Você está na página 1de 14

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Anatomi Fisiologi

Anatomi dan fisiologi organ yang berhubungan dengan perilaku kekerasan

adalah anatomi dan fisiologi otak yang termasuk dalam sistem persarafan. Sistem

persarafan terdiri atas otak, medulla spinalis, dan saraf perifer. Struktur ini

bertanggung jawab untuk mengendalikan dan mengkornasikan aktivitas sel tubuh

melalui serat-serat dan jaras-jaras secara langsung dan terus-menerus, perubahan

potensial elektrik menghasilkan respons yang akan mentransmisikan sinyal-sinyal.

(Batticaca, 2011).

Gambar 2.1 Anatomi Sistem Persarafan


1. Anatomi otak

Anatomi otak Otak dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu serebrum, batang

otak, dan serebellum. Batang otak dilindungi oleh tulang tengkorak dan cedera

empat tulang yang berhubungan membentuk tulang tengkorak, yaitu tulang

frontal, parietal, temporal, dan oksipital. Dasar tengkorak terdiri atas tiga bagian

fosa (fossa), yaitu bagian fosa anterior (berisi lobus frontal serebral bagian

hemisfer), dan bagian fosa posterior (berisi batang otak dan medulla).

Gambar 2.2 Anatomi Otak (Batticaca,2011).


Menurut Batticaca (2011), bagian-bagian otak terdiri atas :

a. Hemisfer selebri

Hemisfer selebri terbagi menjadi empat lobus yaitu :

1. Lobus frontalis

Lobus frontal merupakan lobus terbesar yang terletak pada fosa anterior.

Area ini mengontrol perilaku individu, membuat keputusan, kepribadian dan

menahan diri.

2. Lobus parietal

Lobus parietal disebut juga lobus sensorik. Area ini menginterpretasikan

sensasi, sensasi rasa yang tidak berpengaruh adalah bau. Lobus parietal

mengatur individu untuk mengetahui posisi dan letak bagian tubuhnya.

Kerusakan pada daerah ini menyebabkan sindrom hemineglet.

3. Lobus temporal

Lobus temporal berfungsi untuk mengintegrasikan sensasi pengecap,

pencium, mengendalikan pendengaran, pemahaman bahasa, dan menyimpan

serta mengingat memori (meskipun memori disimpan diseluruh otak). Lobus

temporal mempunyai dua sulkus, sulkus temporal superior, dan inferior yang

membanginya atas tiga girus yaitu girus temporal superior, medius,dan

interior. Lobus temporal anterior mempunyai hubungan dengan sistem

limbik dalam perannya pada proses emosi, halusinasi dan memori jangka

pendek sehingga epilensi yang disebabkan oleh gangguan pada lobus


temporalis biasanya ditampilkan berupa “Kejang mimpi” (dreamy state

seizure).

4. Lobus oksipital

Lobus oksipital terletak pada lobus posterior hemisfer selebri. Bagian ini

bertanggung jawab mengintegrasikan penglihatan.

b. Otak Tengah (mesencephalon)

Otak tengah adalah bagian sempit otak yang melewati incisura tertori yang

menghubungkan pons dan serebellum dengan hemisfer serebrum. Bagian ini

terdiri atas jalur sensorik dan motorik serta sebagai pusat pendengaran dan

penglihatan.

c. Pons

Pons terletak di depan serebellum, diantara mesenfalon dan medulla oglongata

dan merupakan jembatan antara dua bagian sereblum, serta anatara medulla dan

serebrum. Pons berisi jaras sensorik dan motorik.

d. Medulla oblongata (MO)

Medulla oblongata meneruskan serabut- serabut motorik dan medulla spinalis

ke otak. Medulla oblongata berbentuk kerucut yang menghubungkan pons

dengan medulla spinalis. Serabut- serabut motorik menyilang pada daerah ini.

Pons juga berisi pusat-pusat penting dalam mengontrol jantung, pernafasan, dan

tekanan darah serta sebagai inti saraf otak ke-5 samapi ke-8.

e. Serebrum (cerebrum)

Serebrum (cerebrum) adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri atas dua

hemisfer selebri (hemisphere cerebri) dan dihubungkan oleh massa substansia


alba yang disebut korpus kalosum (cortus callosum) dan empat lobus, yaitu

lobus frontal (terletak didepan sulkut pusat (sentralis), lobus parietal (terletak

di belakang sulkus pusat dan diatas sulkus lateral), lobus oksipital terletak

dibawah sulkus parieto-oksipital), dan lobus temporal (terletak dibawah sulkus

lateral).

f. Serebellum

Serebellum terletak pada fosa crani posterior dan terpisahkan dari hemisfer

selebral, lipatan dura mater, tentorium serebellum (di bawah tentorium

cerebelli). Serebellum terletak di posterior pons dan medulla oblongata.

Serebellum terdiri atas dua hemisfer yang di hubungkan oleh bagian tengah

yang disebut vermis.

g. Cairan serebrospinal (CSS)

Cairan serebrospinal (CSS) merupakan cairan bening dan mempunyai berat

jenis 1,007, CSS diproduksi di dalam ventrikel dan bersirkulasi di sekitar otak

dan medulla spinalis melalui sistem ventricular.

h. Medulla spinalis

Medulla spinalis dan batang otak membentuk struktur kontinu yang keluar dari

hemisfer selebral dan bertugas sebagai penghubung otak dan saraf perifer.

