Você está na página 1de 37

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. BRONKOPNEUMONIA
II.1.1. Pendahuluan
Pneumonia adalah radang paru-paru yang dapat disebabkan oleh bermacam-
macam penyebab seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Pneumonia adalah salah
satu penyakit yang menyerang saluran nafas bagian bawah yang terbanyak kasusnya di
dapatkan di praktek-praktek dokter atau rumah sakit dan sering menyebabkan kematian
terbesar bagi penyakit saluran nafas bawah yang menyerang anak-anak dan balita hampir
di seluruh dunia. Diperkirakan pneumonia banyak terjadi pada bayi kurang dari 2 bulan,
oleh karena itu pengobatan penderita pneumonia dapat menurunkan angka kematian
anak.
Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada juga
sejumlah penyebab non infeksi yang perlu dipertimbangkan. Bronkopneumonia lebih
sering merupakan infeksi sekunder terhadap berbagai keadaan yang melemahkan daya
tahan tubuh tetapi bisa juga sebagai infeksi primer yang biasanya kita jumpai pada anak-
anak dan orang dewasa.

II.1.2 Definisi
Bronkopneumonia atau disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan
pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga
mengenai alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan balita, yang
disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing.
Bronkopneumonia merupakan peradangan pada parenkim paru yang melibatkan
bronkus / bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy
distribution).
II.1.3 Epidemiologi
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di
bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika
pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah
umur 2 tahun. Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada
juga sejumlah penyebab non infeksi yang perlu dipertimbangkan. Bronkopneumonia
lebih sering merupakan infeksi sekunder terhadap berbagai keadaan yang melemahkan
daya tahan tubuh tetapi bisa juga sebagai infeksi primer yang biasanya kita jumpai pada
anak-anak dan orang dewasa.
Di seluruh dunia setiap tahun diperkirakan terjadi lebih 2 juta kematian balita
karena pneumonia. Di Indonesia menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2001
kematian balita akibat pneumonia 5 per 1000 balita per tahun. Ini berarti bahwa
pneumonia menyebabkan kematian lebih dari 100.000 balita setiap tahun, atau hampir
300 balita setiap hari, atau 1 balita setiap 5 menit

II.1.4 Etiologi
Bronkopneumonia terjadi secara umum dapat disebabkan oleh faktor infeksi dan non
infeksi.

Faktor Infeksi
- Pada neonatus : Streptokokus grup B, Respiratory Sincytial Virus (RSV).
- Pada bayi :
Virus : Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV, Cytomegalovirus.
Organisme atipikal : Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.
Bakteri : Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza, Mycobacterium
tuberculosa, B. pertusis

- Pada anak-anak :
Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSP
Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia
Bakteri : Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosa.
- Pada anak besar – dewasa muda :
Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis
Bakteri : Pneumokokus, B. Pertusis, M. tuberculosis.

Faktor Non Infeksi.


Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi :
- Bronkopneumonia hidrokarbon :
Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung
( zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).
- Bronkopneumonia lipoid :
Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal,
termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan
seperti palatoskizis,pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan
pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang menangis.
Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak
binatang yang mengandung asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya
seperti susu dan minyak ikan .

Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya
Bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang berat
seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak
merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.

II.1,5 Klasifikasi
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan
pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah
membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara klinis
dan memberikan terapi yang lebih relevan.
Pembagian secara anatomis :
-Pneumonialobaris yaitu radang paru yang mengenai satu atau lebih dari satu lobus.
-Pneumonialobularis (bronkopneumonia) yaitu radang yang mengenai lobules-lobulus
dan tersebar di dalam paru.
-Pneumonia interstisialis (bronkiolitis) yaitu radang yang mengenai jaringan interstisial
paru dan bronchitis.

Pembagian secara etiologi :


- Bakteri : Pneumococcus pneumonia, Streptococcus pneumonia, Staphylococcus
pneumonia, Haemofilus influenzae.
- Virus : Respiratory Synctitial virus, Parainfluenzae virus, Adenovirus
- Jamur : Candida, Aspergillus, Mucor, Histoplasmosis, Coccidiomycosis,
Blastomycosis, Cryptoccosis.
- Corpus alienum
- Aspirasi : Makanan, kerosene (benzene,minyak tanah) cairan amnion, benda asing
- Pneumoniahipostatik
- Sindroma loeffler
II.1.6 Patogenesis

Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme,
keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di
dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, sehingga
mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi penyakit.
Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat melalui
berbagai cara, antara lain :
- Inhalasi langsung dari udara
- Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring
- Perluasan langsung dari tempat-tempat lain
- Penyebaran secara hematogen

Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk
mencegah infeksi yang terdiri dari :
- Susunan anatomis rongga hidung
- Jaringan limfoid di nasofaring
- Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret lain
yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.
- Refleks batuk.
- Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi.
- Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional.
- Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama dari Ig A.
- Sekresi enzim – enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja
sebagai antimikroba yang non spesifik.
- Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas
sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan
sekitarnya.
- Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang
meliputi empat stadium, yaitu :
1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia
ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast
setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut
mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan
jalur komplemen.
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru.
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium
sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus
ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah
paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.

2. Stadium II (48 jam berikutnya)


Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian
dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau
sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung
sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

3. Stadium III (3 – 8 hari)


Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap
padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan
kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.

4. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

II.1.7 Diagnosis

Gambaran Klinis
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas
selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-400C dan mungkin
disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat
dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut.
Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan mendapat batuk setelah
beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan :


 Dinding thorak terlihat retraksi intercostali dan kalau berat disertai retraksi
epigastrium. Stemfremitus teraba mengeras bila beberapa kelainan kecil
menyatu. Pada perkusi sering tidak ditemukan kelainan, tetapi kalau
sarang bronkopneumonia menjadi satu, pada perkusi terdengar redup.
Pada auskultasi terdengar vesikuler mengeras, ronkhi basah halus dan
sedang nyaring yang terdengar pada stadium permulaan dan stadium
resolusi sedangkan pada stadium hepatisasi ronkhi tidak terdengar.
Pemeriksaan Laboratorium
1. Gambaran darah menunjukkan leukositosis, biasanya 15.000 – 40.000/ mm3 dengan
pergeseran ke kiri. Jumlah leukosit yang tidak meningkat berhubungan dengan infeksi
virus atau mycoplasma.
2. Nilai Hb biasanya tetap normal atau sedikit menurun.
3. Peningkatan LED.
4. Kultur dahak dapat positif pada 20 – 50% penderita yang tidak diobati. Selain kultur
dahak , biakan juga dapat diambil dengan cara hapusan tenggorok (throat swab).
5. Analisa gas darah ( AGDA ) menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia.Pada stadium
lanjut dapat terjadi asidosis metabolik.

