Você está na página 1de 4

LEMBAR TUGAS AKHIR UAS MASAIL FIQH

IDENTITAS KELAS STATUS PEMBELIAN BUKU Keterangan lain jika


dibutuhkan
PAI 5F □ sudah mendapat buku dan lunas
NAMA
Alif Mustahib al-Ghifari
NPM: 21601011179
* hapus yang tidak perlu

Jawab 3 dari 5 pertanyaan yang pernah diajukan di bawah sini:

Pertanyaan 1: Apakah umat Islam sedunia harus dibawah oimoinan satu orang khilafah?
Jawaban:

Mengenai hal ini ada 2 pendapat:

1. Pendapat yang mengatakan wajib, seperti dipegang oleh Imam an Nawawi dan
bahkan beliau menukil adanya ijma’ tentang hal ini. Pendapat ini dipegang juga oleh
kelompok Hizbut Tahrir dengan ideolognya Taqiyuddin an Nabhani.

2. Pendapat yang mengatakan tidak wajib, seperti dipegang oleh Imamul Haromain al
Juwaini (guru Imam al Ghozali), Abul Hasan al Asy’ari, Abu Ishaq al Isfaroyini dan
ulama’ulama’ Malikiyyah seperti Imam al Qurthubi dan Imam asy Syaukani. Pendapat
inilah yang sepertinya dipegang oleh mayoritas ummat Islam saat ini, termasuk oleh
NU dan Muhammadiyah.

Hal ini didasarkan kenyataan bahwa ummat Islam terpencar dalam wilayah yang
sangat luas, sehingga menyatukannya dalam satu kepemimpinan adalah tidak mungkin.
Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa sejak Bani Umayyah runtuh oleh pemberontakan
Bani Abbas pada tahun 750 M (132 H) hingga saat ini, ummat Islam tidak lagi berada dalam
satu kepemimpinan (yakni terbagi 2 : Bani Abbas di Baghdad dan Bani Umayyah II di
Spanyol/Andalusia).

Pertanyaan 2: Apakah khilafah Islamiyyah adalah solusi bagi masalah umat Islam saat ini?

Jawaban:
Kholifah pada dasarnya adalah institusi politik, seperti presiden atau raja, hanya saja
menggunakan istilah bahasa Arab. Karena itu, sejarah membuktikan ada kholifah yang baik
dan ada pula yang tidak baik, sebagaimana ada presiden dan raja yang baik dan ada pula
yang tidak baik.
Ada kholifah bernama Yazid bin Muawiyah yang menggantikan ayahnya. Ia hanya
berkuasa selama 3 tahun (60 – 63 H.) namun dalam pemerintahannya terjadi tiga peristiwa
yang termasuk paling buruk dalam sejarah Islam (pembunuhan Sayyidina Husain cucu
Rasulullah dan keluarganya di Karbala, peristiwa Harroh (penghalalan pembunuhan,
perampokan dan kejahatan selama 3 hari di Madinah), dan penyerangan terhadap Ka’bah di
Makkah. Kholifah Abdul Malik bin Marwan dalam sejarah adalah kholifah besar dari Bani
Umayyah. Namun dia memiliki panglima perang yang kejam yaitu al Hajjaj bin Yusuf yang
terkenal membunuh banyak ummat Islam, termasuk di antaranya adalah ulama’ besar Said
bin Jubair murid Ibn Abbas.
Disamping itu, ada juga kholifah yang baik dan adil. Sejarah mencatat nama Khulafa’
Rosyidun yang empat sebagai orang-orang yang baik dalam memegang amanah. Juga Umar
ibn Abdil aziz, Harun ar Rasyid dan al Ma’mun yang membangun peradaban Islam [walaupun
al Ma’mun pula yang memulai mihnah kholqil Qur’an (inkuisisi atas dasar isu penciptaan
Qur’an) yang menyebabkan banyak ulama’ sunni ditahan, termasuk di antaranya Imam
Ahmad bin Hanbal], Abdurrahman an Nashir di Andalusia dan sebagainya.
Jadi, pelaksanaan sistem khilafah atau kholifah ada yang baik dan ada yang buruk yang
sangat tergantung pada siapa yang menduduki jabatan tersebut. Mereka yang membaca
kitab seperti Tarikh-ul Khulafa’ karya as Suyuthi tahu persis hal ini. Patut dicatat, bahwa
dalam sejarah Islam kekuasaan kholifah sangat kuat (powerful) sehingga jika dipegang oleh
orang baik maka bisa sangat baik, namun jika dipegang oleh orang yang tidak baik akan
menjadi sangat tidak baik. Dalam sejarah Islam juga tercatat bahwa hampir semua pemilihan
kholifah adalah berdasar penunjukan oleh kholifah sebelumnya, sehingga dapat
memungkinkan terjadinya politik dinasti yang tidak pasti membawa kebaikan pada ummat
Islam. Sebagai catatan, hingga saat ini politik dinasti ini masih berlangsung di sebagian besar
negara Arab seperti di Arab Saudi, Yordania, Maroko, Syiria, Kuwait dan sebagainya.