Panjangnya rata-rata 45 cm dan menipis pada jari-jari.

i. Diensefalon

Diensefalon merupakan fosa bagian tengah otak yang terdiri atas thalamus

(thalamus) di kiri dan kanan ventrikulus tertius, hipotalamus di ventral, dan

kelenjar hipofisis.
j. Hipotalamus

Hipotalamus terletak pada anterior talamus. Hipotalamus berfungsi mengatur

sistem saraf otonom. Hipotalamus bekerja sama dengan hipofisif

mempertahankan keseimbangan cairan, pengaturan suhu tubuh melalui

peningkatan vasokonstriksi atau vasodilatasi, dan memengaruhi sekresi

hormonal dengan kelenjar hipofisis. Hipotalamus juga berperan sebagai pusat

lapar, pengatur berat badan, siklus tidur, tekanan darah, perilaku agresif dan

seksual, serta pusat renspons emosional (misalnya rasa malu, marah, depresi,

panik, dan takut).

2. Fisiologi Otak

Menurut Yusuf, dkk (2015), ada beberapa area pada otak yang

berpengaruh terhadap proses implus agresif, sistem limbic, lobus temporal,lobus

frontal, neurotransmitter. Sistem limbik merupakan organ yang mengatur

dorongan dasar dan ekspresi emosi serta perilaku seperti makan, agresif, dan

respons seksual. Selain itu mengatur sistem informasi dan memori. Apabila ada

gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial

perilaku kekerasan. Lobus temporal organ yang berfungsi sebagai penyimpanan

memori dan melakukan interprestasi pendengaran. Lobus frontal organ yang

berfungsi sebagai bagian pemikiran yang logis, serta pengelolaan emosi dan alas

an berfikir. Jika adanya gangguan pada lobus frontal maka individu tidak

mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan

agresif.
B. Konsep Dasar Perilaku Kekerasan

1. Pengertian

Menurut Yusuf, dkk (2015, hal 128), perilaku kekerasan adalah suatu

keadaan hilangnya kendali perilaku seseorang yang diarahkan pada diri sendiri,

orang lain, atau lingkungan. Perilaku kekerasan pada diri sendiri dapat

berbentuk melukai diri untuk bunuh diri atau membiarkan diri dalam bentuk

penelantaran diri. Perilaku kekerasan pada orang adalah tindakan agresif yang

ditujukan untuk melukai atau membunuh orang lain. Perilaku kekerasan pada

lingkungan dapat berupa perilaku merusak lingkungan, melempar kaca,

genting, dan semua yang ada di lingkungan.

Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk

melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan definisi

tersebut maka perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada

diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam

dua bentuk, yaitu saat sedang berlangsung perilaku kekerasan atau perilaku

kekerasan terdahulu (riwayat perilaku kekerasan) Damaiyanti dan Iskandar,

(2012, hal 95).

Berdasarkan pengertian para ahli tersebut perilaku kekerasan dapat

disimpulkan adalah salah satu dari ungkapan perasaan marah yang bermusuhan

atau kebutuhan yang tidak terpenuhi yang mengakibatkan hilangnya kontrol


perilaku seseorang sehingga timbul tindakan yang dapat membahayakan diri

sendiri, orang lain dan lingkungan.

5. Etiologi

Menurut Yosep (2010) dalam Damaiyanti dan Iskandar (2012) faktor

predisposisi dan presipitasi klien dengan perilaku kekerasan adalah sebagai berikut :

a. Faktor predisposi

a) Neurologis factor

b) Genetic factor (adanya factor gen)

c) Cycardian Rhytm (irama sikardian tubuh)

d) Biochemistry factor (faktor biokima tubuh)

e) Brain area disorder (gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal)

b. Faktor presipitasi

a) Ekpresi diri, ingin menunjukkan ekstansi diri atau simbolis solidaritas

b) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan kebutuhan dasar dan kondisi

sosial ekonomi

c) Kesulitan dalam mengonsumsikan sesuatu dalam keluarga serta tidak

membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melakukan

kekerasan dalam menyelesaikan konflik

d) Adanya riwayat perilaku anti sosial

e) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,

perubahan terhadap perkembangan keluarga.


3. Patofisiologi

Proses terjadi marah (perilaku kekerasan) Menurut Yusuf, dkk (2015,

hal: 130) adalah sebagai berikut :

Ancaman atau kebutuhan


Stress
Cemas
Marah
Mengungkapkan secara
Merasa kuat vertikal Merasa tidak
adekuat

Menantang Menjaga kebutuhan Menantang orang


lain

Masalah Lega Mengingkari marah


tidak selesai

Marah Ketegangan Marah tidak


berkepanjangan menurun terungkap

Rasa marah teratasi

Muncul rasa bermusuhan

Rasa bermusuhan
menahun

Marah pada diri Marah pada orang


sendiri lain/lingkungan

Depresi Agresif/mengamuk
psikosomatik

Gambar: 2.3 Konsep Marah (Perilaku Kekerasan)


Menurut Yusuf, dkk (2015, hal 131) proses terjadinya amuk merupakan

respon kemarahan yang paling maladaptif yang ditandai dengan perasaan marah

dan bermusuhan yang kuat disertai hilangnya kontrol, yang individu dapat

merusak diri sendiri, orang lain, atau lingkungan. Amuk adalah respon marah

terhadap adanya stress, rasa cemas, harga diri rendah, rasa bersalah, putus asa, dan

ketidakberdayaan. Respon marah dapat diekpresikan secara internal atau eksternal.