Diagnosis etiologi dibuat berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi serologi, karena


pemeriksaan mikrobiologi tidak mudah dilakukan dan bila dapat dilakukan kuman
penyebab tidak selalu dapat ditemukan. Oleh karena itu WHO mengajukan pedoman
diagnosa dan tata laksana yang lebih sederhana. Berdasarkan pedoman tersebut
bronkopneumonia dibedakan berdasarkan:
1. Bronkopneumonia sangat berat : Bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak
sanggup minum,maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.
2. Bronkopneumonia berat : Bila dijumpai adanya retraksi, tanpa sianosis dan masih
sanggup minum,maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.
3. Bronkopneumonia: Bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan yang cepat :
- 60 x/menit pada anak usia < 2 bulan
- 50 x/menit pada anak usia 2 bulan – 1 tahun
- 40 x/menit pada anak usia 1 - 5 tahun.
4. Bukan bronkopenumonia : Hanya batuk tanpa adanya tanda dan gejala seperti
diatas, tidak perlu dirawat dan tidak perlu diberi antibiotika.

Diagnosis pasti dilakukan dengan identifikasi kuman penyebab:


1. kultur sputum atau bilasan cairan lambung
2. kultur nasofaring atau kultur tenggorokan (throat swab), terutama virus
3. deteksi antigen bakteri
II.1.8 Penatalaksanaan

Sebaiknya pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan hasil resistensi dari kuman,
akan tetapi mengingat hal ini sulit dilakukan, maka di bagia IKA pengobatan langsung
diberikan
1. Antibiotika pada penderita secara polifragmasi selama 10-15 hari:
 Ampisilin 100 mg/KgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis
 kloramfenikol dengan dosis:
o umur < 6 bulan : 25-50 mg/KgBB/hari.
o Umur >6 bulan :50-75 mg/KgBB/hari dibagi dalam 3 dosis
Atau gentamisin dengan dosis 3-5 mg/KgBB/hari dalam 2 dosis
2. Suportif
IVFD,oksigen,pembersih jalan nafas

II.1.9. DIAGNOSIS BANDING


Secara klinis pneumonia yang disebabkan oleh kuman (bakteri), virus tidak dapat
dibedakan. Keadaan yang menyerupai pneumonia secara klinik:
 Bronkhiolitis
 Payah jantung
 Aspirasi benda asing
II.1.10 KOMPLIKASI
Otitis media
Bronkiektasis
Abses paru
Empiema

II.1.11 PROGNOSIS
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan
pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang terlambat untuk
pengobatan.
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi berat
dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat
gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan pengaruh negatif pada
daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi
bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan
dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri.

II.1.12 PENCEGAHAN
Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan
penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan
terjadinya bronkopneumonia ini.
Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan
tubuh kaita terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti : cara hidup sehat, makan
makanan bergizi dan teratur ,menjaga kebersihan ,beristirahat yang cukup, rajin
berolahraga, dan lain-lain
Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi
antara lain:
Vaksinasi Pneumokokus
Vaksinasi H. influenza
Vaksinasi Varisela yang dianjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh rendah
Vaksin influenza yang diberikan

2. DIARE

II.2.1 Pendahuluan
Penyakit diare hingga kini masih merupakan salah satu penyakit utama pada
bayi dan anak di Indonesia. Diperkirakan angka kesakitan berkisar antara 150-430
perseribu penduduk setahunnya. Dengan upaya yang sekarang telah dilaksanakan,
angka kematian di rumah sakit dapat ditekan menjadi kurang dari 3%.
Penggunaan istilah diare sebenarnya lebih tepat daripada gastroenteri tis,
karena istilah yang disebut terakhir ini memberikan kesan seolah-olah penyakit ini
hanya disebabkan oleh infeksi dan walaupun disebabkan oleh infeksi, lambung jarang
mengalami peradangan.
Hippocrates mendefinisikan diare sebagai pengeluaran tinja yang tidak
normal dan cair. Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM, diare diartikan
sebagai buang air besar yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer dengan
frekuensi lebih banyak dari biasanya. Neonatus dinyatakan diare bila frekuensi buang
air besar sudah lebih dari 4 kali, sedangkan untuk bayi berumur lebih dari 1 bulan
dan anak, bila frekuensinya lebih dari 3 kali dalam satu hari.

II.2.2 Penyebab
Etiologi diare dapat dibagi dalam beberapa faktor, yaitu:
1. Faktor infeksi
a. Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab
utama diare pada anak.
Infeksi enteral ini meliputi:
- Infeksi bakteri: Vibrio, E. coli, Salmonella, Shigella, Campylobacter,
Yersinia, Aeromonas dan sebagainya.
- Infeksi virus: Enteroovirus (Virus ECHO, Coxsackie, Poliomyelitis),
Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus dan lain-lain. Infestasi parasit: Cacing
(Ascaris, Trichiuris, Oxyuris, Strongyloides), Protozoa (Entamoeba
histolytica, Giardia lamblia, Trichomonas hominis), jamur (Candida
albicans).
b. Infeksi parenteral yaitu infeksi di bagian tubuh lain di luar alat pen cernaan,
seperti Otitis media akut (OMA), Tonsilofaringitis, Bronkopneumonia,
Ensefalitis dan sebagainya. Keadaan ini terutama terdapat pada bayi dan anak
berumur di bawah 2 tahun.
2. Faktor malabsorbsi '
a. Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan
sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, feuktosa dan galaktosa). Pada
bayi dan anak yang terpenting dan tersering ialah intoleransi laktrosa.
b. Malabsorbsi lemak
c. Malabsorbsi protein
3. Faktor makanan: makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan.
4. Faktor psikologis: rasa takut dan cemas. Walaupun jarang dapat menimbulkan
diare terutama pada anak yang lebih besar.

II.2.3 Patogenesis
Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare ialah:
1. Gangguan osmotik
Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan
tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi pergeseran air dan
elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan ini akan
merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare.
2. Gangguan sekresi
Akibat rangsangan tertentu (misal oleh toksin) pada dinding usus akan terjadi
peningkatan sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga usus dan selanjutnya diare
timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus.
3. Gangguan motilitas usus
Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk
menyerap makanan, sehingga timbul diare. Sebaliknya bila peristaltik usus
menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan yang selanjutnya dapat
menimbulkan diare pula.

Patogenesis diare akut


1. Masuknya jasad renik yang masih hidup ke dalam usus halus setelah berhasil
melewati rintangan asam lambung.
2. Jasad renik tersebut berkembang biak (multiplikasi) di dalam usus halus.
3. Oleh jasad renik dikeluarkan toksin (toksin diaregenik)
4. Akibat toksin tersebut terjadi hipersekresi yang selanjutnya akan menimbulkan
diare.

Patogenesis diare kronis .


Lebih kompleks dan faktor-faktor yang menimbulkannya ialah infeksi bakteri, parasit,
malabsorbsi, malnutrisi dan lain-lain.

