).

Peneliti menemukan bahwa proses manajemen krisis tidak secara

langsung disebutkan sesuai dengan teori yang ada dalam temuan data, tetapi

langkah-langkah dan proses panjang yang dilakukan Taman Sriwedari mulai dari

munculnya krisis sampai manajemennya merupakan kegiatan mengatasi krisis

ditutupnya THR Sriwedari. Bahkan menurut temuan data, perjalanan Taman

Sriwedari masih panjang dalma upaya mengembalikan kembali kegiatan agar

menjadi lebih baik lagi (Wawancara Narasumber 1, 2018). Berikut adalah analisa

peneliti terhadap temuan data mengenai kronologi respon terhadap krisis

menggunakan model manajemen krisis yang dikembangkan oleh Coombs dan

Holladay (2012, hal. 24-25):

Tabel 3.2

Model Manajemen Krisis yang dilakukan Manajemen Taman Sriwedari Solo

Tahap Krisis Manajemen Krisis Komunikasi Krisis

Tahap Prodromal Manajemen menyadari Pengelola THR dan


akan semakin besarnya manajemen Taman
isu mengenai Sriwedari melakukan
sengeketa tanah, dan banyak komunikasi
berkembang menjadi dengan pemerintah lalu
kebijakan pemerintah sosialisasi dengan
untuk menaikkan sewa paguyuban Taman

87
lahan yang Sriwedari. Dalam hal
menyebabkan ini untuk memberikan
pengelola THR informasi mengenai
Sriwedari tidak bisa kemungkinan krisis
memperpanjang yang terjadi yaitu
kontraknya lagi. ditutupnya THR
Sriwedari
Tahap Akut Krisis sudah terjadi Manajemen Taman
dengan keputusan Sriwedari menunjuk
pengelola THR yang spokesperson untuk
final untuk menutup memberikan
THR Sriwedari pada keterangan yang
tanggal 4 Desember kredibel terkait
2017. Manajemen penutupan THR
mulai melakukan Sriwedari dan mulai
identifikasi terhadap melakukan forum
kebijakan pemerintah terbuka dengan
selanjutnya setelah berbagai kalangan
krisis, dan terkait penutupan ini
memberikan treatment serta rencana penataan
secara cepat terhadap Taman Sriwedari.
publik internal seperti
karyawan dan
paguyuban PKL dan
SIP yang terkena
dampak penutupan
tersebut.
Tahap Kronik Manajaemen Taman Kegiatan kebudayaan
Sriwedari menyadari dilaksanakan dengan
dengan penuh krisis perencanaan yang tepat
tersebut dan kemudian dan matang dengan
bersikap proaktif mendayagunakan

88
dengan menanggapi semua asset milik
rencana program Taman Sriwedari dan
pemerintah terkait mengupayakan
revitalisasi Taman keadaan kembali
Sriwedari termasuk normal dengan
pembangunan Masjid menjalankan program
Taman Sriwedari pemerintah revitalisasi
Surakarta di bekas bahkan sampai rencana
lahan THR. Dalam jangka panjangnya.
fase ini juga sudah
dilakukan banyak
kegiatan seperti
Saresehan, perayaan
108 tahun Wayang
Orang, dan perayaan 1
tahun Museum Keris
Nusantara serta
menggaet komunitas
dan anak muda dalam
berbagai programnya.
Tahap Resolusi Dalam fase ini, Upaya memulihkan
manajemen Taman reputasi dengan
Sriwedari sudah menggiatkan kegiatan
melakukan kegiatan kebudayaan agar
kebudayaan tersebut Taman Sriwedari tidak
dan berbagai kehilangan esensinya
sosialisasi terkait sebagai pusat seni dan
penutupan THR serta budaya, dalam hal ini
pembangunan ulang reputasi perusahaan
Taman Sriwedari kembali seperti
melalui forum terbuka. sediakala
Paguyuban-paguyuban melaluiekgaitan yang

89
yang berada di bawah sudah dilaksanakan.
manajemen Taman
Sriwedari menyetujui
dan mendukung
keputusan tersebut
pada akhirnua, serta
dengan menggandeng
terus pemerintah dan
berbagai komunitas
yang ada.
Sumber: Analisa peneliti terhadap rangkaian manajemen krisis dengan menggabungkan

tahapan krisis dan model manajemen krisis

2.3 Strategi Pesan

Dalam penelitian ini yang menjadi topik utama adalah mengenai strategi

produksi pesan yang dilakukan dalam upaya manajemen krisis Taman Sriwedari

Solo menghadapi krisis penutupan THR Sriwedari. Coombs (2010, dalam

Kriyantono, 2017, hal. 180) memaparkan bahwa strategi pesan bukan hanya sebagai

aktivitas komunikasi yang digunakan untuk mempertahankan reputasi organisasi

dari segala serangan, tetapi juga mencakup semua bentuk usaha merespon krisis

yang didesain menjaga organisasi bahkan setelah krisis. Pesan komunikasi

dirancang sedemikian rupa agar dapat mencapai tujuan dari segala usaha manajemen

krisis yang dilakukan organisasi. Dalam temuan data, manajemen Taman Sriwedari

menyebut istilah pesan sebagai komunikasi, yang menurutnya komunikasi adalah

hal yang penting karena membuat semuanya menjadi jelas dan tidak ada yang

bingung (Wawancara Narasumber 1, 2018). Ketika komunikasi yang merupakan

proses penyampaian pesan tersebut dianggap penting dalam konteks manajemen

90
krisis ini, maka tujuan dilakukan aktivitas ini oleh manajemen Taman Sriwedari

adalah untuk mengurangi ketidakapastian informasi dan mencapai satu suara yang

sama.