Secara internal dapat berupa perilaku yang tidak asertif dan merusak diri,

sedangkan secara eksternal dapat berupa perilaku destruktif agresif. Respon marah

dapat diungkapkan melalui tiga cara yaitu: mengungkapkan secara verbal,

menekan, dan menantang (Yusuf, dkk 2015, hal: 131) .

Mengekspresikan rasa marah dengan perilaku konstruktif dengan

menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti orang

lain akan memberikan kelegaan pada individu. Apabila perasaan marah

diekspresikan dengan perilaku agresif dan menentang, biasanya dilakukan karena ia

merasa kuat. Cara ini menimbulkan masalah yang berkepanjangan dan dapat

menimbulkan tingkah laku yang destruktif dan amuk (Yusuf, dkk 2015, hal: 131).

4. Tanda dan gejala

Menurut Yosep (2011) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku

kekerasan adalah sebagai berikut:

1) Fisik

a) Muka merah dan tegang


b) Muka melotot/pandangan tajam

c) Tangan mengepal

d) Rahang mengatup

e) Wajah memerah dan tegang

f) Postur tubuh kaku

g) Pandangan tajam

h) Mengatup rahang dengan kuat

i) Mengepalkan tangan

j) Jalan mondar-mandir

2) Verbal

a) Bicara kasar

b) Suara tinggi, membentak atau berteriak

c) Mengancam secara verbal atau fisik

d) Mengumpat dengan kata-kata kotor

e) Suara keras

f) Ketus

3) Perilaku

a) Melempar atau memukul benda/orang lain

b) Menyerang orang lain

c) Melukai diri sendiri/orang lain

d) Merusak lingkungan

e) Amuk/agresif

4) Emosi
Tidak adekuat, Tidak aman dan nyaman, Rasa terganggu, Dendam dan

jengkel, Tidak berdanya, Mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan

menuntut.

5) Intelektual

Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan.

6) Spiritual

Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain,

menyinggung perasaan orang lain, tidak peduli dan kasar.

7) Sosial

Menarik diri, pengasingan penolakan, kekerasan, ejekan, sindirian.

8) Perhatian

Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.

5. Penatalaksanaan/terapi

Menurut Yosep (2011, hal: 150-151), penatalaksanaan/ terapi tindakan

keperawatan yang dilakukan pada perilaku kekerasan adalah:

a. Psikofarmakologi

1) Antianxiety dan sedative-Hipnotics, obat-obatan ini dapat mengendalikan

agitasi yang akut.

2) Benzodiazipines seperti lorazepam dan clonazepam, sering digunakan

dalam kedaruratan psikaiatrik untuk menenagkan perlawanan klien.


3) Buspinore obat antianxiety, efektif dalam mengendalikan perilaku

kekerasan yang berkaitan dengan kecemasan dan depresi.

4) Antidepressants, penggunaan obat ini mampu mengontrol impulsive dan

perilaku agresif klien yang berkaitan dengan perubahan mood.

5) Amitriptyline dan Trazodone, efektif untuk menghilangkan agresivitas

yang brhubungan dengan cedera kepala dan gangguan mental organik.

6) Carbamazepines, dapat mengendalikan perilaku agresif pada klien dengan

kelainan EEGs (electroencephalograms).

7) Antipschotic, obat-obatan ini biasanya dipergunakan untuk perawatan

perilaku agresif.

8) Naltrexone (antagonis opiate), dapat menurunkan perilaku mencederai

diri.

9) Betablockers seperti propanolol dapat menurunkan perilaku kekerasan

pada anak dan pada klien dengan gangguan mental organik.

b. Pengekangan fisik

Ada dua macam pengekangan fisik secara mekanik (menggunakan manset,

sprei pengekang), dan isolasi (menempatkan klien dalam suatu ruangan dimana

klien tidak dapat keluar atas kemauannya sendiri).

6. Komplikasi

Menurut Damaiyanti dan Iskandar (2012, hal: 97-98), factor resiko akibat

lanjut dari perilaku kekerasan adalah:


a. Resiko perilaku kekerasan terhadap orang lain

Definisi: Beresiko melakukan perilaku, yakni individu menunjukkan bahwa

dirinya dapat membahayakan orang lain secara fisik, emosional, dan/atau

seksual.

b. Resiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri

Definisi: Beresiko melakukan perilaku, yang individu menunjukkan bahwa

dirinya dapat membahayakan dirinya sendiri secara fisik, emosional dan/atau

seksual.

Você também pode gostar