II.2.4 Patofisisologi
Sebagai akibat diare baik akut maupun kronis akan terjadi:
1. Kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan terjadi nya gangguan
keseimbangan asam-basa (asidosis metabolik, hipokalemia dan sebagainya)
2. Gangguan gizi sebagai akibat kelaparan (masukan makanan kurang, pengeluaran
bertambah)
3. Hipoglikemia
4. Gangguan sirkulasi darah
II.2.5 Gejala klinis
Mula-mula bayi dan anak menjadi cengeng, gelisah, suhu tubuh biasanya
meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada, kemudian timbul diare. Tinja cair
dan mungkin disertai lendir dan atau darah. Warna tinja makin lama berubah menjadi
kehijau-hijauan karena tercampur dengan empedu. Anus dan daerah sekitarnya lecet
karena seringnya defekasi dan ia makin lama makin asam sebagai akibat makin
banyaknya asam laktat, yang berasal dari laktosa yang tidak dapat diabsorbsi usus
selama diare. Gejala muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah diare dan dapat
disebabkan oleh lambung yang turut meradang atau akibat gangguan keseimbangan
asam-basa dan elektrolit. Bila penderita telah kehilangan banyak cairan dan elektrolit,
maka gejala dehidrasi mulai tampak. Berat badan turun, turgor kulit berkurang, mata
dan ubun-ubun besar menjadi cekung, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit
tampak kering. Berdasarkan banyaknya cairan yang hilang dapat dibagi menjadi
dehidrasi ringan, sedang dan berat, sedangkan berdasarkan tonisitas plasma dapat
dibagi menjadi dehidrasi hipotonik, isotanik dan hipertonik.
Pada dehidrasi berat, volume darah berkurang sehingga dapat terjadi renjatan
hipovolemik dengan gejala-gejalanya yaitu denyut jantung menjadi cepat, denyut nadi
cepat, kecil, tekanan darah menurun, penderita menjadi lemah, kesadaran menurun
(apatis, somnolen dan kadang-kadang sampai soporokomoteus). Akibat dehidrasi,
diuresis berkurang (oliguria sampai anuria). Bila sudah ada asidosis metabolik,
penderita akan tampak pucat dengan pernafasan yang cepat dan dalam (pernafasan
Kussmaul).
Asidosis metabolik terjadi karena:
1. Kehilangan NaHCO3 melalui tinja
2. Ketosis kelaparan
3. Produk-produk metabolik yang bersifat asam tidak dapat dieluarkan (oleh karena
oliguria atau anuria)
4. Berpindahnya ion natrium dari cairan ekstrasel ke intrasel
5. Penimbunan asam laktat (anoksia jaringan tubuh).
Dehidrasi hipotonik (dehidrasi hiponatremia) yaitu bila kadar natrium dalam
plasma kurang dari 130 mEq/l, dehidrasi isotonik (dehidrasi isotonatremia) bila kadar
natrium dalam plasma 130-150 mEq/l, sedangkan dehidrasi hipertonik (hipernatremia)
bila kadar natrium dalam plasma lebih dari 150 mEq/l.

II.2.6 Pemeriksaan laboratorium


1. Pemeriksaan tinja
a. makroskopis dan mikroskopis
b. pH dan kadar gula dalam tinja dengan kertas lakmus dan tablet clinitest, bila
diduga terdapat intoleransi gula.
c. Bila perlu dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi
2. Pemeriksaan gangguan keseimbangan - asam-basa dalam darah, dengan
menentukan pH dan cadangan alkali atau lebih tepat lagi dengan pemeriksaan
analisa gas darah menurut ASTRUP (bila memungkinkan).
3. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal.
4. Pemeriksaan elektrolit terutama kadar natrium, kalium, katsium dan fosfor
dalam serum (terutama pada penderita diare yang disertai kejang).
5. Pemeriksaan intubasi duodenum untuk mengetahui jenis jasad renik atau parasit
secara kualitatif dan kuantitatif, terutama dilakukan pada penderita diare kronik.

II.2.7 Komplikasi
Sebagai akibat kehilangan cairan dan elektrolit secara mendadak, dapat terjadi
berbagai macam komplikasi seperti:
1. Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonik atau hipertonik).
2. Renjatan hipovolemik
3. Hipokalemia (dengan gejala meteorismus, hipotoni otot, lemah, bra dikardia,
perubahan pada elektrokardiogram)
4. Hipoglikemia.
5. Intoleransi laktosa sekunder, sebagai akibat defisiensi enzim laktase karena
kerusakan vili mukosa usus halus.
6. Kejang, terutama pada dehidrasi hipertonik
7. Malnutrisi energi protein, karena selain diare dan muntah, penderita juga
mengalami kelaparan.
II.2.8 Pengobatan
Dasar pengobatan diare adalah:
1. Pemberian cairan (rehidrasi awal dan rumat)
2. Dietik (pemberian makanan)

Pemberian cairan
1. Jenis cairan
2. Jalan pemberian cairan
3. Jumlah cairan
4. Jadwal (kecepatan) pemberian cairan

Pemberian cairan pada diare dehidrasi murni


1. Jenis cairan
a. Cairan rehidrasi oral (oral rehidration salts)
- Formula lengkap mengandung NaCl, NaHC03, KCl dan glukosa. Kadar
natrium 90 mEq/1 untuk kolera dan diare akut pada anak di atas 6 bulan
dengan dehidrasi ringan dan sedang atau tanpa dehidrasi (untuk pencegahan
dehidrasi).
Kadar natrium 50-60 mEq/l ( untuk diare akut non-kolera pada anak di bawah
6 bulan dengan dehidrasi ringan, sedang atau tanpa dehidrasi. Formula
lengkap sering disebut oralit.
- Formula sederhana (tidak lengkap) hanya mengandung NaCl dan sukrosa
atau karbohidrat lain; misalnya larutan gula garam, larutan air tajin garam,
larutan tepung beras garam dan sebagainya untuk pengobatan pertama di
rumah pada semua anak dengan diare akut baik sebelum ada dehidrasi
maupun setelah ada dehidrasi ringan.
b. Cairan parenteral
- DG aa (1 bagian larutan Darrow + 1 bagian glukosa 5%).
- RL g (1 bagian Ringer laktat + 1 bagian glukosa 5%)
- RL (Ringer Laktat)
- 3 @ (1 bagian NaCl 0,9% + 1 bagian glukosa 5% + 1 bagian Na-laktat 1/6
mol/l)
- DG 1 : 2 (1 bagian larutan Darrow + 2 bagian glukosa 5%)
- RLG 1 : 3 (1 bagian Ringer laktat + 3 bagian glukosa 5-10%).
- Cairan 4: 1 (4 bagian glukosa 5-10% + 1 bagian NaHCO3 1½% atau 4 bagian
glukosa 5-10% 1 bagian NaCl 0,9%)
2. Jalan pemberian cairan
a. Peroral untuk dehidrasi ringan, sedang dan tanpa dehidrasi dan bila anak mau
minum serta kesadaran baik.
b. Intragastrik untuk dehidrasi ringan, sedang atau tanpa dehidrasi, tetapi anak tidak
mau minum, atau kesadaran menurun.
c. Intravena untuk dehidrasi berat.
3. Jumlah cairan (lihat tabel 1, 2 dan 3).
Tabel 1. Jumlah cairan yang hilang menurut derajat dehidrasi pada anak di bawah
2 tahun.