Pertanyaan 3: apakah demokrasi adalah sistem yang bertentangan dengan Islam?


Jawaban:
Sangat tergantung pada pemahaman kita tentang apa itu demokrasi. Kalau kita
mengartikan demokrasi sebagai kebebasan yang tanpa batas (dan itu tak mungkin terjadi),
maka demokrasi itu jelek. Kalau kita mengartikan demokrasi adalah kekuasaan rakyat di atas
kekuasaan Tuhan (dalam arti atas nama rakyat bisa berbuat sewenang-wenang terhadap
agama seperti terjadi di Swiss dalam bentuk pelarangan menara masjid berdasar hasil
referendum, pelarangan jilbab di Prancis dan Turki) maka ia jelek adanya. Tapi kalau kita
melihat demokrasi sebagai mekanisme pengambilan keputusan dari rakyat, oleh rakyat dan
terutama untuk rakyat, maka hal ini baik adanya.
Ada dua cara untuk meninjau demokrasi. Yang pertama secara filosofis, dan ini yang
biasa dipakai oleh penentang demokrasi. Alasan menentang demokrasi adalah karena
kekuasaan rakyat dianggap akan menafikan kekuasaan Tuhan dalam arti hukum Allah akan
bisa digeser oleh hukum manusia. Dalam hal ini patut ditegaskan dua hal : a) kekuasaan
Allah tidak akan berkurang oleh kekuasaan manusia, karena Allah SWT adalah pemilik dan
pencipta alam semesta; b) penggeseran hukum Allah dengan hukum manusia juga bisa
berlangsung dalam sistem khilafah, sebagaimana sejarah telah membuktikannya. Hal ini
karena pelaksanaan hukum Islam sekalipun harus dilaksanakan oleh manusia, sehingga
pelanggaran terhadap hukum Islam bisa saja dilakukan oleh penguasa dengan gelar kholifah
sekalipun. Kenyataan semacam inilah yang membuat tokoh pemikir sekelas Abul A’la
Maududi yang pada awalnya mengusulkan teokrasi (kekuasaan Tuhan) sebagai pengganti
demokrasi, akhirnya harus berkompromi dengan membuat konsep teodemokrasi (kekuasaan
Tuhan dan rakyat, atau mungkin dimaknai kekuasaan rakyat dengan dasar ketuhanan).
Yang kedua tinjauan praktis yang hanya memahami demokrasi sebagai metode
pengambilan keputusan dengan melibatkan rakyat. Misalnya, presiden dipilih oleh rakyat,
DPR dipilih rakyat dan lain sebagainya. Keputusan yang dihasilkan oleh mekanisme ini sangat
tergantung pada pemikiran yang ada di kalangan rakyat. Jika rakyatnya baik, maka insyaalLah
yang terpilih adalah orang-orang baik. Dalam mekanisme semacam ini, hukum Islam bisa
berkembang tanpa merubah sistem secara keseluruhan secara frontal (karena hal seperti itu
seringkali mengalami kegagalan). Dalam sejarah Indonesia, masuknya UU Perkawinan Islam
merupakan salah satu bukti bahwa demokrasi bisa berpihak pada hukum Islam jika rakyat
(dalam arti wakil-wakilnya) mau mendukung. Jika mereka tidak mendukung, maka walaupun
UU yang ada telah berdasar hukum Islam, namun dalam pelaksanaannya hampir bisa
dipastikan akan mengalami kegagalan. Dalam pemahaman kedua inilah demokrasi tidak
mesti bertentangan dengan Islam bahkan bisa saja kompatibel (sejalan) dengan Islam jika
memang rakyatnya telah memahami keagungan ajaran Islam.
Perlu diketahui, ada dua jenis demokrasi :
a. Demokrasi prosedural : yakni pengambilan keputusan dari rakyat dan oleh rakyat.
Bentuk prosedur demokrasi yang paling jelas dalam hal ini adalah Pemilu (satu hal
yang sebenarnya tidak dilarang dalam hukum Islam).
b. Demokrasi Substansial : pengambilan keputusan untuk rakyat. Dalam pengertian ini,
kita bisa mengatakan bahwa 4 kholifah adalah demokrat, dalam arti kebijakan
mereka sangat memerhatikan kepentingan rakyat. Ini tentu saja tidak bertentangan
dengan ajaran Islam, karena kaidah fiqh yang terkenal mengatakan : tashorruful
imam alar ro’iyyah manuthun bil mashlahah (kebijaksanaan pemimpin atas rakyatnya
tergantung pada maslahah).
Jadi, demokrasi sebagaimana khilafah, sangat tergantung pada siapa yang memegang
kekuasaan karena hukum Islam sekalipun bisa disalahgunakan untuk kepentingan pribadi
penguasa sebagaimana terjadi dalam sejarah kaum muslimin.

Você também pode gostar