Konsep utama dan strategi pesan sebagaimana diungkapkan oleh

O’Keefe (1977, dalam Morissan, 2015, hal. 161) adalah model pilihan strategi dan

desain pesan, yang keduanya saling bersinergi untuk menghasilkan suatu strategi

pesan yang efektif. Manajemen Taman Sriwedari dalam berbagai upaya manajemen

krisisnya selalu melibatkan pihak-pihak lain yang memiliki kredibilitas agar menjadi

efektif. Temuan data menunjukkan bahwa keterlibatan petinggi FOKSRI,

pemerintah dan publik internal dalam keputusan Taman Sriwedari selalu dilakukan

dalam mendesain pesan dan upaya komunikasinya (Wawancara Narasumber 1,

2018). Dalam pemilihan strategi pesan yang paling relevan untuk mencapai tujuan

komunikasi krisis, manajemen selalu menjunjung tinggi upaya komunikasi, bahkan

dalam pemaparan sebelumnya pun dijelaskan bahwa komunikasi dianggap sebagai

sesuatu yang penting. Hal ini dibarengi dengan berbagai kegaitan forum terbuka

komunikasi seperti Sarasehan dan sosialisasi yang intens dilakukan, setelah itu baru

dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan yang akan dijalankan (Wawancara

Narasumber 1, 2018).

Selanjutnya, model desain pesan yang dirancang sesuai dengan

pemaparan O’Keefe adalah berpusat pada bagaimana komunikator mengolah pesan

tersebut (1977, dalam Morissan, 2015, hal. 161). Dalam konteks ini, pesan yang

diusung dan selalu diunggulkan adlaah nilai-nilai seni dan budaya. Peneliti

menemukan ini dalam hampir setiap topik temuan data yang dilakukan dalam

wawancara, yang secara cerdas manajemen Taman Sriwedari justru menciptakan

91
peluang dari ditutupnya THR Sriwedari tersebut. Dengan ditutupnya THR

Sriwedari, justru nilai-nilai organisasi akan kembali menjadi nilai seni dan budaya

atau dalam temuan data diutamakan nilai budayanya. Karena menurut penuturan

manajemen bahwa berdirinya THR menjadikan Sriwedari seakan-akan profit

oriented dan sedikit demi sedikit menggerus nilai budaya, walaupun keberadaannya

sangat mendukung keberlangsungan kegiatan di Taman Sriwedari (Wawancara

Narasumber 1, 2018). Proses penciptaan pesan dengan mengambil momentum

ditutupnya THR Sriwedari berarti mampu menggunakan keadaan krisis sebagai

peluang untuk menyampaikan pesan-pesan nilai budaya tersebut. Seperti pada

pemaparan Morissan (2015, hal. 229) bahwa strategi mengatasi krisis berfokus pada

pilihan-pilihan pesan karena merupakan entry-point untuk menciptakan persepsi.

Strategi pesan tidak diungkapkan secara gamblang dalam proses

wawancara tetapi bagaimana cara dan upaya manajemen Taman Sriwedari dalam

melakukan manajemen krisis mengandung strategi pesan yang efektif untuk

merespons krisis. Manajemen Taman Sriwedari dengan cerdas memanfaatkan

momen ditutupnya THR Sriwedari dan sekaligus kebijakan pemerintah untuk

revitalisasi sebagai batu loncatan untuk melakukan delivery pesan nilai budaya yang

direncanakan. Dalam temuan data, manajemen menyebutkan bahwa dengan

mengikuti program pemerintah justru Taman Sriwedari akan ditata ulang dan

kembali menjadi pusat seni dan budaya yang seutuhnya, bukan profit oriented

(Wawancara Narasumber 1, 2018).

Analisa peneliti dalam strategi yang digunakan oleh manajemen Taman

Sriwedari adalah dengan menjalankan program revitalisasi pemerintah untuk

mencapai tujuan mengembalikan nilai budaya di Taman Sriwedari. Jadi, ketika

92
Taman Sriwedari dihujani berbagai opini publik yang mempertanyakan keputusan

untuk menutup THR dan menggantinya dengan pembangunan Masjid Taman

Sriwedari Surakarta, keputusan untuk menjalankan revitalisasi Taman Sriwedari

diberikan kepada publik dengan pesan akan mengembalikan kembali esensi Taman

Sriwedari menjadi sarat akan budaya. Kriyantono menyebutkan bahwa fokus pada

strategi pesan adalah respon atas tuduhan dan kritik terhadap organisasi yang

menjadi pemicu terjaidnya krisis (2017, hal. 187), dalam hal ini strateginya adalah

melawan tuduhan tersebut dengan program yang visioner.

Berikut adalah gambaran diagram sebagai bentuk analisa peneliti

mengenai strategi pesan yang digunakan oleh manajemen Taman Sriwedari:

Program
Revitalisasi
Pemerintah

STRATEGI PESAN:
KRISIS: Pro dan Kontra Taman Sriwedari akan
Penutupan THR terhadap ditata ulang dan
keputusan Taman kembali menjadi pusat
Sriwedari
Sriwedari
seni dan budaya

Pembangunan Masjid
Taman Sriwedari
Surakarta

Diagram 3.3 Perancangan Strategi Pesan Taman Sriwedari

93
Strategi pesan merupakan pintu masuk yang menentukan apakah krisis

dapat diatasi atau membuat semakin buruk (Coombs, 2010, seperti dikutip dalam

Kriyantono, 2017, hal. 187). Dalam hal ini, strategi pesan dipahami sebagai respon

yang sangat dibutuhkan untuk menanggapi ketidakpastian, kekurangan, ataupun

kelebihan informasi yang memengaruhi persepsi publik yang berbeda. Untuk

merespon publik yang berbeda dengan kebutuhan informasinya masing-masing,

diperlukan pesan komunikasi yang berbeda sehingga upaya untuk memulihkan citra

pun semakin efektif. Hal ini terlihat dalam strategi dan kegiatan yang dilakukan

oleh manajemen Taman Sriwedari dalam menanggapi kasus penutupan THR

tersebut, yaitu dengan mengadakan sosialisasi, upaya komunikasi, dan forum

diskusi dengan publik internal seperti paguyuban-paguyuban di bawah naungan

FOKSRI dengan mediasi dari Dinas Pariwisata dan Dinas Kebudayaan

(Wawancara Narasumber 1, 2018).

Kegiatan komunikasi tersebut bertujuan untuk membagi informasi

mengenai krisis dan maksud dari penutupan THR tersebut, yang dibarengi juga

dengan rencana revitalisasi secara keseluruhan Taman Sriwedari, bukan saja bekas

lahan THR melainkan juga sampai Segaran, Joglo, dan pemusatan PKL-SIP

(Wawancara Narasumber 1, 2018). Mengacu pada temuan data, kegiatan

komunikasi dilakukan ketika krisis sedang memuncak dan memasuki tahapan akut,

yang seperti dalam temuan data publik internal menjadi prioritas dalam manajemen

krisis. Hal ini terlihat dalam respon yang dilakukan oleh manajemen ketika terjadi

krisis bahwa prioritas utamanya adalah publik internal, yang diberikan treatment

94
dengan melakukan upaya komunikasi seperti sosialisasi dan sarasehan atau forum

terbuka lintas paguyuban (Wawancara Narasumber 1, 2018).