Derajat Dehidrasi PWL* NWL** CWL*** Jumlah

Ringan 50 100 25 175

Sedang 75 100 25 20G

Berat 125 100 25 250

Tabel 2. Jumlah cairan yang hilang menurut derajat dehidrasi pada anak berumur
2-5 tahun

Derajatdehidrasi PWL* NWL** CWL*** Jumlah

Ringan 30 80 25 135

Sedang 50 80 25 155
185
Berat 80 80 25

Tabel 3. Jumlah cairan yang hilang pada dehidrasi berat menurut berat badan
penderita dan umur

Berat badan Umur PWL* NWL** CWL*** Jumlah

- 3 kg -1 bln. 150 125 25 300

3-10 kg lbln-2thn 125 100 25 250

10-15 kg 2- 5 thn 100 80 25 205

15-25kg 5-10thn 80 65 25 170


Keterangan: * PWL = Previous Water Loss (ml/kgbb)
* * NWL = Normal Water Losses (ml/kgbb)
*** CWL = Concomitant Water Losses (ml/kgbb).

4. Jadwal (kecepatan) pemberian cairan


a. Belum ada dehidrasi
- Oral sebanyak anak mau minum (ad libitum) atau 1 gelas setiap kali buang
air besar.
Misal untuk anak 1 bulan-2 tahun dengan berat badan 3-10 kg jumlah cairan 4/5 x 250 ml
= 200 ml/kgbb/24 jam.
Kecepatan
4 jam pertama: 60 ml/kgbb/4 jam atau 15 ml/kgbb/jam atau = 4 tetes/kgbb/menit
(1 ml = 15 tetes) atau = 5 tetes/kgbb/menit (1 m1= 20 tetes)
20 jam berikut: 150 ml/kgbb/20 jam atau 7 mUkgbb/jam atau
=1¾ tetes/kgbb/menit(1 m1=15 tetes) atau
= 2¼ tetes/kgbb/menit (1 ml = 20 tetes).

Pemberian cairan pada diare dehidrasi berat dengan bronkopneumonia tanpa


disertai kelainan jantung.
Jenis cairan: DG aa
Jumlah cairan = PWL + NWL + CWL
Misal untuk anak 1 bulan - 2 tahun dengan berat badan 3-10 kg, jumlah cairan 250
ml/kgbb/24 jam
Kecepatan.
4 jam pertama : 60 ml/kgbb/ 4 jam atau 15 ml/kgbb/jam atau
= 4 tetes/kgbb/menit (1 ml = 15 tetes) atau
= 5 tetes/kgbb/menit (1 m1= 20 tetes)
20 jam berikut : 190 ml/kgbb/20 jam 10 ml/kgbb/jam atau
= 2½ tetes/kgbb/menit (1 m1= 15 tetes) atau
= 3 tetes/kgbb/menit (1 m1= 20 tetes).

Pemberian cairan pada diare dehidrasi berat dengan malnutrisi energi protein
ringan, sedang, berat tipe marasmus disertai bronkopneumonia tanpa kelainan
jantung.
Jenis cairan: DG aa
Jumlah cairan dan kecepatan pemberian sama seperti diare dehidrasi berat dengan
bronkopneumonia.
Pemberian cairan pada diare dehidrasi berat dengan malnutrisi energi protein
berat tipe marasmik- kwashiorkor dan tipe kwashiorkor yang disertai
bronkopneumonia, tanpa kelainan jantung. .
Jenis cairan: DG aa
Jumlah cairan dan kecepatan pemberian sama seperti pada malnutrisi energi protein berat
tipe marasmik- kwashiorkor dan tipe kwashiorkor dengan diare dehidrasi berat.

Pemberian cairan pada diare dehidrasi berat dengan kelainan jantung bawaan
(Congenital Heart Disease, disingkat CHD)
CHD dengan right to left shunt disertai diare dehidrasi berat
Jenis cairan: DGaa
Jumlah cairan: PWL + NWL + CWL
Misal untuk anak 1 bulan - 2 tahun dengan berat badan 3 -10 kg, jumlah cairan
250 ml/kgbb/24 jam.
Kecepatan:
4 jam pertama : 60 ml/kgbb/4 jam atau 15 ml/kgbb/jam atau = 4
tetes/kgbb/menit (1 ml = 15 tetes) atau = 5 tetes/kgbb/menit
(1 ml = 20 tetes)
20 jam berikut : 190 ml/kgbbl20 jam atau 10 mllkgbb/jarn atau
= 2½ tetes/kgbb/menit (1 ml = 15 tetes) atau
= 3 tetes/kgbb/menit (1 ml = 20 tetes)

CHD dengan left to right shunt, disertai diare dehidrasi berat.


Jenis cairan: DG aa
Jumlah cairan = 4/5 (PWL + NWL + CWL)
Misal untuk anak 1 bulan-2 tahun dengan berat badan 3-10 kg, jum lah cairan 4/5
x 250 ml = 200 ml/kgbb/24 jam.
Kecepatan:
4 jam pertama : 4/5 x 60 ml/kgbb/4 jam atau 12 ml/kgbb/jam atau = 3
tetes/kgbb/menit (1 ml = 15 tetes) atau
= 4 tetes/kgbb/menit (1 ml = 20 tetes)
20 jam berikut : 152 ml/kgbb120 jam atau 7 ml/kgbb/jam atau
= 1¾ tetes/kgbb/menit (1 ml = 15 tetes)
= 2¼ tetes/kgbb/menit (1 ml = 20 tetes)
CHD dengan gagal
Jenis cairan: DG aa
Jumlah cairan dan kecepatan pemberian sama seperti pada CHD dengan left to
right shunt yang disertai diare dehidrasi berat.

Pemberian cairan pada diare dehidrase berat yang disertai kejang.


Jenis cairan: DG aa (yang saat ini digunakan di Bagian ilmu Kesehatan Anak
FKUI/RSCM), tetapi ada juga akhli yang menganjurkan pemberian cairan yang
mengandung natrium lebih rendah, yaitu DG 1 : 2.
Jumlah cairan: PWL + NWL + CWL
Misal untuk anak 1 bulan - 2 tahun dengan berat badan 3 -10 kg, jumlah cairan 250
ml/kgbb/24 jam.

Kecepatan:
4 jam pertama : 60 ml/kgbb/4 jam atau 15 ml/kgbb/jam atau = 4
tetes/kgbb/menit (1 ml = 15 tetes) atau = 5
tetes/kgbb/menit (1 ml = 20 tetes)
20 jam berikutnya : 190 ml/kgbb120 jam atau 10 ml/kgbb/jam atau = 2½
tetes/kgbb/menit (1 ml = 15 tetes) atau
3 tetes/kgbb/menit (1 ml = 20 tetes)

Pemberian cairan pada dehidrasi karena masukan (intake) kurang


1. Tanpa asidosis
Jenis cairan : Cairan 3 : I (3 bagian Glukosa 5 - 10% + 1 bagian NaCl 0,9%)
+ KCl 20 mEq/l.
Jumlah cairan : tergantung dari derajat dehidrasinya.
Kecepatan : dibagi rata selama 24 jam
2. Dengan asidosis
Jenis cairan : DG aa
Jumlah cairan : tergantung derajat dehidrasinya.
Kecepatan : dibagi rata selama 24 jam.

Pengobatan dietetik
1. Untuk anak di bawah 1 tahun dan anak di atas 1 tahun dengan berat badan kurang
dari 7 kg.
Jenis makanan:
a. Susu (ASI dan atau susu formula yang mengandung laktosa rendah dan asam
lemak tidak jenuh, misalnya LLM, Almiron)
b. Makanan setengah padat (bubur susu) atau makanan padat (nasi tim) bila anak
tidak mau minum susu karena di rumah sudah biasa diberi makanan padat.
c. Susu khusus yaitu susu yang tidak mengandung laktosa atau susu dengan
asam lemak berantai sedang/tidak jenuh, sesuai dengan kelainan yang
ditemukan.
Caranya :
Hari I : - Setelah rehidrasi segera diberikan makanan peroral
- Bila diberi ASI atau susu formula, diare masih sering,
hendaknya diberikan tambahan oralit atau air tawar selang-
seling dengan ASI, misalnya: 2 x ASI/susu formula rendah
laktosa, 1 x oralit/air tawar atau I x ASI/ susu formula
rendah laktosa, 1 x oralit/air tawar.
Hari 2-4 : ASI/susu formula rendah laktosa, penuh.
Hari 5 : Dipulangkan dengan ASI/susu formula sesuai dengan kelainan
yang ditemukan (dari hasil pemeriksaan laboratorium).
Bila tidak ada kelainan, dapat diberikan susu biasa seperti SGM,
Lactogen, Dancow dan sebagainya dengan menu makanan
sesuai dengan umur dan berat badan bayi.

2. Untuk anak di atas 1 tahun dengan berat badan lebih dari 7 kg, Jenis makanan:
Makanan padat atau makanan cair/susu sesuai dengan kebiasaan makan di rumah.
Caranya:
Hari 1 : Setelah rehidrasi segera diberikan makanan seperti buah (pisang),
biskuit dan Breda (Bubur realimentasi daging ayam) dan ASI
diteruskan (bila masih ada) ditambah oralit.
Hari 2 : Breda, buah, biskuit, ASI
Hari 3 : Nasi tim, buah, biskuit dan ASI
Hari 4 : Makan biasa dengan ekstra kalori (11/2 kali kebutuhan)
Hari 5 : Dipulangkan dengan nasehat makanan seperti hari 4.

Obat-obatan
Prinsip pengobatan diare ialah menggantikan cairan yang hilang melalui tinja dengan
atau tanpa muntah, dengan cairan yang mengandung elektrolit dan glukosa atau
karbohidrat lain (gula, air tajin, tepung beras dan sebagainya).
1. Obat anti sekresi
a. Asetosal
Dosis: 25 mg/tahun dengan dosis minimum 30 mg.
b. Klorpromazin
Dosis: 0,5-1 mg/kgbb/hari
2. Obat anti spasmolitik
Pada umumnya obat anti spasmolitik seperti papaverine, ekstrak beladona, opium,
loperamid dan sebagainya tidak diperlukan untuk mengatasi diare akut.
3. Obat pengeras tinja
Obat pengeras tinja seperti kaolin, pektin, charcoal, tabonal dan sebagainya tidak ada
manfaatnya untuk mengatasi diare.
4. Antibiotika
Pada umumnya antibiotika tidak diperlukan untuk mengatasi diare akut, kecuali bila
penyebabnya jelas seperti:
a. Kolera, diberikan tetrasiklin 25-50 mg/kgbb/hari
b. Campylobacter, diberikan eritromisin 40-50 mg/kgbb/hari
Antibiotika lain dapat pnla diberikan bila terdapat penyakit penyerta seperti
misalnya:
a. infeksi ringan (OMA, faringitis),diberikan penisilinprokain 50.000 U kgbb/hari
b. infeksi sedang (Bronkitis), diberikan penisilin prokain atau ampisilin 50
mg/kgbb/hari
c. infeksi berat (misal: Bronkopneumonia), diberikan penisilin prokain dengan
kloramfenikol 75 mg/kgbb/hari atau ampisilin 75-100 mg/kgbb/hari ditambah
gentamisin 6 mg/kgbb/hari atau derivat sefalosforin 30-50 mg/kgbb/hari.
3. KEJANG DEMAM

II.3.I Pendahuluan
Kejang demam merupakan tipe kejang yang paling sering terjadi pada anak,
dimana 2-5% anak pernah mengalami serangan kejang demam sebelum usia 5 tahun.
Meskipun biasanya kejang hanya berlangsung beberapa menit saja, kejang demam
sering menimbulkan kecemasan pada orang tua. Kecemasan tersebut meliputi
peristiwa serangan kejang itu sendiri ataupun akibatnya di kemudian hari seperti
berulangnya kejang, kejadian epilepsi atau kerusakan saraf akibat kejang. 1
Kejang merupakan bangkitan motorik yang terjadi akibat adanya mekanisme yang
mencetuskan sel neuron untuk melepaskan muatan listrik secara berlebihan.
Mekanisme yang mencetuskan kejang diantaranya adalah gangguan pada membran
sel neuron yaitu gangguan keseimbangan natrium dan kalium atau akibat adanya
ketidakseimbangan antara neurotransmitter eksitasi dan inhibisi. Salah satu bentuk
dari neurotransmiter inhibisi adalah GABA (gama amino butyric acid). Apabila kadar
GABA turun maka kemampuan inhibisi pada sinaps saraf juga akan menurun
sehingga akan timbul kejang.1