Pesan komunikasi yang ditujukan terhadap publik internal yang menurut

analisa peneliti terhadap hasil wawancara dengan manajemen adalah paguyuban-

paguyuban di bawah naungan FOKSRI, lebih bertujuan untuk memberikan

gambaran secara keseluruhan mengenai rencana secara jangka panjang Taman

Sriwedari. Hal ini terlihat dalam upaya komunikasi dalam kegiatan Sarasehan yang

bertajuk “Sriwedari akan Dibawa Kemana”. Dalam kegiatan tersebut (peneliti juga

hadir dan terlibat di dalamnya) membahas mengenai mulai dari pembangunan

Masjid Taman Sriwedari Solo tersebut dan pembangunannya yang akan lebih

terbuka atau tanpa pagar sehingga menghadirkan public space dengan taman

bacaaan, sampai revitalisasi secara keseluruhan Taman Sriwedari (Wawancara

Narasumber 1, 2018). Revitalisasi tersebut bukan saja pada bekas lahan THR,

melainkan juga rencana pemindahan Joglo, pembangunan segaran, pemindahan

lokasi PKL dan SIP secara terpusat, yang merupakan program jangka panjang dari

pemerintah Kota Solo (Wawancara Narasumber 1, 2018).

Kriyantono (2017) menuturkan bahwa strategi pesan adalah respon atas

tuduhan dan kritik terhadap organisasi yang menjadi pemicu terjadinya krisis (hal.

186). Pemahaman ini mengindikasikan strategi pesan juga bertujuan terhadap

publik yang menyampaikan tuduhan dan kritik atas informasi yang tidak jelas

terkait krisis yang terjadi, sehingga diperlukan respon yang tepat terhadapnya.

Manajemen Taman Sriwedari memberikan semacam treatment yang berbeda atas

ketidakpastian informasi dalam benak publik eksternal yang dalam konteks ini

adalah masyarakat Solo. Kalau terhadap publik internal dilakukan banyak upaya

95
komunikasi, beda hal dengan publik eksternal yang direspon dengan menghadirkan

berbagai program kegiatan yang sarat dengan nilai kebudayaan. Dalam hal ini,

pesan yang dirancang sebagai pesan komunikasi lebih ditujukan terhadap publik

eksternal agar memahami bahwa dengan ditutupnya THR, Taman Sriwedari akan

kembali menjadi pusat seni dan budaya Kota Surakarta (Wawancara Narasumber 1,

2018).

Manajemen Taman Sriwedari menyampaikan pesan yang didesain hanya

berupa “Taman Sriwedari akan ditata ulang” lalu ditambahkan pesan berikutnya

yang dapat langsung menjawab ketidakpastian informasi yaitu “akan kembali

menjadi pusat seni dan budaya”. Peneliti menganalisa bahwa program revitalisasi

jangka panjang yang diberikan terhadap publik internal tidak disampaikan secara

terbuka terhadap publik eksternal karena masih dalam tahap perencanaan yang

masih belum pasti kejelasannya, tetapi hal tersebut pasti akan terjadi. Pesan

komunikasi terhadap publik eksternal lebih berfokus pada pusat seni dan budaya,

dikarenakan publik eksternal menyerang organisasi bahwa Taman Sriwedari tidak

akan sama setelah ditutupnya THR. Hasil temuan data menunjukkan bahwa

manajemen Taman Sriwedari mengadakan berbagai kegiatan kebudayaan seperti

perayaan 108 tahun Wayang Orang beserta petunjukan wayang orang dan perayaan

1 tahun Museum Keris Nusantara yang dibarengi dengan semacam workshop

pembuatan keris dari empu yang terkenal (Wawancara Narasumber 1, 2018).

Kegiatan kebudayaan juga dilanjutkan dalam tahapan manajemen Taman

Sriwedari menggiatkan kembali secara rutin kegiatan di dalamnya walaupun sedang

dalam proses pembangunan masjid tersebut. Kegiatan yang digiatkan kembali

dalam temuan data adalah pendayagunaan Joglo secara rutin, pertunjukan Wayang

96
Orang, kegaitan tari anak-anak, dan mengaktifkan kembali teater (Wawancara

Narasumber 1, 2018). Selain itu, kerjasama dengan pihak luar seperti industri film

Filosofi Kopi 2 sebagai lokasi shooting dan perusahaan waralaba Starbucks terkait

promosi Museum Radya Pustaka dan Museum Keris merupakan hal yang

digaungkan menghadirkan kembali nilai budaya di Taman Sriwedari Solo

(Wawancara Narasumber 1, 2018). Kegiatan kebudayaan yang dilakukan oleh

manajemen dilaksanakan tepatnya ketika krisis memasuki tahapan kronis dan

resolusi, yang termasuk dalam perencanaan pesan komunikasi tersebut sampai pada

eksekusi kegiatan kebudayaan.

Kebutuhan publik yang berbeda terhadap ketidakpastian informasi akibat

krisis telah direspon oleh manajemen Taman Sriwedari dengan pesan yang

komunikasi dan dalam tahapan krisis yang berbeda pula. Publik eksternal dapat

dipetakan yaitu masyarakat Kota Solo, komunitas, dan media luar (Wawancara

Narasumber 1, 2018) adalah target Taman Sriwedari untuk menyampaikan pesan

bahwa Taman Sriwedari akan ditata ulang dan kembali menjadi pusat seni dan

budaya yang seutuhnya. Sedangkan publik internal seperti paguyuban, FOKSRI,

Dinas Pariwisata dan Dinas Kebudayaan menjadi pihak yang mengetahui

keseluruhan revitalisasi Taman Sriwedari. Walaupun begitu tetap pesan komunikasi

utama yang diusung adalah mengenai “Taman Sriwedari akan ditata ulang dan

kembali menjadi pusat seni dan budaya”. Berikut adalah diagram analisa peneliti

atas perencanaan pesan komunikasi:

97
Penyampaian pesan:

Terhadap publik internal: Melalui kegiatan komunikasi


yaitu sosialisasi, forum terbuka,
Taman Sriwedari akan ditata dan Sarasehan Lintas Paguyuban
ulang melalui program
revitalisasi besar pemerintah
dalam lingkup yang lebih besar
dan merupakan program jangka Dilakukan ketika Krisis dalam
panjang Tahap Akut yaitu ketika krisis
penutupan THR terjadi, publik
internal menjadi prioritas
PESAN KOMUNIKASI:

Taman Sriwedari akan


ditata ulang dan kembali Penyampaian pesan:
menjadi pusat seni dan Melalui kegiatan kebudayaan yaitu,
budaya perayaan 108 tahun Wayang Orang
dan perayaan 1 tahun Museum
Terhadap publik eksternal Keris Nusantara, lalu kegiatan rutin
di Joglo, Wayang Orang, Museum
Taman Sriwedari akan ditata Radya Pustaka dan Museum Keris
ulang dan kembali menjadi
pusat seni dan budaya yang
seutuhnya. Dilakukan ketika Krisis mencapai
Tahap Kornis dan Resolusi, yaitu
ketika manajemen mulai
menyadari pemicu terjadinya krisis
sehingga mulai merancang
kegiatan kebudayaan beserta pesan
komunikasinya lalu melakukan
eksekusi kegiatan tersebut dan
maintenance kegiatan rutin
kebudayaan

Diagram 3.4 Analisa Perancangan Pesan Komunikasi terhadap Publik Internal dan Eksternal dalam

tahapan krisis

2.3.1 Pendekatan Apologia

Strategi pesan dalam penelitian ini mengaplikasikan pendekatan apologia

yang mengandung makna sebagai respon organisasi dalam bentuk pertahanan diri

98
dari situasi krisis. Taman Sriwedari sendiri yang harus menghadapi situasi krisis

dengan ditutupnya THR Sriwedari, mampu mengatasi krisis tersebut dengan

strategi pesan yang cerdas. Dalam temuan data, apologia yang dilakukan adalah

bukan bentuk permintaan maaf melainkan bentuk penyangkalan dan penjelasan.

Hal tersebut terlihat dalam penyangkalan manajemen bahwa hilangnya THR akan

mengurangi esensi Taman Sriwedari. Lalu dijelaskan dengan bahwa justru

dengan dibubarkanya THR, maka Taman Sriwedari kembali menjadi pusat seni

dan budaya Kota Solo sesuai dengan program revitalisasi yang akan dilakukan

pemerintah dan menjadi lebih baik lagi (Wawancara Narasumber 1, 2018). Hal

ini senada dengan pernyataan Hearit (2006, hal. 38) bahwa apologia merupakan

bentuk justifikasi dari tindakan organisasi yang berusaha menghadirkan

interpretasi fakta yang ada dan sekaligus memperbaiki reputasi perusahaan yang

terkena dampaknya.

Temuan data menggambarkan bahwa manajemen berusaha

menginterpretasikan fakta mengenai ditutupnya THR dan dibangunnya Masjid

Taman Sriwedari Surakarta beserta revitalisasinya dengan menghadirkan fakta

berupa justifikasi bahwa Taman Sriwedari akan menghadirkan lagi nilai seni dan

budaya (Wawancara Narasumber 1, 2018). Dalam konteks ini, manajemen

berusaha untuk mempertahankan dirinya dari serangan-serangan akibat krisis

yang menyerangnya dengan menghadirkan suatu rencana visioner dalam Taman

Sriwedari terhadap publiknya. Dalam kerangka teori, Ware dan Linkugel (1973,

dalam Morissan, 2015, hal. 178) menyebutkan bahwa apologia adalah retorika

pertahanan diri dalam merespon serangan atas karakter seseorang atau organisasi.

Analisa peneliti adalah pernyataan bahwa Taman Sriwedari akan ditata ulang

99
menjadi pusat seni dan budaya menggambarkan bentuk justifikasi untuk

mempertahankan diri dari serangan publik bahwa ditutupnya THR adalah

pertanda menurunnya reputasi Taman Sriwedari.

Pendekatan apologia dalam merancang strategi pesan yang dilakukan

manajemen Taman Sriwedari dilakukan sebagai sikap organisasi dalam

menghadapi tuduhan dan krisis itu sendiri. Dalam temuan data, manajemen

Taman Sriwedari tidak menyebutkan bahwa keputusan finalnya untuk menutup

THR Sriwedari adalah sesuatu yang salah, melainkan mengalihkan kata-kata

tersebut kepada sesuatu yang lebih menjelaskan maksud dan tujuan ditutupnya

THR dengan program revitalisasinya yang merupakan program jangka panjang

(Wawancara Narasumber 1, 2018). Pesan yang diungkapkan oleh Taman

Sriwedari dalam menanggapi situasi krisis tersebut menunjukkan bahwa pihaknya

berkeinginan untuk mendefinisikan kembali dan mengidentifikasikan diri dengan

sesuatu yang positif di mata publik. Ware dan Linkugel (1973, dalam Kriyantono,

2017, hal. 178) memberikan pemaparan bahwa pendekatan apologia ini didasari

keinginan untuk menyatakan dirinya tidak bersalah, menjelaskan definisi,

menjustifikasi kualitas, dan mencoba menanyakan lagi argument orang lain.

Analisa peneliti terhadap strategi pesan yang diambil oleh manajemen

Taman Sriwedari dengan mengaplikasikan pendekatan apologia, bahwa

sesungguhnya manajemen menyatakan dirinya tidak bersalah yang terlihat dalam

temuan data tidak ada pernyataan permintaan maaf secara gambling. Pesan untuk

mengatasi krisis tersebut ditegaskan dengan berupaya menjelaskan definisi, yang

dalam temuan data disebutkan bahwa manajemen berulang kali mengatakan

kalau pembangunan Masjid Taman Sriwedari Surakarta dan program revitalisasi

100
pemerintah akan menjadikan Taman Sriwedari semakin layak dan menjadi pusat

seni dan budaya yang tinggi di Kota Solo (Wawancara Narasumber 1, 2018). Hal

tersebut mengandung makna bahwa strategi yang manajemen gunakan adalah

bentuk justifikasi apologia untuk mengurangi persepsi negatif terhadap

organisasi.