II.3.2 Definisi dan Klasifikasi Kejang Demam


Definisi dan klasifikasi kejang demam telah beberapa kali mengalami revisi.
Livingstone (1954) membagi kejang demam menjadi kejang demam sederhana
(KDS) dan epilepsi yang dicetuskan oleh demam. Ciri-ciri KDS menurut Livingstone
adalah usia anak 6 bulan sampai 4 tahun, kejang kurang dari 15 menit, kejang umum,
kejang dalam 16 jam pertama demam, neurologis normal, EEG yang dilakukan 4
minggu bebas panas hasilnya normal dan frekuensi kejang kurang dari 4 kali dalam
setahun. Sedangkan kejang demam yang tidak memenuhi kriteria KDS
dikelompokkan dalam epilepsi yang dicetuskan oleh demam.2
Menurut kesepakatan UKK Neurologi anak (2004), kejang demam didefinisikan
sebagai bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas
38C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranial. Klasifikasi kejang demam
menurut UKK Neurologi adalah sama dengan klasifikasi menurut ILAE. Saat ini
definisi dan klasifikasi kejang demam yang digunakan adalah menurut kesepakatan
UKK Neurologi Anak 2004. 3,4
Nelson Ellenberg (1976) membagi kejang demam menjadi 2 yaitu benign febrile
convulsion dan kejang demam kompleks. Dikatakan benign febrile convulsion bila
serangan kejang pertama kali usia 6 bulan sampai 4 tahun, sebelumnya pernah panas
tanpa kejang, kejang umum, lamanya kurang dari 10 menit, tidak ada riwayat
keluarga dengan kejang demam, dan tidak ada gangguan neurologis. Kejang demam
kompleks bila kejang fokal, lama lebih dari 10 menit, ada riwayat kejang demam
dalam keluarga, lebih dari 1 kali kejang dalam 24 jam, ILAE membagi kejang demam
menjadi KDS dan KDK. Disebut KDS bila kejang bersifatumum, tonik klonik, lama
kejang kurang dari 15 menit dan tidak timbul kembali dalam 24 jam. Bila lama
kejang lebih dari 15 menit dan bersifat fokal atau terjadi kembali dalam 24 jam maka
diklasifikasikan dalam kejang demam kompleks (KDK).1

II.3.3 Epidemiologi
Kejang demam merupakan tipe kejang yang paling sering dijumpai pada anak-
anak. Dua sampai lima persen dari seluruh anak mengalami sedikitnya satu kali
kejang demam dalam lima tahun pertama kehidupan. Verity dkk dalam suatu
penelitian di Inggris pada tahun 1970 hingga 1975 mendapatkan prevalensi kejang
demam sebesar 2,3%. Di Jepang, Tsuboi tahun 1974-1980 mendapatkan prevalensi
kejang demam yang lebih tinggi yaitu sebesar 8,3%. Eka dkk pada tahun 1999-2001
di RS Moh. Hoesin Palembang mendapatkan 429 penderita kejang demam, terutama
pada usia 12-17 bulan.
Pada umumnya penderita kejang demam tergolong kejang demam sederhana.
Verity dkk melaporkan kejadian kejang demam sederhana terjadi pada 76,9% kasus
dan KDK 18,8% kasus. Delapan persen berlangsung lama (lebih dari 15 menit), dan
16% berulang dalam waktu 24 jam.1
Kejang demam bergantung pada umur, dimana umumnya dijumpai pada bayi dan
anak. Usia anak yang tersering mengalami kejang adalah 6 bulan sampai 3 tahun.
Keterkaitan umur dengan kejang demam adalah berhubungan dengan tingkat
kematangan anatomi, fisiologi, dan biokomiawi otak. Delapan puluh lima persen
kejang demam terjadi sebelum usia 4 tahun, terbanyak pada usia 17-23 bulan. Hanya
sedikit yang mengalami kejang demam pertama sebelum usia 2 tahun dan hampir
90% mengalaminya sebelum usia 3 tahun. Perbandingan kejang demam antara anak
laki-laki dan anak perempuan adalah hampir sama berkisar 1,1-1,4:1. 1
Faktor genetik mempunyai peranan dalam kejadian kejang demam. Berg dkk
dalam penelitiannya melaporkan 24% penderita kejang demam memiliki kerabat
tingkat pertama yang juga menderita kejang demam. Verity dkk melaporkan 26%
penderita kejang demam memiliki riwayat keluarga dengan kejang demam, terutama
pada orang tua atau saudara kandung. Van Esch dkk mendapatkan risiko terjadinya
kejang demam pada saudara kandung penderita kejang demam adalah 10% yaitu
sekitar 2 kali risiko rata-rata populasi. Lennox (1949) berpendapat bahwa kepekaan
terhadap bangkitan kejang demam diturunkan oleh sebuah gen dominan dengan
penetrasi yang tidak sempurna. Lennox (1949) berpendapat bahwa 41,2% anggota
keluarga penderita mempunyai riwayat kejang sedangkan pada anak normal hanya
3%. 1,4

II.3.4 Etiologi
Mekanisme yang mencetuskan terjadinya kejang pada kejang demam belum
diketahui secara pasti. Banyak teori yang telah dikemukakan para ahli mengenai
berbagai kemungkinan mekanisme terjadinya kejang pada kejang demam selain
faktor demam itu sendiri. Berdasarkan beberapa literatur disebutkan, faktor yang
mungkin memiliki peranan terhadap terjadinya kejang demam adalah faktor genetik,
riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga, faktor perinatal (asfiksia dan
riwayat perawatan saat neonatus), faktor suhu, defisiensi besi, defisiensi seng,
hiponatremia dan channelopathy.1,2
Walaupun mekanisme pasti kejang demam belum dapat diketahui, beberapa faktor
yang berperan dalam mekanisme terjadinya kejang antara lain adalah gangguan pada
membran sel neuron, gangguan pada mekanisme inhibisi prasinaps dan paska-sinaps
serta gangguan pada sel glia.1,2

II.3.4.1 Gangguan pada membran sel neuron


Potensial membran sel neuron bergantung pada permeabilitas sel tersebut
terhadap ion natrium dan kalium. Membran neuron permeabel terhadap ion kalium
dan kurang permeabel terhadap ion natrium sehingga dalam sel pada keadaan normal
konsentrasi ion kalium cenderung tinggi sedangkan konsentrasi ion natrium rendah.2