Peran pesan komunikasi dalam pendekatan apologia merupakan esensi

dari merespon krisis itu sendiri, karena dengan keberadaan pesan itu sendiri

upaya manajemen krisis menjadi lebih efektif. Ray menyebutkan bahwa dalam

strategi apologia, kteika organisasi dalam situasi krisis harus menyampaikan

pesan yang terkontrol, konsisten, koheren, dan kredibel terhadap stakeholdernya

(1999, hal. 48). Dalam temuan data, pesan komunikasi yang diungkapkan

manajemen Taman Sriwedari adalah bahwa tempat tersebut akan menjadi tempat

wisata yang lebih tertata dan menjadi pusat seni dan budaya, yang didukung

dengan blueprint Masjid Taman Sriwedari Surakarta yang bercorak budaya dan

menjadi public space tanpa sekat (Wawancara Narasumber 1, 2018). Hal ini

menjadi senada dengan tujuan dari komunikasi krisis untuk menciptakan satu

pesan kredibel dan efektif. Dalam konteks ini manajemen bertujuan untuk

mengatasi krisis yang telah menimbulkan serangan-serangan terhadapnya, dengan

menciptakan pesan bahwa hilangnya THR sebagai unsur hiburan akan semakin

meningkatkan nilai seni dan budaya Taman Sriwedari.

2.3.2 Pemulihan Citra

Organisasi yang bergelut dalam upaya manajemen krisis untuk

menghadapi situasi krisis yang menyerangnya berkeinginan untuk

mengembalikan keadaan menjadi normal dan memulihkan citra organisasi

101
kembali. Dalam penelitian ini, teori yang digunakan untuk mengkaji keseluruhan

penelitian adalah pemulihan citra yang merupakan teori komunikasi krisis yang

mengacu pada strategi pesan dan apologia dalam pengembangan teorinya

(Kriyantono, 2017, hal. 179). Komunikasi krisis bisa disebut merespon krisis

apabila terintegrasi dalam suatu upaya untuk memperbaiki kerusakan yang

disebabkan krisis dan memperbaiki reputasi, temasuk apologia. Dalam temuan

data, upaya pemulihan citra ini dilakukan dengan memaparkan pesan

komunikasi berupa nilai seni dan budaya yang tercermin dalam salah satu

program manajemen krisisnya yaitu menggiatkan aktivitas bernuansa budaya

seperti perayaan 108 tahun Wayang Orang dan perayaan 1 tahun Museum Keris

Nusantara (Wawancara Narasumber 1, 2018). Kegiatan tersebut membawa unsur

nilai-nilai seni dan budaya yang sudah dirancang sebagai pesan untuk

memulihkan citra organisasi dan mengembalikan keadaan organsiasi menjadi

normal kembali.

Dalam melakukan pemulihan citra, manajemen Taman Sriwedari

merencanakan segala tindakannya secara hati-hati dengan melibatkan berbagai

pihak lainnya seperti pemerintah (Dinas Pariwisata), petinggi FOKSRI, dan

paguyuban lain sebagai publik internalnya (Wawancara Narasumber 1, 2018).

Prioritas pemberian treatment terhadap publik internal merupakan respon awal

yang diberikan ketika terjadi situasi krisis dan kemudian mendesain manajemen

krisis dengan strategi dan pesan yang akan dieksekusi. Teori pemulihan citra

yang diusung oleh Benoit (2014, hal. 3) didefinisikan sebagai upaya persuasi

yang dilaksanakan untuk membentuk ulang perilaku publik, membentuk atau

mengubah opini publik atas tanggungjawab atau indakan dan/ nilai-nilai akibat

102
dari situasi krisis. Pemulihan citra yang dilakukan oleh manajemen Taman

Sriwedari bersinggungan dengan mengaplikasikan pendekatan apologia yaitu

mendefinisikan kembali dan melakukan justifikasi mengurangi serangan melalui

pesan bahwa dengan pembangunan dan revitalisasi akan menguatkan kembali

nilai seni dan budaya.

Melalui berbagai program yang dimulai dari upaya komunikasi

(sosialisasi, forum terbuka, dan pekan silaturahmi) sampai pada ekseksui

program kegiatan kebudayaan, Taman Sriwedari sedang berusaha untuk

memulihkan citranya akibat krisis penutupan THR tersebut. Pemaparan

mengeani pemulihan citra juga berfokus pada apa yang mengancam reputasi

atau citra dan juga publik mana yang menjadi sasaran dan harus dipersuasi

dengan tujuan untuk mempertahankan dan memperbaiki citra positif (Banks,

2010l, hal.18). Manajemen menentukan bahwa yang menjadi sasaran program

pertama kali adalah publik internal (melalui treatment seperti upaya komunikasi,

pemberian pesangon, mempertahankan gaji, dan merelokasi tempat berjualan)

baru setelah itu publik eksternal melalui penggiatan kegiatan kebudayaan

(Wawancara Narasumber 1, 2018). Selain itu, pemicu krisis yang mengancam

reputasi yaitu ditutupnya THR Sriwedari juga sudah diatasi dengan

memproduksi pesan bahwa dengan ditutupnya THR akan menjadikan Taman

Sriwedari kembali menjadi pusat seni dan budaya Kota Solo.

Komunikasi kembali menjadi elemen primer untuk mengatasi ancaman

terhadap reputasi, dalam konteks ini IRT (Image Restoration Theory)

mengutamakan aspek komunikasi ditekankan sebagai bentuk apologi dan

tanggungjawab yang dikonstruksi untuk menghadapi ancaman terhadap reputasi

103
(Benoit, 2008, dalam Coombs dan Holladay, 2012, hal. 55). Dalam temuan data,

komunikasi dianggap sebagai tindakan yang penting untuk mendapatkan

pemahaman secara berimbang antara publik yang satu dengan yang lain

sehingga dapat berbagi segala informasi mengenai krisis dan upaya

mengatasinya (Wawancara Narasumber 1, 2018). Tujuan sentral dari

komunikasi adalah upaya untuk mempertahankan reputasi organisasi,

sebagaimana manajemen Taman Sriwedari juga melakukan upaya tersebut agar

memberikan pemahaman dan pengertian atas ditutupnya THR Sriwedari tersebut

dan rencana revitalisasi Taman Sriwedari.

Dalam perancangan sebuah strategi pesan untuk memulihkan citra

organisasi setelah terjadi krisis, tentu memiliki tujuan berkomunikasi mengenai

citra itu sendiri. Hal ini sesuai dengan asumsi dalam kerangka teori pemulihan

citra itu sendiri yang memaparkan bahwa mempertahankan reputasi yang baik

adalah tujuan sentral dari berkomunikasi (Benoit, 2014, hal. 16). Konteksnya

adalah ketika krisis tersebut menyerang citra organisasi, yang dalam temuan data

ini membuat reputasi Taman Sriwedari menjadi menurun dan ketidakpastian

bahwa tempat tersebut tidak akan menjadi berbeda (Wawancara Narasumber 1,

2018), maka strategi pesan disini berperan untuk berkomunikasi mengenai citra

organisasi tersebut. Upaya untuk mempertahankan reputasi yang baik dijalankan

oleh Taman Sriwedari dengan menjelaskan penataan ulang yang merupakan

program pemerintah bahwa hal tersebut memiliki tujuan yang baik untuk

membuat Taman Sriwedari menjadi lebih layak lagi (Wawancara Narasumber 1,

2018).

104
Mengacu pada asumsi tersebut, Fisher (1970, seperti dikutip dalam

Benoit, 2014, hal. 17-18) menuturkan bahwa terdapat empat tujuan dalam

berkomunikasi mengenai citra tersebut, yaitu affirmation, reaffirmation,

purifitcation, dan subversion. Tujuan dari komunikasi yang dilakukan

merupakan sebuah instrument yang terbuka, sehingga manajemen dari situasi

yang komunikatif diperlukan agar pesan yang dirancang oleh organisasi dapat

tersalurkan dengan efektif. Dalam temuan data, manajemen Taman Sriwedari

berupaya untuk meyakinkan masyarakat (usaha persuasi) bahwa dengan

hilangnya THR bukan merupakan akhir atau membuat Taman Sriwedari menjadi

mati, melainkan justru dengan momen tersebut manajemen menyampaikan

pesna bahwa Taman Sriwedari akan kembali menjadi pusat seni dan budaya

yang seutuhnya (Wawancara Narasumber 1, 2018).

Analisa peneliti dengan mengaplikasikan kerangka teori berkomunikasi

mengenai citra dalam temuan data strategi pesan yang dilakukan manajemen

Taman Sriwedari, maka tujuan berkomunikasinya adalah reaffirmation. Hal ini

didasarkan pada temuan data yang menyebutkan bahwa pesan yang diusung

untuk memulihkan citra adalah bahwa ”Taman Sriwedari akan kembali menjadi

pusat seni dan budaya yang seutuhnya” (Wawancara Narasumber 1, 2018).

Mengacu pada pesan ini mengindikasikan bahwa Taman Sriwedari berusaha

untuk menghadirkan kembali citra yang terdahulu atau menurut penuturan

manajemen adalah esensi dari Taman Sriwedari itu sendiri. Manajemen Taman

Sriwedari menyebutkan bahwa pusat seni dan budaya adalah esensi Taman

Sriwedari yang menjadi citra dari tempat tersebut, yang pada perkembangannya

mengalami banyak dinamika ditambah dengan hadirnya THR Sriwedari 32

105
tahun yang lalu menjadikan Taman Sriwedari sebagai tempat hiburan bagi

masyarakat Solo (Wawancara Narasumber 1, 2018). Eksistensi dari THR

Sriwedari meningkatkan aset wisata dari Taman Sriwedari sehingga menyokong

keberlangsungan aset-aset seni dan budaya lainnya, tetapi efeknya adalah Taman

Sriwedari sedikit kehilangan esensinya yaitu seni dan budaya.

Temuan tersebut senada dengan tujuan berkomunikasi reaffirmation

yaitu untuk menegaskan kembali yang ditandai dengan upaya menghidupkan

kembali citra yang sudah terbentuk di publik (Benoit, 2014, hal. 17). Dalam

pemaparan ini, tujuan berkomunikasi dalam memulihkan citra adalah untuk

menegaskan kembali citra organisasi dengan asumsi bahwa publik mungkin lupa

akna citra organisasi, sehingga diperlukan penegasan kembali. Benoit (2014, hal.

17) mengindikasikan reaffirmation dengan revitalizing yang mengandung

makna bahwa tujuan berkomunikasinya adalah menghidupkan kembali, artinya

adalah sebelumnya sudah terbentuk suatu citra tersebut, dan melalui kejadian

krisis ini untuk memulihkan citra organisais maka strategi yang dilakukan adalah

menghidupkan kembali citra tersebut.

Inilah tujuan berkomunikasi yang dilakukan oleh manajemen Taman

Sriwedari, yaitu ketika Taman Sriwedari sudah memiliki citra pusat seni dan

budaya, namun mengalami guncangan akibat ditutupnya salah satu asetnya yaitu

THR. Hal tersebut justru dimanfaatkan oleh manajemen untuk menghidupakn

kembali pusat seni dan budaya, melalui pesannya yaitu bahwa penataan ulang

dan pembangunan masjid akan memiliki corak budaya dan Taman Sriwedari

bukan hanya sekedar tempat hiburan semata. Komunikasi dalam rangka

memulihkan citra yang dilakukan manajemen di tengah kejadian krisis mimiliki

106
tujuan untuk menghidupakn kembali esensi yang sudah lama tergerus oleh

perkembangan Taman Sriwedari itu sendiri.

Teori Image Restoraton Theory (IRT) merupakan kerangka berfikir

mengenai komunikasi krisis yang mengutamakan strategi pesan untuk

memulihkan citra. Komunikasi sendiri berperan sebagai instrument yang

fundamental dalam mendefinisikan tujuan dari aktivitas strategi pesan yang

dirancang oleh Benoit (2014, hal. 16). Dalam temuan data, komunikasi menjadi

sentral dalam setiap kegiatan program manajemen krisis yang dilakukan mulai

dari sosialisasi, forum terbuka, dan pekan silaturahmi yang rutin dilakukan oleh

manajemen dengan publik internal maupun eksternal (Wawancara Narasumber

1, 2018). Bahkan melalui upaya komunikasi ini opini publik yang tidak pasti pun

menjadi teratasi sehingga pro dan kontra bisa semakin berkurang dan publik

baik itu paguyuban maupun masyarakat bisa menerima perubahan dalam Taman

Sriwedari.