Bila keseimbangan terganggu, sifat semi-permeabel berubah sehingga ion natrium


dan kalium berdifusi melalui membran dan mengakibatkan perubahan kadar ion dan
perubahan potensial yang menyertainya. Potensial aksi terbentuk di permukaan sel
dan menjadi stimulus yang efektif pada bagian membran sel lainnya dan menyebar
sepanjang akson.2
II.3.4.2 Gangguan pada mekanisme inhibisi prasinaps dan paska-sinaps
Sel neuron saling berhubungan sesamanya melalui sinaps-sinaps. Potensial aksi
yang terjadi di satu neuron dihantar melalui neuron akson yang kemudian
membebaskan zat transmitter pada sinaps yang mengeksitasi atau menginhibisi
membran paska-sinaps. Neurotransmitter eksitasi (asetilkolin, glutamat)
mengakibatkan depolarisasi, zat neurotransmiter inhibisi (GABA, glisin)
menyebabkan hiperpolarisasi neuron penerimanya. Jadi satu impuls dapat
mengakibatkan eksitasi atau inhibisi pada transmisi sinaps.2
Tiap neuron berhubungan dengan sejumlah besar neuron lainnya melalui sinaps
eksitasi atau inhibisi, sehingga otak merupakan struktur yang terdiri dari sel neuron
yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi aktifitasnya. Pada keadaan
normal didapatkan keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi. Gangguan terhadap
keseimbangan ini dapat mengakibatkan terjadinya bangkitan kejang. Efek inhibisi
ialah meninggikan tingkat polarisasi membran sel. Kegagalan mekanisme inhibisi
mengakibatkan terjadinya lepas muatan listrik yang berlebihan. Zat GABA mencegah
terjadinya hipersinkronisasi melalui mekanisme inhibisi. Gangguan sintesis GABA
mengakibatkan perubahan keseimbangan eksitasi-inhibisi sehinhgga dapat
menimbulkan bengkitan kejang. 2
II.3.4.3 Gangguan pada sel glia
Sel glia diduga berfungsi untuk mengatur ion kalium ekstraseluler di sekitar
neuron dan terminal presinaps. Pada gliosis atau keadaan cedera, fungsi glia yang
mengatur monsentrasi ion kalium ekstraseluler akan tergangggu yang akan
mengakibatkan meningkatnya eksitabilitas sel neuron sekitarnya. Rasio yang tinggi
antara kadar ion kalium ekstraseluler dibanding intraseluler dapat mendepolarisasi
membran neuron.2
Astroglia berfungsi membuang ion kalium yang berlebihan saat aktifnya sel
neuron. Sewaktu kejang kadar ion kalium meningkat sebanyak 5 kali atau lebih di
cairan interstisial yang mengitasi sel neuron. Waktu ion kalium diserap oleh astroglia
cairanpun ikut diserap dan sel astroglia menjadi membengkak (edema). Pada
penelitian eksperimental, didapatkan bahwa bila kation dimasukkan ke dalam sel
astrosit melalui pipet makro akan timbul letupan kejang pada sel neuron disekitarnya,
hal ini merupakan suatu ilustrasi mengenai peranan sel astroglia dalam mengatur
aktivitas neuronal.2

II.3.5 Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan suatu
energi yang didapatkan dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang
terpenting ialah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan
dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sistem
kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak ialah glukosa yang melalui proses oksidasi
dipecah menjadi CO2 dan air.4
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah
lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron
dapat dilalui dengan ,mudah oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion
natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi
K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron
terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion didalam dan
di luar sel, maka terdapatlah perbedaan potensial yang disebut potensial membran
dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan
energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel.4
Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya perubahan
konsentrasi ion di ruang ekstraseluler, rangsangan yang datangnya mendadak
misalnya mekanis, kimiawi, atau aliran listrik dari sekitarnya, perubahan
patofosiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.4
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
seorang anak berumur 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh,
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh
tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam
waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun Natrium melaui membran
tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan ini demikian
besarnya sehingga dapat menyebar keseluruh sel maupun ke sel tetangganya dengan
bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadilah kejang.4
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi
rendahnya amabang kejang seorang anak menderita kejang pada suhu tertentu. Pada
anak dengan amabng kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38C
sedangkan pada anak dengan ambang kejang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu
40C atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang
demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam
penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang.4
II.3.5.1 Peranan Besi dalam Terjadinya Kejang
Penelitian Gatti menyebutkan pada saat pasien terinfeksi oleh patogen akan terjadi
pelepasan faktor inflamasi interleukin 1 (IL-1). IL-1 akan mempengaruhi hipotalamus
dan hipokampus. IL-1 akan merangsang pusat pengaturan suhu di hipotalamus
sehingga akan menimbulkan kenaikan suhu (demam) dan akan menimbulkan kejang
bila sudah ada faktor risiko lain. Sementara di hipokampus IL-1 mempengaruhi
neurotransmiter dan dapat menyebabkan timbulnya kejang bila sudah terjadi
gangguan sebelumnya (sudah ada faktor pencetus) yang mempengaruhi faktor
keseimbangan antara neurotransmiter eksitasi (glutamat) dan neurotransmiterinhibisi
(GABA). Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi neurotransmiter GABA adalah
adanya defisiensi besi yang menyebabkan menurunnya kadar GABA. Penurunan
kadar GABA akan menyebabkan tidak efektifnya mekanisme inhibisi sehingga terjadi
kejang.1
GABA adalah neurotransmiter inhibisi utama pada otak. GABA tertinggi
konsentrasinya pada substansia nigra dan globus palidus. GABA dan glutamat
dibentuk di otak dari molekul asam sitrat pada siklus kreb, reaksi ini dikenal sebagai
shunt GABA. Sintesis GABA dipengaruhi oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah
peranan B6 dalam bentuk fosfat piridoksal yang merupakan kofaktor pada sintesis
GABA dari asam glutamat. Faktor lain yang masih dalam penelitian adalah peranan
besi pada sintesis GABA.1
Besi mempunyai peran yang sangat besar dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan otak yaitu dalam proses mielinisasi saraf otak. Besi juga mempunyai
peran penting terhadap sistem neurotransmiter, diantaranya dalam proses sintesis
serotonin, norepinefrin dan enzim GABA transaminase, serta sistem dopaminergik. 1
Batra (2002) melakukan penelitian untuk melihat efek defisiensi besi terhadap
metabolisme GABA pada hewan percobaan. Pada penelitian tersebut didapatkan
terjadinya penurunan aktifitas enzim untuk GABA (GABA shunt enzim) yaitu GDH,
GAD dan GABA-T (glutamat dehidrogenase, glutamat dekarboksilase, dan GABA-
transaminase) dan kadar GABA sendiri akibat adanya defisiensi besi. Penelitian ini
menyimpulkan terdapat peranan besi terhadap GABA.1

II.3.6 Manifestasi Klinis


Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan
kenaikan suhu badan yang tinggi (diatas 38C) dan cepat yang disebabkan oleh
infeksi diluar susunan saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akuta, bronkitis,
furunkulosis dan lainnya. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama
sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-
klonik, tonik, klonik fokal atau akinetik. Wujud kejang dapat pula berupa mata
berbalik ke atas disertai kekakuan atau kelemahan. Atau, terjadi gerakan sentakan
berulang tanpa didahului kekakuan. Kejang seluruh tubuh ini akan berhenti dengan
sendirinya setelah mendapat pertolongan pertama. Setelah itu anak tampak capek,
mengantuk, dan tidur pulas. Begitu terbangun kesadaran sudah pulih kembali. tanpa
adanya kelainan saraf. 3,5