Dalam pemaparan teori IRT, Benoit (2014, hal. 40 menyebutkan bahwa

teori ini berfokus secara ekslusif pada pesan yang didesain secara komunikatif

untuk memperbaiki citra yang pudar akibat kritik dan ketidakpastian.

Manajemen Taman Sriwedari memang tidak secara gamblang menyebutkan

“mendesain pesan” tetapi dalam perancangan pesan komunikasi tersebut

dilakukan dengan perencanaan yang matang dan disertai dengan kegiatan

sebagai trigger bagi masyarakat. Dalam temuan data, manajemen Taman

Sriwedari berupaya agar nilai-nilai budaya tetap melekat di Taman Sriwedari

dan hal tersebut lah yang menjadi dasar dalam setiap perencanaan dan program

yang dieksekusi, termasuk keterlibatan dalam pembangunan Masjid Taman

107
Sriwedari Surakarta yang berbentuk public space dengan taman bacaan dan

corak budaya, kegiatan kebudayaan di Gedung Wayang Orang, Museum Keris

Nusantara dan Museum Radyapustaka (Wawancara Narasumber 1, 2018).

Untuk lebih memahami strategi yang dilakukan oleh manajemen Taman

Sriwedari, peneliti akan menganalisis dengan menggunakan tabel IRT Crisis

Response Strategy yang berisi opsi-opsi komunikasi bagi perseorangan ataupun

organisasi untuk menghadapi ancaman terhadap reputasinya. Strategi repson

terhadap krisis tersebut dikategorikan ke dalam tiga kategori besar dengan sub-

kategorinya yaitu, denial, evading responsibility, dan reducing offensiveness

(Benoit, 2014, seperti dikutip dalam Coombs dan Holladay, 2012, hal. 32).

Kerangka strategi tersebut mengandung termasuk di dalamnya pendekatan

apologia sesuai identifikasi dari organisasi mengenai krisis sehingga dapat

memilih strategi yang tepat dan pesan apa yang akan disampaikan dalam

menghadapi krisis tersebut.

Dengan memperhatikan dalam temuan data, manajemen Taman

Sriwedari tidak menyangkal kasus krisis yang terjadi tersebut, melainkan

menunjukkan kalau memang Taman Hiburan Rakyat yang sudah berdiri 32

tahun tersebut sudah tutup untuk selamanya. Manajemen juga tidak menghindari

atau melarikan diri dari tanggungjawab atas krisis yang menyerangnya,

melainkan justru menghadapinya dengan melaksanakan berbagai strategi yang

sudah dirancang sedemikian rupa. Strategi respon yang dilakukan oleh

manajemen Tamna Sriwedari dengan mengaplikasikan IRT Crisis Response

Strategies, maka yang sebenarnya dilakukan adalah strategi reducing

offensiveness atau mengurangi serangan. Hal ini ditegaskan dalam strategi yang

108
dilakukan oleh manajemen menghadapi krisis tersebut, dengan mengakui kalau

THR tersebut memang sudah ditutup, bahkan usaha untuk pemindahan sudah

dilakukan tetapi tidak memungkinkan, sehingga keputusan finalnya adalah

ditutup untuk selamanya, dan tetap bertanggungjawab terhadap stakeholder yang

terlibat di dalamnya (Wawancara Narasumber 1, 2018).

Manajemen Taman Sriwedari menanggapi kasus krisis tersebut dengan

melontarkan pesan yang dapat menenangkan opini publik yang tidak pasti

terhadap keberlangsungan organisasi tersebut. Pesan tersebut adalah pernyataan

manajemen yang menunjukkan kalau dengan ditutupnya THR Sriwedari justru

akan mengembalikan esensi Taman Sriwedari menjadi pusat seni dan budaya,

dan program pembangunan Masjid Taman Sriwedari Surakarta serta

revitalisasinya akan mewujudkan pesan tersebut (Wawancara Narasumber 1,

2018). Pesan tersebut disampaikan melalui berbagai program komunikasi seperti

sosialisasi, forum terbuka, dan pekan silaturahmi yang kemudian dibarengi

dengan berbagai kegiatan kebudayaan untuk menguatkan nilai budaya Taman

Sriwedari yang akan diusung kembali. Dalam temuan data, manajemen

menyebutkan bahwa nilai seni dan budaya sedari dulu sudah terbentuk, tetapi

dalam perkembangannya justru Taman Sriwedari seakan kehilangan hal

tersebut, ditambah dengan berdirinya THR yang menyebabkan seakan tempat

tersebut menjadi profit oriented (Wawancara Narasumber 1, 2018). Manajmen

dengan cerdas memanfaatkan momen ditutupnya THR Sriwedari menjadi batu

loncatan untuk menyuarakan kembali nilai seni dan budaya dalam Taman

Sriwedari.

109
Selanjutnya dalam pemaparan tabel IRT Crisis Response Strategis

kategori reducing offensiveness terdapat sub-kategori yang secara spesifik

menjelaskan strategi yang dilakukan oleh organisasi untuk melancarkan strategi

pesannya. Analisa peneliti berlanjut pada strategi yang dilakukan oleh organisasi

secara detail untuk mengurangi serangan akibat krisis yang menyerang Taman

Sriwedari tersebut. Dengan melihat pada strategi yang dilakukan oleh

manajemen, dapat dianalisa bahwa manajemen berusaha melahirkan kembali

pesan yang sudah lama bergaung di Taman Sriwedari yaitu pusat seni dan

budaya. Hal ini pun dituturkan dalam temuan data yang menunjukkan bahwa

manajemen menyebutkan kalau Taman Sriwedari esensinya adalah pusat seni

budayanya Kota Surakarta yang selama ini sedikit tergerus dengan berbagai

perkembangan yang terjadi dalam Taman Sriwedari, dan dengan ditutupnya

THR Sriwedari (yang notabene merupakan pusat hiburan), maka Taman

Sriwedari akan kembali menjadi pusat seni dan budaya seutuhnya (Wawancara

Narasumber 1, 2018).

Hal tersebut menunjukkan bahwa Taman Sriwedari berusaha untuk

meredefinisikan tuduhan yang menyerang organisasi sebagai hal yang positif

sehingga konteks yang sempit tersebut menjadi konteks yang lebih luas lagi.

Peneliti menganalisa tindakan yang dilakukan oleh manajemen Taman Sriwedari

sebagai strategi differentiation atau strategi diferensiasi dengan indikasi

manajemen berusaha mendefinisikan krisis penutupan THR Sriwedari menjadi

momentum bahwa Taman Sriwedari tidak akan mati melainkan akan kembali

dan meningkatkan nilai seni dan budayanya (Wawancara Narasumber 1, 2018).

Diferensiasi merupakan strategi yang digunakan oleh organisasi untuk

110
mendefinisikan ulang tuduhan atas krisis yang terjadi dengan menyuguhkan

fakta-fakta yang didesain untuk memberikan keuntungan informasi bagi

organisasi (Kriyantono, 2017, hal. 183).

Manajemen seakan menunda penilaian mereka yang semakin buruk

terhadap organisasi untuk kemudian menyampaikan bukti-bukti yang didesain

untuk menghasilkan lebih banyak interprestasi berbeda terhadap fakta atau detail

dari kasus yang terjadi. Dalam temuan data, manajemen menyampaikan fakta

dan informasi bahwa dengan ditutupnya THR Sriwedari dan dibangunnya

Masjid Taman Sriwedari Surakarta beserta revitalisasinya, Taman Sriwedari

akan kembali menyuguhkan nilai seni dan budaya yang seutuhnya (Wawancara

Narasumber 1, 2018). Dalam konteks ini, manajemen berusaha menggiring opini

publik untuk dapat menginterpretasikan bahwa dengan ditutupnya THR tersebut

dapat meningkatkan nilai seni dan budaya dari Taman Sriwedari yang sedari

dulu sudah dibentuk.

Strategi diferensiasi berusaha mendefinisikan kembali krisis dari satu

konteks tunggal menjadi dua pesan yang berbeda sehingga publik digiring untuk

melihat krisis dari sudut pandang yang lebih luas (Kriyantono, 2017, hal. 184).

Konteks tunggal dari krisis tersebut adalah ditutupnya THR Sriwedari akan

menyebabkan Taman Sriwedari semakin hancur. Kemudian manajemen

mendefinisikan konteks tersebut menjadi ditutupnya THR Sriwedari justru akan

menghidupkan kembali nilai seni dan budaya, dan publik digiring untuk melihat

kasus ini sebagai langkah manajemen untuk menghadirkan kembali nilai

tersebut yang dibarengi dengan program revitalisasi pemerintah dan

pambangunan masjid di bekas lahan THR tersebut (Wawancara Narasumber 1,

111
2018). Dalam hal ini, manajemen membandingkan suatu tindakan (krisis

penutupan THR) dengan tindakan lain (dengan ditutupnya THR maka Taman

Sriwedari akan dibangun menjadi sarat nilai seni dan budaya).

Kriyantono (2017, hal. 184) menggambarkan diferensiasi sebagai strategi

yang diaplikasikan untuk mengubah persepsi publik dengan memisahkan dan

mendefenisikan ulang isu-isu yang beredar. Dalam temuan data, manajemen

berusaha untuk mengubah persepsi publik yang pro dan kontra akan penutupan

THR Sriwedari dan ketidakpastian mengenai keberlanjutan Taman Sriwedari

dengan ditutupnya THR tersebut. Persepsi tersebut dirubah dengan

menghadirkan suatu langkah visioner yang diambil oleh manajemen bahwa

dengan ditutupnya THR maka tempat tersebut akan kembali dalam nilai seni dan

budaya yang seutuhnya. Persepsi yang dipisahkan adalah opini publik yang tidak

pasti mengenai keberlangsungan Taman Sriwedari setelah ditutupnya THR yang

terbukti menghidupi Taman Sriwedari dan menghadirkan banyak keuntungan

bagi publik internalnya juga (Wawancara Narasumber 1, 2018). Manajemen

secara cerdik menggunakan program revitalisasi pemerintah dan pembangunan

masjid di bekas lahan THR yang notabene menjadi pro dan kontra dengan

menghadirkan pesan bahwa Taman Sriwedari akan kembali menjadi pusat seni

dan budaya Kota Surakarta, sehingga interpretasi dan opini publik menjadi

berubah terhadap krisis tersebut.

Berikut adalah diagram pemulihan citra analisa peneliti terhadap strategi

yang dilakukan manajemen Taman Sriwedari dalam menyampaikan pesan:

112
Taman Sriwedari berusaha menegaskan
kembali / menghidupkan kembali citra
Tujuan berkomunikasi “seni dan budaya” yang sudah lama
mengenai citra: tertanam dalam benak publik (yang
Reaffirmation selama ini tergerus oleh perkembangan
(Menegaskan kembali) zaman)

Perencanaan Pesan: Melalui Pesan Komunikasi Tercipta: Eksekusi Penyampaian Pesan melalui
komunikasi dan sinergi Taman Sriwedari akan ditata program Manajemen Krisis: Forum terbuka
dengan berbagai pihak ulang dan kembali menjadi dan Pekan Silaturahmi, serta pelaksanaaan
(FOKSRI, Pemerintah, dan pusat seni dan budaya berbagai kegiatan kebudayaan (Perayaan
Paguyuban) 108 tahun Wayang Orang dan Perayaan 1
tahun Museum Keris)

IRT Crisis Response Strategy: Mengubah persepsi publik dari konteks


yang sempit dan tunggal terhadap krisis
Reducing Offensiveness
(THR ditutup maka Taman Sriwedari
(Pengurangan Serangan) –
akan berubah dan beda) menjadi konteks
Differentiation (Diferensiasi)
yang lebih luas (dengan ditutupnya THR
maka Taman Sriwedari akan kembali
menjadi pusat seni dan budaya yang
seutuhnya)

Diagram 3.5 Srategi Pesan Taman Sriwedari untuk Memulihkan Citra Pasca Krisis

113

Você também pode gostar