II.3.7 Diagnosis Kejang Demam


Diagnosis kejang demam dapat ditegakkan melalui anamnesis yang lengkap
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Kejang demam paling sering terjadi pada anak usia antara 6 bulan hingga 5 tahun.
Pada batas usia tersebut, kejang lebih banyak disebabkan oleh penyebab yang
beragam. Namun, hal ini tidak berarti bahwa setiap anak diluar batas usia tersebut
harus dilakkukan pemeriksaan scan otak dan pemeriksaan ekstensif lainnya. Kenaikan
suhu yang tinggi dan cepat pada saat kejang kejadian kejang dapat menjadi patokan.
Semakin tinggi demam akan dapat mencetuskan bangkitan kejang.6
Segera setelah kejang berhenti, seorang anak harus sadar kembali dan tanpa
ditemukan adanya kelainan neurologis. Jika terdapat kelainan neurologis setelah
kejang atau menjadi tidak sadar setelahnya, maka harus dipikirkan penyebab lain dari
kejang.6
Pada kejang harus diperhatikan jenisnya (tonik atau klonik), bagian tubuh yang
terkena (fokal atau umum), lamanya kejang berlangsung, frekuensinya, selang atau
interval antara serangan, keadaan saat kejang dan setelah kejang (post-iktal).
 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan, dan dapat dikerjakan untuk
mengevaluasi sumber infeksi atau mencari penyebab, seperti darah perifer, elektrolit
dan gula darah.3
 Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis
ialah 0,6-0,7%.3
Pada bayi kecil sering manifestasi meningitis tidak jelas secara klinis, oleh karena
itu pungsi limbal dianjurkan pada: 3
a. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan
b. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
c. Bayi > 18 bulan tidak rutin
 Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya
kejang, atau memperkirakan kemungkinan terjadinya epilepsi pada pasien kejang
demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan.3
Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak
khas. Misalnya kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau
kejang demam fokal.3
 Pencitraan
Foto X-ray kepala dan neuropencitraan seperti Computed tomography (CT) atau
magnetic esonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan atas
indikasi, seperti:3
a. Kelainan neurologik fokal menetap (hemiparesis)
b. Parese nervus VI
c. Papiledema

II.3.8 Diagnosis Banding


Menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus
dipikirkan apakah penyebab dari kejang itu di dalam atau di luar susunan saraf pusat
(otak). Kelainan di dalam otak biasanya karena infeksi,misalnya maningitis,
ensefalitis, abses otak dan lain-lain. Oleh sebab itu perlu waspada untuk
menyingkirkan dahulu apakah ada kelainan organik di otak. Baru setelah itu
dipikirkan apakah kejang demam ini tergolong dalam kejang demam sederhana atau
epilepsi yang diprovokasi oleh demam.4

II.3.9 Penatalaksanaan
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan datang kejang sudah berhenti.
Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat menghentikan kejang
adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah
0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu lebih
dari 2 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.3
Obat yang praktis dan dapat diberikan orang tua atau di rumah adalah diazepam
rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk
anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10
mg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau
dosis 7,5 mg untuk anak diatas usia 3 tahun.3
Kejang yang belum berhenti dengan diazepam rektal dapat diulang lagi dengan
cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila 2 kali dengan diazepam
rektal masih kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Dan disini dapat diberikan diazepam
intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg.3
Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis
awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/
menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, yaitu 12 jam
setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin kijang belum berhenti maka pasien harus
dirawat di ruang intensif.3
Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis
kejang demamnya dan faktor resikonya, apakah kejang demam sederhana atau
kompleks.3

II.3.9.1 Pengobatan intermiten


Yang dimaksud dengan pengobatan intermiten adalah pengobatan yang diberikan
pada saat anak mengalami demam, untuk menceegah terjadinya kejang demam.
Terdiri dari pemberian antipiretik dan antikonvulsan.3,7
a. Antipiretik
Antipiretik pada saat demam dianjurkan, walaupun tidak ditemukan bukti bahwa
penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya kejang demam. Dosis
asetaminofen yang digunakan berkisar 10-15 mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan
tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali 3-4 kali sehari.3
Asetaminofen dapat menyebabkan sinrom reye terutama pada anak kurang dari 18
bulan, meskipun jarang. Parasetamol 10 mg/kg sama efektifnya dengan ibuprofen 5
mg/kg dalam menurunkan suhu tubuh.3

b. Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam
menurunkan risiko berulangnya kejang (1/3-2/3 kasus), begitu pula dengan diazepam
rektal dosis 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5C. 3
Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang
cukup berat pada 25-39% kasus. Fenobarbital, karbamazepin, fenitoin pada saat
demam tidak berguna unutk mencegah demam.3
BAGAN PENGHENTIAN KEJANG DEMAM3

KEJANG
Diazepam rectal 0,5 mg/kgBB atau
Berat badan < 10 kg: 5 mg
Berat badan > 10 kg: 10 mg

\ KEJANG
Diazepam rectal
(5 menit)
Di rumah sakit

KEJANG
Diazepam IV
Kecepatan 0,5-1 mg.menit (3-5 menit)
(Depresi pernafasan dapat terjadi)

KEJANG
Fenitoin bolus IV 10-20 mg/kgBB
Kecepatan 0,5-1 mg/kgBB/menit
(pastikan venilasi adekuat)
KEJANG
Transfer ke ICU

II.3.9.2 Pemberian obat rumat


Pengobatan rumat adalah pengobatan yang diberikan secara terus menerus untuk
waktu yang cukup lama.3,7
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan risiko berulangnya kejang. Dengan meningkatnya pengetahuan bahwa
kejang demam ‘benign’ dan efek samping pengguaan obat terhadap kognitif dan
perilaku, profilaksis terus menerus diberikan dalam jangka pendek, kecuali pada
kasus yang sangat selektif. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan
gangguan perilaku dan kesulitan belajar (40-50%). Obat pilihan saat ini adalah asam
valproat meskipun dapat menyebabkan hepatitis namun insidennya kecil.3
Dosis asam valproat 15-40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, fenobarbital 3-4 mg/kg
per hari dalam 1-2 dosis.3
Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri sebagai
berikut:3
- Kejang lama > 15 menit
- Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya hemiparesis, paresis Todd, Cerebral Palsy, retardasi mental,
hidrosefalus.
- Kejang fokal
- Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:
Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam
Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
Kejang demam > 4 kali per tahun
Pengobatan rumat diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan
secara bertahap selama 1-2 bulan.

II.3.10 Prognosis
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak perlu
menyebabkan kematian. Dua penyelidikan masing-masing mendapatkan angka
kematian 0,46% dan 0,76% (Fridrerichsen dan Melchior, 1954; Frantzen dkk, 1968).4
Dari penilaian yang ada, frekuensi terulangnya kejang berkisar antara 25-50%,
yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama. Apabila melihat kepada umur, jenis
kelamin, dan riwayat keluarga, Lennox-Buchthal (1973) mendapatkan:4
- Pada anak umr kurang dari 13 tahun, terulangnya kejang pada wanita 50
% dan pria 33 %
- Pada anak umur antara 14 bulan dan 3 tahun dengan riwayat keluarga
adanya kejang, terulangnya kejang ialah 50%, sedang pada tanpa riwayat
kejang 25%.
Resiko yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang demam
tergantung dari faktor: 4
- Riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga
- Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak
menderita kejang demam
- Kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal
Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor tersebut di atas, maka dikemudian hari
akan mengalami serangan kejang tanpa demam sekitar 13%, dibanding bila hanya
terdapat 1 atau tidak sama sekali faktor tersebut diatas, serangan kejang tanpa demam
hanya 2-3% saja. (“Consensus Statement on Febrile Seizures, 1981”).4

Você também pode gostar